I
JALAN YANG MANA TUHAN?
Philip gelisah. Imamat bukanlah untuknya dan tidak ada yang bisa merubahnya. Dia yakin benar akan hal itu sejak dia meninggalkan sekolah salesian di Mirabello, kecewa bahkan kepahitan, meskipun dengan alasan kesehatan yang dikatakannya, tetapi sebenarnya dia sangat rindu ingin pulang ke rumahnya. Di samping itu, perlakuan yang tidak adil dan kasar yang dia terima dari salah seorang guru tidak mampu lagi ditanggungnya. Dan sekarang dia dirumah kembali sebelum tahun ajaran sekolah selesai. Mengapa Don Bosco sangat memaksanya?
Pada usia ke 14. Philip Rinaldi adalah seorang remaja yang tinggi dan tegap, rela melakukan bagian pekerjaannya diladang milik keluarga. Akan tetapi ayahnya mengharapkan yang lebih baik bagi anak yang tenang dan kalem ini daripada pekerjaan petani yang menyakitkan punggung. "Barangkali sakit kepalamu akan lenyap dan kamu bisa mulai belajar lagi", dia berkata tanpa ada nada memaksa dalam suaranya.
Philip lebih mudah percaya kepada ibunya,"saya tidak bisa membaca buku tanpa mendapatkan sakit kepala. Lagipula, Imamat merupakan pilihan saya yang terakhir. Mengapa Don Bosco tidak melihat hal itu ?"
Ingatan yang sering timbul tentang pastor dari Turin itu menggangunya. Philip baru saja berusia tujuh tahun ketika ia untuk pertama kali melihatnya. Don Bosco waktu itu datang ke Lu untuk perjalanan semalaman, ditemani oleh sekelompok besar anak-anak. Peristiwa itu cukup menyolok bagi orang-orang di desa yang penuh damai itu. Anak-anak yang ribut, menyanyi dengan keras dan berbaris di jalan yang sempit itu dengan suara-suara Banda. Tetapi, siapakah pastor yang kelihatan seperti anak muda itu, dengan senyum yang menyenangkan dan memikat anak-anak yang ribut itu?
Philip kecil merasa kagum dan merasa terlambat hari itu ketika dia datang mendekati Don Bosco dengan penuh harapan. Dengan anak-anaknya serta penasehat-penasehat yang baik dalam perjalanan menuju sekolah Mirabello untuk bermalam, orang kudus itu berharap untuk menggunakan kereta api terakhir kembali ke Turin. Padahal stasiun kereta api 10 kilometer jauhnya dari Lu dan ia terlalu letih untuk berjalan. Bagaimanapun juga ia tidak akan sampai pada waktunya, kecuali salah seorang dari warga desa datang menyelamatkan dengan kendaraan.
Dengan pikiran ini dalam benaknya, Don Bosco berhenti tepat di depan rumah keluarga Rinaldi. Tuan Christoforo, ayah Philip dengan cepat melihat pastor itu dan menemuinya.
"Don Bosco", dia bertanya. "Adakah yang bisa kami bantu?"
"Kamu mungkin orang yang benar-benar saya perlukan",orang kudus itu menjawab. "Saya harus berada di stasiun pada pukul delapan atau saya tidak akan kembali ke Turin".
"Kami akan gembira membawa anda ke sana. Manantu saya akan mengantarmu. Masuklah sementara kami mempersiapkan kendaraan."
Tidak ada hal-hal lain yang diingat pada pertemuan pertama Don Bosco dengan keluarga Rinaldi. Orang hanya tahu kebaikan dan sikap Don Bosco yang menyenangkan, senyumnya dan kehangatannya yang mengesankan dan dikagumi oleh semua orang, tua dan muda di dalam rumah keluarga Rinaldi malam itu. Apakah dia mengatakan sesuatu kepada Philip? Apa yang kita tahu bahwa anak laki-laki itu pasti sudal lebih daripada sedikit terkesan. Ketika keluarga itu berkumpul di dekat meja makan segera sesudah keberangkatan Don Bosco, semua memberikan komentar tentang tamu mereka yang kunjungannya tidak mereka duga. Philiplah yang menyatakan kesan hari itu,"Don Bosco" katanya,"barangkali seorang imam, tapi bagi saya dia lebih layak daripada seorang uskup.
Dalam tahun-tahun berikutnya, mengingat kembali kebaikan ayahnya kepada Don Bosco pada bulan September siang hari itu, Philip biasa mengatakan bahwa kejadian itu merupakan permulaan akan berkat-berkat yang melimpah yang diterima di dalam keluarga baik pada saat itu maupun di dalam tahun-tahun berikutnya.
Pertemuannya yang kedua dengan Don Bosco kira-kira enam tahun kemudian di sekolah Mirabello, dan meninggalkannya kesan yang lebih mendalam. Philip waktu itu adalah murid yang enggan-engganan di sekolah yang terletak beberapa mil dari daerah asalnya Lu. Don Bosco menyukai tempat itu dan sering mengunjunginya. Pada waktu itu, sekolah Mirabello merupakan satu-satunya sekolah milik Don Bosco disamping Oratorio di Turin. Sekolah itu juga yang pertama-tama membibitkan aspiran-aspiran muda untuk imamat.
Philip mencatat kesan yang tak terlupakan akan kunjungan Santo itu. Mengenang singkat sebelum dia meninggal, dia menggambarkan pertemuannya dengan Don Bosco. "Pastor yang baik itu ada di ruang makan, baru saja menyelesaikan santapannya. Dia meminta saya duduk tepat di sebelahnya, dan dengan kebaikannya menanyakan saya beberapa pertanyaan tentang diri saya, rumah saya dan sekolah. Kemudian dia berkata perlahan,"Marilah kita menjadi teman yang akrab, Philip dan jika engkau mau, temuilah aku di dalam sakristi sebelum misa besok pagi." Saya tahu dia ingin saya mengaku dosa dan sebagai jawaban saya tersenyum penuh terima kasih. "Ya, Pastor"
Keesokan paginya, saat Philip menghampiri Don Bosco untuk mengaku dosa di dalam sakristi yang kecil dan gelap dibelakang altar utama, dia terkejut melihat sinar yang bercahaya pada kepala pastor itu, hampir sepeti bundaran disekeliling kepala orang-orang kudus. Don Bosco sedang duduk di kursi pengakuan dan Philip berdiri memandang dengan kagum tanpa mampu bergerak dan mulai pengakuannya sampai orang kudus itu tersenyum, menyuruhnya berlutut seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Philip tidak pernah sungguh-sungguh menyatakan apa yang terjadi antara dia dengan Don Bosco selama pengakuan itu. Tanpa ragu-ragu oarng kudus itu pasti telah menyentuh dasar panggilan anak itu, dan kemudian dia selalu meyakinkan anak itu akan panggilannya dalam tahun-tahun berikutnya. Tetapi di rumah, Philip yang meskipun yakin bahwa Don Bosco benar-benar seorang kudus tetap yakin bahwa dirinya tidak terpanggil untuk itu; untuk menjadi imam.
Selama beberapa tahun berikutnya dia bekerja keras di ladang keluarga, tetapi pada sore harinya dia mulai menekuri kembali buku-buku milik kakak laki-lakinya, pastor Luis. Dia juga bergabung dengan koor gereja, aktif di dalam perkumpulan St. Blaise dan menjadi favorite diantara anggota-anggotanya yang menunjuknya sebagai presiden perkumpulan meskipun dia yang termuda diantara lainnya.
Philip baru menanjak delapan belas tahun ketika tiba-tiba dia merasakan kegelisahan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Di dalam ingatannya yang samar-samar, dia menyebutnya "Pemberontakan" melawan praktek-praktek religius yang mengganjal, yang pada waktu itu sangat umum sama dengan kerinduan untuk membuat indulgensi bagi dirinya akan kehidupan lampau anak-anak muda seusiannya.
