Bab XIII
Kemenangan
Dentang lonceng gereja membangunkan Mickey. Seakan-akan mengayun-ayunkan dan menggoncangnya hingga seluruh tubuhnya terasa sakit.
Ia membuka mata tetapi selama beberapa saat tidak mengenali sekitarnya. Menyebabkannya khawatir dan ia mencoba untuk mengingat di mana ia berada dan mengapa ia sampai ada di sana. Ya, ia ada di ruang perawatan, hanya untuk beristirahat. Tapi ia tak mengerti mengapa tubuh dan kepalanya terasa sakit. Ketika mencoba untuk bangkit ia merasa begitu sakit seakan-akan sebuah palu yang besar menghantam dasar tengkoraknya. Pada saat bersamaan seolah-olah jari-jari sekeras baja menekan perut dan dadanya hingga ia mengerang kesakitan dan terjatuh kembali ke bantal, nafasnya terengah-engah. Dia terbaring selama beberapa menit sampai rasa sakit yang menusuk-nusuk berangsur-angsur menghilang meninggalkan tubuhnya mengigil. Ia tertidur kembali dan ketika bangun, Don Bosco dan petugas kamar sakit sedang membungkuk mengelilinginya.
"Jam berapa sekarang?" kata Mickey, terkejut karena melihat mereka.
"Masih pagi," kata Don Bosco."Bagaimana perasaanmu?"
"Sekarang lebih baik." Mickey tersenyum kepada sang imam. "Rasa sakitnya sangat parah ketika saya bangun pagi ini. Terasa di sekujur tubuhku. Sekarang hanya perutku yang masih terasa sakit."
"Lebih baik kamu beristirahat," saran Don Bosco. "Dokter akan segera datang.
"Ada apa?" tanya Mickey, "Apa saya sakit?"
Don Bosco tidak menjawab tetapi meletakkan tangannya di dahi Mickey dan menepuknya dengan lembut.
Dokter tiba pada waktunya, dan dengan hati-hati mulai memeriksa pasiennya secara cepat dan ceria seperti biasa, kebiasaan yang membuatnya begitu populer di kalangan anak-anak. Tetapi pemeriksaan berlangsung lebih dari setengah jam dan selama memeriksa, ekspresi wajahnya menjadi lebih serius. Beberapa menit ia berhenti sambil mengerutkan kening dan bibirnya.
Akhirnya ia berdiri dan berpaling kepada Don Bosco. "Bisakah saya bicara sebentar dengan anda di luar?" katanya.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mereka sendirian."Don Bosco," katanya, "penyakitnya sudah parah saat ini."
Seolah-olah membuktikan kata-kata sang dokter, mereka mendengar si sakit batuk-batuk. Setelah menuliskan resep dan memberi petunjuk-petunjuk seperlunya kepada petugas ruang perawatan, ia berkata kalau ia akan mengunjungi Mickey sore harinya.
Ketika ibunya tiba, ia mendapati Mickey yang lemah dengan wajah terlihat kurang sehat. Diletakkannya bungkusan kecil berisi pakaian dan sekeranjang penuh buah-buahan di atas meja kecil dan membungkuk dihadapannya.
"Bagaimana perasaanmu, nak?" tanyanya dengan gelisah."Kamu sakit kolera?"
"Tentu tidak, bu," jawab Mickey.
"Kalau begitu, sayang?" tanyanya lagi.
Mickey memberitahu ibunya kalau sehari sebelumnya ia sudah diperiksa oleh dokter, dan menurutnya tak ada yang perlu dicemaskan. Dia telah memeriksanya lagi tadi pagi tetapi sejauh ini ia tidak mengatakan apa-apa.
"Jangan khawatir,bu," katanya seceria mungkin walaupun dibatasi oleh rasa sakit. "Sepertinya aku hanya kena flu. Aku pernah sakit seperti ini dulu dan segera sembuh."
