Bab I
Si Nomor Tujuh
"Waktunya sudah habis, nomor tujuh!"
Suasana menjadi seperti kebun binatang yang ribut karena suara yang tak diharapkan.
"Aw, tutup mulut!".
"Kenapa dia tidak pulang saja?"
"Dengarkan omongan si mulut besar itu !" Kata-kata itu ditujukan kepada si nomor tujuh; juga kepada si sipir penjara. Narapidana-narapidana itu tidak ingin sipir menghentikan kegiatan mereka walaupun ia akan berlaku kasar ketika mereka tidak mampu melawan.
"Kubilang, waktunya sudah habis! Nomor tujuh. Cepat keluar!" Suara sipir menggetarkan nyali kelompok kecil narapidana di balik jeruji besi. Seorang narapidana berbadan kurus dan berambut pendek menatap kesal sipir itu. Namun wajahnya tampak penuh kasih ketika ia berbalik menatap ke seorang wanita dan anak laki-lakinya; tetapi tangannya menggenggam jeruji penjara erat-erat. Dijulurkannya kepala untuk mencium wanita itu.
"Sampai jumpa, Sarah," katanya."Jangan kuatirkan aku. Aku akan segera bebas, kemudian kita akan pergi jauh dan melupakan apa yang telah terjadi." Dia menatap ke anak laki-laki itu.
"Dan kamu, nak," ujarnya. "Sampai ketemu lagi, jaga mama sampai aku bebas. Sekarang, lebih baik kalian pulang atau orang gila ini tak akan mengijinkan kalian datang lagi kemari."
Ia memandangi mereka hingga menempelkan wajahnya pada jeruji besi; selama Sarah dan anak lelakinya menyusuri koridor melewati sel-sel yang terletak kiri-kanan mereka sampai menghilang dari pandangan, terhalang oleh lengkungan tangga. Si nomor tujuh berputar-putar di dalam selnya, memukul-mukul telapak tangan hingga telapak tangannya memucat dan pembuluh darahnya terlihat menonjol keluar. Akhirnya ia membenamkan tubuh di atas tempat tidur papan dan mencoba melupakan semuanya.
Wanita dan anaknya itu dengan cepat melangkah berjalan menuju halaman dalam. Cahaya matahari yang teduh menimbulkan sebuah bayangan memanjang di belakang mereka saat berjalan melintasi hamparan batu yang tidak rata. Carmanogla, terletak di daerah sub-Alphine masih terasa dingin akibat musim dingin yang lalu. Dan sinar matahari terlihat lebih terang daripada terasa hangat di atas tanah yang mulai hidup oleh tanaman yang mulai tumbuh. Lereng-lereng bukit yang dapat di kenali karena bayangan dahan pohon buah-buahan dan anggur yang mengering, menghilang bersama matahari yang terbenam lebih cepat di balik bukit, meninggalkan pemandangan melankolis keheningan musim dingin di pedesaan. Mereka yang terlambat pulang dari kota, harus bersusah payah melewati lumpur yang membeku; menanti pintu yang membuka perlahan, sebelum mereka dapat segera terbebas dari dinginnya malam dan merasakan kehangatan pedesaan.
Sarah Magone tidak mendengar gerbang penjara yang menutup di belakangnya. Sejenak ia menengadah, lalu menuruni jalan dengan langkah terburu-buru, sambil dengan kemalu-maluan memutar kepalanya mencari-cari kalau ada seseorang yang menyaksikannya. Lalu ia menarik syalnya untuk memperbaiki letaknya hingga menutupi kepala dengan baik sambil mengintip melalui celah sempit yang menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang yang lewat. Ia mengigit bibirnya dan mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang mengalir di pipinya yang memerah. Namun sia-sia. Diremasnya dengan lembut tangan anak lelakinya, yang membuatnya menatap terkejut. Ia mempercepat langkahnya menuju pinggiran kota yang miskin.