Suatu ketika, pada hari senin sore, dia membawa beberapa teman ke rumahnya. Mereka datang untuk merasakan anggur Malvasia yang baik miliknya. Lonceng gereja mengumandangkan ibadat doa-doa sore dan seseorang mengusulkan untuk pergi ke gereja. Philip tahu bahwa beberapa dari mereka kelihatannya akan menimbulkan gangguan-gangguan selama doa, tetapi dia berangkat juga bersama dengan mereka. Dia menulis:"Begitu saya membuka pintu gereja, ibadat doa sore sudah dimulai. Tiba-tiba saya merasakan terlempar kebelakang oleh tangan yang tidak kelihatan. Dengan segera saya menjauh dan berlari ke rumah dimana mendapatkan ibu yang bercucuran air mata, berlutut di depan gambar St. Joseph." Bagi Philip ini merupakan titik tolak di dalam krisis rohaninya. Kemudian, dia selalu berfikir kembali dengan rasa terima kasih pada hari itu dan menandai peristiwa yang singkat itu yang telah menangkapnya luput dari penipuan yang berbahaya dan bahkan lebih lagi dari anggapan berbahaya karena doa-doa ibunya dan perlindungan St. Joseph.
Don Bosco sementara itu, tidak melupakan Philip. Dia sering mengirim surat kepadanya, mengundangnya ke Turin untuk belajar sekali lagi, tetapi anak itu memasang telinga tuli akan permintaan itu. Sekali dia menulis kepada orang kudus itu dan memberitahukannya dengan halus bahwa dia pikir dia tidak cocok untuk imamat, dan bahwa bagaimanapun juga penglihatannya sangat jelek dan belajar menyebabkan sakit kepala yang amat sangat. Tentu saja dia memiliki keputusannya sendiri, dia agak gelisah ketika beberapa hari kemudian sebuah catatan sampai kepadanya dari Turin. "Datanglah Philip ! Saya berjanji bahwa sakit kepalamu akan lenyap dan kamu akan mempunyai cukup penglihatan yang akan membawamu menuju imamat selama hidupmu"
Pada tahun ke 50 imamatnya, Philip menulis di dalam buku hariannya:"Saya bersikeras menolak panggilan yang Tuhan dengan jelas nyatakan padaku melalui Don Bosco,." Sungguh merupakan suatu kesulitan untuk menerangkan hati seorang anak muda yang menolak permintaan Don Bosco yang berulang-ulang. Setelah waktu kegelisahan dan pemberontakan yang singkat, Philip yang telah kembali kepada kebiasaan hidupnya, keteraturan dan kesibukan pada pekerjaan-pekerjaan di ladang keluarga, masih juga bisa menemukan waktu istirahat di dalam perpustakaan kecil milik kakak laki-lakinya, ikut serta di dalam kegiatan-kegiatan perkumpulan, dan di dalam pelayanan-pelayanan gereja yang dihadirinya dengan teratur.
Pada usia 21, dia telah menjadi tinggi dan kuat, seorang muda yang selalu siap sedia. Keluarganya merupakan orang-orang yang dihormati dan dia sendiri berkelakuan baik di dalam desa. Kakak laki-lakinya adalah seorang imam, adiknya sudah ada di SMP Seminari sedangkan dua kakak laki-lakinya yang lain serta dua kakak perempuannya telah menikah. Philip waktu itu menjadi incaran gadis-gadis di desa dan segera namanya dihubungkan dengan salah seorang dari mereka. Seperti kebiasaan pada masa itu, keluarga melemparkan "usulan" ketika segala sesuatu kelihatan berlangsung baik, kemudian membiarkan hal itu berkelanjutan. Philip pada mulanya hanya tersenyum tetapi kemudian menjadi serius. "Saya berdoa" katanya beberapa tahun kemudian, "dan meminta nasehat dari bapa pengakuan saya, dan menerima komuni kudus. Saya memutuskan, menikah bukanlah untuk saya."
Pada bulan-bulan berikutnya, Philip yang muda merasa tidak berbahagia dan tidak pasti akan masa depannya. Tidak ada seorangpun yang tahu hal ini lebih baik daripada ibunya yang kudus, yang merasakan penderitaannya. Tetapi dia mempunyai kepercayaan yang tak terbatas kepada Tuhan, dan tahu secara naluri bahwa anaknya akan menemukan jalan hidupnya. Ketika pada permulaan bulan Juni 1876, dia mendengar bahwa Don Bosco akan datang mengunjungi Lu, dia yakin bahwa Don Bosco akan menjadi orang yang menunjukkan jalan kepada Philip.
2
MARI, IKUTLAH AKU
Pada tanggal 1876, Don Bosco berada di Lu, mengunjungi komunitas kecil suster-suster Salesian yang dia dirikan di sana beberapa bulan sebelumnya. Dia menyukai pemandangan desa, terletak di atas sebuah bukit, dikelilingi oleh taman - seperti ladang anggur dan menunjukkan pemandangan yang mengaggumkan dari lembah besar pegunungan alpen. Dia menyukai orang-orangnya, sederhana, sifat kedaerahan yang kuat yang mengingatkannya akan orang-orangnya sendiri di Castelnuovo. Mereka mempunyai rasa religius yang dalam dan mencintai gereja dimana mereka dengan murah hati menyerahkan anak-anak mereka. Desa ini, dengan nama yang singkat dan hati yang besar, selama lebih dari dua generasi telah membagikan sepuluh persen dari populasinya untuk imamat dan hidup biara, suatu rekor yang tidak terimbangi dimanapun di dunia.
Bertemu Don Bosco merupakan hal yang membahagiakan bagi Philip. Mengetahui bahwa dia pasti akan mengunjungi rumah Rinaldi, Philip merasa yakin orang kudus itu akan sekali lagi mengejar pokok panggilannya, dan siap didalam setiap gerakan. Tetapi dengan permohonannya, Philip bertemu dengan pertahanan yang kokoh. "Don Bosco menghancurkan pertahanan saya dan seutuhnya memenangkan saya untuk dirinya" dia menulis di dalam buku hariannya.
Philip tidak dipaksa oleh Don Bosco untuk meninggalkan rumah secepatnya. Selama bulan-bulan berikutnya dia memutuskan keputusannya yang terakhir. Keinginan dan bahkan kegelisahan untuk membuang segala sesuatunya untuk Don Bosco, dia mulai memiliki pendapat serius yang salah tentang imamat. Sembilan tahun telah berlalu sejak dia mulai belajar sungguh-sungguh. Bagaimana dia pernah mengharapkan untuk memperbaikinya? "Tetapi" dia menulis,"saya tidak terlalu peduli tentang itu. Apa yang saya inginkan adalah hidup tersembunyi dan tidak dikenal didalam masyarakat, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan harian. Betapa saya mengharapkan saya masih memiliki hasrat yang sama setelah bebera- pa tahun ini." Dia cukup senang untuk mendahului imamat dan oleh karena itu meminta kedalam kongregasi sebagai Bruder.
Masih dengan pikiran yang seperti itu ketika Philip sekali lagi menghampiri Don Bosco. Memasuki tahun 1877, orang kudus itu mengunjungi Borgo San Martinho pada kesempatan pesta pelindung sekolah Salesian. Uskup serta orang-orang terhormat lainnya diundang, dan Philip sulit mengharapkan untuk melihat Don Bosco pada saat dimana setiap orang kelihatan mengerumuninya kapanpun serta dimanapun dia berada. Tetapi apa yang dia katakan kemudian, sesuatu yang sukar dipercaya terjadi. Don Bosco melihatnya ditengah-tengah keramaian dan mengundangnya untuk makan malam bersama dengan tamu-tamu kehormatan. Kemudian, ketika semua orang telah meninggalkan ruang makan orang kudus itu memberikan tanda kepada Philip untuk tinggal bercakap-cakap seperti yang keduanya inginkan
Di dalam buku harian Philip tidak tertulis sesuatu yang menyangkut pembicaraan ini, tetapi apa yang terjadi berikutnya mengatakan hal itu. Kurang dari satu minggu kemudian, kita mendapatkan dia di dalam persiapan masuk seminari. Apa yang dia lihat, ketika dia duduk sendiri dengan Don Bosco di dalam ruang makan komunitas pada hari yang cerah didalam bulan November itu pasti mengesankannya lebih daripada yang dia dengar. Sebelum dia meninggal, pastor Rinaldi membicarakan hal itu dengan pastor Eugenio Ceria, penulis biografi Don Bosco.
Pada akhir wawancara, Don Bosco yang tiba-tiba terdiam, kelihatan mempersiapkan diri dalam doa. Dia dudukya menunduk, tangannya menggeggam salib di atas dada. Segera setelah itu wajahnya mulai memancarkan sinar yang lama kelamaan menjadi lebih terang, bahkan lebih terang dari sinar matahari yang memancar melalui jendela. Setelah beberapa saat, dia sadar kembali dan mengakhiri percakapannya dan berdiri meminta ijin.