"Ooh, Mickey," kata ibunya sambil merapikan rambut keriting anaknya dari dahinya yang lembab. "Tuhan memberkatimu! Aku berdoa setiap malam sejak engkau pergi."
Sarah Magonne menemani Mickey sampai tertidur dan kemudian dengan lembut mengatur tempat tidurnya. Walaupun sedih, ia tidak terlalu khawatir berlebihan. Dia sama sekali tidak mengetahui kejadian sebelumnya, atau apakah dokter telah memberikan hasil pemeriksaannnya terhadap Mickey. Dia merasa yakin kalau rasa sakitlah yang mengganggu Mickey beberapa kali di masa lalu, yang pasti akan segera berlalu. Dia berkata kepada petugas ruang sakit kalau ia akan kembali nanti setelah menghubungi beberapa teman di Turin.
Don Bosco muncul di pintu kamar sisakit beberapa saat setelah ia pergi. Ia menatap si pasien sesaat sebelum memutuskan untuk tidak membangunkannya. Mata Mickey membuka ketika ia baru beranjak pergi. Ia tersenyum dan Don Bosco segera mendekat ke samping pembaringannya.
"Mickey," katanya, "katakanlah, seandainya sekarang kamu harus memilih antara pergi ke surga dan sembuh. Mana yang engkau pilih ?"
"Tuhan tahu yang terbaik," kata Mickey pelan."Apapun yang diinginkan-Nya, aku turuti."
"Tetapi seandainya kamu yang harus memilih?" tanya Don Bosco.
"Menurutku, aku bodoh sekali,"Mickey menjawab pelahan, "jika tidak memilih pergi ke surga."
"Jadi kamu lebih memilih pergi ke surga daripada sembuh?"
"Tentu Bapa. Itu permohonan saya sejak berbincang-bincang dengan anda."
"Kapan kamu ingin pergi Mickey?"
"Saat Tuhan memanggil saya."
"Bagus sekali Mickey!" bisik sang imam."Bagus sekali! Kehendak Tuhan selalu terjadi! Ingatlah itu terus."
Dokter yang datang memotong pembicaraan mereka. Sekali lagi ia memeriksa Mickey untuk meyakinkan diri bahwa diagnosa pertamanya sudah benar, dan untuk melihat jika ada perubahan sejak kunjungan terakhir. Ia memberi isyarat kepada Don Bosco untuk keluar ruangan ketika telah selesai memeriksa.
"Anak ini," katanya,"mengalami pendarahan dalam yang serius dan biasanya berakibat fatal. Aku khawatir, Don Bosco, tak banyak yang bisa kita lakukan untuknya. Kita hanya bisa berharap dan berdoa."
Berita itu tersebar di oratori dengan cepat, entah karena sang dokter telah memberitahu seseorang sebelum ia pergi, entah karena petugas kamar sakit tanpa sengaja mendengar apa yang dikatakannya di luar kamar si sakit.
Jenderal sedang sakit keras!
Berita itu begitu sulit untuk dipercaya karena begitu mendadak dan juga karena anak-anak tak dapat membayangkan kalau Mickey yang bersemangat sedang sekarat.
Mereka segera teringat nubuat Don Bosco pada malam tahun baru ketika berita itu dikonfirmasikan:"Salah seorang diantara kalian akan pergi bertemu Tuhannya satu bulan sebelum bulan pertama tahun ini berakhir." Esok harinya guru-guru diberi tahu tentang kondisi Mickey yang semakin memburuk dan berada dalam bahaya kematian. Kebisuan turun melingkupi lapangan permainan dan keheningan menyebar ke seluruh penjuru oratory - penghormatan bagi anak yang paling dicintai di Oratori.
Segera setelah kunjungan sang dokter, Sarah Magone kembali dan Don Bosco dengan perlahan menyampaikan berita tersebut padanya.
