Bab 10 |
Bab 1
“Hei, itu dasi yang bagus! Darimana kau mendapatkannya?
“Aku mendapatkannya di Oratori.”
“Di mana?”
“Di Oratori.”
“Itu tempat ke mana kakakku Louis pergi! Seperti apakah oratori itu?”
“Itu seperti … e ... ah, kenapa kau tidak pergi dan melihatnya sendiri!”
“Akankah aku mendapatkan sebuah dasi jika aku pergi kesana?”
“Jika kau beruntung!”
Kedua anak itu sedang berbicara pada suatu Senin pagi sesaat sebelum kelas, pada permulaan tahun ajaran 1845. Sekolah itu dikelola oleh pemerintah untuk anak-anak para pekerja-pekerja di pabrik senjata di Via Caserta, Turin. Sang anak yang bertanya tentang dasi itu adalah Michael Rua.
Michael adalah anak termuda dari sembilan anak Giovanni Battista Rua. Ayahnya memperoleh 5 orang anak dari istri pertama, dan ia memperoleh empat anak lagi dari istri yang kedua, Giovanna Maria Ferrero, seorang wanita kristiani yang tegar dan ibu rumah tangga yang menggagumkan. Malangnya, anggota keluarga Rua tidak begitu sehat, sehingga ketika Michael dilahirkan, hanya 4 dari 8 anak, yang masih hidup.
Michael mewarisi dari ayahnya kesehatan yang buruk dan badan yang kurus, dan dari ibunya, karakter pada penampilannya. Begitu juga tentang ketertarikannya pada dasi itu. Mekipun jabatan bapaknya adalah Supervisor – jabatan tertinggi yang dapat dicapai seorang buruh – keluarga Rua tidaklah begitu kaya. Namun demikian, para tetangga sering berkomentar bahwa anak-anaknya berpakaian sangat baik, bahkan sedikit lebih baik daripada status mereka.
Seperti keempat anak terakhir dari keluarga Rua, Michael dilahirkan pada tanggal 9 Juni 1837 di sebuah kamar yang diberikan kepada beberapa pegawai pabrik, dan dibaptis oleh pastor di kapel kecil di sebelah pabrik itu, dua hari kemudian. Di kapel kecil ini, ia juga menerima pelajaran katekismus pertamanya.
Atas desakan Michael, saudaranya Louis yang 3 tahun lebih tua darinya, pada hari Minggu berikutnya, membawanya ke oratori. Louis membawanya melalui jalan pintas di bagian Selatan kota, ke sebuah bangunan besar berwarna kuning tua, yang dikelilingi oleh pagar tinggi. Mereka masuk melalui sebuah gerbang, dan dengan segera Michael menemukan dirinya, berada di antara kerumunan anak-laki-laki yang kelihatan kasar, beberapa kelihatan sebaya dengan dia, yang lainnya lebih tua dari dia. Ada juga beberapa yang berpakaian lebih miskin, daripada dia ataupun kakaknya. Dia terkejut melihat begitu banyak bocah di sana, karena ia telah diberitahu bahwa Refuge adalah sebuah rumah untuk gadis-gadis, dijalankan oleh Marchionnes Barrolo – seorang wanita kaya yang terkenal di seluruh Piedmont karena karya amal kasihnya.
Dengan berhati-hati ia berusaha menghindari terpukul bola atau dijatuhkan oleh anak-anak yang berlari-larian dengan kencang, dan ketika ia sampai pada rerumputan yang diperuntukkan untuk taman bermain, ia berpaling kepada saudaranya.
“Jadi,” ia berkata, “di mana Oratorinya?”
Louis merentangkan lengannya. “Itulah Oratori.”
“Itu!” Michael menyatukan dua ibu jarinya, dan dua jarinya dalam gaya Italia di depan Louis, dan menggoyang mereka. ”Itu?” ia mengulang. “Tetapi, aku pikir...”
“Apa yang sebelumnya kau pikirkan, anakku?”
Michael, dengan mulut yang masih terbuka, membalikan badan untuk melihat sang pastor, yang karena suara ribut, datang ke belakang mereka tanpa diketahui.
“Jangan katakan padaku, nak!” pastor itu mengangkat tangannya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Banyak orang berpikir seperti engkau.” Ia tersenyum. “Mari kita berkenalan. Siapa namamu?”
“Rua, Bapa. Michael Rua. Louis adalah saudaraku ...” Anak itu menoleh ke arah Louis, tetapi Louis, yang sudah merasa bahwa adiknya telah diurus Don Bosco, telah bergabung dalam permainan.
Sang pastor dan sang anak itu mulai berjalan bersama mengitari taman bermain. “Jadi, kau adalah adik dari Louis Rua? Aku hanya berharap bahwa kau setengah baiknya seperti dia. Orang tuamu dapat bangga akan dia. Tetapi, bagaimana denganmu?”
Selama percakapan pertamanya dengan sang pastor yang sering tersenyum itu, Michael mendapat kesan bahwa dia mudah diajak bicara, dan ketika ia melihat ke dalam mata coklatnya yang hangat, ia merasa bahwa ia sedang berbicara dengan seorang sahabat. Michael, pada gilirannya mengajukan banyak pertanyaan, dan kelihatannya sang pastor tidak keberatan, dan menjawab dengan sungguh-sungguh. Mereka berbicara tentang keluarga Michael, tentang sekolahnya, apa yang ia sukai, dan tidak ia sukai. Ia sangat simpatik ketika mendengar tentang kematian ayah Michael sebulan sebelumnya. Michael sebenarnya sangat menginginkan untuk melanjutkan percakapan lebih lama, tetapi akhirnya sang pastor yang menghentikannya.
“Waktunya pelajaran Katekismus, Michael!” katanya. “Aku berharap kita dapat melanjutkan percakapan pada hari Minggu berikutnya.”
Lalu dia mengambil sebuah bel tangan, dan mulai membunyikannya. Sedikit demi sedikit, permainan-permainan mulai berhenti, dan anak-anak berbaris di depan pintu yang menuju ke suatu ruangan di dalam gedung. Michael melihat sekeliling jika ada tanda-tanda di mana Louis berada, tetapi ia telah menghilang. Karena tidak mau masuk gedung itu tanpa saudaranya, Michael menunggu sampai lapangan bermain kosong. Lalu ia pulang ke rumah.
Dia berada di tengah perjalanan ketika dia berhenti tiba-tiba. Ia tahu bahwa ia melupakan sesuatu. Ia terlalu menikmati percakapan dengan pastor itu, sehingga ia telah melupakan alasan ia pergi ke oratori. Ia sama sekali lupa tentang dasi itu.
Ia menepuk dahinya dengan tidak sabar. “Contacc!” katanya dalam bahasa Piodment. “Apa yang kupikirkan tadi?” Untuk beberapa waktu setelah itu, ia masih memikirkan dasi itu.
Don Bosco waktu itu adalah pastor berumur 30 tahun yang penuh semangat, yang sudah mulai dibicarakan orang. Gosip yang beredar di antara para pastor berkata bahwa mungkin ia agak sedikit gila, kalau tidak, kenapa seorang pastor yang cerdas bahkan memiliki banyak bakat, menolak tiga peluang yang menjanjikan, dan menyibukkan diri dengan bekerja untuk anak-anak terlantar, yang kebanyakan dari mereka berasal dari pinggir kota, dan beberapa dari mereka pernah keluar masuk penjara. Untuk membuat masalah semakin rumit, hal itu tidak menolong citra kaum religius, yang pada waktu itu sangat sulit untuk berjalan secara terang-terangan, tanpa dicemooh dan diludahi; salah satu dari mereka bahkan lari pontang-panting dari segerombolan anak-anak berandalan, di daerah seperti Valdocco dan Porta Palazzo, sektor yang penuh dosa di kota itu. Bahkan ada pembicaraan di antara para anggota senior klerus yang merasa harus mengambil tindakan dramatis mengenai dia. Tempat yang cocok untuk orang-orang seperti itu, adalah rumah sakit jiwa!
Polisi, pada sisi lain, melihat Don Bosco sebagai seseorang yang lain lagi. Pandangan mereka menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai bakat besar, seorang orator yang berbakat sejak lahir, serta mampu menggerakkan massa. Apa yang membuat semua tindakannya lebih mencurigakan, ketika terdapat sebuah fakta bahwa pastor itu melakukan sebuah hubungan tertutup, dengan Uskup Agung Turin yang sedang dalam pembuangan, dan dengan Paus, yang setiap orang tahu, siap untuk mempertahankan negara bagian Tahta Suci, dan oleh sebab itu dianggap, melalui sudut pandang politik, musuh abadi Piedmont. Konsekuensinya, mereka terus siaga untuk menghancurkan segala pergerakan yang membahayakan posisi mereka. Untuk kasus Don Bosco, dan “anak-anaknya”, mereka menduga ada hal lain di balik itu. Itu berarti mereka harus mengawasi dia dan anak-anaknya dengan pengawasan ketat.
Bahkan sampai tingkat pemerintahan yang tinggi menyadari aktivitasnya. Walikota kota itu, Marquis de Cavour, memperingatkannya agar lebih berhati-hati. Satu gerakan yang salah, maka ia akan mengalami nasib yang sama dengan Uskup Agung Turin. Hanya karena campur tangan Raja Alberto dari Piedmont, seorang yang religius, yang menyelamatkannya. Raja itu mengumumkan agar Don Bosco, dan anak-anaknya, dibiarkan dengan damai.
Cerita tentang bagaimana Don Bosco memulai pekerjaannya telah diketahui di mana-mana. Itu semua dimulai dengan mimpi yang dialaminya pada waktu ia masih berumur sembilan tahun – salah satu mimpinya yang membuat ia menjadi terkenal. Dalam mimpinya ia melihat bahwa masa depannya adalah mendampingi kaum muda, dan itu selalu membayanginya sampai akhir hidupnya. Ia ingin mengumpulkan di sekitarnya semua anak laki-laki di dunia, yang termiskin dan lebih terlantar. Itulah bagaimana pekerjaannya berawal – dengan seorang anak yang miskin dan terlantar yang pagi-pagi sekali, pada tanggal 8 Desember 1845, setelah berjalan sekian lama, dan karena kedinginan, pergi menuju sakristi Gereja St. Fransiskus Asisi yang hangat. Anak laki-laki itu lalu membawa beberapa teman-teman laki-lakinya yang sama miskinnya, dan sebatang kara seperti dirinya, dan dari situ jumlah mereka berkembang. Don Bosco mengumpulkan mereka di manapun ia menemukan mereka, dari permainan-permainan kartu sampai di bar-bar. Ia tidak pernah menunggu mereka untuk datang kepadanya, ia yang pergi menghampiri mereka. Bagi mereka ia telah mengorbankan rumah, karir gereja yang menjanjikan, kehormatan, kesejahteraan, dan lebih dari sekali kehidupannya sendiri.
Setelah bertemu dengan Don Bosco satu kali, Michael ingin bertemu dengannya lagi. Meskipun begitu, ibunya tidak begitu setuju untuk mengizinkannya mengunjungi oratori seringkali. Di antara anak-anak berandal itu, ia terlalu muda untuk menjaga dirinya, dan di samping itu, untuk apa ia pergi ke sana? Ia dapat menghadiri Misa pada hari Minggu dan hari-hari pesta di kapel kecil pabrik, dan pastor siap mengajarinya Katekismus. Si pastor bahkan telah mengajarinya cara melayani misa, dan untuk menjawab tes katekismusnya dengan begitu baik, sehingga Rua telah menerima sakramen Krisma dari Uskup Agung, dan tahun depan, sang Pastor meyakinkan bahwa Rua akan siap menerima komuni pertamanya – dan ia baru berumur sembilan tahun! Berapa banyak anak dapat melakukan hal itu?
“Tapi, ibu,” desak Michael, “Jika aku pergi dengan Louis, ia dapat menjagaku.”
“Tapi, tapi, tapi! Kau memang anak yang keras kepala. Aku tidak berkata bahwa kau tidak dapat pergi sama sekali. Aku akan membiarkanmu pergi pada beberapa acara khusus. Tapi – sekarang giliranku untuk memberikan syarat – jika sesuatu terjadi padamu, dan jika kau pulang ke rumah dengan pakaian berantakan – lupakan oratori! Aku pikir oratori bukanlah tempat untuk orang sepertimu, dan ada banyak pembicaraan tentang sang pastor yang bertanggung jawab di sana.”
“Pembicaraan yang bagaimana, bu?”
Ibu Michael hendak mengatakan sesuatu, tetapi, karena melihat perasaan terluka di mata anaknya ia membatalkannya.
“Tanyalah pastor pabrik, ia dapat menjelaskannya lebih baik dariku,” katanya.
Minggu berikutnya, setelah menerima izin untuk pergi ke oratori, Michael sudah selesai melayani pastor di misa, dan dengan terburu-buru menaruh cotta dan jubahnya. Sang pastor menyadari ketergesa-gesaannya.
“Apa yang membuat engkau tergesa-gesa, Michael? Mau pergi ke suatu tempat?”
“Ibu mengizinkanku untuk pergi ke oratori hari ini.”
“Jangan katakan padaku, bahwa itu adalah oratori yang dijalankan oleh Don Bosco?”
“Memang benar, Bapa? Kenapa?”
“Anakku yang malang! Tidakkah engkau pernah mendengar? Tidak pernahkah ibumu mengatakannya kepadamu?”
“Tidak, tapi ia mengatakan kepadaku bahwa engkau mengetahui segalanya tentang dia.”
“Aku mungkin tidak tahu segala hal, tetapi akan kukatakan satu hal.”
Michael menahan napasnya sebentar. “Hal apakah itu, Bapa?” ia bertanya dengan sangat pelan.
Sang pastor tidak menjawab. Ia malahan mengangkat tangannya dan menepuk dahinya dengan jarinya beberapa kali.
“Positif.” ia berkata dengan pelan, “Pasti. Bahkan, aku tahu pasti bahwa beberapa teman baiknya dengan serius berpikir untuk membawanya – dengan kekerasan kalau perlu – ke ... ee ... rumah peristirahatan untuk perawatan.”
Ia menunggu untuk melihat dampak dari apa yang dikatakannya kepada anak laki-laki ini. Lalu, ia melanjutkan, “Kau tahu, anak-anak yang berkumpul di sekitarnya dapat membuat siapapun menjadi gila.”
Dengan segera Michael kehilangan ketergesa-gesaann. Dengan perlahan ia melipat jubah dan cotta sang pastor, meletakkannya di laci, dan menggantung jubahnya di rak.
“Selamat pagi, Bapa,” katanya sambil meninggalkan kapel. Ia tidak melihat kepada sang pastor, karena ia takut bahwa pastor itu akan melihat, bahwa matanya dipenuhi air mata. Untuk membayangkan bahwa seorang pastor yang begitu baik, bagus, hangat dapat menjadi ... “Positif. Pasti.”
Ketika ia sampai di oratori pagi itu, Michael terus mengamati Don Bosco, melihat jika ia melakukan sesuatu yang dapat membuat orang berpikir begitu tentang dia ... apa yang mereka katakan tentangnya. Tetapi yang dapat dia lihat adalah seorang pastor muda yang jika tidak sedang mendengarkan pengakuan dosa dari bocah-bocah di sudut lapangan, pasti sedang memanggil seorang anak dan berbicara dengannya sesaat, lalu membiarkannya bermain lagi. Ketika hari sudah setengah siang, ia melihat pastor melakukan apa yang tidak dilakukan oleh pastor lain sebelumnya. Ia melihatnya bergabung dalam permainan dengan anak-anak yang lain, menghibur mereka, tertawa bersama mereka, dan kadangkala tertangkap oleh mereka. Akhirnya ia melihat sang pastor membariskan anak-anaknya untuk balapan, dan lalu ... ya ampun! ... si pastor mengangkat bagian bawah jubahnya sehingga kakinya terlihat, dan berlari dengan anak-anak sampai ke ujung lapangan, lalu kembali lagi, meninggalkan mereka jauh di belakang! “Baiklah!” katanya pada diri sendiri. “Jika itu yang mereka maksudkan tentang ‘Positif. Pasti’, maka ia, Michael, tidak keberatan sama sekali. Bahkan ia senang karena hal itu!”
Satu-satunya hal yang menyedihkan dari seluruh hari itu adalah ketika, setelah berbicara singkat, diikuti dengan sebuah doa syukur di gereja yang dekat, sang pastor membuat pengumuman.
“Ini adalah hari Minggu terakhir,” katanya kepada anak-anak itu. “di mana kita dapat menggunakan lapangan Refuge ataupun gereja ini. Marchioness Barrolo mengatakan bahwa kita terlalu banyak membuat keributan. Apakah menurut kalian kita terlalu banyak membuat keributan?”
“Mai!” teriak anak-anak itu. “Tidak pernah!”
“Aku pikir juga begitu.” kata sang pastor. “Namun, apa yang akan kita lakukan minggu depan adalah ini: kamu semua akan bertemu denganku di Porta Palazzo jam 9 tepat (sharp-tajam). – Hei, Pendek, apa maksud jam 9 tepat (sharp-tajam)?”
“Itu berarti dapat memotong lehermu,” kata si pendek yang berasal dari lingkungan semacam itu.
“Itu berarti tepat jam sembilan, tepat sampai pada menitnya. Sampai saat itu aku berharap telah dapat menemukan lapangan bermain yang lain dan gereja yang lain. Jika tidak,” ia menutup perkataannya dengan gembira. “Kita akan berjalan keliling ke desa, mengunjungi beberapa tempat suci, menghirup udara segar, dan bergembira ria. Sekarang, tinggalkan gereja dengan tenang sehingga tidak mengganggu orang-orang yang sedang berdoa.”
Lalu mereka bergegas menuju pintu.
“Aku bilang ‘dengan tenang’.”
Mereka lalu keluar dengan tenang walaupun tetap cepat.
Michael pulang ke rumah dari oratori dengan gembira. Ia ingin sekali mengatakan kepada ibunya apa yang telah ia lihat dan bahwa pendapat pastor kapel tentang Don Bosco adalah salah. Namun, ibunya tidak sepenuhnya yakin. Lagipula, ia tidak siap untuk membiarkan Michael pergi ke sana kemari mengikuti pastor itu dan anak-anaknya setiap hari Minggu, mencari tempat untuk bermain ataupun berdoa.
“Jika ia menemukan tempat di dekat pabrik?” tanya Michael.
“Ketika dan jika hal itu terjadi, kita akan lihat lagi nanti.”
Sayangnya, sang pastor kelihatannya tidak pernah menetap di suatu tempat. Hanya sesekali ia dan anak-anaknya datang ke dekat tempat keluarga Rua sehingga Michael diizinkan untuk pergi ke oratori. Tetapi setiap kali Michael bertemu dengan pastor itu, cintanya kepada sang pastor semakin bertumbuh, dan dia mau menemuinya Minggu Palma itu ketika Don Bosco mendapat izin penggunaan Lapangan Filippi – tempat pemukiman terakhir dari oratorinya yang selama ini berpindah-pindah. Ia juga mendengar dari Louis, bahwa ini mungkin untuk terakhir kalinya si pastor akan mengumpulkan anak-anaknya dengannya. Anak-anak itu dapat melihat sendiri bahwa teman mereka itu sudah lelah berkeliling ke seluruh Turin untuk memohon tempat bagi mereka. Bahkan pada suatu kali mereka pernah mengadakan pertemuan Oratori di sebuah pemakaman tua! Ia telah memperingatkan kepada anak-anak yang lebih besar yang membantunya dalam kelas Katekismus, bahwa ia mulai memikirkan bahwa semua kemunduran ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menginginkan karyanya untuk bertahan. Dan jika Tuhan tidak menginginkan karyanya, begitu pula dengan dia.
Seluruh perhatian Michael pada waktu itu terkonsentrasi untuk menyiapkan komuni pertamanya. Ia telah lulus tes katekismusnya – begitu suksesnya, sehingga pastor kapelnya telah mengizinkannya untuk menerima komuni kudus secara bebas, tidak hanya sekali, seperti anak-anak lainnya, tetapi sesering mungkin yang diizinkan pada masa itu.*
Minggu Paskah, 12 April 1846, adalah hari yang penuh kegembiraan bagi Michael. Ia menerima komuni pertamanya dengan upacara-upacara yang indah yang mengiringi saat indah dalam kehidupan seorang anak muda. Di rumah, ia adalah pusat dari pesta keluarganya. Untuk menambah kegembiraannya, ia juga telah mendengar dari Louis, bahwa Don Bosco baru-baru ini tidak hanya mempertahankan oratorinya, tetapi juga telah membayar uang muka untuk sebuah lapangan bermain dan sebuah gubuk yang akan yang menjadi rumah tetap pertama untuk oratorinya. Itu adalah hari yang patut dikenang baik untuk Don Bosco, dan untuk Michael.
Karena sekarang, oratori telah mendapatkan tempat yang cocok, Michael mencoba untuk meyakinkan ibunya untuk membiarkannya menghadiri oratori lebih sering. Ia hanya diberi izin untuk menghadiri sodalitas St. Louis, di mana ia telah bergabung. Sodalitas pada saat itu, sangatlah digemari, bahkan oleh anak-anak yang kelas sosialnya tinggi dan yang berpengaruh. Tetapi ia hanya mengizinkannya pergi, jika ia ditemani oleh saudaranya Louis. Itu sudah cukup bagi Michael. Setidaknya ia dapat melihat Don Bosco lagi secara rutin. Tidak ada sesuatupun yang dapat memberinya lebih banyak kesenangan daripada berpikir bahwa ia dapat berbicara dengan sang pastor dan mendengar dia memberikan beberapa nasihat dan dorongan.
Saudaranya mengatakan kepada dia, bahwa pada pertemuan Sodalitas St. Louis, Don Bosco mengatakan kepada mereka, “Salah satu di antara kalian akan dipanggil ke hadapan Tuhan 15 hari mendatang.” (Dari tahun 1847-1852, ia akan sering mendengar ramalan seperti itu. Mereka selalu terjadi pada tanggal yang telah diumumkan)
Itu saja. Tetapi itu sudah cukup untuk menakuti seluruh anggota Sodalitas. Hal itu menakuti baik Louis dan Michael lebih dari yang lainnya, karena mereka sadar bahwa begitu banyak anggota keluarga mereka telah meninggal, dan mereka dapat dengan mudah menjadi yang berikutnya. Kematian yang lain dalam keluarga Rua tidak akan menjadi suatu kejutan besar.
Mulai saat itu, Michael mulai melihat Don Bosco lebih dari seorang pastor biasa, dan mulai mengamati lebih teliti apa yang ia lakukan, dan apa yang ia katakan. Bahkan, ia juga tidak pernah bosan melihatnya atau mendengar sepatah kata darinya, dan untuk bisa melakukan hal itu ia akan berjalan sepanjang Jalan San Massimo atau Jalan della Gardiniera – jalan-jalan yang menuju ke oratori baru.
Dalam kekagumannya kepada Don Bosco, Michael tahu bahwa ia tidak sendirian. Anak-anak dari Sekolah Bruder Kristiani di Porta Palattina juga menyayanginya, di mana Don Bosco menjadi pusat perhatian dari mereka ketika ia merayakan misa atau menerima pengakuan dosa, mereka akan segera mengitari dia, memegang tangannya, menarik-narik jubahnya untuk menarik perhatiannya – sesuatu yang tidak mereka lakukan kepada pastor lain yang mengunjungi mereka. Ketika ia sakit, dan pergi ke Sassi untuk beristirahat, mereka semua pergi untuk mengunjungi dia, untuk mengaku dosa, dan untuk bersama-sama mendoakannya agar ia lekas sembuh. Michael menjadi begitu dekat dengan dia, sehingga dia memilihnya sebagai bapa pengakuannya.
Pada saat itu, ia mengingat bahwa ketika Don Bosco, telah selesai berbicara dengan beberapa anak, ia memasukkan tangan ke sakunya, mencari medali Bunda Maria, dan memberikannya kepada mereka. Ia berpikir, bahwa waktunya telah tiba di mana dia, seperti yang lainnya, harus mempunyai medali seperti itu. Suatu hari, ia memberanikan dirinya dan pergi menemui pastor itu.
“Selamat siang, Bapa,” ia mengawali.
“Selamat siang juga, Michael. Apa yang dapat aku lakukan untukmu?”
“Maukah kau mamberikan medali kepadaku, seperti medali yang kau berikan kepada yang lain.
“Jadi kamu menginginkan sebuah medali.” Don Bosco menaruh tangannya di dagunya dan mengamati dia. “Aku akan memberitahumu apa yang akan kulakukan, Michael. Aku akan memberimu sesuatu yang lebih dari sebuah medali. Ulurkanlah tanganmu.”
Michael dengan patuh mengulurkan tangannya.
“Sekarang, ambillah ini,” kata Don Bosco. Ia mengulurkan tangan kirinya, dan dengan tangan kanannya, membuat suatu gerakan seolah mengergajinya menjadi dua.
“Mengambil apa, Bapa?” Michael bertanya dengan penuh keheranan.
“Ambil setengah.”
“Setengah dari apa, Bapa?”
“Oh, lupakanlah,” kata sang pastor. ”Kau akan mengerti bila saatnya tiba.”
Ia memberikan Michael medali itu, dan anak laki-laki itu segera pergi, bertanya-tanya lelucon macam apa yang hendak dimainkan oleh Don Bosco kepadanya.
Dalam penutupan tahun 1850, Michael telah menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan Bruder-Bruder Kristiani. Langkah selanjutnya merupakan yang terpenting dalam hidupnya. Dari satu sisi, Bruder-Bruder itu berharap bahwa Michael akan bergabung dengan Konggregasi mereka. Bruder Michael, gurunya, yang sangat dekat dengan dia, merasa pasti bahwa ia akan melakukannya. Anak itu pernah mengatakan kepadanya, “Jika kau tinggal di Turin, aku akan bergabung dengan Bruder-Bruder Kristiani.”
Di sisi lain, keluarganya menginginkan dia untuk tetap tinggal di Pabrik, di mana karir yang menjanjikan dalam tradisi keluarga sudah menunggunya. Ini juga sesuatu yang disukai Michael, karena dia dapat bekerja di pabrik pada siang hari, dan menghadiri oratori pada malam hari.
Dan akhirnya ada Don Bosco. Ketika Michael memberitahukan kepadanya semua ini, Don Bosco tahu bahwa ia harus bertindak cepat, jika ia ingin rencananya untuk Michael berhasil. Dan sekarang, ia telah yakin bahwa Michael bukanlah anak yang biasa. Ia mulai meletakkan harapan besar pada Michael. Ini berdasarkan pada kualitas mengagumkan dari pikiran dan juga jiwanya. Pada awal tahun 1947, ia bermimpi di mana sang wanita menunjukkan kepada dia, jalan setapak yang ditutupi mawar-mawar, dan mengundangnya untuk berjalan di atas tanah, yang juga dipenuhi mawar-mawar. Ketika Don Bosco mulai berjalan di atas tanah, ia menemukan bahwa mawar-mawar itu mempunyai duri-duri yang sangat tajam. Beberapa yang menonton, yang tertarik karena mawar-mawar, tertarik untuk mengikuti dia. Tetapi, sekali mereka merasa duri yang tajam menusuk mereka, mereka dengan bergegas menarik diri. Ketika Don Bosco mulai meneteskan air mata, memohon pertolongan, Sang Wanita menunjukkan kepadanya sekelompok pastor-pastor, frater-frater, dan kaum awam. Orang-orang inilah yang nantinya akan berjalan beriringan bersama dengannya. “Kami adalah milikmu, Don Bosco!” mereka berseru. “Kami di sini untuk mengikutimu ke manapun engkau pergi.”
Sebagai kepala dari grup ini, Don Bosco yakin bahwa ia melihat Michael Rua.
“Jadi, Michael, apa keputusanmu?” tanyanya kepada anak laki-laki itu.
“Aku pikir aku dapat mulai bekerja di pabrik. Dengan cara itu, aku dapat menolong ibuku. Ia telah berbuat begitu banyak untuk kami.”
“Tidakkah kau ingin melanjutkan studimu?”
“Sebenarnya aku ingin sekali, Don Bosco. Tetapi kau tahu bagaimana situasi di rumah.”
Don Bosco menatap anak itu dengan serius. “Bagaimana jika kau ditawari kesempatan untuk belajar bahasa Latin? Mungkin Tuhan yang Baik memanggil engkau untuk menjadi seorang pastor. Apa kau menyukainya?”
“Oh, Don Bosco, aku sangat menyukainya. Tapi apa yang akan dikatakan ibu nanti?”
“Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya – tanyakanlah kepadanya.”
Michael hampir tidak menunggu untuk mengucapkan selamat tinggal, tetapi langsung pulang ke rumah. Ia menceritakan kepada ibunya pertemuannya dengan Don Bosco, dan pada akhirnya, ia bertanya bagaimana pendapatnya tentang usul Don Bosco.
Untuk sesaat, ibunya tetap sibuk dengan pekerjaannya. Pada akhirnya, ia berhenti, melap tangannya di celemeknya, dan duduk.
“Datanglah ke sini, anakku.” katanya.
Michael datang mendekatinya.
“Anakku,” katanya. Matanya dibasahi air mata, dan dia memegang kedua tangan anaknya. “Betapa inginnya aku melihatmu menjadi seorang pastor! Tuhan sendiri tahu jika Ia memberikan rahmat sebesar itu kepadaku, aku tidak akan pernah bisa cukup bersyukur kepada-Nya. Kau bisa memberitahu Don Bosco bahwa aku mengizinkanmu untuk belajar satu tahun lagi dan kemudian kita melihat bagaimana keadaannya.”
Tapi janji yang telah Michael buat kepada Bruder-Bruder Kristiani? Penyelengaraan Ilahi menyingkirkan halangan itu. Tahun itu juga, sang Bruder yang menerima janji Michael dipindahkan ke sekolah lain di luar Turin.
Bab 2
Beberapa kejadian yang paling menggecewakan dan membuat Don Bosco harus menderita bukan berasal dari orang-orang luar, tetapi dari mereka yang dapat ia panggil sebagai anggota dari keluarga religiusnya. Sering kali dia melihat para pembantunya ini mulai bekerja dengan semangat antusias, lalu ketika waktu telah berjalan, semangat mereka mulai berkurang, atau ada tawaran atau tanggung jawab lain yang membuat mereka menarik diri. Hal ini terjadi pada para pastor yang telah ia undang untuk mengurus kebutuhan spiritualitas anak-anaknya, juga orang-orang yang ia undang untuk bekerjasama dengannya; termasuk juga para penderma. Hal ini juga terjadi – yang paling membuatnya sakit hati – pada anak-anak muda yang telah ia urus dengan cara yang spesial dan telah ia didik sampai menjadi pastor. Pengkhianatan yang terus-menerus ini memaksa dia untuk menyimpulkan bahwa ia harus mulai dengan kelompok inti anak-anak lelaki yang sangat muda dan spesial, yang akan menjadi setia padanya, yang dapat dipanggilnya sebagai anaknya sendiri, yang dapat ia didik sesuai pikirannya. Bahwa ia masih mengambil tantangan ini setelah begitu banyak pengkhianatan, bisa kita anggap sebagai suatu pencapaian dari kegigihannya yang luar biasa.
Ini adalah salah satu alasan mengapa keinginan Michael untuk belajar menjadi seorang pastor berarti begitu banyak baginya. Ia sudah melihat dalam diri anak itu bahwa ia akan menjadi anggota kelompok spesial yang akan selalu setia padanya, yang akan mengabdikan diri pada karyanya, yang akan, bisa dibilang, menjadi miliknya.
Dengan begitu banyak harapan yang tinggi pada Michael, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui, ketika bertanya tentang kemajuannya dalam belajar, diberitahu bahwa Michael gagal. Yang mengajar anak itu pada saat itu adalah seorang anak muda yang bernama Felix Reviglio yang sudah dipilih Don Bosco sebagai salah satu staf gurunya. Don Bosco selalu menggunakan cara-cara yang tersedia pada saat itu, walaupun tampaknya tidak cukup baik. Setelah beberapa minggu pelajaran berlangsung, dia bertanya kepada Reviglio tentang keadaan murid-muridnya.
“Semuanya bisa dibilang baik.” kata Reviglio. “Semuanya, kecuali satu.”
“Siapa itu?”
“Michael Rua”
“Rua? Tidak mungkin!”
“Saya kuatir memang demikian. Ini nilai-nilainya. Engkau dapat melihat sendiri bahwa dia tidak begitu mementingkan pelajaran bahasa Latinnya.”
Untuk sesaat Don Bosco kelihatan amat bingung. Apakah Rua akan menjadi seperti yang lain? Tetapi bagaimana hal itu mungkin ketika ... “Saya yakin dia cukup pintar. Sekurang-kurangnya untuk mengimbangi teman-teman sekelasnya.”
“Mungkin dia kurang berusaha.”
Memutuskan untuk tidak berkonfrontasi secara langsung, Don Bosco memanggil Joseph Buzzeti, anggota lain dari kelompok itu, dan memberitahukan dia apa yang harus dia lakukan.
“Begini, Michael,” kata Buzzeti ketika mereka bertemu. “Don Bosco menanyakan Reviglio bagaimana hasil belajar kelasnya. Reviglio berkata kepadanya, bahwa dia menjamin kesuksesan semua murid kelasnya – dengan sebuah pengecualian. Engkau. Dia berkata bahwa engkau tidak terlalu baik dalam pelajaran-pelajaran – khususnya Latin. Percayalah padaku, ketika Don Bosco mendengar hal itu, ia kelihatan sangat kecewa.
Pada saat ia menyebut nama Don Bosco, Buzzeti mengingat, apa akibat dari laporan itu, muka Michael menjadi pucat dan gemetar. Mulai dari saat itu ia tidak pernah mengabaikan pelajarannya. Beberapa orang memberi alasan bahwa ia kurang tertarik pada pelajaran di kelas karena ketika ia bersama para Bruder, ia telah terbiasa dengan metode para guru yang ahli, sedangkan dengan Reviglio ia tidak melihat metode sama sekali. Apapun alasannya, hanya itulah saat ia pernah gagal dalam pelajarannya.
Hidup terlihat lebih cerah ketika Don Bosco, pada minggu-minggu pertama bulan September, membawa bersamanya seratus anak laki-laki pergi untuk mengadakan retret di seminari minor di Giaveno, kurang lebih 15 mil dari bagian Barat Turin. Sekalipun usia Michael belum sampai 16 tahun, atas kehendak Don Bosco, diikutsertakan dengan anak-anak yang lain. “Pada akhir retret,” tulis Michael, “Don Bosco berkata kepada kita bahwa ia akan memberikan 3 kotbah: Yang pertama adalah: Buatlah Latihan Kematian yang Bahagia setiap bulan. Kedua: Buatlah Latihan Kematian yang Bahagia dengan baik setiap bulan. Ketiga : Buatlah Latihan Kematian yang Bahagia dengan sangat baik setiap bulan.”
Sebuah peristiwa menyenangkan yang kedua datang di bulan September itu ketika Don Bosco mengundang beberapa anak untuk menghabiskan beberapa hari bersamanya di perkebunanan saudaranya di Becchi, dekat Castelnuovo, tempat kelahiran Don Bosco. Dia telah mengubah sebuah ruangan menjadi kapel kecil yang dipersembahkan kepada Bunda Rosario, dan setiap bulan ia selalu membawa beberapa anak-anak bersamanya untuk melewatkan pesta itu dengan mengunjungi beberapa gereja di daerah tersebut. Ketika Don Bosco mengundang Michael, dia sangat gembira. Selain daripada kegembiraan alami seorang anak kota yang akan menikmati beberapa hari di pedesaan, juga ada kegembiraan karena bisa menghabiskan liburan bersama dengan Don Bosco. Selama hari-hari itu, Don Bosco bebas dari pekerjaan yang lain, juga sangat menikmati kegembiraan bersama anak-anaknya. Satu kebiasaan adalah bahwa anak-anak itu turut serta dalam upacara gereja, menyanyi koor dan menjadi pelayan altar. Pastor paroki lalu akan membalas jasa itu dengan mengundang anak-anak itu untuk makan dan minum barsamanya, biasanya makanan tradisional Piedmontese Polenta (sup dari jagung).
Pastor Anthony Chinzano, pastor paroki Castelnuovo, adalah seorang teman baik Don Bosco, dan ketika anak-anaknya mengunjungi gerejanya, dia mengundang mereka untuk makan malam bersama.
Yang membantu pastor Cinzano pada saat itu adalah seorang anak laki-laki yang bernama John Cagliero, yang memiliki karakter asli, pintar dan penuh semangat. Dia juga tertarik dalam belajar untuk menjadi seorang pastor dan Pastor Cinzano menjadi guru Latinnya. Cagliero barkata bahwa dia dan Rua segera tertarik satu sama lain mungkin karena perbedaan karakter mereka. Pertemuan mereka yang pertama, masih menurut Cagliero, tidaklah begitu menarik.
John sudah mulai membagi makanan dan minuman yang biasa ketika salah satu anak yang lebih tua, sadar bahwa John mengatur rumah itu, mendekat kepadanya dengan tersenyum.
“John,” katanya. “Kamu kelihatannya seperti bos di sini dan kamu memiliki kunci-kunci gudang anggur. Mengapa kamu tidak memberikan anggur kepada kami yang lebih besar?”
Karena Yohanes memiliki sifat yang baik, dan karena anggur pada daerah itu hampir sama biasa seperti air, ia tidak melihat ada yang salah dari ide itu. Setelah didesak lebih lanjut, ia akhirnya menyerah dan membawa kelompok itu untuk turun ke gudang anggur dengannya. Dengan menggunakan gelas kecil, dia memenuhi gelas itu dari suatu cerek anggur yang besar, dan memberikannya kepada masing-masing anak-anak secara bergiliran. Suasananya menjadi gembira dan mereka tertawa ria, Cagliero menikmatinya seperti mereka yang lain.
Setidaknya itu yang terjadi sampai ia mulai sadar bahwa sesuatu terjadi yang tidak ia mengerti. Tapi suatu hal yang ia yakin: jumlah anak-anak yang telah ia undang ke gudang anggur itu tidak lebih dari setengah lusin. Dan pada saat itu gudang anggur tersebut penuh dengan anak-anak. Tidak hanya itu saja, tapi ia juga mencurigai bahwa ia telah melihat muka yang sama nampak lebih dari sekali untuk minum anggur tersebut.
Lebih jengkel atas pikiran bahwa mereka telah mengambil keuntungan darinya lebih daripada hilangnya anggur, ia memutuskan untuk menghentikannya segera. Tapi, bagaimana caranya? Di depan dia pada saat itu berdiri seorang anak yang agak lemah, dengan lemah mengangkat gelasnya untuk meminta anggur. Karena anak itu kelihatan cukup mudah untuk ditangani, Cagliero memperoleh suatu inspirasi.
“Siapakah namamu?” dia bertanya.
“Rua. Michael Rua. Teman-temanku memanggilku Michelino, atau Michael Kecil.”
“O.K. Michael Kecil.” John mengambil gelas darinya dan dengan lembut tapi tegas mendorongnya keluar dari gudang anggur. “Engkau adalah seorang anak laki-laki yang baik, Michelino,” dia berkata, “dan sekarang engkau bisa keluar segera dan minum segelas kecil air yang baik!”
Yang lain segera memahami tanda itu dan segera keluar dari gudang anggur, meninggalkan John yang segera menguncinya dan berpikir bahwa ia tidak akan mau ditipu seperti itu lagi oleh anak-anak kota yang pintar.
Setelah minggu-minggu itu bergulir menjadi bulan dan bersaman dengan datangnya tahun 1851, Michael, dengan enam pelajar lainnya, melanjutkan studinya mereka di bawah pimpinan seorang guru yang bagus bernama: Pastor Peter Merta. Don Bosco terus-menerus mencari bantuan dari luar untuk anak-anaknya karena ia sendiri tidak mempunyai waktu ataupun fasilitas-fasilitas, untuk memberikan mereka pelajaran. Dia tidak dapat mengirim mereka ke sekolah-sekolah negeri sejak tahun 1837 – pada saat itu merupakan tahun kelahiran Michael – yaitu cara mengajar yang baru berdasarkan metode dari Vincent Troya, sekolah-sekolah itu telah diambil alih oleh kaum liberal dan kaum antiklerikal dan menjadi sumber perlawanan melawan gereja dan juga mengajarkan ajaran materialisme.*
Pada tanggal 2 Februari, saat Pesta Pemurnian, Michael, bersama anak-anak yang lainnya di oratori, menyaksikan sebuah upacara di mana empat dari tujuh temannya menerima jubah.
Pada tanggal 19 Februari, Don Bosco, dengan bantuan dana dari temannya yaitu Abbe Anthony Rosmini, mampu membeli gudang Pinardi dan lapangannya menjadi oratori pertamanya yang tetap (tak berpindah).
Sukacita Michael atas peristiwa-peristiwa itu tidak berlangsung lama sebab beberapa hari berikutnya yaitu pada tanggal 25 Februari saudaranya Lois, yang sangat ia sukai, meninggal. Peristiwa ini sangat membuatnya sedih dan diperlukan semua kebaikan hati ibunya serta dorongan semangat dari Don Bosco untuk membantunya pulih dari duka itu.
Karena sejak sekarang dia menhabiskan kebanyakan waktunya di oratori, pulang ke rumah hanya untuk makan dan tidur, Don Bosco mengundangnya untuk minum kopi bersama. Hal ini membawanya menjadi dekat dan hal ini memberikan Michael kesempatan untuk memperhatikan setiap perkataan dan tindakan Don Bosco. Dia mengakui bahwa meperhatikan Don Bosco lebih baik daripada membaca buku meditasi. Dan juga bahwa Don Bosco dapat lebih memahami Michael.
Don Bosco berpikir bahwa sudah waktunya untuk membimbing dia pada kerasulan. Dia mulai memintanya untuk mengajar katekismus pada anak-anak kecil daripada membantu secara umum di oratori pada hari minggu. Michael melaksanakannya dengan senang hati. Apabila sudah tiba saatnya bagi anak-anak untuk pergi misa, Michael akan berdiri pada tempat kran air minum untuk mencegah anak-anak yang ingin menerima komuni kudus dari membatalkan puasa mereka. Selama perayaan ekaristi itu ia selalu mendorong anak-anak untuk berdoa dan bersikap tenang dalam gereja. Kesederhanaanya memberikan pengaruh yang luar biasa kepada anak-anak bahwa kehadirannya sendiri sudah cukup untuk mengatasi ketidakpantasan atau berbagai ucapan kotor. Don Bosco juga memberinya kesempatan memimpin kelompok anak-anak itu yang pergi belajar di kota.
Keseriusan dan rasa tanggung jawabnya dalam memperhatikan kelompoknya menyebabkan Cagliero, yang sejak itu datang ke oratori, untuk mendapat suatu masalah dengan Rua. Cagliero telah berjumpa dengan Don Bosco di rumah Pastor Cinzano, dan sejak saat itu untuk pertama kalinya dia tertarik akan kata-katanya. Don Bosco menerima dia di oratori karena ia telah melihat suatu kemungkinan yang besar pada anak itu, dan menemukan dalam dirinya suatu sikap cinta kasih, terbuka, penuh energi, dan sangat setia.
Hal itu terjadi pada suatu saat ketika sedang menuju kelas, Cagliero yang merupakan salah satu anggota dari kelompok itu, telah memperhatikan sesuatu yang sangat menarik baginya – akrobat jalanan dan pesulap yang ditunjukannya di jalan untuk menghibur orang yang lewat. Alasan atas ketertarikan Cagliero pada para penghibur itu adalah karena ia sangat ingin meniru idolanya yaitu Don Bosco, di setiap cara yang mungkin. Ketika dia mendengar bahwa Don Bosco telah menarik anak-anak muda kepadanya dengan melakukan segala macam trik – termasuk juga berakrobat – Cagliero berkeinginan untuk berbuat seperti itu juga. Jalan terbaik yang ia tahu untuk mempelajari berbagai trik itu adalah dengan menonton para ahlinya. Jadi ia mengatur suatu cara dimana ia bisa menonton mereka dan tidak terlambat datang ke oratori. Dia mengatur waktu untuk segera berlari ke tempat mereka setelah pelajaran selesai, menonton sebentar, lalu berlari di sepanjang jalan ke rumah, sampai di sana selagi mereka masuk ke dalam oratori.
Ini mungkin baik-baik saja bagi Cagliero, namun bagi Rua tidak. Itu adalah sebuah pelanggaran disiplin. Rua merasa bertanggung jawab terhadap setiap anggota kelompok, termasuk Cagliero. Dia sudah memperhatikan bagaimana Cagliero kurang menaati peraturan-peraturan dan regulasi, dan hal ini tidak dia mengerti. Baginya peraturan merupakan ekspresi dari keinginan Don Bosco, yang menjadi pedoman untuk mereka turuti; dan melaksanakan dengan tepat apa yang diinginkan Don Bosco adalah hidup dan mati bagi Rua.
Dia selalu mengingatkan pelanggaran peraturan ini kepada Cagliero tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Cagliero tetap bersikeras bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan apapun. Apakah dia terlambat datang ke oratori atau ke sekolah? Apa lagi yang Rua inginkan? Rua menjaga kesabarannya, berharap bahwa akan ada perubahan hati Cagliero. Namun ketika dia melihat bahwa tidak ada perubahan yang muncul, dia memutuskan untuk membawa hal-hal tersebut pada Don Bosco. Kesimpulannya atas situasi itu: Ketidaktaatan Cagliero yang terus menerus dan tidak hormat terhadap peraturan di oratori merupakan sumber contoh yang buruk kepada yang lain. Demi kebaikan oratori, Don Bosco harus mengirim Cagliero pulang ke rumah!
Don Bosco sudah tahu sekarang bahwa ketika Rua begitu keras, Cagliero pasti telah berbuat keterlaluan. Namun, dia tidak ingin kehilangan seorang seorang anak dengan potensi besar seperti Cagliero. Setelah dengan tersenyum mengusulkan bahwa, Michael mungkin perlu lebih banyak menggunakan madu dan mengurangi cuka, dia lalu mengatakan kepadanya untuk mengirimkan Cagliero ke kantornya dengan segera.
Ketika Cagliero diberitahu bahwa Don Bosco ingin melihatnya, dia mulai kuatir. Rua telah mengawasinya untuk waktu yang lama dan bahkan anak-anak baru di oratori pun tahu bahwa ketika Rua mengusulkan sesuatu, bisa dipastikan bahwa itu adalah keinginan Don Bosco. Dia menaiki tangga menuju ke lantai kedua yang memiliki balkon kecil di mana ada ruangan Don Bosco dan kemudian mengetuk pintu Don Bosco. Ketika dia masuk ke dalam ruangan dia menemukan Don Bosco sedang duduk di meja dengan tumpukan-tumpukan surat yang penuh.
“Apakah itu engkau, John?” Don Bosco tetap menulis.
“Ini saya, bapa.”
Don Bosco terus menulis satu surat setelah yang lain, sepanjang waktu itu Cagliero membuat pemeriksaan batin yang menyakitkan. Dia berdiri di situ amat lama sehingga ia mulai berpikir bahwa Don Bosco telah melupakan tentang dia, sampai akhirnya Don Bosco meletakkan bolpennya, dan menyender pada kursinya.
“Apakah akhir-akhir ini kau menjadi seorang anak yang baik, John?”
Wajah Cagliero berubah dan ia mengubah pijakan kakinya.
“Rua sudah berbicara kepadaku mengenai kamu. Dan aku berharap bahwa apa yang ia katakan mungkin sedikit berlebih-lebihan. Bagaimana menurutmu?”
Cagliero sudah hendak mempertahankan dirinya dengan sengit ketika dengan cepat ia sadar bahwa Don Bosco tahu segalanya. Ia selalu begitu. Ia segera menyadari bahwa ia tidak dapat berkata apa-apa lagi.
“John,” lanjut Don Bosco setelah beberapa saat hening. “Apakah kamu hendak memaksaku bertindak? Apakah kamu sedang mencobai aku agar mengusir kamu dari oratori? Setelah semua hal yang bagus yang kita bicarakan mengenai rencana untuk masa depan ketika kita mengendarai kereta dari Castelnuovo?”
Ini sungguh berlebihan bagi Cagliero. Ia lalu mulai menangis dan menjatuhkan diri pada lutut Don Bosco, berusaha untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya ada di balik pikirannya ketika ia pergi untuk melihat para pemain akrobat dan tukang sulap.
