Pengemis Tercinta |
Selama pembangunan gedung gereja yang besar dan megah ini, Bosco selalu dapat memenuhi pembiayaannya. Kalau biaya tidak begitu lancar dari para donor yang biasa membantu, Don Bosco tidak segan-segan mengemisnya. Permintaannya selalu ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang membuat orang tertawa.
Suatu ketika biaya Basilika menumpuk tinggi, Yohanes mengunjungi seorang pria yang kaya yang sedang berbaring di tempat tidur karena sakit selama tiga tahun. Setelah beberapa lama bercakap-cakap, Don Bosco meminta orang itu berpakaian dan pergi ke bank untuk mengambil sejumlah uang sebesar yang dimaksud Don Bosco untuk biaya pembangunan Basilika pada saat itu. “Saya tidak bisa pergi ke bank,” orang sakit itu mengeluh; “Saya tidak pernah turun dari tempat tidur selama tiga tahun terakhir.” Don Bosco menjawab: “Saya berjanji padamu, kalau kamu mengambil uangmu di bank, Bunda Maria akan menyembuhkanmu.” Orang itu merasa yakin dengan janji itu dan keluar dari tempat tidurnya. Yohanes memanfaatkan kesempatan untuk menemaninya ke bank.
Banyak orang berpikir bahwa Yohanes, karena kemampuannya untuk mencari dana, adalah seorang yang ulet dalam saol pengelolaan uang. Padahal dia tidak demikian. Seorang wanita kaya, menganggapnya seorang manejer keuangan, meminta Don Bosco bagaimana bisa menabung uangnya dengan baik. Don Bosco hanya membuka tangannya lebar di hadapannya dan tidak berkata apa pun.
Meskipun sejumlah besar dolar melewati tangannya, dia tak pernah menyimpan sesen pun untuk dirinya. Ternyata dia hidup miskin, dia bertekat berjalan sejauh mana pun hanya untuk menghemat setengah lembaran kertas untuk surat-menyurat, menghitamkan tali yang digunakan sebagai tali sepatu, dan menyimpan dengan baik kertas-kertas yang sudah dipakai sebagai bungkusan dan tali-tali yang sudah dipakai. Dia memakai mantel militer yang bekas pakai dan menggunakan sprei militer di tempat tidurnya. Karena dia mengaggap dirinya sebagai seorang pelayan dan pekerja, dia dengan gembira mennuggu anak-anaknya di meja makan, menambal pakaian mereka, dan mencukur rambut mereka. Karena dia seorang miskin, dia merasa kerja keras adalah hidupnya. Dia sangat memperingatkan para Salesian bahwa kalau mereka kehilangan cinta akan kemiskinan, itu akan menjadi tanda yang jelas bahwa kongregasi sedang mengalami resiko kematian.
Bunda Tercinta
Don Bosco memohon banyak hal kepada Bunda Maria. Suatu ketika seorang pastor memintanya untuk memberikan koferensi tiga hari untuk menyiapkan umat paroki menyambut Pesta Diangkatnya Bunda Maria ke Surga. Paroki yang terletak di kawasan lahan pertanian itu menderita kekeringan karena musim panas berkepanjangan. Para petani kehilangan harapan.
Dalam pembukaan kotbahnya Bosco berkata “Datanglah selama tiga hari misa ini, buatlah pengakuan dosa dengan baik, lakukan yang terbaik sebagai persiapan sungguh-sungguh untuk menyambut Komuni pada Pesta Bunda Diangkat ke Surga, dan saya janji, dalam nama Maria, hujan akan turun membasahi lahan kalian.”
Setelah konferensi, pastor paroki menjadi marah dan menuduh Don Bosco karena menyebarkan harapan yang kosong. Dia takut kalau umat paroki akan melampiaskan kemarahan mereka kepadanya dan kepada Don Bosco begitu mereka tahu bahwa janji itu tidak terwujud.
