Orang tua Dominikus adalah Charles Savio dan Brigid, petani miskin namun terhormat di Castelnuovo dÀAsti, sebuah kota yang ber |
KOMUNITAS SALESIAN DON BOSCO
TIGARAKSA
St. DOMINIC SAVIO
Terjemahan dari buku:
Dominic Savio
By. St. John Bosco
Disadur oleh:
Para Postulan angkatan 2002-2003
Copyright SDB Tigaraksa
BAB 1
Sebuah Keluarga Katolik
Orang tua Dominikus adalah Charles Savio dan Brigid Savio, petani miskin namun terhormat di Castelnuovo d’Asti, sebuah kota yang berjarak kira-kira 16 km dari Turin di Italia Utara. Pada tahun 1841, karena terdesak oleh kebutuhan akan uang dan juga karena telah kehilangan pekerjaannya, Charles Savio dan istrinya pergi ke Riva, kira-kira 3 km dari Chieri dan menjadi seorang pandai besi, keterampilan yang telah ia pelajari sewaktu kecil. Selama mereka tinggal di Riva, Tuhan menganugerahi mereka dengan lahirnya seorang putra pada tanggal 2 April 1842, yang akan memberi mereka banyak penghiburan. Ketika bayi itu dibawa untuk dipermandikan ia diberi nama Dominikus. Nama itu sendiri bukanlah nama yang luar biasa, namun akan menjadi bahan pemikiran untuk anak itu di kemudian hari.
Ketika Dominikus berumur 2 tahun, untuk alasan keluarga, orang tuanya memutuskan untuk kembali ke kota mereka. Mereka tinggal di Murialdo, sebuah daerah pinggiran dari Castelnuovo d’Asti.
Perhatian orang tuanya terpusat pada pendidikan Katolik untuk anak yang merupakan kebanggaan dan kegembiraan mereka. Ia memiliki watak alami yang baik, terutama hatinya yang cenderung pada kesalehan. Dengan mudah ia dapat mempelajari doa pagi dan doa sorenya, dan pada usia 4 tahun ia dapat mendoakannya sendiri. Bahkan pada usia dimana anak-anak lain senang bermain-main, Dominikus dengan patuh berada di sisi ibunya; Jika ia pergi dari sisi ibunya, biasanya ia pergi ke sebuah sudut ruangan dan dengan mudah berdoa sepanjang hari.
“Sejak ia masih berusia sangat muda,” tegas orang tuanya, “ketika anak-anak lain tidak memikirkan kesusahan ibu mereka dan harus selalu melihat, menyentuh, dan memecahkan sesuatu, Dominikus tidak menyusahkan kami sedikitpun. Ia tidak hanya taat dan cepat menanggapi jika kami memanggilnya. Ia bahkan selalu mengantisipasi kehendak kami apabila ia merasa bahwa hal itu dapat membuat kami gembira.”
Sangatlah lucu dan menyenangkan melihat kerepotan yang ia buat untuk menyambut ayahnya yang baru pulang kerja. Ia akan berlari kepadanya, memegang tangannya, dan kadang-kadang melompat kepadanya dan berkata: “Engkau kelihatan letih, ayah! Engkau bekerja amat keras bagiku, dan aku hanyalah beban bagi ayah. Aku akan memohon kepada Tuhan yang baik agar Ia menganugerahi ayah kesehatan dan menjadikanku anak yang baik.” Kemudian ia akan membimbingnya masuk ke dalam rumah, membawakannya kursi dan menemaninya dengan ribuan perhatian. “Bagiku,” kata ayahnya, “hal ini adalah hiburan yang paling manis untuk keletihanku. Aku biasanya cepat-cepat pulang ke rumah untuk mencium Dominikus kecilku. Ia memilikiku, hati dan jiwa!”
Kesalehannya jauh melewati usianya. Pada usia 4 tahun, ia sudah tidak perlu diingatkan lagi akan doa pagi dan doa malam, doa syukur sebelum dan sesudah makan, dan doa Malaikat Tuhan; Dialah yang selalu mengingatkan jika yang lain lupa. Suatu hari, sebagai contoh, karena perhatian mereka teralih karena beberapa gangguan, mereka langsung duduk di meja makan tanpa mengucapkan doa syukur. Dominikus yang menyadari hal ini, berseru: “Ayah, kita belum meminta berkat Tuhan untuk makanan ini.” Kemudian ia sendiri membuat tanda salib dan mengucapkan doa itu.
Pada waktu yang lain, seorang tamu asing yang telah diundang untuk makan, langsung duduk dan menyantap makanan itu dengan terburu-buru, tanpa menunjukkan sedikitpun rasa syukur kepada Tuhan. Dominikus terlihat sakit hati, tetapi karena tidak berani mengatakan apapun, ia pergi menyelinap ke sebuah sudut. Ketika kemudian ia ditanya oleh orang tuanya mengapa ia melakukan hal yang aneh itu, ia menjawab: “Aku tidak berani duduk semeja dengan seseorang yang makan seperti binatang.”
CATATAN
Keluarga Savio memiliki sepuluh orang anak. Dominikus adalah anak mereka yang kedua dan namanya itu adalah nama dari anak pertama mereka yang meninggal setahun sebelum Dominikus dilahirkan.
Don Bosco menegaskan, bahkan di dalam beberapa bab yang sederhana ini, bahwa kekudusan Dominikus pada masa kecilnya bukan hanya semata-mata anugerah dari Tuhan, tetapi juga karena didikan keluarganya. Charles dan Brigid Savio adalah seperti para penduduk Piedmontese pada umumnya, yang menikah bukan hanya karena ingin berkeluarga, namun menganggapnya sebagai suatu panggilan atau misi, berteguh untuk membangun sebuah keluarga sesuai dengan konsep ideal mereka tentang kepercayaan, kerja keras dan hidup sederhana Kristiani. Mereka juga berpegang teguh pada hal-hal yang berkaitan dengan kedisiplinan dalam keluarga, menuntut agar anak mereka tampil rapi, bertingkah laku sopan, hormat, dan taat kepada setiap keinginan mereka. Meskipun demikian, mereka melunakkan disiplin ini dengan kehangatan cinta dalam keluarga dan kebijaksanaan, sehingga anak-anak mereka tumbuh menjadi orang yang berwatak tenang, dan tahu cara bertingkah laku sopan. Sejak dari bayi, Dominikus telah merasakan lingkungan yang hangat, tak memaksa, dan bahagia ini, sehingga kita tidak usah heran jika ia dapat mengembangkan kepribadian yang begitu menyenangkan, seimbang dan menarik, dengan pesona yang sederhana dan bermartabat. Disamping latar belakang alami ini, Charles dan Brigid juga menyediakan bagi anak mereka suasana supernatural yang telah diperhitungkan untuk mengembangkan bibit kekudusan dari pembaptisan. Ada di dalam rumah keluarga Savio – seperti juga ada sampai sekarang di banyak rumah di Piedmont – suasana supernatural yang membuat iri, dan kedekatan dengan Tuhan. Doa adalah hal yang sangat penting dalam hidup, seperti halnya bernafas. Gereja, Misa dan Sakramen-Sakramen – kematian, hadiah, dan hukuman – dosa dan rahmat – setiap ciri dari filsafat Katolik adalah sebuah kenyataan yang begitu jelas, yang membasahi setiap syaraf jiwa anak itu, bertumbuh dalam dirinya “menuju manusia yang sempurna” seperti di dalam benak St. Paul.
