Ibu |
1
Warisan Yang Kaya
“Ya-Ya! Ya-Ya!” sorak para tentara sambil menepuk lutut mereka.
“Ya! Ya!” balas gadis itu, “dan, buu! buu!, juga.”
Para tentara sekarang mulai bersemangat dalam permainan ini dan mulai mengikuti suara gadis itu, “Buu! Buu!”
Hal itu terus berlanjut sampai sang gadis merasa bahwa hal itu cukup. “Buu! Buu! dan Ya! Ya!” serunya, “Dan keduanya menjadi buya.” Dalam bahasa daerahnya, kata ini berarti seorang tukang jagal atau penjahat, ”Itulah kalian!” teriaknya. “Tukang jagal! Penjahat!”
“Tentara!”gadis itu mengucapkan kata itu dengan campuran rasa kurang hormat dan takut. “Para tentara selalu saja membawa masalah!” Walaupun ia masih muda, ia tidak seperti teman-temannya yang terkesan dengan hal itu, ia sudah menyadari apa yang ada di balik seragam indah mereka, kancing baju mereka berkilat dan bulu topi mereka bergoyang. Di balik penampilan mereka yang mencolok ada sesuatu yang bertolak belakang dengan penampilan mereka. Terlepas dari seragam mereka, pria-pria ini sering menunjukkan diri sebagai pria yang hina, penjahat dan pemerkosa yang meneror desa-desa, sehingga tidaklah aman untuk membiarkan sapi, domba, atau kambing untuk keluar merumput tanpa dijaga, atau untuk membiarkan seorang wanita keluar sendirian.
Gadis ini telah membalikkan jagung-jagungnya untuk dikeringkan di halaman rumahnya dan telah menjaganya dengan hati-hati karena jagung-jagung itulah yang akan menjadi makanan keluarganya selama musim dingin sebagai polenta, yaitu makanan utama mereka. Ia sedang bergumam pada dirinya sendiri karena hari itu merupakan hari yang cerah di bulan September dan pemandangan di hadapannya menangkap perhatiannya.
Dari sisi bukit dimana rumahnya berada, ia dapat melihat sebelah utara pegunungan Alpen yang menakjubkan, yang memantulkan cahaya sinar matahari di siang hari, dan bagian selatan adalah lembah-lembah yang rendah dan padang Montferrat yang subur.
Seketika perhatiannya teralihkan pada suara logam yang sedang beradu yang kemudian berubah menjadi suara derap yang berat ketika kelompok tentara berkuda keluar dari jalan yang lurus menuju padang yang lembut. Selagi ia sedang melihat, para tentara berkuda itu berkumpul pada sebuah barisan semak-semak dan turun dari kuda mereka. Menilai dari kuda-kuda mereka yang terengah-engah dan hembusan nafas lega dari para pria itu, perjalanan mereka pastilah panjang dan melelahkan, melewati desa-desa dan bukit-bukit yang mampu untuk mengetes mental seorang pria yang berkuda. Sebelum beristirahat, mereka melepas kuda-kuda yang segera pergi untuk mencari makanan. Setelah melepaskan topi berbulu dari kepala mereka, para tentara itu melonggarkan jaket mereka dan segera menemukan tempat untuk beristirahat, sambil mengambil rokok dari saku mereka.
Dengan segera gadis itu kehilangan rasa tertariknya pada gerakan-gerakan para tentara itu dan menjadi sangat tertarik dengan aksi-aksi dari kuda-kuda mereka. Sewaktu sedang memperhatikan para tentara itu, kuda-kuda itu dengan cepat telah menemukan jagung-jagungnya dan mulai memakannya. Bahkan pada masa-masa biasa hal ini sangat keterlaluan, tapi dengan makanan yang begitu jarang dan harga-harga yang begitu tinggi, masa ini bukanlah masa biasa, maka ia segera berlari menuju kuda-kuda itu.
“Pergi kalian…! Pergi…!” teriaknya, namun usahanya untuk mengusir kuda-kuda itu tidaklah mengganggu kuda-kuda itu dan hanya menghibur para tentara yang benar-benar sedang bersantai dan dengan tenang menghisap pipa rokok mereka, bahkan beberapa dari mereka mulai menyemangatinya.
“Sher gut, mudchen! her nicht auf!” seru mereka. “Kerja yang baik, gadis kecil! Jangan menyerah!” bagi mereka pemandangan itu sangat lucu.
Melihat bahwa seluruh usahanya tidak berhasil, gadis itu mengangkat roknya, dan kemudian lari untuk menghadapi para tentara itu, menjelaskan kepada mereka bahwa jagungnya terlalu berharga untuk diberikan kepada kuda-kuda. Untuk melindunginya, keluarganya menggantungkan persediaan musim dingin mereka di bawah atap rumah dan di kandang-kandang mereka, yang jauh dari mata para pengintai. Sekali lagi ia memohon agar mereka menarik kuda-kuda mereka.
“Mereka memakan jagung kami!” protesnya. “Kami memeras keringat kami sepanjang musim panas untuk menumbuknya dan jika kuda-kuda kalian memakannya maka dengan apa kami makan sepanjang musim dingin? Apakah kalian akan menarik kuda-kuda kalian sekarang?”
Sayangnya, semuanya itu dikatakan pada para tentara bukan dengan bahasa Italia yang mungkin mereka pahami sedikit, tetapi dalam bahasa Piedmontese yang tidak mereka mengerti sama sekali. Setelah mendengar permohonannya, mereka terdiam untuk beberapa saat lalu mereka tertawa terbahak-bahak.
Melihat ucapannya itu sia-sia ia berbalik lari untuk mengambil tongkat garpu dan menusuk kuda-kuda itu dengan gagang kayunya, tapi karena kenikmatan makan melebihi rasa sakit akibat ditusuk, kuda-kuda itu terus saja makan. Melihat hal ini, gadis itu membalik gagang kayu itu dan mulai menusuk kuda-kuda itu dengan ujung logamnya yang tajam. Namun, hanya setelah ia menusuk hidung mereka yang lunak barulah mereka pergi dengan mengeluh kesakitan.
Sekarang giliran para tentara untuk marah, tetapi pertama-tama mereka harus menangkap kuda-kuda mereka dan menuntun mereka menuju pohon-pohon terdekat jauh dari jagung-jagung itu, lalu mereka berbalik untuk menghadapi lawan mereka. Jika lawan mereka adalah seorang petani biasa maka mereka akan bertindak keras kepadanya karena seorang tentara berkuda tidak akan mau menerima penghinaan seperti itu. Pasukan berkuda adalah tentara elit yang sombong dan juga bodoh, yang biasa membunuh penduduk dengan pedang mereka. Tetapi apa yang harus mereka lakukan pada gadis itu? Akhirnya mereka mengangkat pundak mereka masing-masing dan mengerutu sendiri-sendiri, kemudian mereka kembali menuju tempat istirahat mereka dan kembali menghisap pipa rokok mereka.
Siapakah tentara itu dan apakah yang mereka lakukan di daerah bagian Italia itu?. Mereka adalah orang-orang Austria yang baru saja menduduki wilayah Piedmont, dan saat itu bukanlah tahun 1914 atau 1940, melainkan tahun 1799. Kehadiran tentara asing yang berulang kali dan berkelanjutan baik dari Perancis, Austria, ataupun Rusia mempunyai ceritanya sendiri. Bahkan dalam usia yang masih muda, gadis itu sudah melihat lebih dari satu bendera yang berkibar di Piedmont dan lebih dari sekali merasakan akibat-akibat perang.
Iklim pegunungan Alpen merupakan berkah, namun untuk kedamaian justru sebaliknyalah yang terjadi karena pegunungan Alpen merupakan gerbang menuju kota Roma. Ini berarti letak Piedmont berada pada kekuasaan para tentara yang berniat menaklukkan kota Roma dan mereka yang berniat untuk mempertahankannya. Sejak Ludovico Sforza “Penguasa Naples” pada tahun 1494, memohon pertolongan Raja Charles VII dari Perancis untuk mengkontrol tanahnya, Peninsula ini telah menjadi kacau dan terbuka untuk invasi-invasi. Invasi ini menambah perang yang membingungkan diantara negara-negara bagian Itali itu sendiri, dan telah menjadikan negara mempunyai reputasi akan ketidakstabilan.
Siapakah gadis yang telah berani menghadapi para tentara itu? Ia adalah Margareta Occhiena, lahir pada tanggal 1 April 1788 di Capriglio dan sekarang berumur sebelas tahun, dan yang pada saat mereka datang sedang bekerja di sebelah bukit dekat desa Capriglio yaitu “bukit kambing”.
Sepatu boot yang berat melindungi kakinya dari tanah yang kasar dan sebuah celemek kerja berwarna biru yang memudar menutup roknya dan menutupi lututnya yang berwarna coklat, juga sebuah selendang warna merah menutup rambutnya yang coklat. Kulitnya yang kelihatan segar dan sedikit kecoklatan disebabkan oleh musim dingin yang menggigit dan sinar matahari pada musim panas yang membakar. Matanya yang coklat mampu menembus hati, dan tubuhnya ramping mendekati kurus karena kerja keras dan sering kali menaiki dan menuruni kebun anggur, serta karena diet makanan yang seringkali dilakukan oleh penduduk di situ.
Roman wajahnya seperti darah yang mengalir melalui nadi-nadinya bukanlah murni Italia. Kependudukan asing dan invasi tentara asing telah dimulai lama sebelum datangnya tentara Romawi dan di beberapa tempat telah menggantikan penduduk asli serta di daerah lain telah diserap oleh mereka. Darah Celtic, Romawi, Gallic, Jerman, dan Slavic mengalir di darah gadis muda itu, dan ketika ia berbicara dialek daerahnya keluar dari mulutnya. Karakteristik dari berbagai macam ras telah memberikan ciri-ciri yang begitu kuat, yang menarik perhatian dan mengingatkan akan wanita-wanita besar pada masa lampau.
Warisan yang kaya ini berasal dari daerah pangeran-pangeran perang dan kejantanan dari berbagai macam bangsa yang tak terelakkan telah membuat Piedmont melebihi daerah-daerah lain di peninsula itu dan menjadi tanah “para pejuang, pemimpin negara dan tanah para Santo”.
Walaupun ia baru berusia satu tahun ketika revolusi Perancis pecah, untuk beberapa tahun sesudahnya ia mendengarkan dengan mata terbelalak cerita-cerita horor dari 50.000 pengungsi yang berhasil lari dari teror dan pisau jagal di sepanjang pegunungan Alpen.
Ia baru berusia enam tahun ketika ia mendengarkan kejadian detik-detik berdarah menyusul revolusi dan merupakan akibat dari kesuksesan Napoleon Bonaparte. Tahun 1799 ia menguasai Piedmont dan pada saat kerusuhan dan penjarahan yang menyusul setelah naiknya harga makanan di Chieri, seseorang yang bernama Francisco Bosco ditangkap dan dieksekusi bersama tahanan lainnya. Sejak saat itu orang-orang Perancis datang secara permanen dan sejak saat itu Piedmont tidak pernah bebas dari tentara. Ia dapat mengingat dengan jelas suara bel-bel yang memanggil para pria untuk mengangkat senjata guna membela Raja Charles Emanuel IV dan untuk melawan tentara Perancis serta bagaimana orang-orang yang lebih tua mengkritik para tentara itu akan ucapan-ucapan mereka yang bombastik dan sok pahlawan namun jauh dari kenyataan, selalu menjanjikan kemenangan namun tidak pernah mencapainya.
Orang-orang selalu berpikir tentang perang. Pembuatan seragam para tentara adalah bisnis yang maju, banyak dari seragam-seragam ini hampir seperti pakaian opera. Seragam dan pikiran akan kemuliaan dan kehormatan telah menghiasi karir militer bagi kalangan kelas atas. Bagi orang-orang biasa, menjadi tentara juga sangat menarik. Penduduk desa yang miskin tidak mempunyai masa depan yang lebih baik daripada kehidupan kerja keras di ladang pertanian sehingga dapat menemukan bahwa gaji, seragam dan harapan petualangan yang ditawarkan oleh militer menawarkan masa depan yang lebih menyenangkan, lagi pula kemenangan yang baru saja diperoleh Napoleon telah membutakan mata mereka akan tragedi perang. Dua puluh lima ribu orang Italia mati untuk Napoleon di Spanyol, dan lima belas ribu orang mati di Rusia. Jumlah ini berasal dari batalyon yang seharusnya melakukan penyerangan awal, namun sekarang orang-orang mulai bertanya-tanya apa yang seharusnya dilakukan Perancis, Rusia dan bahkan Turki di peninsula itu?
Margareta mempunya alasan untuk mengingat hal itu karena pada masa itulah ayahnya dipaksa untuk ikut berperang.
Ia baru berusia sembilan tahun ketika utusan Napoleon dan para revolusioner bangkit untuk melawan Raja Charles Emanuel IV. Orang-orang berdiri untuk membela raja mereka sehingga hukuman mati dan pembunuhan menjadi perintah harian yang biasa. Tentara Perancis berbaris pada tahun selanjutnya untuk membalas, walaupun para penduduk marah karena kekejaman mereka. Orang-orang Napoleon kemudian menjalankan hukuman yang kejam yaitu menyeret orang-orang yang mereka curigai dari rumah atau tanah pertanian mereka dan menembak di tempat siapapun yang ketahuan membawa senjata.