Selama tiga hari umat paroki membanjiri gereja. Pada Pesta Bunda Maria Diangkat ke Surga, hari yang telah dijanjikan bahwa hujan akan datang, Bosco bangun pagi dan menatap ke langit. Nampaknya langit biru begitu cerah dan tidak berawan. Meskipun masih pagi matahari telah memanasi bumi yang berdebu. Ketika Yohanes berjalan menuju gereja untuk Misa Pagi, orang-orang mengerumuninya.
“Apakah akan turun hujan”? mereka mendesak.
Dengan tenang dia menjawab, “Murnikanlah hati kalian.”
Hari terus memanas; langit tetap kelihatan biru cemerlang. Menjelang sore umat paroki berkumpul lagi untuk hari terakhir devosi mereka kepada Pesta Maria, masih tidak tampak tanda akan ada hujan. Ketika Yohanes memasuki gereja untuk upacara yang terakhir itu, dia menatap lagi ke angkasa. Hampir tidak berawan. Hanya segumpal kecil awan yang bergantung di langit seperti kain lap.
Yohanes berjalan menuju mimbar. Ratusan mata memandangnya, dan yang tertulis di benak mereka adalah pertanyaan yang sama: “Kapan hujan akan turun?” Muka-muka yang bertanya penuh heran ini, dalam waktu singkat, berubah menjadi gelisa dan pahit bertanda keputusasaan.
Tiba-tiba kilat menyambar di langit, guntur menggelegar, dan hujan lebat pertama kali menerpa atap gereja. Para petani, dengan satu harapan untuk hidup yang lebih baik, memecah dalam kegembiraan dan nyanyian suka cita. Meskipun para petani sendiri tidak menyadari situasi tersebut, yang merasa paling terhibur di wilayah itu adalah pastor paroki mereka.
Tahun-tahun Terakhir
Pada waktu Don Bosco mencapai usia 60-an, kesehatannya menjadi semakin menurun. Tetapi dia terus saja dengan berbagai pekerjaannya yang melelahkan. Hari-harinya diisi dengan mengajar, bimbingan, dan mengawasi proyek-proyeknya yang tak kunjung berakhir.
Sejak awal tahun 1880-an, para Salesian pengikutnya sudah tersebar menjangkau batas-batas Italia, terutama kehadiran mereka di Perancis dan Spanyol. Dia rindu sekali untuk mengujungi mereka. Karena itu pada tahun 1883 ketika Paus Leo XIII memintanya untuk berangkat ke Perancis untuk mencari dana bagi penyelesaian pembangunan Basilika Hati Kudus Yesus di Roma, Yohanes dengan senang hati menyanggupinya. Dia mencari uang untuk Paus – sekaligus mnegunjungi anak-anaknya.
Hati Bosco sangat tersentu oleh antusiasme dan sambutan hangat orang Perancis terhadapnya. Mereka sangat bermurah hati atas permohonan biaya bagi pembangunan Basilika.
“Tak pernah sebelumnya orang berkumpul di Paris mengerumini seorang Pastor sejak kunjugan Paus Pius VIII,” ujar sorang saksi mata mengenang peristiwa itu. Don Rua, mengenang kujunngan ini ke Perancis mengatakan, “ Meskipun kita punya tujuh orang sekretaris, banyak surat yang dibereskan setiap malam belum dapat terjawab semuanya.” Perjalanan ke Perancis itu berpengaruh besar terhadap kesehatan Yohanes yang sudah merosot.
Mata kanan Yohanes yang terluka dalam suatu kecelakaan beberapa tahun berlalu terus-menerus terasa begitu sakit. Radang urat darah membuat langkahnya sangat tidak tegak sehingga dua orang Salesian selalu mengapitinya. Kehadiran mereka sangat diperlukan karena karena Don Bosco sering tertidur bahkan sambil berjalan untuk menemui banyak orang, menyalami dan memberkati orang.
Tiga tahun kemudian Don Bosco mengadakan perjalanan yang sama ke Spanyol dan diterima dengan antusiame yang sama dengan sebelumnya. Dia berkotbah di katedral-katedral yang paling terkenal baik di Perancis dan Spanyol. Meskipun dia fasih berbicara bahasa Perancis dan Spanyol, dia hampir tidak memiliki bakat sebagai seorang orator. Namun orang mengertinya dengan baik, karena dia berbicara dengan bahasa hati.