Ia terlihat terguncang karena terkejut dan berdiri membisu menatap mata Don Bosco. Ia mendapatkan kekuatan dari kedalaman mata itu dan membaca sedikit harapan yang meneguhkan hatinya. Dengan tenang ia berjalan menuju ruang perawatan dan duduk di sebelah ranjang Mickey.
Mickey terus menerus menggerakkan kepala dan mengubah posisi tidurnya. Keningnya berkerut dalam kepedihan tetapi dia akan tersenyum dan menggerakkan tangannya ketika ada orang datang menjenguk. Kemudian ia akan menggoncang-goncangkan bahu sebagai permintaan maaf karena tidak dapat melayani percakapan. Mickey memberi tanda kepada Don Bosco kalau ia ingin berbicara dengannya ketika pengunjung terakhir telah pergi. Sang imam membungkuk.
"Ya, Mickey," kata Don Bosco penuh kasih sayang, "Bagaimana perasaanmu?"
Mickey menggenggam tangan Don Bosco,"Tak dapat kukatakan,Bapa."
Don Bosco dapat mendengar suara serak di tenggorokan Mickey pada saat menjawabnya. "Hanya seperti….meluncur entah kemana. Doakan saya. Mungkin saya akan segera mati. Lebih baik menerima….Sakramen terakhir.…" Sang imam itu melepaskan tangannya dari genggaman Mickey dan meninggalkan ruangan. Sarah tetap memandangi puteranya dengan sabar dan pasrah. Matanya berkaca-kaca tetapi bibirnya tersenyum pada sang putera. Beberapa menit sekali ia mengeringkan keringat dari dahi dan pipinya.
Don Bosco kembali dengan berjubah dan stola putih, ditemani oleh dua orang misdinar yang memegang lilin bernyala. Ketika lonceng kecil dibunyikan untuk memberi tanda Sakramen Maha Kudus datang mendekat, semua orang yang ada di dalam ruangan berlutut. Sang imam memasuki ruangan diikuti teman-teman Mickey yang dipimpin oleh Tom. Beberapa orang mendapat tempat di dalam ruang sesakit, sementara yang lainnya berlutut di koridor.
Bibir Mickey bergerak-gerak tak bersuara ketika ia mempersiapkan diri untuk menerima Tuhannya untuk yang terakhir kali. Dia menutup mata saat menelan hosti berwarna putih. Sedu-sedan teman-temannya yang berada disekelilingnya semakin memudar dan ia merasa seperti dimasukkkan ke keheningan yang sangat hening Tubuhnya bergetar dengan kebahagiaan yang melingkupinya. Saat itu rasa sakitnya seperti terlupakan. "Yesus, Yesus!" ia berteriak di kedalaman dirinya. "Aku datang sekarang. Ampunilah, tolonglah aku….Ibunda Tersuci, ingatlah kalau aku memilih Engkau sebagai Ratuku." Don Bosco menggenggam tangannya. "Peganglah tanganku….lebih erat….lebih erat…."
Perlahan-lahan getaran tubuhnya berhenti. Suatu perasaan damai yang agung terlihat memenuhi dirinya bersama-sama dengan rasa sakit. Dia membuka mata dan melihat Don Bosco membungkuk diatasnya. "Katakan kepada anak-anak…..untuk berdoa.…mendoakan aku," bisiknya.
Begitu Mickey menerima Viatikum, anak-anak berjingkat-jingkat meninggalkan ruangan. Mereka merasa lega dapat meninggalkan ruangan karena hanya demi Mickey-lah mereka bersedia berada didalam kamarnya; tetapi mereka merasa tertekan dan bahkan ketakutan atas situasi menjelang kematian.
Don Bosco melepaskan jubah dan stolanya dan bersiap meninggalkan kamar Mickey bersama para misdinar ketika mata Mickey membuka sambil menampakkan kelelahan. "Tolong tunggu sebentar. Saya tidak ingin……..meninggal tanpa kehadiran anda……"
"Baiklah, Mickey," kata sang imam. "Aku ada di kamar sebelah untuk berdoa harian sebentar. Aku akan datang jika kamu memanggilku."