Untuk kedua kalinya Philip melihat bukti akan kekudusan Don Bosco. Tidak banyak contoh-contoh kejadian serupa yang terjadi di dalam hidup pendiri Salesian ini. Sebagai superior general dari perserikatan Salesian pada 1931, satu tahun lebih sedikit sesudah beatifikasi Don Bosco, pastor Rinaldi menyinggung singkat dalam tulisannya hubungan pertamanya dengan Don Bosco. Keragu-raguan, ketidak pastian dan perjuangan yang lama dipikulnya ke Don Bosco, pastilah sudah ada didalam ingatannya pada sore hari di bulan November di Borgo San Martinho, karena dia menulis;"Semakin dekat ajal saya, saya dapat melihat lebih jelas daripada dulu, betapa terangnya sinar yang membimbing saya kepada pendiri kita yang kudus."
Keputusan tiba-tiba Philip untuk masuk seminari bukanlah suatu kejutan bagi keluarganya. Melainkan, kejutan bagi teman-temannya dan penduduk sekitar. Biasa melihatnya di ladang dengan diam dan cekatan, mereka tidak bisa membayangkan gambar seorang petani yang tinggi dan kuat dengan jubah seorang imam. Bahkan, Bapa Pengakuannya, orang yang terdekat dengannya itu, kelihatannya terpaku akan kenyataan itu.. Di dalam buku harian Philip tertulis;" Imam yang baik itu melihat saya seakan-akan saya telah menyatakan padanya bahwa saya sedang dalam perjalannan ke bulan. Ketika dia pada akhirnya menyadari bahwa saya benar-benar serius, dia memberikan nasehat-nasehat kebapaan serta berkat imamatnya."
Dengan keyakinannya untuk mengikuti panggilannya, tanpa berfikir untuk menengok ke belakang tidak mengurangi rasa sakitnya berpisah dari rumah. Philip sangat merasakan hal ini. Dia juga merasakan kerasnya hidup dalam seminari. Dia sudah menghabiskan 22 tahun penuh hidupnya di ladang yang terbuka dan di rumah yang diberkati dengan ikatan kekeluargaan yang kuat. Pada mulanya segala sesuatu kelihatan asing dan terbatas di St. Vincent Hospice dekat Genoa, dimana 50 pemuda dewasa menjalani 3 tahun penuh kursus pendidikan, yang ditujukan untuk mempercepat pembinaan mereka dalam mempersiapkan imamat. Tentang Rektor muda, pastor Albera yang menerimanya, Philip menulis di dalam buku hariannya:"Satu kata, satu senyum darinya, bahkan hanya pandangan yang saya perlukan untuk memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraanku selama hari-hari penuh kesulitan itu. Saya ingat satu kali saya katakan kepadanya bahwa saya akan melakukan kebodohan dan kabur dari tempat itu. Pastor Albera tersenyum dan menjawab: saya akan mengejarmu dan membawamu kembali."
Beberapa catatan dalam buku hariannya lebih menunjukkan saat-saat sulit yang dia alami dalam minggu-minggu pertama di seminari. Dia menulis:"Philip, pikirlah hal-hal ini jika engkau tergoda untuk pergi: 1. Ada bahaya di dunia, 2. Apa yang memutuskan engkau untuk meninggalkan dunia, 3. Tidak ada kebahagiaan abadi di dunia, 4. Semua adalah kesia-siaan dan pemborosan hidup, 5. Penderitaan adalah harga untuk keselamatan, 6. Doa dan kepercayaan kepada Tuhan mengalahkan segala kesulitan, 7. Bunda kita sungguh-sungguh mendengar doa-doa kita, 8. Dunia dan tubuh tidak ada artinya sementara Surga dan Jiwa merupakan segala-galanya."
Hampir tidak mungkin membaca kalimat itu tanpa menyimpulkan bahwa di dalam diri Philip terdapat kedewasaan rohani yang tidak biasanya terdapat dalam diri seorang pemuda yang baru saja berada dalam genggaman hidup religius.
Dia juga tidak kurang semangatnya dalam pelajaran. Di sini juga, dia harus mengalami keputus-asaan pada mulanya. Didalam pembicaraan dengan rektornya dia menulis:"Saya tidak seharusnya khawatir tentang pelajaran saya. Saya akan membiarkannya (Rektor) mengatasi kekhawatiran itu, asalkan saya dapat berkata bahwa saya melakukan yang terbaik. Dan lagi saya yakin bahwa tanpa perlindungan bunda kita, saya tidak akan mengerti apa-apa dengan ingatan dan kepandaian saya. Saya akan mempersembahkan semua keberhasilan untuk kemuliaannya dan kemuliaan Tuhan; dan saya tidak akan membiarkannya menyusahkan saya jika saya gagal." Tanpa bisa dipercaya, dia segera berada di tingkat teratas dalam kelas. Catatan sekolah menunjukkan bahwa dia menyelesaikan tahun pertamanya dengan rata-rata 98%. Dia diijinkan untuk memasuki tahun kedua dan lulus pada akhir pelajaran dengan penghargaan tertinggi.
Pada tanggal 20 Oktober 1879 di rumah Novisiat di St. Benigno dekat Turin, Don Bosco memimpin upacara pengenaan jubah bagi 51 novis. Philip salah satu diantaranya, gembira dan penuh rasa terima kasih mengenakan seragam yang akan manandai dirinya selamanya sebagai tentara terdepan di dalam barisan serdadu Kristus.
3
BESERTAMU SELALU
Novis master sudah menemukan anaknya. Di antara 51 calon-calon mudanya, Philip Rinaldi tidak hanya dengan mudah kelihatan sebagai yang paling dewasa tetapi sebagai yang paling disenangi oleh teman-temannya dimana dia memimpin tanpa perlu banyak usaha ataupun dengan pengaruh-pengaruh sebagai pemimpin. Beberapa hari sesudah upacara pengenaan jubah, Philip yang terkejut dan kurang bahagia secara diam-diam diberitahu bahwa dia telah terpilih sebagai assisten yang pertama Novis Master.
"Berada di dalam posisi kekuasaan dan melaksanakannya dengan amal kasih dan kerendahan hati dapat membuahkan hasil yang besar bagi kehidupan rohani seseorang" Philip menulis kata-kata ini beberapa tahun kemudian, tetapi dia pasti sudah mengalami penuh kebenaran kata-kata tersebut dalam hidupnya sebagai seorang Salesian. Diterima sebagai novis yang rendah hati, tanpa diharapkan, dia menemukan dirinya dalam peranan sebagai seorang superior. Tentu saja, kekuasaannya terbatas tetapi dia tidak pernah lupa bahwa dia menjalankan tugasnya terhadap teman-teman novis yang lain. Tidak sedikit dari antara mereka adalah remaja-remaja yang memiliki kehendak baik, tapi sayangnya tidak terbiasa dengan disiplin-disiplin religius. Dia, menurut mereka, mau tidak mau berusaha menjadi sabar, rendah hati dan mengendalikan diri. Buku hariannya berisi catatan-catatan yang mengatakan tentang hal ini. Dia menulis, segera sebelum dia meninggalkan San Benigno:"Kepada klerik-klerik muda yang terkasih. Betapa saya telah salah memperlakukan kalian semua. Beberapa peperangan kalian timbulkan di dalam hati saya. Sebagaimana saya mengenang berkali-kali pada beberapa pengalaman yang membuat saya jatuh bangun, saya dapat melihat betapa saya belajar banyak dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kalian tentu saja telah membantu banyak dalam menguatkan karakter-karakter saya......."
Karakter Philip yang sensitif dan sikap sopan yang membuatnya selalu takut akan menyakiti seseorang tampil terutama dari apa yang sudah kita kutipkan. Salah seorang sahabatnya dar San Benigno mengungkapkan:"Tugas-tugasnya memang tidak akan disyukuri. Dia harus menusuk orang yang keras kepala, menjaga agar pemberontak tetap menurut dan menenangkan yang terlalu gembira dan semua ini harus dia lakukan secara adil daripada sebagai superior, tanpa menghukum tetapi hanya dengan dua senjata di tangan assisten yang muda itu, cinta kasih dan kesabaran. Kebijaksanaan, kesabaran dan cinta kasih yang menjadi karakteristik utama pastor Rinaldi di tahun-tahun berikutnya sudah tampak dalam hari-hari pertama hidup religiusnya."