Charles Savio, yang lahir tahun 1815, tinggal di Murialdo sesudah putranya Dominikus meninggal sampai bulan Januari 1879, ketika Don Bosco membawanya ke Oratori di Turin untuk membantunya “sebagai penghormatan atas kenangan indah dari putranya Dominikus”. Charles meninggal di Oratori tanggal 16 Desember 1891.
Brigid, ibu Dominikus, lahir tahun 1820 dan menikah dengan Charles Savio tahun 1840. Ia meninggal di Mondonio tanggal 14 Juli 1871.
Charles dan Brigid mempunyai sepuluh orang anak, lima laki-laki dan lima perempuan. Enam dari mereka, termasuk Dominikus, meninggal sebelum berumur lima belas tahun. Adik Dominikus, Charles, yang lahir setelah Dominikus, hanya berumur satu hari. Maria dan Wiliam, yang sempat Dominikus kenal, meninggal pada umur 12 tahun. Remondina danYohanes, yang juga ia kenal, meninggal pada usia 64 tahun dan 44 tahun. Yohanes meninggal pada suatu kecelakaan bangunan. Katarina, anak baptis Dominikus, meninggal pada usia 59 tahun. Louise, lahir pada tahun 1863, hanya berumur satu tahun. Theresa, yang lahir dua tahun setelah Dominikus meninggal, meninggalkan kepada kita banyak kenangan tentang saudara laki-lakinya dari cerita ibunya. Dia meninggal tahun 1933 di Turin.
1 BAB 2 |
▲back to top |
2 Anak dengan Masa Depan yang Menjanjikan |
▲back to top |
Sekarang kita sampai kepada hal-hal yang sulit untuk dipercaya, jika saja sang penulis tidak menyingkirkan segala keraguan. Aku hanya akan berpegang pada surat yang ditulis oleh Pastor di Murialdo, Pastor Yohanes Zucaa dari Moriondo, mengenai muridnya itu.
”Pada hari-hari pertama keberadaanku di sini,” tulisnya, “aku sering melihat seorang anak laki-laki kecil berumur lima tahun datang ke Gereja dengan ibunya. Jika ia sampai di Gereja sebelum pintu dibuka, kami akan dapat melihat sebuah pemandangan yang jarang kami lihat. Daripada berlari-lari kesana kemari untuk bermain, seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak seusianya, ia akan pergi ke pintu itu, berlutut, menundukkan kepalanya, mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya dan dengan khusuk berdoa sampai pintu tersebut dibuka. Tanahnya mungkin berlumpur karena hujan atau tertutup salju, tetapi tanpa mempedulikannya, ia akan tetap berlutut di sana dan berdoa. Dalam keterkejutan dan rasa ingin tahu yang kudus, aku bertanya tentang anak laki-laki itu dan diberitahu bahwa ia adalah putra dari Charles Savio, seorang pandai besi.
“Jika kami bertemu di jalan, ia akan memperlihatkan rasa senangnya meskipun jarak di antara kami masih jauh, dan berlari untuk menemuiku dengan pesona yang tulus. Ia mulai bersekolah, dan karena bakat dan ketekunannya, ia membuat kemajuan yang pesat dalam studinya. Ia harus berhubungan dengan teman-teman yang kasar dan nakal, tetapi aku tidak pernah melihatnya bergabung dengan mereka. Ia akan menghindari pertengkaran, dengan sabar bertahan terhadap ejekan teman-temannya. Aku tidak pernah melihatnya bergabung dalam petualangan mereka atau membuat onar di kelas. Banyak dari teman-teman sekolahnya memaksanya bergabung dengan mereka untuk menganggu orang-orang tua, melempar batu, mencuri dari kebun-kebun buah, atau menghancurkan hasil panen, tapi ia akan mengkritik tingkah laku mereka dengan pintar dan menolak untuk ikut ambil bagian.
“Kesalehan yang ia tampilkan saat berdoa di tangga gereja tidaklah berkurang ketika umurnya bertambah. Pada usia lima tahun ia sudah belajar menjadi putra altar dan melakukannya dengan penuh rasa hormat. Ia datang ke gereja setiap hari. Jika orang lain menjadi putra altar, ia akan mengikuti misa saja; Jika tidak, ia akan melayani misa dengan sikap yang betul-betul baik. Karena Dominikus sangat muda dan pendek, ia tak dapat menjangkau perlengkapan misa yang berada di atas altar. Benar-benar sebuah pemandangan untuk melihatnya dengan hati-hati berdiri di atas ujung kakinya, merentangkan tangannya sejauh ia bisa, dan berusaha menyentuh tatakan buku. Pastor itu memberinya bantuan yang paling besar dengan tidak memindahkan buku itu sendiri tetapi hanya mengesernya sampai ke jangkauan anak itu. Lalu anak itu akan memindahkan buku itu ke samping altar dengan sangat gembira.
“Ia sering menerima sakramen Pengakuan Dosa. Segera setelah ia dapat membedakan antara roti surga dengan roti duniawi, ia dapat menerima Komuni Kudus, yang diterimanya dengan devosi yang sangat mengagumkan. Ketika menyaksikan kerja rahmat Tuhan yang indah dalam jiwa yang murni ini, aku sering berkata: ia adalah seorang anak dengan masa depan yang menjanjikan. Semoga Tuhan membuka jalan untuknya, agar ia dapat mempertahankan rahmat-rahmat berharga ini sampai usia dewasa!” Demikianlah tulisan pastor di Murialdo itu.
CATATAN
Kapel di Murialdo itu dipersembahkan kepada St. Petrus. Pastor Yohanes Zucca, yang bekerja di sana sebagai pastor tamu, adalah teman seminari dari Don Bosco dan baru berusia 29 tahun ketika ia ditugaskan di Murialdo. Don Bosco tidak mengutip langsung, tapi menguraikan dengan kata-katanya sendiri surat dari Pastor Yohanes Zucca.
BAB 3
Hari yang Paling Indah
Dominikus sudah siap untuk menerima Komuni Kudusnya yang pertama. Ia sudah menguasai katekismus yang singkat dalam hatinya, ia sudah benar-benar mengerti arti sakramen yang mulia ini, dan ia sangat ingin menerimanya. Hanya usianya saja yang menghalanginya, karena di paroki-paroki desa, anak-anak tidak diperbolehkan untuk menerima komuni sampai mereka berusia sebelas atau dua belas tahun. Dominikus sendiri baru berusia 7 tahun dan badannya kecil untuk usianya, sehingga pastor yang bertugas ragu-ragu dan meminta nasihat dari seorang pastor lain. Setelah mempertimbangkan pengetahuan yang mendalam dari anak itu, persiapannya, dan keinginan yang sangat jelas terlihat, pastor itu akhirnya mengizinkan Dominikus untuk ikut menerima “roti para malaikat” ini untuk pertama kalinya.