Don Bosco membiarkan dia melepaskan semua bebannya itu. Pada waktu yang sama pikirannya kembali pada hari itu ketika ia belajar semua trik itu – bahkan berjalan di atas tali dengan resiko kepala pecah! Setelah selesai mengingat hal itu, ia berpaling lagi kepada anak laki-laki itu.
“Sudah, sudah!” hiburnya. “Aku tahu bahwa kau tidak punya maksud sedikit pun untuk menyakiti Don Bosco tua yang malang ini. Namun, jika engkau ingin membantunya kau harus belajar untuk mengikuti peraturan oratori dan mentaati apapun yang harus di lakukan. Rua hanya melakukan hal yang aku beritahukan kepadanya. Sekarang engkau harus mengikuti contohnya ini. Maka, sebagai penebusanmu pergilah ke kapel dan mintalah rahmat kepada Bunda Maria untuk … pertobatan yang lengkap!”
Kemudian anak itu bangkit dan mencium tangan Don Bosco dan kemudian berkata sesuatu tentang tidak mau menyakiti hati Don Bosco.
Saat itu mata Don Bosco lah yang bersinar. “John Cagliero, kebanggaan Castelnuovo, menyakiti Don Bosco? Tidak, suatu hari engkau akan memberikan penghiburan yang terbesar dalam hidupku!”
Meskipun ada peningkatan partisipasinya dalam kerasulan, Rua tetap mampu mengatur agar tetap menjadi yang terunggul dalam kelasnya. Profesor Charles Joseph Bonzanino yang menggantikan ketika Pastor Merta tidak bisa lagi membantu, adalah seorang guru yang sangat baik dan pengagum Don Bosco. Selain ingin bekerja sama dengan karya Don Bosco, dia juga punya motif lain dalam pikirannya. Kelas-kelasnya, karena reputasinya, terdiri kebanyakan dari anak-anak kaya dari keluarga di Turin, yang tidak merasakan adanya dorongan untuk bekerja lebih keras dalam belajar. Bonzanino berharap anak-anak Don Bosco, akan memberikan insentif bagi yang lain untuk menjadi lebih baik.
Di antara mereka ada juga Rua, yang menurut John Baptist Francesia, seorang dari kelompoknya, setelah beberapa test, memperoleh tempat terhormat dan mempertahankannya sewaktu dia masih berada di sana.
Kali ini, ketika Don Bosco bertanya tentang bagaimana kemajuan anak-anaknya, Bonzanino menjawab:
“Apakah engkau tahu siapakah yang menjadi yang terbaik di kelas ini?”
“Marchisio?” Ini adalah seorang anak lain yang juga pintar.
“Dia memang baik. Tetapi Rua lebih pintar lagi di antara semuanya.”
Kesuksesan Rua dalam belajar, semangatnya untuk kebaikan oratori, dan devosinya kepada Don Bosco, pelan-pelan mulai menarik perhatian mereka yang lain. Satu di antara mereka, Angelo savio, menemuinya sewaktu istirahat kelas.
“Apakah engkau tahu bahwa Don Bosco telah berbicara pada beberapa diantara kita mengenai engkau, Michael?” dia bertanya.
Michael menggelengkan kepalanya.
“Dia mengatakan kepada kami bahwa dia menemukan dalam dirimu seseorang untuk menggantikan tempatnya dalam menjalankan oratori.”
Tentu saja Don Bosco telah memberikan lebih daripada sebuah petunjuk tentang bagaimana kepercayaannya kepada Rua sekarang.
Oratori telah berhasil sampai pada suatu tahap bahwa Don Bosco memulai pembangunan dari sebuah gereja baru yang dipersembahkan kepada St. Fransiskus Sales dimana bagian di sebelah barat bersebelahan dengan gudang Pinardi. Gudang itu telah lama dijadikan tempat tinggal. Setelah gereja itu selesai, ia merasa lebih yakin daripada sebelumnya bahwa mimpinya suatu hari akan menjadi kenyataan. Dia bercerita banyak kepada Michael. Salah satu dari mimpinya yang telah ia beritahu kepadanya adalah sebuah bangunan yang sama besarnya dengan gereja yang sedang dibangun sekarang ini. Pada bagian muka gereja itu tertulis kata-kata: Haec Domus Mea. Hinc Inde Gloria Mea yang artinya adalah: “Inilah rumahKu. Dari sini akan terpancar kemuliaan-Ku.” Ratusan anak laki-laki dan para klerik berlarian masuk dan keluar gereja. Kemudian, dengan sekejab, seluruh hal itu tidak nampak lagi dan ia menemukan dirinya sedang memandangi gudang Pinardi.
Michael Rua akan membantu, mungkin tanpa penuh kesadaraan tentang pentingnya, pada saat hari yang telah lama Don Bosco rencanakan, pada saat ia mengikuti pertemuan Sabtu malam pada tanggal 5 Juni 1852. Pada dasarnya, ini merupakan suatu urusan yang sederhana. Michael sendiri mencatat semuanya itu, bahwa “Don Bosco dan empat belas orang yang lain – di antara mereka adalah Rua, Cagliero dam Francesia – berkumpul untuk sebuah pertemuan dimana telah disetujui bahwa masing-masing mereka akan mendoakan setiap hari Minggu “Tujuh Sukacita Bunda Maria.” Setahun kemudian mereka akan melihat siapa yang telah bertekun dan mengamalkannya sampai tanggal 1 Mei 1853.” Pada pertemuan itu Don Bosco mengusulkan agar setiap orang memilih di antara mereka sendiri seseorang yang lain sebagai pengawas rahasia, yang dalam cara yang penuh cinta kasih, akan membuat mereka sadar akan kekurangan-kekurangannya. Untuk pengawas rahasianya, Michael memilih Reviglio.
Apa sikap Don Bosco terhadap kelompok para klerik yang telah ia bentuk? - terhadap para superior gerejanya? – dan terhadap kekuasaan negara? Untuk memahami hal-hal itu, sesorang harus mempunyai suatu pengetahuan tentang saat itu di dalam sejarah pada waktu ia hidup. Dia sungguh kurang beruntung sebab dia selalu berada di antara dua api: yaitu gereja dan negara. Ini merupakan suatu situasi yang menyakitkannya karena dia juga mencintai negaranya. Sedangkan di pihak yang lain dia sangat setia kepada Paus.
Piedmontese untuk berbagai alasan, tetapi secara prinsipil karena merupakan tempat kedudukan House of Savoy, raja-raja yang dibutuhkan para pemberontak sebagai simbol dan pemimpin, adalah pusat dari gerakan Italia – Satu – dan – Bebas. Sampai saat itu, Italia telah ditentukan oleh para penguasanya sebagai tanda geografis. Setelah Novara, (1848), meskipun dalam kenyataan mereka telah menderita dua kekalahan, orang-orang Italia tidak akan pernah menjadi puas sampai mereka mengusir para penjajah, menyatukan Italia, dan menjadikan Roma pusatnya.
Tahta Suci menentang gerakan ini dengan sebuah alasan sederhana bahwa hal tersebut akan mencabut haknya akan Papal States (suatu negara bagian), dan tentu saja Roma. Hal itu juga melawan ide dari pemerintah demokratik di Roma, setidaknya, karena itu dapat yang akhirnya dapat dipahami oleh orang-orang sesuai dengan hukum gereja universal. Mereka bahkan dapat turut serta dalam pemilihan Paus!
Bagi orang-orang Italia yang berkeinginan untuk melakukan tugas mereka untuk negara dan tetap setia kepada gereja, zaman itu sangat berat dan membingungkan. Mengambil keuntungan dari situasi yang kacau ini adalah kaum liberal, yang membenci kepausan, kepada agama Katolik dan kepada setiap bentuk aliran religius yang lain. Mereka juga siap mengambil keuntungan dalam setiap kesempatan untuk melawan Gereja, untuk membuat setipa perkataan dan perbuatan anggota-anggota Gereja tampak melawan kemajuan, kebebasan dan persatuan. Tentu saja, mereka mempunyai banyak kesempatan untuk itu. Sangatlah sulit untuk menjaga keseimbangan pada situasi sepert itu. Masalah-masalah Gereja dan negara adalah sesuatu yang baru dan hanya ada sedikit orang yang berpikiran jangka panjang agar mampu memecahkan masalah.*
Musuh-musuh agama sukses membuat lolosnya Hukum Riccardi, menyita semua barang kepemilikan serikat-serikat religius, pembubaran komunitas-komunitas dan bahkan mengirim uskup agung ke pembuangan. Istilah frate atau friar (biarawan) menjadi tidak terhormat lagi, keluarga-keluarga kalangan atas tidak mengganggap suatu kehormatan lagi bila ada anggota keluarganya yang menjadi religius atau pastor. Seminari mayor ditutup, dan pihak penguasa merasa mampu menolak hak rakyat yang paling dasar bagi kaum klerus, dan bagi mereka yang tinggal di dalam institusi religius yang masih diizinkan berdiri demi pelayanan bagi rakyat.
Tetapi justru pada masa dan situasi seperti itulah Don Bosco merencanakan untuk membangun sebuah konggregasi religius yang baru! Bakan uskup agungnya sendiri tidak tahu apa yang Don Bosco pikirkan. Dia yakin bahwa Don Bosco sedang menyiapkan frater-frater masa depan untuk keuskupannya! Hal ini tidaklah sulit untuk dimengerti karena sepanjang hidupnya, Don Bosco sudah memberikan sekitar dua ribu pastor untuk keuskupan Italia.
Dengan mempertimbangkan semua hal ini, sangatlah mudah untuk memahami mengapa Don Bosco sangat berhati-hati dalam hubungannya dengan kedua kekuasaan baik Gereja maupun pemerintah – bahkan dengan anggota-anggota masa depan konggregasi nya!
Setelah sebuah retret di Giaveno selesai, Don Boco memanggil Michael.
“Michael-ku yang terkasih,” dia berkata. “Saya harus memberitahukanmu bahwa saatnya telah tiba dimana kau harus memutuskan untuk meninggalkan keluarga atau tinggal secara permanen di Oratori. Hal itu tentu berarti suatu jalan hidup yang baru untukmu. Kamu akan harus menyeberangi laut merah dan padang gurun sebelum engkau dapat memasuki tanah terjanji. Tetapi saya meyakinkan engkau, Michael, bahwa jika engkau tinggal dengan saya dan membantu saya, kita akan berhasil melintasi keduanya, dan bersama-sama memasuki tanah terjanji.”
Michael belum terlalu paham dengan apa yang dimaksud Don Bosco menyeberangi laut merah atau tanah terjanji. Apa yang dia sangat pahami adalah apa yang ia ingini lebih daripada yang lainnya adalah untuk tinggal dengan Don Bosco. Dia sudah memutuskan hal itu untuk beberapa lama. Sejauh yang dia pedulikan, satu-satunya hal yang membuatnya ragu adalah bagaimana meyakinkan mereka yang ada di rumah.
Ketika dia mengatakan hal ini di rumah, terjadilah keribuatan.
“Apakah engkau sudah gila?” kata saudara-saudaranya. “Engkau tidak boleh menghubungkan hidupmu dengan Pastorat! Siapa yang tahu bagaimana nasibnya akan berakhir? – dan kau akan berada bersama dia. Bagaimana nasibmu nanti tanpa keterampilan-keterampilan yang berguna? – bahkan tanpa satu pekerjaan? Mengapa engkau tidak mengikuti anggota-anggota keluargamu yang lain dengan bekerja di pabrik? Kita mengikuti ayah dan kita sudah cukup sukses. Dengan pelajaran-pelajaran sekolah yang telah engkau ambil dan dengan kepintaranmu kau bisa menjadi orang yang sukses.”
Mereka bahkan berusaha mendapat bantuan dari mamanya untuk melawan dia, menanyakan kepadanya bagaimana jika dia sudah tua dan Michael meninggalkan dia. Mereka sendiri, merupakan anak dari mama yang lain, sudah pergi dan membuat keluarga sendiri. Yang mamanya katakan sebagai jawaban adalah bahwa ia tidak akan mencampuri rencana Michael.
Michael sendiri menjawab dengan sikapnya yang biasa. Dia mendengarkannya dengan tenang. Tetapi sebelum Don Bosco memperbolehkan dia untuk memutuskan niatnya, dia mengirimnya untuk membicarakan hal itu dengan Direktur Convitto Ecclesiastico, Pastor Joseph Cafasso.* Ketika semua permasalahan menjadi jelas, pada 24 September, Michael menjadi anak ke-37 yang tinggal secara permanen dengan Don Boso di oratori.
Lalu datanglah tanggal 3 Oktober 1853, ketika Don Bosco memutuskan untuk memberikan jubah kepada Michael dan seorang anak yang lain bernama Joseph Rocchieti, tang berusia delapan belas tahun. Don Bosco melakukan hal ini karena dia ingin memberi semangat kepada mereka berdua dan anak-anak yang lain, dan karena dia membutuhkan bantuan dari kedua frater itu untuk mengawasi oratorinya yang sedang berkembang. Tentu saja hal ini didahului dengan sebuah retret di seminari minor Giovani. Uskup Agung Turin – Mgr Franzoni, telah mengizinkan Don Bosco untuk memberikan jubah kepada para fraternya, asal saja mereka diuji terlebih dahulu oleh keuskupan.
Selama perjalanan tahunan ke Becchi untuk pesta Bunda Rosario, Rua dan Rochieti menerima jubah. Pastor Cinzano memberikan kepada Rocchieti dan Pastor John Baptist Bertagna memberikannya kepada Rua. Itulah kali terakhir Michael pernah terlihat berpakaian baik.
Setelah upacara selesai, Pastor Cinzano berpaling pada Don Bosco.
Dia berkata, “Apakah kau ingat ketika dirimu masih seorang frater? Engkau sering mengatakan kepadaku tentang memiliki sekelompok pastor, frater, pelajar dan aspiran, sebuah kelompok band dan gereja yang besar? Dan sebagaimana seringnya saya berkata padamu bahwa engkau gila?” Dia tertawa ketika mengingat hal itu. “Dan sekarang,” dia membuat kesimpulan, “saya mulai berpikir bahwa engkau mungkin dapat memperoleh semua itu!”
Sambil pastor tersebut bercerita, mata Don Bosco tertuju kepada Rua, dan berpikir tentang mimpinya tentang bunga-bunga mawar dan duri-duri.
Untuk beberapa hari pertama dapat dimaklumi bahwa Rua masih belum terbiasa hidup di oratori dan menggunakan jubah dan itu masih dapat dimengerti. Ketika dia melihat Don Bosco, dia akan tersenyum dan Don Bosco pun akan membalas senyumnya. Lalu pada suatu hari tiba-tiba dia mengingat sesuatu yang telah beberapa waktu menganggunya, sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada Don Bosco, tetapi segan untuk mengatakannya. Dengan didorong oleh keintiman yang telah tumbuh di antara mereka, akhirnya dia memberanikan diri untuk menghadapnya.
“Don Bosco,” dia berkata. “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepadamu.”
“Apa itu, Michael?”
“Apakah yang sebenarnya kau maksudkan pada hari itu di Porta Palazzo ketika engkau berpura-pura memotong setengah tanganmu dan memberikannya kepadaku?”
“Michael-ku yang terkasih,” kata Don Bosco, dan dia tidak lagi tersenyum. “Denagn hal itu yang saya maksudkan – dan jika engkau tidak mengertinya sekarang, engkau akan mengertinya kemudian – engkau dan aku akan dalam segala sesuatu berbagi setengah-setengah!”
Melihatlah Rua menjadi sangat serius, dia menambahkan: “Tetapi kau hal itu seharusnya tidak aneh lagi untukmu. Engkau sudah berbagi setengah dari pakaian-pakaianku – mantel dan jubahku!”
Bab 3
“Saya tidak berpikir bahwa aku pernah melihat dia begitu tidak bahagia,” tulis Francesia. “Hal itu terjadi pada tengah musim semi dan pada saat itu sedang turun hujan – benar-benar hari yang menyedihkan! Kami baru saja pergi bersama ke kelas dan saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, ‘Engkau kelihatan begitu sedih Michael, ada apa?’”
Dia menjawab sambil matanya menatap ke langit, “Kakakku Johanes Pembaptis baru saja meninggal.”
Kematian dalam keluarga, mungkin dengan cara yang baik, mempengaruhi Michael lebih daripada peristiwa lain.
Johanes-Pembaptis Rua berumur 23 tahun, adalah yang terakhir dari tiga orang anak selain Michael, - tiga orang laki-laki dan seorang perempuan – yang telah dilahirkan oleh isteri kedua ayahnya. Kesehatannya tidak pernah baik. Hal ini membuat Mama Michael sendirian di pabrik sejak anak-anak dari isteri pertama sekarang tinggal di tempat lain. Belakangan, Don Bosco menyarankan agar Mama Michael tinggal di sebuah rumah dekat Oratori yang sudah Don Bosco beli dengan tujuan untuk perluasan di masa mendatang.
“Sekarang adalah giliranku!” Michael sedang berkomat-kamit, dan dia merasa mulai tidak sehat. Ia merasa kematiannya sudah sangat dekat.
Untuk mencegahnya terus menerus bersedih, Don Bosco mengirim Rua ke sekeliling Valdocco untuk mengumpulkan anak-anak dan memberikan pelajaran-pelajaran katekismus. Sekarang, setelah Gereja St. Fransiskus selesai dibangun, Don Bosco akan dapat menerima lebih banyak anak laki-laki pada setiap hari Minggu dan hari Pesta. Dengan taat, Rua mengumpulkan beberapa anak perempuan kecil sebagai penrik, dan membunyikan bel untuk menarik perhatian anak-anak di Valdocco.
Di samping itu, Don Bosco juga memberikan Rua tugas lain yang menyita waktu – mengoreksi dan menyiapkan untuk dicetak hasil karyanya yang baru – kumpulan booklet tentang agama berjudul Bacaan Katolik. Bukanlah tugas mudah untuk memahami tulisan Don Bosco. Tidak pernah dalam hidupnya Don Bosco menulis dengan baik, dan tulisan tangannya tidak membaik seiring bertambahnya usia. Selain tulisannya yang buruk, ia akan mengoreksi dan mengoreksi lagi naskahnya, menambah catatan-catatan, menghapus atau melampirkannya dalam catatan-catatan kaki... Seseorang berkata ketika melihat naskah Don Bosco seperti “terlihat seperti kekacauan di medan perang”! Menyadari hal itu dengan baik, Don Bosco akan mengirimnya kepada Rua. “Di sini ada sedikit mutiara untukmu” kata Don Bosco. Kemudian dia juga menambahkan, “Tetapi engkau harus berada dalam Rahmat Tuhan untukmemahaminya!”
Bacaan-bacaan Katolik ini menyebar begitu cepat ke semua daerah di Piedmont dan daerah-daerah lain di Italia. Karena hasilnya begitu baik, hal itu juga membuat kepala Don Bosco menjadi sasaran orang-orang yang anti-klerikal. Hal ini membuat mereka begitu marah sehingga mereka memberitahunya, bahwa apabila Don Bosco tidak berhenti mencetaknya, mereka tidak bisa menjamin hidup Don Bosco. Ini bukan ancaman kosong. Lebih dari sekali mereka berusaha untuk membunuhnya, suatu kali menembaknya pada saat dia berkotbah pada anak-anaknya.
Itulah saat Grigio muncul. Grigio telah memberikan kepada penulis-penulis biografi Don Bosco beberapa dokumen-dokumen yang paling menarik dari riwayat hidup seorang kudus.
Grigio atau Gray, dari warna bulunya, digambarkan oleh mereka yang melihatnya sebagai sesuatu di antara seekor anjing dan seekor serigala pemburu. Tidak ada seorangpun yang tahu darimana ia datang dan kemana ia pergi, setelah ia selesai mengerjakan tugasnya. Ia muncul pada suatu sore di tahun 1852 untuk menemani Don Bosco pulang melewati daerah yang berbahaya di Valdocco, di mana orang-orang jahat berkumpul untuk beristirahat di malam hari. Pertama-tama Don Bosco mengira bahwa binatang itu akan menyerang dia. Namun, anjing itu segera menunjukkan tanda-tanda bersahabat, mengais-ngais jubahnya, menjilat tangannya dan mengibas-ngibas ekornya.
Sesudah itu, kapanpun Don Bosco dipanggil pada malam hari, Grigio akan muncul di sampingnya, menemaninya pergi dan pulang lalu menghilang. Kadang-kadang Mama Margareta cemas terhadap keselamatan puteranya, oleh karena itu ia mengutus anak laki-laki yang badannya besar untuk menyusulnya. Ketika mereka menemukan Don Bosco, mereka juga menemukan Grigio untuk melindungi mereka.
Akanlah lebih mudah untuk melupakan Grigio dari ingatan daripada menjelaskannya. Tetapi terlalu banyak orang melihatnya di sekitar Oratori, di lapangan permainan, bahkan di ruang makan dengan banyak anak laki-laki. Akanlah lebih mudah untuk menganggapnya sebagai seekor serigala pemburu biasa yang ramah, tetapi para saksi menyatakan bahwa banyak kejadian aneh yang berhubungan dengan Grigio.
Terakhir kalinya ia menyelamatkan Don Bosco dari bahaya adalah pada musim gugur tahun 1866 ketika Don Bosco sedang berada di Castelnuovo. Suatu sore ia sedang berjalan sendirian melewati rumah seorang petani, ketika dia mendengar rentetan suara menggeram-geram, lalu sebuah hidung yang hangat menyerodok tangannya.
“Grigio!” dia berseru karena kaget. “Apa yang engkau lakukan di sini begitu jauh dari Turin?”
Jawabannya datang beberapa saat kemudian. Dua ekor anjing penjaga yang galak, ketika mendengar suara Don Bosco, berlari kepadanya. Jika ia sendirian, ia pasti akan terluka parah. Namun, kedua binatang yang galak itu bukan tandingan Grigio, dan. Don Bosco pulang tanpa luka apapun.
Di rumah dimana Don Bosco tinggal, beberapa anak laki-laki, ketiak mendengar bahwa Grigio tidak pernah makan apapun, memutuskan untuk mengetesnya. Mereka mengunci dia pada malam hari, bermaksud menahannya di situ sampai ia lapar. Ketika mereka pergi mencarinya pada pagi hari, dia sudah tidak ada. Itulah saat terakhir seseorang pernah mendengar suara Grigio.*
Meskipun sudah banyak pekerjaan-pekerjaan dan tanggung jawab yang sekarang Don Bosco sudah percayakan kepada Rua, pada musim panas tahun 1853, Michael masih harus kuliah. Bahkan, kadang-kadang Don Bosco kelihatan membuat suatu kebijakan untuk memberinya banyak tugas dan pekerjan. Ttahun ini Rua belajar filsafat di seminari Keuskupan Agung di Turin, atau di dalam ruangan yang dipakai oleh beberapa profesor yang tersisa. Karena situasi yang tidak jelas pada saat itu, hanya ada dua orang siswa yang belajar filsafat yaitu Rua dan Rocchietti! Seminari itu sendiri sudah ditutup sejak tahun 1848, ketika 200 orang anak seminari, terbakar oleh semangat Revolusioner lalu mengamuk, menadakan suatu demonstrasi mendukung Garibaldi melawan keinginan Uskup Agung Franzoni. Dia segera menanggapinya dengan menyuruh semua anak seminari pulang ke rumah dan menutup seminari itu!
Rua mengisi waktu antara kelas-kelas pelajaran bahasa Yunani, dengan mengurus kamar tidur di gedung yang baru dibangun di sebelah bangunan tua tuan Pinardi, mengatur kedisiplinan umum di ruang kelas, gereja, ruang makan dan lapangan bermain; dan dengan membantu Don Bosco menyiapkan Bacaan-bacaan katolik, dan buku terbarunya Sejarah Italia.
Barangkali baginya sangat paling menarik dari semua pekerjaannya adalah mengurus Oratori St. Aloysius Gonsaga yang baru dibuka oleh di Corso Vittorio Emanuele – karya Don Bosco pertama yang pernah didirikan di luar Oratori. Perjalanan melewati Turin ke oratori ini membutuhkan waktu 20 menit berjalan, empat kali setiap hari Minggu dan hari pesta. Hal ini mulai menguras tenaganya sedikit demi sedikit dan dia mulai merasa sakit kepala. Cagliero, sekarang adalah seorang frater dan teman Michael, memberitahukan Don Bosco tentang hal ini. Menurut Cagliero, jika Rua masih melanjutkan hal ini lebih lama lagi, dia akan membunuh dirinya sendiri. Mendengar hal itu, Don Bosco, walau masih menolak mengurangi beban kerja Rua, mengatur agar semangkuk sop dibawakan untuknya pada waktu makan siang dari sebuah restoran yang dekat. Paling tidak ini membuat dia tidak perlu kembali pada siang hari ke Oratori.
Pada permulaan awal tahun sekolah, Don Bosco masih memberikan tugas yang lain kepadanya.
Pemerintah Piedmont sedang menginstruksikan sedikit demi sedikit penggunaan system desimal untuk ukuran-ukuran dan berat. Jauh sebelumnya tanggal 11 september 1845 dikeluarkan surat keputusan oleh Raja Carlo Alberto. Orang-orang yang sudah terbiasa dengan sistem lain yang jauh lebih rumit tidak membuat banyak perkembangan dalam penggunaan sistem baru ini sehingga pemerintah meminta agar hal ini diajarkan di sekolah-sekolah. Tetapi hanya sangat sedikit guru yang cukup berpengetahuan untuk mengajarkan hal itu. Profesor Bonzanino, yang sedang mencari seorang guru, meminta kepada Don Bosco. Don Bosco mengusulkan Rua yang telah belajar tentangnya dari tulisan sebuah brosur yang ditujukan untuk masyarakat umum oleh Don Bosco sendiri.
“Tetapi sampai sekarang dia adalah seorang siswa!” kata Bonzanino berkeberatan. “Apakah kamu pikir dia dapat menangani teman-teman sekelasnya?”
“Serahkan hal itu kepada Rua.” kata Don Bosco.
Reaksi dari siswa-siswi tepat seperti yang diprediksikan oleh Bonzanino. “Bukankah tahun lalu dia duduk sebangku dengan kami. Dan sekarang dia akan mengajar?”
Setelah Bonzanino memperkenalkan Rua kepada kelas, ia segera mengundurkan diri. Dia tidak berharap untuk ada kalau-kalau pelajaran pertama Rua menjadi suatu kekacauan.
Rua masuk ke ruangan kelas itu dan melihat dengan satu pandangan yang komprehensif kepada teman-teman sekelasnya. “Sahabat-sahabatku” Ia memulai, menemani kata-katanya dengan suatu kebiasaannya yaitu senyum yang kecil, “sampai sekarang kita sederajat. Tetapi sekarang saya bertanggung jawab untuk mengajar sistem desimal, saya harap teman-teman menjadi murid yang memperhatikannya.”
Karena, selain baik dalam hal disiplin, dia juga seorang guru yang tahu tentang apa yang diajarkannya, tidak ada masalah lagi pada kelas itu di tahun itu.
Pada awal tahun 1854, Don Bosco mengadakan sebuah pertemuan lain yang berkaitan dengan pertemuan tanggal 5 Juni 1852. Rua melaporkan kejadian mendetil dari pertemuan itu, yang seperti pertemuan yang pertama, adalah sesuatu hal yang sederhana.
Ia menulis, “Pada sore hari tanggal 26 Januari 1854. Kami semua berkumpul di ruangan Don Bosco yaitu, Don Bosco, Rocchietti, Artiglia, Cagliero dan Rua: dan diusulkanlah bahwa dengan meminta bantuan dari St. Fransiskus Sales, kita akan melakukan banyak kegiatan cinta kasih kepada sesama, diakhiri dengan suatu janji, dan sesudahnya, jika dianggap mungkin, membuat suatu kaul kepada Tuhan. Pada sore yang sama nama Salesian diangkat, dan diterapkan pada mereka yang telah mengusulkan praktek itu untuk diri mereka sendiri dan mereka yang ikut di masa depan.”
Don Bosco lalu mengusulkan langkah lebih lanjut, yaitu, supaya setiap orang belajar untuk membuat meditasi setiap hari yang sederhana – sesuatu yang telah dilakukan Rua untuk beberapa waktu.
Sebagai akibat langsung dari hasil pertemuan ini, pada tanggal 25 Maret 1855, pada peringatan pesta Kabar Sukacita, selagi keuskupan merayakan proklamasi dogma tentang Maria Dikandung Tanpa Noda, hasil dari Konsili Vatikan Pertama, Michael yang sekarang sedang belajar filsafat untuk tahun kedua, dia berlutut di kaki Don Bosco dan mengucapkan kaul-kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian untuk satu tahun.
Karena konggregasi Salesian belum diresmikan secara kanonik, Don Bosco tidak mempunyai kuasa untuk menerima kaul-kaul atas nama Gereja. Hal ini membuat “kaul” Rua sebagai janji yang sederhana. Namun demikian, dengan aksinya tersebut Michael menjadi Salesian Don Bosco yang pertama.
Bukanlah pertama kalinya penyakit kolera yang menakutkan menyebar di Turin. Sudah kedua kalinya untuk 25 tahun yang meminta banyak korban. Penyakit itu datang ke Italia dari India lewat pelabuhan-pelabuhan Eropa. Genoa sebagai salah satu tempat yang sangat ramai. Gejala dan akibatnya sangat menakutkan yaitu: diare, muntah-muntah, nyeri perut, kelopak matanya yang cekung, kulitnya mengering dari cairan, memperlihatkan hidung dan tulang pipi, lidah mulai putih dan dingin, suaranya berangsur-angsur menghilang, jantungnya dan tekanan darahnya menurun, badannya mulai lemah dan jatuh tergelepar di trotoar, dan yang lain menjadi penyakit Apoplexla. Banyak korban yang hidup hanya 24 jam, sementara yang lain bertahan hidup hanya beberapa jam saja.
Pada waktu itu, tidak ada cara pengobatan yang diketahui untuk penyakit itu dan ketidaktahuan melahirkan ketakutan; Ketakutan pada mereka yang menyebarkan penyakit itu dengan mengoleskan minyak di tempat orang sering menyentuhnya, agar memperoleh upah saat mengangkut jenazah: bahkan takut pada para dokter yang menulis resep yang mematikan pasien agar dapat memperoleh warisan uangnya... begitu takutnya orang-orang sehingga mereka meninggalkan orang-orang yang mereka cintai ketika mereka terkena penyakit itu. Sopir yang membawa mobil jenasah sudah sering mendobrak pintu rumah-rumah di mana sebuah mayat dibiarkan membusuk dan mencemari lingkungan.
Ketika penyakit kolera menyebar di musim panas tahun 1845, mereka yang bisa lari pergi dari kota. Count Charles Cays, teman baik Don Bosco (dan nanti menjadi seorang anggota konggregasi ) menjadi tuan rumah bagi para anggota keluarga raja.
Walikota Turin menginstruksikan sebuah Misa umum diadakan di Gereja Consolata, untuk memohon kepada Bunda Maria, yang sebelumnya pada tahun 1835, telah menyelamatkan kota dari serangan yang lebih ganas dari penyakit itu.
Walaupun di Turin sendiri korban yang jatuh paling kecil dibandingkan di kota-kota lain, namun Turin sangat menderita dan daerah yang paling menderita adalah Valdocco. Sebelum penyakit itu benar-benar hilang, 2500 orang telah tertular, 1400 orang meninggal, 240 adalah mereka-mereka yang berasal dari daerah Valdocco.
Jauh sebelumnya pada bulan Mei, Don Bosco berpesan kepada anak-anak di oratori bahwa penyakit itu akan datang ke kota Turin, dan kan menyebabkan banyak yang meninggal dunia. “Apa tindakan pencegahan yang dapat mereka lakukan?” anak-anak bertanya kepadanya.
“Tetaplah berada dalam keadaan Rahmat,” Don Bosco mangatakan kepada anak-anak. “Pakailah medali Bunda Maria, dan ucapkan setiap hari doa Bapa kami, Salam Maria, Kemuliaan dan doa kepada santo Aloysius Gonzaga, ditambah lagi seruan singkat, Bebaskanlah kami dari yang jahat, ya Tuhan.”
Ketika penyakit kolera masih menyerang di hari-hari terakhir bulan Juli, pihak penguasa kota melakukan tindakan-tindakan yang mereka bisa. Mereka membuka lazarettos atau rumah sakit darurat di lapangan-lapangan yang besar di mana para pemderita setidaknya dapat diangkat dari jalan-jalan. Ketika mereka memohon banyak tenaga pembantu untuk mengurus lazarettos itu, Don Bosco segera maju dan meminta para sukarelawan dari anak-anak di oratori yang lebih besar. Rua adalah salah satu dari sekelompok dari anak-anak yang bersedia dengan sukarela. Rua dan teman-temannya mengambil resiko yang lebih besar dengan membuat kunjungan dan memberi perhatian untuk orang-orang menderita di rumah-rumah mereka dan apartemen-apartemen. Dia pernah dilempari batu oleh sekelompok anak laki-laki yang orangtua-orangtuanya tidak setuju bahwa ada lazaretto dibangun dekat rumah mereka. Tiba-tiba muncul dua orang polisi patroli yang menyelamatkan dia.Mama Margareta, ketika seorang anak laki-laki meminta sebuah seprei tidur untuk menutup seseorang yang sedang sakit, dan ia tidak menemukannya di Oratori – seprei tidur cadangan telah disobek-sobek untuk membuat perban! – mengambil sepotong kain altar dan memberikan kepadanya. “Ambillah ini dan larilah!” Mama Margareta berkata kepadanya.
Ibu dari Francesia juga adalah seorang yang terkena penyakit itu. Don Bossco sementara sedang berjalan di Turin, melewati pilar yang terkenal yang mengingatkan akan intervensi dari Bunda Maria Penghibur di tahun 1835, dan meyakinkan Francesia bahwa jika ibunya berjanji untuk memajukan devosi kepada Bunda Maria, ia tidak akan mati. Dia berjanji dan hidup selama 21 tahun lagi.
Ketika bahaya telah lewat, baik surat kabar dan pihak penguasa kota secara umum menyampaikan terima kasih kepada oratori yang telah memberikan banyak sekali batuan bagi orang-orang sakit.
Pada saat kota Turin diserang wabah kolera, tidak seorang pun di oratori yang terkena wabah penyakit tersebut.
Sekarang Don Bosco biasa meminta Rua untuk menemani dia dalam kunjungan-kunjungan yang penting kepada para penderma. Suatu pagi dia membawanya untuk melayani misa yang akan ia buat untuk Count de Maistre.
Setelah misa, Don Bosco pergi sarapan pagi dengan keluarga itu, sementara Count muda Eugene diberitahu untuk menemani Michael. Orang muda tersebut membawa Michael ke sebuah ruang makan yang terpisah di mana sarapan pagi yang mewah sekali telah tersedia.
“Aha!” seru Count muda itu. “Itu kelihatannya baik! Marilah kita bekerja keras!”
Segera ia duduk untuk makan. Namun, dia terkejut melihat Michael masih berdiri jauh dari meja.
“Apa apa?” tanya tuan rumah. “Setelah berjalan, engkau pasti merasa lapar.”
“Oh, saya memang lapar.” kata Rua.
“Lalu, mengapa engkau tidak makan?”
“Don Bosco berkata bahwa saya tidak boleh makan pagi selama sebulan.”
“Apa? Don Bosco berkata kepadamu bahwa kamu tidak oleh sarapan pagi, sementara sekarang saya yakin bahwa ia sedang menikmatinya dengan orangtuaku? Biar aku pergi dan berbicara padanya.” Kemudian Count muda itu bangun dan pergimenuju ke ruang makan yang lain. Rua mengikuti dia sambil mengajukan protes.
Sesampainya di ruang makan yang lain, orang muda itu dengan berani menghadap Don Bosco.
“Don Bosco,” ia berkata. “Apakah benar engkau telah melarang Rua untuk tidak sarapan pagi selama sebulan? Apakah engkau pikir itu adil?”
Don Bosco memandang kepadanya dengan heran.
“Sejauh yang saya dapat saya ingat,” dia menjawab. “Saya tidak pernah berkata seperti itu. Ia dapat makan seekor kuda jika ia menginginkannya.” Dia bertanya kepada Rua. “Michael, kapan saya pernah melarangmu untuk sarapan pagi?”
Michael terdiam sebentar, karena merasa malu. “Tidakkah engkau ingat minggu lalu?” dia akhirnya berkata.
“Saya kuatir tidak. Apa yang terjadi minggu lalu?”
“Jam itu, Don Bosco.”
“Jam?” Don Bosco sungguh bingung, menggelengkan kepalanya. “Jam?” dia mengulang. “Itu…. Ya, ya. Saya ingat sekarang. Jam yang kau jatuhkan pada saat sarapan pagi! Baiklah,” dia berkata kepada Michael. “Lanjutkan seolah-olah saya tidak pernah mengatakan apapun. Nikmatilah suatu sarapan pagi yang enak.”
Sementara Rua dan Count muda itu pergi, giliran yang lain yang menjadi bingung. Don Bosco lalu bercerita kepada mereka tentang jam tangan itu.
“Pertama-tama saya akan menjelaskan,” dia berkata, “bahwa ketika saya di Oratori saya suka sebanyak mungkin frater-frater saya makan pagi denganku untuk mendengar apa yang ingin mereka katakan, memberi mereka nasihat atau dorongan semangat dan sebagainya. Sekitar seminggu yang lalu Rua ada di sana dengan seorang anak laki-laki yang lain. Secara kebetulan saya telah menaruh jamku di atas meja – satu-satunya jam di Oratori, ngomong-ngomong! Dan ketika kami sedang bercerita, Rua, karena rasa ingin tahu, mengangkat jam itu dan memeriksanya. Di antara satu dengan lain hal, dia menjatuhkannya dan memecahkan kacanya. Anak malang itu begitu bingung sehingga untuk menutup kebingungannya saya berkelakar bahwa karena ia telah menjatuhkan jam itu dia harus tidak sarapan pagi untuk sebulan.”
Ketika dia sudah selesai bercerita dia menjadi sangat serius.
“Saya seharusnya tahu sekarang,” dia menyimpulkan, “bahwa engkau tidak dapat berkelakar dengan Rua. Ketaatannya adalah non plus ultra.”
Seperti setiap pelajar yang ingin menjadi pastor, sekarang Michael, selain belajar filsafat, mulai belajar teologi. Ini biasanya berlangsung selama empat tahun. Dia mulai belajar dengan bimbingan Pastor Fransiskus Marengo dan Pastor Joseph Molinari, keduanya adalah guru yang baik. Pada waktu yang sama Rua juga melanjutkan belajar pada profesor-profesor di Seminari Tinggi.
Wajar bahwa 2 jam belajar di kelas pagi hari dan 1 jam untuk kelas sore hari, walau digabungkan dengan pekerjaan-pekerjaannya yang lain, tidaklah cukup bagi orang yang penuh semangat seperti Rua. Oleh karena itu dia mengambil pelajaran bahasa Ibrani supaya dapat membantunya belajar Kitab Suci. Tetapi karena pelajaran itu merupakan ekstra-kulikuler, waktu yang digunakan biasanya pada malam hari ketika yang lain di Oratori tidur. Namun, Don Bosco melarang pelajaran dilakukan setelah makan malam dan rekreasi, yang biasanya selesai sekitar jam 9. Tapi, dia tidak melarang siapa pun bangun pagi sebelum yang lain untuk belajar. Mereka boleh bangun lebih pagi atau tidak dapat berbuat apa-apa.
Cagliero menceritakan tentang bangun pagi itu.
“Saya ingat dengan baik pagi musim dingin itu.” katanya. “Rua tidur di ruangan sebelahku di lantai atas. Kita akan bangun pkl.4.00 dan banyak waktu kita tidak akan mencuci muka, karena air akan beku di tempat cuci muka itu! Tetapi kami punya solusi untuk hal itu. Kami cukup membuka jendela dan mengulurkan tangan ke luar, mengambil sedikit salju dari atap, dan menggosok muka kami sampai bersinar! Lalu, dengan terbungkus sebuah selimut, saya akan duduk di samping pelajaran musikku dan Rua akan mulai belajar bahasa Ibraninya.”
Rua juga menambahkan komentar. “Waktu itu benar-benar masa yang indah!” katanya. “Cagliero mengarang musiknya, Fransiskus menulis puisinya, dan saya belajar bahasa Ibraniku.”
“Ruangan” yang Cagliero maksudkan tidak lebih dari loteng dengan jendela yang menghadap ke lapangan permainan di Oratori. Fransiska mengatakan kepada kami kesan dari seorang pengunjung ketika ia memeriksa tempat Rua:
“Di sana ada sebuah tempat tidur kecil, sebuah meja tanpa apapun di atasnya kecuali sebotol tinta; Sebuah papan yang ditopang 4 batu bata, yang dipakai untuk menaruh buku-buku dan kertas-kertas.” Pengunjung itu pergi, sangat terkesan dengan kerapian dan semangat kemiskinan dari penghuninya.
Beberapa tanggung jawab baru menyita waktu Rua selama periode ini, khususnya sebagai pemimpin dari Serikat St. Vincent de Paul. Don Bosco sudah berhubungan dengan lembaga tersebut lewat temannya, Count Charles Cays, Pemimpin dewan superior di Piedmont. Dia ingin pengakuan resmi ini tidak hanya karena ia tidak hanya akan menerima dana dari Serikat untuk dibagikan di antara orang miskin tetapi dia juga ingin mendidik, orang-orang mudanya dalam pekerjaan amal dan melayani orang lain.
Seolah-olah satu jabatan pemimpin tidak cukup, Rua menerima tanggungjawab yang lain. Rua tidak akan puas menjadi seorang pemimpin yang hanya nama saja. Kepemimpinannya ini mempunyai asal yang menarik.
Suatu pagi pada bulan Mei tahun 1856, Dominikus Savio* muda mengikuti misa pada saat Don Bosco berbalik untuk membagikan komuni kudus. Namun, tidak ada seorang anak pun yang berdiri di pagar yang sedang menunggu komuni! Bahkan tidak juga Rua, dan hal itu terjadi pada Bulan Maria! Dominikus dan banyak anak lain melihat bahwa ketika Don Bosco melihat tidak ada orang di pagar, Don Bosco jelas-jelas nampak kesal. Kejadian itu sungguh melukai hatinya, karena ia sangat maju dalam ide-ide tentang penerimaan komuni kudus yang sering dan pada usia lebih awal.
Dominikus dan beberapa temannya sepakat untuk musyawarah bersama untuk menghindari hal itu terjadi kembali. Hasil dari diskusi mereka adalah pembentukan Kelompok Sodalitas Maria Dikandung Tanpa Noda. Mereka membuat daftar peraturan yang disetujui Don Bosco, dan pada tanggal 8 Juni 1856, sekitar selusin anak mendaftarkan diri. Pada pertemuan itu mereka juga memilih presiden pertama mereka – Michael Rua.
Sesuatu praktek yang menarik dari kelompok Sodalitas ini adalah mereka mengumpulkan kembali potongan-potongan roti yang dilempar sembarangan oleh anak laki-laki di Oratori. Seperti teman-temannya yang lain, Rua akan memungut kembali potongan-potongan roti yang dia temukan dan menyimpannya untuk dimakan pada saat makan selanjutnya. Mereka yang melakukan hal ini dikatakan termasuk dalam Perkumpulan tocc, suatu ungkapan di Piedmont yang juga berarti potongan atau roti.
Pada tanggal 25 November tahun itu, Rua dibuat sedih oleh kematian yang lain di Oratori. Kali ini, walaupun itu bukan kematian dari salah satu anggota keluarganya, itu adalah kematian dari seseorang yang sangat dekat dengannya.
Mama Margareta, sebagaimana ibu Don Bosco dikenal dan dicintai oleh semua anak-anak di Oratori, meninggal dunia. Banyak cerita yang ada tentang kelembutannya ketika mengurus mereka. Semakin mereka dalam keadaan terlantar ketika datang ke Oratori mereka mendapat lebih banyak perhatian yang lebih besar lagi darinya.
Sepuluh tahun yang lalu, ia hidup dengan tenang di rumahnya sendiri di Becchi, dikelilingi oleh saudara-saudaranya, tetangga-tetangga yang mencintai dan menghormatinya dan sekelompok keponakan laki-laki dan perempuan yang sangat menghormatinya.
Lalu suatu hari putranya datang ke rumah untuk menceritakan kepadanya bahwa akhirnya dia menemukan suatu tempat yang tetap untuk Oratori. Dia mempunyai sebuah lapangan dan sebuah gudang yang telah ia ubah menjadi tempat yang lebih layak bagi anak-anaknya yang dari jalanan. Tetapi tempat itu berada dalam suatu lingkungan yang tidak nyaman. Dia harus menemukan suatu cara agar orang-orang tidak mengkritik seorang pastur yang tinggal sendirian di daerah seperti Valdocco. Tapi terlebih lagi, ketika ia sudah mempunyai tempat untuk anak-anak lelakinya, yang sangat membutuhkan Oratori adalah sesorang yang memberikan mereka kehangatan, seorang pribadi yang menerima dengan senyum, yang mampu membentuk suasana sebuah tempat menjadi sebuah rumah …seorang ibu.
Ketika Mama Margareta menangkap arah pembicaraan anaknya, ia menjadi sangat sedih. Dia mencintai rumahnya, dia mencintai segala sesuatu dan setiap orang yang telah terhubung dengannya dan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun. Namun setelah dia berpikir sejenak, dia melihat ke putranya lalu memandang salib yang ada di dinding... Kemudian dia mengumpulkan sedikit barang-barang yang perlu dan menaruhnya ke keranjang; dia mengambil buku breviarinya, sebuah buku misa dan beberapa buku-buku catatan dan kotbah-kotbah lalu mereka meninggalkan Becchi. Mereka harus berjalan begitu jauh sampai ke Turin karena mereka tidak cukup ongkos untuk membayar ongkos kereta kuda. Di Rondo, satu kilometer dari gudang Pinardi, mereka bertemu dengan Pastor Vola, seorang teman. Ketika dia mengetahui kondisi mereka yang akan tinggal di Oratori, dia merasa cemas. Tidak membawa uang pada waktu itu, dia mengambil jam tangannya dan memberikannya untuk membantu mereka untuk beberapa hari pertama di Valdocco.
Setelah Mama Margareta meninggal dunia, Don Bosco mengundang mamanya Rua untuk tinggal di Oratori bersama dengan mereka. Mamanya Rua tinggal di rumah tua Bellezza yang telah dibeli oleh Don Bosco.
Tentu saja, Michael merasa senang karena tinggal dekat dengan ibunya di Oratori, bahkan baik untuk kebaikannya sendiri maupun ibunya. Namun, satu hal tentang rencana baru itu yang tidak menyenangkannya adalah bahwa ibunya selalu berusaha – namun tidak pernah berhasil – untuk memberinya tindakan yang istimewa. Namun tidak peduli berapa banyak dia protes, dia tidak bisa mencegah ibunya mengunjungi kamarnya kadang-kadang, ketika dia tidak ada, untuk merapikan tempat tidurnya dan sebagainya. Tidak ada yang salah dari hal ini. Bagaimanapun juga wanita malang itu sering sekali melihat banyak anak-anaknya meninggal lebih dahulu. Dia mengeluh ketika Michael tidak menggunakan kasurnya pada malam hari, tetapi menggulung dan didirikannya di sudut ruangan. Dia tidak pernah menerima alasan yang dikemukakan oleh Michael, bahwa ia dapat juga tidur dengan baik tanpa menggunakan sebuah kasur.
Pelajaran Teologi Rua menderita gangguan yang lain ketika Don Bosco suatu sore memberitahunya bahwa ia akan pergi ke Roma. Ada beberapa alasan yang penting untuk perjalanan itu, katanya kepada mereka. Dia sedang mempersiapkan suatu Bacaan Katolik yang pertama tentang pengganti pertama dari Santo Petrus; Dia belum pernah pergi ke Roma atau melihat Bapa Paus Pius IX. Karena dia akan membutuhkan seorang sekretaris yang akan membantunya menulis, dia membawa Rua bersamanya.