Meskipun tertekan dan sering disibukkan oleh tugas-tugas sebagai assisten, Philip tetap mementingkan untuk mendirikan dasar yang kuat kehidupan rohaninya. Dia mengerti nilai-nilai kuat, penerangan bimbingan rohani dan menemukannya didalam pastor Barberis, Novis Master, salah satu dari anak rohani yang terdekat dengan Don Bosco. "Jagalah saya, pastor," dia menulis kepadanya pada malam sebelum pesta natal. "Saya mohon supaya pastor memperbaiki dan mengoreksi saya, tolong saya memperbaiki watak saya yang keras."
Bahwa dia dengan segala wataknya yang keras berniat untuk mencapai maksudnya untuk menjadi kudus dapat dilihat dengan jelas pada halaman buku hariannya yang diberi judul : Metode Harian Kekudusan. "Begitu saya bangun pagi, saya segera mencium salib saya dan mempersembahkan beberapa devosi. Saya meninggalkan tempat tidur begitu bel pertama berbunyi lalu berlutut dan meminta berkat Bunda kita.....Sementara berpakaian saya tetap bermeditasi.......Saya berniat menghabiskan hari itu seperti yang dikehendaki superior.......Saya akan melawan semua godaan-godaan baik di dalam gereja maupun waktu belajar.....Saya akan menerima komuni kudus setiap hari kecuali jika bapa pengakuan saya melarang.....Apapun yang meyusahkan saya akan saya serahkan kepada superior.....Dengan makanan, saya membatasi diri dengan apa yang cukup bagi kesehatan saya......Sementara waktu rekreasi, saya akan berjaga-jaga akan pembicaraan-pembicaraan yang tidak pantas yang saya tahu berbahaya bagi saya.......Ketika sedang bepergian ke luar atau untuk alasan-alasan lain, saya akan menjaga mata saya demi Bunda kita.
Philip tidak membatasi dirinya terhadap apa yang hanya tampak dalam hidup religius, akan tetapi yang terpenting baginya adalah kemajuan didalam kebajikan-kebajikan.
Dia menekankan kepentingan lebih kepada jiwa, berusaha semampu mungkin untuk mendirikan dasar yang kuat kehidupan rohaninya. Dia menulis,"Saya akan berusaha memperoleh kerendahan hati yang sejati dan melaksanakan amal kasih kepada semua. Untuk kepentingan ini, saya akan memeriksa diri saya setiap hari jika saya menentang kebajikan-kebajikan ini." Akhirnya, untuk menyatakan betapa besar keinginan hatinya untuk bersatu dengan Tuhan, dia mengungkapkan dalam satu niat yang memberikan arti dan tujuan hidupnya. "Saya akan bekerja, berbicara, berfikir tentang Tuhan saja di dalam segala hal."
Bahwa Philip, pada akhir tahun novisiat, secara kekecualian oleh keputusan para superior yang tidak dikenalnya di San Benigno, telah dipersiapkan dengan baik untuk pengucapan atau pengikraran kaul-kaul religius. Mereka bahkan mengusulkan agar dia diterima secara langsung untuk kaul-kaul kekal sesudah melewati kebiasaan kaul sementara.
Pada tanggal 13 Agustus 1880, di hadapan Don Bosco, Philip mengucapkan kaul-kaulnya untuk hidup selamanya di dalam kemiskinan, kemurnian dan ketaatan sebagai anggota perserikatan Santo Fransiskus dari Sales.
Imamat sekarang tujuan utamanya. Don Bosco yang sedang dalam kebutuhan akan imam-imam untuk misinya yang luas, secara pribadi diberi kekuasaan oleh Paus Pius IX untuk mempersingkat tahap pembinaan salesian-salesian muda yang demikian seperti yang dia pikir telah dewasa dalam kebajikan-kebajikan dan pelajaran. Tentu saja, kemampuan Philip akan kedua hal itu bukanlah sesuatu hal yang umum, Don Bosco menginginkannya segera sesudah pelajaran singkat dibawah bimbingan Theologian terkemuka serikat Don Luigi Piscetta. Philip kemudian mengenang akan cepatnya jalan menuju imamat yang dia lalui dengan kata-kata:"Belajar, Ujian dan Pentahbisan....Saya lakukan semua dengan ketaatan penuh. Don Bosco akan berkata:'Siapkanlah dirimu untuk ujian pada hari itu' atau 'Inilah tanggal hari pentahbisanmu' dan saya mengikuti kata-katanya."
Philip ditahbiskan di katedral Ivrea pada tanggal 22 Desember 1882, dan merayakan misanya yang pertama pada hari berikutnya di San Benigno, dibantu oleh Don Bosco. Imam baru itu menulis di dalam catatannya:"Don Bosco bertanya jika saya bahagia. Apa yang bisa saya katakan adalah 'Sungguh pastor, tetapi engkau harus selalu bersama saya' Don Bosco memandang saya tersenyum." Di dalam senyumnya ada jaminan yang Philip harapkan. Tetapi ada janji yang lain juga- Janji yang besar, begitu besar yang mungkin telah terpendam dalam imam muda itu.
4
CINTA KASIH JALANNYA
Di Lu, kira-kira dua minggu kemudian, Philip terdaftar dalam pesta kemenangan. Kebiasaan penduduk desa dan saudara-saudaranya di dalam mengungkapkan kegembiraan mereka akan imam baru. Tetapi catatan kesedihan menandai perayaan: Ayah Philip, tuan Christoforo meninggal tiba-tiba hanya enam bulan sebelumnya. Philip merasa sangat kehilangan, lebih lagi karena dia tidak mampu menemaninya pada saat-saat terakhir. Dia tidak pernah lupa akan penghiburan besar yang dia terima dari kata-kata Don Bosco pada kesempatan itu. Orang Kudus itu bertemu Philip di gereja Santa Maria Penolong Umat Kristiani segera setelah kematian ayahnya. "Saya mendengar kesedihanmu akan kehilangan ayahmu Philip" dia berkata kepadanya," Saya telah berdoa bagi ayahmu dan memohon pada Tuhan agar menghibur engkau dan keluargamu. Mulai dari sekarang saya ingin engkau mengganggap saya sebagai ayahmu."
Kembali ke San Benigno pastor Rinaldi sekali lagi bertugas sebagai assisten frater-frater dan kembali dengan entusiastic untuk belajar Teologi. Tetapi segera, suatu peristiwa yang benar-benar tidak diharapkan terjadi. Pada suatu hari yang cerah di bulan Desember tahun itu, suatu berita sampai di San Benigno dari Turin bahwa dia telah ditunjuk sebagai rektor pada sekolah salesian baru di Mathi, dekat Turin.
Philip terkejut. Dia segera menulis kepada pastor Barberis, rektornya yang sedang ada di Turin untuk rapat dewan. "Benarkah itu? Bagaimana mungkinnsaya menjadi rektor? Saya bisa menjadi sumber kehancuran bagi rumah itu" dia memprotes ketidakmampuannya kepada Don Rua, wakil umum serikat, yang dengan tenang menjawab: "Ingat, Tuhanlah yang mengirimmu kesana."
Apa yang pastor Rinaldi temukan di Mathi benar-benar cukup untuk membangkitkan semangatnya: sebuah rumah pedesaan yang tua di atas tanah yang datar, sebuah lapangan yang kecil dan sebuah taman. Dia menemukan empat pemuda yang bersemangat, enam puluh anggota anak-anak Maria, seperti yang telah Don Bosco namakan, pemuda-pemuda dewasa yang berhasrat untuk menjadi salesian. Sudah menjadi impian Don Bosco untuk memberikan anak-anak itu tempat tinggal mereka. Pada pastor Rinaldi dia tahu mereka akan memiliki rektor yang ideal.
"Kami belum pernah menganggapnya sebagai superior kami, padanya kami selalu melihat seorang ayah." kata pastor Olivazzo yang waktu itu murid di Mathi. Dan dia menambahkan:"Keinginan pastor Rinaldi selalu menyangkut tentang kami, kebaikan hatinya dan kegembiraan menjadikan kami suatu keluarga yang sejati. Dia ikut dalam permainan-permainan kami atau membawa kami berjalan-jalan."
Tidak semudah dan sederhana seperti yang kelihatan, pastor Rinaldi juga mendapat persoalan-persoalan. Tempat yang tidak mencukupi untuk enam puluh murid-murid.