"Bapa," lanjut Mickey yang sekarat, "ingat tulisan pada kertas,'Bersama Allah…'"
"Ya. Disitu tertulis: 'Di kursi pengadilan Allah aku akan berdiri.....sendiri."
"Hanya tidak sendiri." Mickey menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan."Bunda Allah ada di sana juga."
Don Bosco mencoba berdoa dari breviarienya, menaruh seluruh perhatian pada kekayaan kata-kata yang terkandung pada Mazmur, tetapi malam ini ia tak dapat berkonsentrasi. Kata-kata Mickey membuat air matanya mengalir dengan deras. Karakter mengagumkan Mickey yang terlihat pada saat-saat pencobaannya ini membuatnya terharu. Ia telah menyaksikan begitu banyak kematian, baik orang berusia muda maupun sudah tua; tetapi kematian Mickey ini membuatnya lebih tertekan daripada kematian lain yang bisa diingatnya. Karena kesal terhadap dirinya sendiri, maka dialihkannya perhatian kepada surat-surat dan mengerjakannya tanpa henti. Dia disela sejenak oleh ketukan halus di pintu.
"Ya," katanya dengan ballpointnya teracung ke udara.
Ternyata Pietro, petugas ruang perawatan,"Bapa," katanya, "mungkin, lebih baik anda datang sekarang."
Don Bosco bangkit dan pergi dengan cepat ke samping ranjang. Ia melihat saat-saat akhir Mickey sudah mendekat. Warna kemerahan di pipinya berubah menjadi kelabu, bibirnya berwarna ungu pucat, dan dari sinar matanya terlihat suatu cahaya yang tidak biasa.
Mereka yang mengelilingi tempat tidur Mickey memperhatikan Don Bosco mempersiapkan Minyak Suci untuk memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit yang terakhir bagi Mickey yang akan meninggal. Sarahlah yang pertama bereaksi. Ia tiba-tiba mengusap matanya dengan sapu tangan dan meninggalkan kamar sambil menangis dan terisak-isak, "Michelino! Michelino!" Don Bosco mulai bergerak untuk meminyaki Mickey sambil mengucapkan doa dengan suara perlahan sementara yang lain menanggapinya.
"Oleh perminyakan suci ini dan oleh kasih karunia-Nya yang besar; semoga Tuhan mengampunimu dari semua dosa yang kau lakukan dengan indera penglihatan…… pendengaran….perkataan….sentuhan."
Mickey mengucapkan doa terakhirnya bagi pengampunan atas semua dosa yang telah diperbuatnya sebelum ia meninggalkan dunia ini untuk bertemu dengan Tuhan. Ia meletakkan kembali kepalanya di atas bantal ketika tangan sang imam teracung meberikan absolusi baginya.
Tak berapa lama, sekitar 15 menit kemudian, ia membuka matanya lagi; yang telah kehilangan cahayanya. Bibirnya bergetar ketika ia mencoba berbicara, tetapi akhirnya dengan susah payah ia berhasil melakukannya. Don Bosco membungkuk untuk mendengar apa yang dikatakannya.
"Ibu …." ratap anak yang hampir meninggal itu.
"Kamu ingin aku memanggilnya, Mickey?"
Mickey menggelengkan kepalanya. "Terlalu berat baginya...katakan padanya jangan menangis…akan menemuinya…lagi. Cinta dia...sungguh-sungguh. Maafkan…anak nakal."
"Katakan padaku,Mickey," kata Don Bosco, "apa yang begitu menghiburmu saat ini menjelang kematian?"
Perlahan-lahan kata-kata menluncur keluar dari mulut si anak yang sekarat, "Melakukan sesuatu untuk…sang Ratuku."
"Oh, Mickey!" seru Don Bosco yang mulai meneteskan air mata bersama-sama dengan mereka yang ada didalam ruangan itu. "Mintalah pada-Nya untuk memberkati Oratory sehingga tak seorangpun di dalamnya akan kehilangan jiwanya!"