Don Bosco sendiri mencatat pengalaman perjalanannya secara mendetil. Dia merasa kuatir karena ini untuk pertama kalinya dia absen dari Oratori dan selama kepergiannya dia ingin tetap ada kontak dengannya. Dia sampai mengisi 74 halaman tentang perjalannya dan dari gaya dan isi tulisannya jelaslah bahwa tulisannya itu diperuntukkan terutama untuk anak-anaknya.
Waktu berada di Roma dia tinggal dengan keluarga de Maistre; Rua tinggal bersama dengan pastor-pastor Rosminian. Karena ada antrian yang panjang dan lama sebelum mereka dapat ber-audiensi dengan Bapa Suci dapat diatur, mereka menghabiskan waktu mengunjungi kejayaan-kejayaan, masa lampau dan masa sekarang, dari Kota Abadi. Pada suatu kesempatan yang lain, mereka masuk ke Katakombe San Sebastian pada pukul 8 pagi dan keluaar pukul 6 sore.
Akhirnya berita sampai kepada mereka bahwa audiensi telah diatur untuk mereka pada tanggal 9 Maret – suatu tanggal yang membahagiakan, karena itu merupakan peringatan pertama kematian murid Don Bosco yang kudus, Dominikus Savio. Ini adalah audiensi yang pertama bagi mereka berdua dan Don Bosco mengaku merasa sedikit gelisah dalam surat yang ditulisnya kepada Oratori. Rua telah membawa salinan yang istimewa dari kumpulan komplit dari Bacaan Katolik kepada Bapa Suci.
Setelah persiapan-persiapan awal, Bapa Suci bertanya beberapa hal tentang karya mereka.
“Apa yang kamu lakukan?” Dia bertanya kepada Don Bosco.
“Saya bekerja untuk anak laki-laki dan mengurus Bacaan Katolik”
“Dan engkau yang bernama Bosser? Adakah ada seorang di Turin yang bernama seperti itu yang memberi perthatian kepada anak laki-laki?”
Don Bosco mengerti bahwa mereka telah memberi namanya dengan salah kepada Bapa Suci sebagai Bosser bukannya Bosco. Ketika dia menjelaskan hal ini kepada Paus, yang akhirnya tertawa ramah dan ini membuat tamunya tenang.
“Apakah engkau sudah ditahbiskan?” Dia bertanya kepada Rua.
“Belum, Yang Mulia. Saya baru di tahun ketiga.”
“Risalat apa yang sedang engkau pelajari?”
“Baptis dan Penguatan.”
“Tetapi itu adalah yang gampang!” kata Paus. Sekarang dengan sikap ramah, ia berkata kepada Don Bosco bahwa Ia masih mengingat sumbangan kecil yang dikirimkan oleh anak-anak Don Bosco waktu Beliau ditawan oleh Napoleon di Gaeta.
Don Bosco, atas nama anak-anaknya, memberikan salinan dari Bacaan Katolik yang sudah dijilid dengan baik.
“Berapa banyak anak laki-laki yang bersamamu sekarang?” tanya Paus.
“Semuanya 200 orang dan 15 orang bekerja sebagai penjilid buku.”
“Lalu kami akan memberikan pada para penjilid buku itu tanda mata kecil dari kunjunganmu.” Paus bangun dan masuk ke dalam ruangan, sesaat kemudian beliau kembali dengan tangannya yang penuh dengan medali-medali. Baru-baru ini mereka telah membuatnya ketika memperingati dogma tentang Maria Dikandung Tanpa Noda yang baru dikeluarkan.
“Ini untuk para penjilid buku,” katanya, “ dan ini untukmu.”
Kepada Rua, Paus memberikan satu yang lebih besar dibanding yang lain dan kepada Don Bosco Paus memberikan satu yang ada di dalam kotak yang indah.
Berpikir bahwa hal itu mengakhiri kunjungan mereka, Paus mengucapkan selamat tingggal kepada Don Bosco, namun Don Bosco berkata, “Bapa Suci, ada sesuatu hal yang istimewa yang ingin saya bicarakan.”
“Baiklah.”
Don Bosco melihat sekilas ke arah Rua, yang segera pergi.
Don Bosco seharusnya meninggalkan kesan yang sangat baik kepada Paus Pius IX, karena ia diminta untuk kembali untuk audiensi pribadi tanggal 21 Maret. Paus juga meminta Don Bosco untuk mengambil bagian pada waktu perayaan hari minggu Palma, menaruhnya diantara korps diplomatik, dan memberinya palma. Akhirnya, tanggal 6 April Bapa Paus menerima lagi audiensi pribadi yang ketiga. Ketika urusan Don Bosco selesai, Rua dan dua orang pastor yang lain yang juga teman-teman Don Bosco, diizinkan masuk. Mereka heran melihat kehangatan dan keramahtamahan yang ditunjukkan Bapa Suci kepada Don Bosco.
Don Bosco dan Rua pergi dari Roma pada tanggal 14 Aapril dan dua hari kemudian tiba di Oratori. Mereka merasa terkejut karena ada kejutan yang tidak menyenangkan menyambut kedatangan mereka.
Ketika Don Bosco tidak ada, ia telah menunjuk Pastor Victor Alasonatti untuk bertanggungjawab. Pastor Alasonatti adalah pendukung Don Bosco yang paling awal dan paling setia. Sedikit lebih tua dari Don Bosco, Pastor Alasonatti telah meninggalkan jabatannya yang enak dan terhormat untuk hidup yang keras di Oratori – pastor pertama yang melakukan hal itu. Walaupun Pastor Alasonatti setia kepada Don Bosco, namun ia kekurangan sikap kebapaan seperti yang Don Bosco miliki. Akibatnya adalah, ketika Don Bosco tidak ada di Oratori, Alasonatti membuat Oratori berdisiplin, karena menurutnya Oratori hanya perlu sedikit lebih disiplin. Namun, dalam melakukan hal itu, ia benar-benar menghancurkan semangat kekeluargaan yang dianggap Don Bosco dengan begitu perlu dan jauh lebih penting daripada disiplin. Don Bosco dan Rua hanya dapat menggelengkan kepala melihat kejadian tersebut.
Untuk membangun kembali semangat yang sesuai dengan semangat Don Bosco di oratori, Don Bosco mempercayakan tugas yang berat itu kepada Rua. Selama dua bulan hidup begitu dekat, Rua telah memperoleh banyak pelajaran berharga tentang pikiran dan hati sang teladannya itu.
“Bahkan ketika masih sebagai seorang frater,” yang lain pernah berkata, “Rua bersama dengan Don Bosco menjadi pemimpin di Oratori.”
Sekarang Don Bosco mulai menegaskan secara terbuka pendapat itu. Dalam suatu surat yang ditulisnya kepada Rua pada waktu Don Bosco sedang retret di St. Ignatius, ia menulis, “Rekan kerjamu, Don Bosco.”
Terlebih lagi, Oratori telah berkembang begitu cepat sehingga anak-anak itu telah dibagi menjadi dua kelompok yaitu: pelajar-pelajar dan mereka yang belajar suatu keterampilan kerja (artisans). Selama beberapa tahun Rua dipercayakan sebagai pemimpin untuk para murid keterampilan kerja itu, bergantian dengan Pastor Alasonatti untuk memberikan Selamat Malam*, sementara Don Bosco sibuk dengan anak-anak pelajar.
Pada tanggal 8 Desember 1859 diperingati sebagai Pesta Maria Dikandung Tanpa Noda – Hari tersebut merupakan hari peringatan permulaan karyanya, dan selalu merupakan hari yang sangat ia sayangi – Don Bosco memberitahukan kepada komunitas bahwa pada sora hari dia akan memberitahukan mereka suatu hal yang sangat penting bagi mereka. Pada pertemuan tersebut ia membuat mereka terkejut. Don Bosco mengatakan kepada mereka pertama kalinya alasan yang sangat penting untuk kunjungannya ke Roma adalah untuk mendiskusikan dengan Paus tentang kemungkinan mendirikan suatu konggregasi baru.** Supaya tidak menunjukkan bahwa ini adalah suatu hal yang terlalu luar biasa, ia memberi tahu mereka bahwa dalam prakteknya, mereka telah mengikuti aturan yang diperlukan, bahwa banyak dari mereka telah membuat kaul-kaul atau janji yang diperlukan. Telah tiba waktunya, Don Bosco berkata, untuk setiap orang memutuskan apakah ia ingin masuk ke dalam konggregasi baru yang sudah mereka sepakati dengan nama Santo Fransiskus Sales. Dia menutup pertemuan bersejarah itu dengan berkata bahwa mereka yang ingin bergabung harus hadir pada pertemuan selanjutnya yang diadakan tanggal 18 Desember.
Sementara itu, tanggal 11 Desember Rua menerima Minor Orders dan tanggal 17 Desember dia menerima tahbisan Sub-Diakon.
Tanggal 18 Desember, hanya dua anggota yang tidak datang. Don Bosco, Pastor Alasonatti, seorang Diakon, seorang Sub-Diakon, 13 orang frater dan seorang awam hadir, semuanya ada 19 orang. Kemudian mereka menyetujui secara resmi akan mendirikan suatu lembaga religius “untuk memajukan dan memelihara semangat Kasih yang benar di Oratori-Oratori untuk kepntingan kaum muda yang terlantar dan yang jiwanya berada dalam situasi yang berbahaya...”
Mereka lalu mulai mengadakan pemilihan untuk berbagai jabatan dalam lembaga baru tersebut. Don Bosco dipilih sebagai superior. Dia menerimanya dengan syarat ia boleh memilih Prefect General-nya sendiri, dan setelah hal itu disetujui, ia mengangkat Pastor Alasonatti. Dalam pemungutan suara secara rahasia, Rua terpilih sebagai Direktor Spiritual Serikat yang pertama.
Walaupun pada permulaannya, jabatan barunya tidak terlalu banyak memberikan tanggungjawab kepada Rua, ini tetap berarti kerja tambahan baginya. Sekarang Rua harus mempersiapkan semua orang-orang yang baru masuk konggregasi , karena Don Bosco tidak hanya menyerahkan mereka kepada Rua untuk diuji tapi juga meminta Rua memberikan penilaian akhir atas kepantasan mereka.
“Saya ingin membuat suatu kontrak denganmu,” Don Bosco akan berkata.
“Kontrak macam apa, Don Bosco?”
“Suatu kontrak untuk tinggal di Oratori dengan Don Bosco.”
“Saya sangat menyukainya!”
“Baik kalau begitu. Pergi ke Don Rua lalu katakan kepadanya saya ingin membuat suatu kontrak denganmu. Dia akan mengerti.”
Sementara itu, sepanjang waktu itu, Rua masih harus menyelesaikan pelajaran Teologinya. Tentu saja pertanyaan sekarang adalah: kapan dia mendapat kesempatan belajar? Dia memperolehnya pada hari-hari awal bersama dengan Cagliero dan Francesia.
“Pada waktu tahun sekolah 1859-1860,” tulis Alexander Fabre. “Saya menemukan bahwa beberapa frater dan pelajar meminta Rua membangunkan mereka pada jam 3 pagi untuk mengulang kembali bahan-bahan ujian mereka. Saya memohon pada Rua untuk mengizinkan saya ikut, tetapi ia berkata kepadaku bahwa pertama-tama saya harus minta izin lebih dulu kepada Don Bosco. Maka saya mendapat izin itu ... Rua, saya menemukannya, bangun bukan jam 3, tapi jam 2 atau 2.30, berdoa sampai pukul 3.00, berlutut di lantai yang dingin di samping satu bangku di ruang belajar. Kemudian dari pukul 3.00 Rua akan bangun dan pergi ke beberapa dormitori untuk membangunkan orang-orang yang ingin bangun pagi-pagi. Lalu dia akan mengumpulkan kami semua di ruang belajar di mana kami belajar dengan menggunakan lampu pelita ... Sementara itu, Rua akan menggunakan kesempatan itu untuk meditasi setengah jam atau satu jam. Sesudah itu dilakukan, dia akan mulai belajar, dengan berdiri selama 5 – 30 menit, menunggu sampai yang lain, jam 5.30 turun ke ruang belajar. Kemudian dia biasanya mengambil tempatnya yang biasa sampai waktu untuk pergi ke gereja.”
Ketekunannya memberikan hasil pada ujian akhir. Dia mendapat penghargaan Egregie atau terbaik.
Untuk mempersiapkan dirinya untuk tahap pentahbisan yang serius, dia pergi retret dan pada tanggal 24 Maret ditahbiskan Diakon. Dia mengharapkan tahbisannya sebagai pastor bersama temannya Angelo Savio pada pesta Maria diangkat ke Surga. Tetapi dispensasi yang Don Bosco minta baginya – Rua baru berumur 23 tahun sementara hukum kanonik meminta umur 24 tahun – tidak sampai tepat waktu. Pentahbisannya kemudian digeser pada tanggal 29 Juli 1860.
Situasi dan keadaan pada saat pentahbisannya adalah suatu tanda lain akan masa itu yang penuh dengan kesulitan.
Pertama-tama, Rua tidak ditahbiskan di katedral oleh Uskup Agungnya sendiri. Ia ditahbiskan di kapel pribadi di luar kota Turin oleh Uskup Pembantu.
Alasan untuk semua ini?
Uskup Agung Franzoni masih berada di tempat pengasingan di Leon, Prancis, di mana dua tahun kemudian dia meninggal dunia. Namun, ia telah memberikan izin untk mentahbiskan Rua kepada uskup pembantunya yaitu Uskup John Balma, yang oleh karena situasi politik tidak berani untuk masuk ke Turin. Namun, ia setuju untuk mentahbiskan Rua di kapel St. Anna, di sebelah villa Baron Bianco di Barbania. Michael berjalan sepanjang jalan dari Turin ke villa itu, dan tinggal semalam di villa itu, karena kebaikan sang Baron.
Pagi berikutnya, para pembantu yang memperhatikan ruangan-ruangan melaporkan kepada Baron bahwa Rua pasti tidak tidur sepanjang malam untuk berdoa, karena tempat tidurnya tak terjamah. Mereka juga menemukan cermin-cermin di ruangan itu dibalikkan menghadap dinding.
“Dia pastilah seorang murid sejati dari Don Bosco,” kata Baron itu. “Karena itu, apa yang kau beritahukan kepadaku tidaklah mengejutkanku sedikitpun.
Bab 4
Sekarang Michael Rua sudah ditahbiskan. Namun, berdasarkan syarat-syarat yang yang berlaku di keuskupan setempat, sebelum ia berhak mendengarkan pengakuan-pengakuan dosa, ia harus belajar lebih lanjut mengenai teologi pastoral selama dua tahun. Sesuai dengan cintanya untuk hal-hal rohani, tiada hal lain yang lebih menyenangkannya daripada mengikuti teladan Don Bosco dan belajar selama dua tahun di Convitto Ecclesiastico.
Ternyata Don Bosco mempunyai rencana lain untuknya. Ia tidak dapat kehilangan pertolongan Michael Rua di Oratori. Memang benar bahwa ia sekarang mendapat cukup pertolongan daripada dahulu – yaitu tiga pastor dengan dua belas frater. Menyeimbangi hal ini adalah pertambahan bantuan yang besar dari jumlah anak-anak yang tinggal di Oratori. Di antara para murid bengkel dan murid sekolah sekarang jumlah mereka hampir mencapai lima ratus anak, masing-masing membutuhkan program belajarnya sendiri-sendiri. Rua diberi tanggung jawab atas semua ini. Untuk melengkapi pelatihan teologinya Don Bosco mengirimya kepada Canon Joseph Zappata, seorang teolog yang terkenal. Bahwa Rua mengikuti pelajarannya dengan sungguh-sungguh sangatlah jelas terlihat dari buku diktatnya, dipenuhi catatan-catatan, kebanyakan dalam bahasa latin.
Seolah-olah untuk membuat ia lebih sibuk lagi, Don Bosco mengirimnya keluar Oratori guna memberikan kotbah atau rekoleksi selama beberapa hari dan bahkan memberikan retret rohani. Dari pengalaman pertama saat memberikan kotbah sebagai seorang pastor, menunjukan dengan jelas bahwa ia tidak mempunyai bakat menjadi seorang orator yang besar. Pengendalian diri dan keseimbangan kepribadiannya tidak memperkenannya bersemangat Oratori yang dipandang sebagai suatu kualitas utama yang dibutuhkan agar dapat memberikan ceramah yang baik. Ia mempunyai gaya yang seimbang dan jarang menaikkan suara. Tapi kotbahnya selalu berdasarkan Kitab Suci dan tulisan-tulisan para bapa Gereja. Seperti halnya Don Bosco, ia cenderung pada hal-hal yang jelas dan praktis meskipun tidak berat, khususnya ketika memberikan kotbah kepada kaum muda. Lalu, kotbahnya digambarkan ringan dan mempunyai rasa humor, serta selalu diakhiri dengan pesan yang menyemangati dan optimistik. Namun elemen yang paling persuasif dalam kotbahnya terletak pada siapa dia sendiri bukan apa yang ia katakan. Kapan pun ia berbicara merupakan hal yang mustahil untuk mengabaikan kenyataan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak hanya berkata sesuatu saja tetapi juga benar-benar yakin akan apa yang ia katakan, seorang laki-laki yang benar-benar hidup dalam kebenaran yang ia ungkapkan.
Setiap orang kristen merupakan model kesempurnaan – Kristus. Tetapi tidak setiap orang mempunyai di depan mata mereka setiap hari contoh hidup dari kehidupan Kristus, yaitu, yang ditampilkan dalam suatu cara hidup tertentu. Tapi Rua bukanlah Don Bosco dan ketika waktu berjalan ia lebih menyadari hal ini. Ia tidak hanya mengakuinya sekali tapi berkali-kali.
Hal ini menyebabkan Rua semakin sadar bahwa Don Bosco memiliki sesuatu yang luar biasa pada tiap “mimpi-mimpinya”, baik dalam ramalannya, keajaibannya baik yang besar maupun yang kecil, penyembuhan-penyembuhannya ... Semua ini pada saat ini sudah mulai bertambah banyak, membentuk kumpulan data yang Rua pikir tidak boleh dibiarkan menghilang begitu saja. Sebaliknya, data ini harus dikumpulkan dan disimpan untuk para anggota konggregasi di masa depan, sebagai sejarah. Sebagai seorang yang aktif, ia memutuskan untuk memulai hal ini dengan segera.
Maka ia mengundang beberapa anggota Salesian untuk turut ambil bagian dalam komisi yang bertugas sebagai pembuat laporan dari apa yang telah Don Bosco lakukan baik dari dalam maupun dari luar Oratori, dari setiap sumber yang ada. Sebagai hal yang rutin dalam hal seperti itu, mereka memilih seorang presiden yang memimpin komisi – Rua. Adalah tujuannya, katanya kepada mereka, bahwa mereka akan berjumpa dalam komisi paling sedikit sekali dalam seminggu untuk mengumpulkan dan membahas apa yang telah mereka lihat atau dengar tentang Don Bosco. Perhatian khusus diberikan untuk “mimpi-mimpi” yang sekarang sering ia beritahukan pada anak-anaknya pada saat “Selamat Malam”. Francesia menulis dengan nada sedih bahwa, sejauh yang ia pikirkan, pada saat itu ia merasa agak heran bahwa seseorang harus menuliskan hal itu, bahwa tidaklah cukup untuk mengingatnya saja.
Akungnya, karena pekerjaan yang terlalu berat dari setiap anggota komisi, mereka menemukan bahwa tidak mungkin untuk menghadiri pertemuan dengan teratur. Oleh sebab itu Rua memutuskan bahwa hal terbaik yang dapat mereka lakukan pada situasi ini adalah melanjutkan menulis, baik ada pertemuan maupun tidak, semua yang mereka ketahui tentang kehidupan Don Bosco. “Karena,” ia memberitahu mereka, “inilah masa emas Oratori.”
Yang mengurus hal-hal praktek adalah Pastor Alasonatti. Adalah tugasnya untuk memberikan koreksi bagi siapa saja yang membutuhkan, untuk berhubungan dengan orang luar, terutama dalam hal maupun situasi yang tidak menyenangkan. Untuk membantunya dalam manajemen umum adalah Pastor Angelo Savio dan beberapa lusin frater, termasuk juga Cagliero dan Francesia, keduanya merupakan anggota awal dalam konggregasi. Semuanya ini dijalankan berdasarkan semangat kebapakan Don Bosco yang membimbing Oratori dengan kehadirannya maupun kata-kata yang menghangatkan dan membesarkan hati, tetapi terutama dengan contoh kehidupan yang telah mereka rasa mudah untuk dikagumi namun tidak mungkin untuk disamai.
Tidaklah mengherankan bahwa selama masa ini seorang murid, Dominikus Savio, akan menjadi contoh kekudusan dalam kehidupannya. Tidak hanya itu saja, tapi menurut kesaksian Don Bosco sendiri, ada banyak anak yang berada dalam Oratori yang lebih pantas untuk dihormati di altar daripada Dominikus.
Dimanakah Rua dalam gambaran ini?
Dari permulaan ia sudah menjadi direktur spiritual dalam konggregasi yang baru ini. Tapi mengingat usia dari Konggregasi dan sedikitnya jumlah anggotanya, jabatan ini tidak begitu memberatkannya. Terlebih lagi, sesuai dengan sifatnya, ia tidak punyamaksud sedikitpun untuk mendorong dirinya maju. Untuk semua maksud dan tujuan, dan di depan mata seluruh komunitas, hanya ada dua superior – Don Bosco dan Pastor Alasonati. Rua, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal pelajaran, dengan diam-diam mengatur seluruh program pendidikan. Jumlah anak-anak, khususnya yang adalah murid-murid, terus meningkat tahun demi tahun sehingga pada tahun 1862, Oratori telah menerima sebanyak 341 anak baru.
Tidak semua dari mereka tetap tinggal. Don Bosco pada saat memberikan satu “Selamat Malam” menunjukkan bahwa mereka yang belum pernah membuat novena tanpa beberapa anak pergi. Menggunakan Rua, ia membuat anak-anak memahami bahwa novena-novena itu dibuat untuk kebaikan Oratori. Bunda Maria memastikan bahwa anak-anak yang, setelah usaha berkali-kali dari para superior untuk mengoreksi mereka, tetap menolak untuk mengendalikan diri, dipindahkan.
Pada tanggal 14 Mei 1862, Don Bosco mengundang untuk turut ambil bagian dalam pengucapan kaul-kaul publik dalam konggregasi siapa saja yang telah menjalani masa percobaan atau novisiat berdasarkan Peraturan yang telah mereka kenal. Sebanyak dua puluh satu anggota mengucapkan kaul. Don Bosco dapat melakukan hal ini karena ia telah mendapatkan dispensasi khusus yang diterimanya dari Paus Pius IX secara pribadi. Untuk mendapatkan restu dari Tahta Suci bagi sebuah serikat religius yang baru perlu memakan waktu yang cukup lama dan melalui proses yang sulit. Dalam kurun waktu inilah Don Bosco sudah menunggu selama sebelas tahun guna memperoleh pengakuan konggregasi nya dari Tahta Suci. Satu dari tiga hal yang sangat perlu – Decretum Laudis (Dekrit Pujian) – diterima pada tanggal 23 Juli 1864. Dekrit ini dengan singkat menunjukkan bahwa pada saat itu Tahta Suci telah mengakui keberadaan konggregasi dan telah merestui semanagatnya.
Di antara banyak tanggung jawab Rua pada saat itu adalah membantu Pastor Murialdo – seorangkcooperator Don Bosco – menjalankan Oratori Malaikat Pelindung. Oratori ini terletak di daerah Vanchiglia, sebuah bagian kota yang terkenal keburukannya. Dalam kenyataannya, Rua-lah yang mengaturnya tetapi jabatan direktur selalu diberikan, karena rasa hormat, kepada orang yang lebih tua. Di sini Rua mengkoordinir Sodalitas St. Louis, Saudara St. Vincensius de Paul, sebuah perpustakaan kecil, dan mengatur prosesi saat hari-hari pesta Gereja.
Akanlah sangat baik bagi Don Bosco untuk menaruh Rua di Oratori dan hidup akan lebih menyenangkan bagi Rua. Namun Don Bosco mempunyai rencana lain di pikirannya bagi Rua dan Oratorinya. Ia telah membuat keputusan bahwa sudah saatnya konggregasi nya yang baru berdiri ini mendirikan fondasi permanennya yang pertama, selain oratori-oratori, di luar Valdocco, bahkan mengambil langkah pertama keluar dari kota Turin.
Tempat yang telah ia pilih untuk fondasi yang bersejarah ini adalah Mirabello, suatu kota kecil dengan jarak 170 mil dari kota Turin.
Ini adalah suatu langkah yang sangat penting sehingga sebelum mengambil keputusan seperti siapakah yang akan memimpinnya dan siapakah para salesian yang akan ia kirim, ia menarik diri dari semua aktivitasnya di Oratori dan mengurung dirinya sendiri dalam sebuah retret di tempat penghormatan yang terkenal untuk Bunda Maria Eropa di Biella. Karena itu, pilihannya untuk tangan kanannya tidaklah otomatis. Dari Biella ia pergi untuk berkotbah selama triduum, dan untuk menolong dalam pengakuan dosa, ia memanggil Rua dan di sana ia memberitahu Rua akan keputusannya untuk menjadikannya sebagai Director rumah pertama dari konggregasi di luar Oratori.
Apakah ini mengejutkan Rua atau tidak, kita tidak tahu. Tetapi apa yang pasti mengejutkannya adalah bahwa komunitas tersebut seluruhnya terdiri dari para klerus, dan tidak ada penghuni komunitas yang umurnya lebih dari 27 tahun, sedangkan Rua sendiri pada saat itu berumur 26 tahun.
Dalam situasi ini seperti dalam semua situasi lain yang mirip, Don Bosco dituntun oleh satu prinsip: tidak pernah menunggu hingga semuanya menjadi sempurna, tetapi melakukan hal yang terbaik dengan apa yang ia punyai dan berjuang menuju kesempurnaan. Kebiasaan ini dalam memulai pekerjaan-pekerjaannya sering membuatnya dituduh bahwa ia melakukan segala sesuatu alla buona atau “senang tanpa pikir panjang.” Hal ini sangat jauh dari kebenaran. Don Bosco, dan penerusnya, Don Rua, keduanya merupakan seorang yang perfeksionis. Namun mereka percaya bahwa jalan yang terbaik untuk mengajar mereka yang di bawahnya dalam hal berenang adalah dengan melemparkannya ke dalam air.
Mengingat begitu banyak yang harus Rua derita dengan meninggalkan Oratori, dan juga menyadari betapa banyak kesulitan yang harus diderita sama saudara dalam membuka rumah baru ini, Don Bosco mengusulkan agar ibu Rua menemani mereka.
Mengapa Don Bosco memilih Mirabello sebagai tempat untuk mendirikan rumahnya yang pertama di luar Oratori?
Proyek ini mempunyai asal dari cerita panggilan Fransiskus Provera – salah seorang klerus yang akan menemani Rua. Setelah membicarakan dengan bapa pengakuannya mengenai panggilannya, Fransiskus memutuskan untuk menjadi seorang pastor. Berdasarkan pengetahuannya akan kepribadian dan karakter dari Fransiskus maka bapa pengakuannya merekomendasikannya untuk bergabung dengan Institut Cotolengo. Dengan berbekal surat perkenalan dari bapa pengakuannya, Fransiskus pergi ke Turin.
Setelah beberapa hari, ia kembali ke Mirabello.
“Bagaimana,” kata bapa pengakuannya, “apakah kau diterima di Cotolenggo?”
“Tidak.”
“Apa? Mengapa tidak?”
“Di sana sudah penuh.”
“Tapi tidakkah kau memberi tahu mereka bahwa kau dapat membayar semuanya, bahwa ayahmu merupakan seorang pebisnis yang berhasil di kota Mirabello?”
“Mereka tidak bertanya padaku dan aku pun tidak memberi tahu mereka.”
“Baiklah, kalau begitu. Aku akan memberimu surat lain yang akan mengurus semuanya.”
“Kau tidak usah repot-repot.”
“Mengapa tidak?”
“Aku telah diterima.”
“Oleh siapa? Di mana?”
“Pada saat kembali dari Cotolengo, aku melihat seorang pastor yang sedang bermain dengan sekelompok anak-anak. Ketika aku berhenti untuk melihat, ia datang datang padaku dan kami mulai berbicara satu sama lain, dan dalam pembicaraan tersebut ia meminta padaku untuk bergabung dan bekerja dengannya bagi anak-anak. Aku menjawab bahwa aku mau dan ia memberitahuku untuk membicarakannya dengan orangtuaku terlebih dahulu. Dan di sinilah aku sekarang.”
Begitulah bagaimana Fransiskus menjadi seorang Salesian dan sejak hari ia bergabung, ia tidak pernah berhenti berdoa bahwa pada suatu hari mereka akan datang ke kota asalnya.
Karena ayahnya mempunyai pendapat yang sama dan juga orang yang berpengaruh, ia menawarkan Don Bosco sebidang tanah dan sebuah bangunan yang sebelumnya merupakan sebuah biara. Semuanya ini dilihat oleh Don Bosco sebagai Penyelenggaraan Ilahi. Semuanya ideal bagi fondasi yang telah ia pikirkan.
Pada saat dalam perjalanan menuju Mirabello, dia mendapat suatu pengalaman yang menghibur. Di dalam kereta ia mendapat tempat bersama seorang pastor dan seorang biarawan. Dua teman perjalanannya ini mulai mendiskusikan tentang gereja di Piedmont secara umum, dan secara khusus, banyaknya jumlah karya amal yang membuat daerah itu terkenal. Pada suatu saat sang pastor menyinggung tentang Don Bosco dan Oratorinya. Tidak seorang pun dari mereka, tampaknya, mengenal Don Bosco.
Ketika nama Don Bosco disebut, biarawan itu menjadi emosi. “Janganlah kau percaya pada cerita yang telah kamu dengar dari orang-orang!” katanya. “Amal? Dia tidak tahu maksud dari kata itu! Dia sungguh seorang pencari untung, seorang penghisap darah, juga bapa semua kebohongan! Semua yang ia tahu adalah bagaimana ia dapat mengumpulkan uang untuk membuat dirinya dan saudara-saudaranya kaya. Mereka awalnya petani miskin, tetapi kau harus melihat sendiri bagaimana mereka hidup sekarang! Dia membeli sebuah rumah yang indah di dekat tempatnya.”
Don Bosco menunggu sampai ia selesai berbicara, kemudian bertanya apakah ia mengenal Don Bosco atau apakah ia pernah mengunjungi Oratorinya.
“Tidak,” jawabnya. “Tapi aku mendengar semua ini dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.”
“Baiklah, biarkan aku memberitahumu” jawab Don Bosco. “Aku telah mengunjungi Oratori dan aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aku tidak pernah melihat hal-hal yang kamu ceritakan itu.”
Lalu pembicaraan itu berakhir dan kereta yang mereka tumpangi telah sampai di Casele yaitu stasiun dekat Mirabello. Di sini mereka menjumpai beberapa pastor yang sedang menunggu untuk menyambut kedatangan Don Bosco, dan tentunya mereka memanggil namanya, tidak hanya sekali namun berkali-kali dan bahkan dengan suara yang keras dan jelas, cukup bagi biarawan itu untuk mengetahui siapa Don Bosco.
Pada kesempatan yang pertama, sang biarawan datang meminta maaf.
“Sungguh, aku telah mengampunimu,” Don Bosco memberitahunya. “Tapi lain kali berhati-hatilah agar tidak berbicara mengenai hal-hal yang tidak kamu ketahui. Dan hal yang paling penting adalah janganlah kamu berbicara begitu menyakitkan tentang sesamamu.”
Sedangkan hal lain yang menarik mengenai Morabello adalah bahwa Don Bosco ingin agar itu disebut seminari menengah St. Charles.
Alasan pertama untuk hal ini adalah alasan yang praktis. Pada masa itu menurut hukum, institut-institut yang berada di bawah Uskup demi tujuan bagi pelatihan kaum muda yang menuju pastorat tidak harus memenuhi beberapa persyaratan pemerintah. Semua guru, misalnya, tidak harus bergelar diploma atau titel, dan Don Bosco pada waktu itu begitu kesulitan untuk menemukan pengajar-pengajar yang mempunyai diploma sehingga Rua dengan beberapa frater yang akan pergi ke Mirabello, harus belajar untuk mendapatkan diploma pada musim panas selanjutnya.
Alasan yang kedua adalah bahwa Don Bosco benar-benar mengharapkan tempat itu untuk menjadi pusat pendorong panggilan-panggilan bagi keuskupan itu yang sangat membutuhkannya.
Untuk mengurus hal-hal yang diperlukan, Rua dan ibunya, pada tanggal 3 Oktober 1863, pergi ke Mirabello. Rua tidak dapat tidak berpikir betapa hal ini mirip dengan kejadian tanggal 3 November 1846, ketika Don Bosco dengan ibunya pergi keluar dari Becchi menuju Valdocco.
Sebelum menyampaikan salam perpisahan, Don Bosco berjanji untuk mengiriminya surat yang akan berisikan beberapa kata nasehat dan tuntunan. Surat ini segera tiba. Dalam surat itu, Don Bosco mengunakan kata-kata yang begitu hangat dan kebapaan .... “Aku berbicara kepadamu dengan suara seorang ayah yang membuka hatinya bagi anaknya yang terkasih, terimalah surat ini sebagai tanda perhatianku kepadamu...” Kemudian ia memberikan nasehat bagimana cara terbaik untuk menyesuaikan dirinya sendiri, berurusan dengan anak-anaknya, dan dengan orang-orang luar. Rua merenungkan surat itu dengan sungguh-sungguh sehingga ia menaruhnya di antara dua set kaca dan menggantungnya di kamarnya.
Apakah yang Rua rasakan pada saat ia meninggalkan Otratori dan Don Bosco untuk pergi ke Mirabello? Untuk bertahun-tahun Don Bosco telah menjadi satu-satunya ayah yang ia ketahui, Oratori satu-satunya rumah. Baginya, Oratori adalah dunianya yang nyata dan ia tidak pernah ingin untuk tinggal di luar Oratori. Hal ini pasti menjadi sebuah penderitaan baginya. Menyadari hal ini, seperti ia menyadari semua hal mengenai Rua, bukanlah hal yang menakjubkan bahwa Don Bosco mengusulkan agar ibunya menemaninya.
Dalam hal lain, baik dia dan ibunya pasti tergerak oleh pemandangan daerah desa yang memikat. Rua selalu merupakan seorang anak kota. Selain ketika waktu diajak para saudaranya ke luar sehari atau ketika ia menemani Don Bosco, ia tidak pernah tinggal di luar kota Turin. Oleh sebab itu, ia pasti bereaksi secara alami seperti setiap orang yang dibesarkan sebagai seorang anak kota, terutama karena telah beberapa tahun ia hidup dengan pemandangan, suara dan bau dari Valdocco pada masa itu. Don Bosco – dan Penyelanggaraan Ilahi – tidaklah memilih tempat itu sebagai tempat kegiatan-kegiatannya karena lingkungan sekelilingnya yang indah atau para penduduknya.
Sekarang ia dan ibunya sedang menjelajahi jantung daerah penghasil anggur itu dengan bukit-bukitnya, lembah-lembah yang dangkal, dan dusun-dusun juga desa-desa yang kecil nan indah yang berada diatas bukit-bukit atau di sisi-sisinya. Ketika mereka sampai diatas bukit, mereka dapat melihat pemandangan di sebelah utara yang membentang daratan di sana-sini dan di sanalah banyak bukit-bukit yang bermahkotakan gereja-gereja kuno, kastil, dan benteng-benteng. Mereka tiba di sana pada saat vendemmina atau yang biasa disebut waktu panen, dimana pada saat itu jalan-jalan dipenuhi dengan para laki-laki dan perempuan yang sedang bekerja atau sedang pulang kerja – orang-orang yang lembut sekaligus pekerja keras dan budayanya dibentuk oleh sejarah yang panjang dan tanah air yang indah, sopan pada yang pejalan yang lelah dan sedang dalam perjalanan.
“Perbedaan yang begitu indah dibandingkan dengan kesibukan serta kebisingan dan keramaian kota Turin!” sang ibu mengatakan kepada anaknya selagi mereka menapak di jalan-jalan yang diterangi oleh sinar matahari di kota kecil yang akan menjadi rumah mereka yang baru.
Karena rumah tersebut merupakan rumah pertama konggregasi yang berada di luar Oratori dan Rua adalah Direkturnya yang pertama, adalah wajar jika kemajuannya akan dilihat dengan perhatian besar dari setiap orang, baik yang berasal dari Oratori dan di Mirabello. Ada orang-orang yang takut bahwa rasa bertanggung jawabnya, kesukaannya akan keteraturan dan disiplin akan membuatnya lebih sebagai superior daripada seorang bapa bagi anak-anaknya. Tapi, yang lain menunjuk pada keberhasilannya dalam menangani anak-anak di dua Oratori yang ada di Turin, dimana mereka biasanya menemaninya pulang ketika Oratori ditutup, dan berpisah dengan mengucapkan salam yang gembira Cereja!, cara yang ramah untuk mengucapkan selamat jalan di Piedmontese; Mereka juga mengingat kembali saat Rua menunjukan tidak hanya kebaikan sebagai seorang bapa bagi mereka yang dibawah pengawasannya tetapi juga dapat bersikap lembut sepeti seorang ibu. Akhirnya, ada orang-orang lain yang hanya bisa berharap agar segalanya berjalan baik.
Hari-harinya memang sibuk. Sebagai awalnya, ia adalah satu-satunya pastor di rumah itu. Ini berarti ia harus mendengarkan kebanyakan dari pengakuan dosa, dan juga mengundang pastor dari luar guna menolongnya dan untuk menawakan pada anak-anak kebebasan untuk memilih. Dia berkotbah pada hari minggu dan pada saat pesta-pesta; ia juga menjadi assisten dalam rekreasi-rekreasi, bahkan kadang-kadang turut ambil bagian dalam permainan-permainan mereka. Ia sering berjlan di lapangan bermain dengan mereka, anak-anak memegangi jari-jarinya yang panjang. Ia tertarik dengan segala hal yang berhubungan dengan menjalankan sekolah, apakah itu kebersihan di ruang tidur dan dapur, disiplin dan keteraturan di kelas, nilai-nilai, pekerjaan rumah yang diberikan pada anak-anak, dan bahkan cara mengoreksinya.
Dalam semua hal ini, terutama sewaktu hari-hari awalnya, ia memperoleh dukungan dari Don Bosco yang kebiasaannya adalah bersurat-suratan dengannya cukup sering dan menunjukkan betapa ia menaruh dalam hatinya kesejahteraan setiap individual Salesian.
“Pastikan agar para guru tidak kekurangan dalam hal istirahat dan makanan mereka,” dia menasehati Rua. “Biasakan untuk berbicara dengan mereka ... pastikan bahwa mereka tidak mempunyai pekerjaan yang lebih banyak daripada yang dapat mereka kerjakan; apakah mereka membutuhkan pakaian atau buku-buku; Jika mereka sakit, baik fisik atau moralnya ... Ketika kau menemukan bahwa mereka membutuhkan sesuatu, lakukan segala sesuatu yang kau bisa untuk menyediakannya untuk mereka...”
Ada saat lain dan dengan cara yang sangat aneh dimana Don Bosco sering memberikan pertolongan bagi Rua.
Ketika Don Bosco tidak hadir di Oratori, kadang-kadang ia menulis surat kepada superior, dan memberi tahu mereka bahwa “ia telah melihat” anak ini atau itu berbuat sesuatu hal yang tidak pantas dan menasehati mereka bagaimana menghentikan kekacauan-kekacauan tersebut. Jadi sekarang dengan Rua, ia akan menulis surat kepadanya, memperingatkan dia akan kekacauan-kekacauan “yang ia lihat” terjadi di Mirabello dan menunjukkan kepadanya bagaimana cara untuk mencegah hal-hal itu.
Jika Don Rua dikritik di Oratori atau di Mirabello, kritik tersebut pasti ditenangkan oleh laporan-laporan yang begitu bagus yang mulai datang kepada Don Bosco. Isi surat-surat itu biasanya dapat disimpulkan dalam penilaian akan Rua dan hasil kerjanya: “Tindakan-tindakan Don Rua sama seperti Don Bosco pada saat di Oratori.” Bahkan hal-hal berjalan begitu baik sehingga Don Rua harus menulis surat dan memberitahu Don Bosco mengenai semuanya ini. Don bosco dengan cepat menyadarkannya dan menasehatinya supaya mengambil beberapa “Obat dari St. Bernardus.” Yaitu, agar ia bertanya secara teratur pada dirinya sendiri dengan tiga pertanyaan yang terkenal: Unde venis? Quid agis? Quo vadis? – Darimana kamu datang? Apa yang sedang kamu lakukan? Kemana kamu sedang menuju? Mungkin untuk lebih lanjut membuatnya malu dengan mengirim surat kepada Rua tanggal 30 Desember 1863, dimana ia memberitahukan tentang kekacauan yang ia lihat terjadi di Mirabello yang ia lihat “setelah beberapa kali mengunjungimu dalam roh.”
Keberhasilan Rua di Mirabello harus dibayarnya lewat satu cara atau cara lainnya. Salah satu cara yang ia pakai ialah penyangkalan diri. Walaupun Don Bosco dengan sangat jelas memperingatkan dirinya untuk “menghindari penyangkalan diri terhadap makanan, dan memastikan bahwa ia istirahat tidak kurang dari enam jam pada malam hari,” namun ia tetap menemukan jalan-jalan lain untuk penyangkalan diri tanpa, pada saat yang sama, tidak mentaati Don Bosco.
Terdapat sedikit humor dalam kenyataan bahwa Don Bosco selalu meminta para Salesiannya untuk tidak terlalu memaksakan diri mereka, bahwa mereka harus selalu makan dengan cukup, cukup beristirahat, dan tidak mengabaikan kesehatannya – dan pada saat yang sama ia sendiri melakukan hal yang sebaliknya! Istirahat sebagai contohnya. Adalah pemandangan yang biasa bagi para sama saudara untuk melihat sinar lampu di kamar Don Bosco sepanjang malam, khususnya kapan pun ia sedang mempersiapkan Chatholic Reading edisi yang baru. Selama satu periode dalam hidupnya, ia mempraktekkan berjaga semalam suntuk sekali dalam seminggu untuk tujuan ini. Tetapi ia membayar mahal hal ini dengan kesehatannya.
Demikian juga dengan Rua. Pada satu sisi ia terus mendorong rekan-rekannya untuk mengurus diri mereka sendiri dan tidak pernah berlebihan dalam bermatiraga, supaya beristirahat cukup .... Dan sementara itu mereka dapat melihat lampu kamarnya menyala dalam sepanjang malam!
“Suatu ketika aku pergi ke Mirabello dengan dua orang lainnya untuk memberikan ujian” tulis Pastor Calestine Durando. “Karena tidak ada cukup kamar untuk kami, maka Don Rua memutuskan bahwa aku dapat mengunakan kamarnya untuk beristirahat. Ketika aku sedang bersiap untuk beristirahat aku mendengar ketukan pintu yang ternyata adalah Don Rua.”
“Aku melupakan sesuatu,” katanya. Kemudian ia mengambil sesuatu dari bawah kolong tempat tidurnya dan menarik keluar suatu papan panjang yang ukurannya sepanjang tempat tidur.”
“Apakah Don Bosco tahu mengenai hal ini?” aku bertanya kepadanya.
“Ini bukanlah apa-apa,” jawabnya. “Lagipula aku tidak melakukannya terlalu sering.”
“Don Bosco menginginkanmu supaya kembali ke Oratori.”
“Baiklah.”
Kemudian Don Rua dengan hati-hati menaruh penanya, menutup buku akutansi yang sedang ia kerjakan untuk tahun ajaran sekolah yang baru, memakai topi dan mantelnya, mengambil buku brevirnya yang tua, dan kemudian pergi ke Turin.
Provera, yang membawa pesan itu, hanya dapat melihat dengan penuh keheranan. Pada saat itu ia pasti bertanya-tanya apakah Rua mempunyai perasaan. Langsung bangkit berdiri dan pergi begitu saja dari sebuah tempat dimana ia telah memperoleh cinta dan penghormatan, tidak hanya dari komunitas dan anak-anaknya, namun juga dari yang berada di luar! Ada banyak saat di dalam hidup Rua dimana ia memberi kesan seperti itu kepada mereka yang mengamatinya, yang telah menunggu dengan sia-sia untuk melihat sedikit reaksi atas kejadian-kejadian yang memperngaruhinya. Seringkali orang benar-benar salah paham terhadapnya. Hanya mereka yang mengenal dia secara dekat – dan jumlah mereka hanya sedikit – mereka menyadari bahwa dalam seluruh kehidupannya ia selalu berjaga-jaga terhadap dirinya sendiri. Roman mukanya sungguh jarang tidak menampilkan ekspresi yang tenang, dan bibir yang tersenyum kecil tanda pengendalian dirinya.
Lagipula, perubahan itu tidak datang begitu saja yang tanpa tidak terduga. Tidak juga Don Bosco memberikan perintah itu dengan ringan saja. Sebelum mengeluarkan perintah itu, sebelum meminta Rua untuk meninggalkan tempat di mana ia telah berada selama dua tahun yang lalu dan sekaligus tempat yang telah menjadi berharga bagi dirinya, Don Bosco telah memikirkan hal itu dengan sungguh lebih baik.
Semuanya ini terjadi selama musim panas pada tahun 1865 – yang merupakan masa sedih bagi Konggregasi . Tidak kurang dari empat pastornya jatuh sakit sangat serius. Salah satu diantaranya meninggal pada bulan Juli, dan salah orang kepercayaannya di Oratori yaitu Pastor Alasonatti keadaannya semakin melemah sehingga ia pun terpaksa harus meninggalkan Oratori untuk beristirahat. Tidaklah perlu waktu lagi bagi Don Bosco untuk menyadari bahwa temannya yang terkasih dan yang telah menolongnya dari hari-hari kesulitan di Oratori yang tidak akan pernah kembali lagi. Dia meninggal pada tanggal 7 Oktober bertepatan dengan pesta Ratu Rosario. Inilah alasan mengapa Don Bosco meminta Rua untuk kembali. Ke Mirabello, ia mengirim Pastor John Bonetty pergi. Setelah melihat sendiri pencapaian Rua selama dua tahun berada di sekolah itu, dia menyatakan, “Aku akan memerlukan sepuluh tahun untuk melakukannya apa yang telah Rua lakukan dalam dua tahun!” *
Ketika Rua tiba di Oratori ia mengejutkan setiap orang dengan langsung duduk di meja Pastor Alasonatti dan segera mulai bekerja. Itulah yang terus ia lakukan yang membuat beberapa salesian kecewa.
Mereka adalah para sama saudara yang telah melihat bahwa, karena ketidakhadiran Don Bosco dan memburuknya kesehatan Pastor Alasonatti, banyak hal telah pudar di dalam Oratori. Sekarang di sana terdapat 700 anak-anak dalam komunitas yang besar – Oratori telah menjadi tempat yang rumit untuk dijalankan. Karena reputasi Rua yang telah ia dapatkan karena keberhasilannya di Mirabello dalam hal keteraturan dan disiplin, para sama saudara ini sekarang menaruh harapan bahwa ia akan memperkenalkan sesuatu yang baru untuk perbaikan.
Sebaliknya, Rua tidak mengizinkan dirinya untuk terburu-buru dalam segala hal, dan meneruskan kerja di kantornya, melakukan pekerjaan yang sangat banyak seolah-olah, seseorang berkata, bahwa ia tidak pernah meninggalkan Oratori. Kepada siapa saja yang mengatakan keinginan akan perubahan, ia hanya menjawab, “Semuanya sama dahulu. Jika ada perubahan yang diperlukan Don Bosco akan mengurusnya. Apa yang Don Bosco butuhkan sekarang adalah salesian-salesian yang patuh dan taat.” Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar ia berkata sesuatu yang mungkin mereka harap dengar darinya ketika ia melihat beberapa kekacauan, “Di Mirabello kita melakukan hal-hal dengan cara yang berbeda.”
Pada saat pertemuan pada tanggal 29 Oktober 1865, Don Bosco, karena Pastor Allasonati absen, mengangkat Michael Rua sebagai Prefect General dari konggregasi . Pada tanggal 25 November, Rua dan delapan Salesian yang lainnya mengucapkan kaul kekalnya di hadapan Don Bosco, yang mengingatkan semua orang yang hadir di sana bahwa satu-satunya alasan mengapa mereka memilih untuk bergabung dengan konggregasi adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka.