Kekurangan para pekerja dan makanan selalu sering timbul. Pada saat yang sama anak-anak yang mengemukakan persoalan-persoalan pribadi mereka kepada rektor muda mereka yang dengan senyum menyambut mereka waktu mereka datang mengetuk pintu kantornya.
Dibalik ketenangan dan kegembiraan yang tampak, pastor Rinaldi sering menahan sakit kepalanya yang amat sangat. Ketika dia sudah tidak mampu menahannya dia akan membawa persoalan-persoalannya kepada Don Bosco. Dia berkata beberapa tahun kemudian betapa orang kudis itu dengan caranya yang beraneka ragam mengundangnya duduk dekat meja tulisnya, kemudian mendengarkan kisah-kisahnya tanpa pernah memotong, kadang-kadang dia tersenyum mendengarkan cara dia menceritakan.
"Dia tidak pernah menguliahi persoalan-persoalan saya." kata pastor Rinaldi. "Dia juga kadang-kadang membawakan beberapa topik yang berbeda bersama-sama dan minta pendapat saya. Suatu hari saya amat sedih dan menceritakan apa yang ada di benak saya. Seperti biasanya Don Bosco mendengarkan dengan kesabaran. Kemudian dia bertanya perlahan,"Engkau setuju jika saya menyelesaikan surat ini? Ini bacalah beberapa halaman dari buku ini selama saya menulis.......Mata saya tertuju pada buku tetapi pikiran saya kacau. Tiba-tiba meletakan pulpennya, Don Bosco memandang saya kembali dan bertanya.'Bagaimana sekarang Philip ? Merasa lebih baik?' Dia mengatakan kata-kata ini dengan penuh kehangatan dan kebaikan hati dan saya merasa dibebaskan dari segala persoalan-persoalan."
Don Bosco mengenal Philip, dia tahu rektor yang muda ini memiliki hati yang unik dalam mengatasi persoalan-persoalannya, seperti juga ide-idenya yang praktis terhadap persoalan-persoalan sehari-hari. Apa yang Philip perlu ketahui adalah bahwa dia bersama-sama dengannya. Dan orang kudus itu memang selalu bersamanya.
Tidak sedikit juga persoalan-persoalan yang menimpa pastor Rinaldi di Mathi selalu teratasi, ketika di dalam bulan November 1883, anak-anak Maria dipindahkan ke tempat mereka yang baru, sekolah santo Yohanes Pembabtis di Turin. Rektor itu mengenang kisahnya di dalam buku hariannya. "Dimana sekarang Mathi kecil?
Hilang misterius! Kita punya segalanya di sini: Gereja yang megah, tempat-tempat yang teduh, dormitori yang bagus, kelas-kelas yang besar. Dan masih, di Mathi anak-anak kelihatan jauh lebih dekat dengan saya......"
Segera semangat kekeluargaan Mathi tersebar di San Giovanni dan rektor itu sekali lagi mengontrol dengan baik komunitas yang sekarang beranggotakan hampir 120 personel. Kehangatan pendekatan pastor Rinaldi membuat setiap orang dari mereka merasa sangat penting dan disayang olehnya. Merka tahu bahwa rektor mereka sungguh-sungguh memperhatikan kebaikan-kebaikan mereka. Pastor Brunelli, yang pada saat itu anggota staf menulis :"Ada keakraban antara para superior dengan murid-murid yang secara positif unik. Pastor Rinaldi menikmati kepercayaan yang penuh dari para salesian dan anak-anak. Di San Giovanni ia adalah bapa didalam arti sebenarnya."
Dari seorang salesian yang lain, yang pada saat itu seorang murid menyatakan "San Giovanni seperti rumah bagi saya. Bukan saya sendiri yang merasakan bahwa kami memiliki seorang yang kudus dalam diri rektor kami. Pada saat itu dia berumur 29 tahun dan saya ingat bahwa dia juga bermain dengan semangat seperti kami. Secara fisik orang yang menarik, ia bahkan sangat rohaniwan. Dia memiliki hati seorang bapa yang mengajarkan segalanya hanya untuk membuat kami bergembira."
Seorang klerik muda, yang ditempatkan sebagai guru di San Giovanni, segera berjuang keras dengan paru-paru basah. "Dengan perhatian sejati sorang bapa" dia menulis,"Pastor Rinaldi menemukan guru lain yang menggantikan saya, memerintahkan supaya saya diberi makan pagi yang baik dan memandikan saya dengan penuh perhatian. Semuanya dilakukan dengan caranya yang sederhana, seakan hal itu merupakan hal yang biasa dan umum dilakukan.
Seorang salesian muda yang lain memiliki pengalaman yang lain. Dia tidak mampu memerintahkan disiplin kepada anak-anaknya di dalam kelas. Kemudian dia menyadari bahwa hal itu bukanlah kesalahan anak-anak semata-mata. Suatu hari dia tidak bisa menanggungnya lagi. Dia berkata kepada murid-murid untuk mencari guru yang lain, membanting pintu dan mengunci diri di dalam kamarnya. Ketka dia melewati kantor direktur, dia baru saja hendak menutup telinga ketika pastor Rinaldi dengan ringan menyentuh bahunya dan dengan lembut berkata,"Pakailah topimu. Jalan-jalan benar-benar akan memberikan angin yang baik untuk kebaikan kita berdua." Dan kemudian mereka keluar, bukan hanya jalan ke taman kota yang dekat tetapi sepanjang jalan menuju Chieri. Selama perjalanan pastor Rinaldi tidak pernah menyinggung kejadian yang mengganggu guru muda itu. Percakapan berkisar pada topik-topik yang bervariasi, perjalanan itu sendiri merupakan hal yang mengasyikan dan klerik itu kembali ketugas-tugasnya dengan pandangan baru yang segar terhadap dunia pada umumnya dan terhadap hidup salesian khususnya. Melihat kembali pada pengalaman ini beberapa tahun kemudian, salesian yang baik ini berkata bahwa peristiwa itu merupakan pelajaran Psychology yang terbaik yang pernah dipelajari selama hidupnya.
Kebanyakan dari murid-murid adalah pemuda-pemuda yang selama bertahun-tahun hanya sedikit mengenal buku. Mereka sering menemui direktur untuk keputusasaan dan kekecilan hati dalam menghadapi persoalan-persoalan. "Saya terus berjalan di jalan yang sama," dia akan mengatakan kepada mereka dengan tersenyum. "Kamu akan melakukannya juga. Percayalah kepada Bunda kita dan jangan terlalu yakin akan dirimu sendiri."
"Saya tidak akan pernah menjadi imam," kata seseorang dari kenalannya, seorang petani muda yang dewasa berkata kepadanya :"Saya tidak akan pernah menjadi imam pastor, apalagi yang mampu mengesankan orang dengan kotbah-kotbahnya atau ajaran-ajarannya....." Pastor Rinaldi, yang tahu kemampuan orang itu berkata kepadanya dengan lembut "John, pernahkah kamu perhatikan lilin yang berada di altar utama? Beberapa tinggi, lainnya pendek, tetapi ditempatkan di sana untuk pelayanan kepada Tuhan. Sebenarnya yang pendek-pendek dapat lebih berguna daripada yang panjang. Ketika imam merayakan misa sebelum senja, lilin yang tinggi sedikit bahkan tidak menolong sama sekali. Yang pendek dinyalakan supaya imam dapat membaca missalnya. Hal yang sama untuk gereja Tuhan; sebagian besar dari pekerjaan untuk jiwa-jiwa tidak dilakukan oleh imam-imam dengan yang tinggi.....gereja perlu imam-imam dengan kemauan yang baik, yang siap sedia membuat perjanjian dengan Tuhan dan jiwa-jiwa dengan posisi yang rendah. Kamu akan menjadi salah seorang diantaranya. "Pemuda itu kembali menekuni bukunya dengan harapan baru, dan gereja memperoleh seorang missionaris yang besar, pastor John Balzola, yang menghabiskan masa-masa hidupnya di tengah-tengah Indian Baroro di Brazil.