Mereka mengurangi kecepatan begitu tidak terlihat dari penjara. Sarah merasa lebih tenang sekarang. Ia membiarkan syal terjatuh di bahunya yang memperlihatkan wajah oval dengan mata hitam yang menatap lembut, bibir merah dan rambut hitam tebal bergelombang. Kerja keras terpancar di matanya yang nampak lelah dan tegang. Tanggung jawab dan rasa cemas terpetakan di keningnya dan tergurat jelas di pipi. Langkahnya tak lagi seringan saat ia melangkah ke altar bersama Giovanni Magone. Ia tersenyum lembut saat terkenang saat itu. Wajah cantik dan caranya menggoda Giovanni, mempesona khayalan pemuda itu yang bertentangan dengan keinginannya; seperti diakuinya kemudian hari.
Giovanni datang untuk bekerja di perkebunan pamannya di Carmanogla, kota kecil di selatan Turin. Tingginya sedang, bahu bidang, warna kulit lumayan bagus, dan mata biru khas Italia Utara. Ia terlihat tampan dengan gigi rapi dan senyum memikatnya walaupun tidak sabaran. Sifatnya yang begitu gegabah membuatnya mempunyai lebih banyak musuh daripada teman pada saat baru datang. Ia tidak pernah beradu pendapat orang lain tetapi selalu menghindari diskusi. Jika suatu ketika tak mungkin menghindari suatu diskusi, ia akan tetap berdiam diri hingga memutuskan mengakhirinya dengan cara kasar yang diketahuinya. Hal itu menyebabkannya memiliki reputasi "cepat naik darah" meski menurutnya terkesan kurang adil. Pelan-pelan orang-orang mulai menghargai sifatnya yang terbuka, murah hati, setia dan keberaniannya.
Contohnya, suatu malam ketika penggilingan keluarga Bettoni terbakar, ia memimpin memadamkan kebakaran itu. Sehingga pada hari-hari selanjutnya, tangannya yang terluka menyebabkan setiap pintu di daerah itu terbuka baginya. Sedikit demi sedikit teman-temannya mulai berhenti membicarakannya dan ia menjadi "bintang" pada pertemuan-pertemuan desa.
Sarah dan Giovanni pertama kali bertemu pada salah satu pertemuan-pertemuan itu. Selama musim dingin ketika baru tiba, mereka bertemu lebih sering dan Sarah mulai mencari kesempatan untuk menunjukkan kepada teman-temannya seolah-olah tak peduli pada Giovanni Maggone. Menurut Sarah, sangat tidak sopan meremas jari-jari orang ketika berjabat tangan. Ia juga tidak menyukai caranya tertawa yang membuka mulutnya lebar-lebar hanya untuk menunjukkan giginya yang putih.
Sementara itu, Giovanni bersikap lebih terbuka. Tentu saja diperlihatkannya kalau ia terlalu cerdas untuk dipermainkan gadis-gadis desa. Tak seorang pun di antara mereka yang layak. Ia mengakui dengan jujur kalau Sarah adalah gadis yang paling dewasa di antara gadis-gadis desa itu. Ia juga mendengar selentingan kalau Sarah menaruh hati padanya, tetapi ia tak ingin terikat kepada seorang gadis pun dalam beberapa waktu mendatang. Dijelaskannya hal itu kepada Sarah yang menyetujuinya. Gadis itu berkata pula kalau ia sangat tepat untuk bersikap sepraktis itu. Saat mengucapkan semua ini, Sarah memandang mata Giovanni, demikian pula sebaliknya Giovanni.
Suatu ketika di awal Juni, pada suatu sore hari kala berjalan-jalan di taman di rumah Sarah, mereka berhenti di gua kecil Bunda Maria. Sarah memegang lengan Giovanni, untuk sejenak menghentikan langkahnya. Direngkuhnya lengan Sarah, dan sementara ia memegangnya, Sarah berdoa dengan lebih khusuk agar Bunda Maria mengabulkan permohonannya. Bahkan terhadap dirinya sendiri ia tak berani berterus terang, bahwa apa yang paling diinginkannya di dunia adalah menjadi mempelai Giovanni.
Tiba-tiba Giovanni berpaling padanya dan berkata dengan lembut, "Sarah, kamu menangis!"
Setelah dibujuk akhirnya ia berkata kepada Giovanni, "Aku minta Bunda Maria untuk membahagiakanmu."
Jawaban Giovanni berupa lamarannya kepada gadis itu, "Sarah, hanya kamulah yang dapat melakukannya."