Dengan adanya pengangkatan tersebut, Rua mulai sekarang telah memangku dua jabatan yaitu Prefect General konggregasi dan Prefect dalam Oratori. Adalah penting untuk memahami fungsi khusus seorang Prefect dalam konggregasi jika seseorang ingin mengerti reputasi Rua dalam hal ketegasan dan kedisiplinan yang keras, yang diperolehnya untuk tiga belas tahun yang akan datang.
Menurut pemikiran Don Bosco, seorang Prefect General menempatkan diri di tempat yang kedua setelah Superior General atau Rektor Mayor. Ini berarti bahwa Rua sekarang bertanggung jawab dalam hal perekonomian, disiplin dan kepatuhan pada Peraturan di seluruh konggregasi dan juga di Oratori. Terakhir, namun bukan yang terkecil dari tugas-tugasnya adalah menanggani hal-hal yang tidak menyenangkan baik di luar maupun di dalam serikat. Tugasnya untuk mengatur baik anak-anak dan para salesian pasti memberinya banyak saat-saat yang sedih, namun meskipun demikian ia tidak melupakan kewajibannya. Walaupun ia selalu mencoba untuk melakukan tugasnya dengan murah hati semampunya, namun demikian, perasaan sakit yang kadang-kadang ia timbulkan sering dirasakan sangat mendalam dan diingat lama. Namun, bagi dia, tidaklah pernah itu menjadi masalah perasaannya secara pribadi atau kepribadian. Hal itu hanyalah masalah memastikan bahwa peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Don Bosco ditaati.
Di satu sisi lain, untuk memiliki seseorang yang dapat ia beri kepercayaan secara mutlak, pada saat berlangsungnya sejarah serikat adalah merupakan suatu sumber penghiburan dan kekuatan bagi Don Bosco. Sejauh untuk menjalankan Oratori saja ia dapat melakukannya sendiri. Namun ada banyak pertimbangan lain. Adalah kondisi yang sangat perlu untuk semangat yang ingin ia berikan sebagai karakteristik Konggregasi nya, bagi dia untuk menumbuhkan rasa cinta dari para salesian dan anak-anaknya. Jika ia harus mengurus kedisiplinan, korekasi dan tugas-tugas lain yang tak menyenangkan, ia mengambil resiko untuk menutup hubungan komunikasi, jalan yang menuju ke hati yang sangat berharga baginya. Sekarang ia juga telah yakin bahwa karya hidupnya akan menjangkau jauh melebihi tembok-tembok yang ada di Oratori, jauh melebihi Piadmontese. Mulai sekarang perkembangan usahanya dan dasar-dasar konggregasi nya, perjalanannya untuk mengemis dana, akan membuat ia berada jauh dan lebih jauh lagi dari Oratori dan untuk waktu yang lebih lama. Adalah sebuah keberuntungan – atau, lebih tepatnya sebagai penyelenggaraan Ilahi –bahwa ia menemukan dalam diri Don Rua figur yang tepat sempurna dengan rencananya. Jika, sebagai konsekuensinya, hal itu berarti pada tahun-tahun yang akan datang Rua akan hidup di bawah bayang-bayang Don Bosco, mereka berdua sudah mengerti dan menerimanya.
Untuk membuat Oratori berjalan dengan lancar sekarang menjadi tugas Rua yang paling penting. Karena sifat alami manusia, ada mereka, bahkan di antara para Salesian, yang mengambil keuntungan dari kekurangdisiplinan yang terjadi di dalam Oratori. Tapi hal yang sama pentingnya baginya adalah membangun, bahkan pada tingkat awal ini, norma-norma dan standar-standar yang akan menuntun konggregasi pada seluruh generasi yang akan datang.
Seperti biasanya, ia memulainya terlebih dahulu dengan memberikan contoh-contoh.
Kantornya merupakan contoh kesederhanaan, terdiri dari sebuah meja, rak buku, dua tempat duduk, sebuah salib, dan dua gambar kudus yang kecil yaitu Sakramen Maha Kudus dan satunya lagi adalah Bunda Maria.
Di ruangan sebelahnya ada beberapa meja kecil bagi mereka yang membantunya dalam kerja sekretariat. Dia harus mempunyai beberapa penolong yang membantunya mengelola sebuah sekolah yang berisi tujuh ratus siswa dan dengan bengkel-bengkel kerja serta ruangan kelas yang tersedia. Kantor ini dijalankan dengan prinsip ekonomi yang sangat tegas. Contohnya, tidak ada seseorang pun di kantor itu yang diizinkan untuk menggunakan kertas untuk surat pribadi. Mereka harus mengunakan – seperti Michael Rua juga menggunakan – setengah atau pun seperempat lembar kertas bersih yang didapat dari surat-surat.
Kerja di kantor akan dimulai dengan berdoa terlebih dahulu dan diakhiri pada siang hari dengan satu atau dua kalimat dari Meneladani Kristus atau St. Franciskus Sales, dan diakhiri dengan doa Angelus.
Ruangan kantor ini merupakan ruang tamu bagi mereka yang datang – yaitu tukang daging, tukang roti, para orangtua dan bagi siapa saja yang datang untuk wawancara. Kapan pun mungkin, pada saat ia mengadakan wawancara, ia akan melakukannya sambil menulis. Sekretarisnya juga bervariasi dari seorang pastor kepada seorang pemuda yang mampu sampai mereka yang tidak cocok di mana pun. Hal itu juga merupakan sebuah ujian bagi para pendatang baru di dalam konggregasi , dan ketika Rua sudah menemukan kemampuan sejati mereka dan kecakapanny, ia akan menugaskan mereka ke tempat yang lebih cocok. Selama kurun waktu ini, ia akan selalu menulis sesuatu pada secarik kertas – pengamatan yang ingin ia lakukan saat rekreasi. Kapan pun ia hendak membuat suatu penilaian atau permintaan, ia seringkali mengatakan kata-katanya seolah-olah ia meminta bantuan. Jika permintaan itu disetujui maka ia akan menunjukan dengan kegembiraannya; jika tidak ia akan mengulangi permintaan itu dengan lebih spesifik, menambahkan bahwa ia mengharapkannya supaya dilaksanakan.
Dengan Oratorinya yang sekarang berjalan lancar, Don Bosco memulai rencana untuk absen jangka panjang dan lebih sering. Popularitas dirinya telah tersebar, begitu juga Oratori dan karyanya lainnya. Sebuah basilika besar yang mulai ia bangun pada tahun 1863 yang dipersembahkan bagi Bunda Maria Penolong Umat Kristiani hampir selesai dan tagihan-tagihannya juga menumpuk sama cepatnya. Tagihan ini harus dilunasi dengan sumbangan yang harus ia cari, lebih sering daripada tidak, secara pribadi dari para penderma. Sekarang ia telah menemukan bahwa ia harus lebih sering menugaskan Rua untuk menjawab surat-suratnya. Rua juga telah mulai mengambil tempatnya lebih sering lagi baik di luar maupun di dalam Oratori. Contohnya, ia menggantikan Don Bosco dan menerima kaul kekal dari Pastor Provera dan Cerutti; pembaharuan kaul para frater; ia juga memimpin pertemuan para Direktur Rumah-Rumah. Mungkin Don Bosco telah memberikan jaminan akhir akan kepercayaannya kepada Rua ketika ia membiarkan Rua melunasi hutangnya.
“Aku tidak mempunyai sesen pun,” biasanya ia akan mengatakan, “pergilah kepada Rua.”
Kemudian Rua akan memberikan senyum kecilnya dan mengatakan “Rua mempunyainya ketika Don Bosco memberikannya.”
Jika hal itu mungkin – dan dengan jelas hal itu mungkin – Don Bosco menginginkan agar Rua menambah lagi kepercayaannya yang besar akan Penyelenggaraan Ilahi. Kapan pun Rua mengeluh bahwa tidak ada uang di kotak uang sedangkan para kreditor menagih untuk segera membayar, Don Bosco akan mengelengkan kepalanya.
“O...orang dengan iman yang kecil!” ia pun berseru. “Berhentilah kuatir! Tuhan akan menyediakannya!”
Suatu ketika, Rua harus membayar hutangnya sebesar tiga ratus lira – sebuah jumlah yang cukup besar pada saat itu. Para kreditor telah menetapkan harinya dan mengundang orang lain untuk membantunya jika ia tidak membayar hutang. Rua tidak punya uang dan begitu juga Don Bosco. Situasinya menegangkan.
“Don Bosco” kata Rua, “Apa yang akan kita lakukan?”
“Kembalilah ke kantormu,” kata Don Bosco, “Panggil anak yang akan kau suruh mengantar uang dan tunggulah. Tuhan akan memberikannya.”
Rua pun taat dan kembali ke kantornya lalu memanggil anak itu dan menunggu.
Pada pukul sembilan Chavalier Ocelletti muncul dan kemudian ia menjelaskan kepada Don Bosco bahwa ia telah menerima sejumlah uang - setengah dari jumlah gaji resmi yang ia harapkan. Ini tidaklah banyak. Ia mengharapkan supaya bisa memberikan lebih pada Don Bosco.
“Berapa jumlahnya?” tanya Don Bosco.
“Tiga ribu lira.”
“Bawalah ini kepada Don Rua,” kata Don Bosco. “Ia sedang cemas di kantornya.”
Ketika uang itu diserahkan ke tangan Don Rua, ia menatapnya untuk waktu yang cukup lama.
“Walaupun Rua adalah seorang yang cukup keras...” tulis Pastor Francis Paglia, “dan mempunyai tugas yang akan membuat seseorang tidak disukai, ia masih tetap dicintai dan dihargai seperti seorang ayah.”
Jika situasinya mengizinkan, ia menunjukkan bahwa ia dapat menjadi seorang yang paling baik.
“Aku baru berumur sembilan tahun,” kata Pastor Joseph Rinetti, “ketika ayahku membawaku ke Oratori sebagai aspiran calon pastor. Ia berjanji kepadaku untuk kembali pada hari berikutnya untuk mengunjungiku. Aku tidak bisa mendekati orang lain sehingga aku pun murung yang terus bertambah ketika aku pergi ke ruang makan! Aku tidak dapat tidur sepanjang malam dan pada pagi berikutnya aku hanya menunggu ayah agar membawaku pulang ke rumah. Ketika Don Rua mendengar keadaanku ia memanggilku di kantornya dan menghiburku dengan sangat sehingga ia membuatku pada akhirnya mencinta kehidupan di Oratori. Ia juga melakukan hal yang sama kepada rekan-rekanku.”
Pastor Francessia menjelaskan bahwa Don Bosco tidak menginginkan murid terkasihnya mempunyai raut muka yang tidak baik, ia juga menginginkan agar tak seorang pun mampu mengucapkan segala hal yang melawan dia.
Ia mengingat suatu pagi ketika Don Bosco, dengan kehadiran Don Rua, memberitahu pada yang lain ”Semalam aku bermimpi, ketika aku berada di sakristi, aku merasakan bahwa aku harus mengaku dosa. Ketika aku melihat sekelilingku aku melihat Don Rua sedang berlutut disana, tapi percayakah kamu tentang hal ini? Aku tidak berani pergi mendekatinya karena berpikir bahwa ia akan bersikap terlalu keras.”
Mereka tertawaka, Don Rua bahwa ia bahkan menakutkan Don Bosco.
Pastor Francesia mengatakan bahwa orang lain selain Rua mungkin akan menerimanya secara keliru. Sebaliknya, Rua pun tertawa bersama dengan yang lainnya. “Siapakah aku ini?” hanya itu yang ia katakan, “sehingga membuat Don Bosco takut?”
Tapi tidak peduli apakah usahanya menjalankan tugasnya dengan baik demi Konggregasi dihargai atau tidak, Rua harus melanjutkan usahanya untuk mendisiplinkan Oratori.
Hingga sekarang, contohnya, Don Bosco telah mengizinkan anak-anak untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tidak dengan berbaris melainkan dengan santai, melanjutkan percakapan mereka sampai di pintu kelas ataupun di gereja. Idenya adalah untuk membiasakan mereka melakukan tugas mereka dengan cara-cara yang alami. Dalam semangat yang sama, ia lebih suka anak-anak untuk mengucapkan doa malam di luar gereja di tempat bermain, lagi-lagi untuk berdoa, baik pada saat mereka di dalam gereja atau tidak.
Tapi keadaan yang ada di Oratori sekarang telah berbeda, Oratori sekarang tidak lagi terdiri dari anak-anak yang biasanya mengeruuni bapanya yaitu Don Bosco, yang dapat mengerakkan mereka sesuai keinginannya. Semuanya ini telah berkembang menjadi institusi yang besar. Semangat kekeluargaan masih tetap di sana, tentu saja – Don Bosco akan lebih memilih menutup Oratorinya daripada menghilangkannya – tapi untuk menghindari kekacauan, beberapa peraturan untuk keteraturan telah diperkenalkan. Mulai sekarang anak-anak harus pergi dari satu tempat ke tempat yang lainnya dengan hening, hal yang sama juga diterapkan baik di gereja maupun di kelas, setiap kelompok anak-anak mempunyai prefek pengawas kedisiplinan yang disebut Asisten, dan sekarang punya seseorang yang mengurus mereka. Ia adalah seorang pastor yang baru saja ditahbiskan yaitu Pastor Paul Albera. Ruang tidur sekarang diawasi, ruang kelas dikunci ketika tidak digunakan, kebersihan selalu ditekankan, dan sekali seminggu anak-anak diberikan pelajaran mengenai sikap-sikap yang baik.
Perhatian Rua tidak terbatas pada kedisiplinan. Ia memastikan bahwa anak-anak yang lebih miskin mempunyai pakaian yang pantas pada hari minggu dan hari perayaan pesta. Sesuai instruksinya, ekonomer dari Oratori, bersama dengan murid-murid yang sedang belajar menjahit dan pembuat sepatu membuat pemeriksaan teratur atas semua lemari untuk mencari sepatu dan pakaian yang perlu diperbaiki. Ia melakukan kunjungan yang sering ke bengkel-bengkel untuk memastikan bahwa tidak hanya anak-anak tapi juga para pengajar di bengkel terlatih dengan baik. Pada waktu banyak para pengajar bukanlah orang yang ahli di bidangnya dan ditaruh untuk mengawasi bengkel hanya karena tidak ada orang lain yang tersedia.
Berapa sering ia terdengar berkata, “Jika saja aku dapat membantu Don Bosco dalam semua urusan dan kecemasannya!” Namun dalam usahanya untuk membangun Oratori, ia tidak pernah membuat suatu perubahan tanpa persetujuan Don Bosco. Dalam hampir setiap hal ia hanya menghidupkan lagi beberapa hal yang telah diperkenalkan oleh Don Bosco tapi, karena suatu alasan atau hal lainnya, telah tidak dilakukan lagi.
Mengenai semua tugas tidak menyenangkan yang diambil oleh Rua, Don Bosco mempunyai satu mimpi yang sangat jelas tahun 1867 yang ia ceritakan kepada beberapa Salesiannya. Dalam mimpinya, ia memberitahu mereka, ia melihat sebuah pohon anggur yang besar berdiri dekat rumah Pinardi yang tua dengan begitu tinggi dan begitu lebar sehingga menutupi seluruh lapangan bermain. Dengan segera pohon itu mulai menjatuhkan buah-buah anggur yang segera berubah menjadi anak-anak – semua anak-anak yang telah mengikuti atau akan ikut dalam Oratori atau di Rumah yang lain. Pada satu saat pohon ini mulai menghasilkan buah-buah anggur yang besar tapi ketika dicicipi oleh Cagliero, ia merasa bahwa anggur itu terlalu pahit untuk dimakan. Pemandu yang mendampingi Don Bosco lalu menawarkan sebuah tongkat kepada beberapa Salesian, mengundang mereka untuk memukul jatuh ranting-ranting yang menghasilkan anggur-anggur yang pahit. Tapi semua orang menolak. Lalu pemandu itu berpaling pada Rua. Rua menoleh pada Don Bosco yang mengangguk tanda setuju. Dengan memegang kuat tongkat itu, Rua mulai menghancurkan ranting-ranting ini dan anggur-anggur yang pahit – simbol dari semua orang dan hal-hal yang dapat membahayakan Serikat.
Bab 5
“Tolong cepat, Don Bosco. Ia dapat meninggal kapan saja!” Pastor Joachin Berto hampir menangis.
“Begitukah?” kata Don Bosco. “Biarkan aku memberitahumu sesuatu. Ia tidak akan meninggal sampai aku mengatakannya. Lihat, sekarang aku masih harus mendengarkan pengakuan dari para anak laki-laki untuk Latihan Kematian yang Berbahagia.”
“Don Bosco, apakah engkau tidak mengerti?” ulang Pastor itu sambil meremas-remas tangannya. “Ia dapat meninggal kapan saja saat ini.”
Menggelengkan kepalanya, Don Bosco dengan perlahan mendorongnya ke samping dan pergi untuk mendengarkan pengakuan dari anak-anak. Ketika ia selesai pastor itu masih menunggunya.
“Paling tidak sekarang maukah kamu datang dan melihatnya? Ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.”
“Aku akan segera ke sana,” kata Don Bosco. “Setelah aku makan malam.”
Mendengar hal itu, pastor ini melemparkan tangannya ke udara karena putus asa dan pergi.
Seperti janjinya, Don Bosco, setelah selesai makan malam, naik tangga ke kamar orang sakit.
“Oh, Don Bosco!” kata pria sakit itu. “Betapa senangnya aku melihatmu! Jika ini waktuku yang terakhir, tolong beritahu aku. Aku siap menerima apapun.”
Kejadian yang luar biasa ini terjadi pada tanggal 29 Juli 1868, setelah perayaan pesta yang bagus untuk konsekrasi gereja Bunda Maria Penolong Umat Kristiani yang berlangsung delapan hari. Penyempurnaan bangunan, persiapan untuk konsekrasi, hiburan untuk tamu-tamu penting, undangan-undangan, para Salesian dan anak-anak Don Bosco … semua ini menambah beban lebih berat lagi kepada Don Rua sehingga akhirnya ia jatuh kelelahan dan terkena sakit radang dan demam tinggi. Dokter-dokter segera dipanggil dan keputusan mereka adalah lebih sedikit dari satu orang per seratus orang selamat dari serangan penyakit seperti ini. Ketika mereka berdua menyerah, Don Rua meminta dan menerima Viatikum. Ketika itulah Don Bosco kembali ke oratori.
Ketika Don Bosco masuk ke dalam ruangan sakit itu dan mendengar pertanyaan orang sakit itu, ia hanya berkata, “Don Ruaku yang terkasih, aku tidak ingin kau meninggal. Aku memerlukanmu untuk menolong aku dalam begitu banyak proyek.” Lalu ia meninggalkannya, setelah memberi berkat pada Don Rua dan sedikit mengucapkan kata-kata hiburan.
Pagi yang berikutnya setelah merayakan Misa, Don Bosco kembali ke kamar orang sakit di mana ia menemukan sang dokter dan beberapa pastor ada di sana. Sang dokter dengan segera menariknya ke samping dan mengaku bahwa ia tidak begitu berharap untuk kesembuhan sang pasien. “Sakitnya sangat parah,” tambahnya.
“Saya tidak peduli betapa sakitnya dia,” kata Don Bosco. “Ia hanya harus membaik karena ia punya terlalu banyak pekerjaan.” Tiba-tiba ia melihat minyak suci. “Apa-apaan ini?” tanyanya.
Ia lalu diberitahu bahwa minyak suci telah dibawa untuk memberi Don Rua Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
“Dan siapa laki-laki baik yang telah membawanya?”
“Aku,” jawab Pastor Savio. “Jika saja kau melihatnya kemarin, Don Bosco. Ia terlihat sangat parah. Dokter-dokter itu sendiri …”
“Betapa kecil imanmu!” seru Don Bosco. Maka, untuk pertama kali ia berpaling pada si sakit. “Bergembiralah Don Rua,” katanya. “Biar aku memberitahumu sesuatu: walaupun kau melempar dirimu keluar dari jendela itu kau tetap tidak akan mati!”
Setelah memberkati laki-laki yang sakit itu, ia pergi. Dari saat itu, Rua mulai membaik dan dalam beberapa hari ia benar-benar bebas dari bahaya.
Sewaktu masa pemulihannya, Don Rua pasti mengingat kejadian lain ketika Don Bosco telah memberinya jaminan bahwa ia tidak akan mati muda. Hal itu terjadi pada waktu ulang tahun ke-400 mukjizat terkenal dari Sakramen Terberkati yang terjadi di Turin tahun 1453. Rua telah pergi dengan beberapa orang lain ke tempat di mana Don Bosco tinggal dengan seseorang teman, Profesor Matthew Picco.
Saat berjalan pulang Don Bosco berkomentar tentang kesuksesan sebuah buku kecil yang telah ia tulis untuk memperingati mukjizat itu.
“Ketika tahun 1903 tiba,” katanya kepada Rua, “aku tidak akan ada di sini untuk merayakan ulang tahun ke 450, tapi kau akan ada di sini. Saat ini juga aku mepercayakan kepadamu penerbitan ulang buku kecil ini.
“Saya akan sangat gembira untuk melakukannya” jawab Rua. “Tapi siapa yang tahu bagaimana kematian akan bermain-main denganku sebelum tahun itu tiba.”
“Kematian tidak akan menipumu,” jawab Don Bosco. “Kau akan mampu melakukan tugas yang kupercayakan kepadamu.”
Don Rua dengan taat menyimpan satu salinan dari buku kecil itu untuk menunggu tahun 1903.
Pengumuman tentang sakitnya Don Rua memberi Oratori kesempatan untuk menunjukkan bagaimana mereka menghargainya. Dalam situasi biasa ia tidak akan pernah mengizinkan anak-anak itu untuk menunjukkan begitu besar rasa hormat mereka selagi Don Bosco masih hidup. Sakitnya telah mengingatkan seluruh Oratori bagaimana sulitnya mereka nanti jika Don Bosco atau Don Rua meninggal dunia. Kelas-kelas dihentikan dan baik para Salesian dan para anak-anak memenuhi altar Bunda Maria Penolong Umat Kristiani untuk mempersembahkan doa-doa dan komuni untuknya. Ketika ia cukup sehat untuk tampil di muka umum, ia disambut oleh Band Oratori, dan mendudukkannya di tengah-tengah mereka dan membacakan karangan-karangan untuk menghormatinya.
“Aku pergi ke Roma untuk suatu hal resmi yang sangat penting… Aku memohon pada kalian untuk berdoa Bapa Kami dan Salam Ya Ratu sampai 7 Maret untuk intensi-intensiku.”
Ini adalah kunjungan Don Bosco yang ketiga kalinya ke Roma, seperti biasa untuk mencari persetujuan akhir untuk konstitusi serikatnya. Berbicara secara manusiawi, menimbang kesulitan-kesulitan dan tentangan yang diterimanya, ia bisa dikatakan meminta suatu hal yang tidak mungkin. Untungnya, dari pihaknya, ia punya seorang yang benar-benar kuat dibanding para lawannya. Bunda Maria mendapatkan untuk Don Bosco tiga mukjizat lewat kesembuhan bagi orang-orang yang berhubungan langsung dalam hal persetujuan – yang pertama, pada keponakan Kardinal Berardi, lalu Kardinal Antonelli, dan terakhir pada Mgr. Svegliati sebagai sekretaris Konggregasi para uskup dan regular - ketiga orang itu tokoh penting dalam hal persetujuan. Mereka pasti menggunakan pengaruh mereka, karena pada tanggal 1 Maret 1869, Konggregasi Suci Para Uskup dan Regular yang bertugas dalam hal-hal seperti itu, mengeluarkan sebuah dekrit persetujuan sementara, menunda persetujuan resmi untuk waktu lebih lama. Mungkin mereka berpikir tentang fakta bahwa serikat itu, yang merupakan grup yang kecil jumlahnya terdiri dari 22 anggota yang berkaul kekal, 33 orang yang berkaul sementara, dan 31 postulan. Anak-anak di Oratori saat itu berjumlah 800 orang.
Walaupun Konstitusi belum benar-benar disetujui, Serikatnya sendiri sudah diakui. Ini berarti mereka sekarang sebuah badan yang diakui secara resmi oleh Gereja. Karena itu anggota yang sekarang bisa dianggap sebagai para pendiri konggregasi yang baru itu.
“ Marilah kita saling berjaga,” tulis Don Bosco kepada mereka pada tanggal 6 April 1869, “untuk membuat diri kita pendiri-pendiri yang pantas dari Serikat St. Fransiskus Sales, sehingga mereka yang akan membaca sejarah kita akan melihat kita sebagai teladan yang benar dan tidak akan mengeluh tentang kita, pendiri-pendiri macam apa mereka itu?”
Masih ada masalah untuk memberi bentuk pasti untuk Konggregasi , dalam mengadopsi usul Tahta Suci tanpa kehilangan semangat asli. Mereka yang hendak masuk ke dalam Konggregasi , oleh karena itu harus melewati sebuah masa formasi. Sebuah pelatihan resmi Semangat Salesian dan Peraturan-Peraturan. Sebuah novisiat harus didirikan dan seseorang yang pantas dalam kedua hal ini harus bertindak sebagai novis master. Pilihan Don Bosco untuk tugas yang penting ini, tanggung jawab yang berat ini? – Don Rua.
Namun, baik istilah “novisiat” atau “novis master” tidak digunakan. Keduanya adalah istilah yang tidak disukai tidak hanya oleh masyarakat umum tapi juga oleh para Salesian. Mereka kedengaran terlalu bersifat “biara” untuk bisa diterima. Sampai saat itu, Don Bosco sendiri telah bertanggung jawab dalam hal formasi dan Konggregasi telah diizinkan untuk tetap ada tanpa novisiat yang normal, hanya karena ia telah menerima izin khusus dari Paus Pius IX.
Suatu hari, Cagliero, dengan sifat terus terangnya yang biasa, berkata kepada Don Bosco, “Ketika kamu pergi ke surga - dan semoga hari itu tidak pernah tiba – orang yang akan mewarisi posisimu adalah Don Rua. Semua orang berkata demikian, kau sendiri sering mengatakannya. Tapi – ini masalahnya – tidak semua orang yakin bahwa ia akan mendapat kepercayaan yang sama seperti yang kau peroleh. Terutama dengan tugasnya sebagai pemeriksa tindakan setiap orang dan sebagai penegak disiplin di Oratori dan juga di Konggregasi dan banyak tugas-tugas berat lainnya … Mari kita menyimpulkannya – Ia bukanlah kesayangan setiap orang!”
Setelah memikirkan hal ini ia akhirnya menyimpulkan bahwa Cagliero benar. Untuk tahun sekolah yang baru di tahun 1982, ia menunjuk Pastor Provera sebagai Prefect dan membuat Don Rua menjadi Direktur Oratori. Tapi kali ini juga kerendahan hati Don Rua tampak dan ia memberitahu Don Bosco bahwa ia akan menerima tugas itu tapi tidak untuk jabatannya. Tidaklah pantas, ia menunjukkan, untuk mempunyai seseorang di Oratori yang disebut Direktur Oratori selama Don Bosco masih hidup. Lalu disetujui bahwa Don Rua akan dipanggil Wakil Direktur. Hal ini tentu saja membebaskan dirinya, seperti usul Cagliero, untuk beberapa tugas yang mengesalkan dan menimbulkan benci. Tapi karena ia juga Prefect General dari Konggregasi , ia masih bertanggung jawab langsung untuk mengawasi kepatuhan umum terhadap Peraturan-Peraturan oleh semua anggota Konggregasi – sebuah tugas yang, sejak Konggregasi disetujui, telah dianggap Don Bosco sebagai yang paling penting.
Cerita-cerita masih diceritakan tentang bagaimana Don Rua menjalankan posisinya di Oratori dan di Rumah-Rumah lain. Pada malam hari setelah doa malam, ketika semua aktivitas seharusnya berhenti dan semua orang berada di dalam, ia dapat dilihat, dengan rosario di tangan, bergerak dengan perlahan-lahan di antara pilar-pilar bangunan. Jika ia kebetulan melihat orang yang mengobrol atau tampak tidak berada di tempat yang semestinya, ia akan mendekati mereka dan dengan tersenyum mengundang mereka untuk bergabung dengannya berdoa. Ketika mereka telah berdoa rosario, ia lalu mengucapkan selamat malam. Tidaklah lama untuk membuat seluruh Oratori mengerti dari pelajaran ini!
Maestro Dogliani, musikus oratori yang cukup terkenal, dalam tahun-tahun awalnya sedang berlatih biola agak larut malam ketika ia mendengar suara ketukan di pintu. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Don Rua masuk.
“Aha, Dogliani yang baik!” kata Rua. “Aku mendengar suara musik di luar kamarmu dan menilai dari suaranya, aku berpikir bahwa ada lebih dari satu orang yang bermain biola.”
Dogliani menjelaskan kepadanya bahwa ia bermain dengan 2 senar sekaligus.
“Aku mengerti. Bisakah aku mendengarnya lagi sedikit?”
Dogliani memainkan sebentar biola itu dengan dua senar.
“Tapi sekarang aku tampaknya mendengar suara flute juga.”
Dogliani mencoba menjelaskan dinamika yang menyebabkan terjadinya suara seperti itu.
“Bagus. Bagus sekali. Tapi, jika kau terus berlatih begitu larut malam, hal itu dapat merusak kesehatanmu. Malam hari adalah untuk beristirahat. Jika diperlukan, kita akan mencari waktu yang lebih baik untukmu untuk berlatih.”
“Ketika ia menyampaikan selamat malam,” ingat Dogliani, “ia melakukannya dengan cara yang begitu baik sehingga aku tidak merasa sedikit pun kecil hati. Bahkan, aku merasa disemangati oleh kunjungannya.”
Komentar ini dari seorang maestro yang disela di tengah-tengah latihan benar-benar sebuah pujian bagi Don Rua!
Ia juga sangat ketat dalam dipatuhinya aturan-aturan liturgi mengenai upacara pelaksanaan ibadat-ibadat suci. Suatu ketika, setelah merayakan Misa dengan Pastor Paul Ubaldi, profesor di Universitas Milan, ia berpaling padanya di sakristi.
“Pastor Ubaldi,” katanya dengan setengah bercanda. “Aku bertanya-tanya apakah kau menyadarinya, tapi kau berhutang kepadaku beberapa ciuman.” Ia tentu saja menunjuk pada saat-saat di mana seharusnya Pastor Ubaldi mencium tangannya tapi tidak dilakukan.
Pastor Ubaldi, yang sangat menyukainya, membuka lebar-lebar lengannya dan mendekatinya untuk memeluknya.
Don Rua segera mundur. “Di tangan!” serunya. “Maksudku di tangan!”
Ketika Don Bosco ada di Roma pada tahun 1873, ia mengirim 3 surat edaran pada para Salesian. Yang pertama, bertangal 4 Juni, berkaitan dengan msaalah ekonomi yang harus dipraktekkan, terutama yang ada di Konstitusi. Ia menyebutnya “pondasi hidup religius.” Namun, ia juga menegaskan bahwa ia tidak bermaksud memperkenalkan “sikap ekonomi yang berlebihan”. Hanya mengusulkan bahwa “penghematan harus dilakukan bila penghematan itu mungkin.”
Hal ini adalah tepat sekali semangat yang memenuhi diri Don Rua. Ia bersemangat bahwa tidak ada apapun yang disia-siakan, tidak ada apapun yang hilang. Sebagai anggota terpandang dari Kelompok Tocc, ia masih menyimpan potongan-potongan roti yang ia temukan tercecer pada saat giliran jaganya. Sepatunya dan pakaiannya, selalu bersih dan rapi, biasanya ditambal, topi hitamnya selalu pudar. Daripada membeli jubah yang baru, ia lebih memilih untuk menghitamkan yang lama. Pastor Joseph Vespignani, ketika ia masih menjadi salah seorang sekretaris Don Rua, mengingat bahwa ia takut membersihkan debu di jubah tua Don Rua karena takut akan sobek!
Betapapun banyaknya uang yang melewati tangannya – dan ia menangani keuangan beberapa proyek yang besar sekali* - setiap sen harus dipertanggung jawabkan.
Suatu kali ia menyuruh seorang anak bernama Andrew Torchio ke kota untuk mengirim sebuah paket melalui pos. Ketika anak itu kembali, dia memberinya kwitansinya.
Setelah mengamatinya dengan cermat, Rua mendongak. “Tapi biayanya kebih dari uang 40 sen yang kuberikan padamu,” katanya. “Darimana kau mendapat 20 sen sisanya?”
“Aku memakai uangku sendiri,” jawab anak itu begitu saja.
“Tapi apakah kau tidak tahu bahwa menyimpan uang sendiri itu melanggar aturan oratori? Apakah kau masih punya yang lainnya?”
“Tidak. Hanya itu saja.”
“Baiklah kalau begitu.” Don Rua menulis pada secarik kertas. “Bawa ini ke Prefek,” katanya, “dan katakan padanya untuk menaruh 20 sen ke rekeningmu – dan terima kasih atas bantuanmu.”
Ketika Bernard Vacchino – yang nanti menjadi misionaris di Amerika Selatan – masih seorang anak di Oratori, ia juga pernah bermasalah dengan Don Rua karena uang beberapa sen. Rua biasanya mengirim dia untuk tugas-tugas ke kota, dan ketika ia kembali, Rua akan menanyainya tentang apa yang ia lihat dan dengar – semua ini, seperti kebiasaannya, dilakukannya sambil menulis surat-surat. Pada suatu kali, Rua mengirim dia dengan sebuah paket ke sebuah rumah yang biasanya memberi tip pada si pembawa pesan. Ketika ia kembali Rua bertanya kepadanya, “Berapa banyak yang mereka berikan padamu?”
Sebagai jawaban, Bernard meletakkan 40 sen di atas meja.
“Apakah hanya itu?” tanya Rua.
Bernard tersipu malu. “Begini, Don Rua,” katanya. “Mereka sebenarnya memberiku 60 sen tapi di tengah jalan aku merasa sangat lapar sehingga aku membeli roti dan salami untuk membuat sandwich.”
Don Rua melihatnya sesaat, dan dengan setengah serius dan setengah bercanda berkata, “Bagus!”
Anehnya, adalah penghormatan Don Rua untuk masalah ekonomi yang membuat ia pertama kali bertentangan dengan Don Bosco.
Hal itu terjadi pada sore hari tanggal 29 April 1879, ketika setelah mendengar pengakuan dosa, Don Bosco, Don Rua, dan beberapa pastor lain dari Oratori ada di sana. Don Bosco, kita harus mengetahui, tidak pernah ragu untuk menantang keputusan Rua atau mengoreksi bahkan di depan umum. Seolah-olah ada pengertian yang tak terkatakan di antara mereka, bahwa apa yang terjadi di antara mereka berdua selalu menghasilkan pelajaran yang baik dalam hal kerendahan hati atau kebajikan lain, bukan untuk Rua, yang tidak memerlukannya, tapi untuk orang-orang lain yang mendengarkan.
“Don Rua,” kata Don Bosco, “semua orang terus memintaku uang dan mereka memberitahuku bahwa kau mengirim mereka pulang dengan tangan kosong. Apakah bhal itu benar?”
“Quando non ce ne’e quare conturbas me?” kata Don Rua, mengutip sebuah peribahasa populer. “Jika tidak ada apapun untuk diberikan, kenapa membuatku kuatir?” Dengan kata lain, sekali lagi, kas sedang kosong.
“Mengapa kau tidak menjual saham-saham yang kau punyai dan mengunakan uangnya untuk membayar hutang-hutang yang paling mendesak?”
“Kita telah menjual beberapa tapi untuk menjual sisanya tampaknya tidak bijaksana. Kita sebentar lagi akan menghadapi beberapa kewajiban/hutang yang besar dan kita tidsak akan punya uang sesen pun untuk membayarnya.”
“Jadi” desak Don Bosco. “Apakah Tuhan yang baik tidak akan menyediakan? Tentu saja ia akan menyediankannya! Sementara itu, marilah kita membayar hutang kita yang paling dekat.”
“Tapi aku telah mengatur bagaimana menggunakan uang itu. Dalam 15 hari sebuah hutang sebesr 18.000 lire akan jatuh tempo. Hanya untuk memenuhi hutang itulah aku telah menyimpan setiap sen yang kita peroleh.”
“Tidak,” jawab Don Bosco dengan tegas. “Membiarkan hutang-hutang yang bisa kita bayar tidak terbayar supaya bisa membayar hutang yang jatuh tempo 2 bulan lagi! Ini tak masuk akal!”
“Untuk hutang-hutang yang kecil kita selalu bisa mengundur pembayarannya. Tapi bagaimana kita bisa membayar hutang-hutang besar yang harus dibayar tepat waktu?”
“Tuhan akan menyediakannya,” ulang Don Bosco. “Mari kita mulai hari ini dengan menggunakan semua uang yang kita punyai. Adalah menutup pintu Penyelenggaraan Ilahi dengan menyisihkan uang untuk membayar hutang-hutang masa depan.”
“Tapi,” Don Rua bersikeras, “tidakkah kebijaksanaan umum mengusulkan kita agar memikirkan masa depan? Kita telah melihat dari pengalaman kesulitan yang kita hadapi, kadang-kadang harus membuat hutang yang kedua untuk membayar yang pertama. Itu jalan yang lurus menuju kebangkrutan!”
“Dengarkan aku, Don Rua,” kata Don Bosco, “jika kau mau Penyelenggaraan Ilahi mengurus kita secara langsung pergilah ke kantormu besok dan bayarlah semua hutang yang kau bisa. Apapun yang terjadi setelah itu – pasrahkanlah kepada Tuhan.”
Lalu tanpa melihat seorang pun secara khusus, ia melanjutkan. “Tampaknya tidak mungkin bagiku untuk mencari seorang ekonomer yang tahu bagaimana percaya penuh pada Penyelengaraan Ilahi, yang tidak menimbun sedikit simpanan untuk masa depan. Aku mulai berpikir bahwa jika suatu saat kita kekurangan uang, hal itu persis karena kita cenderung untuk membuat terlalu banyak perhitungan. Kau tahu bahwa benarlah, bahwa ketika kebijaksanaan manusia masuk lewat pintu, Tuhan keluar lewat jendela!”
Dalam surat keduanya tanggal 15 November, Don Bosco membicarakan tentang disiplin yang harus ada dalam setiap rumah Salesian. “Tentang disiplin,” ia menegaskan, “aku tidak memaksudkan koreksi, hukuman, pukulan – hal-hal yang bahkan seharusnya tidak disinggung di Rumah-Rumah kita. Dengan disiplin, aku menyinggung tentang cara hidup yang sesuai Perautran-Peraturan dan kebiasaan umum sebuah Institusi.” Ia lalu menerskan dengan menekankan ppentingnya menaati Peraturan, menunjukkan bahwa cukuplah bagi seorang anggota komunitas untuk melanggar Peraturan sehingga semua anggota yang lain menderita. Ia menyimpulkan, “Jika seseorang yang ditempatkan di atas yang lain tidaklah taat …”
Dengan Don Rua, Don Bosco tidak pernah cemas tentang hal ketaatan. Adalah cukup dengan mengatakan bahwa Don Rua sejak lama telah mendapat julukan “Peraturan yang hidup.”
Suratnya yang ketika tanggal 5 Februari 1874, menyinggung masalah moral anak-anaknya. Nemo dat quod non habet, katanya. Tidak ada orang yang dapat memberikan apa yang tidak ia punyai, dan ia mendorong semua yang terlibat dalam memperhatikan kaum muda, untuk mempraktekkan kewaspadaan terus menerus terhadap mereka sendiri dan orang lain.
Dalam masalah kesopanan, Don Rua selalu menjadi contoh yang luar biasa untuk seluruh komunitas. Cukuplah dengan melihat dia, rekan-rekannya berkata, mereka akan tahu bahwa ia hidup setiap saat dalam kehadiran Tuhan. Sikap tubuhnya, caranya mengekspresikan diri, bahkan lelucon-leluconnya dijaga dengan hati-hati agar tidak melangar kesopanan dalam hal-hal terkecil sekalipun. Ia juga selalu waspada untuk melindungi kaum muda yang di bawah pengawasannya dari segala peristiwa yang berbahaya.
Bernard Vacchino, anak yang sering disuruh Don Rua melakukan tugas-tugas ke kota, kembali suatu hari ke Oratori dan membuat laporan seperti biasa kepada Don Rua. Tapi kali ini , walaupun ia telah diizinkan pergi, ia masih tidak bergerak juga.
“Apa ada hal yang salah, Bernard?” tanya Rua.
“Don Rua,” pinta Bernard. “Tolong jangan menyuruhku lagi ke kota.”
“Kenapa tidak?” sekarang Don Rua memperhatikannya dengan serius.
“Karena ketika saya melewati beberapa bangunan tertentu,” kata anak itu, “mataku mulai melihat kesana kemari dan …”
Don Rua meletakkan pennya. “Kau boleh berbicara dengan bebas, anakku,” katanya. “Duduklah dan beritahu aku segalanya.”
Setelah Vacchino selesai berbicara, Don Rua mengerti apa yang hendak dikatakan anak itu kepadanya, yaitu, bahwa suara hatinya terganggu oleh apa yang ia lihat di papan-papan iklan dan poster-poster.
Don Rua lalu memberinya beberapa nasihat tentang bagaimana harus bersikap pada saat-saat seperti itu. Tapi sejak hari itu, seorang anak lain mengambil alih tempat Bernard untuk pergi ke kota.
Pada suratnya yang keempat, kali ini ke Oratori, Don Bosco menulis dari Roma, 16 Maret 1874, bahwa ia mau seluruh oratori – baik para salesian dan anak-anaknya untuk berpuasa selama tiga hari penuh, “supaya Tuhan mau melakukan apapun untuk kemuliaan-Nya yang lebih besar dan untuk keuntungan rohani kita.” Ia melanjutkan surat ini dengan yang lain, 13 April, yang mengatakan bahwa Konggregasi Para Uskup dan Regular akhirnya mengeluarkan Dekrit Persetujuan Konstitusi. Ini adalah peristiwa paling penting dalam hidup Konggregasi yang muda dan masih berkembang ini. Serikat St. Fransiskus Sales sekarang bisa berdiri sendiri.
Seperti yang telah dikatakan, dengan persetujuan atas konstitusinya, Don Bosco menjadi semakin memperhatikan tentang kesetiaan mereka pada Peraturan. Untuk memperoleh hal ini, ia bergantung banyak pada Rua. Ia mengatur seri konferensi-konferensi dari tahun 1865 sampai 1877 untuk membahas hal-hal ini dan kalau ia tidak bisa memimpin, Don Rua akan menggantikannya.
Dalam salah satu konferensi ini, yaitu tanggal 3 Februari 1876, setelah Rua menerangkan hebatnya perkembangan Oratori, dengan pertambahan jumlah anak-anak, pastor, frater-frater dan panggilan, Don Bosco naik untuk berbicara. Mereka yang hadir dapat melihat bahwa Don Bosco benar-benar terharu.
“Tiga puluh tahun yang lalu,” katanya, “apa yang ada di atas tempat kita bekumpul sekarang? Tidak ada. Bena-benar tidak ada apapun. Aku mondar-mandir dengan sekelompok anak yang terlantar dan berpikiran dangkal, yang sangat tidak disiplin, dan tidak mau diatur. Mereka bahkan menertawakan agama. Mereka bersumpah serapah dan aku tidak dapat melakukan apa-apa … Di tempat ini dan daerah sekitarnya dulu hanya ada lapangan. Sebuah rumah penginapan ada di tengah-tengah, tampak buruk dari luar, dan bahkan lebih buruk di dalamnya. Dan diatas segalanya, itu adalah rumah yang tidak bermoral! Seorang pastor yang malang, sendiri dan ditinggalkan, lebih buruk daripada sendirian karena ia dipandang s\\rendah dan dituntut, punya sebuah ide yang kabur untuk berbuat sedikir hal yang baik di sini di tempat seperti ini, untuk melakukan sesuatu untuk anak-anak yang malang. Ini dadalah pikiran yang menguasai aku dan aku tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Tapi pikiran itu tidak pernah hilang. Bahkan, hal itu membimbing setiap langkahku, setiap perbuatanku. Aku ingin melakukan suatu hal yang baik. Aku mau melakukan banyak kebaikan dan aku ingin melakukannya di sini. Pada saat itu, semuanya tampak seperti mimpi, pikiran dari pastor yang malang ini. Tapi Tuhan mengabulkan semuanya. Tuhan menjadikan mimpi itu menjadi kenyataan.”
Walaupun Don Bosco telah mengangkat Don Rua menjadi Pengunjung Rumah-Rumah, ia sendiri tetap sering mengunjungi mereka. Alasan mengapa ada duplikasi seperti ini adalah pada cara dan metode yang dipakai oleh mereka masing-masing selama kunjungan mereka.
Don Bosco selalu menyemangati, menghibur sebagai bapak yang mengasihi. Kecuali kalau ada hal yang benar-benar serius dan buruk, sikapnya santai, ramah dan menyenangkan.
Sebaliknya, kunjungan Rua, adalah resmi dan dilakukan dengan suatu tujuan pasti dalam pikiran, yaitu, untuk memastikan bahwa tiap rumah melakukan segala sesuatu sesuai dengan surat dan semangat dari Konstitusi. Sebagai langkah awal, ia akan memeriksa gereja dan sakristi, memperhatikan kebersihannya, melihat bagaimana upacara-upacara suci dilakukan. Lalu ia akan melewati ruangan-ruangan para superior, dormitori, dapur. Setelah itu akan ada pemeriksaan keadaan moral Rumah itu, apakah semangat kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan benar-benar ada, lalu pemeriksaan buku-buku administrasi, sistem sekolah … tampaknya tidak ada yang lolos dari perhatiannya. Akhirnya, tapi dengan perhatian besar, ia akan menyelidiki jika ada panggilan menuju pastorat atau hidup religius.
Semua yang ia anggap patut diawasi ia catat di sebuah buku catatan sederhana. Tidak puas dengan mengawasi saja, ketika ia kembali ke oratori, ia akan menulisnya di secarik kertas dan mengirimnya kepada para superior di Rumah itu untuk didiskusikan. Pengawasannya meliputi banyak hal mulai dari lilin di kain altar, debu di sudut ruangan, salib yang terlalu kecil untuk dilihat … dan tidak hanya terbatas pada obyek-obyek. Mereka juga menyinggung tentang para sama saudara, dari Direktur sampai Salesian yang paling sederhana. Ia menegur seorang Direktur, contohnya, untuk mengurangi kemewahan ruangannya dengan menyingkirkan karpetnya, dan tidak mengelilingi dirinya dengan sikap berkuasa. Ia menasihati yang lain untuk menjaga kesehatan mereka, untuk mencari bantuan dengan jadwal kotbah mereka yang padat.
Sebuah contoh yang jelas tentang apa yang bisa terjadi jika Rua tidak berada di sisi Don Bosco atau jika seseorang menggantikan tempatnya, terjadi di oratori di awal tahun ajaran 1876-1877. Don Bosco telah membebas-tugaskan Don Rua dari tugas wakil Direktur oratori dan menaruh Pastor Joseph Lazzero sebagai penggantinya. Maksud Don Bosco adalah untuk membiarkan Rua untuk melanjutkan tugasnya yang bertambah banyak sebagai Prefect General. Hal ini memaksanya untuk sering pergi dari Oratori untuk mengurusnya. Don Bosco sendiri harus meninggalkan Oratori untuk mendampingi kelompok kedua dari misionaris, yang akan menuju ke Amerika Selatan, untuk menerima berkat Bapa Suci.
Pada pagi hari 8 November, yaitu keesokan harinya, para superior Oratori berkumpul untuk membicarakan program tahun depan. Karena ia bukan lagi angggota dari Kapitel Oratori, Don Rua tidak hadir. Mereka menyetujui beberapa proyek yang tidak disetujui Don Bosco. Sewaktu diberitahu tentang hal ini oleh Pastor Julius Barberis, Don Bosco menjawab lewat surat. Pertama-tama, ia benar-benar keberatan mereka menghapus Kelompok Anak-Anak Lelaki Maria, atau gerakan panggilan yang lambat, di Oratori. Lalu ia melanjutkan, “Kalian bisa memindahkan kelas sore menjadi sebelum makam malam ketika aku sedang tidak ada, karena jika aku ada aku tidak akan memperbolehkannya! … Ketika kucing sedang pergi, tikus akan bermain!” dan saat ia kembali ia berkata kepada mereka dengan lebih halus. “Dalam segala hal, bahkan mereka yang paling tidak penting,” ia memberitahu mereka, “mereka harus mengikuti keinginan orang yang menjadi pimpinan tertinggi.”