Tidaklah mungkin untuk menggambarkan perasaan gembira yang kudus yang meluap-luap di dalam hati Dominikus ketika ia mendengar berita itu. Ia bergegas pulang untuk memberitahu ibunya. Lalu ia mempersiapkan dirinya dengan berdoa dan membaca; ia menghabiskan cukup banyak waktu di gereja sebelum dan sesudah misa. Jiwanya nampak sudah bersatu dengan para malaikat. Malam hari sebelum ia menerima komuni pertama, ia datang menghampiri ibunya dan berkata, “Besok aku akan menerima komuni pertamaku, bu. Aku minta maaf atas segala kesulitan yang telah aku berikan kepadamu. Aku berjanji untuk menjadi anak yang lebih baik, belajar dengan tekun dan patuh. Aku akan patuh dan hormat kepada kehendakmu.” Air mata Dominikus hampir menetes. Brigid, yang tidak pernah dibuat sedih oleh anaknya, benar-benar tersentuh, dan sambil menahan air matanya, menghibur anaknya. “Jangan kuatir Dominikus, semua telah dimaafkan. Mintalah kepada Tuhan agar membuatmu selalu menjadi anak yang baik dan doakanlah juga ayahmu dan aku.”
Di hari yang penuh kenangan itu, Dominikus bangun pagi-pagi. Ia mengenakan pakaiannya yang terbaik dan pergi ke gereja. Karena gereja belum dibuka, ia berlutut seperti biasa di tangga dan berdoa sampai anak-anak lain tiba dan gereja dibuka. Keseluruhan upacara, mulai dari pengakuan dosa, persiapan dan syukur setelah penerimaan komuni, berlangsung selama lima jam. Dominikus datang paling awal dan pulang paling akhir. Selama upacara itu, ia hampir tak bisa membedakan apakah ia berada di surga atau di bumi.
Hari itu adalah hari yang paling berkesan dalam hidupnya. Hari itu dapat dianggap sebagai sebuah awal, atau sebuah kelanjutan, dari hidup yang dapat menjadi teladan bagi semua orang Kristiani yang baik. Bertahun-tahun kemudian, ketika ia berbicara tentang komuni pertamanya, wajahnya akan bersinar karena gembira, dan ia akan berseru, “Bagiku, hari itu adalah hari yang terbaik – hari yang hebat!”
Ia mencatat beberapa resolusi yang ia simpan dengan hati-hati di buku doanya dan sering ia baca. Aku telah melihatnya sendiri dan menulis di sini dalam keaslian kesederhanaannya:
Resolusi-resolusi yang aku, Dominikus Savio, buat pada usia tujuh tahun, pada hari Komuni Pertamaku, tahun 1849.
Aku akan sering mengaku dosa dan menerima komuni
sesering yang diperbolehkan bapa pengakuanku.
Aku akan menjaga hari-hari pesta Gereja dengan kudus.
Temanku adalah Yesus dan Maria.
Lebih baik mati daripada berdosa.
Resolusi-resolusi ini, yang sering ia ulangi, adalah pedoman seluruh hidupnya.
Jika ada dari pembaca buku ini yang belum menerima komuni pertama, maka aku sangat menyarankan untuk menjadikan Dominikus sebagai teladan. Seringkali aku dengan tulus menasihati para orang tua dan mereka yang mengajar anak-anak untuk menganggap pentingnya peristiwa ini. Yakinlah bahwa komuni pertama akan menjadi landasan moral yang kokoh dalam kehidupan mereka. Benar-benar aneh jika kita menemukan seorang yang telah menerima Komuni Pertamanya dengan baik lalu tidak hidup dengan kebajikan-kebajikan dan kebaikan. Sebaliknya kita dapat menemukan ribuan anak nakal yang membuat putus asa orang tua dan gurunya, dan jikalau kita berusaha untuk mencari akar masalahnya, kita akan menemukan bahwa semua itu dimulai dari komuni pertama yang kurang dipersiapkan atau diremehkan. Akanlah lebih baik untuk menunda Komuni Pertama, bahkan tidak menerimanya sama sekali, daripada menerimanya dengan tidak baik.
CATATAN
Kardinal Salotti, pembela dari kasus St. Dominikus Savio dan juga penulis biografinya, menulis: “Resolusi-resolusi ini secara nyata merupakan sebuah warisan yang luar biasa bagi kaum muda zaman sekarang.”
Tulisan tangan resolusi Dominikus akan menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dimiliki. Don Bosco memilikinya pada saat ia menulis biografi ini, namun sayangnya hilang, bersama dengan buku devosi-devosi favorit anak itu.
Yohanes Cagliero, yang kemudian akan menjadi seorang imam misionaris Salesian, uskup, dan kardinal, yang mengenal Dominikus dengan baik dan hadir pada saat Dominikus menerima komuni pertamanya, bersaksi: “Orang-orang dari Castelnuovo sangat terkesan dengan devosi Dominikus ketika ia menerima komuni pertamanya pada hari minggu Paskah tahun 1849. Mereka mengagumi sikap tubuhnya, kesalehan dan devosinya yang unik, dan juga usianya yang baru tujuh tahun. Aku ikut ambil bagian dalam acara ini, menerima komuni Paskahku yang ketiga.”
BAB 4
Percobaan Pertama
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Dominikus seharusnya pergi ke suatu tempat di mana ia dapat meneruskan sekolahnya, karena ia tidak bisa melakukannya di desa kecil itu. Itulah yang diinginkannya, dan hal itu juga yang menjadi perhatian orang tuanya, namun bagaimana hal itu mungkin tanpa uang? Tuhan, penguasa segala sesuatu, memastikan bahwa Dominikus memperoleh kesempatan untuk melanjutkan cita-citanya.
“Bila aku seekor burung,” kata anak itu seringkali, “aku akan terbang dari Castelnuovo setiap hari untuk pergi bersekolah.”
Semangat Dominikus untuk belajar membuat ia dapat mengalahkan segala rintangan, dan ia memutuskan untuk belajar di sekolah negeri di kota, walaupun jarak tempuhnya 3 km. Maka anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini menempuh jarak sekitar 12 km setiap harinya untuk pulang pergi sekolah. Angin, panas, hujan, dan lumpur – tidak ada rintangan yang dapat menghalanginya. Segala rintangan dan kesusahan dapat ditanggungnya. Sekolah berarti kepatuhan kepada orang tuanya dan sebuah kesempatan untuk belajar mengenai keselamatan yang abadi. Ia telah bertekad untuk menghadapi segalanya.
Suatu saat ada seseorang yang telah lanjut usia melihat Dominikus berjalan sendirian di bawah terik sinar matahari pada suatu siang. Karena merrasa iba, ia pun bertanya: “Apakah kamu tidak merasa takut berjalan sendirian?”
“Aku tidak sendirian,” jawabnya. “Malaikat pelindungku selalu bersamaku.”
“Tapi hal ini tentu sangat melelahkanmu, karena kamu harus berjalan bolak-balik empat kali setiap hari di bawah terik sinar matahari.”
“Tidak ada yang melelahkan atau menyakitkan jika Tuanmu membayarmu dengan baik!”
“Siapa Tuanmu itu?”
“Tuhan sang pencipta. Bahkan Ia membayar kembali tiap gelas air yang diberikan demi diri-Nya.”
Seringkali orang itu menceritakan kepada teman-temannya kejadian itu dan ia selalu menambahkan kata-kata ini: “Seorang anak muda yang sudah dapat menghargai pikiran seserius itu, pasti akan menjadi terkenal dalam karir pilihannya.”