Sarah dan Giovanni akhirnya menikah dan tinggal di sebuah rumah kecil dengan tanah pertanian yang dibelikan olah keluarga mereka. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki lucu bermata gelap, mereka menamakannya Michael.
Michael, bukanlah seorang bayi yang biasa. Banyak hal membuat mereka yakin kalau ia terbukti lebih unggul dibandingkan dengan bayi yang lain. Misalnya, ia mengerti setiap kata yang mereka ucapkan ketika hampir berusia satu bulan. Pada saat berbicara dengannya, dengan mata lebarnya ia menatap mereka dengan tenang sampai menyelesaikan kata-katanya; dan kemudian ia menendang-nendangkan kakinya sambil tertawa dan menggerakkan kedua lengannya. Saat-saat tak terlupakan adalah ketika suatu sore Sarah duduk dekat perapian sambil menggendong Michael dalam pangkuannya. Michael menatap Giovanni, suatu kejutan yang sangat menggembirakan ketika ia mengucapkan kata-kata pertamanya,"Da, da, da." Perlahan-lahan dengan penuh perasaan ia berkata lagi "Da, da, da".
Seiring perjalanan sang waktu, Michael tumbuh setegap setiap anak lelaki lainnya, dengan rambut ikal gelap dan kulit kekuningan yang menurut Giovanni mengingatkannya pada Sarah. Di satu sisi, kemurahan hati dan semangat hidupnya menyebabkan Sarah sangat menyayanginya karena ciri-ciri itulah yang disukainya pada waktu Giovanni Magone masih muda.
Michael lahir di saat paling tidak menyenangkan bagi daerah di semenanjung Italia. Bertahun-tahun Italia dianggap hak milik negara sekitarnya yang dimanfaatkan sebagai sarana tukar menukar. Kurangnya persatuan nasional telah mengakibatkan perang saudara; suatu wilayah tertentu bergabung dengan kekuatan asing melawan wilayah lain. Usaha untuk menanamkan semangat nasionalisme selalu gagal dan hukuman-hukuman yang dijatuhkan menyebabkan orang-orang mengadakan gerakan perlawanan bawah tanah. Tak terelakkan sehingga pergerakan-pergerakan itu berkembang ke seluruh pelosok negara.
Giovanni Magone berusaha melindungi keluarga kecilnya dari penderitaan, tetapi dengan segera ia terseret dalam kondisi saat itu yang tidak stabil. Pertama-tama, ia harus menggadaikan tanah pertaniannya dan kemudian menjualnya. Kemudian mereka pindah ke apartemen kecil yang murah di bagian Carmanogla yang lebih miskin; di mana ia mencoba mencari pekerjaan. Tanpa keahlian di bidang selain pertanian, ia terpaksa bekerja sebagai seorang buruh tani. Pekerjaan yang tidak menghasilkan bayaran cukup. Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, kelaparan mengetuk pintu rumah mereka.
Tanpa harapan Giovanni memandang keluarga kecilnya yang menderita kelaparan dan miskin. Ia tak mengerti mengapa ketika ia mau dan mampu bekerja lembur; tidak pernah diberi kesempatan untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk menghidupi keluarganya.
Reaksi pertamanya adalah keputus-asaan yang dengan segera menjadi kejengkelan dan kemarahan terhadap ketidakadilan. Walaupun ia mencoba merenungkan kembali kemarahannya terhadap kondisi saat itu dan kepada mereka yang dianggapnya bertanggung jawab, sesekali ia marah-marah tidak karuan di rumah. Sarah selalu berusaha menenangkannya. "Kita seharusnya menerima semua ini sebagai cobaan dari tangan Tuhan. Kita harus menanggungnya dengan sabar dan tenang."
"Tenang!" seru Giovanni. "Kita seharusnya meneriakkan ketidakadilan yang terkutuk ini dari atap rumah!"
Ledakan kemarahan ini mengecewakan Sarah sehingga memandang Giovanni dengan gelisah, karena biasanya Giovannilah yang selalu mampu menenangkan hatinya. "Tetapi aku tidak marah terhadapmu, sayang. Apa yang dapat kau lakukan terhadap hal ini."