Satu tahun kemudian ia bahkan membentuk sebuah komisi dengan Rua sebagai pimpinannya untuk mempelajari apa penyebab menurunnya disiplin dan semangat secara umum di Oratori.
Pada tanggal 21 Juni tahun itu (1876), ibu Don Rua meninggal. Ia mendapat sebuah pemakaman yang sederhana yang sesuai dengan kehidupan sederhana yang ia jalani, dan dikubur di pemakaman paroki Borga Dora di Turin. Kereta yang membawa peti jenazah itu diikuti oleh Don Rua yang berduka yang hampir tidak bisa menahan air matanya. Para Salesian juga berduka atas kematiannya karena selama bertahun-tahun di dalam begitu banyak hal ia telah mengambil tempat Mama Margaretha yang tercinta. Rua mengurus beberapa harta milik beliau, melaporkannya yang tepat kepada Anthony, satu-satunya saudaranya yang masih hidup, dan membagi jumlah yang kecil itu di antara mereka.
Sekarang setelah ia bebas dari mengarahkan hal-hal di Oratori, Don Rua mulai berperan makin besar dalam pengarahan Konggregasi . Ia akan memberikan konferensi pada sama saudara menggantikan Don Bosco, dan dalam salah satu konferensinya yang paling dikenang, ia mengingat kembali bahwa Don Bosco telah menceritakannya kepada mereka tanggal 6 Januari, tentang kunjungannya kepada Paus Pius IX.
Pada sore hari tanggal 21 Januari 1877, Bapa Suci mengundang Don Bosco ke kamarnya. Dan benar-benar kamar yang sederhana untuk seorang paus! Kamar itu berisi sebuah tempat tidur besi yang sederhana tanpa keset untuk menaruh kakinya, beberapa perabotan yang tua, lantainya sendiri terbuat dari keramik tanah liat, pecah-pecah dan tidak rata. Satu penulis bahkan menggunakan kata “kumuh” untuk menggambarkannya.
Setelah mendiskusikan masalah-masalah Gereja dan masa depannya, Don Bosco mulai berbicara tentang para koperatornya. Mata Paus berbinar-binar.
“Aku benar-benar percaya bahwa aku mengungkapkan kepadamu sebuah misteri besar,” katanya. “Aku yakin bahwa Penyelenggaraan Ilahi telah mengangkat konggregasi mu pada masa ini, untuk menunjukkan kekuatan Tuhan. Aku yakin bahwa Tuhan telah merahasiakan sampai saat ini sebuah rahasia penting, yang tidak diketahui selama berabad-abad oleh begitu banyak konggregasi di masa lalu. Konggregasi mu adalah yang pertama di Gereja yang baru jenisnya, diangkat pada masa ini dalam suatu cara sehingga anggota-anggotanya bisa menjadi religius dan sekuler, dapat membuat kaul kemiskinan tapi dapat mempunyai barang milik, dapat berpartisipasi baik di dunia maupun di biara; yang anggotanya religius dan juga manusia di dunia, terpisah namun warga negara yang bebas. Tuhan telah menunjukkan hal ini pada saat ini dan aku ingin mengungkapkan rahasia ini kepadamu. Konggregasi mu ini berdiri di dunia, yang menurut Injil, in maligno positus est, berakar pada kejahatan, supaya bisa memuliakan Tuhan. Konggregasi ini berdiri supaya ada jalan agar seseorang dapat meberikan pada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan memberi kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.”
Bab 6
Beberapa elemen dan peristiwa baru turut membantu perkembangan konggregasi yang muda ini. Popularitas Don Bosco yang meningkat, didukung oleh laporan-laporan tentang mukjizat-mukjizat yang dibuat oleh Don Bosco baik di Italia maupun di luar negeri – belum lagi ‘mimpi-mimpinya” – telah tersebar tidak hanya di Italia tetapi juga Prancis, Spanyol, Portugal dan di beberapa negara lainnya. Misi yang ia dirikan di Patagonia dan Tierra del Fuego diterima masyarakat secara luar biasa, tersebar ke mana-mana. Akibatnya banyak tawaran yang datang untuk pendirian misi baik dari para uskup, organisasi dan pemerintah. Adalah tanggung jawab Don Rua untuk meneliti kebaikan setiap permintaan dan meneruskan penemuannya kepada Don Bosco.
Rumah-rumah sekarang berjumlah lima puluh tujuh buah. Beberapa darinya berada di luar Italia, membuat tidak mungkin bagi para Direktur untuk mengikuti pertemuan tahunan, sehingga hal ini dibatalkan dan sebagai penggantinya didirikan sebuah Kapitel Umum yang akan bertemu sekali setiap tiga tahun. Karena jangka waktu antara tiap pertemuan menjadi lebih lama, Rua, seperti yang dimaklumatkan oleh Don Bosco, mengambil kesempatan itu untuk menulis sebulan sekali surat edaran kepada rumah-rumah. Surat itu pada intinya memuat saran-saran untuk kemajuan konggregasi . Pada saat ini, juga, rumah-rumah itu yang berada di dalam wilayah yang sama dibentuk menjadi provinsi. Tiga propinsi yang pertama dari konggregasi ini adalah Piedmont, Liguria dan Amerika Selatan
Don Bosco pergi ke Perancis pada 31 Januari 1883 dengan maksud dan tujuan yang biasa – untuk mengumpulkan uang. Dia selalu menemukan di negara itu penerimaan yang sangat antusias dan dengan kemurahan hati. Pada perjalanan ini, tanggapan dari permohonannya begitu besar dan ia menerima surat dalam jumlah yang sangat banyak. Sekretarisnya, seorang salesian dari Perancis yang bernama Pastor De Barruel tidak dapat mengatasi surat-surat itu dan surat-surat itu dimasukkan ke dalam kantong untuk menunggu dipisahkan menurut jenisnya.
Ketika Don Bosco melihatnya, ia tidak senang. Dia tahu bahwa di antara surat-surat itu akan ada yang membutuhkan perhatian yang khusus – sebuah permintaan doa yang sangat mendesak, kemurahan hati yang spesial, sumbangan dan undangan yang penting. Setelah memikirkan masalah itu ia memutuskan bahwa hanya satu jalan keluar – ia mengirim sebuah pesan kepada Rua dan mengatakan kepadanya untuk datang segera ke Paris.
Dua hari kemudian – itu waktu perjalanan tercepat yang mungkin – Rua tiba di Paris dan mulai mengerjakan surat-surat itu. Pada kedatangannya di Paris ia menulis sebuah surat yang pendek ke oratori mengatakan kepada mereka bahwa ia akan segera menulis surat yang panjang jika ia mempunyai waktu. Ia tidak pernah melakukannya. Dia tidak mempunyai waktu kosong baik siang maupun malam, tetapi selalu sibuk berhubungan dan menjawab surat-surat Don Bosco, kadang-kadang bertindak seperti sekretaris pribadinya, dan pada kesempatan lain menemani Don Bosco dalam kunjungannya. Sebagai imbalannya ia dapat menyaksikan pengaruh yang luar biasa dari keberadan Don Bosco ketika dia bertemu dengan orang-orang di kota Paris.Dia menceritakan cerita selama proses kanonisasi Don Bosco. “Jika ia pergi ke sebuah gereja untuk memberikan konferensi, ada begitu banyak orang sehingga ia harus dijaga oleh tiga atau empat orang yang kuat untuk membuka jalan baginya untuk menuju ke mimbar ... jika dia didapati di jalan, dia pada saat iu juga akan dikelilingi oleh orang-orang yang dalam jumlah yang besar. Di mana saja ia tinggal di sana selalu ada orang banyak yang mengikuti dia yang menganggap diri bahwa mereka benar-benar beruntung melihat seorang santo.”
Suasana yang mungkin paling mengharukan dari perjalanan itu tidak terjadi di Perancis, tetapi ketika mereka bertiga, Don Bosco, Don Rua dan Pastor De Barruel sendirian di gerbong kereta mereka dalam perjalanan pulang ke oratori. Mereka bertiga tidak saling berbicara untuk beberapa waktu. Kemudian Don Bosco memecahkan kesunyian.
“Apakah kamu ingat,” dia bertanya kepada Rua, “Jalan yang menuju Muriado dari Butigliera? Pada sebelah kanannya ada sebuah bukit dan di puncak bukit itu ada sebuah rumah kecil. Pada kaki bukit itu terbentang sebuah padang. Rumah yang sangat sederhana itu adalah rumah saya dan saya biasanya menggembalakan dua ekor sapi di padang itu. Jika orang-orang itu (di Perancis) tahu bahwa mereka merepotkan diri mereka hanya atas seorang petani miskin dari Becchi!…”
Rua menyertai dia dalam perjalanan yang lain pada tahun itu. Pangeran Chambord, pewaris tahta perancis, pada Juni 1883 sekarat karena sebuah penyakit yang misterius. Pangeran adalah salah seorang di mana rakyat menaruh harapan akan sebuah pemerintah yang lebih baik. Ketika sakitnya tersebar ke maan-mana, surat-surat dan telegram-telegram mulai berdatangan ke oratori meminta Don Bosco berdoa untuk kesembuhannya. Pangeran itu dan pengikut-pengikutnya di antara orang orang bangsawan Perancis mencoba mengajak Don Bosco untuk mengunjungi Frohsdorf, Austria, di mana pengeran itu tinggal. Terakhir Pangeran mengirim temannya, Count Joseph de Bourg, untuk pergi ke oratori dan pulang membawa Don Bosco “mati atau hidup”. Orang terakhir ini akhirnya berhasil mengajak Don Bosco untuk mengunjungi orang sakit itu.
Ditemani oleh de Bourg, Don Bosco dan Don Rua meninggalkan oratori pada saat itu juga dan setelah dua hari perjalanan yang melelahkan akhirnya mereka tiba di istana pada 15 Juli. Dua pastor itu diarahkan ke sebuah kapel khusus di mana mereka menemukan sudah banyak orang yang datang untuk melihat santo itu.
Setelah misa, dikelilingi oleh para bangsawan, mereka pergi mengunjungi orang sakit itu. Don Bosco memberkati dia dan setelah beberapa menit kemudian pangeran itu mengatakan kepada temannya.
“Saya telah mengatakannya kepada kamu!” serunya. “Saya sudah sembuh sekarang.”
Kemudian ia muncul di kamar makan di atas sebuah kursi roda, dan menyuruh anggur champagne diedarkan, meminumnya untuk kesehatan dirinya dan diri orang lain.
Sejak saat itu dia semakin hari semakin baik dan isterinya menulis surat ke oratori mengatakan kepada Don Bosco dan Don Rua betapa bersyukurnya mereka atas doa-doa dan kesembuhan itu.
Tetapi sayangnya, pada 24 Agustus, count itu tiba-tiba meninggal dunia. Telah diumumkan bahwa ia mengalami kecelakan ketika berburu di mana ujung senapan mengenai buah zakarnya. Para dokter mengumumkan bahwa ia meninggal karena menderita kanker di perut, tetapi ketika diotopsi oleh sekelompok dokter spesialis mereka tidak menemukan penyakit tersebut sehingga kematian pangeran ini meninggalkan kecurigaan.
“Kami memberikan kepadamu segala sesuatu yang kamu minta....Musuhmu adalah musuh Tuhan. Saya sendiri akan takut melawan kamu!... Paus, Gereja, dan seluruh dunia menggagumi dirimu dan konggregasi mu. Pertumbuhan konggregasi mu yang sangat hebat, kebaikan yang sedang kamu lakukan – ini semua tidak datang dari manusia. Tuhan sendiri yang membinbing, menyertai dan memberikan petunjuk terhadap konggregasi mu. Katakanlah kepada orang-orang begitu, tuliskan dan wartakan hal ini !…”
Don Bosco telah melakukan beberapa perjalanan ke Roma meminta persetujuan agar konggregasi nya mendapat perlakuan yang sama dengan konggregasi yang lain. Namun karena ada tentangan dari beberapa daerah, Don Bosco kembali ke oratori tanpa hasil. Sebagai usaha terakhir ia memohon secara langsung kepada Paus Leo XIII. Paus merestui permohonan tersebut dan segera memberikan perintah kepada Kardinal Ferrierri, Prefect dari Konggregasi Suci Para Uskup dan regular, yang pada 28 Juni 1884 menandatangani persetujuan itu.
Ketika hal ini telah dilakukan, Don Bosco dapat menganggap bahwa usaha hidupnya hampir selesai. Ia sudah mendirikan konggregasi dan siap untuk melaksanakan kerasulan di masa yang akan datang.
Lagipula, kesehatanya sudah semakin melemah. Seorang dokter spesialis, Dr. Combal dari universitas Montepellir, setelah memeriksanya secara teliti mengatakan kepadanya, “kamu terlalu banyak menghabiskan waktumu dengan banyak pekerjaan. Kamu seperti jaket tua yang telah dipakai pada hari-hari kerja dan hari-hari libur. Jaket itu tidak dapat diperbaiki dan jika kamu ingin hidup lebih lama lagi kamu harus menggantungkan jaket itu di lemari.”
Tidaklah menakjubkan bahwa beberapa surat kabar – salah satunya surat kabar lokal Cronaca del tribunale terbitan 14 Maret 1885 - mengatakan bahwa Don Bosco sudah meninggal dan dikuburkan!
Untuk hal kesehatan, orang yang menggantikannya juga tidak sehat. Dr, John Albertotti mengatakan kepada seorang salesian bahwa keduanya yaitu Don Bosco dan Don Rua “mereka sebaiknya mendirikan sebuah rumah kecil di kebun di mana mereka dapat beristirahat dengan tenang.”
Melihat keadaan seperti itu, Don Bosco diminta untuk mengangkat seorang vicar. Cagliero dalam sebuah audiensi dengan Paus mengatakan hal ini dan Bapa suci menyetujui dengan sepenuh hati. Beberapa teman-teman yang menduduki jabatan penting di Roma, membuat usul mereka yang berhubungan dengan hal tersebut diketahui oleh Don Bosco dan Bapa suci.
Hal itu ditanggapi langsung oleh Paus dengan menulis sebuah surat kepada Kardinal Uskup Agung Turin agar membujuk Don Bosco untuk mengangkat seorang vicar. Karena kesetiaan kepada Bapa suci, Don Bosco kemudian mengangakat Don Rua sebagai vicarnya. Tindakan ini diterima secara resmi oleh paus Leo XIII dalam sebuah persetujuan pada 27 November 1884.
Dia sendiri tidak terburu-buru membuat keputusan itu diketahui oleh semua yang lain. Hanya anggota-anggota Kapitel Superior mengetahui tentang hal itu. Bukanlah sifatnya untuk terburu-buru mengambil keputusan untuk sebuah masalah yang penting. Sementara itu, ia terus mempersiapkan Don Rua untuk menggantikan tempatnya dengan cara eksperimen, meluaskan kekuasaannya dan bidang tugasnya, dengan mengatakan bahwa karena kesehatannya yang buruk, adalah perlu bagi Don Rua untuk mewakili dia. Dengan cara ini ia juga mempersiapkan anggota yang lain dari konggregasi untuk secara bertahap, tugas diambil alih oleh Don Rua. Misalnya, mereka melihat Don Rua mendengarkan pengakuan dosa menggantikan Don Bosco yang sudah melakukan hal itu selama 16 tahun. Don Rua sering memimpin pertemuan Kapitel Superior. Don Bosco akan mengirimkan orang-orang kepadanya untuk memutuskan suatu hal yang penting. Terakhir, ia mengirim Don Rua sebagai Tamu Agung ke Rumah-Rumah di Sisilia dan Italia pusat.
Pada musim gugur berikutnya, pada 24 September 1885, menyadari bahwa ia tidak dapat mengerjakan lebih banyak lagi, dia memanggil secara bersama-sama anggota Kapitel Superior.
“Apa yang harus saya katakan kepada kamu,” dia memulai, “dapat dibagi ke dalam dua hal penting. Hal yang pertama, Don Bosco sudah lemah dan membutuhkan seseorang untuk menggantikan tempatnya. Hal yang kedua, seorang vicar general akan secara bertahap mengambil alih tugas yang sedang dilakukan oleh Don Bosco dan akan dipercayakan segala yang penting untuk kesejahteraan konggregasi . Meskipun demikian, saya yakin bahwa vicar general, dalam pelaksanaannya, akan selalu menerima nasihat dari Don Bosco dan teman-temannya, dan dalam penerimaan tanggungjawab ini ia tidak akan mempunyai tujuan yang lain selain melayani konggregasi , agar ketika saya meninggal dia tidak akan mengubah sesuatu apapun.”
“Oleh karena itu, Vicar itu harus memperhatikan agar tradisi-tradisi kita semuanya dilestarikan. Tradisi-tradisi ini berbeda dari peraturan dan kita harus memastikan bahwa mereka dipelihara ketika saya meninggal dan dijaga tetap utuh oleh mereka yang akan mengikuti kita.”
“Don Rua akan menjadi Vicar general saya. Dia akan memiliki kekuasaan penuh Rektor Mayor – penerimaan para calon, pemilihan sekretaris, kekuasaan untuk delegasi dan lain-lain.”
Pada 8 Desember, ia mengirim sebuah surat kepada semua rumah dimana dia mengulangi alasan pengangkatan seorang vicar dan menyatakan pilihannya. Surat itu diakhiri dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada semua anak-anaknya untuk memberikan keyakinan yang sama dan ketaatan kepada vikarnya sebagaimana mereka selalu memberikan kepadanya.
Jika Rua, pada usia 48 tahun, sekarang adalah vicar dari Don Bosco dengan kekuasaan penuh dan dengan hak suksesi, pada prakteknya hal ini mengubah sangat sedikit relasi antara dua orang itu. Nama mereka telah dihubungkan bertahun-tahun lalu ketika Rua telah diusulkan secaara terbuka sebagai vicar. Jika ada sesuatu hal, itu hanya membuat mereka lebih dekat karena Don Bosco ingin meyakinkan bahwa yang lain memahami perasaan, harapan dan ketakutan atas konggregasi yang sedang berkembang itu. Dari pihaknya, Rua sekarang telah menjadi yang pertama dalam hal kepemimpinan konggregasi , harus menggantikan seseorang sekaliber Don Bosco dan lebih ingin daripada sekelilingnya untuk memperoleh dukungan Don Bosco. Orang-orang melihat Don Bosco pada waktu tidak dapat berjalan tanpa bantuan, bersandar pada lengan Don Rua dan dibimbing melalui lapangan oleh vicarnya. Di sini mereka dapat juga melihat bahwa itu bukan merupakan masalah kekuasaan sebagai vicar, tetapi lebih daripada itu adalah sebagai seorang anak yang menggantikan seorang bapak.
Para pengamat juga memperhatikan sebuah perubahan terjadi dalam diri Don Rua. Dalam kapasitasnya sebagai Prefek General sifatnya adalah keras. Ini hampir tidak mengherankan. Selama dua puluh tahun adalah tanggung jawabnya untuk menyelesaikan masalah-masalah, menghadapi situasi-situasi yang sulit, menyelesaikan persoalan yang sulit, memeriksa, membuat peraturan dan menghapuskan penyalahgunaan. Tugas seperti itu secara alami, hanya memberikan sedikit kesempatan untuk bersikap santai dan menyenangkan seperti yang dilakukan Don Bosco dan beberapa superior yang lain dalam menjalankan pekerjaan mereka. Tetapi sejak saat itu dia menyerahkan tugas-tugasnya sebagai Prefect general kepada penggantinya, tulis Fr. Durando, dan mengambil jabatan Vicar General, seluruh sikapnya mengalami sebuah perubahan. Dia menjadi lebih kebapaan, hangat, mudah untuk didekati. Mereka yang sampai sekarang telah sangat menghormatinya karena kualitas-kualitas yang lain, sekarang mulai melihat dia sebagai seseorang yang penuh kasih dan kebapaan.
Anggota-anggota konggregasi yang lebih tua cenderung melihat dalam semua hal ini, Don Rua baru dan sifat Don Rua yang sebenarnya, tetapi yang selalu ia sembunyikan. Mereka berpikir bahwa sekarang Rua yang sebenarnya muncul, Rua yang sebagai Direktur Mirabello, telah menangkap hati komunitas dan anak-anaknya, tapi demi jabatannya, ia sembunyikan selama dua puluh tahun.
Tahun berikutnya Don Bosco sudah cukup kuat untuk bepergian. Seperti biasa, alasan perjalanannya yaitu untuk mendapatkan uang untuk membayar utang-utang. Saat ini dia memutuskan untuk bepergian ke Spanyol. Waktu ini juga, dia ingin agar penggantinya menemani dia agar dapat berkenalan dengan benefaktor dan koopereator dan itu dapat menjaga hubungan baik dengan mereka ketika dia sudah meninggal.
Sebuah kejadian yang menakjubkan terjadi ketika mereka datang ke Spanyol. Don Bosco hendak menjawab pertanyaan rutin yang diajukan kepadanya dalam bahasa Italia, ketika Don Rua maju ke depan dan mulai berbicara kepada pegawai-pegawai dalam bahasa Spanyol. Don Bosco hanya dapat memandang dengan penuh rasa heran. Setelah hal itu selesai, dia berpaling pada Don Rua.
“Don Rua,” dia berkata. “Saya tidak pernah tahu kamu dapat berbicara Spanyol! Kapan dan di mana kamu belajar bahasa tersebut?”
“Saya tidak menguasainya sepenuhnya,” kata Don Rua dengan rendah hati. “Ketika kamu memberitahukan kepada saya untuk menyertai kamu ke Spanyol, saya mempelajari beberapa kata.”
Komentar dari seorang salesian yang sangat dekat dengan keduanya, bahwa saat itu merupakan yang pertama kalinya Don Rua melakukan sesuatu tanpa bertanya pada Don Bosco! Rupanya ketika sedang menunggu untuk keberangkatannya, Don Rua membeli sebuah buku tata bahasa Spanyol dan buku-buku – dalam bahasa Spanyol – Don Bosco y su Obra yang ditulis oleh Uskup Milo, dan Imitacion de Cristo – dan mempelajarinya sendiri. Bahwa dalam waktu begitu singkat, dia telah belajar lebih dari sedikit bahasa Spanyol terlihat ketika ia berkotbah di depan orang banyak dalam bahasa Spanyol.
Selama perjalanan melalui Spanyol dan Perancis, Rua adalah seorang asisten yang hebat bagi Don Bosco yang walaupun sekarang sangat lemah, harus bertahan terhadap dorongan dari orang banyak yang datang berdesakan untuk bertemu dengan mereka di terminal, atau di dalam gereja di mana dia berkotbah. Selalu ada ratusan pengagum yang karena tidak puas dengan melihat dan mendengarkan dia, bersikeras menyentuh dia dengan tangan mereka, rosario, medali dan barang-barang rohani lainnya. Dalam keadaan seperti itu, yang dapat Don Rua lakukan hanyalah memastikan bahwa mereka tidak memotong jubahnya menjadi compang-camping! Menyadari semangat yang menggerakkan orang banyak itu dan juga kemurahan hati mereka terhadap dia, Don Bosco menghadapi semuanya itu dengan senyum. Hanya Don Rua yang mengetahui apa akibat hal itu baginya, yaitu penderitaan fisik.
Don Rua pada tahun itu memimpin Kapitel Umum di Valsalice yang juga dihadiri Don Bosco, ketika semua anggota, kecuali Don Rua dan Don Bosco harus dipilih kembali. Don Rua memegang jabatannya ad nutum, atau atas kehendak dari Rektor Mayor. Dengan sangat mengejutkan, sidang dengan suara bulat memilih untuk memberikan Don Bosco wewenang untuk mengubah atau menata anggota yang terpilih dan jabatan-jabatan mereka dengan cara apapun yang dia mau. Rua menyertai Don Bosco pada perjalanan berikutnya ke Roma pada 20 April. Walaupun Don Bosco ingin pergi ke Perancis sekali lagi, kondisiya tidak mengizinkan dia. Tetapi ia harus membuat perjalanan ke Roma untuk memberkati sebuah gereja baru yang dipersembahkan bagi Hati Kudus.
Kesehatan Don Bosco tidak dalam keadaan terbaik dan begitu juga dengan Don Rua. Ketika ia berada di Roma ia menghabiskan seluruh hari dan hampir sepanjang malam untuk menyelesaikan korespondensi Don Bosco. Panggilan begitu banyak sehingga Don Bosco tidak dapat meninggalkan tempat bahkan untuk melakukan kunjungan-kunjungan yang penting. Para kardinal, pangeran dan bangsawan berkumpul untuk melihatnya; para seminaris, organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah menginginkan dia untuk datang dan memberkati mereka. Adalah Rua yang harus memperhatikan bahwa segala sesuatu berjalan dengan lancar. Ia begitu capek setelah melakukan semuanya sehingga suatu pagi ketika sedang mempersiapkan misa ia hampir pingsan dan sakristan harus memegangnya agar ia tidak jatuh. Ketika ia tiba di kamarnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat bahwa Don Rua pucat seperti sebuah seprei putih, sakristan itu menjadi ketakutan dan berteriak minta tolong. Mereka akhirnya membangunkan Rua dengan mengoleskan cuka yang keras ke dahi dan pergelangan tangannya. Ketika ia sadar, ia mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah menolongnya.
“Ini pasti karena kopi yang saya minum kemarin,” komentarnya singkat. Setelah itu, ia pergi untuk merayakan misa kudus.
Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sebagai seorang sekretaris Don Bosco, ia melihat seseorang yang berpakaian seperti orang miskin yang berjalan dengan tongkat penyangga, naik tangga menuju kamar Don Bosco.
“Kemana kamu hendak pergi, pak?” tanya Don Rua.
“Melihat Don Bosco,” jawab orang itu dengan rendah hati.
“Tetapi apakah engkau mempunyai janji dengannya?”
“Tidak.”
“Barangkali saya dapat membantumu?”
“Tidak, saya hanya ingin melihat Don Bosco.”
Jika orang itu bertemu dengan orang lain selain Rua, mereka pasti telah memberikan kesempatan bagi orang-rang yang lebih penting yang juga ingin menemui Don Bosco, tetapi Don Rua, terharu karena cacat tubuh, kerendahan hati dan ketulusan orang itu, memohon pada Don Bosco untuk melihatnya bahkan jika hanya untuk sesaat saja.
Orang itu membuat kunjungannya dan pergi. Ketika orang itu sudah pergi, Don Bosco keluar dan menemui Don Rua.
“Orang miskin itu,” dia menceritakan kepadanya, “meninggalkan sumbangan lebih banyak daripada yang saya terima dari pangeran-pangeran Roma!”
Pada malam sebelum pemberkatan gereja Hati Kudus, mereka diterima dalam suatu audiensi dengan Paus Leo XIII.
“Jadi kamu adalah Don Rua, vikar konggregasi ?” tanya Bapa Suci. “Teruskan pelayananmu yang baik itu, dan setialah kepada roh Pendirimu.”
“Dengan berkatmu, Bapa Suci,” Rua berkata, “kami berharap untuk menghabiskan hidup kami dalam kerasulan di mana kami mengabdikan diri kami sejak kami masih anak-anak.”
Percakapan kemudian berubah menjadi sekitar hal karya para salesian. Don Bosco mengamati bahwa dia begitu bahagia untuk mengatakan bahwa tidaklah perlu baginya untuk menyemangati para salesian untuk bekerja lebih giat. Bahkan, ia harus menasihati mereka untuk melatih keseimbangan.
“Benar,” kata Bapa Suci. “Keseimbangan adalah segalanya. Tubuh membutuhkan istirahatnya.”
“Bapa suci,” kata Don Rua, “kami siap untuk mematuhimu. Tetapi adalah Don Bosco sendiri yang berbicara banyak tentang istirahat tetapi dia sendiri tidak pernah beristirahat. Dia lah orang yang memberi kami semua contoh yang buruk!”
Pada tanggal 16 Maret 1887, dua hari setelah pemberkatan gereja baru Hati Kudus, sementara Don Bosco dengan khusuk merayakan misa di altar Maria Penolong umat Kristiani, Rua melihat bahwa selama beberapa kali dia tampak dikuasai emosi yang besar.
Ketika Rua menanyakan tentang hal ini, Don Bosco mengatakan bahwa selama misa dia terus berpikir tentang mimpinya ketika ia masih berumur sembilan tahun. Dia bermimpi waktu itu tentang seorang Wanita yang mengatakan kepadanya bagaimana mengatasi anak-anak lelaki yang berubah menjadi binatang buas. Dengan caranya yang lemah lembut, dia berhasil mengubah mereka menjadi kawanan domba. Pada saat itu dia langsung menangis karena dia tidak mengerti tentang semuanya itu, tetapi Wanita itu berkata kepadanya, “pada saat yang tepat engkau akan mengerti semuanya.”
“Sekarang, setelah melewati enam puluh tahun,” dia berkata, “saya sungguh-sungguh telah mengerti semuanya.”
Karya hidupnya, yang dimahkotai oleh pemberkatan gereja besar kepada Hati Kudus di tengah-tengah Kota Abadi (Roma), dapat dianggap selesai.
Waktu mereka kembali ke Oratori, Don Rua mengambil tempatnya dan memberikan konferensi kepada reuni para kooperator. Dia menceritakan tentang latar belakang gereja baru Hati Kudus. Dengan bertambahnya penduduk di Roma, Bapa suci melihat bahwa di kota bagian Castro Pretorio membutuhkan sebuah gereja di mana orang-orang miskin di sana berada dalam bahaya menjadi mangsa kekuasaan-kekuasaan duniawi. Setelah beberapa penundaan dan perubahan dari rencana original, Paus Leo XIII meminta Don Bosco untuk menerima tugas pembangunan gereja baru itu dan sekolah serta fasilitas-fasilitas lainnya. Dia kemudian mendeklarasikan bahwa gereja tersebut akan dipersembahkan kepada Hati Kudus. Gereja tersebut sudah diberkati tetapi belum selesai secara sempurna ...
Ketika Don Rua sedang berbicara, orang-orang terus memandang bergantian kepada dia dan Don Bosco yang biasa duduk pada tempatnya di kursi dekat altar. Ketika sidang berakhir mereka melihat dengan jelas bagaimana dekatnya Don Bosco dengan kematian. Dia hampir tidak bisa berjalan sendiri ke sakristi. Mereka dapat juga melihat bahwa sebuah masa baru akan segera dimulai karena itulah saat terakhir Don Bosco menginjakkan kakinya di Basilika Maria Penolong Umat Kristiani.
Don Rua, sibuk untuk menjaga kekuatan Don Bosco selama mungkin, sekarang mengggantikan dia dalam hampir setiap kesempatan. Ketika 900 peziarah Perancis di bawah pimpinan jurnalis dan pembela terkenal Katolik yang hebat, Leon Harmel, singgah di Turin, mereka memohon Don Bosco untuk datang dan memberkati mereka. Don Rua menemani Don Bosco ke restoran tempat mereka makan malam. Don Bosco memberkati mereka, tetapi Don Rua lah yang berbicara kepada mereka mewakili Don Bosco. Dan ketika Don Bosco memberikan jubah kepada 24 novis di Foglizzo pada tahun itu, ia berkata selagi ia pergi, “Tahun depan saya tidak akan ada di sini. Tetapi don Rua akan mengambil tempat saya.”
Meskipun semua perhatian Don Rua dan orang-orang di sekitarnya yang diberikan kepadanya, kesehatan Don Bosco mundur dengan cepat. Pada malam natal, Uskup Cagliero, yang sudah datang jauh-jauh dari Patagonia untuk membantu dia pada saat-saat terakhirnya, membawakannya Viatikum.
Pada hari-hari awal bulan Januari, ia memanggil Don Rua ke kamarnya dan mengadakan pembicaraan yang panjang. Isi pembicaraan mereka tidak pernah diungkapkan, walaupun wajar jika mereka mendiskusikan hal-hal untuk kebaikan oratori dan konggregasi .
Pada 25 Januari kondisi kesehatannya menjadi serius; pada 29 Januari dia tidak dapat berbicara lagi. Dia sendiri yakin bahwa dia akan segera meninggal. Ketika dia tahu bahwa setiap orang mendoakan untuk kesembuhannya dia menggelengkan kepalanya.
“Untuk kesembuhan saya?” dia mengulangi. “Hal itu tidak berguna. Saya sedang menuju ke keabadian. Untuk hal itu saya ingin pergi ke surga, karena di atas sana saya akan dapat menolong anak-anak saya dengan lebih baik. Di bawah sini saya tidak dapat berbuat apa pun lagi untuk mereka.”
Ketika mereka meminta dia untuk berdoa agar Tuhan memberikan kesembuhan baginya, dia menjawab, “Sekali-kali tidak. Biarkan kehendak Tuhan yang terjadi.
Pada malam tahun baru Don Rua meminta darinya, pesan apa yang harus ia berikan kepada anak-anaknya di tahun yang baru dan Don Bosco menjawab, “Komuni yang sering dan devosi kepada Bunda kita.”
Tetapi untuk para salesian dia mempunyai sesuatu yang lain – sebuah pesan yang bagus tentang pendorong semangat, pengharapan dan cinta.
Pada pagi hari 31 Januari, Don Bosco memasuki penderitaan yang mendalam.
Don Rua lalu mengenakan sebuah superpli dan stola, para superior dan anak-anak dipanggil, dan dengan segera ruangan tersebut dipenuhi oleh para salesian dan para awam.
Pada 4:30 lonceng Angelus berbunyi di Basilika.
Pada 4:45 Don Bosco menghela napasnya yang terakhir dan meninggal dunia.*
Bab 7
Sekarang setelah Don Bosco meninggal, semuanya seharusnya berjalan lancar bagi konggregasi dan Rektor Mayornya yang baru. Sebaliknya, dengan membuat para superior terkejut, muncul kesulitan-kesulitan yang sangat beragam dan berbahaya yang mengancam tidak hanya posisi Don Rua tapi juga keberadaan konggregasi .
Kesulitan pertama yang muncul adalah tentang pewarisan jabatan Rektor Mayor kepada Don Rua. Pada dekrit tanggal 27 November 1884, di mana Don Rua diangkat sebagai vikar Don Bosco adalah satu-satunya peryataan yang mendukung dari Tahta Suci. Tapi, setelah pemakaman Don Bosco mereka mencarinya, mereka tidak menemukannya!* Pengakuan lain-lainnya terhadap Don Rua sebagai vikar Don Bosco adalah secara lisan dan tidak pernah lewat lisan atau tulisan tidak pernah menyatakan bahwa dekritnya pernah dibuat. Semua ini, bersama-sama dengan kekhawatir yang sungguh-sungguh tentang apakah dia pantas sebagai figur pengganti Don Bosco, mulai membuat hati nurani Don Rua bimbang, membuat ia sangsi apakah ia benar-benar berhak menjadi ahli waris Don Bosco.
Dalam kerendahan hatinya, Don Rua bahkan pernah bertanya-tanya apakah ia atau Prefect General yang baru yang harus mengurus pemakaman Don Bosco sampai masalah ini dibawa ke hadapan Don Bosco sendiri.
“Katakan kepadanya,” Don Bosco berkata, “bahwa Oratori dan seluruh pekerjaan Don Bosco adalah seperti rumah dan karenanya mempunyai atap. Apa yang terjadi ketika hujan? Titik-titik hujan pertama-tama jatuh di atas genteng yang tertinggi, lalu kemudian pada yang kedua .... Katakan kepadanya untuk tidak kuatir. Air hujan akan jatuh dari genteng yang pertama kepada yang kedua tanpa hambatan apa pun.
Jika dia pernah merasa begitu sensitif tentang acara pemakaman, ia tentunya tidak akan mendorong dirinya untuk menjadi pengganti Don Bosco kecuali dan sampai hal itu telah diakui tanpa keraguan lagi oleh Tahta Suci. Lagipula, sejauh ia peduli, dia berbicara kepada orang lain secara terus terang, ia sesungguhnya lebih suka melihat orang lain yang lebih pantas mengambil posisi tersebut. Untuk menyelesaikan masalah tersebut Kardinal Alimonda menasehati dia untuk berpaling ke Roma. Ia melakukannya dalam surat tertanggal 8 Februari.
“Bapa Suci,” dia menulisnya, “dengan melihat kelemahan dan kekuranganku, aku merasa wajib untuk memohon padamu untuk mencari orang lain yang lebih cocok untuk tanggung jawab ini, dan untuk membebaskan aku dari jabatan Rektor Mayor. Di samping itu, aku meyakinkanmu bahwa dengan rahmat Tuhan aku tidak akan berhenti bekerja dengan seluruh kekuatanku untuk Serikat ini dalam posisi apapun di mana aku ditempatkan.”
Isi dari surat tersebut mungkin baik menurut pandangan Don Rua. Tapi tidak untuk temannya dan pendukungnya, Cagliero. Penuh semangat, setia, berterus terang, dan sekarang tentunya bukan tanpa pengaruh di Roma, dia telah memutuskan untuk menangani masalah ini dengan caranya sendiri yang bersemangat. Setelah meminta, dan menerima, dukungan dari para superior, dia menulis sebuah surat kepada kardinal pelindung konggregasi , menunjukkan kebulatan pendapat mereka dalam hal itu.
“Kami, pemberi tanda tangan pada surat ini,” dia menuliskan, “akan sangat bergembira jika Bapa Suci menegaskan pengangkatan Don Michael Rua sebagai Rektor Mayor, yang telah diusulkan dan ditunjuk sebagai vikar oleh Don Bosco sendiri. Karena kami mengetahui perasaan bukan hanya para pemilih tetapi juga seluruh serikat, kami merasa dapat memberitahumu bahwa berita bahwa Bapa Suci akan memberi kami Don Rua sebagai Superior General akan diterima tidak hanya sebagai kepatuhan tetapi juga dengan ketulusan dan hati yang penuh sukacita.”
“Kami harus lebih lanjut lagi menambahkan bahwa jika seandainya diadakan sebuah pemilihan Rektor Mayor sesuai peraturan kami, adalah sentimen yang umum bahwa Don Rua akan dipilih secara bulat, hal ini sesuai dengan Don Bosco yang selalu menganggap dia sebagai teman karibnya dan sekaligus tangan kanannya, dan juga atas penghoramatan kami terhadapnya atas kualitas-kualitasnya yang baik, bakatnya yang sulit didapatkan untuk menjadi seorang pemimpin, dan kemampuannya yang luar biasa untuk menangani masalah-masalah di Serikat, bukti yang telah diberikannya selagi berada di bawah pimpinan Pendiri dan Bapa kami yang tercinta dan tak dapat terlupakan.”
Kesulitan yang kedua, masih berhubungan dengan yang pertama, adalah yang paling sering dibicarakan oleh Roman Curia. Semuanya baik, mereka berargumen, bahwa para salesian dalam entusiasme jiwa muda mereka untuk menunjuk pada cepatnya pertumbuhan dan vitalitas konggregasi yang begitu jelas. Tetapi Roma telah mempunyai pengalaman yang panjang dalam melihat banyak serikat lain yang sama bersemangatnya tumbuh dengan cepat dan hilang dengan cepat pula tanpa menambah satu baris pun dalam sejarah Gereja. Adalah jelas – setidaknya bagi mereka – bahwa semua kesuksesan telah disebabkan oleh kepandaian dan kekudusan seorang manusia – Don Bosco yang hebat. Tetapi sekarang dia telah pergi, siapa dari mereka yang akan mengambil tempatnya? Siapa yang berharap akan mengambil posisinya? Rasanya tidak seorang pun dari mereka yang dapat mendudukinya. Sejauh ini Vatikan belum pernah mendengar bahwa ada seorang salesian yang sekaliber Don Bosco . Don Rua? Leo XIII hampir tidak mengetahui apa pun tentang dia. Dia telah beberapa kali bertemu Don Rua dan ragu apakah orang seperti dia akan mampu mengambil tempat Don Bosco. Orang-orang lebih tidak mengenalnya lagi dengan alasan sederhana bahwa Don Rua tidak pernah menonjolkan dirinya sendiri.
Hasil dari semua ini? Di Roma, mereka mulai mendiskusikan dengan serius kemungkinan untuk menggabungkan konggregasi baru ini yang disebut Salesian dengan konggregasi lain yang lebih besar atau sama!*
Untungnya, yang juga terlibat dalam masalah ini di Roma bagi kepentingan salesian adalah teman baik Don Bosco, Uskup Emilian Manacorda dari Fossano. Dia telah mengenal jalan-jalan roman curia pada waktu memulai karirnya. Karena kebesaran cintanya yang luar biasa pada salesian ia ikut bertanggung jawab untuk memberitahu curia tentang kebenaran akan Rua dan konggregasi . Ia bahkan mendekati tokoh kunci dalam masalah ini, Cardinal Vikar Bapa Suci dan Prefek Konggregasi para uskup dan Regular. Adalah dia juga yang paling mendukung agar salesian bergabung dengan konggregasi lain.
Setelah berbicara dengannya untuk membela salesian, dalam mengakhiri pembicaraannya kardinal berkata padanya, “Apakah kamu sungguh-sungguh percaya bahwa serikat salesian dapat terus berumur panjang? – tidakkah dia akan bubar? Seperti aku, engkau pun tahu masa sulit pada saat ini.”
“Yang Mulia,” jawab sang uskup. “Saya amat yakin bahwa konggregasi ini akan bertahan sampai berabad-abad. Saya mengenal Don Bosco dengan baik. Saya mengenal para salesian dengan baik. Saya telah tinggal bersama mereka. Saya menikmati rasa percaya mereka. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu rahasia dari saya. Bahkan Don Bosco sendiri tidak menyimpan rahasia terhadap saya. Oleh karena itu, saya menjamin bahwa apa yang saya katakan adalah benar.”
“Apakah kamu merasa dapat ikut bertanggung jawab untuk masa depan mereka?”
“Saya rasa saya dapat bertindak sebagai penjamin untuk segalanya – persatuan mereka, kemampuan mereka, anggota-anggota mereka, seluruh masa depan mereka.”
“Kalau begitu,” Kardinal itu menyimpulkan, “saya tidak akan menahan mereka. Saya akan melakukan apa yang engkau katakan.”
Ketika Kardinal Pembela dari para salesian memberikan surat-surat tentang Don Rua dan Cagliero kepada Bapa Suci, dia menunjukkan betapa dalamnya ia terkesan kepada mereka. Di dalam keputusannya yang baru tanggal 11 Februari 1888, yang menegaskan keputusan yang terlebih dahulu tertanggal 27 November1884, ia memilih Don Rua sebagai Rektor Mayor Serikat Salesian.
Dengan itu terselesaikanlah baik pertanyaan tentang hak Rua untuk menggantikan Don Bosco dan hak Serikat Salesian untuk tetap berdiri.
Sejauh ini para Salesian, selain dari para superior, tidak mengetahui apa pun tentang semua hal ini. Tapi di dalam surat edaran pada 7 Maret 1888, Kapitel Superior memberitahu mereka tentang semua hal yang telah terjadi, dan juga menyertakan salinan dari dokumen-dokumen yang dimaksud.
Seluruh masalah ini ditutup dengan kunjungan Don Rua ke pejabat-pejabat Roman Curia, pertemuan dengan Bapa Suci, dan surat-surat ucapan selamat yang datang membanjir dari seluruh dunia.
Surat-surat itu datang dari para salesian – para provincial, Direktur, sama saudara – surat-surat itu juga datang dari para pimpinan gereja, dari pastor-pastor projo, dari para religius; datang dari para koperator, dari kaum bangsawan sampai benefaktor-benefaktor yang paling sederhana. Tapi mungkin surat yang memberinya kepuasan yang terbesar adalah dari Muder Catherine Deghero, Superior General dari Suster Salesian.
“Mewakili yang lain aku meyakinkan engkau, Bapa yang terkasih dan baik,” sebagian surat itu berkata, “bahwa di tengah-tengah kesedihan yang besar, saya masih merasa terhibur. Untuk mendapat anda sebagai Superior adalah untukku, untuk anggota Kapitel, untuk para suster secara individual, adalah suatu yang menyenangkan, suatu hiburan yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.”
“Kita mengetahui dengan baik bahwa tugas berat yang kauemban sebagai Superior kami akan kau bayar dengan pengorbanan yang besar, dengan kesibukan-kesibukan, tetapi kami akan berdoa dengan tekun kepada Tuhan yang maha pengasih agar memberimu pahala yang pantas. Untuk bagian saya, saya berjanji untuk bekerja dengan seluruh kemampuan saya untuk mengurangi beban dalam memimpin kami dengan meminta dari para Direktur kami dan para Suster kepercayaan penuh dan penghormatan dan sikap seorang anak kepadamu, yang mulai dari saat ini, akan kami anggap, sesudah Allah, Bapa kami, penuntun kami, penopang kami, penasehat kami .... Dengan surat ini, oleh karena itu, saya pribadi dengan konggregasi kami, memberi selamat atas penunjukkanmu. Kami mengakukan ketaatan kami sebagai anak kepadamu dan memohon kepadamu agar memperlakukan kami sebagai anak-anakmu sendiri.
Yakin bahwa sekarang di belakangnya ada restu dari Gereja dan dukungan dari seluruh keluarga salesian, suster-suster, dan coperators, membuat Don Rua dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagai Rektor Mayor dengan tenang.
Dia sekarang mempunyai kontrol secara penuh dan lengkap terhadap semua kekayaan serikat dan, selain itu, tak ada seorang pun yang hidup – tidak juga Cagliero – yang memiliki kekuasaan atau ketenaran untuk menolak dia. Karena itu, adalah hal yang wajar bahwa serikat secara umum, dan oratori khususnya, akan mengamati dan memperhatikan dia untuk melihat bagaimana dia akan bersikap, dalam memulai karir barunya.
Cara yang ia pakai untuk melakukannya telah menjadi ciri khasnya sehingga tidak mengejutkan seorangpun yang mengenalnya. Ia melakukannya tanpa banyak menonjolkan diri. Jika ada sesuatu, dia menarik diri dari perhatian orang-orang hampir selama setahun setelah Don Bosco meninggal. Tahun pertamanya sebagai Rektor Mayor hanyalah menakjubkan hanya jika dilihat dari kurangnya langkah berani yang mereka kira akan dilakukan oleh seorang Superior, setelah lama tinggal di bawah bayang-bayang Don Bosco dalam serikat, untuk meninggalkan jejaknya sendiri di dalam Serikat.
Ada banyak alasan untuk tahun rekoleksi ini, dan yang tenang ini. Untuk awalnya, ada rasa berkabung dan kehilangan yang besar setelah kematian Don Bosco. Kepribadiannya yang begitu kuat namun begitu hangat, begitu kebapaan, begitu memahami, tidak mudah digantikan atau dilupakan. Di samping itu, baik Don Bosco dan Bapa Suci telah meminta agar tidak ada perusahaan baru yang dibuka, tidak ada pembukaan sekolah-sekolah baru atau pondasi-pondasi baru dibuka, untuk masa dua tahun. Sebaliknya, perhatian dari Serikat muda ini harus dikonsentrasikan pada konsolidasi, dengan yang terbaik untuk memperbaiki orang-orang dan lebih melengkapi staf-staf dalam rumah yang sudah beroperasi. Don Rua sendiri menginginkan agar diberi waktu untuk mengawasi dan merefleksi sebelum membuat keputusan-keputusan. Lagipula, selama empat puluh tahun dia hanya menjalankan keputusan-keputusan yang diambil Don Bosco. Terakhir, ada masalah besar berhubungan dengan hutang yang harus dilunasi yang telah menumpuk selama beberapa tahun, sebagian besar digunakan untuk pembangunan Basilika Hati Kudus di Roma. Untuk ini saja serikat berhutang 600.000 lire – ini jumlah yang sangat besar bagi sebuah serikat muda. Hal itu terlalu besar sehingga mereka merahasiakannya bahkan dari Don Bosco. Mereka tidak berkehendak untuk menambah penderitaan di hari-hari terakhirnya. Hal ini dan beberapa komitmen lain –pengiriman misionaris, sebagai contoh – sangat menyibukkan Don Rua dan para superior lainnya. Ketika Don Bosco hidup mereka percaya hal itu akan terselesaikan sendiri. Tapi ketika Don Bosco telah pergi? ...