Dia adalah Napoleon yang telah mengkosongkan gereja-gereja dari benda-benda seni dan barang-barang berharga lainnya, serta menaruh para pastur di bawah pengawasan dan memaksa mereka untuk mengajarkan katekismus dengan penuh kesalahan, bahkan telah mencuri bel-bel untuk dilebur guna membuat meriam, dan pada akhirnya mengambil anak-anak mereka untuk menarik meriam. Setelah mendengarkan sumpah serapah mereka terhadap orang-orang yang telah melakukan hal ini sepanjang hidupnya, Margareta tidak bisa mengerti mengapa setiap kali ia pergi ke gereja ia diharuskan bersama seluruh umat lainya untuk berdoa agar surga melindunginya.
Ia baru berusia sebelas tahun ketika ketika Austria bersekutu dengan raja untuk melawan Perancis dan kemudian menguasai Piedmont. Hal in berarti kenaikan pajak lagi dan pengumpulan para pria untuk dijadikan tentara serta menangkap para pria yang melawan mereka. Makanan menjadi sangat langka seperti tidak pernah terjadi sebelumnya karena pihak penguasa melarang impor gandum dari Lombardi yang menyebabkan terjadinya kelaparan di daerah itu.
Setelah beristirahat sebentar, pemimpin pasukan itu mengeluarkan sebuah perintah yang tegas. Para tentara kemudian bangkit dan mematikan pipa rokok mereka, mengancingkan seragam mereka dan menaruh sadel di atas kuda mereka. Pada perintah yang kedua mereka menaiki kuda dan lantas pergi, beberapa dari mereka dengan bercanda melambaikan tangan kepada gadis yang telah melawan mereka, namun ia tidak menghiraukan mereka dan malah memperhatikan jagung-jagungnya.
Ketika hari berlanjut gadis itu hanya dapat mendengar sedikit suara dari sisi desa kecuali suara gonggongan anjing, suara wanita mengomel dan teriakan anak-anak kecil yang sedang bermain. Ketika sore mendekat suara-suara itu digantikan dengan suara kereta kuda dan keledai yang membawa ranting-ranting bakar dan suara bel sapi dan kambing yang semuanya berjalan pulang untuk beristirahat.
Hanya pada hari minggu atau hari-hari pesta gereja seluruh pedesaan bergema dengan suara bel-bel yang riang dari gereja kecil yang berada pada puncak bukit. Gereja Margareta adalah gereja yang berbatu bata merah di bukit yang menyimpan data tentang kelahiran dan pembabtisannya di desa Capriglio.
Para pejuang dan pemimpin negara yang besar memang telah menghiasi sejarah halaman Piedmont, tetapi santo-santo mereka telah memberikan banyak kemuliaan sejarah dan cukup banyak untuk menambah daftar mereka ke daftar universal gereja. Penguasa tradisionalnya yaitu keluarga Savoy boleh membanggakan santo-santa yang berasal dari keluarga mereka. Kolam dimana gadis itu menerima pembaptisannya telah melihat pembaptisan tiga orang Santo dan jika kita bertanya, nama Catollego, Caffasso, Lanteri, Bertagna dan banyak lainnya akan segera muncul di pikiran orang-orang.
Agama yang didasarkan pada praktik-praktik keagamaan, tradisi dan upacara yang sudah berusia berabad-abad, pada sakramen- sakramen dan pada empat hal terakhir (kematian, penghakiman, surga dan neraka), membentuk sebagian dan seluruh kehidupannya. Semua hal ini diajarkan kepadanya dalam katekismus yang dijelaskan dalam homili-homili dan ditegaskan lewat penyelenggaraan Ilahi sehari-hari dan oleh ritme musiman alam.
Sekarang yakin bahwa dengan kepergian kuda-kuda itu maka jagung-jagungnya akan aman dan menilai dari tingginya matahari bahwa kerja harianya telah selesai, gadis itu menaruh tongkat garpu di atas bahunya, menggulung roknya dan mulai mendaki jalan yang curam melewati barisan pohon anggur. Anggur-anggur yang sudah matang mengeluarkan baunya yang tajam, menandakan bahwa musim untuk menuai anggur segera datang. Menuai dan memeras anggur, piknik-pikniknya dan pesta-pestanya, semuanya menjanjikan saat-saat yang gembira. Pikiran tentang hal ini menghapus pikirannya atas kejadian yang baru saja dialaminya, kemudian ia tersenyum selagi melepas sepatunya yang berat dan kemudian masuk ke dalam rumahnya.
2
Hidup Yang Penuh
“Bangun…! Semua bangun!”
Dominica Occhiena memulai hari itu dengan membangunkan anggota keluarganya pada pagi hari, dari Mariane yang masih berumur empatbelas tahun hingga Michael yang baru berumur empat tahun. Di tengah mereka ada Margareta yang baru berumur sebelas tahun dan Francis yang berumur delapan tahun, serta Lucy yang berumur enam tahun. Reaksi yang bermacam-macam muncul, dari reaksi anak-anak yang lebih tua hingga yang paling muda. Karena Michael tidak bisa bangun sendiri, ia menaruh tangannya di bawah ketiaknya, mengangkatnya dan menaruhnya di atas kakinya sendiri di lantai dimana ia berdiri terhuyung-huyung sambil menggosok-gosok matanya sendiri.
Rumah Occhiena adalah rumah yang lapuk dan tua. Plester biru dan dindingnya yang tua terus mengelupas, tetapi tumbuhan yang merambat membantu menutupinya dan frame pintu serta jendelanya haus oleh cuaca dan tidak dicat. Akomodasi di dalam rumah terdiri dari ruang dapur, ruang duduk yang besar yang merupakan satu-satunya ruangan yang mereka beri penghangat pada musim hujan, sebuah kamar tidur di lantai bawah, dan di lantai atas ada dua kamar tidur yang lebih kecil. Satu sisi rumah dijadikan kandang dan sebagian tempat di atasnya menjadi tempat penyimpanan jerami dan persediaan pada musim dingin semuanya dilindungi atap dari genteng terra-cotta yang bergelombang. Rumah itu sendiri berhadapan dengan pemandangan yang menakjubkan dari bukit-bukit dan lembah-lembah yang memanjang ke barat, dan di rumah itulah tinggal keluarga Occhiena dengan kelima anak mereka. Lima anak lainnya hanya menikmati umur yang pendek. Kematian bayi-bayi adalah fakta menyedihkan yang harus dihadapi oleh para ibu. Mempunyai banyak anak adalah perlindungan alam untuk menghapus perasaan sedih akibat kehilangan. Bagi keluarga yang lebih miskin, hal ini juga adalah masalah dalam segi ekonomi yang berarti 4 mulut lagi yang harus diberi makan dan juga berarti lebih banyak tangan yang dapat bekerja. Melchior Marcus Occhiena adalah lelaki yang kuat dan sehat pada usia empat puluh tahun dan istrinya Dominica née Bossone berumur sama dengan suaminya, tetapi tubuhnya agak lemah.
Capriglio adalah di mana desa keluarga Occhiena tinggal, dan desa itu adalah salah satu desa yang membentuk kota Catelnuovo yang mempunyai sekitar empatratus penduduk. Bukit di mana rumah Margareta berdiri adalah bukit yang lebih kecil dari perbukitan Capriglio dan dianggap bagian kecil dari Capriglio dan diberi nama Gecca Di Gaia (Gecca yang berati burung Magpie atau gosip). Bahkan penduduk dari komunitas yang terkecil selalu bersemangat untuk mempertahankan identitas mereka.
Data-data sejarah yang selamat dari perang menunjukan bahwa keluarga Occhiena telah menunjukan keterikatan yang kuat dengan desa mereka karena satu keturunan setelah yang lain telah memilih tinggal disini sehingga keturunan Occhiena yang tinggal di Capriglio berjumlah ratusan orang. Nama ini cukup dikenal bahkan hingga sekarang di Capriglio. Di dalam berita dan daftar orang-orang yang meninggal pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, nama ini tidak berhubungan dengan nama kebangsawanan namun dapat membawa jauh menuju ke belakang sejarah daerah itu.
Karena tidak ada penduduk Capriglio yang kaya, keluarga Occhiena dapat dianggap hidup dalam situasi yang nyaman, selalu ada cukup makanan di meja untuk memuaskan anggota keluarga yang paling lapar sekalipun, dan pakaian hanya memerlukan sedikit biaya karena pakaian-pakaian mereka dibuat agar tahan lama agar dapat diwariskan seperti penduduk-penduduk desa yang lain, dan tidak ada dari antara mereka yang mengenyam pendidikan sehingga untuk semua hal yang membutuhkan kemampuan membaca dan menulis mereka memanggil pastor, yang tidak seperti orang lain di pasar, melakukannya tanpa harus dibayar.
“Hari ini adalah hari yang tepat!” panggil papa dari halaman. Ia membuat Margareta bertanya-tanya bagaimana ia tahu bahwa hari yang tepat bukanlah kemarin atau besok? Hari ini adalah hari yang tepat untuk memetik anggur-anggur karena ada banyak hal tentang pembuatan anggur dan hanya papalah yang tahu, tapi seperti pembuat anggur yang lain ia tidak pernah mau membagikan rahasianya.
“Cepat, cepat! Kita tidak bisa menghabiskan waktu seharian di rumah, Mariane …!”
“Ya, Papa?”
“Ikatlah bambu itu ke kereta. Margareta !”
“Ya, Papa?”
“Ambil keledai kita dan siapkan keranjang-keranjang.” Margareta memang biasanya diberikan tugas yang lebih berat.
“Francis…!”
Satu demi satu semua anggota keluarga menerima perintah mereka untuk hari itu karena perintah papa mempunyai efek mempercepat persiapan. Hal itu berarti mandi yang cepat dan sarapan dengan roti buatan sendiri yang ditemani dengan sepotong polenta dan dibantu dengan seteguk air atau anggur.
Ketika semua orang akhirnya siap, Margareta telah menyiapkan dua buah keranjang besar yang ia taruh di atas dudukan kayu yang berbentuk U yang ada di punggung keledainya, sementara itu Mariane mengurus kereta yang ditarik oleh dua kerbau yang bertanduk panjang. Namun, anggota-anggota keluarga yang muda mengikatkan ke punggung mereka masing-masing sebuah keranjang, di mana mereka akan menaruh anggur yang telah mereka petik.
Margareta menuntun keledai itu menuju halaman untuk menerima sinar matahari pagi pada bulan Oktober yang cerah. Di sebelah utara sinar matahari tampak berkilat karena berada di puncak es Monte Rosa, dan lebih jauh lagi ke timur tampak ratu dari pegunungan Alpen, Mont Blanc tertutup warna putih dan sangat kontras bersanding dengan langit biru simbol dari kemurnian alam yang belum tersentuh oleh manusia. Dari tempat Margareta berdiri ia tidak hanya dapat melihat puncak yang bersalju itu tetapi juga tanah sebelah selatan yang datar dan membentuk padang Montferat yang subur dan terpecah pecah oleh bukit yang tak terhitung banyaknya. Yang tertinggi diantaranya adalah Capriglio sendiri, yang berdiri setinggi 17 000 kaki. Betapa ia begitu mengenal bukit itu dan jalan setapak di sekitarnya karena ia dan teman-temannya telah menyusuri tiap centimeter bukit itu, seorang harus menjadi pejalan kaki yang baik untuk dapat tinggal di bukit itu. Ia mengenal dan mencintai bukit-bukit itu dan akan dengan senang hati untuk menghabiskan seluruh hidupnya di sana. Bagi sifat keitaliannya tempat ini juga berarti “rumah” seperti juga rumah di mana ia makan dan tidur
Dari bukit-bukit inilah kota Torino atau Turin, ibukota provinsi itu, mendapatkan namanya. Tor adalah dari bahasa Celtic yang artinya bukit, dan para penduduknya dikenal sebagai Torinesi atau “orang-orang bukit”. Di bawahnya terdapat hasil karya para nenek moyangnya, lantai karpet yang berganti warna setiap berganti tumbuhan panen dan yang ditandai dengan barisan semak-semak mulberry yang gelap atau pohon-pohon willow yang hijau muda tetapi alam sendiri lebih kaya, dengan menumbuhkan pada dataran yang tinggi pohon-pohon pinus dan akasia dan di dataran yang rendah terdapat pohon plane, oak, dan elm dan sisinya dogwood berwarna pink dan putih dari fulsia berwarna keemasan. Dalam segala kekayaan ini pegunungan Alpen juga memainkan peranannya yaitu menyediakan perlindungan terhadap angin yang membeku yang melewati lembah-lembah sehingga pada awal musim dingin bukit-bukit itu tetap hijau dan pada musim panas anginnya yang sejuk membuat matahari yang dapat tertahankan selagi daerah-daerah yang lainnya kepanasan. Terhadap alam, para petani tidak takut, terhadap panas yang berlebihan maupun dingin yang menusuk tulang. Apa yang mereka takutkan adalah badai es yang disertai dengan angin ribut yang dapat lebih banyak menghancurkan tanaman panen dari pada pasukan invansi manapun. Secara keseluruhan daerah itu adalah tanah dimana gunung dan lembah yang berefek terhadap tananaman panen sehingga membuat manusia selalu sadar akan kekuatan dan kehadiran tuhan.