Suatu sore Giovanni pulang lebih awal daripada biasanya. Ia duduk di meja dan menunggu hingga Sarah selesai menyiapkan makan malam berupa polenta dan keju di hadapannya.
"Di mana Mickey?" ia bertanya.
"Ia bilang mau pergi ke tempat Arnoldo!" jawab Sarah. "Sekarang masih sore."
Giovanni terdiam hingga selesai makan. Kemudian ia menarik kursi dan duduk sambil memandang perapian. Ia menggosok-gosok telapak tangannya di antara kedua lutut dan sekali-kali memandang jam dinding.
"Kamu akan pergi lagi?" tanya Sarah.
"Kamu tahu darimana?"
"Kamu tidak melepas jas," ujar Sarah. "Apa ada yang salah ?"
"Demi Tuhan, Sarah!" teriaknya dengan tiba-tiba. "Tidak bolehkah aku melakukan sesuatu tanpa memberitahukannya padamu? Aku tak mau kamu tanya-tanya, aku akan pergi dan pulang terlambat."
Sarah tak dapat melupakan kata-kata Giovanni, lebih-lebih caranya berbicara. Sarah tak pernah dapat menanyakan apapun kegiatan Giovanni padanya tetapi ia telah mendengar selentingan dari tetangganya. Seorang wanita yang tinggal bersama suami beserta tiga orang anaknya di lantai bawah, meyakinkannya kalau suatu hari Giovanni bersama suami wanita itu, Luigi telah tergabung dalam suatu geng bernama Neri. Geng ini begitu berpengaruh di Carmanogla dan daerah sekitarnya serta mempunyai reputasi yang sangat tidak pantas untuk ditiru. Mereka hampir selalu terlibat dalam setiap keributan dengan penguasa. Beberapa anggota geng bahkan telah dihukum gantung karena terlibat dalam pembakaran rumah Bettoni, pemilik penggilingan. Kata orang geng Neri semakin bertambah kuat, sementara polisi terlihat semakin lemah.
Sebelum meninggalkan rumah, Giovanni berkata ia akan menengok teman yang rumahnya cukup jauh dan mungkin akan menginap malam itu. Ia menghampiri Sarah dan mencium pipinya dengan lembut sebagai permintaan maaf akan kelakuannya sore itu. Sarah tersenyum menutupi kegelisahannya saat memandangi kepergian Giovanni.
Giovanni tidak pulang malam itu, begitu pula hari-hari berikutnya. Suatu siang, ketika Sarah sedang menyetrika pakaian terdengar kegaduhan di tangga. Bunyi langkah kaki yang berat mulai menaiki tangga, terlalu pelan bagi langkah-klangkah kaki Giovanni tetapi terlalu berat bagi Mickey. Tak lama kemudian terdengar ketukan keras di pintu.
"Masuk!" ujar Sarah. Ia meletakkan seterikanya dan menanti. Pintu terbuka dan dua orang polisi masuk. Kedua polisi itu melihat wajah Sarah yang tiba-tiba memucat. Dia menjauhi meja dan mencari kursi.
"Nyonya Magone? "
"Ya!" jawab Sarah dengan terputus-putus.
"Nyonya Magone, percayalah. Kami menyesal harus menyampaikan kabar bahwa Giovanni, suami anda terlibat masalah. Dia tertangkap semalam karena terlibat perampokan gudang milik Doldi. Ini hal yang serius. Seorang petugas terluka dalam perkelahian, sebelum para perampok itu menyerah. Jika bersedia, anda dapat menemuinya di penjara siang ini, Nyonya !"
Ketika selesai bicara, ia memperhatikan wanita itu dan menunggu tanggapannya. Karena tak ada tanggapan, dia memberi tanda kepada temannya dan dengan susah payah meninggalkan ruangan yang terlihat semakin sempit akibat kehadiran mereka.
"Selamat siang, Nyonya !"
Sarah tidak mengerti keseluruhan apa yang mereka katakan. Hanya satu hal yang jelas ada dipikirannya. Giovanni dipenjara. Kebingungan, dia mendengar polisi itu menutup pintu, dan kemudian ia berlutut di depan patung kecil Bunda Maria.