Sebuah humor dimasukkan oleh majalah-majalah anti klerik tanpa disadari pada situasi yang suram ini. Artikel yang sangat menonjol berhubungan dengan berita-berita tentang Don Bosco, ketika dia telah meninggal, ia meninggalkan pada penerusnya Don Rua, jumlah uang yang sangat banyak.* Karena pertanyaan tentang bagaimana dia akan menghadapi hutang-hutang sudah memberatkan Rua, dia takut bahwa berita seperti itu akan menghalangi masuknya sumbangan-sumbangan. Ia mengambil langkah yang tidak biasa untuk menerbitkan dalam Buletin Salesian – berita resmi dari Serikat – sebuah artikel yang mengungkapkan kebenarannya. Yang sebenarnya adalah pada pagi hari ketika Don Bosco meninggal, tidak ada uang cukup di oratori untuk membayar tukang roti!
Keraguan apakah urusan-urusan serikat akan dapat berjalan dengan baik seperti pada masa pimpinan Don Bosco ada pada pikiran banyak orang. Kardinal Alimanda, yang baru saja memberikan kotbah Month’s Mind tentang Don Bosco, diberi ijin untuk tinggal makan malam dengan para Salesian. Ketika makan malam, dia berpaling pada Don Rua.
“Katakanlah kepadaku, Don Rua,” katanya. “Sekarang ketika Don Bosco telah pergi, apa kau pikir bahwa Penyelenggaraan Ilahi akan terus membantumu seperti sebelumnya?”
“Yang Mulia,” jawab Don Rua, yang mengerti dengan baik arah pertanyaan sang kardinal, “kami harus mengaku bahwa Don Bosco di Surga pun tidak hanya bersantai. Pada hari kematiannya, sebagai contoh, kami berhutang tiga ribu franc di Paris untuk pembelian rumah baru di Menilmontat. Sebuah telegram tiba di sini dari Perancis yang berbunyi bahwa seorang benefaktor akan memberikan uang pada salesian. Kami berkata kepada mereka untuk memberikan uang itu kepada salesian di Paris. Pada saat membuka bungkusannya, mereka menemukannya tepat berjumlah tiga ribu franc!”
Tidak dapat disangkal bahwa Don Rua tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh dengan bermodal senyum seperti yang telah Don Bosco lakukan, tapi dia mempunyai metodenya sendiri yang sangat berhasil untuk mengumpulkan dana yang diperlukan. Pada saat retret musim panas, kepada para superior ia menceritakan rahasianya bahwa setelah kematian Don Bosco, jumlah bantuan-bantuan berkurang namun pada beberapa bulan terakhir bantuan-bantuan mulai meningkat lagi. Dengan rendah hati ia mengakui kalau dia tidak seperti Don Bosco mempunyai bakat khusus dengan keuangan. Apa yang tidak dia katakan adalah bahwa dia mempunyai kepercayaan besar seperti Don Bosco terhadap Penyelenggaraan Ilahi.
Dia menulis kepada Cagliero di Amerika Selatan, “kita mempunyai banyak kebutuhan. Rumah baru di Perancis dalam kesulitan besar dan saya malu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling mendesak.” Dia juga menulis kepada Prokurator Salesian di Roma yang menunjukkan kepercayaannya ini. Procurator, karena kekurangan dana, menunda pekerjaan pembangunan sebuah rumah sakit di sebelah Basilika Hati Kudus. Namun sekarang dia merasa dapat memulainya lagi. Ketika dia meminta ijin untuk melakukannya lagi, Don Rua memberinya izin hanya dengan suatu syarat, yakni mereka menerima paling kurang 50 murid yang miskin. “Setelah itu,” dia mengakhirinya, “Penyelenggaraan Ilahi tak akan pernah meninggalkan kamu lagi.”
Kurangnya dana juga tidak menghalanginya untuk pengiriman dua ekspedisi misionarisnya tahun itu.Jumlah mereka kecil, itui benar – yang pertama berjumlah enam misionaris dan yang kedua sepuluh salesian dan enam suster. Tetapi pada awal tahun yang akan datang (7 Januari 1889), dia mampu mengirim satu grup dengan tiga puluh salesian dan dua puluh suster – pengiriman misionaris yang terbesar hingga saat itu.
Tiga pengiriman misionaris ini memakan biaya 200.000 lire – jumlah yang sangat besar. Bagaimana Don Rua mendapatkan semua ini? Pertama-tama, ia telah menerjemahkan ke dalam beberapa bahasa surat edaran Don Bosco yang dikirim tanggal 4 November 1887, yang memohon bantuan bagi misi. Selamjutnya, dia meminta bantuan kepada para koperator di Italia, di mana ia menunjukkan bahwa betapa orang-orang Italia di luar negeri benar-benar terbantu karena sumbangan-sumbangan mereka. Kedua permohonan itu juga sangat didukung oleh berita yang sangat baik tentang pengiriman-pengiriman misionaris dan keduanya sangat sukses.
Bahkan sebelum Don Bosco meninggal laki-laki yang mengenal dia paling baik telah mulai berpikir tentang kanonisasinya. Don Rua, tentunya, memiliki inisiatif ini dengan dorongan dari banyak orang, yang beberapa di antara mereka berada di Roman Kuria. Tidak kurang dari Bapa Suci sendiri juga mendorong dia agar lebih giat berusaha untuk mempercepat kanonisasi Don Bosco.
Sehari setelah pemakaman, dia memanggil seluruh anggotaKapitel dan membacakan untuk mereka keputusan-keputusan dari Paus Urbanus VIII. Keputusan-keputusan ini menunjukkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan untuk memulai proses kanonisasi. Pada hari berikutnya, dia meminta nasihat dari Kardinal Pelindung Serikat tentang bagaimana cara mendekati Uskup Agung Turin sehingga ia mau mengangkat persoalan ini ke Roma dan akhirnya memulai langkah-langkah awal yang harus dimulai di keuskupan sang almarhum.
Setelah mengerjakan semuanya itu, dia pergi ke Roma dimana dia bertemu dengan Mgr. Caprara, Promotor of the Faith, dan mendiskusikan bagaimana cara yang tepat untuk memajukan pengkanonisasian. Nasihatnya, tentu, adalah dengan mengumpulakan semua bahan yang mungkin mengenai bantuan atau mukjizat yang diperoleh melalui perantaraan Don Bosco setelah Don Bosco meninggal. Semuanya ini lalu Don Rua serahkan kembali pada Kapitel yang segera menetapkan Pastor John Bonetti sebagai yang akan memulai kasus kanonisasi ini.
Pada surat edaran pertama sebagai Rektor Major Don Rua memasukan berita tentang hasil pertemuannya dengan Bapa Suci. Dia juga memasukkan pertanyaan untuk pengumpulan materi-materi untuk Kasus Beatifikasi dan memberi informasi kepada teman-temannya bahwa staf-staf roma hanya akan memberikan dorongan dan bantuan. “Kata-kata terakhir dari Kardinal Vikar sebelum ucapan perpisahannya pada saya.” Rua menulis, “adalah ‘Perhatikanlah Kasus Don Bosco!’ ”
Sebagai langkah awal untuk jabatan barunya, Don Rua sangat mengerti dengan jelas bahwa ia harus menegaskan kedudukannya sebagai Rektor Major di Oratori. Sampai tahun-tahun mendatang hal ini akan menjadi motivasi dasarnya, hal itu akan menjadi pusat pengaruhnya, dari mana ia akan dapat mengatur seluruh serikat. Itulah alasan lainnya mengapa dia jarang meninggalkan Oratori selama tahun 1888, sekalipun hanya untuk mengunjungi tempat seperti Borgo San Martino yang paling dekat saja dari tempatnya, di mana Don Bosco sendiri sering menghabiskan waktunya di sana pada hari-hari pesta. Ke mana dia pergi, adalah ke Valsalice untuk berdoa untuk waktu yang panjang di makam Don Bosco. Tahun itu baginya juga adalah tahun berkabung.
Pengambilalihan kedudukan Don Bosco ini dia lakukan secara bertahap, dimulai dari hal-hal yang sederhana. Misalnya, dulu sebagai Prefect General, ketika melewati lapangan permainan di oratori, tangannya dimasukkan ke dalam lengan jubahnya, dia berjalan tergesa-gesa dari satu tempat ke tempat yang lain sepanjang jalan yang paling jarang dilewati, memberi jawaban kepada beberapa orang yang mengenalnya dan menyapanya. Dari hari dia diangkat sebgai Rektor Major dia mengubah hal itu. Karena dia tidak lagi bertanggung jawab untuk kedisiplinan di Oratori dan sejak Don Bosco tidak lagi menduduki jabatan sebagai pimpinan tertinggi, dia sekarang mulai menghabiskan rekreasinya dengan anak-anak dan sama saudara, berjalan-jalan bersama mereka, berbicara dan bersenda gurau dengan mereka. Sekali lagi dia kembali ke Mirabello di mana anak-anak biasa memegang jari-jarinya yang panjang ketika mereka berjalan-jalan di lapangan.
Namun, ada satu hal tentang dirinya yang tidak berubah. Setelah segera bunyi bel tanda rekreasi selesai, dia akan segera mengakhiri percakapan dan segera meninggalkan teman bicaranya dalam keheningan dan pergi ke kantornya.
Di pagi hari dia akan menjadi yang turun pertama untuk meditasi. Setelah meditasi dia akan menghabiskan dua jam untuk mendengarkan pengakuan anak-anak, duduk di tempat di mana Don Bosco biasa duduk selama bertahun-tahun. Sisa waktu paginya akan dia habiskan di kantornya untuk menerima orang-orang yang ingin bertemu dengannya. Waktu siang hari akan dia habiskan dengan cara yang sama dan di malam hari setelah doa malam dia akan yang terakhir pergi tidur.
Ketika Don Bosco meninggal, Don Rua tidak ingin ada perubahan, dan terus mendiami kamar kecil di dekat kamar Don Bosco. Tetapi sekarang karena dia harus menyediakan sebuah kamar untuk Prefect General, sedekat mungkin dengan kamarnya, ia memberikan kamarnya untuk Prefect General dan mengambil kamar Don Bosco untuk dirinya sendiri. Tetapi ia menolak untuk tidur di ruangan di mana Don Bosco meninggal, dan malahan menggunakan ruangan yang tadinya Don Bosco gunakan untuk tidur. Tapi dia tetap tidak tidur di tempat tidur Don Bosco tetapi ia membawa sebuah sofa yang dia ubah menjadi sejenis tempat tidur. Namun ia tidak banyak menggunakannya. Bruder Balestra, yang merawat ruangannya, sering menemukan sofa itu tidak dipakai pada malam sebelumnya.
Untuk memulai perayaan pesta Maria Penolong Umat Kristiani adalah biasa untuk memberikan konferensi untuk para koperator. Tahun itu konferensi diberikan oleh Uskup Cagliero yang berada di Eropa dalam pencaharian dana dan orang-orang untuk misinya di Patagonia. Selalu pada perayaan ini sebelumnya yang duduk di kursi pastoran adalah Don Bosco. Pada tahun ini para koperator bertanya-tanya siapa yang akan duduk di kursi tersebut, ketika mereka melihat figur Don Rua, kurus, asketik, tetapi begitu tenang dan penuh kebaikan, sehingga sebelum ia sempat duduk mereka dengan hangat memberikan tepuk tangan kepadanya. Setelah misa, mereka mengelilinggi dia sama seperti mereka mengelilingi Don Bosco. Kejadian itu terulang pada hari berikutnya ketika setelah misa orang-orang datang berkerumun di sakristi untuk meminta berkatnya.
Pondasi-pondasi sekarang telah diletakkan, dalam surat edarannya yang pertama sebagai Rektor Major ia mengumumkan kepada seluruh salesian di dunia tujuan-tujuan programnya dengan sangat jelas:
Anak-anakku yang terkasih, ia menulis, ini adalah program yang akan saya ikuti selama tahun jabatanku:
Untuk memelihara dan mengembangkan pekerjaan yang telah dimulai oleh Don Bosco.
Untuk mengikuti dengan tekun metode-metode yang diajarkan dan dipraktikkan Don Bosco.
Untuk belajar dan meniru dalam perkataan dan perbuatan model yang telah ditawarkan oleh Don Bosco.
Bab 8
Seorang pembuat gambar kartun pada masa itu, dalam satu gambar dapat meringkaskan dengan cukup baik hidup Don Rua selama tahun-tahun antara tahun 1889 sampai 1909. Ia menggambarkan seorang yang kurus, berambut coklat, mengenakan baju Pastrano (jaket yang sampai di tumit) yang tua, sepatu yang ditambal bagian atasnya, dan di atas kepalanya ada sebuah topi pastor gaya Roma yang warnanya sudah kehijau-hijauan. Di tangan kiri, ia membawa sebuah tas kulit berwarna hitam dan tangan kanannya sedang mengulurkan sebuah tiket kereta api kelas tiga*.
Tidak ada tahun dimana ia tidak melakukan perjalanan. Biasanya, ia berangkat sekitar pertengahan musim semi dan kembali tiga atau empat bulan kemudian.
Di dalam perjalanan-perjalanan yang ia lakukan, ia mengunjungi 18 negara: Prancis 7 kali, 4 kali ke Belgia dan Inggris, 3 kali ke Spanyol, 2 kali ke Belanda, Switzerland, Jerman, Polandia, Austria, Portugal, Turki, Palestina, Mesir dan sekali ke Yunani, Syria, Tunisia dan Aljazair.
Hampir tidak mungkin untuk menghitung jumlah perjalanan yang ia lakukan melalui Italia.
Kartun yang disebutkan di atas mungkin mempunyai sedikit rasa humor, tetapi hidup yang Don Rua alami dalam perjalanannya tidaklah demikian. Adalah tidak menyenangkan untuk berkelana jarak jauh dengan kereta api kelas tiga, mengingat perjalanan yang tidak mewah pada masa itu, untuk menghabiskan seluruh hari tanpa makan atau minum dan kadang-kadang pergi selama 24 jam tanpa istirahat – ia lebih senang pergi pada malam hari sehingga dapat bekerja hari berikutnya – supaya bisa tiba di suatu tujuan pada saat untuk merayakan misa dan memberikan renungan pagi kepada sama saudara yang baru bangun dari tidurnya. Ketika kebaikan konggregasi memintanya ia selalu bersedia, apakah itu untuk pembukaan rumah baru atau oratori, peletakan batu pertama, mengunjungi para penderma yang sakit, memberikan konferensi atau retret.
Setelah menjadi lebih tua, adalah mudah membayangkan perjalanan seperti itu pasti melelahkannya. Perubahan yang tiba-tiba dalam hal tempat tinggal, makanan, iklim... semuanya dialami oleh seseorang yang lahir dengan keadaan jasmani yang lemah. Di samping itu, ia juga mematuhi aturan-aturan Konggregasi dengan tegas, di bawah situasi apapun, pasti juga menambah ketidaknyamanan dan kesusahannya. Ketika ia berusia 60 tahun, kakinya bengkak pada urat darah halus dan ditutupi oleh luka-luka, matanya selalu memberinya masalah, dan hatinya menunjukkan tanda-tanda keletihan. Sebelumnya ia tidak pernah berhenti untuk berjalan ketika ia berpikir bahwa tugas memintanya. Don Bosco pernah mengatakan kepadanya bahwa “seorang superior yang baik adalah seorang yang selalu mempunyai tas perjalanan di tangannya.” Dalam hal ini Don Rua benar-benar memenuhi kata-kata itu. Ia baru menyingkirkan tas kecil itu sekitar 6 bulan sebelum kematiannya.
Selama perjalanannya pintunya selalu terbuka. Bukanlah suatu persoalan siapa yang mau menemuinya – muda atau tua, kaya atau miskin, sehat atau sakit. Mereka semua diterimanya. Betapa banyak jiwa yang diselamatkan, betapa banyak pekerjaan yang dimulai, betapa banyak bantuan yang diberikan kepada yang miskin karena beberapa orang yang murah hati dengan sebuah masalah melewati ambang pintunya!
Salah satu perjalanan akhir yang paling penting dilakukannya untuk menemui kooperator-kooperatornya dan menginformasikan mereka tentang kemajuan karya salesian di daerah mereka. Ia akan mendesak mereka untuk memperbesar bantuan mereka demi kepentingan pelayanan cinta kasih dan misi-misi dan melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk menambah jumlah kooperator. Don Bosco telah menasihatinya: “Jujurlah kepada mereka. Ingatkan mereka bahwa itu bukan mereka yang melakukan kebaikan untuk anda, tetapi anda yang melakukan kebaikan itu untuk mereka. Sedekah mereka adalah suatu pekerjaan kasih, yang mana suatu hari mereka akan mengucapkan terima kasih kepadamu.” Tetapi dalam seluruh percakapannya, nasihatnya dan konferensi-konferensinya, satu tema yang menonjol adalah ia menekankan pentingnya “keunggulan hal-hal yang Spiritual.”
Ia berkunjung ke rumah-rumah dengan tujuan agar mereka memelihara semangat Don Bosco dalam hidup mereka, untuk mengunjungi dan membesarkan hati para Salesian, untuk bertemu dengan para kooperator dan benefaktor-benefaktor lokal dan akhirnya untuk membereskan beberapa karya serikat yang mungkin menunggu petunjuknya atau menantikan keputusan darinya. Seperti Don Bosco, ia menganggap kunjungan-kunjungan dan pertemuan-pertemuan secara pribadi ini adalah yang paling penting.
Kunjungan pertamanya di luar Turin setelah kematian Don Bosco hanya di daerah-daerah sekitar Turin - Nizza Monferrato, tempat kapitel umum Suster-Suster – Sampierdarena – Alassio - Borgo San Marino - Lu, lalu sejauh Penango – Faenza - Florence.
Sementara ia berada di San Marino untuk merayakan pesta St. Aloysius Gonzaga, Sr. Filomena Bozzo, di rumah suster salesian terdekat sedang sekarat. Dokter-dokter telah pasrah. Don Rua bergegas ke biara itu dan melihatnya, berkata kepadanya jangan cemas karena ia tidak akan mati, bahwa ia mempunyai banyak pekerjaan baik untuk dibuat. Lalu ia meminta doa-doa untuk kesembuhannya diucapkan. Biarawati yang sakit itu, yang belum tidur selama 15 hari, setelah doa diucapkan, jatuh tertidur.
Pagi berikutnya ketika dokter datang ke biara itu, pertanyaan pertamanya adalah, “Jam berapa ia meninggal semalam?” Ia terkejut mendapati bahwa pada saat itu suster itu hanya sedikit sakit. “Tetapi itu mustahil!” serunya. “Dengan segala penyakit dan segala komplikasi yang ia miliki hal ini adalah mustahil secara manusiawi!”
Ketika diberitahu tentang reaksi dokter itu, Don Rua tersenyum, “Anda melihat sekarang apa yang dapat Bunda Maria lakukan?” ia berkata kepada suster itu.”Tidakkah saya mengatakan kepada anda bahwa anda tidak perlu cemas?”
Suster tersebut, yang kemudian dikenal sebagai La Miracolata, meninggal beberapa tahun kemudian sebagai direktur sebuah sekolah di Syria.
Ada sebuah masa istirahat dalam perjalanannya yang dilakukannya untuk menghadiri General Chapter ke-5 di Oratori yang berlangsung dari tanggal 2-7 September. Kebanyakan yang didiskusikan adalah sekitar pendidikan para frater, rumah-rumah pembinaan, sama saudara yang bekerja di militer, praktek-pratek kesalehan dan hidup sehari-hari. Pertemuan ini patut diperhatikan karena pada puncak pertemuan ada kesepakatan untuk Rektor Mayor, untuk memperluas kekuatan dan memperbesar kebebasannya untuk berbuat dalam segala urusan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan memajukan serikat. Ini hanya untuk menunjukkan sikap percaya pada kepemimpinan superior baru dan itu membuat Don Rua terharu, seperti yang ia ungkapkan pada ucapan selamat dan terima kasihnya.
Sebelum berangkat lagi, ia membantu pada upacara keberangkatan ekspedisi misionaris yang lain, yang diberangkatkan ke Argentina, Uruguay, Ekuador dan Colombia.
Menjelang akhir tahun tersebut, sebuah insiden terjadi, serupa dengan yang di Borgo San Martino.
Salah seorang sekretarisnya, frater Francis Tomasetti, jatuh sakit yang serius. Keadaannya bertambah buruk dan akhirnya ia tidak sadar suhu badannya yang tinggi. Don Rua pergi mengunjunginya dan memberikan berkat Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Pagi berikutnya Tomasetti bangun, pertama ia pergi ke gereja dan kemudian ke kantor Don Rua untuk melakukan tugasnya seperti biasa.
“Walaupun fisikmu tidak begitu kuat,” Don Rua berkata kepadanya, “meskipun demikian, jika anda hati-hati anda akan bertahan selama banyak, banyak tahun. Anda dapat bersyukur kepada Don Bosco dan Maria Penolong Umat Kristiani.”
Tomasetti kemudian menjadi Procurator General Serikat dan hidup sampai usia tua.
Di bulan Januari tahun berikutnya ia memulai perjalanan-perjalanannya lagi, yang dimulai dengan kunjungan ke Roma dan Bapa Suci, di mana Paus berjanji bahwa ia akan mempunyai beberapa daerah misi lain untuk dipercayakan kepada para salesian. Ini akan diikuti dengan kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah lain di region sebelah utara di mana ia memberikan konferensi-konferensi kepada para kooperator, meyakinkan mereka untuk terus membantu para salesian yang kebutuhannya cenderung bertambah daripada berkurang, dengan bertambahnya fondasi Salesian dan perluasan aktivitas misi.
Di sela-sela kunjungan-kunjungannya ke rumah-rumah di Italia, yakni, dari Februari hingga Mei 1890, ia pergi ke Prancis, Spanyol, Inggris dan Belgia. Ini bukan tamasya untuk mengisi waktu. Don Rua tidak akan pernah memboroskan waktu. Di negara-negara ini, ia sangat sedikit dikenal dan sangatlah penting baginya, untuk membuat kontak pertama dengan orang-orang yang biasanya membantu Don Bosco. Kunjungan pertamanya hampir selalu di Prancis, dan tentu ke rumah pertama di negara itu - di Nice - yang didirikan oleh Don Bosco. Di sini ia bertemu dengan panitia-panitia yang membantu para salesian di St Pierre, yang satu untuk anak-anak laki-laki dan satu untuk anak-anak perempuan. Ia tinggal 9 hari di tempat tersebut dan kesan yang ia buat selama kunjungannya adalah seperti yang disimpulkan oleh seorang Capuchin yang baik, dengan mewakili perasaan-perasaan yang lain, menyatakan: “Hari ini saya telah menyaksikan keajaiban - Kebangkitan Don Bosco. Ia adalah Don Bosco yang lain! Ia memiliki kesamaan dalam kelemah-lembutan, kerendahan hati, kesederhanaan dan kebesaran jiwa. Ia menyebarkan semangat kegembiraan yang sama kepada orang-orang di sekitarnya.”
Dari sana ia berangkat ke La Navarre, Cannes, Marseilles, Sante Marguite, Auberge, Roquefort, St-Cyr,….
St-Cyr, rumah akademi militer Prancis yang besar, dan di tempat yang sama di mana para Salesian dan suster-suster salesian memiliki masing-masing sebuah Oratori, dihadiahkan karena sebuah rahmat yang diperoleh dari doa-doa Don Rua .
John Rauden sudah menerima seb uahrahmat istimewa dengan berkat Don Bosco ketika orang kudus itu berkunjung ke sana tahun 1885. Kemudian ia menderita penyakit gastritis, palpitasi hati dan dropsy. Sejak saat itu ia menjadi tuli. Mengetahui bahwa Don Rua ada di St Cyr, ia pergi untuk melihatnya. Ketika dikatakan bahwa Don Rua bukan Don Bosco, ia menjawab, “Don Bosco hidup dalam diri orang yang menggantikannya.” Ia mengikuti konferensi Don Rua di gereja Paroki, tetapi seperti biasanya ia tidak mendengar satu kata pun. Karena orang banyak di sekeliling Don Rua Rua ia tidak dapat mendekatinya tetapi kemudian ia pergi ke oratori di mana Don Rua tinggal.
“Saya tidak dapat mendengar sesuatu apapun,” katanya kepada Don Rua. “Sekarang berilah saya berkatmu dan saya yakin saya akan sembuh.”
Don Rua meyuruhnya berlutut dan memberkatinya. “Anda pasti akan sembuh,” ia berkata, “tetapi anda harus menjadi seorang kooperator salesian.” Kemudian ia menyuruh John mengucapkan beberapa doa termasuk juga Ave Maria dan Salve Regina.
John mengucapkan doa-doa tiu bukan hanya sekali tetapi selama 3 hari dan pada hari ke-3 ia sembuh total. Ia kembali ke oratori untuk mengatakan kepada mereka hal itu dan untuk mencantumkan namanya sebagai seorang kooperator.
Sebuah insiden lucu menyertai kedatangan Don Rua ke Spanyol. Beberapa benefaktor kaya dari Barcelona, tempat pertama yang akan ia kunjungi setelah meninggalkan peerbatasan Prancis, datang ke Moncada, stasiun sebelum masuk Barcelona, untuk menyambutnya. Sejak perintisan karya Salesian oleh Cagliero di Utrera, masyarakat Spanyol telah menempatkan salesian dalam hati mereka. Ketika mereka tiba di Moncada dan kereta yang membawa Don Rua tiba di stasiun, mereka mulai mencari-cari dia. Seperti biasa mereka mulai mencari di kelas pertama kereta. Ia tidak ada di sana. Mereka mencoba ke gerbong kelas II, tapi ia tidak ada di sana juga. Ini aneh. Syukurlah, ada di antara para panitia itu ada Pastor Philip Rinaldi, yang waktu itu, menjadi Direktur di Sarria.
“Saya pikir saya mengetahui di mana kita dapat menemukannya,” katanya. “Ikuti saya.” Mereka melakukan demikian dan ia membawa mereka ke gerbong kelas III di mana mereka menemukan tamu terhormat itu! Mereka hampir tidak sempat untuk memindahkannya ke gerbong kelas I sebelum kereta berangkat.
Ketika mereka mencapai kota, mereka mengganti dengan kereta kuda dan berangkat ke tempat mewah milik Dame Dorothy Chopitea de Serra. Ia dikenal di Spanyol sebagai “ Ibu kaum miskin,” dan bertanggung jawab untuk pembangunan sebuah sekolah teknik bersama Don Bosco di Sarria pada tahun 1884. Ia juga bertanggung jawab terhadap pembangunan rumah salesian yang lain di daerah yang lebih miskin di Barcelona, yang sekarang Don Rua datang untuk meresmikannya. Ia tidak lama lagi menunggu hadiah kekalnya, karena pada bulan berikutnya ia meninggal. Proses beatifikasinya sudah dimulai.
Dari sana Don Rua pergi ke Madrid di mana ia bertemu Apostolic Nuncio dan Kardinal Frey, Uskup Agung Seville. Setelah singgah di Seville, ia sampai, lelah tetapi bahagia di Utrera. Di sana ia mengalami sambutan yang luar biasa.
Dua ribu anak di sekolah tersebut sangat antusias karenanya, sehingga mereka mulai mengikuti yang lainnya pada saat itu – mereka menggunting kancing jubahnya dan bahkan ada yang memotong pinggiran jubahnya untuk disimpan sebagai relik! Beberapa dari mereka menunggu selama berjam-jam di luar kamarnya hanya karena ingin mendengar sepatah kata darinya, yang lain lebih suka tidak makan daripada kehilangan tempat dalam barisan. Ketika ia hampir berangkat, mereka berkerumun di sekelilingnya, untuk mencegah hal itu. Supaya ia bisa pergi ke kereta, pimpinan mereka harus membiarkan mereka menyertainya ke stasiun, di mana mereka memberi salam perpisahan yang bersemangat. Pastor Barberris yang menyertainya, menambah bahwa saat itu adalah saat keberangkatan mereka, ia menyaksikan apa yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Don Rua berlinang air mata.
Setelah berhenti singkat di oratori untuk pelayanan Minggu Suci, ia berangkat lagi, kali ini ke Prancis Utara. Di perjalanan ia mengunjungi Lyons. Karena ini adalah tempat markas besar General Council od the Propagation of Faith, untuk memberi pengakuan atas pemberian bantuan pada Misi Salesian, ia merasa berkewajiban untuk memberi penghormatan kepada Sekjen tersebut. Akhirnya ia dibawa ke museum Misi, yang merupakan salah satu bagian dari sekretariat itu, dan saat tertentu, menarik perhatiannya pada satu bagian khusus dari museum itu. Don Rua senang sekali melihat beberapa barang yang telah dikirimkan oleh para salesian dari Patagonia dan Terra del Fuego.
Ia mencapai Patronage Sts. Pierre-et-Paul di Paris pada pagi hari tanggal 17 April. Di sini ia tinggal cukup lama untuk memberikan konferensi kepada para kooperator di Gereja Bunda Maria diangkat ke Surga, mendorong mereka untuk membantu salesian lebih besar daripada sebelumnya karena banyak permintaan yang masuk. Para kooperator menanggapi dengan murah hati dan sebidang tanah dibeli untuk perkembangan selanjutnya dari Patronage itu. Di Paris, juga , Apostolic Nuncio menginformasikan kepadanya bahwa Bapa Suci mensyukuri Penyelenggaraan Ilahi atas apa yang para salesian lakukan di bagian kota itu.
Pemberhentian berikutnya dalam rencana perjalanannya: London. Kehadirannya di sini sedikit mengejutkan orang karena ia terus mendesak untuk berjalan di depan publik dengan mengenakan jubahnya dan memakai topi klerik Romawi. Salesian baru 3 tahun di Inggris dan masih menghadapi banyak kesulitan. Gereja mereka sangat miskin. Tempat tinggal salesian lebih miskin lagi. Meskipun demikian kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan adalah penuh pengharapan. Mereka senang dengan kehendak baik uskup tersebut. Mereka mengurus sebuah paroki yang terdiri dari dua ribu jiwa (kebanyakan orang Irlandia dan miskin); Sekolah paroki yang mereka jalankan telah memperoleh sedikit ketenaran dan memperoleh subsidi dari pemerintah; Oratori juga membanggakan karena juga diikuti oleh anak-anak Protestan di daerah itu.
Karya itu sebagai satu keseluruhan mendapat simpati dari Don Rua dan ia merencanakan untuk mendirikan sebuah gereja baru yang pantas untuk suatu upacara yang meriah yang ia lihat terjadi di sana, untuk dibangun secepat mungkin. Oratori seharusnya diperluas dan yang kedua dibuka untuk anak-anak perempuan. Juga diusahakan untuk membuka suatu sekolah asrama. Ketika ia meninggalkan London, ia tidak melupakan para salesiannya, dan pada tahun 1902 ia menulis sebuah surat kepada para kooperatornya untuk meminta bantuan untuk mereka, sehingga mereka dapat menjalankan program yang telah ia buat selama kunjungannya.
Ia meresmikan pembukaan sekolah keterampilan di Liege, Belgia. Sejak Belgia menjadi negara industri yang maju, sekolah-sekolah seperti ini sangat dihargai oleh masyarakat luas. Begitu besar penghargaan mereka sehingga mereka mengambil bagian secara antusias dalam upacara itu. Peresmian itu dihadiri oleh Apostolic Nuncio, Uskup, dan Vice-Rektor universitas Louvain yang memberikan pidato. Hal ini menandai dimulainya suatu karya yang di tahun-tahun mendatang akan memberi kehormatan besar bagi nama salesian di Belgia.
Menyadari bahwa Belgia adalah negara yang sangat sensitifnya terhadap kemajuan sosial, ia membuat itu misi khususnya untuk mengunjungi setiap pimpinan pusat-pusat, yang mana besar sekali rasa puasnya setelah mendengar pekerjaan anak-anaknya, yang mendapat pujian dari para pemimpin, baik gereja maupun negara. Karena semangat dan cintanya kepada Belgia, dalam sebuah pidatonya istana negara ia menyatakan,” Belgia adalah sebuah negara di mana orang mencintai dengan jalan yang baik, semua yang datang dari, dan semua yang menuju kepada Allah Yang MahaKuasa.”
Setelah itu ia ke Paris di mana Kardinal Rickard, yang saat itu sedang keluar kota, terburu-buru pulang untuk menjumpainya. Pada sebuah perjamuan untuk menghormati Don Rua, panitia Para Sahabat Salesian menyatakan kepadanya bahwa dalam dirinya mereka melihat dan mencintai Don Bosco dan meyakinkan bahwa mereka akan melanjutkan dukungan mereka. Diikuti oleh kunjungan-kunjungan lain ke pusat-pusat penting lainnya, di antaranya Paray-le-Monial, di mana ia mempersembahkan misa suci di altar gereja Hati Tersuci dan Cluny, tempat monastic yang besar di mana ia ditawarkan sebuah fondasi baru. Setelah semalam perjalanan dengan kereta api ia tiba di oratori pagi berikutnya, tanggal 30 Mei, masih sempat untuk merayakan Pesta Maria Penolong Umat Kritiani yang ditunda.
Apa hasil dari semua perjalanan ini? Apa kesan yang ia peroleh – dan ia tinggalkan? Apa rencana untuk masa depan yang ia canangkan setelah semuanya ini dialami?
Dalam sebuah konferensi yang ia berikan kepada para kooperator oratori, setelah merujuk pada perkembangan yang membesarkan hati yang ia amati dari pekerjaan para salesian secara umum di negara-negara yang berbeda yang telah ia kunjungi, ia menyatakan, “Saya telah melihat kemiskinan di mana-mana, saya juga telah menyaksikan semangat yang baik, banyak pekerjaan dengan hasil-hasil yang menghibur. Ribuan anak miskin datang kepada kami setiap tahun diselamatkan dari bahaya di jalan-jalan, diajar hidup jujur dan diubah menjadi warga masyarakat yang baik. Ratusan salesian setiap tahun memberikan secara total waktu, bakat, dan tenaga mereka kepada Gereja demi keselamatan jiwa-jiwa. Saya tidak perlu menyebutkan tentang Misi, di mana dalam dua bulan kami telah membuka 6 rumah baru, ataupun tentang permintaan-permintaan yang telah kami peroleh dari banyak negara untuk fondasi baru. Saya hanya akan berkata ini: “Kami membutuhkan bantuan doa-doamu, sehingga tuan dari kebun anggur mengirim lebih banyak pekerja dan lebih banyak sarana untuk mengurus pekerjaan yang kita miliki.”
Ada beberapa hal lain yang dihasilkan dari seluruh perjalanannya ini, kunjungannya kepada orang-orang yang belum pernah dikenalnya. Ini dinyatakan oleh orang-orang yang menyertainya. Menilai menurut apa yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri, mereka dapat menyimpulkan: Don Rua telah membuktikan dirinya menjadi pengganti Don Bosco yang pantas!
Selama perjalanan-perjalanan ini, lewat doa-doanya, berkat-berkatnya, ia mendatangkan banyak sekali rahmat, kemurahan hati dan penyembuhan kepada mereka yang telah disebutkan. Beberapa dari mereka, bagaimanapun, begitu luar biasa sehingga dapat dianggap sebagai mukjizat. Hanyalah mungkin untuk menunjukkan contoh yang paling terkenal. Secara karakteristik, ia selalu menurunkan peranannya dalam hal itu.
Suatu kejadian sebagai contoh, sementara berbicara dengan Pastor Louis Versiglia – martir masa depan di Cina – ia menyatakan bahwa pada saat ini sebuah rahmat besar telah diperoleh dengan perantaraan Don Bosco. Sadar akan kekuatan doa-doa pribadi Don Rua, dan pada saat yang sama juga kerendahan hatinya, Pastor Versiglia bertanya kepadanya secara rahasia, apakah ada beberapa rahmat yang diperolehnya lewat doa-doa dan berkat-berkatnya (Don Rua).*
“Ya, hal itu terjadi,” jawab Don Rua. Tetapi ia tidak melanjutkan cerita.
Yang lain, dengan keingin tahuan besar, mendesak untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
“Belum lama beberapa waktu yang lalu,” kata Don Rua, “mereka datang kepada saya untuk meminta memberkati seorang wanita miskin – yang telah amat menderita selama bertahun-tahun. Untuk membuat mereka bahagia saya memberkatinya.”
“Dan apakah ia segera sembuh?”
Don Rua melihatnya beberapa saat, kemudian tersenyum dengan cara khasnya. “Tidak,” katanya, “ia meninggal 15 menit kemudian!”
Kejadian yang sebenarnya adalah bahwa ibu Evasina Gilardini dari Massaza, satu tahun setelah pernikahannya tahun 1898, ia diserang oleh suatu komplikasi yang menyebabkan ia kehilangan baik penglihatannya maupun kemampuannya untuk berbicara. Juga kemampuannya untuk makan secara normal.
Tahun 1903 orang tuanya mengundang Don Rua untuk mengunjunginya. Ketika ia pergi melihatnya ia sangat tersentuh melihat kondisinya dan terheran ketika mengetahui bahwa ia kelihatan seperti berumur 60 tahunan, padahal ia baru berusia 31 tahun.
“Anakku,” ia menghiburnya, “anda pasti akan mendapat tempat yang mengagumkan di surga!”
Ia bertanya jikalau ia ingin mengaku dosa.
Ia menanyakan siapa yang ada di sana dan ketika dikatakan bahwa itu adalah Don Rua – “Seorang Santo” - ia menyetujuinya.
Don Rua kemudian memberinya absolusi dan berkat Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Setelah beberapa kata hiburan ia tertidur. Beberapa menit kemudian wanita malang itu, tanpa menderita lebih banyak lagi, meninggal dunia.
Sr. Marietta Sorbone dari Nizza Monferrato memberi kesaksian sebagai berikut:
Saya menderita penyakit bisul gangren di perut dan lebih dari 40 hari tidak bisa bergerak di tempat tidur, tidak dapat makan dan menderita akibat muntah yang terus-menerus. Mereka telah siap memberi saya ucapan terakhir dan saya sedang menunggu kedatangan malaikat kematian ketika saya mendengar bahwa pada pagi itu tanggal 14 Desember 1890, Don Rua berada di rumah sakit itu. Ia datang untuk mendengar pengakuan dosa saya.
“Cium relik Don Bosco yang anda miliki di leher anda,” ia mengatakan kepada saya, “dan mintalah kepadanya untuk sebuah kesembuhan.” Kemudian ia memberkati saya dan menyuruh saya untuk membuat kaul kekalku.
Saya sudah hampir masuk ke rasa menderita. Di sekitar tempat tidurku berdiri Muder General dan beberapa suster yang lain, yang mengucapkan untukku kata-kata formula kaul kekal, sementara Don Rua meletakkan sebuah karangan bunga untuk yang mengucapkan kaul kekal di atas kepala saya.
“Beranilah,” ia mengatakan kepada saya. “Saya ingin agar anda hidup sebanyak tahun sesuai jumlah mawar yang ada di mahkota itu. Ini seharusnya menjadi waktu terakhirmu, tetapi Don Bosco membutuhkan keajaiban untuk proses beatifikasinya. Ini akan menjadi salah satu di antaranya. Anda akan hidup. Anda akan terobati: tidak sepenuhnya, karena anda akan selalu mempunyai beberapa penyakit ringan, tetapi anda masih mampu melaksanakan banyak hal yang baik.”
Kemudian ia memberkatiku lagi dan menyuruh saya mencium relik Don Bosco.
Sebelum ia berangkat, ia berpaling kepada saya. “Mukjizat ini,” katanya. “akan anda tulis dengan tangan anda sendiri. Dengan cara itu anda dapat menghormati Don Bosco.”
Orang baik tersebut belum selesai menuruni tangga ketika saya sudah mulai merasa sesuatu terjadi dalam diri saya. Tiba-tiba saya berpaling kepada salah seorang suster, “Sr. Angiolina,” kataku, “saya lapar!” Sudah 40 hari sejak mereka memberi saya sesuatu untuk dimakan.
“Sr. Marietta yang malang!” itu adalah komentar mereka. Dengan air mata di mata, mereka berbisik satu dengan yang lain, “Hidupnya sedang di saat-saat terakhir.” Walaupun demikian, untuk membuat saya bahagia mereka memberi saya sesuatu untuk dimakan.
Setengah jam kemudian saya berkata kepada mereka, “Saya lapar lagi!”…
Sebelum malam tiba, saya telah makan tidak kurang dari 7 kali dan saya merasa kekuatan saya mulai pulih. Saya menyuruh mereka membawa pakaianku karena saya ingin bangun tetapi mereka tidak memperkenankannya. Sementara itu mereka berbisik-bisik, “Ia kelihatannya mendekati akhir.” Saya dapat merasakan kehidupan mengalir melewati urat-urat darahku. Akhirnya saya menyuruh mereka pergi dari samping tempat tidurku dan saya bangun sendiri. Kemudian barulah mereka mengerti.
“Sebuah mukjizat! Sebuah mukjizat!” Kata itu memenuhi seluruh rumah.
Tanpa bantuan, saya menuruni tangga-tangga dan menyerbu masuk ke dalam ruangan di mana Kapitel Umum sedang berlangsung dengan Don Rua dan Direktur Spiritual, Pastor Bretto. Dikuasai oleh emosi, saya menjatuhkan diri ke kaki Don Rua.
“Saya sembuh!” seruku. “Tolong beri saya berkatmu.”
“Jangan konyol” kata Don Rua. “Bangun dan pergi ke gereja untuk berterima kasih kepada Bunda Maria dan Don Bosco. Setelah itu, anda akan pergi dan beristirahat, berpakaian lengkap di tempat tidur. Kemudian saya akan mengunjungimu.”
Pagi berikutnya dokter datang. Ia telah berkata kepada superior bahwa saya tidak akan hidup malam itu. Yakin bahwa saya telah meninggal, ia bertanya kepada suster perawat, jika saya masih hidup.
“Hidup dan sembuh,” kata suster itu. “ Dan berlari mengelilingi rumah!”
Ia tidak percaya satu kata pun sampai suster itu memanggil saya.
“Dokter,” kataku kepadanya. “Saya sembuh.”
Hampir tidak dapat percaya baik yang dilihat maupun yang didengarnya, ia nampak terharu. Ia kemudian menandatangani sebuah surat pernyataan untuk menyatakan bahwa kesehatan saya baik.
Hari berikutnya saya menjalankan tugas saya sebagai guru di Bordighera.
Kisah itu tidak berakhir di sini. Don Rua telah menyatakan dua hal penting. Pertama: bahwa ia akan selalu menderita, dan ia benar-benar menderita: Kedua, bahwa ia akan hidup selama tahun-tahun masih ada mawar-mawar di mahkotanya. Tentu saja, suster itu terus mengingat hal itu dan ketika tahun itu mendekat, dengan sedih dan penuh dengan ketakutan, ia pergi untuk mengunjungi Don Rua.
“Saya sungguh memahami bahwa anda merasa takut,” katanya. “Karena tanggal itu akan datang sebentar lagi, anda memang seharusnya gemetar. Bagaimanapun juga, jika anda berjanji bekerja untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan anak-anak yang dipercayakan kepadamu, saya akan berdoa kepada Tuhan untuk menggandakan jumlah itu, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi pahamilah bahwa hidupmu tidak lagi menjadi milikmu. Hidupmu akan menjadi milik Allah dan jiwa-jiwa.” Setelah itu, setiap kali Don Rua bertemu dengannya, ia memanggilnya: “Suster Mukjizat.”
Suster Angiolina Noli, Direktur rumah peristirahatan di Giaverno, yang dijalankan oleh suster-suster salesian, menulis bahwa Don Rua pernah sekali tinggal di Giaverno dari tanggal 12-15 Juli 1906, untuk mengambil surat yang bertumpuk-tumpuk sementara ia melakukan perjalanan. Untuk membantunya, ia membawa serta dengan Pastor Fassio dan Pastor Valle.
Suster-suster itu baru saja selesai merenovasi rumah peristirahatan itu dan mereka mengundang Don Rua untuk datang dan memberkatinya. Ia menerima dan memberkati juga sebuah gambar baru St. Aloysius Gonzaga, yang pestanya mereka rayakan. Kemudian memberikan kotbah tentang mujizat perbanyakan roti, membandingkan itu dengan perkembangan anak-anak perempuan di sekolah-sekolah Suster-suster.
“Jumlah orang yang hadir menerima komuni kudus sangat banyak,” katanya. Tetapi koster, seperti biasanya, telah mempersiapkan hosti hanya satu sibori kecil. Ketika kami mengetahui ini kami sangat gelisah karena kami yakin tidak akan cukup bagi setiap orang walaupun dipecah-pecah. Tetapi Don Rua terus membagikan hosti jauh lebih banyak dari jumlah yang ada di dalam sibori. Hal ini membuat heran kami dan juga Pastor Fassio dan Pastor Valle.
Setelah selesai Don Rua hanya berkata, “sibori itu agak kecil, ya kan?”
Sesudah itu, sebuah kisah yang tidak biasa muncul tentang peristiwa itu, yang para saksi bersikeras bahwa terjadi “Perbanyakan Hosti.” Pastor Valle berkata bahwa untuk menutupi kebingungannya, Don Rua setelah misa mulai berbicara dengan tidak jelas, tentang apa yang dialaminya bertahun-tahun yang lalu di rumah peristirahatan yang sama.
Giulina Carena tinggal di rumah itu, harus berada di tempat tidur karena lumpuh. Asisten dari Dr. Pescarolo dan Dr. Pesci di rumah sakit St. Johanes telah mengatakan bahwa ia tidak dapat hidup. Ia menerima sakramen pengurapan orang sakit.
Pada saat ini, seorang sepupunya datang dan mengatakan kepadanya bahwa sejak tak ada harapan apapun untuknya, ia harus mengikuti perintah-perintahnya. Sepupu ini lalu pergi dan mengundang Don Rua mengunjungi perempuan yang sakit itu. Ia segera menyetujuinya. Ketika ia masuk ke kamar orang sakit itu, sepupu tersebut secara cepat mengunci pintu!
“Ketika ia datang ke tempat tidurku,” kata Giulia, “ Saya menyatakan ingin mengaku dosa kepadanya, dan ketika selesai, saya berkata kepadanya, ‘Bapa, pintu kamar saya terkunci dan anda tidak akan bisa keluar sampai anda menyembuhkan saya secara total!’”
“Pertama-tama ia mengagumi besarnya kepercayaan saya kepadanya, kemudian ia mulai tertawa. Setelah itu, ia mengangkat tangannya dan memberi saya berkat Maria Penolong Umat Kristiani.” “Sekarang,” katanya, “saya akan pergi ke kamar suamimu dan anda akan bangun dan berjalan. Besok anda akan ke Gereja dan menerima komuni kudus dengan penuh rasa syukur.”
“Itulah yang secara persis terjadi dan setelah komuni kudus saya pergi ke sakristi di mana mereka memberi saya sarapan yang baik.”
“Hari berikutnya Dr. Pesci datang untuk memastikan apakah saya masih hidup. Ketika ia melihat saya sembuh total, ia sangat terkejut. ‘ Jika saya memanggil semua dokter di Eropa,’ katanya, ‘mereka akan berkata bahwa anda tidak dapat sembuh. Namun sebaliknya, yang terkenal, “Doktor Rua”, sebagai seorang kudus, telah menyembuhkan anda dengan sekejap.”
“‘Dokter,’ suamiku berkata kepadanya, ‘maukah anda membuat sebuah pernyataan bahwa istriku telah mengalami penyembuhan secara ajaib?’”
“‘Apa?’ jawab dokter itu. ‘Memberi kesaksian yang menyatakan bahwa ketika ada seorang sakit yang meninggal adalah saya, dokter, yang membunuh mereka, sementara jika mereka sembuh, itu adalah Bunda Maria yang menyembuhkan mereka? Tidak akan pernah!’”
Terakhir kali Don Rua berada di Casetra adalah pada bulan November 1908, tulis Pe. Peter Squarzon, yang pada saat itu adalah seorang katekis muda di sekolah tersebut. Mereka menyambutnya dengan demonstrasi-demonstrasi rasa hormat dan kasih sayang. Ia seperti dikelilingi hawa kekudusan dan dengan tersenyum, kebaikan seorang bapa yang sangat membuat banyak orang kagum, tidak cuma komunitas dan anak-anak tetapi bahkan orang-orang luar. Ia menerima dengan senang hati undangan kita untuk merayakan misa untuk pagi berikutnya.