“Margareta!”
“Ya, Papa?”
“Berhentilah melihat pemandangan dan mulailah bekerja!”
“Ya, Papa!”
Bekerja di pertanian, Margareta menyadari sejak awal hidupnya, adalah urusan sepanjang tahun. Hal ini dimulai pada musim semi dengan pembajakan tanah, pembersihan saluran air, sambil memperhatikan cuaca; bunga kecil yang akan menjadi anggur yang perlu disemprot dengan obat segala penyakit anggur, yaitu Chopper-Phosphate dan ia juga lebih banyak menyangkul di antara cabang-cabang pohon anggur yang berlanjut pada musim panen yang berati hari-hari dimulai pada saat matahari terbit dan berakhir jauh sesudah matahari tenggelam, namun masa panen adalah masa yang bahagia dimana Margareta dan teman-temannya akan bekerja, tertawa dan berpiknik bersama sampai semua tanaman di desa selesai dipanen.
Dengan harus berurusan dengan alam saja seorang petani dapat dengan tenang hasil kerjanya karena alam menyediakan cukup anggur, ia dan keluarganya dapat makan dan menmpunyai pakaian, tetapi ini bukanlah hadiah yang dijatuhkan dewa-dewa kepangkuannya , hal ini ia peroleh dari kerja keras dari tanah yang ia tanami dengan kerja keras sehingga tidak ada sepetak tanah yang terabaikan dan siap bukit tertutup dengan pohon-pohon anggur atau terisi dengan pohon-pohon apel, peach, plum apriokat dan pear.
Pada tahun yang baik ada banyak tanaman yang dapat dipanen, hal in berarti keuntungan ada pada keluarga Occhiena yang hidup di salah satu daerah yang subur di Eropa. Oat, gandum , barley, maize, hemp, semuanya dapat tumbuh dengan mudah di tanah ini, begitu juga semak-semak murbey yang menyediakan makanan untuk ulat sutra bahan industri yang penting dan tembakau yang disiapkan oleh para isti untuk suami mereka.
Dari seluruh saat-saat yang bahagia dalam hidup Margareta, tidak diragukan lagi musim yang paling membahagiakan adalah musim membuat anggur. Tidak ada tananman lain, tidak peduli betapa subur atau banyaknya, menerima begitu banyak cinta seperti anggur karena tidak ada tanaman lain yang dapat membawa begitu banyak kemakmuran atau ketenaran bagi lembah itu. Di daerah ini kata-kata penduduknya penuh dengan kesombongan dan mengalirlah anggur-anggur yang akan menghiasi meja-meja di seluruh dunia, diantaranya adalah Barbera, Nebiollo, dan Freisa dan sebagai konsuensinya, persiapan untuk menangani anggur-anggur dimulai jauh sebelum perjalanan untuk memetik anggur. Pada waktu itu, tong-tong penyimpan anggur-anggur, keranjang kayu dan semua peralatan yang bersentuhan dengan anggur harus dibersihkan sebersih-bersihnya.
Sesampainya di kebun anggur, para orang tua dan anak-anak bekerja menelusuri kebun anggur dan memotong buah-buah anggur itu dan menaruhnya di keranjang. Anak yang lebih muda bekerja menaruh anggur pada keranjang di punggung keledai dan sewaktu keranjang itu penuh, isinya dipindahkan ke gerobak, dan ketika isi gerobak itu penuh maka gerobak itu dibawa menuju rumah di mana papa akan mengurus tahap selanjutnya.
Keluarga itu bekerja terus sepanjang barisan anggur itu, mengingatkan Margareta kepada sekelompok kumbang besar yang sedang memakan buah beri di semak-semak. Ketika matahari sudah mulai naik lebih tinggi, mereka telah memenuhi keranjang dengan anggur dan jari-jari mereka dinodai warna unggu yang gelap dan juga pada lengan siku dan bagian tubuh lainnya yang telah menyentuh anggur.
Namun, kerja tetap diteruskan hingga bel dari gereja Murialdo berbunyi yang menandakan waktu berdoa Malaikat Tuhan dan suara bel itu segera diikuti oleh suara bel lainnya dilembah sehingga membentuk paduan suara bel-bel yang saling bersahutan. Tanpa bersuara sedikitpun, para aggota keluarga saling berkumpul di sekitar Papa di bawah kebun anggur. Mendaki dan menuruni jalan yang curam di kebun anggur adalah pekerjaan yang sangat melelahkan punggung bagi siapapun, terlebih lagi di bawah terik sinar matahari.
“Maria menerima kabar dari Malaikat Tuhan …”
Ketika doa itu selesai, seperti seorang kepala suku, Papa membuka lebar lengannya, “Mari makan,” katanya.
Dengan teriakan senang, anak-anak berlari menuju mama yang telah menyediakan makan siang bagi mereka di bawah pohon elm yang sangat besar. Di sanalah mereka duduk membentuk lingkaran dan mama memberikan masing-masing bagian makanan dan minuman mereka, pada acara special itu ditambah dengan potongan-potongan salami yang menambah nafsu makan mereka.
“Sekarang, setelah kalian menyelesaikan makan siang kalian,” kata Papa setelah mereka selesai makan, “aku ingin kalian semua beristirahat karena kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan”, kemudian seluruh anggota keluarga mencari tempat untuk beristirahat sejenak.
Margareta berbaring pada tanah berumput yang lembut dan mengalihkan pandangannya, pertama-tama ke langit lalu ke puncak-puncak pohon. Margareta belum memutuskan sikapnya terhadap alam. Musim dingin yang membekukan dan kerja berat yang melelahkan punggung serta kesia-siaan untuk mengulangi kerja ketika cuaca berbalik melawan seseorang dan terutama patah hati ketika tananman panen gagal. Sikap kasar orang-orang yang bekerja di tanah pertanian dan tidak peduli terhadap pakaian yang kotor, tidak memberikan kenyamanan, namun pada sisi lain ada alam yang indah dan menajubkan, pamandangan bukit, lembah dan gunung, saat surga dan bumi tampaknya sedang tersenyum.
“Hee haw…! Hee haw…! Hee haw…!” Suara itu mengejutkan Margareta sampai ia menyadari apa yang terjadi.
“Aku lupa memberi makan keledai,” serunya. Ia segera berdiri dan melakukan tugasnya yang sangat penting ini. Jika ada satu hal yang papa terus ingatkan kepada mereka yaitu binatang harus diurus bahkan sebelum mengurus diri sendiri.
Ini adalah satu hal yang megherankan baginya yaitu pengertian yang mendalam antara Papa dengan binatang piaraan mereka. Seperti tidak peduli Papa hanya menghadiahi mereka tak lebih dengan tepukan di kepala atau kata-kata singkat, akan tetapi ia akan memastikan bahwa mereka telah diberi makan dan dijaga. Sebaliknya anak-anak akan memperhatikan mereka seakan-akan meereka adalah kesayangan mereka melebihi segala sesuatu di dunia ini, tetapi setelah bosan ia akan meninggalkan mereka tanpa ada rasa bersalah.
“Ayo, anak-anak,” panggil Papa, “kita telah cukup beristirahat.”
Mendengar kata itu, keluarga itu bangkit untuk memulai setengah pekerjaannya yang kedua, namun Papa kembali k erumah untuk bersiap-siap menangani gerobak pertama yang penuh dengan anggur.
“Margareta!” panggilnya sebelum ia pergi, “bawalah gerobaknya kembali ke rumah.” Sewaktu Margareta kembali ke rumah, ia sudah menemukan Papa berpakaian kerja dan kaki telanjang serta bercelana pendek. Walaupun ia menganggap hal itu lucu namun ia tidak akan tertawa di depan ayahnya sendiri sekalipun jika ia dibayar.
Pertolongan Margareta dan yang lain selesai di wadah yang besar untuk membawa anggur itu dari kebun ke tempat itu dan untuk menginjaknya diharapkan pertolongan semua orang. Tetapi setelah itu hanya Papa yang boleh menyentuh air anggur itu. Dengan fermentasi ia akan menambahkan (secara rahasia) sedikit garam, sedikit gula, sedikit ini dan itu sehingga ia benar-benar puas dengan rasanya, sampai ia menuang anggur itu ke dalam tong-tong di mana anggur-anggur itu akan disegel dan siap untuk dijual. Semuanya itu ditangani sendiri oleh Papa. Ini adalah proses yang dapat mengubah cairan buah anggur menjadi air anggur yang baik dan yang hebat. Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk menanganinya dan masing-masing menghasilkan anggur yang berbeda-beda, yaitu lebih buruk atau lebih baik dibanding tetangganya, masing-masing yakin bahwa metodenya memberikan kualitas istimewa pada anggurnya dan memberikan keberanian untuk meminta harga yang lebih tinggi ketika menghadapi para pembeli. Pada masa itu para pembuat anggur di Piedmont cenderung meminta harga yang baik, sejak revolusi Perancis yang efeknya merusak kebun-kebun anggur sehingga membuat harga anggur melonjak tinggi.
Musim untuk membuat anggur selalu diikuti dengan pesta-pesta dan festival-festival yang menyenangkan hati orang-orang tua dan muda. Tetapi semuanya berlalu dengan cepat dan memberi jalan bagi datangnya musim dingin. Bagi Margareta hal ini adalah pekerjaan memotong ranting di udara yang dingin dan mengumpulkannya untuk kayu bakar karena
batu bara sangat mahal. Ketika musim dingin datang maka pekerjaan bagi orang muda adalah tinggal di rumah dan mengupas chestnut dan menggantungkannya hingga kering sehingga kemudian dapat digunakan untuk sup dan berbagai jenis masakan lainnya, namun orang muda menganggapnya lebih menyenangkan untuk dibakar dan dimakan sambil berdekatan agar hangat di dekat kandang dan tumpukan jerami sambil mendengarkan cerita-cerita hantu dongeng atau legenda, selagi di luar angin dingin bersiul melewati pohon-pohon dan bukit-bukit. Untuk para wanita, musim dingin adalah menjahit, merajut dan membuat kotak-kotak dan menganyam keranjang sambil menggosip. Untuk para kaum lelaki, hal ini berarti waktu untuk memperbaiki bagian dalam rumah dan alat-alat kerja serta mengurus ternak.
Ketika Margareta bangun setiap pagi hal itu berarti memulai hari yang penuh yang menjadi jatah hari kerja setiap anak pedesaan. Satu-satunya perbedaan di antara dia dengan teman-temannya adalah ketika ia bertambah besar, ia selalu mendapat reputasi karena ia selalu mengerjakan pekerjaan lebih dari bagiannya bahkan sebanyak bagian laki-laki dewasa.
Ia merasa berkewajiban untuk mendorong dirinya sendiri sejak ia menyadari bahwa seluruh hidup ayahnya adalah usaha secara terus-menerus untuk mengejar alam dan juga hutang. Atap yang kering di atas kepala, lantai yang kering di bawah kaki, dan perut yang kenyang di tengah-tengahnya adalah satu-satunya kemakmuran yang dapat diharapkan orang-orang seperti keluarga Occhiena dari dunia ini. Namun untuk dirinya, hidup lebih dari hal-hal itu, selain berkumpul dengan keluarga dan teman-teman serta pesta yang kadang-kadang diadakan. Untuk Margareta, agama adalah sumber penghiburan dan kekuatan yang terus menerus.
Makan malam telah selesai dan para wanita akan segera membersihkan piring-piring dan Margareta akan memimpin rosario keluarga, dan setelah itu mereka akan mengunjungi tetangga, kecuali ada “devosi” yang diadakan di gereja yang mudah dijangkau dengan berjalan kaki dan anak-anak akan diperbolehkan pada siang hari pergi keluar untuk bermain. Di samping itu, ayah akan bekerja satu jam lagi atau berkunjung ke rumah teman untuk minum anggur dan beramah-tamah.
Itu adalah sebuah dunia kecil yang sederhana yang terbatas oleh kegiatan-kegiatan seperti itu, dimana anak-anak dapat dilahirkan dan tumbuh lalu kemudian menikah hingga meninggal. Semua ini hanya terjadi dalam wilayah yang beberapa ratus hektar saja.
Ketika malam tiba kegelapan menyelimuti daerah itu dan hanya diterangi oleh cahaya rumah-rumah pertanian yang saling berjauhan atau dari cahaya lampu yang merayap di sepanjang jalan yang dibawa oleh seorang yang terlambat pulang ke rumahnya dan kemudian semuanya pergi tidur. Lampu-lampu itu mati, seolah-olah desa itu menarik selimut untuk menutupi kepalanya dan desa Capriglio mengesampingkan seluruh kejadian hari itu untuk beristirahat tidur dalam ketenangan sepanjang malam.