Begitu yakinnya pastor Rinaldi akan kebenaran sistem pendidikan Don Bosco yang berulang kali dia katakan kepada sama saudaranya, suatu kalimat yang dia terima dari sang pendiri pada salah satu percakapan dengannya:"Apa yang tidak dapat kita ambil dari remaja-remaja melalui cinta kasih sulit didapatkan dengan cara yang lain." Bahwa dia benar-benar berhasil menerapkan kalimat ini di San Giovanni dilihat buktinya dari kata-kata pastor Brunelli, yang menggantikannya sebagai rektor. "Apapun yang dimintanya dari murid-murid dia selalu dapatkan, betapapun sulitnya." Apa yang diminta pastor Rinaldi dari anak-anaknya? Kemurahan hati, pengorbanan, pengabdian kepada tugas-tugas, bukanlah hal-hal yang dimintai dari para remaja. Dan dia benar-benar mendapatkan apa yang dia minta-seperti yang Don Bosco katakan-DENGAN CINTA KASIH. Pastor Rinaldi mencintai San Giovanni bukan hanya karena kemegahan dan keindahan bangunan-bangunan yang terletak dekat jalan besar terbaik di Turin itu, tetapi karena jaraknya yang hanya 15 menit perjalanan dari Oratori. Keadaan ini membuatnya merasa seakan-akan Don Bosco berada di pintu sebelah, terutama ketika dia menangkap satu dari keributan-keributan, mengambil mobil tuanya-Corso dan pergi ke rumah induk salesian.
Pada permulaan dia cukup sering mengunjungi sang Pendiri. Kemudian menyadari kesehatannya mulai menurun, Philip membatasi untuk mengunjungi sekali seminggu dimana dia mengaku dosa dan melaporkan dengan singkat segala sesuatu yang terjadi di San Giovanni. Tetapi Don Bosco bersikeras bahwa dia menemuinya terlalu sering. Lebih mengejutkan bahwa dia bahkan diundang untuk menghadiri pertemuan bulanan Dewan para superior, badan tertinggi dalam Serikat. Hal ini merupakan kesempatan istimewa untuk seorang imam baru yang masih bisa dikatakan belum terkenal di antara para salesian. Apakah Don Bosco telah mengetahui lebih dulu bahwa Philip Rinaldi ditakdirkan untuk mengisi tempat yang tertinggi dalam kongregasi? Suatu hal yang menarik, dalam hal ini untuk mencatat jawaban yang diberikan orang kudus itu kepadanya ketika, suatu hari direktur muda itu meminta ijin sang pendiri untuk pergi ke tanah misi di Patagonia. "Philip" dia menjawab, "Engkau akan tinggal disini untuk mengirim orang lain ke tanah misi."
Pada kesempatan lain, pada suatu kunjungannya ke ruangan orang kudus itu, pastor Rinaldi menemukannya menatapi peta dunia yang terbentang di atas meja tulisnya.
"Mari Philip, saya ingin engkau melihat ini" menunjuk pada Australia, dia mengatakan bahwa pada suatu hari para salesian akan pergi kesana.
"Tetapi itu akan lama terjadi" pastor Rinaldi berkata. "O, tetapi mereka akan pergi, mereka pasti akan pergi" Don Bosco menjawab. Kemudian menunjuk Spanyol, "disini" dia menambahkan, "akan menjadi ladang karyamu" Kemudian dia menceritakan kemalang-an-kemalangan yang menakutkan yang akan menimpa bangsa itu dimana akan banyak darah tertumpah. "Darah Salesian juga, dan kamu akan tetap hidup untuk melihat semua itu Philip." Kita tahu semua pernyataan-pernyataan kenabian (ramalan) Don Bosco tersebut menjadi kenyataan.
Pada suatu kunjungan terakhir pastor Rinaldi kepada orang kudus itu, pada pagi hari tanggal 31 Januari 1888, dia dengan sedih memberitahukan komunitas untuk bersama-sama merayakan misa kepada sang pendiri tercinta yang telah meninggal dengan damai menjelang fajar, saat suara lonceng Malaikat Allah dari gereja Maria Penolong Umat Kristiani terdengar. Beberapa hari kemudian, dia berdiri dengan satu kelompok kecil salesian yang berduka dan menjaga batu terakhir yang menutup kubur 'Bapa' di seminari Valsalice dekat Turin. Dia bahkan tidak dapat membayangkan waktu itu bahwa 40 tahun kemudian, berdiri di atas tempat yang sama, sebagai superior umum para salesian, dia akan memerintahkan untuk membuka kubur yang sama, pada tahap pertama didalam kemuliaan tertinggi Don Bosco yang diangkat atas nama jasa-jasa gereja.
5
DI TANAH CID
Ketika pastor Rinaldi belajar bahasa Spanyol pada musim panas 1889, tidak ada seorang pun di San Giovanni yang menyadari bahwa dia telah tertunjuk sebagai direktur sekolah salesian di Sarria, dekat Barcelona; dan menjadi superior semua salesian di Spanyol. Di sekolah, memang tidak sedikit yang berfikir tentangb minatnya yang tiba-tiba akan bahasa asing itu, tetapi segan untuk mempercayai bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan kepindahannya yang terlalu pagi dar San Giovanni. Ketika berita tersebar, permulaan bulan oktober, para salesian dan murid-murid merasa kehilangan. Kronik sekolah menunjukkan secara terperinci adegan yang menyedihkan itu yang mengikuti pemberian "Selamat Malam" dengan pastor Rinaldi yang meninggalkan komunitas pada tanggal 24 oktober. Anak-anak berdesak-desakan di sekelilingnya seakan-akan tidak mampu berpisah darinya, dan mengikuti ke kamarnya, banyak dari mereka yang menangis, oleh karena kata-katanya yang terakhir. Sebelum fajar, pada hari berikutnya, dia dengan diam-diam melepaskan lambaian kekaguman dan kesedihan meninggalkan San Giovanninya yang tercinta.
Situasi di Sarria tidaklah menyenangkan. Sekolah salesian yang pertama terbesar di Spanyol berusaha keras mengatasi kekurangan-kekurangan sarana, semangat para sama saudara sangat rendah, bahkan kawan-kawan dan pengagum-pengagum karya Don Bosco sedang memiliki perasaan was-was akan masa depan. Pastor Rinaldi tahu akan hal itu, ia telah memiliki beberapa rencana kerja untuk dirinya sendiri. Kertas-kertas berharga itu, yang berisi rencana-rencananya memang layak untuk dikutip: 1. Terhadap diri sendiri: kerendahan hati, dan kepercayaan kepada Bunda kita. 2.Terhadap sama saudara: cinta kasih dan kesabaran, perhatian juga. 3. Terhadap anak-anak: Kebaikan hati dan selalu gembira. 4.Terhadap para suster: saya akan baik hati terhadap mereka, tetap menjaga jarak tetapi tidak pernah melalaikan mereka. 5.Terhadap teman-teman dan penderma: Pendekatan yang baik dan bersahabat, mengindari segala pertentangan dengan siapa saja; saya akan menunjukkan mereka rencana-rencana dan keperluan-keperluan. 6. Begitu tiba, saya akan mengunjungi rumah dan berbicara dengan sama saudara dengan hati-hati, kemudian akan memanggil mereka untuk konferensi.
"Suatu permulaan yang bagus, dan kami semua benar-benar terkesan akan kesederhanaan, kebaikan dan sifatnya yang ke'bapa'an, tulis pastor Emilio Noques, yang menjabat direktur sementara sekolah itu. Dengan penuh keberanian, pastor Rinaldi memulai pembangunan gedung baru yang selama itu terhenti karena kekurangan sarana. "Kita memerlukan, kita mendirikan" katanya kepada sama saudara yang bergembira. "Tuhan yang akan mengatur segala sarananya." Tuhan memang dan secara mengherankan segera mengaturnya melalui kebaikan hati Doña Dorotea dari Chopitea yang kemudian menjadi 'ibu para salesian di Spanyol'. Sebab-sebab beatifikasi dan kononisasinya mengalami kemajuan di Roma.
Doña Dorotea datang mengunjungi sekolah suatu hari dan terkesima melihat tempat yang hidup dengan batu asah dan tukang-tukang kayu.
"Dan siapa yang akan membiayai semua ini?" dia bertanya kepada direktur yang baru.
"Terus terang saya tidak tahu," kata pastor Rinaldi,"tetapi rahmat Tuhan tidak akan menggagalkan kami."
"Kelihatannya anda yakin sekali," dia berkata tajam dan melihat kepada sopir kereta kudanya yang indah dan berkata."kita pulang."
Pastor Rinaldi terpana. Apakah Doña Doratea sedih karena kata-katanya? Dikenal akan minatnya yang besar akan karya Don Bosco, apakah dia mengharapkan untuk dimintai tanggapannya akan proyek ini?