Persiapan-persiapan untuk misa dan bimbingan kepada anak-anak, telah menarik perhatian katekis itu, sehingga ia belum memperhatikan apakah ada cukup hosti di tabernakel untuk lebih dari 200 orang. Pada saat komuni, ia mengenakan surplice dan stola, pergi membantu Don Rua, dan baru pada saat itulah ia mengetahui dengan cemas bahwa hanya ada kira-kira 12 hosti saja di dalam sibori.
Ia segera pergi terburu-buru dengan dua pembawa lilin ke gereja umum tapi diberitahu bahwa tidak ada cukup hosti bahkan untuk para anggota konggregasi saja. Tidaklah sulit untuk memahami bagaimana perasaannya ketika ia kembali ke samping Don Rua.
Namun, dengan terkesima, ia melihat Don Rua, tanpa memecahkan satu pun hosti, membagikan komuni kepada lebih dari 200 salesian, anak-anak dan teman-teman. Ketika pembagian selesai, sebelum meletakkan sibori tersebut, ia melihat ke dalam dan menemukan kira-kira selusin hosti! Ketika ia menyadari apa yang terjadi, ia hampir tidak dapat menahan dirinya dan mencapai sakristi ia menangis. Anak-anak kemudian ingin untuk mengetahui apa persoalannya, sehingga ia harus mengatakan kepada mereka apa yang telah ia saksikan.
Kemudian di meja, ketika ia mencoba mengangkat masalah itu dengan Don Rua, dengan tersenyum Don Rua mengatakan kepadanya untuk diam saja, dan dengan cepat mengubah topik pembicaraan.
Bab 9
Tahun 1895 adalah suatu masa cobaan khusus bagi Don Rua. Ada banyak kejadian-kejadian, ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, bahkan ada yang tragis, yang terjadi dalam jangka waktu yang berdekatan, dan sangat berpengaruh terhadap kesehatannya sehingga kejadian-kejadian ittu pantas dicatat tersendiri.
Pertama dari semuanya itu, mungkin salah satu kejadian yang paling penting dari kejadian-kejadian itu adalah terjadi saat tahun-tahun ia menjabat sebagai Rektor Mayor, satu satu saat tertinggi dari karirnya, adalah Kongres Para Koperator di Bologna.
Alasan lain dari perayaan itu di antara para Salesian pada tahun itu adalah terpilihnya Pastor James Costamagna sebagai Vicar Apostolic di Mendez dan Gualaquiza di Ekuador. Pastor Costamagna telah bekerja lebih dari dua puluh tahun di Argentina. Hal itulah yang membuat ketiga Salesian itu sekarang sangat dihormati oleh Tahta Suci dan masa itu menjadi suatu peristiwa yang sangat penting. Karena serikat yang muda ini dipercayai untuk sebuah wilayah misi yang luas dan penting dan alasan yang lain adalah salah seorang anggota mereka diangkat menjadi uskup menambah besarnya kedudukan mereka serikat religius lainnya. Singkatnya, hal itu adalah tanda penghargaan yang paling pasti dari kepercayaan Tahta Suci kepada mereka. Uskup Costamagna dikonsekrasikan di Basilika Maria penolong umat Kristiani, 23 Mei 1859. Adalah dia yan , dalam kekagumannya kepada Don Rua suatu kali menyatakan, “Kesucian dari orang ini menakutkan saya!”
Pada tahun itu juga, Don Rua terus menerus mendorong kemajuan kasus beatifikasi Don Bosco secepat mungkin. Hal ini bukan berarti bahwa urusan itu akan segera melewati tingkat keuskupan. Apakah ini karena kurangnya perhatian atau kerjasama dengan orang-orang yang berkepentingan dalam hal ini? Bukan berarti begitu. Hal ini secara sederhana karena fakta bahwa Don Bosco telah menempuh hidup yang penuh aktifitas, telah banyak melakukan perjalanan kemana-mana, telah menulis banyak buku, bermimpi mimpi-mimpi yang bisa dikatakan suatu pengelihatan ilahi, telah melakukan banyak hal, beberapa diantaranya dapat dikatakan keajaiban oleh mereka yang langsung memperhatikan – semua bahan ini, cukup besar untuk membuat putus asa hati yang perkasa, harus diuji dengan seksama, memberikan kesaksian di bawah sumpah, memcatat, menyalin… setiap orang mengerti dari permulaan bahwa proses di keuskupan untuk masalah ini akan menjadi suatu tugas yang tidak mudah. Namun, apa yang menyenangkan Don Rua adalah cara mereka melakukan pekerjaan mereka dan semangat cinta kepada Don Bosco yang mengilhami mereka.
Jika beberapa kejadian-kejadian ini sudah cukup untuk mengembirakan hati Don Rua, ada juga kejadian-kejadian lain yang mengisi hatinya dengan penderitaan. Salah satunya adalah kejadian tragis di Brasil.
Uskup Louis Lasagna baru saja menyelesaikan kotbahnya di sebuah misi tanggal 5 November di Brasil dan dalam perjalanannya dengan kereta api bersama sekretarisnya, lima salesian yang lain, delapan suster dan seorang ibu donatur, untuk pergi membuka sebuah sekolah pertanian baru, dan dua gadis lain yang masih sekolah. Mereka mengadakan perjalanan dengan kereta khusus yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah. Mereka mendekati stasiun Juiz de Flora, ketika itu dengan tiba-tiba dari jurusan yang berlawanan datang dengan tiba-tiba sebuah kereta pengangkut besar. Pengemudi kereta mereka mencoba berhenti tetapi tidak dapat dan kereta pengangkut itu maju terus, menabrak depan mereka, kedua mesin hancur berkeping-keping. Kereta yang di depan berjalan mundur menabrak kereta yang dipakai para salesian, menabrak mereka yang di kamar pertama dan kedua, dan berhenti di kamar ketiga dimana salesian yang lain duduk. Dua jam lamanya sebelum mereka dapat mengenal tubuh dari uskup, sekretarisnya dan empat suster.
Ketika Don Rua menerima berita lewat telegram tentang bencana ini, ia sedang berada di Foglizzo memimpin upacara untuk seratus empat puluh novis. Setelah perayaan itu, para novis berkumpul mengitari Don Rua yang tersenyum, yang mempunyai alasan yang baik untuk berbahagia melihat semua anak muda yang masuk serikat. Ketika seorang pastor mengirim berita kepadanya lewat telegram, ia membacanya dengan hening. Wajahnya yang tersenyum kini hilang, ia kembali menjadi serius; ia mengangkat matanya ke langit dan dengan gerakan tubuh yang khas ia membuat tanda salib.
“Dominus dedit, Dominus abstulit, sit nomen Domini benedictum,” ia berkata. “Tuhan yang memberi dan Tuhan pula yang mengambilnya. Terpujilah nama Tuhan.”
Pastor Michael Unia, waktu itu seorang misionaris di Kolombia, menjadi sibuk dengan keadaan yang memprihatinkan dari para penyandang penyakit kusta di Aqua de Dios. Mereka hidup dalam kesengsaraan, sebagian besar dari mereka ditelantarkan oleh pihak penguasa, dan dilupakan oleh sahabat dan teman-teman mereka. Pada waktu itu sangat sedikit yang mengetahui tentang penyakit ini dan cara yang baik untuk mengobatinya dan pengobatan terbaik yang dipikirkan adalah memisahkan mereka dari orang-orang lainnya. Penuh kemurahan hati dan semangat kerasulan, pastor Unia, pada tahun 1891, meminta izin untuk memberikan sisa hidupnya untuk memperhatikan mereka-mereka yang malang ini, baik segi spiritual dan material. Tentu saja, pikiran pertamanya adalah untuk memperbaiki kesejahteraan material mereka, untuk suatu alasan yang sederhana bahwa ia merasa bahwa tidaklah cukup berbicara kepada mereka tentang kebaikan agama atau kebaikan Tuhan jika pertama-tama ia tidak dapat menunjukkan kepada mereka buktu nyata tentang keduanya.
Sama saudaranya dan bahkan superiornya, memintanya supaya jangan mengerjakan sesuatu. Bahkan kadang-kadang meragukan bahwa ia berpikiran sehat. Dia telah diminta oleh Don Rua untuk pergi ke Mexico. Ketika ia menerima perintah ketaatan ini, ia tidak dapat menahan kesedihannya dan di dalam surat balasan kepada Don Rua, dijelaskannya bahwa ia siap untuk mentaati tetapi bahwa ia lebih suka kalau diperkenankan untuk bekerja dengan orang-orang yang berpenyakit kusta, menunjukkan bahwa dari semua orang yang dilayani semua salesian di misi-misi, merekalah yang paling membutuhkan bantuan itu.
Tersentuh oleh semangat pengabdiannya yang tinggi, Don Rua kemudian mengirim kepadanya surat yang lain dimana dia tidak hanya mengizinkan Pastor Unia untuk tinggal di antara orang-orang kustanya, tetapi bahkan mengirimkan sebuah surat untuk para penderita kusta itu sendiri, meyakinkan mereka akan simpati dan doanya.
Pastor Unia bertahan hidup hanya empat tahun di Aqua de Dios sebelum kesehatannya mulai melemah. Tetapi selama waktu itu dia mampu memberikan harapan untuk orang-orang miskin. Ia mendirikan sebuah gereja dan sebuah rumah sakit bagi mereka, dan lewat sebuah sistem kanal sungai, memberi mereka sesuatu yang sangat penting yaitu suplai air bersih. Lebih dari itu bahwa, ia menarik perhatian negara akan keadaan mereka. Bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan kalau dikatakan bahwa jika saat ini sikap pemerintah dan rakyat terhadap penyakit kusta dan para penderita penyakit kusta telah dibalikan, hal ini sebagian besar karena usaha dari Pastor Michael Unia.
Pada tahun 1893, setelah ada gangguan terhadap kesehatannya, ia terpaksa kembali ke daerah asalnya Italia. Tetapi ketika ia merasa culup sehat ia kembali kepada mereka yang selalu ia panggil “teman-teman kesayangannya, saudara dan saudarinya”. Mereka juga balas memanggilnya “bapak tercinta mereka”, “malaikat pelindung mereka”. Namn, ketika kembali ke Aqua de Dios, bagaimanapun ia tidak dapat mengembalikan kondisi kekuatannya dan menjadi begitu sakit sehingga pada tahun 1895, karena kompikasi beberapa penyakit, ia telah mencapai batas kekuatannya. Para dokter berpesan kepadanya untuk pergi ke Bogota untuk berobat. Kondisinya agak membaik di Bogota tetapi sejak para dokter memastikan bahwa kembalinya ke perkampungan pasti akan menjadi fatal baginya, Don Rua memanggilnya kembai ke Italia untuk beristirahat total dan berobat. Ia tiba di Oratori pada tanggal 3 Desember tepat pada saat dapat membantu melayani pemakaman Uskup Lasagna dan teman-temannya. Dia merasa tidak enak dalam perayaan misa pada tangggal 7 Desember, dan pada tanggal 9 Desember, setelah kunjungan dari Don Rua, ia meninggal dunia.
Kenangan akan putera Don Bosco yang sederhana ini tidak akan terlupakan. Para penderita kusta di Aqua de Dios yang kepada mereka ia telah berbuat begitu banyak, mendesak agar sebuah piagam tanda peringatan yang terbuat dari marmer dipasang di atas kuburannya dengan kata-kata,
Para penderita kusta di Aqua de Dios di Columbia, untuk yang tak terlupakan Pastor Michael Unia, Salesian.
Selain itu, pemerintah Colombia memutuskan pada tanggal 11 Desember 1896 bahwa sebuah lukisan dan sebuah patung marmer akan dibuat sebagai tanda penghormatan baginya, yang sebelumnya menurut rencana akan dipasang di ibukota, tetapi kemudian didirikan di jalan masuk ke Aqua de Dios. Akhirnya, Bapa suci menyampaikan penyesalannya akan kematian pastor Unia, dan beliau mengirim sebuah berkat khusus untuk para salesian.
Hidup Salesian dari Pastor Dalmazzo yang panjang dimulai dengan sebuah kejadian yang ia saksikan ketika Don Bosco sedang mendengarkan pengakuan dosanya. Ia telah memutuskan bahwa ini akan menjadi hari terakhirnya sebagai anak oratori. Pada waktu pengakuan, ia mendengar seseorang berbisik kepada Don Bosco bahwa tukang roti menolak untuk mengantar roti lagi. Don Bosco kelihatannya sudah terlalu banyak mengutang kepada tukang roti itu.
Kemudian pagi itu juga, dengan matanya sendiri ia melihat bagaimana Don Bosco menyelesaikan keadaan yang memalukan ini dengan melipatgandakan roti yang ia berikan sendiri kepada anak-anak.
Segera ia mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia tidak mau meninggalkan oratori mulai saat itu sampai kapan pun. Nama Pastor Dalmazzo begitu sering muncul di buku riwayat hidup Santo Yohanes Bosco. Pada akhirnya ia menjadi Rektor Universitas Valsalice, pendiri rumah salesian di London, pastor paroki St. Yohanes penginjil di Turin, Procurator Salesian di Roma, dan terakhir atas permintaan uskup, menjadi rektor seminari tinggi di Catanzaro, Calabria.
Uskup memerlukan seseorang yang mempu untuk memberikan bimbingan yang baru dan baik kepada para seminari yang kedisiplinannya sudah menurun. Pastor Dalmazzo bukanlah seseorang yang tidak dapat mengambil keputusan yang sulit ataupun langkah yang ia pikir adalah tugasnya. Konsekuensinya, ia harus mempertahankan sikap pendiriannya untuk menegakkan kembali peraturan yang diinginkan oleh uskup.
Ketika tiba waktunya untuk pentahbisan pastor, pada hari minggu Tritunggal Maha Kudus 1895, ia turut memberikan suara dalam pemilihan kepada orang-orang yang menurut pertimbangannya pantas dan cukup siap untuk ditahbiskan pastor. Pada seorang pelajar, ia memutuskan, setelah mempertimbangkan secara matang dan konsultasi dengan superior-superior yang lain, karena itu adalah tugasnya, jika tidak menolaknya mentah-mentah, sekurang-kurangnya menundanya untuk satu periode lagi pembinaan. Oleh karena itu, ia menasehati frater itu supaya tahbisannya ditunda.
Ketika mengetahui hal ini, frater tersebut meminta wawancara dengan uskup yang menyetujui permintaannya. Ketika frater itu berada di kamar uskup ia menjadi sangat marah dan mulai bertindak liar seolah-olah bukan seminaris, menuduh uskup, pastor Dalmazzo, dan orang-orang yang lain telah memperlakukan dia secara tidak adil, memfitnahnya…
Pada saat mendengar keributan ini, pastor Dalmazzo, menjadi takut kalau frater tersebut akan berbuat jahat kepada uskup atau membuat skandal yang memalukan, masuk cepat-cepat ke dalam kantor itu.
Baru saja ia muncul, frater itu, ketika melihatnya menjadi kehilangan kontrol diri.
“Itu dia!” teriak frater itu. “Dialah yang menyebabkan kesusahan saya !”
Bersamaan dengan itu dia menarik sebuah pistol dan menembakkan beberapa tembakan kepada pastor Dalmazzo, yang jatuh ke lantai yang penuh dengan darah.
Dengan cepat-cepat pastor Dalmazzo dibawa ke kamarnya, lalu diperiksa oleh dokter. Beberapa orang berharap bahwa ia akan dapat tertolong karena dilihat dari lukanya, peluru menembus melewati rahang ke kerongkongan, merusak tali suara – bahwa ia hanya akan kehilangan suaranya. Tetapi tidaklah terjadi demikian. Tiba-tiba terjadi pendarahan yang mengakhiri hidupnya.
Sebulan berikutnya Don Rua kehilangan salah seorang asistennya yang berharga, Pastor Anthonius yang sudah tiga belas tahun menjadi Ekonomer Generalnya. Ia sangat membantu dalam pembangunan gereja St. Yohanes Penginjil, gereja Hati Kudus di Roma, dan dalam perbaikan gereja Basilika Maria Penolong Umat Kristiani.
Pada tahun itu juga, Don Rua memanggil Mother Superior dan mengatakan kepadanya bahwa para pekerja di oratori menceritakan kepadanya bahwa bukan hanya sekali tetapi sudah beberapa kali mereka menemukan sepotong daging besar dibuang di bak sampah. Melihat bahwa Don Rua sangat terpengaruh oleh hal ini, ia mencoba menjelaskan masalah ini dengan mengatakan mungkin mereka yang melebih-lebihkan, bahwa hal itu kelihatannya tidaklah mungkin terjadi di antara suster-suster.
Don Rua membiarkan suster berbicara. Akhirnya ia membungkuk dan membuka sebuah laci di mejanya, mengambil sebuah piring yang di dalamnya ada sepotong daging besar, utuh tak tersentuh. Suster itu kemudian menyimpulkan bahwa mungkin ditinggalkan oleh seseorang yang sakit yang tidak bisa memakannya. Bagaimanapun makanan itu harus dibuang juga.
“Kalau demikian mereka harus menyediakannya dengan porsi lebih sedikit.” jawab Don Rua. “Kita seharusnya tidak boleh menyia-nyiakan rahmat Tuhan! Lihat, hari-hari terakhir ini sebuah keluarga yang dipercaya mengatakan kepada saya, mereka ingin untuk mendeposito tiga ribu Lire di bank, lire yang mereka kumpulkan dengan susah payah. Namun sebaliknya, mereka memutuskan, untuk disimpan di bank Don Bosco dimana kita dapat memperoleh bunga dari itu. Tetapi kita membuang barang-barang dengan begitu gampang. Saya sangat khawatir, Muder, bahwa karena hal ini Penyelenggaraan Ilahi suatu saat akan meninggalkan kita tanpa kebutuhan hidup yang paling dasar sekalipun!”
Ia tidak kuatir secara berlebihan, karena sepanjang tahun itu sumbangan menurun cukup banyak. Dalam sebuah surat untuk para koperator, tertanggal 1 Januari, ia menulis begitu jelas berapa banyak ia gelisah dengan situasi yang berbahaya ini. “Bukan tugas saya untuk menyelidiki sebab-sebab berkurangnya sumbangan. Saya hanya dapat memberitahukan fakta yang menyedihkan, bahwa selama tahun 1895 sumbangan menurun begitu banyak. Karena hal itulah, hanya dengan kesulitan besar kami dapar menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan kita yang tidak mempunyai sumber bantuan lain selain dari kemurahan hati para benefaktor-benefaktor kami.”
Tetapi imannya akan bantuan Penyelenggaraan Ilahi tidak berkurang sedikitpun. Sebagai bukti nyata bahwa walaupun malapetaka yang menyebabkan hilangnya manusia maupun harta, pada tahun itu ia melihat pembukaan rumah-rumah baru lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Ia juga menyaksikan keberangkatan ekspedisi misionaris terbesar: delapan puluh tujuh salesian dan dua puluh suster salesian. Pada tahun berikutnya, setelah mengedarkan permohonan untuk mendapatkan dana pada tahun baru, sumbangan mulai masuk kembali ke oratori seperti sebelumnya.
Berkenaan dengan berlanjutnya permohonan untuk bantuan bagi karya Salesian dan untuk Misi, Cardinal Riccardi, uskup Agung Turin, telah mengatakan ini atas oratori dan kepada karya sosial besar lainnya, Institut Cottolengo: “Masing-masing mempunyai karisma sendiri untuk dipertahankan. Cottolengo tak pernah meminta penyelenggaraan ilahi untuk bantuan apapun. Ia percaya bahwa penyelenggaraan Tuhan akan mengirim kepadanya semua yang ia butuhkan dan hal itu selalu terjadi. Sebaliknya, Don Bosco selalu bersemangat untuk mencari pertolongan dari kemurahan hati para dermawan. Tetapi terkutuklah Don Bosco jika pernah mencoba sistim dari Cottolengo! – dan terkutuklah Cottolengo jika pernah mencoba sistim dari Don Bosco!”
Pada tanggal 5 Januari 1898, Don Rua mengirim kepada rumah-rumah sebuah surat edaran tahunan dimana ia memberitahukan bahwa, selama musim panas yang akan datang, akan diadakan Kapitel Umum konggregasi yang kedelapan. Ia menjelaskan, salah satu hal yang akan dibicarakan di kapitel itu adalah pemilihan jabatan dewan superior. Tentu saja hal ini tidak mengagetkan orang; semua hal ini biasa dan sudah diduga. Apa yang sama sekali tidak rutin atau terduga adalah apa yang terjadi selanjutnya: ada juga pemilihan rektor mayor! ini benar-benar tak terduga kerena dengan keputusan dari Tahta Suci tanggal 11 Februari 1888, Don Rua telah terpilih menjabat sebagai Rektor Mayor untuk periode dua belas tahun dan baru sepuluh tahun dari masa jabatannya habis.
Namun, ia mulai menjelaskan, karena pada Kapitel Umum telah ada pertemuan secara rutin dan semua anggota dari dewan superior, para provinsial dan para rektor akan hadir di Turin pada waktu itu, tidaklah masuk akal meminta mereka datang lagi dua tahun kemudian hanya untuk memilih Superior General yang baru. Oleh karena itu, ia telah meminta izin dari Tahtah Suci untuk mengadakan juga pemilihan Rektor Mayor.
Selama ini Don Rua telah menaati perintah dari Tahta Suci yang tampak dengan jelas pada suratnya kepada procurator Salesian di Roma. Ia meminta procurator untuk menyelidiki lebih dahulu dari Bapa Suci tentang apa pendapatnya terhadap pemilihan Rektor Mayor. Tetapi seandainya procurator mengerti hal itu tidak pantas untuk menanyakan hal itu, bahwa itu dapat menyebabkan macam-macam ketidaknyamanan, kemudian procurator dapat mengunakan kebijaksanaannya sendiri atau membiarkan masalahnya berhenti sama sekali.
Pastor Caesar Cagliero, Procurator dan sepupu dari Uskup Cagliero, berpikir bahwa masalah itu pantas untuk ditanyakan dan hasilnya bahwa Tahta Suci memberi izin untuk dilangsungkannya pemilihan.
Retret untuk anggota-anggota dari Kapitel Umum selesai pada sore hari tanggal 29 Agustus, di pemakaman Don Bosco di Valsalice, dan Kapitel Umum dinyatakan dibuka. Don Rua dibantu oleh dua uskup Salesian, Cagliero dan Costamagna, memimpin acara peresmian pembukaan tersebut. Yang hadir pada waktu itu, dengan dua pengecualian, semua provinsial, dan hampir semua rektor di eropa dan Amerika.
Don Rua memulai Kapitel itu dengan mengingatkan mereka bahwa dengan izin dari Tanah Suci semua anggota dewan superior dan rektor mayor akan dipilih, dan Bapa Suci telah mengirim berkatnya untuk pertemuan itu.
Pemilihan untuk berbagai jabatan dewan superior ini, dimulai pada tanggal 30 Agustus pagi hari. Setelah doa pembukaan Don Rua berdiri dan membaca sebuah pengumuman dimana ia meminta para anggota untuk memilih seseorang yang lebih muda dari dirinya, yang sanggup mengurus konggregasi yang sekarang sudah meluas. Bagi dirinya sendiri, ia akan bekerja dengan senang hati sesuai dengan kemampuannya, apapun jabatan yang dipercayakan oleh para superior kepadanya. Setelah membacanya, ia duduk – bukan di kursi ketua – tetapi di antara anggota-anggota yang lain.
Pemilihan dimulai. Ada 217 pemilih. Dua orang memilih pastor Joseph Bertallo, seorang Salesian teladan, yang kemudian terpilih sebagai anggota dewan superior; Don Rua sendiri memilih pastor John Marenco, cikal bakal Delegasi Apostolik Amerika pusat; satu orang memilih Don Bosco(!), dan dua ratus tiga belas memilih Don Rua!
Ada beberapa alasan mengapa Don Rua mempunyai ide untuk mempersembahkan/mengkonsekrasikan seluruh konggregasi kepada Hati Kudus di akhir suatu abad dan di awal abad yang berikutnya.
Pastor Andrew Beltrami, seorang pastor yang kudus, baru menyelesaikan tulisan riwayat hidupnya dari St. Margaret Mary Alacoque, dan dipenuhi dengan cinta kepada Hati Kudus yang mana St. Margaret telah mengilhaminya, mengusulkan hal itu dalam sebuah surat kepada Don Rua.
Bapa Suci, pada bulan Juni 1899, mengadakan tahun yubelium, dan sebagai pembukaan yang pantas, membuat suatu ketetapan untuk mnguduskan seluruh umat manusia kepada Hati Kudus, umat yang beriman maupun yang bukan beriman Katolik. Salah satu hasil dari hal ini adalah disucikannya Gereja di Amerika Selatan oleh para uskup dan uskup agung (berjumlah 53 orang) di gereja Hati Kudus Salesian. Pada tanggal yang sama, setiap uskup di keuskupannya, setiap pastor di parokinya menyelenggarakan sebuah upacara yang sama.
Don Rua dalam jangka waktu yang lama telah merenungkan beberapa tindakan religius khusus yang memberikan arti di akhir abad ini. Ia memutuskan menguduskan konggregasi kepada Hati Kudus pada hari akhir tahun. Sebagai persiapan yang memadai untuk acara ini, ia menyuruh Triduum dengan doa-doa dan kotbah yang pantas. Tindakan konsekrasi itu dilakukan dihadapan para Salesian, murid-murid mereka, dan sebanyak mungkin dari koperator; upacara ditutup dengan misa dan nyanyian Te Deum.
Supaya peristiwa ini meninggalkan suatu pengaruh yang lama, ia juga memutuskan bahwa pesta Hati Kudus akan dihormati sebagai salah satu pesta penting dalam tahun; bahwa upacara khusus akan diadakan setiap hari Jumat Pertama dalam bulan, dengan mengadakan komuni kudus sebagai silih atas dosa-dosa; bahwa para Salesian dan putera-putera mereka akan beribadat setiap jumat pertama; bahwa setiap rumah membentuk kelompok sodalitas Penjaga Kehormatan. Akhirnya, jika mungkin, para novis dan para murid akan melakukan Jam Kudus.
Bisa dikatakan, bahwa selama periode tahun yubileum, gereja Hati Kudus secara terus terisi oleh peziarah-peziarah yang datang ke Roma untuk memperoleh Indulgensi Tahun Yubileum.
Tahun pertama pada abad baru patut dicatat karena ada peringatan 25 tahun Misi Salesian di Amerika Selatan. Sejak rombongan pertama yang beranggotakan sepuluh orang dikirim oleh Don Bosco pada tahun 1875, telah dikirimkan lagi tidak kurang dari 37 ekspedisi lainnya.
Usaha Misi Salesian berkarya di Amerika selatan sampai saat itu berhasil dengan luar biasa. Hal ini akan lebih terbukti lagi pada tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, para Salesian di Amerika Selatan ingin berbuat sesuatu khusus untuk menghormati peristiwa ini. Apa lagi yang lebih spesial, yang dapat memuaskan hati para sama saudara dan para benefaktor, daripada jika yang memimpin upacara-upacara ini adalah Superior General sendiri.
Sejak kapitel umum tahun 1898 mereka telah mengundangnya datang untuk menghadiri pesta peringatan ini. Jawabannya: jika hal itu mungkin ia pasti sudah pergi. Para Salesian dari Amerika salatan, bagaimanapun, tidak mau menerima kata ‘tidak’ sebagai jawabannya. Mereka mulai menekannya secara tidak langsung melalui provinsial-provinsial mereka, dan provinsial-provinsial sendiri, pada giliran mereka, melalui Kardinal Rampolla, Sekretaris Negara paus. Mereka begitu sukses sehingga mereka akhirnya membujuk sang Kardinal untuk mengajukan masalah itu langsung ke Bapa Suci. Namun, dengan mempertimbangkan bagaimana Don Rua begitu sensitif pada keinginan Tahta Suci, Bapa Suci tidak melihatnya bijaksana untuk mengabulkan permohonan itu. Sebaliknya, ia mengirimkan berkat kepausannya.
Ketika diberitahu tentang semua ini, Don Rua tidak menunjukkan bahwa ia tidak senang. Lagipula, hal itu hanyalah perwujudan afeksi dan rasa hormat kepadanya. Ia berterimakasih pada para sama saudara melalui Uskup Cagliero atas minat yang mereka tunjukkan agar ia mengunjungi Amerika Selatan, menambahkan bahwa ia akan hadir baik dalam roh dan dalam pribadi Pastor Albera, Direktur Spritual dari Konggregasi.
Tidaklah diketahui mengapa ia menolak semua tekanan agar ia mengunjungai Amerika Selatan. Beberapa mengatakan bahwa karena Don Bosco dalam hidupnya tidak pernah pergi ke Amerika Selatan, maka Don Rua menyimpulkan bahwa begitu juga dia. Ia bahkan pernah lebih awal berkata kepada seorang suster yang mengusulkan hal itu kepadanya. Namun, alasan itu agak lemah karena ada fakta bahwa ia pernah pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi Don Bosco. Mungkin penjelasan yang paling sederhana adalah karena ia tahu bahwa kesehatannya tidak akan mampu bertahan pada perjalanan laut yang panjang dan kerasnya perjalanan selanjutnya.
Jiwa-jiwa besar menderita kesedihan-kesedihan yang besar. Don Rua, mungkin, lebih banyak menderita daripada yang diterima oleh orang biasa. Niscaya, tiga kesedihannya yang terbesar, dilihat dari urutan waktu dan intesitas kesedihan itu, adalah: masalah pengakuan dosa, pemisahan dari suster-suster salesian, dan skandal di Varazze.
Satu dari sekian banyak foto-foto kenangan kami miliki dari hari-hari awal Don Bosco dan anak-anaknya adalah yang menunjukkan santo ini sedang mendengarkan pengakuan dosa. Gambar itu, diambil pada tahun 1861, memperlihatkan dia sedang duduk di sebuah kursi yang sederhana, di sikut kanannya beristirahat di atas priedieu dan tangan kanannya melengkung di telinganya mendengarkan peccadilios salah satu dari anak-anaknya yang sedang berbisik padanya.
Don Bosco sendiri mendapat pelajaran tentang cara yang sederhana untuk mengaku dosa ini dari Pastor Joseph Cafasso, penasehatnya dan bapa pengakuan dosanya di convitto. Hal itu menjadi tradisi di dalam oratori sejak dari hari-hari pertama bahwa sang Superior, Rektor rumah, juga bertindak sebagai bapa pengakuan dosa. Jika salah seorang ingin pergi kepada Pastor lain, ia bebas untuk melakukan itu juga dan bapa pengakuan lain selalu siap. Dalam pengakuannya tahun 1884, Don Bosco menunjukkan bagaimana hati-hatinya dia untuk mempertahankan kebebasan ini. Tetapi sebagian besar anak-anak lebih memilih pergi mengaku dosa kepadanya. Begitu besarnya sehingga setiap saat ia berada pada salah satu oratori atau pada salah satu sekolah atau institusi, tempat pengakuan dosanya selalu penuh.
Sesudah Don Bosco tiada dan Don Rua menggantikan tempatnya sebagai Rektor Mayor, ia juga, sewajarnya, menggantikan tempat Don Bosco dalam pengakuan dosa. Sewajarnya juga, pengakuan dosanya penuh waktu itu, selama dua jam setiap pagi, ia akan mendengarkan pengakuan-pengakuan. Sejak Serikat menyebar, dan rumah-rumah baru dibuka, para superior baru, para direktur, mengikuti contoh ini, juga meneruskan cara yang sama. Para superior menjadi bapa pengakuan umum. Kebiasaan ini penting baik bagi mulusnya pengaturan suatu rumah dan juga memelihara hubungan spesial antara salesian superior dan anak-anak, yang memang didasarkan dalam semangat kekeluargaan.
Jadi kebiasaan itu berjalan sampai sabuah bom dijatuhkan di oratori. Bom itu adalah datangnya subuah keputusan dari Tahta Suci, 5 Juli 1899, setahun setelah Don Rua dipilih kembali. Keputusan itu (Quod a Suprema) melarang semua superior di Roma, Mayor atau Minor, dari semua komunitas religius, semianari, atau Kolose, untuk mendengarkan pengakuan dosa dari orang-orang yang tinggal di dalam rumah yang sama. Meskipun keputusan ini hanya berlaku di Roma, tetapi keputusan itu dengan cepat menjadi norma dari semua keuskupan yang lain untuk diikuti.
Dengan perhatian khusus bagi para Salesian, Tahta Suci sebelumnya telah mempertimbangk hal-hal berikut:
Serikat Salesian sekarang telah tersebar sampai keluar batas-batas negara Italia, dan mereka tidak ingin Salesian membantu penyebaran praktek yang tidak mereka sukai. Apa yang boleh-boleh saja sewaktu Serikat Salesian masih kecil, hampir menjadi hanya sebuah kongregasi privat, tidaklah boleh lagi untuk Serikat Salesian, yang sekarang telah menjadi sebuah intitusi dunia. Praktek yang sekarang dapat juga, menurut pikiran mereka, menekan kebebasan para murid dalam penerimaan pengakuan dosa itu sehingga merusak bentuk sakramen tersebut; hal itu juga akan membatasi kebebasan dari para superior sendiri dalam tugas dari kantor mereka; para superior dapat dicurigai mengunakan informasi yang diperoleh dari pengakuan dosa.
Hal itu menempatkan Don rua dalam situasi yang menyakitkan. Di satu sisi, dia, melebihi semua orang, adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan sangat perhatian untuk mematuhi sampai pada hururf-hurufnya semua tradisi dan kebiasaan yang ditinggalkan padanya dalam surat wasiat Don Bosco. Dan di sisi yang lain, ia tidak pernah membayangkan untuk melawan kebijakan dan rekomendasi apapun dari Gereja.
Untuk saat itu, ia berusaha mengambil jalan lain sehingga dapat menjalankan seutuhnya satu sisi dan sekaligus juga menerapkan sebanyak mungkin dari yang lain.
Ia mengirim sebuah surat kepada para Provinsial dan Para Direktur untuk menjelaskan mereka bahwa keputusan 5 Juli – yang mana diumumkan oleh mereka dalam tinjauan-tinjauan gereja – diterapkan hanya pada murid-murid institusi-institusi, bukan untuk para salesian. Para superior, oleh karena itu dapat mendengarkan pengakuan dosa dari para salesian jika diminta oleh mereka.
Lagipula, di tempat di mana keputusan ini tidak memiliki kekuatan preceptif (di luar Roma), dengan kata lain bukan sebuah perintah, mereka akan melanjutkan seperti sebelumnya untuk mendengar pengakuan dosa para murid “menurut tradisi di rumah-rumah kita, seorang superior dapat dianggap sejajar dengan Direktur Spiritual dalam seminari-seminari”. Pada saat yang sama pula Don Rua juga memperingatkan kepada mereka untuk berhati-hati dalam mengikuti semua petunjuk dan metode Don Bosco dalam hal-hal tersebut.
Semua itu berjalan seperti itu sampai ia menerima suatu peringatan dari Roma bahwa ada sebuah dekrit lain sedang disiapkan sebagai suatu larangan yang jauh lebih tegas. Nyatanya, dekrit ini, tertanggal 24 April 1901, dikeluarkan dan nadanya jelas dan tegas. Keputusan itu secara tegas melarang superior-superior Salesian untuk mendengar pengakuan dosa para siswa mereka. Tidak hanya itu, tetapi juga melampirkan suatu nota untuk kepentingan Don Rua sebagai akibat dari keputusan itu. “ Tahta Suci ingin agar Prokurator General Salesian untuk memastikan bahwa keputusan ini tidak hanya diterima oleh institusi, tetapi diterapkan juga dengan cepat di semua rumah.”
Don Rua meminta Prokorator untuk segera membalas nota itu sebagai berikut: “Saya merasa terhormat dapat memberitahukan bahwa saya telah menyampaikan hal ini kepada Rektor Mayor tentang keputusan 24 April dari dewan Inkuisi Tinggi Roma dan keputusan itu tidak hanya hanya di terapkan oleh institusi, tetapi keputusan itu akan juga diterapkan secara penuh dalam setiap rumah dengan segera sesuai permintaan dekrit itu.”
Masalah selanjutnya yang harus dihadapi oleh Don Rua adalah bagaimana menjawab pertanyaan para sama saudara kepadanya. Sebagai contoh: Dapatkan dalam penyampaian keputusan itu secara resmi dapat dilakukan pada General Chapter selanjutnya? Jawaban dari Roma : Tidak, keputusan itu harus diterapkan “Sine Mora”, tanpa ada penundaan. Apakah Sine Mora berarti harus segera ditanggapi atau Intra Annum, diikuti pada tahun itu? Jawabannya: harus segera diterapkan.
Keputusan itu membuat sedih Don Rua yang mengumpulkan para sama saudara di oratori untuk memberiahukan apa yang telah terjadi. Karena mereka belum diberitahu apa-apa sebelumnya, mereka terkejut karena tidak akan melihat Don Rua lagi seperti biasanya tepat waktu untuk mendengar pengakuan dosa. Ia mengakhiri konferensi itu dengan mengatakan kepada mereka bahwa hanya ada satu jalan bagi pengikut Don Bosco dalam hal peraturan-peraturan gereja – ketaatan.
Pada 6 juli, ia mengirim kepada setiap salesian sebuah salinan dari keputusan itu dalam surat edaran. Surat edaran itu memberitahukan para Direktur untuk mengumpulkan semua sama saudara yang telah mengucapkan kaul, dan membacakan keputusan itu, dan kepada mereka yang tidak mengerti bahasa latin, menjelaskan secara singkat tanpa memberi komentar apa yang dikatakan keputusan itu. Mereka juga tidak boleh mempublikasikannya sama sekali, membicarakan hal itu kepada orang lain, atau pun mendiskusikannya di antara mereka sendiri.
Tidakan pencegahan ini, bagaimana pun juga, tidak dapat mencegah berbagai kesulitan timbul. Lagipula, hal itu adalah sebuah pemisahan yang radikal dari praktek yang telah menjadi suatu cara yang disukai oleh para salesian dan anak-anak juga, yang mana sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Selain itu, karena para superior tidak dapat mendengar pengakuan dosa, di mana mereka dapat memperoleh, para pastor pengakuan dosa untuk menggantikan tempat mereka? Ada kejadian di mana satu-satunya pastor di dalam komunitas adalah sang superior dan tidak ada pastor lain yang ada. Bagaimana selanjutnya?
Don Rua mengundang seorang salesian yang ahli dalam Teologi Moral, Pastor Louis Piscetta, untuk mempelajari masalah itu. Ia, pada gilirannya, berkonsultasi dengan Uskup Agung Bertagna, seorang yang ahli dalam hal-hal pengakuan dosa. Pastor Piscetta memberikan jawaban atas pertanyaan Don Rua dan Don Rua mengirimkannya secara rahasia kepada para Provinsial. Selain itu, ia juga mengirimkan kepada Tahta Suci 11 keragu-raguan atau pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan dari hasil penyelidikan Piscetta dan Bertagna.
Sayangnya, satu salinan dari jawaban-jawaban Piscetta jatuh ke tangan Holy Office.
Dari pihak Tahta Suci, mereka melihat seolah-olah Don Rua mencoba menghindari penerapan keputusan itu, seolah-olah ia mencoba untuk menafsirkan untuk Holy Office (yang pemimpinnya adalah Bapa Suci sendiri) keputusannya sendiri. Komisaris Tahta Suci; oleh kerena itu, memanggil Prokurator Salesian dan dengan terus terang memberitahukan kepadanya pemikiran Tahta Suci. Lalu ia memberitahukan kepadanya bahwa sebelum Tahta suci menanggapi pertanyaan-pertanyaan, Don Rua harus menarik kembali penafsiran-penafsiran dari para Teologan itu.
Don Rua melakukan hal itu dengan segera pada surat kepada para Provinsial tangal 15 Agustus. Sewaktu ia memerintahkan mereka untuk tidak memikirkan solusi dari pertanyaan-pertanyaan itu, ia juga memperlihatkan keyakinannyabahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan segera dikirim dari “Supreme Roman and Universal Inquisition”.
Tidaklah terjadi seperti itu. Sebaliknya, ia dipanggil ke Roma dimana ia menerima secara langsung teguran yang sama yang telah terima secara tidak langsung dari Procurator. Tidak hanya itu, tetapi ia juga diperintahkan untuk meninggalkan Roma dengan segera!
Apa yang dirasakan oleh Don Rua karena teguran atau perintah itu, hanyalah Tuhan yang tahu.
Masalah itu berakhir tiga hari sebelum dibukanya Kapitel Umum yang kesembilan, yang diadakan dari tanggal 1 sampai 5 September, jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tiba dari Roma. Keputusan-keputusan yang terdahulu dibuat lebih tegas lagi. Don Rua menyalin dan membagikan kepada mereka, mengaku kepada mereka yang hadir bahwa ia tidak tahu bahwa tidaklah diizinkan kepada siapa saja kecuali Tahta Suci sendiri untuk menafsirkan dekrit-dekritnya. Lalu ia memerintahkan untuk menerima dekrit itu dengan mutlak dan segera. Juga, dalam ketaatan kepada Tahta Suci, Don Rua mengirim kepada Tahta Suci salinan dari Deliberations dari Kapitel Umum yang mengacu pada perubahan-perubahan yang berhubungan dengan pengakuan dosa dan bapa pengakuan.
Demikian berakhirlah pertanyaan tentang pengakuan dosa. Bagi Kongregasi Salesian hal itu adalah titik tolak yang baru dalam perjalanan hidup mereka. Bagi Don Rua hal itu terbukti merupakan kemartiran ganda.
Apa yang menjadi cobaan besar kedua dalam hidup Don Rua, tidak berhubungan dengan dirinya sendiri, tidak juga dengan Konggregasi. Tetapi hal itu berhubungan dengan kehidupan elemen kedua yang paling penting dalam Keluarga Besar Salesian yang didirikan Don Bosco. Hal itu adalah pertanyaan tentang pemisahan para suster, sebagai sebuah serikat religius, dari Konggregasi Salesian.
Karena konggregasi para suster didirikan Don Bosco dan Maria Domenica Mazzarelo muda, mereka dapat dibilang, dan memang benar, digotong olehnya selama tahun-tahun mereka yang tersulit, ditopang oleh Don Bosco hampir di setiap peristiwa penting tentang keberadaan mereka. Don Rua, yang memahami dan mengikuti Don Bosco dengan setia, ingin agar mereka meneruskan apa yang diinginkan Don Bosco bagi mereka, dan kebanyakan dari mereka terus menikmati hubungan kekeluargaan dengan para salesian yang Don Bosco telah rangkai selama bertahun-tahun. Bahkan sebuah perubahan kecil apa pun dari apa yang Don Bosco telah telah buat menyebabkan ia menderita. Untuk menerima perubahan yang diusulkan bagi para suster menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi Don Rua.
Para Suster didirikan pada 1872 sesuai dengan nasehat dan persetujuan dari Paus Pius IX, dengan cara demikian sehingga hubungan Salesian dan Suster Salesian ini sejajar dengan hubungan antara para suster Cinta kasih dan pastor-pastor Vinsensius. Saatnya tiba di mana Don Bosco tidak dapat berbuat apa-apa tanpa membangkitkan kemarahan dan perlawanan yang sengit dari kelompok politik yang sangat berkuasa yang berhasrat untuk menghancurkan bahkan lembaga religius yang tinggal sedikit itu. Itulah mengapa Bapa Suci memberikan kepada Don Bosco hak-hak istimewa yang ia butuhkan, tidak dengan tulisan tetapi secara lisan. Hak-hak istimewa yang sama diulangi kembali, karena alasan yang sama, oleh penggantinya, Paus Leo XIII. Don Bosco menyusun Konstitusi untuk serikat yang baru itu dan memperoleh pengakuan untuk Konstitusi itu dari uskup Acqui.
Ia juga menempatkan serikat itu di bawah ketergantungan terhadap Superior General Konggregasi Salesian, supaya ia dapat mengontrol serikat itu sepenuhnya, sekurang-kurangnya selama tahun-tahun awal berdirinya. Ini hanya merupakan langkah pencegahan. Ia tidak mau idenya untuk kemajuan Institusi ini di masa depan ditentang.
Namun, pada 18 Juni 1901, Tahta Suci, dalam hal ini Konggregasi Suci Para Uskup dan Regular, mengeluarkan sebuah keputusan Normas Secundum quas (norma yang menjadi acuan). Karena banyaknya konggregasi yang berkaul sederhana, ia menerangkan, Tahta Suci telah memutuskan bahwa pentinglah untuk memberlakukan pemisahan total antara pria dan wanita di cabang-cabang Serikat-Serikat yang mempunyai satu bidang yang sama (Artikel 202). Hal ini benar-benar sesuai dengan para Salesian dan Suster Salesian. Tidak hanya mereka mempunyai satu bidang dan semangat yang sama, mereka juga sudah memiliki Superior General yang sama untuk 33 tahun – Don Bosco untuk 16 tahun, dan Don Rua untuk 17 tahun.
Sewaktu Don Rua memerintahkan kepada Prokurator di Roma untuk membuat penelitian hati-hati tentang peraturan ini. Prokurator berkonsulatasi dengan Kardinal Vives y Tuto, Ahli dari Vatikan dalam hal-hal seperti ini. Sewaktu dia telah menyelesaikan studinya tentang status Kanonikal dari para suster, ia sangat terkejut. Ia menyimpulkan: Stuasi para suster sangat tidak teratur, kaul-kaul mereka tidak sah dan mereka akan terlibat masalah-masalah dengan keuskupan-keuskupan lokal. Tidak hanya itu, tetapi bahkan ada bahaya bahwa, sesuai situasi mereka, sebuah keputusan mungkin akan dipaksakan kepada mereka dari Roma yang akan berlawan secara langsung dengan semangat mereka sekarang dan semangat pendiri mereka. Dengan kata lain, sejauh Gereja menganggap, Puteri-Puteri Maria Bunda Penolong (nama resmi mereka), singkatnya tidak ada!
Sebagai akibat, ia menasihati agar para Suster segera meminta Decretum Laudis, langkah pertama yang harus diambil oleh setiap Serikat Religius sebelum disetujui. Jika hal itu sudah didapatkan mereka akan bebas dari pengaruh keuskupan-keuskupan lokal, dan pada saat yang sama mereka dapat menikmati bimbingan moral dari Superior General Salesian.
Sangatlah sedikit gunanya untuk menjelaskan bahwa semua ketidakteraturan ini adalah akibat dari kondisi-kondisi yang sulit di masa lalu, bahwa semuanya itu dilakukan dengan maksud yang baik dan dengan izin-izin resmi. Seperti adanya, situasi itu benar-benar tidak beraturan dan harus diatur kembali.
Sewaktu Muder Catherine Daghero, Superior para suster, mendengar semua ini, ia menjadi patah hati. Tetapi bukan dia saja yang kecewa. Hal yang pertama harus dilakukan untuk mengatur posisi para suster, ia mengerti, adalah dengan membuat dunia pada umumnya dan kekuasaan gereja khususnya, mengerti bahwa para suster tidak merasa mereka didominasi atau menjadi korban dalam segala hal oleh para salesian; mereka mempunyai otonomi dalam pengurusan semua urusan mereka yang mana dijalankan oleh Superior Council dan General Chapter mereka sendiri; Bahwa akhirnya, para suster sendirilah yang berharap untuk tinggal di bawah bimbingan dari Superior General para Salesian.
Ia menulis surat-surat dangan pikiran seperti ini kepada Procurator General Salesian, Kardinal Rampolla, dan kepada Bapa Suci, di mana surat yang ini ditanda tangani oleh semua anggota Superior Council.
Sementara itu, di Roma roda mulai pelan-pelan berputar menanggapi dengan pasti apa yang sudah ditetapkan oleh Norma itu. Kardinal Ferrata, Prefek Konggregasi Suci Para Uskup dan Regular, menulis kepada Procurator Salesian bahwa adalah keinginan Bapa Suci bahwa konstitusi para suster harus segera diubah sesuai pada norma-norma, bahwa setelah mereka mengubahnya, mereka harus menyerahkannya, dalam jangka waktu 6 bulan, kepada Kongregasi Suci untuk direvisi.