Pada perjalanan menuju atau pulang dari sekolah, Dominikus harus menghadapi godaan-godaan dosa dari teman-temannya. Pada musim panas banyak anak-anak berenang di kolam-kolam, atau di sungai kecil. Sekelompok anak laki-laki berenang dengan bertelanjang badan, seringkali pada tempat yang terbuka, sehingga dapat membahayakan secara fisik, dan kami seringkali harus berduka atas tenggelamnya beberapa anak laki-laki dan orang dewasa. Tetapi bahaya rohaninya lebih serius lagi. Berapa banyak orang-orang muda yang menyesali hilangnya keluguan mereka karena mereka pergi berenang dengan teman-teman mereka di tempat-tempat seperti itu.
Beberapa teman Dominikus pergi berenang dengan rutin. Tidak puas hanya pergi sendiri, mereka berusaha mengajak Dominikus dan pada suatu kali mereka berhasil. Tapi ketika Dominikus menyadari bahwa perbuatan ini salah, ia menyatakan dengan jelas penyesalannya. Ia sungguh-sungguh sangat sedih dan kadang-kadang sampai menangis ketika mengingat hal yang dapat membahayakan jiwa dan tubuhnya ini. Meskipun demikian, dua dari teman-temannya yang tidak tahu malu, mencoba untuk membujuknya lagi.
“Dominikus,” bujuk mereka, “mari kita pergi bersenang-senang.”
“Bersenang-senang seperti apa?” tanya Dominikus.
“Mari kita pergi berenang!”
“Aku tidak bisa berenang. Aku takut tenggelam.”
“Ayolah, berenang itu sangat menyenangkan! Tubuhmu akan menjadi sejuk, nafsu makanmu akan bertambah dan engkau akan menjadi lebih sehat.”
“Aku takut tenggelam,” jawabnya.
“Jangan takut, kami akan mengajarimu, kau bisa melihat kami dahulu dan kau akan segera dapat berenang. Kami berenang seperti ikan dan melompat dari tempat-tempat yang tinggi!”
“Tapi bukankah kita berdosa jika kita pergi kesana?”
“Tentu saja tidak! Banyak orang pergi ke sana!”
“Bukan berarti bahwa hal itu bukanlah dosa.”
“Jika kamu tidak ingin berenang, maka ikut dan lihatlah kami saja,” desak mereka.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang,” jawab Dominikus dengan ragu-ragu.
“Pergilah dengan kami. Percayalah, hal ini tidak salah dan kami akan menjagamu.”
“Aku akan menanyakannya terlebih dahulu kepada ibuku. Jika beliau mengizinkan maka aku akan ikut.”
“Jangan bodoh! Jika kau memberitahu ibumu, ia tidak akan pernah mengizinkanmu. Ia juga akan memberitahu orangtua kami dan mereka akan memukul kami dengan tongkat.”
“Jika ibuku mengatakan “tidak”, maka hal ini salah dan aku tidak akan pergi dengan kalian! Dan jika kamu ingin aku berkata sejujurnya, aku pernah tertipu sekali dan pergi dengan kalian, tapi aku tidak akan pergi lagi, karena selalu ada bahaya tenggelam atau bersalah kepada Tuhan. Jadi berhentilah membujukku! Jika orangtuamu tidak mengizinkanmu untuk pergi, maka kamupun seharusnya tidak pergi, karena Tuhan menghukum orang yang tidak mematuhi orangtuanya!”
Demikianlah Dominikus dengan bijaksana menjawab teman-temannya dan menghindari sebuah bahaya yang serius, yang dapat mengakibatkan hilangnya kemurniannya yang berharga dan juga akibat-akibat lain dari hal itu.
CATATAN
Mengenai pertemuan pertamanya dengan Dominikus yang baru berusia 10 tahun, Pastor Albert Caviglia, seorang Salesian yang telah menulis komentar yang paling dalam untuk biografi ini, berkata: “Kita tidak berpikir bahwa kemurnian Dominikus tercemar karena hal ini. Dari kejadian itu, ia tidak belajar tentang sesuatu yang jahat tetapi hanya sadar akan adanya bahaya.” Walaupun begitu, kita dapat melihatnya sebagai suatu hal yang baik untuk kemurniannya. Mungkin Tuhan membiarkan hal ini terjadi sebagai percobaan sebelum rahmat-Nya yang lebih lanjut. Jika ia menyerah terhadap cobaan itu dan belajar hal yang jahat dari kata-kata kotor dari teman-temannya yang jahat dan bermulut kotor, kemungkinan ia akan pergi mengikuti “jalan daging” dan tidak pernah mencapai kekudusan.
Sebaiknya para pembaca tidak menarik kesimpulan yang salah dari sikap Don Bosco mengenai masalah berenang. Pada masa itu, berenang bukanlah olah raga yang populer seperti sekarang ini. Hal ini adalah sebuah “hal beresiko” yang menarik bagi tipe anak laki-laki yang kasar dan berbadan besar, yang tidak mengkuatirkan hukuman bila mereka ketahuan. Dalam pandangan Don Bosco yang sangat peka akan nilai moral kesalehan, teristimewa dalam kehidupan Kristiani, berenang bukanlah olah raga “sehat” karena hal ini membuka mata para anak-anak yang lugu kepada masalah-masalah seksual yang tidak dapat mereka tangani, sehingga seperti yang disesalinya, banyak anak kehilangan kemurnian mereka karena mengikuti ajakan teman mereka untuk pergi berenang.
Baiklah juga kita mengingat bahwa tidak ada perlindungan bagi para perenang dan kedua sungai itu, sungai Dora dan Po, yang mengalir melewati kota Turin, yang arusnya deras dan terpolusi. Dengan demikian, Dominikus telah menunjukkan pertimbangan yang baik dan perasaan yang halus mengenai kemurnian, yang dapat kita anggap penting dalam kehidupan spiritual pribadinya.”
BAB 5
Hari-Hari Pertama di Sekolah
Di sekolahnya, Dominikus belajar untuk memilih teman-temannya. Jika ia melihat bahwa teman kelasnya itu penuh perhatian, patuh dan cukup pintar, rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah dan disukai oleh para guru, ia dengan cepat berteman dengannya. Tapi anak-anak yang tidak patuh, kurang sopan terhadap guru, melalaikan tugas atau bermulut kotor dan suka bersumpah serapah, ia hindari. Dengan beberapa teman-temannya yang malas dan kurang pertimbangan ia tetap berhubungan, namun tidak dekat. Strategi ini cocok bagi siapapun yang ingin berhasil dalam studi dan kehidupan religiusnya.
Pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan sebuah laporan dari Pastor Alexander Allora, seorang guru yang menulis sebagai berikut: “Dengan senang hati aku menuliskan kesanku atas Dominikus Savio yang telah memenangkan persahabatanku, sehingga aku telah menganggapnya sebagai anakku sendiri, dan aku amat gembira untuk memenuhi permintaanmu. Aku masih mengingat dengan jelas niat belajar dan tingkah lakunya yang penuh kebajikan. Tidak banyak yang dapat kukatakan mengenai kehidupan religiusnya karena tempat tinggalnya jauh dari kota, sehingga ia tidak harus menghadiri misa di gereja. Tentunya ia dapat menunjukkan keistimewaan lewat kesalehan dan devosinya.”