Jawabannya tidaklah lama. Dia kembali beberapa hari kemudian dan menawarkan untuk membiayai seluruh pembangunan. Rektor muda ini yang sekarang dia kenal memiliki keberanian, pandangan dan kepercayaan yang tak terbatas, dialah orang bagi karya Don Bosco di Spanyol.
Pekerjaan memerlukan lebih daripada batu-batu dan beton. Perlu juga orang-orang. Pada pesta Bunda Maria yang dikandung tanpa noda, setahun lebih sedikit dari kedatangannya di Spanyol, pastor Rinaldi meresmikan Novisiat. Untuk pertama kalinya pemuda-pemuda Spanyol yang pertama mulai berlatih karya kerasulan Salesian demi tanah Spanyol.
Ladang berkembang. Sekolah baru dan pusat-pusat kaum muda segera bermunculan di daerah termiskin di jantung Barcelona - hadiah Doña Dorotea yang terbaru kepada para salesian. Proyek itu merupakan jawaban pastor Rinaldi atas permintaan Uskup Agung untuk melakukan sesuatu di daerah yang berpenduduk 40.000 orang yang tanpa bantuan kerohanian. Permintaan-permintaan membanjir dari kota-kota lain, sering disertai dengan jaminan bahwa para salesian akan mendapat segala sesuatunya 'siap' untuk mereka. "Saya belum pernah membayangkan, akan melihat Spanyol begitu menyukai para salesian," pastor Rinaldi menulis ke Don Barberis mengikuti acara perjalanan ke beberapa kota dimana harapan untuk mendirikan fondasi terlalu sayang untuk dibiarkan.
Mereka bukan hanya disenangi, bahkan lebih dari itu. Sebelum akhir tahun 1895, 48 permintaan untuk rumah-rumah baru telah diterima pastor Rinaldi dari seluruh penjuru Spanyol dan dia hanya mampu menyediakan tenaga untuk satu permintaan saja. Dia memutuskan bahwa rumah itu akan menjadi rumah Novisiat, tempat dimana dia bisa memindahkan novis-novis yang terus menerus bertambah dan menjadikan situasi yang kurang memuaskan di sekolah Sarria. Tetapi tempat tinggal yang baru, yang lebih indah di San Vicente del Hortes dapat dibeli dengan kondisi agar sekolah yang lain dibuka.
Semua itu dilaksanakan oleh seorang janda kaya dari Bejar dekat Salamanca. Bertahun-tahun dia telah meminta pastor Rinaldi untuk membuka sekolah-sekolah bagi anak-anak yang miskin di kota kelahirannya. Dia bukan hanya berjanji untuk membiayai proyek itu, bahkan menjanjikan untuk memberikan seluruh tanah miliknya kepada para salesian. Pada saat butuh akan uang untuk membiayai rumah Novisiat, pastor Rinaldi pergi ke janda tersebut.
"Engkau bisa mendapatkan uang untuk novisiatmu," dia men-jawab,"berapapun yang kau perlukan, tetapi sekolahku harus dimulai secepat mungkin." Tidak ada alasan untuk menentang nyonya yang murah hati meski penuntut itu. Pastor Rinaldi setuju tanpa meminta nasehat dewan superior di Turin. Kemudian dia menulis ke pastor Barberis:"Saya tahu tidak seharusnya saya berbuat begitu, tetapi saya pikir, dengan situasi yang demikian, Don Bosco dan Don Rua akan berbuat hal yang sama. Jika engkau pikir saya layak membuat penitensi karena menerima rumah baru tanpa menanyakan kepada dewan, saya sudah siap untuk itu. Saya bahkan bisa tambahkan bahwa memnuhi kebutuhan tenaga kerja dengan sendirinya sudah merupakan penitensi."
"Kita harus membuka rumah yang lain tahun ini. jika kita ingin serikat kita menggunakan kesempatan sepenuhnya demi kebaikan Spanyol." Di rumah induk di Turin, para anggota dewan tahu apa arti ungkapan-ungkapan dalam surat-surat pastor Rinaldi. Dan mereka memberikan kepada rektor muda yang dinamik itu berkat mereka untuk pembangunan itu. Seluruh aneka acara kegiatan-kegiatan salesian terlihat jelas dalam pembangunan itu: paroki-paroki, pusat-pusat kaum muda, sekolah-sekolah dasar, sekolah-sekolah teknik dan pertanian. Begitu terkesannya, Don Michael Rua, pengganti Don Bosco, ketika dia mengunjungi Spanyol pada tahun 1900 dan menulis tentang kunjungan itu kepada semua anggota serikat, dia menyatakan:"Hatiku dipenuhi oleh kepuasan."
6
EL PADRE BUENO
Pastor Rinaldi menghabiskan dua belas tahun di Spanyol, tiga tahun sebagai direktur dari sekolah salesian di Sarria, dan sembilan tahun sebagai Provinsial para salesian di Spanyol dan Portugal. Selama waktu tersebut, dia mendirikan delapan belas rumah salesian dan meletakan beberapa fondasi. Segera setelah dia meninggalkan Spanyol tahun 1901, rumah-rumah dikelompokan menjadi tiga provinsi terpisah. Para salesian yang sibuk, yang dia temukan ketika tiba di Spanyol untuk pertama kalinya digabungkan dengan sepasukan salesian muda Spanyol yang penuh entusiastik demi Don Bosco. Saat itu juga merupakan periode yang menandai perkembangan para suster salesian yang melihat pertambahan rumah mereka dari satu sampai delapan rumah. Sejak saat itu, kongregasi suster-suster itu tergantung sepenuhnya pada administrasi serikat salesian. Pastor Rinaldi bertanggung jawab penuh akan perkembangan pertama mereka di tanah Cid.
Bagian yang paling menandai dari perkembangan pesat keluarga salesian tidak dikatakan dalam catatan yang yang mengesankan ini. Hal itu tertulis di dalam hati orang-orang yang pernah berhubung-an langsung dengan pastor Rinaldi; sama saudaranya , para suster, para remaja dan ratusan orang yang dimenangkannya untuk mencontoh Don Bosco. "Dia merupakan Don Bosco di tengah-tengah kami. Ketika dia berbicara tentang sang pendiri kami, kami benar-benar melihatnya dalam dirinya." Itulah kata-kata yang diucapkan pastor Joseph Calasaz, salah seorang salesian Spanyol yang pertama, kemudian provinsial dan menjadi martir dalam revolusi Spanyol.
Cukup terbukti bahwa pastor Rinaldi melaksanakan rencana-rencana yang dia buat untuk dirinya sendiri ketika dia ditunjuk sebagai provinsial. Dia menulis dalam catatannya,"Saya sekarang harus berusaha lebih rendah hati, lebih mengerti dan baik hati. Saya mungkin harus sedikit lebih bijaksana dan diam tetapi selalu siap sedia. Saya akan menjadi seorang 'bapa'....tanpa sikap kekerasan kapanpun juga. Tidak seorangpun yang datang kepadaku akan merasa bosan atau tergesa-gesa.....Don Bosco akan selalu didepan pikiranku."
Kegiatan-kegiatan yang diterima pastor Rinaldi selama masa provinsialnya buknlah suatu penomena. Selama beberapa waktu dia menjadi tangan langsung di dalam perkembangan sekolah salesian yang cepat di Sarria, residen provinsialnya. Tanggung jawab dan kerja yang membawanya dengan posisi sebagai kepala para salsian di Spanyol dan Portugal dipikulnya sendiri, karena tak seorangpun yang membantunya dengan banyak hal-hal yang mendetail di kantornya. Korespondensi, rencana-rencana untuk pendirian dasar-dasar baru, kunjungan-kunjungan resmi ke rumah-rumah, persoalan keuangan, perhatian langsung dan pribadi bagi sama saudara dan para suster - semua ini dan masih banyak yang dipikulnya sendirian. Kepada pastor Julius Barberis, bekas novis master dan pembimbing rohaninya dia menulis. "Saya begitu dipusingkan oleh banyak persoalan, bahkan saya tidak bisa berfikir." dan lagi..... "saya selalu menemukan kesulitan-kesulitan dimanapun saya menengok. Saya perlu kekuatan doa-doa dan nasehat-nasehat, tetapi merekapun tidak bisa membantu."