3
“Ikutlah dengan kami, Margareta. Mari pergi ke pesta dansa itu dan bersenang- senang!”
Margareta melihat ke teman-temannya untuk sesaat, memperhatikan, selain hal-hal lain, bagaimana ia tidak dapat bersenang-senang. “Aku pikir aku tidak akan pergi,” akhirnya ia berkata. “Aku mungkin memilih berdansa dengan iblis. Lagipula, aku telah banyak berjalan bolak-balik ke gereja dan aku tidak ingin bejalan lagi.”
Ada sesuatu dalam kata-katanya ini, karena jarak rumahnya dan gereja tidak begitu jauh, namun bukit-bukit di antaranya membuatnya cukup melelahkan bahkan bagi orang yang paling bersemangat untuk satu hari. Namun alasan sebenarnya dari penolakannya itu adalah bahwa pada masa-masa sulit itu pesta dansa telah turun martabatnya menjadi hal yang kurang sopan, yang membuat para Pastor terus melarang hal itu. Sikap Margareta dan pengaruhnya yang besar, cukup untuk membuat para gadis itu setidaknya berpikir dua kali tentang apa yang akan mereka lakukan.
Margareta bertumbuh menjadi seorang gadis yang menarik yang dapat menarik perhatian para perjaka desa. Karena setiap minggu pagi, agar para keluarga yang lain dapat pergi ke gereja, ia mengikuti misa selanjutnya, beberapa lelaki muda memutuskan untuk menunggunya, berharap agar ia mau membiarkan mereka menemaninya. Segera setelah ia muncul, mereka berusaha untuk berjalan di sampingnya. “Berusaha” adalah kata yang tepat, karena setelah ia menyadari maksud mereka, ia membuat mereka frustasi dengan cara bejalan begitu cepat sehingga ketika para lelaki itu sampai di gereja, mereka telah kehabisan nafas dan terlihat bodoh. Strateginya yang lain adalah memilih sebagai temannya ke gereja wanita yang paling jelek dan tidak menyenangkan. Satu pandangan kepada wanita ini cukup untuk menakuti pria tertarik manapun! Di gereja, Margareta dapat merasa tenang karena pria dan wanita duduk di dua sisi yang berbeda. Karena pada masa itu banyak perang di Piedmont, populasi wanita jauh lebih besar dari pada pria, kejadiaan ini menjelaskan sesuatu tentang daya tarik Margareta.
Ketika ia bertambah dewasa, ia mempunyai makin sedikit waktu luang, dan kerena Mariane lebih memilih pekerjaan di luar rumah dan ibunya sering sakit-sakitan, semakin banyaklah ia dipercayakan dengan tugas-tugas di dalam rumah. Dengan segera, ia menjadi yang bertanggung jawab menyiapkan makanan untuk keluarga. Namun, di sekitar rumah Occhiena hal ini adalah hal yang sederhana, terdiri dari polenta atau sup lenti sebagai hidangan utama, ditemani oleh keju, sayur-sayuran, air anggur dan roti buatan sendiri. Daging sangat mahal dan jarang terlihat di meja makan. Jika ada, itu merupakan hasil buruan Papa.
Tugasnya yang lain termasuk juga pergi bersama adik laki-lakinya ke pasar, khususnya ke pasar di Castenouvo, untuk menjual apapun hasil pertanian pada musim itu, untuk membayar pajak pemerintah dan untuk membeli apa pun yang diperlukan di rumah. Karena panas dan debu jalanan, serta harus mendaki bukit yang curam membuat perjalanan ini tidak begitu menyenangkan. Jalan baru yang lebih pendek merupakan milik sebuah keluarga yang bernama Bosco. Margereta, istri dari Francis Bosco, mengundangnya mampir ke rumahnya yang terletak di tengah-tengah perjalanan itu. Karena telah bertemu dengan Margareta Bosco beberapa kali, ia senang hati menerimanya. Mereka berdua sering pergi ke gereja di Capriglio, di Murialdo, dan kadang-kadang ke gereja paroki di Castelnouvo, dan mereka berdua menganggap agama sebagai satu hal yang sangat serius. Seperti keluarga Occhiena, keluarga Bosco adalah orang-orang sederhana yang memiliki beberapa hektar tanah. Becchi, desa di mana mereka tinggal, hanya merupakan kumpulan tujuh atau delapan rumah yang tersebar di puncak bukit di barat daya lembah dan mandapat namanya dari orang yang pertama kali bermukim di situ.
Keluarga Bosco tinggal di rumah kecil yang menempel pada rumah besar milik Biglione, sang pemilik tanah. Adalah kepentingan Biglione agar keluarga Bosco mendapat rumah yang nyaman dan berkecukupan karena Francis adalah mandornya dan Francis mempunyai reputasi sebagai orang yang efisien dan dapat dipercaya.
Selagi Margareta sedang melanjutkan kehidupan biasanya yang sibuk, sejarah sedang terjadi. Sayangnya, sejarah itu terdiri dari peristiwa-peristiwa yang tidak membawa damai atau kemakmuran di Piedmont. Pajak menjadi beban yang tidak tertanggungkan oleh orang miskin, dan bahkan bagi mereka yang tidak terlalu miskin, pajak itu cukup berat untuk membuat mereka menjadi sangat miskin.
Di Marengo, Napoleon mengalahkan Austria di perang yang bersejarah – perang di mana ayah Margareta turut berperan – lalu melancarkan sebuah kampanye kepada para perampok, kriminal, dan tentara disertir yang telah meneror daerah pedesaan sampai akhirnya setiap desa harus dilindungi oleh tentara bersenjata untuk melindungi rumah-rumah dan hasil-hasil panennya. Pada tahun selanjutnya, kehadiran tentara-tentara asing mulai bicara tantang daerah yang tidak beruntung itu. Pada perang itu, Piedmont pindah tangan dari Perancis, ke Austria, ke Perancis lagi dan akhirnya ke Austria. Jika orang-orang di Turin menganggap pantas untuk membuat pakain baru setiap kali ada penguasa baru, orang-orang di pedesaan, tidak mempedulikan mereka dan gaya busana mereka, hanya meminta agar mereka dibiarkan hidup damai agar dapat mengolah tanah mereka dan tidak dipajaki sampai mati, sebagai balasan atas dukungan mereka terhadap tentara-tentara yang mereka benci.
Margareta tumbuh menjadi wanita dengan jiwa bebas, yang dianggap oleh tetangganya merupakan jodoh yang baik. Beberapa lelaki telah memintanya untuk menikahi mereka, tetapi mereka ditolak. Ia nampak seperti seorang yang tidak akan menikah, memilih untuk hidup sendiri, melakukan apapun yang diharapkan keluarganya di rumah dan memperhatikan kewajiban-kewajiban agamanya. Namun, ketika seorang wanita mencapai umur 24 tahun, orang-orang berharap agar ia untuk menikah dan pindah dengan suaminya ke rumah yang baru. Kecuali jika ia berkeinginan masuk biara. Ketika Margareta tidak menunjukkan keinginan untuk masuk biara, gosip-gosip menyimpulkan bahwa karena kehidupannya baik namun ia tidak mau menikah, hal itu karena ia terlalu mandiri untuk diikat oleh suatu aturan, dan terlalu terbiasa memimpin untuk dapat dipimpin orang lain.
Apapun yang mereka katakan atau pikirkan, tidak membuat Margareta kuatir sama sekali dan terus menjalani hidupnya dengan gembira.
Dalam perjalananya pulang dari pssar Castelnouvo, ia terus singgah di rumah Bosco untuk menceritakan kabar menarik apapun yang ia dengar di kota. Keluarga Bosco selalu memaksanya agar ia menerima setidaknya minuman penyegar sebelum ia melanjutkan setengah pejalanan pulangnya. Sebagai balasanya, Margareta akam memberi si kecil Antonius sedikit roti yang ia beli dari pasar, dan sedikit buah-buahan untuk ibu Fracis yang sudah tua – yang juga bernama Margareta – yang begitu gembira bahwa mereka bertiga mempunyai nama yang sama! Francis Bosco jarang ia lihat, karena pada siang hari ia biasanya sedang bekerja, dan dia hanya pernah bicara dengannya satu kali yaitu ketika dia memberi salam yang sopan. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang dirinya adalah bahwa dia memiliki reputasi sebagai seorang yang takut akan Tuhan dan seorang pekerja keras.
Suatu hari, Margareta memanggil dari depan rumah keluarga Bosco dan yang keluar menemuinya bukanlah Margareta, tetapi Francis.
“Istriku sedang sakit,” katanya sambil melangkah ke samping untuk mempersilahkannya masuk. Ketika Margareta masuk ke dalam ruamh, ia terkejut melihat perubahan yang terjadi pada penampilan temannya. Antonius kecil sedang menangis dan Granny, ketika ia melihat Margareta, juga menangis. Margareta melakukan semua yang ia bisa untuk menghibur bukan saja wanita sakit itu, tetapi juga para anggota keluarga yang lain.
Sepanjang sakit temannya itu, ia lebih dari sekali menjenguk keluarga Bosco. Setiap kali menjenguk, ia membawa sedikit makanan untuk wanita itu, tapi setiap kali ia berkunjung ia semakin yakin bahwa hidup Margareta Bosco di dunia ini tidaklah lama lagi. Bahkan, ketika ia mengunjungi keluarga itu pada kunjungan-kunjungannya yang terakhir, ia menemukan keluarga itu dalam keadaan putus asa. Mereka baru saja mengunjungi dokter dan mereka tidak mempunyai harapan sama sekali.
Ia membantu menyiapkan rumah itu untuk menerima kunjungan terakhir pastor dan membantu keluarga yang sedih itu menyiapkan jasad Margareta Bosco untuk dikubur. Peranannya juga tidak terhenti di sana karena ia terus mampir di rumah Bosco pada perjalanan pulangnya dari pasar, dan konsekuensi yang menyedihkan akibat kehilangan seorang ibu di rumah itu semakin nampak pada minggu-minggu selanjutnya. Karena ibu Francis sendiri sering sakit-sakitan dan Francis sendiri tidak di rumah karena bekerja sepanjang hari, rumah ini dengan sekejap kehilangan sentuhan seorang wanita. Apa yang menganggunya adalah kurangnya kasih seorang ibu berakibat buruk kepada Antonius kecil. Untuk menggantikan hilangnya pehatian seorang ibu, baik Francis dan Granny memanjakannya supaya ia bahagia. Sayangnya, semua ini mempunyai efek yang sebaliknya sehingga Antonius menjadi, jika bukan seorang anak manja, paling tidak seorang anak yang sangat emosional. Betapa ia berharap bisa melakukan lebih banyak hal untuknya! Ia merasa kasihan pada Francis juga, yang baginya nampak sebagai seseorang laki-laki baik yang tiba-tiba mendapatkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit dihadapi, dengan seorang ibu sakit-sakitan yang harus dirawat, anak yang sulit diurus, dan seharian penuh harus bekerja di ladang.
Francis Louis Bosco lahir pada tanggal 4 Februari 1784, satu dari selusin anak, enam di antaranya telah meninggal dunia ketika ia mencapai umur 12 tahun. Ketika ayahnya juga meninggal, Francis, pada usia 18, telah menggambil alih peran kepala keluarga. Tahun 1801, ia menikahi Margareta Cagliero dan melahirkan dua orang anak, Antonius, lahir tanggal 1 Maret 1808 dan Theresa, yang lahir tanggal 16 Februari 1810, tetapi meninggal dua hari kemudian.
Keluarga Bosco telah hidup lama di perbatasan Castelnouvo, dihormati untuk semangat kerja dan integritas mereka. Francis dapat menelusuri namanya ke belakang sampai pada data tertua kota itu, dimana tahun 1624, nama Bosco muncul di Consegna (daftar laki-laki yang mampu mengangkat senjata bagi raja ) dan di pendaftaran garam, di mana kebutuhan garam setiap keluarga dicatat. Keluarga ini telah banyak mengalami pasang surut kehidupan, terutama akibat perang-perang, dan Francis, dengan kemampuannya menangani masalah-masalah, sekarang dalam proses membangun kemakmurannya. Dengan peristiwa terakhir ini, hal itu tidak akan mudah.
Setelah kematian istrinya, ia benar-benar kesulitan untuk menjaga keteraturan di rumahnya. Karena bekerja sebagai seorang mandor untuk Biglione, sang pemilik tanah, dan juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sampingan lainnya, malam harinya ia tidak mempunyai cukup tenaga untuk apapun kecuali untuk beristirahat. Ibunya terlalu tua dan terlalu lemah untuk bekerja lebih dari menjaga Antonius jauh dari masalah. Bahkan setelah ia mempekerjakan seorang gadis untuk membersihkan rumah dan kadang-kadang dibantu oleh tetangganya, hal itu tidaklah cukup untuk membuat rumahnya sama seperti waktu istrinya masih hidup. Dengan berlalunya bulan demi bulan, dengan drastis rumahnya menjadi kacau tidak terawat. Ia juga tidak buta akan efek semua hal ini terhadap anaknya yang masih kecil.