“Ia dimasukkan ke kelasku tanggal 21 Juni 1852, bertepatan dengan peringatan St. Aloysius, pelindung kaum muda, setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Murialdo. Karena tubuhnya yang kurus dan tampak rapuh, ia terlihat lemah. Raut wajahnya serius namun menyenangkan dan menarik. Ia pada dasarnya berperigai sangat halus, bersahabat, dan sabar. Begitulah kelakuannya di sekolah, gereja dan di manapun ia berada, bahwa tatapan, pikiran atau kata-kata dari gurunya mendapat tanggapannya dengan segera. Kita dapat menganggapnya sebagai hiburan bagi para guru yang muridnya kasar dan kurang sopan. Ia benar-benar Savio (bijaksana) dalam kenyataannya, bahkan dalam hal belajar dan berdoa, kelakuannya terhadap teman sekolahnya, dan dalam segala perbuatannya. Sejak hari pertamanya di kelasku hingga akhir tahun ajaran, dan setelah melewati empat bulan di tahun ajaran selanjutnya, ia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam pelajaran sekolahnya: selalu nomor satu di kelasnya, memenangkan penghargaan-penghargaan dari hampir semua mata pelajaran yang diambilnya. Hal ini pantas bukan hanya karena kepintarannya, tapi juga karena kecintaannya untuk belajar dan kebajikan-kebajikannya.”
“Yang patut dipuji secara khusus adalah kerajinannya dalam hal-hal kecil yang menjadi tugas seorang murid sekolah, terutama untuk tidak membolos. Meskipun ia lemah, ia berjalan kaki lebih dari 12 km setiap hari untuk pulang pergi sekolah. Walaupun pada musim panas, hujan, salju, dan dingin, ia tetap datang, dengan tersenyum dan gembira. Hal ini kuanggap sebagai bukti dari kebajikan yang langka ada.”
“Sejak ia sakit selama tahun ajaran 1852-1853 dan orangtuanya harus pindah, aku tidak dapat lagi mengajar muridku yang baik itu. Rasa sayang dan harapanku yang besar baginya membuatku kuatir apakah ia tidak dapat melanjutkan belajarnya karena suatu penyakit atau masalah keuangan. Karena itu aku senang sekali ketika aku mendengar kabar bahwa ia telah masuk ke Oratori St. Fransiskus Sales dan dengan demikian memperoleh sebuah kesempatan untuk mengembangkan bakat dan kesalehannya.”
Demikianlah tulisan gurunya, yang mengekspresikan kesedihan yang ia rasakan ketika mendengar kematian tiba-tiba anak itu.
CATATAN
Pastor Yosef Cugliero yang merupakan pengganti Pastor Allora, meringkaskan hari- hari sekolah Dominikus di Castelnuovo sebagai berikut: “Di Castenuovo, di bawah bimbingan Pastor Alexander Allora, Dominikus telah menonjolkan dirinya dengan sikap tubuh dan kelakuan moralnya; ramah kepada semua orang, ia disukai semua orang. Ketika ia masuk ke ruang kelas, teman-temannya berkelakuan lebih sopan. Walaupun ia menyukai semua orang, ia menjaga jarak dengan mereka yang malas berpikir.
“Ia sering memenangkan penghargaan-penghargaan karena ia menggabungkan kesalehan dengan kecintaannya untuk belajar. Gurunya merasa sangat senang melihat berbagai macam kebajikan yang menghiasi jiwanya yang masih muda.”
BAB 6
Menerima Hukuman
Tampaknya Tuhan ingin mengajar Dominikus bahwa kita adalah pengembara di tanah pengasingan. Atau mungkin Ia menginginkan agar kebajikan Dominikus dikenal di berbagai tempat, karena pada akhir tahun 1852 orangtuanya pindah lagi, kali ini ke sebuah desa kecil bernama Mondonio, bersebelahan dengan Castelnuovo. Di tempat inilah ia tinggal seperti masa lalu, dan jika aku harus mengutip semua komentar gurunya yang baru (Pastor Yosef Cugliero), aku hanya akan mengulangi kata-kataku sendiri. Jadi aku hanya akan memilih beberapa hal penting dari ceritanya.
“Selama dua puluh tahun aku mengajar,” tulisnya, “aku dapat mengatakan dengan jujur bahwa aku tidak pernah menemukan seorang pun yang sama dengan Dominikus Savio dalam hal kesalehan. Ia masih sangat muda namun pikirannya dewasa. Kerajinan dan usahanya yang tidak kenal lelah serta keramahannya, dengan segera berhasil memenangkan rasa sayangku dan membuatnya menjadi kebanggaan teman-teman sekolahnya. Di gereja, aku sangat terkejut melihat kesalehan seperti ini dalam diri seorang anak muda, dan aku sering berpikir, di sini ada sebuah jiwa dimana surga menunjukkan kesukaannya, dan kasihnya membawanya kepada para malaikat.”
Gurunya memberitahu kami sebuah cerita yang menarik:
“Pada suatu hari, beberapa muridku membuat kesalahan besar yang dapat mengakibatkan mereka dikeluarkan dari sekolah. Para murid nakal ini menyadari bahaya itu dan setuju untuk memberitahukanku bahwa hal itu merupakan kesalahan Dominikus. Aku tidak berpikir bahwa Dominikus mampu melakukan hal itu, namun mereka memberi penjelasan yang sangat meyakinkan, sehingga aku mempercayai mereka. Dalam kemarahan aku masuk ke dalam kelas dan setelah berbicara tentang kesalahan itu, aku berpaling kepada Dominikus dan berteriak: ‘Dan engkaulah yang melakukan hal itu! Apakah kau tahu bahwa kau bisa dikeluarkan? Kau beruntung karena hal ini adalah kesalahanmu yang pertama. Jangan pernah mengulanginya lagi!’”
“Dominikus dapat dengan mudah membela dirinya sendiri dan menjelaskan bahwa ia tidak bersalah, namun ia tetap diam, menundukkan kepalanya seperti orang yang bersalah, dan memandang lantai. Tetapi Tuhan membela orang yang tidak bersalah, dan keesokan harinya orang yang bersalah ditemukan dan ketidakbersalahan Dominikus terbukti. Menyesal karena telah memberinya makian yang tidak semestinya diterimanya, aku membawanya ke samping dan bertanya: ‘Mengapa engkau tidak memberitahukanku bahwa engkau tidak bersalah?’ ”
“ ‘Karena anak laki-laki itu pernah berbuat kesalahan sebelumnya dan pasti akan dikeluarkan. Aku berpikir bahwa aku akan dapat diampuni karena hal ini akan menjadi kesalahanku yang pertama. Lagipula aku ingat bahwa Tuhan kita pernah juga dituduh dengan tuduhan palsu.’ ”
“Tidak ada seorangpun yang pernah membicarakan hal itu lagi, namun semua orang mengagumi ketegaran Dominikus. Ia telah membalas kejahatan dengan kebaikan, siap untuk menerima hukuman bagi anak laki-laki yang telah berbohong tentang dirinya.”
CATATAN
Mondonio, sebuah kota kuno dari abad ke sebelas, pada saat itu adalah sebuah desa yang dihuni oleh empat ratus orang.
Cinta Dominikus kepada teman-teman sekelasnya sangat tulus. Anastasia Molino, adik ipar Yohanes, adik Dominikus, memberitahu kami tentang suatu peristiwa ketika Dominikus bersekolah di Murialdo, “Sang guru memukul dua orang teman sekelasnya sebagai hukuman. Dominikus menangis dan memberitahu adiknya, ‘Aku berharap guru itu memukulku saja sebagai gantinya.’ ”
“Aku ada di sana saat itu,” tulis Charles Savio, seorang teman kelasnya tapi bukan saudaranya. “Sang guru membuatnya berlutut di tengah-tengah ruang kelas sebagai hukuman.”