Sewaktu para suster berkumpul bersama untuk General Chapter mereka yang kelima seluruh masalah itu dijelaskan kepada mereka untuk pertama kalinya. Hal yang sama dialami oleh Suster Daghero juga dialami General Chapter. Hal itu pertama-tama menghasilkan kelumpuhan, yang dilanjutkan dengan reaksi yang pasti. Ini mengambil bentuk sebuah resolusi bahwa mereka selalu lebih suka “hidup dan mati sebagai puteri-puteri yang taat kepada Don Bosco dan pengantinya.” Tidak puas dengan keputusan ini mereka melakukan Pengambilan Suara rahasia, yang mana hasilnya menunjukkan 44 suara setuju, tidak ada yang menentang.
Ditunjukkannya devosi dan kepercayaan yang begitu besar terhadap bimbingan Don Rua, bukanlah tanpa pengaruh apa-apa.
Uditor dari Konggregasi Suci memangil Procurator Salesian dan, setelah menjelaskan kepadanya sebab dan musabab dari apa yang telah ada pada tempatnya, mengatakan padanya untuk memberitahukan para suster bahwa Konggregasi Suci Para Uskup dan Regular menyadari sepenuhnya segala kebaikan yang para suster kerjakan untuk kaum muda seluruh dunia, yang mereka mengerti betapa banyaknya bantuan dari para salesian dalam semua hal ini, tetapi meskipun demikian, Norma harus segera diterapkan, karena para suster tidak dapat lagi melanjutkan lagi kondisi sewaktu mereka didirikan dan kondisi saat ini. Namun, sebagai sebuah tindakan kebijaksanaan khusus, Konggregasi Suci akan memerintahkan Procurator Salesian sendiri untuk memimpin perubahan-perubahan dari Konstitusi mereka. Hal ini akan menjamin baik semangat maupun tujuan dari pendiri mereka tidak akan dilanggar.
Bapa Suci sendiri, dalam audensi dengan Kardinal Cagliero – sang pahlawan bagi para suster dalam semua kesulitan mereka – sambil mengakui pentingnya perubahan itu, mendesak agar hal itu tidak dikerjakan dengan tergesa-gesa, sembrono, tetapi sedikit demi sedikit. Cara itu , sebenarnya, sudah dikerjakan.
Oleh karena itu, pada General Chapter, Procurator mempersembahkan kepada dewan konstitusi yang telah dimodifikasi. Meskipun hal itu sangat melukai mereka untuk melihat dengan nyata pemisahan dari kedua cabang dalam Keluarga, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya ada satu jalan yang terbuka untuk mereka: menerima pemisahan ini dalam semangat ketaatan terhadap keinginan Gereja.
Tetapi masih tetap tinggal satu hal yang dapat mereka lakukan yang dapat memberikan hiburan yang besar untuk mereka. Sewaktu menundukan kepala mereka kepada kepada keputusan Gereja yang mengharapkan mereka berdiri sendiri seperti sebuah kongregasi pria, mereka tetap masih dapat meminta agar Superior General mereka adalah pengganti pendiri mereka Don Bosco .
Untuk meminta kelonggaran itu Suster Doghero pergi ke Roma. Selagi di sana ia menyerahkan perubahan-perubahan dari naskah Peraturan-Peraturan, mempersiapkan dan mengedarkan Memorial yang panjang kepada Kardinal-Kardinal di Kongregasi Suci, dan membuat kunjungan-kunjungan penting untuk menerangkan kepada mereka yang berkuasa tentang hubungan tradisional antara para salesian dan Para Suster. Memorial ini berisi alasan atas permintaan para Suster untuk mendapat para penganti Don Bosco
sebagai
superior general mereka.
Pada pagi hari 7 Januari 1906, Muder
Generaldan Asistennya diterima untuk audiensi dengan Paus Pius X.
Setelah mendengar pengakuan dari Muder, ia meyakinkannya dalam
kata-kata yang ramah, tidak hanya sekali tetapi beberapa kali, bahwa
ia seharusnya tidak cemas, bahwa segalanya akan berjalan hampir sama
seperti apa yang telah mereka kerjakan selama ini. Ia juga
mengingatkan kepadanya bahwa Konggregasi Suci telah memilih seorang
Salesian – salah satu dari mereka sendiri – untuk memperbaiki
Konstitusi mereka.
Ketika perubahan-perubahan itu sedang dipelajari oleh Konggregasi Suci, mereka tetap merasa perlu membuat beberapa perubahan kecil, tetapi agar para Suster tidak terbebani lebih banyak lagi dengan menerima sebuah dekrit, mereka mengirim beberapa modifikasi itu kepada Don Rua dan Uskup Agung Turin dengan surat yang menyertai Peraturan yang sudah direvisi sewaktu mereka kembali ke Roma.
Lazimnya, sebelum sebuah Konggregasi disetujui Peraturan-Peraturannya, Peraturan itu harus pertama-tama melewati tiga langkah: mendapatkan pengakuan pendahuluan, selanjutnya mendapatkan persetujuan umum, dan akhirnya, setelah langkah waktu yang cukup lama dari pemeriksaan, peraturan mendapat persetujuan khusus. Dalam kasus para suster, Konggregasi Suci melewatkan kedua langkah yang pertama dan melanjutkan ke langkah yang ketiga dengan pengaruh Kanonikalnya yang relatif.
Satu hal yang belum dilakukan hanyalah untuk membuat keputusan ini diketahui oleh semua anggota dari dua cabang keluarga. Don Rua melakukan hal ini dalam suratnya kepada para Suster tanggal 29 September 1906. Untuk tidak menimbulkan kekacauan, ia hanya secara singkat mengucapkan selamat kepada mereka atas kenyataan ini bahwa, karena Konggregasi telah menjadi sangat besar, mereka sekarang juga langsung berada di bawah bimbingan Tahta Suci, dan konstitusi mereka sudah diubah karena hal ini. Kepada para Salesian ia menulis pada 21 November “bahwa mulai dari sekarang para Salesian tidak memiliki kekuasaan lebih lanjut untuk pengawasan atau hak-hak yang lain atas para Suster Salesian.
Ini adalah tindak lanjut resminya yang terakhir dalam masalah ini.
Hal itu telah menjadi pencobaan yang lama: hal itu telah berlangsung selama 5 tahun. Apa yang paling melukai Don Rua, selain menyaksikan penghancuran dari semua yang Don Bosco kerjakan dengan gigih, yaitu kesatuan paling erat antara dua anggota dari Keluarga Besarnya, adalah kondisinya saat itu. Ia bahkan tidak dapat mengangkat jari, secara resmi, untuk membantu para suster. Untuk melakukan hal itu, ia sadar akan membahayakan sekali para suster dan posisinya sendiri. Namun, ia melakukan apa yang dapat ia lakukan, menggunakan pengaruhnya ketika ia berpikir bahwa hal itu akan menguntungkan para Suster. Untuk hal lainnya, ia hanya dapat berdoa dan menanggung derita. Cobaan apakah yang lebih besar bagi seorang ayah daripada melihat dengan tidak berdaya melihat anak-anaknya menderita?
Jika ia hidup lebih lama, ia akan mendapatkan penghiburan dengan melihat semua hal dibereskan kembali sesuai dengan keinginannya dan Don Bosco.
Dengan sebuah dekrit tanggal 19 Juni 1917, Tahta Suci, atas permintaan para suster, mengizinkan mereka diwakilkan di Vatikan oleh Procurator General Salesian. Selanjutnya, Superior General Salesian ditugaskan, lagi-lagi sesuai permintaan para suster, untuk membuat kunjungan setiap dua tahun di Rumah-Rumah mereka untuk melihat bahwa apakah mereka mengikuti dengan tepat semangat dari pendiri. Pada akhir dari dua tahun pertama Paus Benediktus XXV memanggil suster Dughero untuk mengetahui apakah para suster senang dengan persetujuan baru ini.
“Saya harus berkata ‘Ya’!” ia menjawab. “Di antara anak-anak dari bapa yang sama, memiliki satu semangat dan satu kehendak untuk berbuat baik, mengapa kami tidak gembira?”
Jawaban ini memuaskan Bapa Suci sehingga ia memperpanjang hal itu untuk 2 kali enam tahun, lalu untuk sepuluh tahun, mencalonkan Rector Mayor sebagai Delegasi Apostolik untuk para suster.
Paus XI melakukan hal lebih banyak lagi. Ia memberi serikat salesian beberapa kelongaran yang memiliki pengaruh sekali lagi menempatkan para suster dan para salesian bersama dalam satu keluarga dan di bawah satu bapa yang sama, penganti dari pendiri mereka Don Bosco!
Mungkin tidak ada satu kejadian lain dalam seluruh hidup Don Rua yang menyebabkan ia menderita dengan begitu hebat, mendapat kecemasan mental yang besar, atau mempengaruhi kesehatannya, selain dari suatu peristiwa yang mesuk ke dalam sejarah salesian dengan judul skandal Varazze. Hal itu tidak hanya membuat kaget hati Don Rua, hal itu menghasilkan hari-hari gelap bagi seluruh kongregasi, dan seluruh Italia, pada waktu itu dipengaruhi oleh hal itu.
Varezze adalah salah satu dari banyak kota kecil yang meyenangkan di Liugorian Riviera antara Genoa dan Savona. Tempat itu adalah tempat liburan dan populasinya sebagian besar terdiri dari para turis yang memberikan tempat itu hidup dan sentuhan duniawi. Tumbuhan-tumbuhan dan bunga-bunga – anyelir, bunga ungu dan bakung – mekar sepanjang tahun dan ditumbuhkan dalam jumlah banyak untuk diekspor. Singkatnya, tempat itu adalah bagian kecil dari surga dengan ritme hidup yang jarang ditemukan.
Salesian tiba di sana pada 1872, mendirikan sekolah santo Yohanes Pembaptis untuk anak laki-laki: para suster mengikuti pada 1893 dengan sekolah santa Katarina untuk anak perempuan. Sekolah anak laki-laki mempunyai kelas-kelas dasar, kursus teknik, dan sekolah lanjutan, ada 700 anak yang terdiri dari anak-anak yang pulang pergi setiap hari dan anak asrama. Seseorang dapat berkata, berbicara secara praktis, behwa seluruh kaum muda di kota itu ditangani oleh para salesian.
Derektur pada waktu itu adalah pastor Charles Viglieti, seorang bekas sekretaris Don Bosco, dan seorang penulis buku-buku populer yang tersebar luas.
Tahun ajaran sekolah sudah berakhir, banyak anak-anak yang pulang dan para guru menikmati hari-hari pertama liburan.
Pada sebuah pagi 29 Juli 1901, empat pagawai kota, di temani oleh 8 polisi, datang ke depan pintu sekolah. Penjaga pintu dengan sopan menanyakan siapa mereka dan apa dapat ia bantu.
“Kami adalah polisi,” mereka berkata. “Di mana para salesian dan anakanak berada?”
“Pada saat ini mereka semua sedang berada di gereja, tetapi …”
Sebelum ia dapat berkata apa-apa lagi, pasukan itu mendorongnya ke belakang dan berjalan ke arah kapel sekolah, sampai ke barisan komuni. Topi mereka tetap di kepala, ia menghadap ke seluruh komunitas.
“Berhenti berdoa!” teriak wakil walikota Savona, Dominic Silva, yang sedang bertugas. “Semua keluar!”
Dengan sangat takut anak-anak berlari keluar dari kapel, segera para salesian diperintahkan untuk berdiri jauh dari anak-anak itu. Sewaktu seorang salesian mencoba menawarkan untuk mengurus mereka, ia langsung didorong ke belakang.
“Kami akan mengurus mereka sekarang,” ia diberitahu.
Para salesian dipaksa masuk ke dalam sebuah ruangan kelas di mana nama, umur dan lain-lain, dicatat. Saat selesai, seseorang lain menemui mereka yaitu Letnan Montelesson dari pasukan carabineri daerah itu.
“Para pastor yang terhormat,” ia memulai. “Saya memperingati kalian untuk tidak meninggalkan tempat sebelum kalian disuruh demikian. Dan pastikan bahwa kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepala kepolisian. Jika tidak, kalian akan dikenai hukuman atas pelanggaran hukum yang berat.” Selajutnya ia pergi untuk memeriksa seluruh ruang kelas sekolah, perpustakaan, meja-meja, dan juga kamar-kamar pribadi komunitas.
Pada saat yang sama, Silva bertemu dengan Direktur, yang telah diberitahu tentang apa yang terjadi, dengan tergesa-gesa bertemu dengan tamu-tamu itu.
“Ini adalah pelanggaran yang sangat serius, pastor” ia berkata. “Sangat serius. Anda telah memperbolehkan beberapa kejahatan yang sangat besar terjadi di sekolah ini.”
Sewaktu ia mendengarnya, Direktur, merasa agak lega. Ia sudah diperingati bahwa seorang wanita yang licik berkeliling menyiarkan berita yang jahat tentang sekolah. Jika hanya hal itu yang!…
“Baik, baik,” ia berkata. “Jadi wanita Besson itu telah berbicara lagi! Tapi sudahkah anda bertanya tentang dia? Sewaktu ia pertama kali berbuat itu, saya membiarkannya, tetapi sewaktu ia melanjutkan hal itu saya berkata kepadanya bahwa saya akan mengajukan tuduhan melawannya kepada polisi. Semau yang dia katakan tidak ada yang satu pun yang benar.
“Sekarang, tidak hanya dia sendirian saja yang menuduhmu, pastor. Sebaiknya anda ikut kami.”
Namun, sewaktu pergi ke lantai bawah, sang direktur dilihat oleh kepala polisi, yang berteriak kepadanya: “Kamu seorang salesian! Masuk ke dalam ruang kelas bersama yang lain!”
Untungnya, di sekolah itu hanya tinggal 25 siswa yang tetap tinggal di sekolah dan mereka dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Pada tengah hari mereka dipulangkan kembali tetapi tidak diperbolehkan mendekati para salesian. Para polisi menjaga mereka dengan ketat sewaktu mereka makan siang. Setelah makan siang mereka dibawa kembali oleh para penjaga untuk interogasi kedua sampai pukul sembilan malam.
Sekitar pukul empat sore para salesian dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Urutan yang pertama adalah direktur sekolah.
Duduk di depannya adalah Chevalier Zaglia, pengawas sekolah-sekolah.
“Pastor, saya ingin agar anda,” katanya, “menceritakan kepada saya seolah-olah saya ini ayahmu sendiri. Jika anda melakukan itu saya dapat membantumu. Jika anda menolak, maka…” ia mengangkat tangannya.
“ Terima kasih banyak,” kata direktur. “Tetapi pertama-tama, saya ingin tahu apakah tuduhan yang diajukan kepada kami?”
“Misa Gelap,” kata Zaglia, dengan suram. “Misa gelap, itulah tuduhanya.”
“Saya tidak mengerti apa yang kamu katakan.”
“Jangan berlaku suci dengan saya. Katakan kebenaran. Apakah kamu mengadakan Misa Gelap pada malam hari di sekolah?”
Saat itu, sang kepala polisi maju ke depan dan menjelaskan apa yang mereka maksudkan dengan “Misa Gelap”. Singkatnya, pesta pora pada tengah malam yang melibatkan para suster salesian dan anggota imam keuskupan.
Hal itu mengejutkan direktur. “Saya menolak semua tuduhan itu!” katanya. “Semuanya!”
Ia meminta unruk dihadapkan dengan para penuduhnya.
Hal itu terjadi seperti apa yang direktur telah curigai, ibu Vincenzina Besson dan anaknya, Alexander. Umurnya sekarang 15 tahun dan ia telah tinggal kurang dari satu tahun di sekolah itu.
Ia menuduh para salesian dengan tiga jenis kejahatan: Misa Gelap di malam hari yang melibatkan para suster salesian, para pastor Capuchin, para iman projo dan para anak sekolah yang diundang; perlakuan yang immoral kepada para murid; mengatakan fitnah dan hinaan di depan umum untuk melawan para keluarga bangsawan dan Garibaldi.
Semua tuduhan itu disebutkan oleh anak itu dengan sangat tenang, dengan keyakinan dan teliti sekali. Semua tingkah lakunya dapat meyakinkan siapa saja bahwa ia benar-benar telah melihat semua kejadian yang ia jelaskan dan akui juga turut serta dalam semua itu.
Pastor Viglietti dengan keras mengulang sangkalannya terhadap semua tuduhan yang anak itu katakan.
“Baiklah,” kata Zaglia, dengan sedikit marah. “Jika anda tetap bersikeras dengan tingkah laku yang bodoh ini, tidak mungkin saya dapat membantumu.”
Selagi itu, sudah diketahui apa yang terjadi pada saat interogasi anak-anak.
Ketika mereka tiba di kantor polisi mereka disambut oleh, tidak lain lagi, ibu Besson yang menunjukkan kepada mereka bahwa ia sangat prihatin, memperlakukan mereka seperti seorang ibu, merangkul mereka dan membesarkan hati sebagian anak-anak yang lebih kecil. Anak-anak yang lebih tua menerima perlakuan yang lebih kasar. Beberapa dari mereka malah setuju dangan banyak yang dikatakannya untuk melawan para salesian. Selanjutnya mereka mengakukan semua itu kepada Direktur.
“Kami berbicara dusta tentang kamu,” mereka berkata, “tetapi mereka menakuti kami dan memaksa kami dengan memukul.”
Hari selanjutnya anak-anak dikirim pulang ke rumah.
Surat-surat kabar antiklerik segera mengeluarkan cerita itu dengan penuh. Ceritanya seperti ini – Apa yang tidak diketahui salesian adalah hadirnya seorang saksi dari semua itu. Putera dari ibu Besson telah diterima sebagai anak asrama di sekolah. Sewaktu ia menemukan kejadian yang terjadi pada waktu malam di sekolah, ia juga bergabung dengan mereka agar dapat menulis segala hal yang terjadi di dalam buku hariannya yang ia isi dengan hati-hati dengan catatan-catatan kecil. Ia telah mengirim buku harian itu kepada mamanya, yang pada gilirannya, mengirimnya kepada pemerintah. Pemerintah memutuskan untuk menindak lanjuti dengan semua kekuatan hukum untuk menghapuskan semua perbuatan buruk, menghukum yang bersalah, dan melindungi anak-anak dan yang tidak berdosa.
Itulah saat di mana badai menimpa kepala para salesian.
Hal itu bermula hanya sekitar daerah itu saja, dengan kegaduhan-kegaduhan dari surat kabar antiklerik, yang meminta pemerintah untuk mengambil tindak lanjut yang pantas. Karena jika mereka gagal melakukan kewajibannya, masyarakat sendiri akan bangkit dan melaksanakan hukum dengan tangan mereka sendiri. Judul-judul utama yang panas dengan terbuka menuduh para salesian dan frater-frater dan biara mereka sebagai tempat kejahatan.
Kelompok-kolompok anti-klerikal dengan cepat mengambil tindakan. Beberapa hari selanjutnya mereka mengadakan demonstrasi di depan keuskupan Savona. Hari selanjutnya mereka mengadakannya juga di depan seminari. Mereka mengiringi unjuk rasanya dengan berteriak “kematian untuk para pastor yang jahat,” dan mengakhiri unjuk rasa dengan melempar batu ke arah sekolah salesian.
Sementara itu dua orang salesian – seorang frater dan seorang bruder – ditahan dan dimasukan ke dalam penjara “hal ini untuk melindungi mereka” kata mereka.
Unjuk rasa menyebar. Pada 2 Agustus, di La Spezi, mereka merusakkan dan membakar pintu gereja. Seorang laki-laki terbunuh. Di gereja yang lain mereka merusakkan tabernakel. Hal ini berdampak pada penutupan sekolah di Varazze, semua sekolah salesian di Italia dan akhirnya semua sekolah yang dikelola para religius. Mereka mengundang sebuah pemogokan nasional untuk mendukung permintaan mereka.
Dan posisi Don Rua di tengah semua ini?
Pada hari kejadian itu dimulai ia sedang membagikan tanda mata pada saat retret di Valsalice. Saat berita kejadian itu sampai kepadanya, awalnya ia terlihat begitu terkejut sehingga ia tidak mampu memberikan reaksi dengan kekuatan yang diharapkan oleh orang-orang ketika kehormatan kongregasi dipertaruhkan. Sewaktu mendengar kabar dari ikatan alumnus di Turin tentang aksi kuat yang mereka maksudkan untuk membela para salesian, ia bertanya, “Tapi tidak berpikirkah kamu bahwa tindakan itu adalah suatu hal yang terlalu keras?” Ia terus mendesak agar mereka tidak, bahkan dalam pembelaan mereka, melawan hukum cinta kasih. Ia diberitahu bahwa para alumni sendiri yang akan bertanggung jawab atas semua aksi-aksi mereka.
Kebetulan pimpinan mereka adalah komendator John Possetto, salah satu dari beberapa orang terkenal dari bekas murid salesian. Ia sedang berada dalam liburan dengan teman-temannya sewaktu banyak surat kabar menuliskan berita-berita tentang kejadian suram itu, semua ditujukan untuk melawan salesian. Sewaktu ia membolak-balikan beberapa surat kabar, ia berkata pada kemudian hari, ia kaget menemukan bahwa tidak ada satu surat kabar pun yang memberikan pembelaan untuk para salesian, para frater, dan suster. Dan sejauh ini ia dapat melihat tidak satupun yang bertindak atau berkata apa saja demi membela mereka. Sebuah keadaan yang tidak mungkin, ia memutuskan, dan hal itu mengakhiri liburannya. Pada jam delapan keesokan paginya ia menekan bel di pintu Pastor Marchisio, direktur dari oratori, memohon untuk diizinkan melihat Don Rua. Sewaktu direktur menjelaskan bahwa kesehatan Don Rua sangat memprihatinkan, bahwa kakinya ditutupi dengan banyak luka-luka dan pukulan mental yang hebat yang diterimanya dari masalah di Varazze, Possetto tetap bersikeras bahwa Don Rua tidak akan menolak menemuinya.
Mereka menemukan dia sedang duduk di mejanya dengan satu kaki yang dibalut dan terangkat ke satu kursi. Wajahnya nampak pucat dan matanya merah dan bengkak karena ia kurang tidur. Possetto mengaku bahwa ia belum pernah melihat Don Rua begitu menderita, begitu hancur.
“Katakan kepadaku,” adalah kata pertama dari Don Rua, “bahwa kamu tidak mempercayai sedikit pun tuduhan mereka. Saya ingin mendengar kamu mangatakan itu kepadaku.”
Tatapi Possetto bukan seorang yang puas dengan kata-kata saja. Ia ingin aksi. “Katakan kepadaku apa yang telah dilakukan?” ia menjawab. “Apa yang sedang dilakukan untuk menghentikan semua hal yang tidak masuk akal ini? Semua surat kabar yang saya beli di negara ini berbicara hanya dari satu sisi cerita itu saja. Tidak ada satu kata pun tentang apa yang sebenarnya terjadi sebagai pembelaan.
“Apa yang dapat kami lakukan ketika mereka menerimanya dengan a Priori, tanpa mendengar dari pihak kita. Mereka tidak ingin kebenaran. Mereka hanya ingin ingin menghancurkan kongregasi! Mengapa pemerintah sendiri tidak membela kita? Untukhal-hal lainnya, saya dapat meyakinkanmu bahwa hanya inilah kekuatiran terbesar saya. Hal ini adalah kesalahan saya dan bukan seorang lain pun. Saya mengandalkan terlalu banyak pada kekuaatan saya sendiri pada waktu saya pertama kali saya mendapat keduduka yang sekarang saya pegang. Saya seharusnya tidak menerima jabatan ini. Dan sekarang, bertahun-tahun setelahnya, Tuhan menghukum saya untuk kelancangan saya dan selain saya, Ia juga menghukum orang yang benar dan tidak berdosa. Saya meminta pada-Nya siang dan malam untuk mengizinkan saya dan hanya saya saja yang menderita.”
Don Rua, seorang yang sering menghibur dan menyemangati orang lain, sekarang akan dihibur dan dikuatkan. Possetto juga menunjukkan kepadanya bahwa bukan dia saja yang disakiti, hal itu juga menyakiti seluruh serikat, dan seluruh Gereja. Pada akhirnya ia berhasil meyakinkan Don Rua bahwa hal yang ia butuhkan sekarang adalah serangan balik.
“Dengan cara apa?”
“Dengan cara yang sama dengan orang lain seolah-olah pergunakan tetapi sebenarnya mereka manfaatkan – kekuatan hukum.”
“Tetapi bagaimana jika pemerintah sendiri ada di balik ini semua?”
“Mereka dapat dibuat melihat terang. Tetapi kita harus mulai bergerak. Saya tidak membantah sedikit pun kebutuhan akan doa, tetapi Tuhan membantu orang yang berusaha.”
“Apakah yang kamu usulkan untuk dilakukan?”
“Sebagai langkah yang pertama, saya akan menulis kepada Walikota dan memintanya melakukan penyelidikan secara penuh.”
“Seandainya ia tidak menyetujui hal ini?”
“Aku akan mengajukan hal itu kepadanya dengan suatu cara sehingga ia tidak akan memiliki jalan lain. Langkah selanjutnya yang akan dibuat yaitu membuat orang lain sedikit lebih hati-hati untuk apa yang mereka cetak dan katakan kepada umum.”
Don Rua selanjutnya bangkit, satu per satu, rentetan keberatan-keberatan seperti ia melihat mereka diruntuhkan satu per satu oleh Possetto. Warna pada pipi don rua perlahan kembali, ia mulai mendapatkan kembali keberaniannya. Kepercayaannya kepada Penyelengaraan Ilahi yang sempat hilang dalam cobaan besar ini, kembali padanya. Akhirnya, ia mengangkat matanya ke surga, “Engkau benar! Pintu neraka tidak akan menang.
Langkah pertama untuk membela para salesian sangat membantu untuk memperingatkan surat-surat kabar bahwa mereka akan dikenakan hukuman bagi penerbitan berita yang tidak benar. Protes selanjutnya dikirim ke pemerintah lokal dengan peringatan yang sama, mendesak mereka untuk melindungi para salesian sebagai masyarakat yang mempunyai hak-hak. Protes yang sama juga dikirim untuk menteri dalam negeri, mengundangnya untuk melakukan penyelidikan dan untuk melihat bahwa hak-hak orang lain, sejauh belum terbukti bersalah atas kejahatan apa pun, akan dilindungi. Disusul dengan telegram kepada walikota Genoa dan Prokurator Raja di Savona. Semua itu bukan tanpa pengaruh. Untuk satu hal, surat kabar-surat kabar mulai menurunkan nada tajuk mereka yang berapi-api dan tuduhan-tuduhan mereka yang liar. Namun, kampanye kelompok antiklerik dengan aksi nyata melawan Gereja dan sekolah-sekolah, tetap berlanjut dengan perlawanan yang diakhiri dengan pertumpahan darah di Florence. Uskup-uskup dan para Kardinal secara terang-terangan diejek di jalan-jalan di kota Roma. Kardinal Merry del Val, sekretaris kepausan dan seorang pastor komposer yang terkenal di Perosi, diludahi di depan umum.
Untuk menyeimbangan keadaan ini, di sisi lain juga dibangkitkan aksi-aksi nyata. Aksi ini, untungnya, bukanlah suatu tindak kekerasan tetapi hanya sekedar sebuah ujuk rasa cinta dan kepercayaan kepada para salesian. Hal ini juga termasuk protes melawan penutupan dari sekolah di Varazze dan penutupan institusi para suster, yang telah disebutkan dalam buku harian itu. Hal ini benar-benar momen yang dianggap tepat oleh para Antiklerik untuk menuntut parlemen menutup semua sekolah-sekolah di Italia yang ditangani oleh para Pastor dan Religius.
Langkah selanjutnya untuk membuat pembelaan adalah membentuk suatu tim penasehat hukum dengan markas basar di Varazze. Team ini terdiri dari orang-orang pintar dari pengadilan di kota Turin dan kota-kota lain. Sumbangan-sumbangan mulai mengalir dari para sahabat-sahabat salesian untuk pembiayaannya. Beberapa anggota parlemen mulai mengajukan pertanyan-pertanyaan tentang kelegalan prosedur dan cara yang dilakukan pemerintah setempat yang mengurusi seluruh masalah ini. Akhirnya, para penasehat hukum atas nama institusi salesian melakuakan sesuatu proses yang formal melawan ibu itu, anaknya, dan siapa saja yang terlibat dalam tuduhan itu.
Hasil dari serangan balik itu segera nampak. Untuk awalnya Surat-surat kabar mulai merasa ke mana ‘angin bertiup’. Beberapa kejadian menunjukan bahwa hal itu menuju lebih kepada bisnis daripada kebenaran. Beberapa surat kabar antiklerik, dalam judul beritanya, sekarang membatasi diri mereka untuk serangan-serangan yang besar tetapi berhati-hati pada saat yang sama dengan menghindari nama-nama spesifik dan detail-detail karena takut dikenai tuntutan hukum.
Pada 29 Agustus, tepatnya satu bulan sejak masalah itu mulai merebak, bruder yang dimasukan ke dalam penjara dibebaskan karena tidakada lagi seorang yang berani menuduh dia di depan hukum. Hal yang sama terjadi pula pada 17 September untuk frater yang malang. Sebagai bayaran baginya yang sudah berada lama dalam penjara, sejumlah besar orang yang berkehendak baik berkumpul di stasiun untuk bertemu dengan dia, dan mengiringinya masuk ke dalam gereja di mana mereka semua bernyanyi Te Deum untuk bersyukur atas pembebasannya. Hari selanjutnya ribuan orang tidak hanya dari kota, tetapi juga dari luar kota berkumpul di lapangan sekolah. Agak bersemangat untuk berbuat sesuatu untuk para salesian, mereka memutuskan untuk membuka sebuah festifal oratori bagi anak-anak di kota itu. Pada 6 Oktober, pada upacara pembukaan, orang-orang di Varazze memberikan hadiah-hadiah kepada para salesian sebagai “kenangan atas hari-hari besar mereka”.
Pada 26 November, Menteri pendidikan mengeluarkan keputusan untuk membuka kembali sekolah itu. Hal ini menandakan berakhirnya persekongkolan dari orang-orang yang ingin menutup seluruh sekolah di Italia.
Hal itu bukan berarti masalah Varazze sudah berakhir, seperti yang mungkin diinginkan oleh orang-orang yang memulai masalah itu. Ada banyak orang yang tertarik untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masalah itu, yang ingin tahu siapa yang merencanakan itu, siapa yang memulai itu, siapa yang mengatur gerakan itu, siapa yang membiayai, apa tujuan semua itu.
Walaupun mereka tidak pernah berhasil memperoleh jawaban semua pertanyaan itu, mereka berhasil menemukan suatu hal yang sangat menarik. Alexsander Besson, anak dari ibu Vincenzina Besson, setelah diperiksa oleh ahli yang ditentukan oleh pengadilan, ditemukan bahwa ia seorang anak yang merosot ahlaknya, erotik, paranoid, dengan dugaan mengalami perkembangan yang tidak normal... kekurangan dan asimetri dalam bulatan somatik... sebab itu ia tidak dapat bertanggung jawab secara penuh, menurut kata-kata pada artikel 46 dari code hukum.
Selain itu, Alexander Bosson yang aslinya adalah Charles Marlario, adalah seorang anak angkat ibu itu yang diambil dari panti asuhan.
Vincenzina Besson sendiri disimpulkan oleh ahli yang sama sebagai seorang “...dungu, dengan indikasi yang sama sebagai seorang yang histeris, linglung, fanatik, erotik, dan karena itu ia separuh tak bertanggung jawab sesuai artikel 47 dari kode hukum yang sama.”
Jika mereka adalah orang yang tidak dapat bertanggung jawab tentang rencana busuk ini – seperti yang sudah jelas adanya – lalu siapa yang bertanggung jawab?
Catatan-catatan harian dan salinan-salinan mereka tampaknya telah dipersiapkan oleh seseorang yang lebih pintar dan lebih memiliki pengetahuan dalam masalah-masalah kegelapan dibandingkan dengan ibu itu dan anaknya. Anak itu telah berbuat hal itu, di bawah bimbingan orang lain; memasukan nama-nama salesian dan selain itu nama-nama yang telah ia pelajari selama waktu yang ia habiskan di sekolah. Ia lalu menulis buku harian itu dengan tangannya sendiri dan pada saat yang sama orang lain membuat salinan untuk didistribusikan.
Baberapa data-data yang sangat mencurigakan dibawa sebagai pengajuan di pengadilan. Misalnya, dokter yang kapadanya anak-anak diajukan untuk diperiksa, dia sendiri adalah pengarang dari halaman-halaman dari buku harian yang terkenal itu. Juga ditunjukkan bahwa ia berkomunikasi secara teratur dengan Hector Ferrari, Guru besar Freemasonry di Italia, yang juga ikut mengorespondansikan hal itu dengan pimpinan-pimpinan Freemansory di negara-negara lain*. Pengadilan menyimpulkan bahwa catatan harian itu sebagai suatu penipuan dan bahwa ada cukup bukti yang membuktikan adanya campur tangan orang luar yang hanya tertarik untuk membuat skandal antiklerikal.
Tidak ada berita lain yang pernah muncul dari skandal itu karena keduanya diusir ke luar negara itu: Tidak ada apapun yang pernah dilakukan lagi untuk benar-benar menemukan siapa yang mendalanginya: dan tidak seorang pun, apalagi para salesian, ingin mendengar lebih banyak tentang skandal Varraze.
Bab 11
Selama masa jabatanya Don Rua melakukan dua kunjungan ke tanah suci. Yang pertama pada 1895 dan dilakukan untuk memenuhi tugas dalam menjawab permintaan yang berulang-ulang dari seorang pengagum salesian Pastor Antony Belloni. Pastor Belloni mendirikan banyak karya cinta kasih di Palestina dan telah, terlebih lagi, mendirikan sebuah konggregasi untuk merawat mereka. Ia mempersembahkan karya-karyanya kepada Don Rua, telah bergabung dengan serikat, membuat kaul dihadapan Pastor Barberis, dan kembali ke Palestina untuk mempersiapkan kedatangan para salesian.
Don Rua tiba di Jaffa pada 29 Februari, dan dengan mengejutkan para sama saudara, ia tidak mengunjungi Kota Suci, tapi langsung pergi menuju ke rumah salesian di Betlehem. Hanya sesudahnya dia mengunjugi Gua Kelahiran Yesus untuk merayakan misa dan juga di Yerusalem mengadakan misa di Kubur Suci.
Namun, untuk sisa kunjungannya, kunjungannya adalah urusan resmi. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa di kedua rumah, karena tidak menemukan bahwa hal-hal tidak dilakukan sesuai keinginannya, ia menulis beberapa rekomendasi untuk provinsial.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas resminya, ia kembali dengan mengikuti jalan seperti saat ia datang – hanya pada saat itu ia sudah berjanggut, janggutnya ia biarkan tumbuh untuk mengikuti kebiasaan di daerah itu.
Kunjungan keduanya ke Tanah Suci, sebaliknya, walaupun hal itu dilakukan sambil mengunjungi beberapa rumah salesian yang dilewati, pada dasarnya adalah suatu peziarahan. Mereka yang dekat dengannya percaya bahwa hal itu untuk memenuhi janji yang telah dia ucapkan pada saat-saat yang sulit dari skandal di Varraze. Beberapa alasan membuat para salesian berpikir demikian. Pertama-tama, ia telah mengunjungi seluruh rumah-rumah itu dan tidak ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengunjungi lagi dalam jeda waktu yang singkat. Di samping itu, bagi kondisinya untuk mengambil beberapa perjalanan yang melelahkan adalah suatu tindakan yang tidak bijaksana: tentu saja, hal itu terlihat sebagai suatu tindakan yang sangat tidak bijaksana. Dan terbukti bahwa perjalanan itu merupakan yang terpanjang dan paling melelahkan di sepanjang hidupnya.
Ia mengambil jalan memutar yang panjang melalui Yugoslavia dan Bulgaria. Satu dari rumah-rumah itu diberitakan bahwa ia tidak makan dengan baik. Hal ini diketahui terlambat bahwa hal itu terjadi karena ia memiliki masalah dengan giginya tetapi ia tidak mau membuat suatu kekecualian dalam makanan yang telah disediakan dari komunitas. Selama perjalanan ia kehilangan 6-7 giginya, membuat giginya hanya tersisa sedikit.
Di Ephesus, di Smyrna, ia bersikeras untuk berjalan kaki ke pulau yang dibuat terkenal oleh santo Yohanes Rasul. Pada pemandangan sebuah reruntuhan kuil Maria yang besar di mana para Bapa Gereja selama Konsili Ekumenikal ketiga mendukung gelar Bunda Allah, matanya dipenuhi air mata.
Akhirnya, waktu ia tiba di tepi danau Genasaret dan menaiki salah satu perahu ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Tidak perlu banyak usaha untuk membayangkan bagaimana Yesus dan para muridnya meyeberang dia air yang sama; bagaimana ia menenangkan air itu dengan perintahNa; bagaimana Ia menguatkan iman yang lemah dari para muridNya. Ia telah berjalan mendekati mereka, ia juga pernah memenuhi perahu murid-muridNya dengan tangkapan yang tidak dapat dipercaya di mana sebelumnya mereka telah berkerja sepanjang malam dan tidak mendapatkan apa-apa.
Ia sampai ke Nazaret pada 14 Maret. Di sana, ia ingin mendaki gunung Transfigurasi. Walaupun, seperti pada umumnya, orang pergi ke sana dengan menunggang kuda, Ia bersikeras untuk mendaki gunung dengan berjalan kaki. Ia ingin, ia menjelaskan, agar mampu membayangkan dengan baik peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sepanjang perjalanan ini. Setelah dua jam, karena kehilangan tenaga, ia memutuskan untuk menunggang, bukan dengan mengunakan kuda yang berpelana yang diberikan kepadanya, tetapi seekor keledai yang mana ia hanya duduk di sisi pelananya saja. Dengan cara itu ia dapat mengistirahatkan kaki yang sakit dan bengkak.
Selama kunjungannya ke rumah-rumah salesian di Nazaret, para sama saudara berusaha untuk membuat dia berjanji akan melakukan kunjungan lagi, karena empat tahun kemudian, mereka akan mengkonsekrasikan gereja mereka yang bagus dan indah yaitu gereja Kanak-Kanak Yesus. Untuk semua itu ia hanya tersenyum saja. Janji seperti itu, ia tahu, bahwa hal itu tidak akan dapat ia penuhi.
Di sora hari pada 23 Maret ia tiba di Bethlehem di mana ia diterima dengan penuh entusiasme dari orang-orang di sana, lalu ia kembali ke Jerusalem di mana ia mengadakan misa di Makam Suci. Selama misa ia terlihat tergerak perasaannya. Seandainya ia benar-benar datang ke tanah suci untuk berziarah, maka hal ini menjadi puncaknya.
Hal itu akan nampak dari apa yang ia tulis selanjutnya tentang perasaannya pada saat peristiwa itu dan apa yang telah ia doakan selama misa.
“Aku bersyukur kepada Tuhan yang Mahakuasa atas segala kemenangan yang telah diberikan kepada serikat kami untuk melawan fitnah musuh-musuh kami, dan sebaliknya, mendapatkan keuntungan yang besar untuk karya kami karena mereka.”
Hal penting lainnya dalam ziarah adalah kunjungan ke Gua Kelahiran, di mana ia tiba disana pada 5 April, “ Saya dapat meyakinkanmu.” ia menulis, “Pada saat berdoa di tempat suci itu tidak hanya membuat hatiku dipenuhi dengan cinta akan Tuhan yang merendahkan DiriNya manjadi manusia untuk menjadi penyelamat kita, tetapi saya juga merasa gerakan yang kuat untuk meniruNya dalam Kerendahan hati dan KemiskinanNya.
Ziarah sudah berakhir, janji telah terpenuhi.
Sewaktu ia kembali ke rumah dari perjalanannya yang panjang dengan melewati Alexandria, Malta, Sicily, Syracuse, ia ditemui oleh para Direktur dan Provinsial dari Sicilia di Provinsi Sicilia.
Melihat bahwa ia begitu lelah, salah satu dari sama saudara menyapa dengan nada simpatik, “Don Rua yang malang, kamu terlihat begitu ugly.” (Ugly dalam bahasa pedmontese berarti kusut atau buruk).
Don Rua segera menjawabnya. “Terima kasih,” ia berkata. “Don Bosco pernah berkata kepada saya ‘Jika seseorang berkata kepadamu bahwa kamu terlihat “kusut” hal itu berarti kamu akan segera meninggal dunia!’”
Pada 20 Mei sore, setelah tiga bulan dan delapan belas hari perjalanannya, ia kembali ke oratori. Ia terlihat lebih letih dan lesu daripada biasanya, dan orang-orang dapat melihat dengan segera bahwa ia telah kehilangan giginya. Seseorang berkata tentang itu kepadanya.
“Oh, tidak,” ia tersenyum. “Saya tidak kehilangan gigi-gigi saya. Saya menyimpannya semua pada kotak saya. Pada hari penghakiman saya tidak mau harus mencari gigi-gigi saya yang hilang!”
“ Setelah ia kembali dari Tanah Suci,” pastor Anthoni Dones menulis, “ketika ia tiba di Milan ia berpakai lusuh sehingga pastor Saluzzo dan saya merasa malu melihat Pangeran Gonzaga juga menunggu di stasiun untuk menyambutnya,dan juga beberapa pangeran lain dan para bangsawan dan juga para penderma dari sekolah kami. Topinya sudah sangat usang dan berwarna kuning tua, mantel dan jubahnya menjadi kehijau-hijauan dan sobek pada tepinya, mereka telah dipotong oleh para pengagum yang ingin memiliki relikwi darinya. Segera ketika kami sampai di sekolah kami segera memberikan kepadanya sebuah topi yang baru, jubah dan mantel, sebab ia harus terlihat sedikit layak sewaktu ia dipanggil oleh Kardinal. Kami benar-benar kesulitan membuatnya menyerahkan pakaiannya yang lama! Kami harus memberitahunya bahwa kami hanya membersihkan dan memperbaikinya. Keesokan harinya, sebelun ia pergi ke Turin ia terus menerus meminta agar pakaian lamanya dikembalikan dan kami harus memikirkan beberapa alasan yang aneh untuk tidak mengembalikan pakaiaan itu kepadanya. Tetapi dengan jelas ia menujukkan kepada kami bahwa ia tidak senang dengan apa yang telah kami lakukan.
Pada akhir tahun ditandai oleh sebuah tragedi lain, yang mana Don Rua terlibat dengan cara yang mengherankan dan mungkin, secara ajaib.
Pada suatu malam sekitar pukul 9.00 di bulan Mei 1906 – tulis pastor Francis Picollo – Kami empat orang salesian sedang melakukan perjalanan sendirian dalam sebuah gerbong kereta api yang memiliki penerangan buruk hanya dengan lampu minyak. Pastor Berberis sedang tidur di sebuah sudut, Pastor Allavena di sudut lainnya. Pada waktu itu, saya mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Don Rua.
Don Rua, saya berkata, saya memiliki lebih dibandingkan dengan sebuah khayalan, saya mempunyai firasat bahwa saya akan segera meninggal. Dan saya tidak akan meninggal sendirian. Sekitar lima puluh orang akan meninggal dengan saya. Bahkan, saya berpikir bahwa total seluruhnya akan menjadi lima puluh dua orang.
Don Rua menatap kepada saya dengan terkejut. Ia tidak menanggap hal itu dengan remeh. Ia meminta saya untuk menjelaskan semua dengan jelas. Semua yang dapat saya katakan kepadanya tentang masalah itu adalah bahwa saya tidak mempunyai pikiran lain, bahwa saya tidak tahu di mana dan kapan hal itu terjadi, hanya bahwa kami akan berjumlah lima puluh dua orang sewaktu kami menyerahkan diri kami kepada Tuhan.
Don Rua selanjutnya berhenti berbicara dan saya mengalihkan perhatian saya pada hal-hal yang lain ... sampai saya merasa Don Rua menyentuh saya pada bahu saya.
“Dengar, Pastor Francis,” ia berkata. “Saya baru saja berdoa untukmu. Apa yang telah kamu katakan kepada saya, saya berjanji hal ini tidak akan terjadi padamu.”
Pastor Picollo selanjutnya melanjutkan berbicara tentang bagaimana ia telah membuat rencana untuk berkunjung ke Messina, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya, selama liburan Natal dan tinggal di sana sampai tahun baru. Namun, ia diangkat menjadi Provinsial di tempat lain ke Provinsi yang agak sulit. Ia mengatakan hal ini kepada Don Rua, mengingat kesehatannya yang buruk, ia mungkin tidak mampu memenuhi segala kewajiban dengan baik. Tetapi Don Rua berpegang teguh pada keputusannya. Sampai pada 28 Desember 1908, ia menemukan dirinya berada di Alassio yang terletak di sepanjang Italian Riviera, memandang keseberang laut Tyrrhenian dan berpikir sedih tentang liburannya yang hilang, sewaktu sebuah pesan diantar kepadanya.
Pesan itu sangat singkat: “Gempa bumi terjadi di Mesina! Korban yang meninggal lebih dari 100,000 orang!”
Sewaktu ia telah pulih dari shock awalnya,ia mampu mendapatkan data yang lebih lengkap, khususnya apa yang terjadi di rumah Salesian di Mesina. Dalam ketakutan ia mendengar bahwa yang meninggal terdiri dari 6 pastor, 2 frater, 1 bruder, 4 pelayan, dan 38 anak-anak. Tepatnya lima puluh satu orang. Satu dari lima puluh dua orang yang diramalkan hilang.
Sebenarnya, jumlah yang meninggal di seluruh daerah gempa sekitar dua ratus ribu orang, kebanyakan dari mereka masih terkubur dalam puing-puing. Semuanya ini terjadi hanya dalam beberapa detik yang menakutkan!
Sewaktu berita tentang bencana alam yang buruk ini diterima Don Rua, ia segera mempersiapkan bantuan lebih dari satu bentuk. Pertama-tama, basilika ditutupi dengan perkabungan dan misa kematian dipersembahkan untuk yang meninggal, yang pertama untuk para salesian dan selanjutnya untuk para penderma yang meninggal dunia. Don Rua sendiri ingin memimpin misa tersebut tatapi diyakinkan, mengingat kondisi kesehatannya yang lemah, untuk membatasi dirinya hanya menjadi pendamping di Altar Catafalqe.
Untuk yang selamat, ia membuat mereka mengerti bahwa setiap rumah Salesian bebas untuk dan diharapkan untuk menerima anak-anak yang kehilangan rumah: dan rumah-rumah di daerah tersebut semuanya menerima sumbangan yang murah hati. Ia menempatkan Institusi baru Borgia di bawah perintah penuh dari Uskup Mileto. Ia juga memerintahkan kepada Provinsial Sicilia, Pastor Bartolomew Fascie, untuk menempatkan dirinya dan seluruh Provinsi Salesian itu di bawah perintah Uskup Messina dan Catania.
Paus Leo XIII telah mempercayakan kepada Don Bosco pembangunan Gereja Hati Kudus di Roma dan Paus Pius X, pengantinya, meminta pengganti Don Bosco untuk mendirikan sebuah gereja lainnya, kali ini di bagian Testaccio untuk menyediakan pelayanan kepada yang miskin. Gereja itu sekarang telah sempurna dan Don Rua bersikeras untuk hadir pada pemberkatan gereja itu pada 29 November 1908. Beberapa hari selanjutnya ia pergi ke Vatikan untuk penawaran formal gereja baru itu dari Salesian kepada Bapa suci sebagai hadiah untuk perayaan Yubelium sacerdotal Bapa Suci..
Pada saat ia mendaki tangga ke ruangan Paus, ia pasti mengingat hari ketika ia mendampingi Don Bosco yang mulai tua ke anak tangga yang sama untuk membuat hal yang sama, tindakan akhir dari ketaatannya kepada Bapa Suci. Sekarang adalah gilirannya.
Bab 12
Selain mengatur hal-hal umum di Konggregasi, Don Rua memfokuskan usahanya pada empat bidang yang berbeda namun saling terkait: Misi – Panggilan – Oratori – Koperator. Di keempat bidang ini, ia membuktikan bahwa jika ia bukanlah seorang pencipta yang hebat, ia adalah seorang pengatur dan administrator yang hebat.
1 Misi |
▲back to top |