Dia menoleh ke Tom yang masih duduk tenang tak jauh dari tempat tidur temannya.
"Tom," katanya,"bacakanlah doa bagi yang akan meninggal."
Tom mengambil buku kecil yang ada di antara lilin bernyala dan berlutut dan mulai berdoa:
"Tuhan segala kebaikan, dan Bapa segala rahmat, aku menghadap Dikau penuh dengan penyesalan dan kerendahan hati. KepadaMu aku menyerahkan saat-saat terakhirku dan keputusan atas nasibku yang tak terelakkan lagi. Ketika kakiku, terbenam dalam kematian, memperingatkanku kalau akhir hidupku sudah mendekat-
Anak-anak menjawab: Yesus yang penuh belah kasihan, kasihanilah aku!
Mickey memandang anak yang sangat disayanginya itu. Kemudian matanya tertumbuk pada Don Bosco. Dengan matanya yang sangat buram ia dapat membedakan antara "superpli" putih dan jubah hitamnya, sangat kabur dan segalanya menjadi kurang jelas.
Ketika mataku, menjadi suram dan susah melihat saat menjelang kematian, kuarahkan kepada-MU Tuhan, harapanku yang terakhir dan satu-satunya.
Yesus yang penuh belas kasihan, kasihanilah aku.
Mickey meraba-raba dalam kebutaannya hingga ia merasakan sebuah tangan menggegamnya. Ia meremas jari-jari itu dan menggenggamnya dengan erat. Dia masih mempunyai banyak hal untuk dikatakan kepada Don Bosco, tetapi ia sangat lelah.
Ketika telingaku, segera menjadi tuli selamanya terhadap kata-kata orang, biarkanlah terbuka untuk mendengar ucapan suaraMu, menjelang kematianku.
Yesus yang penuh belas kasihan, kasihanilah aku.
Sangat mudah untuk memikirkan Carmagnola…saat-saat ia meluncur menuruni rumput kering di atas kereta dan ibunya menariknya ke atas…komuni pertamanya - hari ketika ia terjatuh saat berpakaian putih…perkelahian antar gang dengan Black Blood - nama yang aneh. Tak seorangpun berdarah hitam. Syukurlah Don Bosco tak pernah melihatnya…sang ibu harus mendapatkan yang terbaik. Jika ia tidak mampu membelinya, ia akan mencari cara lain untuk mendapatkannya bagi sang ibu...Tetapi seharusnya ia tak mencoba untuk memikirkan hal-hal semacam ini sekarang, dia harus berpikir tentang….
Ketika aku kehilangan kemampuan untuk menggunakan inderaku, ketika dunia menghilang dari penglihatanku, ketika jiwaku yang menderita membuatku merasakan penderitaan maut
Yesus yang penuh belas kasihan, kasihanilah aku.
Sangat menyakitkan untuk berpikir. Dia sangat lelah. Lebih mudah untuk pergi...mengikuti arus…yang diinginkannya hanyalah istirahat…damai… Ruangan tampak memudar, menjauh, dan akhirnya menghilang ketika ia mencoba membuka matanya. Cahaya terang memancar entah dari mana dan mulai menyebar dengan perlahan, memenuhi seluruh dirinya bagaikan matahari yang terhalang kabut.
Ketika keluhan terakhirku memanggil jiwaku dari tubuhku, terimalah sebagai tanda ketidaksabaran yang kudus untuk datang kepada-Mu; dan Engkau.
Yesus yang penuh belas kasihan, kasihanilah aku.