Kardinal Solatti melihat kejadian ini sebagai contoh dari sikap kepahlawanan Dominikus. Ia mengkaji hal ini sebagai berikut: “Sebuah penghinaan yang diterima di depan guru dan teman-teman kelasnya, sebuah tindakan kasih terhadap orang yang telah berbuat salah, dan sebuah ungkapan cinta terhadap Tuhan yang mendorongnya untuk meniru sikap diam Kristus di depan para penuduhnya.”
BAB 7
Perjumpaan Pertamaku dengan Dominikus
Sekarang aku akan dapat menceritakan dengan lebih baik kehidupan Dominikus Savio, sebab banyak dari kejadian-kejadian ini aku saksikan sendiri dan sebagian besar disaksikan oleh banyak anak, yang dapat bersaksi untuk membuktikan kebenarannya.
Pada tahun 1854, Pastor Yosef Cugliero datang untuk menceritakan kepadaku tentang salah seorang muridnya yang memiliki bakat dan kesalehan yang menonjol, “Kau mungkin mempunyai anak-anak sepertinya,” katanya, “tetapi kau akan kesulitan menemukan seseorang yang dapat mengalahkan kecerdasan dan kebajikannya. Ujilah dia, dan kau akan melihat bahwa dia adalah seorang St. Aloysius yang lain.” Kami sepakat bahwa Dominikus akan bertemu denganku di Murialdo, dimana aku membawa anak-anakku setiap tahun untuk rekreasi saat merayakan pesta Bunda Maria Ratu Rosario.
Pagi-pagi pada hari Senin pertama bulan Oktober, aku melihat seorang anak laki-laki datang kepadaku dengan ayahnya. Senyumnya yang lebar, kegembiraan, dan tingkah lakunya yang sangat sopan menarik perhatianku.
“Siapa namamu?” tanyaku. “Dimana kamu tinggal?”
“Namaku Dominikus Savio. Aku tinggal di Mondonio. Pastor Cugliero, guruku, telah memberitahukanmu tentang diriku.”
Membawanya ke samping, aku bertanya tentang sekolahnya dan apa yang telah dilakukannya. Rasa saling percaya langsung tumbuh di antara kami berdua. Aku menyadari bahwa jiwa anak ini benar-benar selaras dengan Roh Tuhan. Aku cukup terkesan melihat apa yang telah dilakukan rahmat Tuhan dalam diri anak laki-laki yang sangat muda ini.
Setelah kami berbicara selama beberapa saat dan aku hendak memanggil ayahnya, Dominikus bertanya, “Apakah aku cukup pantas, bapa? Akankah bapa membawaku ke Turin agar aku dapat belajar?”
“Baik, kau kelihatannya mempunyai bahan yang baik di dalam dirimu.”
”Bahan yang baik? Baik untuk apa?”
“Baik untuk membuat sebuah pakaian yang indah untuk diberikan kepada Tuhan.”
“Maka anda adalah penjahitnya dan aku adalah kainnya. Ambillah aku dan buatlah aku menjadi sebuah pakaian yang indah untuk-Nya.”
“Aku kuatir kalau kesehatanmu tidak akan tahan menghadapi tekanan-tekanan dari sekolah.”
“Jangan cemaskan tentang hal itu. Tuhan telah memberiku kesehatan dan kekuatan selama ini, dan Ia akan membantuku juga di masa depan.”
“Apa yang ingin kau lakukan setelah menyelesaikan studimu?”
“Dengan pertolongan rahmat Tuhan, aku sangat ingin untuk menjadi seorang imam.”
“Baik! Sekarang aku ingin melihat murid seperti apakah engkau. Ambillah buku kecil ini – ini adalah sebuah edisi Bacaan Katolik – dan hapalkanlah halaman ini hari ini. Kembalilah besok dan ulangilah untukku.”
Aku menyuruhnya untuk bermain dengan anak-anak yang lain, lalu aku pergi untuk berbicara kepada ayahnya. Setelah delapan menit berlalu, Dominikus kembali dengan gembira dan berkata, “Jika kau menginginkannya, aku dapat melakukan tugas itu sekarang. Aku telah menghapalnya.”
Aku mengambil buku kecil itu dan dengan terheran-terheran aku menemukan bahwa ia tidak hanya telah menghafalkan halaman tersebut, tetapi juga memahami maksudnya dengan baik.
“Bagus sekali,” kataku. “Karena engkau telah menyelesaikan tugasmu dengan segera, maka aku akan segera menjawabmu juga. Ya, aku akan membawamu ke Turin bersamaku. Mulai sekarang kau adalah salah satu dari anak-anakku. Berdoalah agar Tuhan menolong diriku dan dirimu untuk melakukan kehendak-Nya.”
Karena sangat gembira, tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih kepadaku, Dominikus mengambil tanganku dan menciumnya, lalu berkata, “Aku berjanji bahwa kau tidak akan pernah menyesal oleh karena kelakuanku.”
CATATAN
Dominikus menerima sakramen Krisma tanggal 13 April 1853, yang diberikan oleh Uskup Louis Moreno, seorang teman dekat Don Bosco. Uskup Agung Turin, yang seharusnya memberikan sakramen itu, sedang berada di pengasingannya di Lyon, Perancis. Masa-masa itu sangatlah buruk bagi Gereja di kerajaan Savoy, yang beribukota di Turin.
Tempat pertemuan pertama Don Bosco dan Dominikus adalah sebuah rumah tua sebuah keluarga di Becchi, suatu daerah di pinggiran Castelnuvo. Ketika itu, daerah pertanian keluarga Bosco dimiliki oleh kakak Don Bosco, Joseph. Saat itu Dominikus berumur 12 tahun dan Don Bosco berumur 38 tahun.
Nama Don Bosco telah dikenal dengan baik di seluruh daerah Castelnuvo sebagai “putra daerah yang telah berbuat baik.” Oratori St. Fransiskus Sales telah menjadi rumah beberapa anak laki-laki yang telah meninggalkan desa-desa di Castelnuovo untuk mengadu nasib di kota atau belajar di sekolah-sekolahnya yang baik.
Dominikus mungkin sudah mengenal Don Bosco, walaupun mungkin lewat namanya saja. Angelo Savio, seorang temannya, bersaksi: “Seringkali Dominikus memberitahukanku hasratnya yang besar untuk masuk ke Oratori. Ketika aku menanyakan alasannya, ia menjawab, “Aku ingin menjadi seorang imam yang baik untuk menyelamatkan jiwaku dan melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain.”