Ketika ibunya melihat apa yang sedang terjadi, ia memutuskan bahwa sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dan mulai memberi petunjuk-petunjuk kecil dan akhirnya bergabung dengan orang-orang yang telah menasehati Francis untuk menikah lagi. Suatu hari, dengan kebiasannya untuk berterus terang, ia memaksa anaknya untuk memikirkan masalah itu.
“Apa kau tidak berpikir, Francis,” mulainya, “bahwa sudah waktunya engkau mengambil seorang isteri lagi?”
“ Tetapi waktu belum berlalu cukup lama, bu,” jawabnya.
“ Tujuh bulan sudah berlalu,” kata ibunya “tidak ada seorang pun di sini yang menunggu selama itu untuk menikah lagi. Satu bulan atau dua bulan sudah cukup lama. Dan melihat apa yang terjadi di rumahmu, waktu telah berlalu terlalu lama.”
“Haruskah aku mengambil seorang istri karena hal itu?” balas Francis.
“Haruskah engkau mengambil seorang istri karena hal itu?” ulang ibunya. “Kau sudah seharusnya mengambil seorang istri untuk menyelamatkan rumahmu sebelum hancur manjadi reruntuhan! Sudah seharusnya engkau mengambil seorang istri demi kebaikan anakmu yang masih kecil! Itulah sebabnya mengapa engkau harus mengambil seorang istri.”
Francis tidak menjawab. Apa yang dikatakan ibunya adalah benar.
“ Jadi?” paksanya.
“ Siapa yang ada di sekitar sini untuk dinikahi?”
“Apakah kau buta? Tidakkah kau melihat bahwa Margareta Occhiena akan menjadi seorang istri yang pantas untukmu dan seorang ibu yang pantas untuk anak-anakmu? Ia kan seorang Occiena dan itu sudah cukup banyak menceritakan sesuatu. Ia takut kepda Tuhan, suka berkerja keras dan mampu mengatur uang, seorang pengurus rumah tangga yang baik dan ia juga seorang tukang masak yang baik. Jangan katakan bahwa engkau tidak menyadari satu dua hal saat ia ada disini.
Hal ini juga benar. Francis tidak hanya telah mengenal Margareta selagi ia merawat istrinya tetapi ia juga telah mendengar dari tetangganya hal-hal yang baik setiap kali ia mengunjungi kakak perempuannya, Madelene, di Capriglio. Namun, ia masih belum yakin. “Bagaimana aku tahu kalau ia akan menerima lamaranku?”
“Hanya ada satu cara untuk memastikannya,” kata ibunya. “Tanyai dia !”
Setelah menimbang hal itu masak-masak, Francis akhirnya yakin kalau ia harus menikah lagi dan segera menyampaikan lamarannya kepada Margareta. Lamarannya, seperti lamaran-lamaran lain pada masa itu, tidaklah romantis. Hal itu hanyalah sebuah masalah yang praktis, menimbang dengan hati-hati keuntungan dan kerugiannya. Dengan segera, ia ditolak. Sewaktu teman-teman dan saudara-saudaranya ikut memohon kepadanya, Margareta masih berkata tidak dengan alasan ia harus mengurus ayahnya yang sudah tua.
“Mengurus aku ?” adalah reaksi papanya mendengar hal itu. “Jika aku dapat mengurus diriku sejak kecil; jika aku dapat mengurus diriku sewaktu perang, tentu saja aku dapat mengurus diriku sekarang. Dan apa maksudmu tentang ayah yang menua? Kau berpikir bahwa aku akan segera meninggal! Biar aku memberitahumu satu hal, aku tidak mempunyai maksud untuk meninggal dalam waktu dekat. Dan ia benar, ia tidak meninggal sampai usia 92 tahun.
Setelah mendengar itu, Margareta yang sebenarnya bersimpati pada Francis, akhirnya menyerah.
Penjelasan tentang mas kawin (yang diberikan ayah pengantin perempuan kepada menantunya) Margareta tertulis dalam bahasa yang begitu resmi sehingga hanya seorang pengacara yang dapat membacanya! Pada intinya, mas kawin itu terdiri dari uang 250 Lire dan sebuah peti yang berisi pakaian-pakaian dan barang-barang lain.
Masalah antar keluarga terselesaikan, Francis dan Margareta mendaftarkan pernikahan mereka ke Balai Kota, pada tangal 6 Juni 1812, diberkati di gereja St. Andreas di Castelnouvo. Surat pernikahan ditulis dalam bahasa Perancis, data gereja ditulis dalam bahasa Latin dan upacara dilangsungkan dalam Bahasa Piedmont!
Ketika Margareta menikahi Francis, ia datang ke rumah yang tidak dapat disebut kaya, juga tidak miskin untuk standar umum. Selain beberapa hektar tanah, Francis juga memiliki beberapa hewan-hewan ternak – beberapa domba, dua sapi dan beberapa babi dan ayam betina. Francis adalah seorang administrator yang begitu cakap sehingga pemilik tanah mempekerjakan dia sebagai mandor. Bahkan, ia adalah seorang yang sedang menanjak karirnya. Makanan tersedia cukup banyak dan Margareta adalah seorang pengurus rumah yang dapat membuat semuanya dapat bertahan lama.
Mungkin satu-satunya masalah yang harus dihadapi Margereta adalah sikap Antonius. Ia telah begitu lama dimanja dan menjadi pusat perhatiaan sehingga ia melihatnya sebagi orang asing, sebuah ancaman unutk posisinya, dan saingan bagi kasih sayang ayahnya. Satu hal yang tidak ia sukai dan ditunjukan benar-benar adalah ia tidak diperbolehkan untuk tidur bersama ayahnya lagi. Karena Margareta, ia kehilangan hak istimewa dan harus tidur di loteng jerami – sendirian. Walaupun sadar tentang hal ini, Margareta yakin bahwa, jika ia diberi waktu dan kesempatan, ia akan memenangkan kepercayaan dan cintanya.
Dengan cara hidup seperti inilah mereka berempat – Granny, Francis, Margareta, dan Antonius – membentuk sebuah keluarga bahagia. Kebahagiaan mereka bertambah ketika tanggal 18 April 1813, Yosef, anak pertama Margareta, lahir.
Hidup berlanjut bagi keluarga Bosco sampai dua tahun kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1815, Pesta Maria diangkat kesurga – sebuah hari yang baik! – tampak bahwa Margareta akan melahirkan lagi. Tetapi baru setelah lewat tengah malam, pada tanggal 16 Agustus, anak kedua lahir. Suatu tradisi, pada hari selanjutnya, bayi itu dibawa ke gereja St. Andreas, di mana ia dijadikan anak Tuhan dan diberi nama Johanes Melchior Bosco.
Francis kembali dari gereja sebagai seorang lelaki yang sangat bahagia. Ia tidak hanya memiliki tiga orang anak, tetapi ia juga mempunyai seorang istri yang cakap yang telah membuktikan bahwa ia dapat memberikan banyak anak yang akan mengisi rumahnya dengan suara tawa, bekerja berdampingan dengannya di ladang dan untuk meneruskan nama keluarga.
Untuk Margareta, setiap malam ketika ia melihat wajah anak-anaknya yang tidak berdosa sedang tidur, ia merasa tersentuh. Ia, yang telah hidup di tanah yang penuh dengan karya lukisan patung yang hebat, tahu ketika karya-karya besar itu runtuh menjadi debu, ketika waktu sendiri tidak ada lagi, hasil karya seni dalam darah dan tulang ini, anak-anak ini yang ia, Francis dan Tuhan telah jadikan mahluk hidup, akan terus hidup dan, dengan hidup mereka sendiri, memperkaya hidup orang lain dan memberi penghormatan kepada Pencipta mereka. Hal ini bukanlah fantasi; itulah keyakinan yang mendasari imannya.
4
“Sampai Maut Memisahkan Kita”
“Ayah! Ayah! Ayah!” seru mereka serempak, sambil berlari kepada ayahnya. Seperti seorang laki-laki yang baru saja dilepaskan dari beban berat di pundaknya, Francis berdiri tegak dan wajahnya tersenyum lebar ketika mendengarkan mereka.
Yang pertama sampai kepadanya adalah Anthoni. Ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi, menatap wajahnya, gembira melihat dalam wajah anaknya wajah Domenica, istrinya yang terdahulu. Selanjutnya adalah Yosef, anak pertamanya dari Margareta, yang ia goyag-goyangkan badannya dengan kasih sayang, sebelum melepaskannya, terakhir, sampailah Yohanes, yang paling muda. Mengangkatnya, seperti yang lain, ia mengamat-amati wajahnya, untuk menikmati wajah malaikatnya yang ikal dan rambut coklatnya. Kali ini, ia tidak menaruh anak itu turun, tetapi memutar-mutarnya dan mendudukannya di atas pundaknya. Dengan Yohanes memegangnya erat, dan kedua anaknya memegangi tangannya, Francis berjalan berapa meter lagi menuju rumahnya.
“Mama!” panggilnya. “Para lelaki telah sampai!”
Bekerja di pertanian selalu berat, tetapi lebih-lebih pada awal musim semi, dan Francis, terbungkuk, karena kelelahan, telah mendaki bukit curam yang menuju rumahnya. Ia bukan saja telah mengurus tanah miliknya sendiri, tetapi juga tanah milik Biglione, tuan tanah yang memintanya bekerja, untuk tiap sen yang ia bayarkan kepadanya. Pada masa-masa biasa, Francis mungkin telah meninggalkannya untuk bekerja bagi tuan lain yang lebih toleran, karena ia mempunyai reputasi yang sangat baik di daerah itu.
Tapi masa ini, bukanlah masa-masa biasa; masa-masa ini adalah “Tahun-Tahun Kelaparan”. Sebagai konsekuensinya, masa itu adalah masa yang kurang menentu, bahkan mendekati masa kritis. Piedmont selalu terpaksa terlibat perang, yang tidak hanya mengurangi tenaga manusia, tapi memajaki juga semua hasil tanah itu. Unutk menambah itu, cuaca-cuaca dalam tahun belakangan ini juga kurang ramah bagi para petani. Tahun lalu, hawa panas telah membakar banyak tanaman panen, dan musim dingin setelahnya, menjadi yang terparah yang bisa diingat Francis. Bencana-bencana ini, baik karena manusia maupun karena alam, telah menyebabkan daerah ini hampir dalam bahaya kelaparan dan jika kondisi tidak segera membaik provinsi itu akan menghadapi masalah yang serius.
Sejauh ini, ia masih mampu menyediakan cukup pangan bagi keluarganya, dan ia berharap, agar dapat melakukan hal yang sama pada masa mendatang, ketika kondisinya seharusnya makin membaik. Tapi ia tidak punya waktu untuk memikirkan masa mendatang, setelah melihat tiga figur kecil berlomba lari turun bukit untuk menyambutnya, pikiran-pikiran suram itu pergi.
Mendengar suaranya, Margareta muncul ke depan pintu, mengusap tangannya ke celemeknya, dan tersenyum selagi ia menawarkan pipinya.
Setelah melepaskan anak-anaknya, yang pertama Francis lakukan ketika ia masuk ke dalam rumah adalah mendekati ibunya yang duduk di kursinya dekat perapian.
“Bagaimana kabarmu hari ini, ibu?” ia membungkuk sedikit untuk menciumnya.
“Sedikit lebih baik dari kemarin, anakku. Syukurlah kepada Tuhan. Dan bagaimana dengan harimu?”
“Berbeda dari biasanya,” kata Francis. “Sebagian kubesarkan di pasar di Castelnuevo, untuk tuan Biliogne. Barang-barang menjadi semakin jarang dan harga-harga naik terus-menerus. Ia menggelengkan kepalanya dengan putus asa. “Dan tiada seorang pun tahu, kapan hal ini akan berakhir.”
Setelah makan malam, ia duduk beristirahat, dan sekaligus menunggu selagi Margareta mengisi pipanya dengan tembakau yaang telah dia sampaikan untuknya.
“Berita apa yang kau bawa dari Castelnuevo?” tanya Margareta.
“Satu hal yang pasti,” kata Francis, “Napoleon tidak akan menyusahkan kita lagi. Ia tidak akan bisa kabur dari Saint Helena seperti saat ia kabur dari pulau Elba. Hal itu berarti tidak akan ada lagi pria kita yang bertempur untuk kekaisarannya. Kita akan mendapatkan damai, paling tidak untuk sementara.”
“Hal itu tidak akan bertahan lama,” kata Granny. “Pria-pria kita selalu mati bertempur dalam peperangan orang lain.”
“Karena pohon-pohon anggur di Prancis belum pulih dari keadaan sejak revolusi,” lanjut Francis, bersemangat meneruskan ceritanya, “anggur kita masih dihargai tinggi.”
Sekarang anak-anak telah berkumpul di sekitar kursi ayah mereka, masing-masing ingin menarik perhatiannya. Anhony mulai menggeser Yosef yang tidak memprotes, tapi ketika ia mencoba menggeser Yohanes, Yohanes memprotes keras. Mengamati semua hal ini Francis tertawa, dan menaruh satu lengan di punggung Antonius, dan satunya pada Yohanes, dan mulai menceritakan kepada mereka cerita yang ingin mereka dengar sebelum mereka tidur.