Saat ini kabut mulai menipis dan menjadi lebih cerah. Berkas-berkas cahaya sedikit demi sedikit menguakkan kabut. Rasa sakitnya sedikit demi sedikit menghilang setiap kali seberkas cahaya menembus kabut. Ia sadar kalau ada hubungan antara rasa sakitnya dan cahaya cemerlang di pusat kabut. Kabut itu telah menjadi transparan tidak lebih dari sebuah selubung tipis. Ia bisa merasakan kehangatan yang diakibatkan cahaya cemerlang itu dan dengan kegembiraan yang meluap ia mengenalinya. Kegembiraan yang sekarang dirasakannya tidaklah terasa asing lagi, tetapi kegembiraan yang telah dikenalnya dan begitu sering dialaminya walaupun masih terasa remang-remang. Tak ada lagi logam dingin sekarang, tak ada lampu kecil yang berkelip-kelip. Pintu tabernakel mulai terbuka………..
Di akhir hidupku, yang menghadap hadirat-Mu Tuhan, biarkanlah melihat kemegahan-Mu yang abadi, janganlah menolaknya, tapi terimalah aku dalam cinta belas kasihan-Mu, di mana aku akan selalu menyanyikan pujian bagi-Mu.
Yesus yang penuh belas kasihan, kasihanilah aku.
Genggaman tangan pada jari-jari sang imam mengendur sementara lengannya menjadi lemas. Don Bosco menatap wajah Mickey yang dipenuhi kegembiraan surgawi. Nafas terakhirnya telah meninggalkan tubuhnya melewati sebuah senyuman di bibir. Ia berlutut di samping ranjang dan mulai berdoa dengan hening.
Ia mengumpulkan anak-anak di aula sekolah dan menceritakan saat-saat terakhir teman mereka esok paginya sebelum pelajaran di mulai. Pagi ini tak terdengar dengungan komentar yang biasanya terdengar saat mereka berkumpul. Beberapa anak menatap lantai, beberapa berbisik-bisik, anak-anak meninggalkan aula menuju ruang kelas. Tak seorangpun bermain di lapangan waktu istirahat pagi kecuali beberapa anak yang berdiri berkelompok membicarakan peristiwa yang telah menarik perhatian semua penghuni oratory. Kebanyakan dari mereka berpikir tentang Mickey yang saat ini terbaring menurut penjelasan Don Bosco - si keriting yang badung, alis hitamnya pada kening yang pucat, rahang kecilnya yang persegi, dan bibirnya yang tersenyum.
Suasana kehilangan begitu terasa di kelas Mickey. Sang wali kelas yang berambut putih dan biasanya memulai pelajaran dengan lelucon yang sering ditujukan kepada Mickey yang duduk pada baris terdepan; pagi ini ketika ia akan mulai menerangkan pelajaran pandangan matanya jatuh pada bangku kosong. Mulutnya terkatup dan ia duduk. Ia mulai menerangkan materi pelajaran hari itu setelah keheningan beberapa saat, tetapi ia hanya mampu menerangkan beberapa baris saja ketika ketika berhenti sebentar dan menyebarkan pandangannya ke sekeliling kelas hingga pandangan matanya jatuh kembali ke bangku yang kosong. Dia terbatuk-batuk dan memlanjutkan membaca….… "dan di sinilah bangsa Romawi berperang dengan bangsa Galia….." Sekali lagi ia mengangkat matanya yang sekali lagi jatuh di bangku kosong. Sekarang sepertinya ia menemukan kesulitan untuk melanjutkan pelajaran, karena ia berhenti membaca dan membolak-balik halaman buku, seakan-akan sedang mencari referensi. Jelas sekali kalau sangat sulit untuk menemukannya, karena ia membutuhkan waktu yang lama dan selama mencari ia menghembuskan nafas dari hidung dengan keras.
Akhirnya ia tak dapat lagi melanjutkan 'sandiwaranya'. Dengan mata basah oleh air mata ia berdiri dan cepat-cepat meninggalkan kelas. Tak seorangpun mendongakkan kepala agar tidak membuatnya malu, dan anak-anak masih tetap memperhatikan buku mereka dalam kesunyian ketika ia telah pergi. Tom ada di kelas ini. Dia duduk terdiam sambil menutupi matanya dengan tangan.