Seluruh hidup Dominikus telah dipersembahkan melalui devosi kepada Bunda Perawan Maria. Charles Savio, seorang teman sekelas dan temannya, bersaksi: “Ia biasa melayani misa di Gereja. Beberapa kali aku melihatnya berdoa di gereja di depan patung Bunda Maria, sebelum dan sesudah melayani misa. Orang-orang lain juga mengetahui devosinya dan aku mendengar beberapa orang berkata: ‘Dominikus sedang berdoa di gereja. Ia ingin menjadi orang kudus.’ ”
BAB 8
Di Oratori
Adalah hal yang normal bagi anak-anak muda untuk mempunyai tingkah laku yang tidak karuan dan pikiran yang sering berubah, sehingga tidak jarang mereka memilih suatu hal hari ini dan hal yang lain keesokannya. Hari ini mungkin mereka melakukan suatu hal yang sangat baik dan keesokan harinya kebalikannya. Tanpa bimbingan yang baik, sebuah pendidikan yang dapat menghasilkan kesuksesan dapat berakhir dalam kegagalan. Hal ini tidak terjadi pada Dominikus. Hari demi hari ia tumbuh bersama dengan kebajikan-kebajikan dalam keharmonisan, tanpa saling bertentangan satu dengan yang lain.
Setelah sampai di Oratori, ia langsung masuk ke ruanganku untuk menyerahkan dirinya, seperti yang dikatakannya, sepenuhnya kepada para superiornya. Pandangannya tertuju pada sebuah poster yang berisi tulisan yang berhuruf besar, sebuah kata-kata favorit St. Fransiskus dari Sales: Da Mihi Animas, Coetera Tolle. Ia memperhatikannya dengan seksama. Ingin agar ia mengetahui artinya, aku memintanya untuk menerjemahkannya denganku: “Tuhan, berilah aku jiwa-jiwa dan ambillah yang lainnya.” Ia berpikir sejenak, lalu berseru, “Aku mengerti! Di sini anda tidak berbisnis dengan uang, tetapi dengan jiwa! Aku mengerti. Aku harap engkau akan berbisnis dengan jiwaku!”
Untuk beberapa waktu, hidupnya biasa-biasa saja. Ada catatan kecil akan ketaatannya pada aturan-aturan sekolah. Ia belajar dengan seluruh hati dan jiwanya, dan dengan penuh semangat ia mengerjakan semua tugasnya. Ia sangat senang mendengar khotbah-khotbah karena ia yakin bahwa Sabda Tuhan adalah tuntunan bagi manusia untuk ke surga. Setiap kebenaran yang baru ia dengar, ia masukkan ke dalam pikirannya agar tidak terlupakan. Setiap pelajaran moral, instruksi religius, dan khotbah, bahkan yang panjang, ia sukai. Jika ia tidak dapat menangkap arti dari sesuatu hal, ia akan bertanya. Hal ini adalah inti dari kehidupannya yang patut dicontoh – kemajuan yang terus menerus dalam kebajikan, pemenuhan tugas-tugasnya – yang melebihi setiap orang.
Untuk lebih mengerti tentang peraturan-peraturan rumah dan disiplin, ia dengan sopan mencoba mendekatkan diri terhadap para superiornya, bertanya dan meminta bimbingan dan bantuan, mengingatkan mereka untuk mengoreksinya jika ia lalai dalam tugasnya.
Yang patut juga dipuji adalah caranya memperlakukan teman-teman sekelasnya. Siswa-siswa yang malas berpikir dan mengabaikan tugas-tugas dan doa, dihindarinya. Ia lebih memilih teman-teman yang dapat memberi contoh yang baik, rajin belajar, dan disukai oleh guru-guru. Anak-anak ini dengan cepat menjadi temannya.
Pesta Bunda Maria yang Dikandung Tanpa Noda telah mendekat dan setiap sore sang direktur (Don Bosco sendiri) biasanya berbicara singkat untuk memberikan dorongan kepada mereka, agar mereka mempersiapkan diri secara pantas untuk Bunda Allah, dengan keras mendorong mereka untuk meminta pertolongan dari pelindung surgawi, untuk pertolongan yang paling mereka butuhkan saat itu. Saat itu tahun 1854, dan semua orang Kristiani di dunia menunggu dengan tidak sabar dikeluarkannya dogma tentang Bunda Maria yang Dikandung Tanpa Noda. Di Oratori, kami juga berusaha sekeras mungkin untuk menjaga pesta ini khidmat, dan juga agar anak-anak kami dapat memperoleh manfaat spiritual.
Dominikus merupakan salah satu anak yang paling menginginkan untuk membuat pesta ini menjadi sebuah perayaan yang kudus. Pada setiap carik dari sembilan carik kertas, ia menulis sebuah resolusi atau aksi kebajikan dan setiap hari pada saat novena ia menarik salah satunya dan melakukannya. Lalu dengan persiapan yang matang ia dengan gembira membuat pengakuan dosa yang umum atas hidupnya dan dengan hati penuh doa menerima Komuni Kudus.
Sore itu, 8 Desember 1854, setelah misa, atas saran pastor pengakuan dosanya, Dominikus berlutut di altar Bunda kita, dan setelah memperbaharui janji-janji Komuni Pertamanya, berdoa berulang-ulang, “Maria, aku memberikan hatiku padamu. Jagalah selalu sebagai milikmu. Yesus, Maria, jadilah selalu Sahabatku. Aku mohon kepada Kalian, biarlah aku mati daripada menjadi tak beruntung dengan melakukan sebuah dosa.”
Setelah ia menjadikan Bunda Maria sebagai penopang kehidupan spiritualnya, seluruh tingkah lakunya menjadi begitu mengagumkan dan penuh dengan kebajikan-kebajikan, sehingga akupun mulai mencatat beberapa hal yang telah ia lakukan, agar aku tidak lupa.
Sampai titik ini dari ceritaku tentang kehidupan Dominikus Savio, aku menyadari bahwa aku mempunyai fakta-fakta dan kebajikan-kebajikan yang rumit, yang masing-masing membutuhkan perhatian tersendiri. Supaya lebih jelas, aku rasa akanlah lebih baik untuk tidak menulis hal-hal ini menurut urutan waktu kejadiannya, tapi menurut pola kejadian-kejadian yang serupa. Aku akan membagi buku ini menjadi bab-bab sebanyak topik yang ada, dimulai dari pelajaran bahasa Latinnya, yang merupakan alasan utama mengapa ia datang ke rumah kami di Turin.
CATATAN
Dominikus masuk ke Oratori tanggal 29 Oktober 1854. Pada saat itu, hasil kerja Don Bosco di Turin telah mempunyai dasar yang kuat dan terus berkembang. Tahun 1846, ia mendirikan apa yang disebut “Oratori” untuk anak-anak di kota. Itu hanyalah merupakan kegiatan di hari Minggu dan hari-hari kegiatan pesta Gereja, sewaktu 800 sampai 1000 anak memenuhi tempat itu untuk mengikuti Misa, permainan-permainan dan instruksi religius. Namun, pada tahun 1854, Don Bosco telah membawa beberapa orang anak untuk tinggal bersamanya, baik karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau karena seperti Dominikus, mereka ingin belajar menjadi imam dan tidak dapat melakukannya di rumah mereka. Waktu Dominikus masuk Oratori ada 65 anak, waktu ia pergi ada 199 anak.