Terdengar langkah kaki yang cepat dan Mickey membuka pintu dengan keras, nafasnya terengah-engah karena melompati dua anak tangga sekaligus. Dilemparkannya buku-buku ke bangku.
"Hallo, Mama!"sapanya. "Lihat polisi-polisi itu? Mama tahu mereka pergi kemana?….." Ia memperhatikan berlutut di depan patung Bunda Maria. "Ada apa ?" tanyanya, sambil berlutut di samping mamanya.
"Bangun, Mama! Duduklah di bangku ini. Bolehkah aku mengambilkan sesuatu untuk mama? Air atau anggur? Atau minuman hangat?"
"Tidak, Mickey," jawab mamanya, sambil tersenyum di antara tangisnya. Ia merasa lebih baik dengan kehadiran Mickey didekatnya. "Mama baik-baik saja." Sedikit demi sedikit diminumnya anggur merah yang diambilkan Mickey. Lalu diceritakannya pada Mickey apa yang telah terjadi. Dia mencoba untuk menutupi penyebab ayahnya ditangkap, meskipun ia merasa bahwa Mickey cukup cerdas untuk mengetahui kenyataan sebenarnya. Setelah selesai, ia mengusulkan untuk bersama-sama pergi ke penjara.
"Ayo!" ujar Mickey.
Mickey pergi terlebih dulu diikuti oleh mamanya. Ketika melewati apartemen dibawah mereka ia menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Maria!" panggilnya, "kalau ada tamu, bilang ke mereka, aku akan kembali satu jam lagi!"
"Baik, Sarah. Semoga berhasil!"
Mereka mencapai penjara dalam waktu lima belas menit dengan langkah-langkah cepat. Mereka sering melewati gedung itu tetapi tak pernah terpikir kalau suatu saat akan datang ke sana karena urusan pribadi. Dengan malu-malu Sarah berbisik memperkenalkan diri di pintu gerbang. Seorang penjaga memberinya tiket bernomor tujuh dan menunjukkan jalan melewati halaman halaman. Penjaga yang lain mengantarkan mereka dari pintu gerbang dalam ke koridor yang dipenuhi sel-sel dikiri kanannya. Udara pengap membuat jantung Sarah berdebar lebih cepat dan sedikit pusing. Mickey berjalan mendonggakkan kepalanya tetapi matanya dengan cepat menyapu dari satu sel ke sel lainnya, memandang wajah-wajah cemberut di balik terali besi.
"Sarah! Michael!" terdengar sebuah suara memanggil. Mereka mencari sumber suara dan melihat Giovanni beberapa sel di depan, melongok hingga wajahnya menempel pada terali besi. Ia memakai baju dan celana kasar khas penjara dan rambutnya telah dipotong pendek. Pakaian dan rambutnya yang pendek membuatnya terlihat begitu asing dan kurus sehingga Sarah mulai terisak. Mickey tidak menangis, tetapi ia berdiri gelisah sambil memandangi ayahnya. Ayahnya sedang dalam kesulitan, dan ia merasa lebih baik mendampinginya daripada menangis.
Giovanni mengusap kening dengan punggung tangannya. Mickey mengetahui kebiasaan ayahnya kalau sedang khawatir itu. Kemudian ia bertanya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan sehari-hari ketika ia tidak ada.
"Tak-kan terjadi apa-apa pada mama selagi ada aku," ujar Mickey dengan mengerahkan seluruh keyakinannya.
Giovanni menghindari pembicaraan mengenai kejadian semalam. Sebaliknya ia mulai mengejek orang kaya dan para penguasa. Sepatah katapun tidak keluar dari mulut Mickey, tetapi kata-kata ayahnya menggema ditelinganya dan kebencian mulai tumbuh pada dirinya terhadap penguasa dan orang kaya, siapapun mereka! Mereka bertanggung jawab karena ayahnya dipenjara dan menyalahkan mereka sejak semula.
Sarah dan Giovanni melanjutkan pembicaraan mereka. Giovanni membesarkan hati Sarah yang berbicara dengan nada putus asa, hingga suara sipir memotong pembicaraan mereka.
"Waktu habis, nomor tujuh! Kemari, cepat keluar!"
-