Ketenangan dan kebaikan yang tampak dimana dibaliknya disembunyikan salib-salibnya dan pendekatannya yang sangat ke'bapa'an didalam hubungannya dengan segala macam orang dan persoalan-persoalan sudah merupakan suatu kebiasaan baginya sehingga mereka memberikan komentar ini dari seorang salesian yang dekat dengannya selama tahun-tahun itu:"Pada pastor Rinaldi kami merasakan cinta seorang bapa daripada kekuasaan seorang superior." Ungkapan yang sama juga dari seorang salesian yang lain,"Padanya ke'bapa'an selalu tampak dimanapun"
Seorang klerik muda mengutuk dengan pahit dihadapannya perbuatan seorang superior. "Eh, bien sabes," pastor Rinaldi mengingatkan perlahan. "Kamu masih sangat muda, terlalu muda untuk menimbang hal-hal yang demeikian. Di samping itu, bukankah lebih baik untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang baik disekitarmu?" Suatu koreksi yang baik menenangkan hati yang resah.
Selama ketidak hadirannya di sekolah Sarria, ketidak cocokan yang tajam telah timbul diantara kepala sekolah dan guru-guru dari bagian sekolah ekonomi. Hal itu dirasakan hanya pastor Provinsial yang dapat menyelesaikan persoalan, dan semua orang sangat menunggu kedatangannya. Di dalam konferensi yang dia berikan segera setelah kedatangannya berlawanan dengan apa yang diharapkan, dia tidak begitu menyinggung pertanyaan itu. Tuduhan-tuduhan yang dilemparkan didepan umum menurutnya adalah kemungkinan pendekatan yang paling buruk. Persoalan di Sarria segera terselesaikan dalam suasana kepercayaan yang diinspirasi-kan oleh pastor yang baik itu dimana dia secara pribadi dalam hubungannya dengan sama saudara dengan pendekatan bersahabat yang memang dimilikinya.
Komunitas religius juga, mendapat bagiannya dengan orang-orang yang sulit diatur. Seorang mungkin berpendapat bahwa cinta kasih dan pendekatan yang hangat dan bersahabat sering sia-sia terhadap orang-orang yang seperti itu. Pastor Rinaldi tidak berpendapat demikian. "Itulah salib yang harus dibawa oleh seorang superior," dia menulis kepada seorang direktur yang memiliki bukan hanya satu salib tetapi dua salib yang sedemikian. "Saya lebih yakin bahwa hal itu merupakan kehendak Tuhan. Dua sama saudara itu merupakan beban rumah, tetapi jangan putus asa pastor. Kita tidak boleh lupa bahwa Don Bosco juga menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kita tidak boleh menyerah. Banyak orang-orang seperti itu selamat hanya karena cinta dan pengertian dari rektornya."
Dia senantiasa dipaku oleh hutang, sekolah dipenuhi oleh murid-murid yang sebagian besar ditolong oleh amak kasih. Tetapi, meskipun dihadapkan akan kesulitan-kesulitan keuangan yang serius, pembawaan yang tenang tidak pernah meninggalkannya. Menulis kepada seorang direktur yang sudah tidak tahu harus berbuat apa, tidak melihat jalan keluar dari "timbunan hutang-hutang", pastor Rinaldi mengingatkannya bahwa dia sendiri selalu diburu para kreditor dan menambahkan:"Tetaplah bergembira pastor. Percayalah pada bunda kita yang sampai kini belum pernah meninggalkan kita, salesian yang miskin. Mata Don Bosco selalu dengan setia tertuju padanya dan berhasil meneruskan usaha."
Ketika kekuatan dan ketenangan dalam diri manusia disatukan untuk kebaikan, kemampuannya untuk mempengaruhi yang lain hampir meyakinkan. Begitulah gambaran pastor Rinaldi sebagaimana diungkapkan dalam tulisan-tulisan para salesian yang pernah memilikinya sebagai superior di Spanyol.
"Dia adalah EL PADRE begitu kami semua menganggapnya dan sangat mencintainya," tulis seorang di antara mereka. "Tidak seorangpun diantara kami akan pernah melupakan perasaan dan perhatian pribadinya kepada kami masing-masing." Dari sama saudara yang lain: "Percakapanku yang teratur dengannya selalu meninggalkan rasa terjamin dan merasa lebih pasti untuk mengikuti panggilanku terus. Padanya seorang bapa daripada seorang superior yang selalu bersamaku pada saat-saat kebutuhan."
Seorang salesian yang berumur, yang pernah bersamanya sejak sekolah di Sarria, kesulitan untuk mengendalikan rasa entusiatik-nya. "Pastor Rinaldi," dia menulis," adalah seorang bapa yang penuh cinta- baik hati, selalu siap, murah hati, hatinya yang hangat sampai pada tingkat yang tertinggi. Saya berharap, saya dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkan perasaanku."
Dia kelihatannya begitu pasti tidak akan pernah membiarkan kekuasaannya sebagai superior melebihi rasa kebapaannya. "Pada kunjungan resminya ke rumah-rumah, dia tampak melakukan segalanya kecuali membuat kunjungan," salah seorang pastor mengenang. Dia tanpa ragu-ragu bersama dengan komunitas, megikuti jadwal harian secara terperinci, menghindari apapun yang bersifat formal atau lebih buruk lagi sikap yang menyelidik. Dia tidak pernah tergesa-gesa terhadap siapapun, dan ketika dia pergi, dia puas akan apa yang telah dia lihat dan dengar, apa saja yang dia ingin tahu.
Tidak ada sesuatupun dalam dirinya, meskipun rasa formalitas, sikapnya sederhana, baik hati. Selalu jujur dalam berbicara, dia sering menghibur dan sering humor. Seorang anak muda khawatir tidak akan diterima di dalam serikat sebagai bruder oleh karena dia kehilangan tangan kirinya. Dia mengungkapkannya kepada pastor Provinsial. Dengan perlahan pastor menepuk bahu anak muda itu, menjawab, "Tentu saja, engkau akan menjadi salesian!" Kemudian dengan tersenyum menambahkan, "Engkau bisa menjadi tangan kanan direkturmu." Kepada sama saudara yang bersikeras untuk menyemir sepatunya, dia mengingatkan:"Tinggalkan itu padaku. Tidak baik kelihatannya jika orang-orang mengetahui bahwa provinsial memakai sepatu semiran sama saudaranya."
Pada suatu kunjungan dengan sebuah keluarga penderma yang kaya dimana dia menjadi pusat perhatian beberapa tamu-tamu khusus, wanita pemilik rumah itu mulai mengeluh padanya tentang suaminya yang memegang kantor politik yang penting. "Ide-idenya yang anti klerik menggangu saya, pastor..." Mengakui bahwa politikus itu pada dasarnya memiliki hati yang baik yang menjadi juru bicara kepada anti klerisme, pastor Rinaldi menyatakan dengan sederhana. "Nyonya, gereja tidak akan merasa begitu kesusahan jika semua anti klerik itu seperti suami nyonya....."
Dalam perjalanan mereka ke Carmona dalam suatu kunjungan ke Roma, suatu kelompok kecil peziarah yang dipimpin oleh pastor, mereka menjadi bingung tertinggal di Barcelona karena kekurangan uang. Mereka pergi dengan harapan ke sekolah salesian. Pastor Rinaldi dengan rasa syukur membantu mereka dengan jumlah yang cukup. Kepada pastor itu, yang bersikeras memberikan kwitansi dia berkata,"Apa yang lebih baik daripada pakaian yang engkau kenakan pastor?" Para tamu benar-benar terkesan. Tetapi ada yang lebih daripada itu, bukan hanya pastor yang baik itu menjadi penderma utama para salesian tetapi, sampai ajalnya di tahun 1932, menyerahkan seluruh tanahnya kepada mereka.
Dilihat dari aktifitas-aktifitasnya yang beraneka ragam dan hubungan sehari-hari dengan segala macam orang-orang dan persoalan-persoalan, gambaran pastor Rinaldi tetap berdiri sebagai pastor tercinta yang pandangannya, ketetapan hatinya, dan pengertiannya bersatu dalam ketulusan dan kehangatan pribadinya. Tetapi untuk semua kegiatan-kegiatan yang luar biasa ini dan sikapnya yang menyenangkan, pastor Rinaldi merupakan "Rohaniwan". Kehidupan rohaninya, hidupnya dengan Tuhan merupakan dasar dari perbuatannya yang dinamik dan cinta kasihnya yang tiada batas, cinta kasih yang " menanggung segalanya, percaya segalanya, barharap akan segalanya, dan bertekun akan segalanya."