Don Bosco merayakan misa bagi ketenangan jiwa Mickey esok harinya. Ketika menyanyi dipenuhi rasa duka yang tak terlukiskan dalam keanggunan Requiem yang menakjubkan memenuhi gereja, mereka seakan-akan mendengar suaranya yang jernih hidup kembali, menyanyikan lagu yang merupakan doa kepada Bunda Maria. Apakah ia menjadi anggota terbaru paduan suara para malaikat, yang menyanyikan pujian Gloria in Exelcis bagi sang Putera?
Pada saat iring-iringan penguburan meninggalkan gereja, orang-orang berhenti untuk melihat empat ratus anak berbaris dibelakang peti mati yang dipikul oleh Tom dan beberapa teman dekat sang Jendral.
Don Bosco telah menanti mereka di pemakaman. Sambil berdiri di atas makam, ia berdoa bagi peristirahatan kekal jiwa Mickey dengan suara terkadang keras dan terkadang lemah karena hembusan angin. Dia berbicara seakan-akan untuk mengangkat bebannya sendiri. Ia menceritakan kisah singkat kehidupan Mickey kepada anak-anak, dan petuah yang mungkin diperoleh bagi mereka yang mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan ketika akhir hidup mereka tiba. Peeti mati pelahan-laha turun dan anak-anak menjatuhkan tanah keatasnya sebagai simbol diterima dalam tangan bumi.
Malam harinya, lama setelah anak-anak tertidur dan oratory dilingkupi kegelapan, secercah cahaya masih bersinar dari salah satu jendela. Diluar, dilapangan permainan, ranting-ranting tak berdaun bergoyang dengan sedih ke kiri dan ke kanan. Rembulan berlayar di atas lautan mega.
Don Bosco mengakhiri doa dari Breviary dan meletakkannya di atas meja di sampingnya. Ia pergi ke lemari buku di seberang ruangan dan dari deretan-deretan rak mengeluarkan sebuah daftar nama. Ia membukanya pada deretan huruf "M" , matanya tertuju pada nama: Michael Magone. Jari-jarinya mengurutkan deretan-deretan tanggal, pelajaran-pelajaran yang telah diikutinya, nilai-nilai yang diperolehnya….hingga mencapai kata-kata: meninggalkan oratory. Di seberang tulisan ini ia menulis tanggal kematiannya dan menambahkan: "Seorang anak dengan masa depan yang menjanjikan, duka yang besar dari mereka yang mengenalnya, dan seorang teladan bagi kaum muda untuk ditiru."
Ia tidak segera menutup arsip itu tetapi tetap menatapnya sambil mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Mickey pada suatu malam di Carmanogla; di bawah cahaya lampu jalanan dan hujan. Sejak saat itu ia merasakan keistimewaan pada diri sianak dan membuatnya merasa bahagia saat ini karena tahu bahwa ia tidak salah. Ia mengingat spontanitas Mickey, keberaniannya menghadapi bahaya, kejujuran dan kebaikan hatinya - segala hal yang membuatnya layak untuk dicintai. Ia juga ingat akan kehendaknya yang kuat sehingga memungkinkannya untuk keluar dari lubang masalah. Ia juga ingat akan perjuangan, kegagalan, kemenangan akhirnya dan kemauannya untuk maju yang sungguh jarang ditemukan pada anak-anak lain.
Don Bosco menghela napas panjang. Dia benar-benar menyesal telah kehilangan sang Jenderal - namanya masih membuatnya tersenyum - tetapi ia merasa terhibur ketika mengingat keadaan pada saat kehidupan dan kematian anak itu. Baginya itu berarti satu kemenangan lagi pada pertempuran abadi antara kebaikan dan kejahatan.
Ia hampir dapat melihat sang Jenderal tersenyum padanya ketika memperhatikan halaman buku di depannya; dia hampir dapat mendengarnya berkata lagi seperti yang selalu di ucapkannya: "Selamat malam, Don Bosco …. dan terima kasih."