Ketika ceritanya selesai, Margareta menyelaknya, “Kau sebaiknya pergi tidur bersama mereka,” desaknya, “kau lelah bekerja akhir-akhir ini, dan kau kelihatan tidak begitu sehat.”
“Kau bekerja terlalu keras untuk Tuan Biligione itu!” omel Granny,” Untuk upah yang ia berikan kepadamu, kau bekerja terlalu banyak.”
Untuk beberapa tahun setealah kelahiran Yohanes, keluarga itu hidup seperti orang desa yang sederhana, dengan hanya beberapa masalah keluarga yang tidak sulit dihadapi, dan rumor-rumor tentang masalah besar di luarlah yang membuat mereka kuatir.
Anak-anak menikmati hidup yang penuh kegembiraan seperti kehidupan anak-anak pedesaan yang lain. Bagi mereka, desa adalah surga, tempat dimana mereka menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain, keajaiban alam yang lain, dan refleksi kehidupan yang baik ini dapat dilihat dari wajah mereka yang cerah dan pipi mereka yang merah.
Francis akan bangun dan keluar pagi-pagi, tidak hanya mengurus Biliogne, dan mengurus masalahnya sendiri, tapi juga menerima pekerjaan sampigan untuk menambah penghasilan keluarganya. Hal ini berlanjut hari demi hari kecuali hari Minggu, di mana Keluarga Bosco menganggap hari itu sebagai hari untuk beristirahat dan untuk memberi kemuliaan bagi Tuhan.
Di samping mengurus Granny, yang kebanyakan waktunya dihabiskan untuk berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi, Margareta mengurus keperluan-keperluan suaminya dan rumahnya. Tapi perhatiannya yang terbesar dicurahkan untuk mengurus anak-anaknya. Selagi melakukan hal ini, tidak pernah terlintas di benaknya untuk memperlakukan Antonius kurang dari anaknya sendiri, dan ia memberinya cinta dan perhatian yang sebanyak ia berikan pada kedua anaknya yang lain.
Suatu malam, Margareta membuka matanya dan terbaring sadar sambil berpikir mengapa ia terbangun. Ia mencoba mendengar apakah ada suara, tapi satu-satunya suara yang menganggu malam yang tenang itu adalah suara Granny yang mengigau dalam tidurnya dan suara-suara nafas yang halus di kamar di mana anak-anak tidur. Kalau begitu, apakah yang telah membangunkannya? Ia bersiap untuk tidur lagi ketika ia mendengar seseorang mengerang. Hal ini dilanjutkan dengan keheningan, lalu erangan yang lain dan ternyata suara itu datang dari Francis yang terbaring di sebelahnya. Berpikir bahwa ia sedang mengigau, ia mengoyang-goyangkan tubuhnya.
“Francis,” bisiknya. “Bangun! Kau sedang mengigau!”
“Aku tidak mengigau,” kata Francis. “Aku telah terjaga selama berjam-berjam.” Margareta tahu bahwa apa yang paling ia kuatirkan telah terjadi.
Angin Sirocco yang bertiup pada awal musim semi dari arah tenggara telah membawa gelombang panas ke Piedmont yang dapat bertahan untuk beberapa hari. Kemarin, ketika Francis bekerja di ladang, ia telah membuka pakaian atasnya, lalu dengan dengan penuh keringat ia turun ke gudang bawah tanah di mana Biglione menyimpan anggur dan sayuran-sayurannya. Di atas, ia telah berkeringat deras karena panas, tapi di bawah ia segera merasa gemetaran karena dingin. Sore itu, berpikir bahwa badannya demam namun berpikir bahwa demam itu akan hilang setelah beristirahat semalam, ia pergi tidur seperti biasanya. Namun sebenarnya ia telah terkena demam, dan sekarang berusaha meyakinkan Margareta bahwa tidak ada hal yang perlu dikuatirkan.
“Demam datang dan pergi,” katanya, “tapi laki-laki maju terus selamanya.”
Margareta segera bangit, menyalakan lampu di meja dan membawanya ke dekat wajah suaminya. Wajahnya berkeringat dan juga bengkak. Untuk sesaat, ia berdiri sambil memikirkan obat apa yang terbaik bagi suaminya karena ia kelihatannya sedang menderita semacam demam. Karena ia bukanlah seorang yang tidak berpengalaman dalam hal merawat orang sakit – hampir tidak ada keluarga di distrik itu yang belum menerima pertolongannya – ia turun ke bawah untuk menyiapkan ramuan obat untuk menurunkan suhu tubuh suaminya, melakukannya dengan diam-diam sehingga tidak mengganggu anggota keluarga yang lain.
Ketika hari mulai berjalan, Francis tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan kondisinya kelihatan memburuk. Hal ini memaksa Margareta untuk memutuskan pikirannya. Setelah memberitahu Granny untuk menjaga anak-anak, ia bergegas pergi ke rumah tetangganya da meminta mereka untuk mengirim seseorang ke Castelnuovo untuk menjemput dokter. Permintaannya segera dikabulkan, karena para tetangga tahu bahwa ketika mereka membutuhkan pertolongan Margareta , ia selalu siap. Namun, dokter itu memberi kabar bahwa ia tidak dapat datang ke Becchi lebih awal dari pagi hari selanjutnya. Selagi menunggu, pasien harus dijaga tetap hangat dan diberi teh camomile yang panas untuk menurunkan demamnya.
Sang dokter benar-benar datang dengan menunggang kuda keesokan paginya dan anak-anak memperhatikan setiap gerakan yang ia buat sewaktu ia masuk, menaruh tasnya di meja dan mengeluarkan sarung tangannya.
“Di mana dia?” tanyanya.
“Di atas,” jawab Margareta, lalu menunjukkan jalannya.
Sesudah sampai di kamar, Margareta ingin menemani suaminya tapi dokter itu berbalik kepadanya dan berkata, “Aku lebih suka kau menunggu di luar.”
Margareta dengan segera turun ke bawah di mana ia berusaha sebaik mungkin untuk menghibur Granny dan anak-anak.
Akhirnya mereka mendengar suara dari atas selagi sang dokter menuruni tangga. Ketika ia sampai di dapur, ia melepas sarung tangannya, mengambil tasnya dan memberi tanda agar Margareta mengikutinya ke luar.
“Suamimu sakit parah,” katanya.
“Berapa lama waktu yang ia perlukan untuk sembuh?” tanyanya.
“Lebih lama dari yang kau perkirakan.”
“Seminggu? Sebulan?”
Pada tiap pertanyaan, sang dokter terus menggelengkan kepalanya.
“Dokter,” kata Margareta pada akhirnya, “apa kau ingin memberitahuku bahwa suamiku tidak akan sembuh?”
Kali ini, dokter itu mengangguk.
“Tak akan sembuh!” kata Margareta terkejut. “Bagaimana mungkin!”
“Suamimu terkena serangan pneumonia (radang paru-paru),” kata sang dokter, “sebuah serangan serius yang diakibatkan karena, ketika ia sedang berada dalam kondisi yang lemah, ia pindah dari hawa panas yang luar biasa ke dingin yang luar biasa dalam waktu beberapa detik. Hal ini telah terbukti terlalu berlebihan untuk badan yang terkuat sekalipun.”
“Apakah kita tidak dapat melakukan sesuatu untuknya?”
“Yang dapat kau atau orang lain lakukan pada tahap ini adalah berharap dan berdoa.”
Untuk dua hari dua malam, hal itulah yang Margareta lakukan – berharap dan berdoa. Ia juga terus memperhatikan apakah ada tanda-tanda perbaikan di mata suaminya yang layu dan pipinya yang mengurus, tapi tidak ada tanda-tanda perbaikan. Pagi hari di hari keempat, kondisinya bukan saja tidak membaik tapi juga kelihatan memburuk. Terbiasa dengan tanda-tanda kematian, ia dapat melihat tanda-tanda itu dengan jelas sekarang pada wajah suaminya. Pada tengah hari, ia memanggil saudara-saudaranya dan, sebagai tanda akhir penyerahan diri, memanggil seorang pastor.
Para tetangga menyadari tragedi yang akan datang dari kedatangan iringan kecil yang terdiri dari seorang pastor berpakaian jubah hitam dengan superply putih, didahului oleh dua putra altar yang membawa lilin bernyala dan membunyikan bel untuk menandakan bahwa Viatikum (bekal terakhir) sedang lewat dan memanggil mereka untuk berdoa bagi jiwa yang akan bersiap-siap untuk perjalanan yang pankjang. Pada saat-saat seperti itu, mereka menyadari bahwa, jika akhir yang sama tersedia bagi mereka, mereka terhibur karena tahu bahwa mereka termasuk dalam komunitas beriman yang sama dan mereka juga akan didoakan ketika waktu mereka tiba.
Sepanjang momen yang kritis ini Francis menunjukkan dirinya sebagai orang yang paling tidak kuatir di keluarganya, dalam menghadapi kematian, seperti saat menghadapi kehidupan, sebagai seorang yang sangat religius. Jumat itu, ia memanggil Margareta ke samping tempat tidurnya. “Betapa besar rahmat yang Tuhan berikan padaku!” katanya. “Ia memanggilku kepada-Nya pada hari kematian-Nya sendiri selagi aku seumur dengan diri-Nya, pada jam yang sama ketika Ia meninggal di salib.”
Sebelum pergi untuk selama-lamanya, ia meinggalkan sebuah pesan terakhir. “Jagalah semua anak-anakku,” katanya, “tapi jagalah secara khusus Yohanes kecil.”
Margareta sendiri yang menyiapkan jasad suaminya sebelum dikubur, menutupinya dengan kain kafan putih dan menutupi wajahnya dengan kain putih kecil.
Pada hari pemakaman, sambil memegangi tangan Antonius, ia berjalan di bagian depan prosesi pemakaman, di belakang keledai dan kereta yang dipinjam dari Biglione uantuk membawa peti jenazah. Sampai di pemakaman tua St. Petrus di Castelnuovo, ia melihat ketika peti jenazah Francis Bosco diturunkan ke lubang kubur yang baru dibuka, dan segenggam tanah secara simbolik disebarkan ke atasnya sebelum dikuburkan. Karena kondisi pemakaman itu sangatlah tidak bersih, ia merupakan orang terakhir yang dikubur di sana.
Reaksi tiap anggota keluarga Bosco berbeda-beda sesuai temperamen mereka.
Terpisah dari duka yang Granny rasakan atas kematian anaknya, yang mengisi benaknya sekarang adalah jawaban dari sebuah pertanyaan: Sekarang, setelah Francis meninggal dunia, bagaimanakanh sikap menantunya kepadanya?
Pada diri Yosef, hal itu tidak mempunyai terlalu banyak pengaruh karena ia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang telah terjadi, dan sifatnya yang tenang mampu menerima kejutan itu.
Efeknya pada Antonius, anak tertua, sangat dalam dan juga bertahan lama. Ia telah kehilangan ibunya ketika ia masih berusia 3 tahun. Untuk lebih dari setahun, ia telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, dan hidup di rumah yang hanya mempunyai sedikit suasana kekeluargaan. Ketika ayahnya menikah lagi, ia terpaksa tidur di orang tuanya, ia merasa terabaikan, dan dalam cara yang tidak ia mengerti, dikhianati. Semua ini menumpuk menjadi pengalaman yang hampir traumatis. Bahkan, pikiran tentang hal-hal yang terjadi padanya mendorongnya ke dalam kesedihan yang ekstrim, di mana kadang-kadang ia bergulingan dan mengerang di lantai, yang ia anggap sebagai gambaran nasibnya yang malang itu.
Reaksi anak yang termuda sewaktu ibunya membawanya untuk melihat jasad ayahnya menunjukkan sifat keras kepalanya.
“Mengapa ayah tidak berbicara denganku?” tanyanya. “Mengapa ia tidak mengatakan apa-apa? Aku tidak akan meninggalkan kamar jika ia tidak keluar bersamaku.”
“Ayahmu sudah meninggal,” adalah satu-satunya hal yang dapat Margareta katakan.
“Apa arti ‘meninggal’ ?”
“Itu berarti ayah telah pergi ke surga.” Setelah mengatakan hal ini, Margareta menangis.
Ketika ia melihat ibunya menangis, reaksi Yohanes adalah mengikutinya dan ia dibawa keluar menangis. Ibunya lalu mengatakan sesuatu yang terus tinggal dalam pikirannya: “Kau tidak punya ayah lagi sekarang.”
Kematian seorang anak kecil adalah hal yang biasa di daerah itu, dan jika ada luka yang tertinggal, luka ini sembuh ketika anak lain lahir mengisi kekosongan itu. Kematian orang yang lebih tua berbeda. Orang yang lebih tua mempunyai waktu untuk menyilangkan hidupnya dengan hidup orang-orang lain, sehingga kepergiannya akan selalu membekas di hati seseorang, seringkali meninggalkan luka yang terbuka. Itulah yang terjadi pada Margareta.