Hari-hari Terakhir
“Engkau telah menghabiskan hidupmu dengan bekerja melampaui batas. Seluruh konstitusimu seperti mantel yang terlanjur usang dan sobek karena begitu lama terpakai. Tidak ada perbaikannya kecuali bahwa mantel itu untuk sementara digantung. Engkau harus istirahat sepenuhnya.” Don Bosco sudah pernah mendengar nasehat dokternya itu, tapi jawabannya selalu selalu sama: “ Dokter, engkau tahu bahwa itu adalah satu-satunya pengobatan yang tidak dapat saya lakukan. Banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan.”
Begitulah hingga akhir hayatnya, Don Bosco, dengan ditemani dua orang Salesian, berjalan menelusuri Turin, mengunjungi orang miskin, meminta kepada yang kaya, menghibur mereka yang sedih. Dia tahu bahwa kematian sudah dekat. “Saya mau pergi ke surga,” katanya, “karena di sana saya dapat bekerja lebih baik untuk anak-anak saya. Di dunia saya tidak bisa berbuat lebih lagi bagi mereka.”
Dokter sekarang menasehati para superior Salesian: “Dia meniggal bukan karena penyakit; dia seperti lampu yang padam karena kehabisan minyak.”
Bosco yang dikenal dengan humornya tidak juga menyerah. Dia menasehati para Salesian yang menemaninya dari tempat ke tempat “Terima saja uangnya biar berapa jumlahnya. Saya akan membayar semuanya pada akhirnya.” Suatu ketika, sambil megap-megap, dia membisik seorang Salesian yang dengan cemas membungkuk di sampingnya, “Engkau tahu dimana ada ahli pembuat alat bantu pernafasan?” “Mengapa?”, tanya Salesian itu bingung. “Karena saya perlu sepasang paru-paru yang baru, karena itu saya tanya!”
Sakitnya berlanjut. Don Rua mengambil alih kepemimpinan Serikat Salesian. Yang pertama dia lakukan sebagai superior adalah meminta setiap Salesian yang tidak berhalangan untuk datang ke Turin dan memberikan salam perpisahan kepada bapak mereka tercinta. Anak-anak Don Bosco datang dari berbagai pelosok misi Salesian. Don Bosco telah membuat anak-anak jalanan dan petani ini menjadi orang-orang yang punya cinta yang mendalam kepada Tuhan. Satu persatu mendekatinya untuk menerima berkatnya. Kemudian datang semua orang yang pernah menjadi anak-anak Oratorium di Turin. Ratusan dari mereka datang berdua-dua menuju tempat tidur Don Bosco. Yohanes memberkati mereka semua, mukanya tenang, dia kelihatan menjadi muda kembali.
Pada malam 31 Januari 1888, dia berpaling ke Don Rua dan berkata: “Katakanlah anak-anak bahwa saya menunggu mereka semua di Firdaus.” Dan dengan kata-kata tersebut, satu dari orang-orang terhormat abad kesembilanbelas menghembus nafasnya yang terakhir.
Selama hidupnya dia sering berkata bahwa dia hendak meninggal sebagai orang miskin. Benar dia meninggal dalam keadaan miskin. Pada hari kematiannya, Oratorium Turin tidak punya sesen pun untuk memberi makan 800 anak. Tetapi hal itu tidak mencegah tukang roti membawa roti ke Oratorium tepat pada waktunya. Tukang roti, seperti orang-orang sekitar, tahu bahwa Don Bosco selalu dapat memperoleh uang, bahkan di surga, untuk memberi makan anak-anaknya yang masih hidup di dunia.
Pada tahun 1934, Paus Pius XI mengkanonisasikan Don Bosco sebagai orang kudus di dalam Gereja Katolik. Dan pada tahun 1988 Paus Yohanes Paulus II menyebutnya “Bapak dan Guru kaum Muda.”
1 Semangat Misioner |
▲back to top |