Sepanjang pemakaman ia berusaha untuk tetap tegar. Apa yang menopangnya adalah pikiran bahwa sejak saat ini ia harus menjadi pilar kekuatan bagi yang lain untuk bersandar, pilar di mana mereka dapat mengambil kekuatan dan keberanian. Masa depan tiga orang anak ada di tangannya sekarang. Karena pada masa itu seorang perempuan tidak bisa menjadi seorang wali, Yohanes Zucca, saudara sepupu Francis, ditunjuk oleh hukum untuk menjadi wali anak-anak itu.
Walaupun Francis tidaklah kaya, tapi daftar bawang-barang miliknya pada surat warisan kedengaran seperti itu! Warisan itu terdiri dari 2 kerbau yang dihargai 200 lire sampai ke sebuah tempat duduk kursi tinggi yang dihargai 25 centesimi, keseluruhannya berjumlah 74 barang yang ditulis pada kertas berukuran folio! Dari delapan orang yang menandatangani surat warisan itu, lima orang hanya memberi tanda silang yang artinya tidak bisa membaca di samping nama mereka. Margareta adalah salah seorang diantara mereka dan empat yang lain adalah anggota dari keluarga Becchi.
Barulah pada sore hari setelah anak-anak tidur, ia menemukan waktu untuk dirinya sendiri. Ia telah disibukkan oleh berbagai macam masalah, seperti mengurus Francis sewaktu sakit dan dengan hal-hal detil mengenai pemakamannya.
Hal-hal ini telah mencegahnya dari merasakan sepenuhnya pukulan dari kematian suaminya dan konsekuensi dari ketidakhadirannya. Sekarang setelah ia sendiri, ia punya waktu untuk memikirkan hal-hal ini.
Ia mengingat tahun-tahun yang ia habiskan bersama Francis, tersenyum mengingat pertengkaran mereka yang jarang, saat-saat kebahagiaan yang mereka habiskan berdua atau bersama keluarga. Francis, renungnya, telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Ia kemudian berpikir tentang hidupnya nanti tanpa Francis, tanpa bantuan dan dorongannya, tanpa kehadirannya yang lembut namun kuat … selagi kegelapan menggelapkan ruangan itu, begitu juga jiwanya. Bahwa Tuhan akan mengambilnya suatu hari darinya, ia dapat mengerti. Tapi bahwa Tuhan mengambilnya begitu cepat, ketika ia dan keluarganya sangat membutuhkannya, sewaktu semakin sulit hari demi hari untuk menyediakan makanan di meja … Bahkan yang lebih penting lagi, ia diambil ketika anak-anak memerlukan tangan seorang ayah yang kuat dan stabil, karena adalah tugas seorang ayah untuk mengurus para anak laki-laki di keluarga … hal ini lebih sulit lagi untuk dimengerti dan untuk diterima*. Mereka tidak akan menjadi anak-anak yang mudah dibesarkan, karena mereka masing-masing begitu berbeda. Mempertimbangkan nasib anak-anak itu saja sudah membuatnya sulit untuk mengerti mengapa Francis harus diambil darinya dan dari mereka, apalagi untuk menanggung hal itu. Tak tahan lagi memikirkan hal itu, ia menjatuhkan lututnya dan membungkukkan tubuhnya serta membiarkan air matanya mengalir. Kematian Francis yang tidak tepat waktu ini akan membuatnya menanggung kesepian di dalam hati sepanjang sisa hidupnya.
5
Berbagi
Jika di depannya ada sebuah jalan yang panjang dan berbukit-bukit, ia siap untuk menghadapinya. Itulah yang Margareta rasakan pagi berikutnya. Yang terburuk telah berlalu. Tak pernah lagi ia akan membiarkan dirinya hidup di masa lampau. Itu adalah kelemahan yang tak mampu ia lakukan. Mulai sekarang, ia hanya akan menatap masa sekarang dan masa depan. Hal itu akan lebih dari cukup karena ia mempunyai banyak hal untuk menyibukkan kepala dan tangannya. Keluarganya akan menyita seluruh perhatiannya, ladangnya akan menyita seluruh tenaganya. Ia tahu bahwa untuk menjalankan ladangnya, ia tidak bisa mengharapkan atau bergantung pada pertolongan orang lain, bahkan dari saudara-saudaranya. Seperti semua orang pada masa yang sulit itu, mereka mempunyai masalah mereka sendiri-sendiri. Francis selalu mendorongnya untuk percaya pada kebaikan Tuhan. Ia akan melakukan hal itu dan bagaimanapun caranya, dengan bantuan Tuhan ia akan mampu melakukannya.
Sejak saat itu, dengan dibantu oleh dua buruh tani, ia tidak saja melakukan semua pekerjaan wanita di rumah tetapi juga tugas-tugas yang lebih berat di pertanian, yang biasanya merupakan tugas laki-laki. Hal ini berlangsung sampai bulan Nopember, ketika semua kontrak kerja selesai. Lalu ia membayar dua buruh itu, meninggalkan kunci kamar-kamar dan pergi untuk tinggal di rumah yang telah Francis beli dari Tuan Biglione dalam transaksi bisnisnya yang terakhir. Rumah ini adalah sebuah rumah tua yang telah termakan cuaca, yang memiliki tiga kamar tidur, dapur sekaligus ruang keluarga, kandang untuk ternak dan loteng untuk jerami. Tetapi hal yang paling berarti bagi Margareta adalah bahwa ia sekarang tinggal di rumahnya sendiri.
Ia terus menyewa buruh tani setiap hari walaupun ia juga ikut mencangkul, menabur benih, menyabit jerami ... Sering kali ia mengalahkan hasil kerja para lelaki itu, walaupun mereka sedikit kesal karena dikalahkan seorang wanita. Selagi Margareta bekerja di ladang, Granny mengurus anak-anak.
Walaupun bebannya berat, ia secara perlahan-lahan mulai bisa mengontrol semuanya dan setenang yang ia bisa, ketika pada suatu saat, seperti halilintar pada siang hari yang cerah, tuntutan pengadilan atas kerugian hasil tanah datang padanya.
Seperti semua orang lain di desa itu, keluarga Biglione, walaupun mereka memiliki banyak tanah di castelnuovo, karena masa itu masa sulit, memerlukan uang untuk membayar kewajiban-kewajiban mereka. Lalu, ibu dari Biglione, yang menyukai hidup mewah dan tinggal di Turin, memaksa anaknya untuk menuntut Margareta untuk kerugian sewa. Biglione lalu menuduh Margareta tidak mengurus kebun anggurnya dengan baik dan telah melalaikan ladangnya sampai pada tahap tanahnya itu tidak memberinya hasil yang patut ia dapatkan.
Sewaktu kasus ini diajukan kepengadilan, pihak pengadilan menyelidiki tanah itu. Mereka menemukan bahwa kebun anggur itu terawat baik dan memberi hasil yang baik. Namun, untuk ladang itu, mereka menemukannya kurang terawat dan hukum tidak bisa memberi pengecualian atas kejadian yang telah menimpa keluarga Margareta. Kelalaian itu terbukti sehingga pengadilan memutuskan bahwa ia harus mengganti kerugian itu. Tapi, ketika kedua belah pihak diharuskan hadir di pengadilan, Margareta hadir, namun Biglione tidak. Pengadilan, sebagai konsekuensinya, menganggap Biglione melakukan penghinaan terhadap pengadilan dan memerintahkannya untuk membayar biaya pengadilan dan melepas Margareta dari seluruh kewajiban di masa depan. Tampaknya, Biglione tidak begitu berani unutk muncul di depan umum dengan fakta bahwa ia menuntut seorang wanita yang baru saja menjanda dan tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengurus tanahnya dan pada saat yang sama harus menjaga keutuhan rumahnya yang hancur karena kematian suaminya.
Cuaca juga ikut menambah ketidakberuntungannya. Musim dingin begitu parah dan musim panas begitu kering sehingga tanamannya gagal panen dua kali berturut-turut dan makanan menjadi begitu sedikit sehingga sulit didapatkan walaupun seseorang mempunyai uang. Orang-orang mati karena kelaparan dan dalam keputusan berpaling pada surga untuk bantuan, dengan mempraktikkan silih yang luar biasa dan melakukan ziarah ke tempat-tempat ziarah favorit. Keadaan menjadi begitu buruk sehingga serigala-serigala, karena tidak mampu mendapatkan makanan di hutan-hutan di daerah utara, mulai mengancam para penduduk di pinggir-pinggir kota sampai pada tahap di mana para pemburu dihadiahi uang untuk membunuh mereka!
Keluarga Bosco menderita bersama seluruh penduduk lainnya dan dengan cepat persediaan makanan Margareta sendiri habis. Ketika keadaan sampai pada titik terburuk dan anak-anaknya mulai menderita, ia memohon kepada seorang temannya untuk pergi ke pasar atau pertanian-pertanian untuk membeli makanan bagi mereka. Tapi tak peduli kemanapun ia pergi dan sebanyak apapun uang yang ia tawarkan, teman itu, setelah mencari selama dua hari, kembali dengan tangan kosong, tak berhasil membeli apapun untuk menghilangkan rasa lapar keluarga Bosco. Para tetangga yang sering ia bantu juga tidak bisa membantunya karena mereka juga menghadapi masalah yang sama. Karena anak-anaknya telah berpuasa selama beberapa hari dan kesehatan mereka mulai memburuk, Margareta yang tidak tahan lagi melihat penderitaan anak-anaknya, melakukan tindakan yang nekat untuk menyelesaikan situasi itu. Dengan membawa sebuah pisau dapur yang besar, ia bergegas menuju kandang, memotong satu-satunya anak dombanya yang masih muda dan memberikan dagingnya kepada anak-anaknya. Pengorbanan bagian yang besar dari hartanya itu menunjukkan keparahan situasi itu dan tekad Margareta utntuk tidak pernah membiarkan anak-anaknya menderita. Untungnya, beberapa saat setelahnya situasi membaik ketika suplai makanan dibawa dari selatan.
Tuntutan pengadilan yang lain terhadap Margareta datang lagi atas hal kecil seperti kepemilikan sebuah pohon walnut adalah indikasi dari pentingnya tanaman-tanaman produksi apapun dalam masa kelaparan. Pohon-pohon telah menjadi elemen penting dalam perjuangan untuk hidup. Pada masa itu, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak ditandai di peta oleh garis-garis, tetapi oleh nama-nama orang, jalan-jalan sempit, jalan-jalan lebar dengan begitu banyak modifikasi dan klarifikasi sehingga penghilangan batas-batas itu merupakan hal yang mustahil. Pertengkaran atas hal ini telah menyibukan pengadilan dan pengacara-pengacara dengan pekerjaan yang tak kunjung selesai.
Adalah merupakan karateristik Margareta bahwa ketika ia sendiri pun dalam banyak masalah, ia tidak akan pernah dapat menolak permintaan tolong tetangganya. Mereka dapat meminjam makanan atau obat, anggur atau kayu yang ia punyai. Ia juga tidak akan membiarkan sesorang menyelesaikan kalimat yang dimulai dengan, “Margareta, aku masih berhutang padamu …” Jika seorang sakit memerlukan sesuatu yang ia punyai, ia akan memberikannya dengan sukaela dan tidak pernah berpikir untuk meminta sesuatu sebagai balasannya.
Pada suatu kesempatan, ia pergi ke tempat penyimpanan tepung untuk mempersiapkan adonan keika, dengan terkejut, ia menemukannya kosong.
“Apa kau lupa mama,” kata Yohanes, “bahwa kau telah memberikan semua tepung kita pada keluarga itu kemarin? Kau bilang mereka lebih membutuhkannya daripada kita.”
Kemurahan hati seperti itu tidak dapat berlalu begitu saja dan seorang tetangga yang keadaannya lebih baik dari yang lain mengirimnya sekarung tepung. Setelah ia mengetahui dari mana asal karung tepung itu, Margareta memprotes donatur itu.
“Kau memberi semua yang kau punya untuk membantu yang membutuhkan,” keluarga itu memprotes balik. “Adalah benar jika kami juga berbuat sesuatu untuk membantumu.”
“Jika kau tidak mempunyai apa-apa lagi yang bisa diberikan untuk orang-orang miskin,” tambah istrinya, “datanglah ke rumah kami dan ambilah apa yang kau mau. Dan ketika kau hendak mengunjungi yang sakit beritahukanlah aku jika kau membutuhkan sesuatu untuk mereka.”
Tawaran yang terakhir ini adalah salah satu amal yang dilakukan Margareta. Karena tenaga medis dan perawat jarang ada pada masa itu, ia tidak hanya mengunjungi yang sakit, ia juga merawat mereka, bahkan kadang-kadang berjaga semalaman unutk merawat mereka, dan karena tempat penginapan jarang ada di daerah itu dan jalan-jalan buruk di musim dingin, Margareta sering menerima orang-orang yang melakukan perjalanan ke rumahnya, walaupun, karena hal ini biasa terjadi mendadak, tidak selalu ada cukup makanan untuk mereka.
Namun begitu, ia biasanya berhasil memberi mereka makan, walaupun hanya polenta, gruel, dardelion bakar, chestnut, sup atau roti, ditawarkan dengan seluruh kehangatan hatinya. Ia bergantung pada Yohanes untuk tidak hanya membantunya memasak, tapi juga untuk mencari beberapa bumbunya.
Kebiasaan untuk selalu menawarkan bantuan ini membuat beberapa kejadian lucu dan dan bahkan berbahaya.
Karena kekacauan politik dan tidak adanya hukum, sudah menjadi umum untuk gerombolan-gerombolan bersenjata untuk menjelajah daerah-daerah pedalaman, untuk mencari uang atau melarikan diri dari carabinieri, polisi nasional yang baru dibentuk. Invasi Napoleon telah mendorong orang-orang Italia untuk melihat semenanjung itu bukan sebagai banyak negara bagian yang berbeda, tetapi sebagai suatu negara yang mereka pikir harus merdeka. Untuk memperoleh kemerdekaan ini, perhimpunan-perhimpunan rahasia muncul di seluruh Italia, dan kebanyakan di Piedmont. Yang paling terkenal di antara perkumpulan ini adalah carbonari atau pembuat kayu arang, didirikan tahun 1811, yang memulai gerakan pertama dengan banyak usaha untuk mengusir banyak penjajah. Pada tahun 1820 para anggotanya telah berjumlah sekitar 700.000 orang. Tak semuanya mempunyai cita-cita patriotik. Kebanyakan adalah gerombolan-gerombolan penjahat, penyelundup, tentara desertir atau narapidana yang kabur. Gerombolan-gerombolan ini telah meneror daerah-daerah pedesaan sehingga orang-orang tidak berani keluar sewaktu malam, dan sewaktu siang hanya keluar dalam kelompok yang mampu melindungi diri sendiri.
Sewaktu malam dingin, beberapa dari kelompok ini akan mampir di rumah Margareta karena reputasi keramahannya, untuk mencari makanan atau tempat beristirahat. Pada tengah malam mereka akan membangunkannya dengan cara mengetuk pelan-pelan di pintu atau dengan cara melemparkan kerikil ke jendela atas. Margareta akan selalu membangunkan Yohanes, menyuruhnya untuk menaruh pasta di panci dan bergegas ke bawah untuk membukakan pintu bagi orang-orang yang kedinginan itu. Para lelaki itu akan makan dengan diam di sisi dapur yang gelap dan ketika mereka selesai, mereka akan menanyakan suatu hal yang tidak terelakkan, “Dimana kami bisa menumpang tidur di malam yang dingin ini?” menyadari sepenuhnya bahwa loteng atau kandang selalu siap untuk menampung mereka.
Karena reputasi Margareta dan lokasi rumahnya yang strategis, rumah itu menjadi tempat pertemuan bahkan bagi para polisi dimana mereka akan bertemu untuk saling menukar informasi selagi minum sesuatu yang menyegarkan. Untuk menghindari bertemu dengan para bandit di rumah Margareta, mereka memakai sebuah strategi. Kapanpun mereka mendekati rumah itu, Yosef, yang sudah kenal dengan mereka, akan bergegas menghampiri mereka dan mereka akan memanggil, “Apa ada orang di rumah?” Walaupun ada sedikit bahaya tertangkap, bandit itu akan mendengar suara itu dan biasanya mempunyai cukup akal sehat untuk bersembunyi sampai polisi itu pergi, yakin bahwa ketika ia sedang menerima keramahan Margareta, mereka akan membiarkannya.
Namun, fakta bahwa kedua pihak itu tidak pernah membuka rahasia akan gerakan mereka pada pihak yang lain memang pernah membuat sebuah situasi yang canggung. Pada satu kesempatan, tak lebih dari sepotong kertas pembatas memisahkan para bandit dan para polisi! Walaupun masing-masing pihak menyadari kehadiran pihak lainnya, mereka pura-pura tidak tahu. Pada kesempatan lain, para polisi masuk begitu saja dan menemukan seorang bandit sedang duduk sedikit tersembunyi di sebuah sudut sedang menikmati sepiring spagheti! Sebuah konfrontasi yang parah bisa dihindari ketika para polisi itu duduk begitu saja dengan jarak tertentu dari bandit itu sambil tak menghiraukannya. Mereka melakukan hal ini bukan saja karena mereka tidak mau membuat kuatir Margareta, tapi juga karena tidaklah bijaksana untuk mencoba menangkap bandit itu pada saat itu juga. Karena bandit-bandit biasanya bersenjata lengkap dan siap untuk melawan hingga mati, para polisi itu berpikir bahwa lebih bijaksanalah untuk menunggu saat yang lebih baik untuk menangkapnya.
Margareta juga tidak membatasi amalnya akan hal-hal material keperluan tetangganya, atau membiarkan dirinya berhenti karena malu ketika menyangkut hal membela nilai-nilai moral atau melindungi mereka yang dalam bahaya moral. Ketika ada gadis-gadis desa yang mau mengikuti acara dansa, mereka akan datang padanya untuk meminta nasihatnya, ia akan pertama-tama melihat situasi pesta itu dan orang-orang yang mengadakannya. Hanyalah jika yakin bahwa hal itu tidak bertentangan dengan moral, barulah ia mengijinkan gadis-gadis itu pergi.
Jika ia kebetulan menemukan gadis-gadis dengan pakaian yang terlalu terbuka, ia akan mencoba membujuk mereka untuk berpakaian lebih sopan.
“Tapi kami miskin dan tidak punya pakaian lain!” Balas mereka.
“Kalau begitu ikutlah denganku. Aku akan mempersiapkanmu sehingga setidaknya kau tidak akan menjadi godaan bagi yang lain.”
Ia akan membawa mereka ke rumahnya dan walaupun ia tidak punya banyak pakaian, ia memperbaiki pakaian mereka sehingga pakaian mereka menjadi kelihatan lebih baru dan juga lebih tertutup.
Namun, perhatiannya yang khusus adalah untuk gadis-gadis yang untuk satu atau dua hal berada dalam bahaya moral. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menarik mereka kepadanya lewat hadiah-hadiah kecil seperti roti, polenta, salami, buah-buahan, atau sesuatu yang mereka sukai. Setiap kali ia menemukan mereka dalam kebutuhan, ia akan menolong mereka semampunya, tak pernah membiarkan mereka pergi tanpa memberi sepatah nasihat atau dukungan.
Karena perhatiannya untuk mereka, ia dicintai oleh kaum muda di daerahnya dan dengan berbagai cara mereka berusaha menunjukannya. Di tengah cuaca yang panas, contohnya, ketika mereka mengetahui bahwa Margareta akan mengunjungi rumah mereka, mereka akan bergegas berpakaian yang sesuai dengan standar kepantasannya.
Ketika seorang wanita yang tinggal sendirian dekat Becchi menyewakan kamarnya kepada seorang laki-laki, para tetangga membicarakan skandal ini. Namun, Margareta adalah satu-satunya orang yang cukup berani untuk melakukan sesuatu. Ia bergegas pergi ke rumah wanita itu dan mengetuk pintu.
“Martha!” panggilnya.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka sedikit dan martha muncul. “Ya?”
“Apakah kamu Martha?”
“Kau tahu siapa aku.”
“Apakah kau seorang Kristiani?”
“Tentu saja.
“Apakah kau telah dibaptis?”
“Sekarang kau kedengaran lucu.”
“Apakah kau pergi ke gereja dan melakukan kewajiban Paskahmu?”
“Dengar Margareta Bosco! ….”
“Apakah kau tahu mengapa aku mengunakan kata ‘kau’ terus menerus? Apakah kau mau memaksaku untuk memberitahumu bahwa kau akan masuk neraka. Kau, temanku, Martha.”
Setelah mengerti dengan jelas maksud pertanyaan-pertanyaan ini, Martha mulai mencari-cari alasan. “Kau tahu aku miskin dan tidak seorang pun seharusnya kaget jika aku menerima seseorang menyewa kamar di rumahku.”
“Kaya atau miskin,” desak Margareta, “kau harus menghindari jatuh ke neraka.”
“Apa lagi yang dapat aku lakukan?” kata Martha dengan cemas.
“Usir pria itu.”
“Tapi hari sudah larut dan aku tidak tahu cara ….”
“Usir dia pergi,” ulang Margareta. “dan jika kau tidak tahu caranya, aku akan menunjukkannya kepadamu!” Membuka pintu itu lebar-lebar, ia berteriak ke dalam, “Keluar dari sini, kau pelayan iblis! Keluar sekarang juga!”
Sampai hal ini terjadi, tetangga yang lain telah berkumpul di sekitar rumah itu dan hal ini memberi dukungan moral bagi Margareta. Mendengar keributan itu, laki-laki itu, yang telah menyimpulkan bahwa pergi adalah pilihan terbaiknya, pergi dari rumah itu.
Pada kesempatan lain, salah seorang laki-laki dari lingkungan itu menerima di dalam rumahnya seorang wanita yang bereputasi jelek. Ketika ia sakit keras, Margaretalah yang lagi-lagi harus datang ke rumah itu untuk membujuk wanita itu untuk setidaknya memberi laki-laki itu kesempatan untuk berdamai dengan jiwanya. Namun, wanita itu menolak. Ketika orang sakit itu mendekati ajalnya seorang pastor datang, dan Margareta menjelaskan situasi itu padanya.
“Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan?” Pastor itu, yang tidak pernah melihat Margareta sebelumnya, ingin memastikan bahwa ia tidak cuma mendengar gosip saja.
“Tanyailah wanita itu sendiri.”
Ketika ia melakukan hal itu, wanita itu berusaha mambantah. Ia adalah seorang wanita yang jujur, katanya, yang punya alasan sendiri yang baik untuk tetap berada di rumah itu. Ketika pastor itu menegaskan bahwa jika wanita itu tidak pergi, ia yang akan pergi, wanita itu akhirnya menangis dan , setelah menimbang-nimbang sebentar, ia akhirnya pergi. Setelah wanita itu pergi, pastor itu mampu membujuk orang yang sekarat itu untuk mempersiapkan dirinya. Ketika semua itu selesai, ia mencoba bertanya siapa wanita yang telah melakukan perbuatan yang berani itu demi orang yang sekarat itu, tapi Margareta menolak untuk memberitahu namanya.
Cintanya pada tetangganya sering mendorongnya melewati batas-batas kebaikan biasa, membuatnya menolong mereka yang tampaknya tidak pantas menerimanya. Tidak jauh dari rumahnya, tinggallah seorang laki-laki bernama Cecco yang diterangkan oeleh tetangga-tetangganya sebagai “orang yang sangat suka makan, tetapi tidak suka bekerja.” Ia segera menyadari bahwa karena ia tidak mau bekerja, ia harus mengemis untuk makan atau kelaparan. Mengemis, ia tidak bisa, karena ia malu dan ia sudah tahu apa reaksi tetangga-tetangganya. Sebagai akibatnya ia terpaksa hidup sendiri dan menderita kelaparan.
Seperti biasa, ketika Margareta mendengar nasibnya, ia tidak tega melihatnya kelaparan. Seringkali, ketika yakin bahwa tidak ada orang yang melihat, ia akan melemparkan roti melalui jendela Cecco yang terbuka.
Margareta telah melakukan hal ini untuk beberapa waktu ketika ia akhirnya bertemu dengan Cecco yang membanjirinya dengan banyak ucapan terima kasih. Margareta menjadi begitu tersentuh sehingga ia melakukan hal yang lebih dengan menawarinya sup. Untuk menghindarkannya dari rasa malu, Margareta membuat rencana ini. Setelah agak malam, ia kan berpura-pura memarahi anaknya lalu menaruh sepoci sup di depan pintu Cecco. Setelah melakukan hal itu, ia akan menjauh dan sekali lagi “memarahi anaknya” dan Cecco akan mengetahui bahwa sekelilingnya aman. Cecco akan pelan-pelan membuka pintu, mengambil sup itu dan menghilang ke dalam.
Suatu malam pada musim dingin, ketika jalan tertutup salju dan es, seorang pengemis mengetuk pintunya. Selagi ia memohon untuk diberi tempat beristirahat, Margareta menyadari bahwa jempol kakinya menonjol keluar dari sepatunya yang bolong. Ia mempersilahkannya beristirahat, tapi sayangnya, ia tidak mempunyai sepatu untuk diberikan kepadanya. Tetapi ia tidak kehabisan akal.
Pagi selanjutnya ia menyuruh pengemis itu duduk dan secara pelan-pelan dan dengan hati-hati membungkus kakinya dengan kain hangat lalu, seperti cara orang-orang romawi, mengikatnya dengan kawat-kawat. Cara itu begitu sukses sehingga orang itu mampu berjalan di salju dan tanpa kesulitan.
Kadang-kadang, orang yang menerima aksi-aksi kasih ini akan menawarinya sesuatu sebagai balasan.
“Terima kasih,” ia akan berkata “tapi, apa yang aku lakukan, aku lakukan demi kasih Tuhan.”
1 6 |
▲back to top |
2 “Tuhan Melihatmu” |
▲back to top |
3 A. Auffray |
▲back to top |
4 Orang-Orang Buangan |
▲back to top |
5 19 |
▲back to top |