Beberapa pembaca mungkin tidak begitu menyukai istilah “superior” yang sering digunakan pada biografi ini. Tapi dalam pikiran Don Bosco, kata “superior” bukan menunjuk pada hubungan “superior-inferior” yang tidak menyenangkan. Maksud Don Bosco adalah sesuai dengan kata-kata dalam kitab suci: “Biarlah yang terbesar diantara kamu menjadi yang terkecil, dan pemimpin menjadi seseorang yang melayani” (Lukas 22:26). Don Bosco selalu merasa bahwa seorang superior dipilih untuk melayani saudara-saudaranya, bukan untuk menjadi bos mereka. Ia sendiri tidak suka memberi perintah: ia menanyakan, menyarankan, dan membujuk. Superior-superior yang ia angkat adalah untuk membantu, membimbing, dan memberi semangat kepada mereka yang menjadi tanggung jawabnya. Rasa hormat kepada para superior yang ia tuntut dari anak-anaknya dan yang benar-benar dimengerti Dominikus sebagai hubungan ayah-anak, rasa hormat yang didasari cinta dan perhatian. Maka, cinta Dominikus kepada para superiornya benar-benar tulus dan didasari cinta supernatural, bahwa para superior mewakili Tuhan.
BAB 9
Berkelahi dengan Saling Melemparkan Batu
Dominikus telah memulai pelajaran bahasa Latinnya di Mondonio dan sekarang, karena ketekunan dan bakatnya yang luar biasa, ia begitu berhasil sehingga ia segera diperbolehkan naik kelas ke tingkat yang bisa kita samakan dengan kelas satu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Ia belajar di sekolah yang dipimpin oleh seorang profesor yang beriman kuat dan baik, Joseph Bonzonino, di kota, karena Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama belum dibuka di Oratori. Aku harus mengulangi lagi apa yang dikatakan oleh mantan guru-gurunya tentang sikapnya, kemajuan yang dicapainya dan teladan-teladan yang ia berikan, tapi aku akan membatasi diriku pada beberapa peristiwa dalam tahun pertamanya di sekolah ini, yang membuat mereka yang mengenalnya menghormatinya.
Profesor yang baik itu selalu mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapat seorang murid yang lebih perhatian, taat, dan dihormati. Pakaiannya, walaupun tidak bagus, selalu rapi dan dipelihara dengan baik, tingkah lakunya begitu sopan sehingga teman-teman sekolahnya, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga-keluarga terpandang dan bangsawan, suka berteman dengannya, tertarik oleh pengetahuan dan kebaikan serta tingkah lakunya yang sopan dan berbudi halus. Jika sang profesor merasa bahwa ia harus memperingatkan seorang murid yang terlalu banyak mengobrol, ia akan menaruh Dominikus di dekatnya, dan dengan pintar Dominikus akan membujuk anak itu untuk lebih diam dan belajar dan membuat tugas-tugasnya.
Pada tahun itulah Dominikus menunjukan kepahlawanannya pada usia yang masih muda. Selama dua hari, dua teman kelasnya terlibat dalam sebuah pertengkaran yang serius. Mereka memulainya dengan mengatakan hal-hal yang buruk tentang keluarga lawannya dan mengakhirinya dengan kata-kata penghinaan yang kasar dan ancaman-ancaman, yaitu bahwa mereka akan kembali untuk berkelahi dengan saling melemparkan batu.
Dominikus mendengar kabar tentang hal itu, tapi bagaimana ia dapat menghentikan mereka? Mereka berdua lebih tua dan besar daripada dia. Ia mencoba meminta mereka untuk berhenti, memberitahukan kepada mereka bahwa dendam itu tidak masuk akal dan melangar hukum Tuhan. Lalu ia menulis sebuah pesan kepada mereka masing-masing, mengancam untuk memberitahu guru dan orang tua mereka. Tetapi semuanya sia-sia. Mereka telah memutuskan untuk berkelahi dalam hati mereka, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghentikan mereka.
Selain resiko fisik, ada bahaya yang lebih besar yaitu menyinggung Tuhan. Dominikus sangat gelisah. Ia ingin menghentikan mereka tetapi tidak tahu caranya. Tuhan memberinya sebuah ide. Menunggu kedua anak itu seusai pelajaran sekolah, ia memberitahu mereka secara terpisah, “Karena kalian tidak mau membatalkan rencana kejam kalian, berjanjilah kepadaku tentang satu hal.”
“Baik, asal kau tidak mencoba menghentikan perkelahian ini.”
“Dia adalah seorang gelandangan yang tidak berguna!” seru yang satu.
“Tidak akan ada damai di antara kami berdua sampai salah satu dari kami pecah tengkoraknya!” balas yang lain.
Dominikus merasa ngeri, tapi berharap untuk menghindari hal yang lebih buruk, ia menguasai dirinya dengan berkata, “Apa yang akan kuminta tidak akan menghentikan perkelahian ini.”
“Baiklah, apa maumu?”
“Aku akan memberitahumu ketika kita sampai di sana.”
“Kau hendak mempermainkan kami, kau akan menipu kami!”
“Tidak, tidak akan, aku akan bersama kalian sepanjang waktu, jangan kuatir.”
“Aku rasa kau akan memanggil seseorang.”
“Seharusnya, tapi aku tidak akan melakukan hal itu. Mari kita pergi. Aku akan ikut dengan kalian, tapi kalian harus berjanji padaku!”
Mereka setuju, lalu mereka pergi ke sebuah lapangan kosong di dekat Porta Susa. Dominikus mencoba segala cara untuk menjaga mereka agar tidak berkelahi dalam perjalanan. Ketika mereka sampai di sana, ia melakukan suatu hal yang tidak mereka duga sebelumnya.
Ia menunggu sampai mereka mengambil posisi mereka, masing-masing memegang lima batu besar. Lalu ia berkata, “Sebelum kalian mulai, inilah syaratku.” Ia mengeluarkan sebuah salib kecil yang tergantung di lehernya, kemudian mengangkatnya ke atas. “Aku ingin kalian melihat salib ini dan berkata, Yesus tidak bersalah dan mati setelah mengampuni para pembunuhnya. Aku adalah seorang pendosa dan aku telah menyinggung Tuhan dengan balas dendam yang disengaja! Lalu kalian harus melempar sebuah batu kepadaku!”
Ia menghampiri anak yang lebih marah, berlulut di depannya, dan menyuruhnya, “Sekarang lemparlah batu yang pertama! Lemparlah dengan keras ke kepalaku!”
Dalam keterkejutannya anak itu menggelengkan kepalanya dengan rasa takut. “Tidak!” protesnya. “Tidak akan! Aku tidak mempunyai dendam kepadamu! Aku akan membelamu jika ada orang yang berani menyentuhmu!”
Dominikus lalu lari ke anak yang lain, mengulangi perintahnya. Anak yang lain terkesima dan meyakinkan Dominikus bahwa ia adalah temannya dan tidak akan menyakitinya.
Lalu Dominikus berdiri. Terlihat tegang, ia berbicara dengan suara yang penuh perasaan. “Kalian berdua bersedia menghadapi bahaya untuk menyelamatkanku, seorang makluk yang sederhana, tapi kalian tidak mempunyai kekuatan untuk memaafkan sebuah penghinaan bodoh di sekolah untuk menyelamatkan jiwa kalian sendiri, yang telah ditebus dengan darah Penyelamat kita, dan kalian akan menumpahkan darah-Nya lagi!”
Lalu ia diam, mengangkat salibnya. Kedua anak itu menyerah kepada cintanya yang penuh keberanian. “Waktu itu,” salah seorang dari mereka mengaku, “aku luluh. Aku merinding dan merasa malu, karena telah memaksa seorang teman yang baik seperti Dominikus untuk melakukan hal seekstrim itu untuk mencegah kami dari sebuah perkelahian yang mengerikan! Untuk menunjukan penghargaanku, aku memaafkan anak yang telah menghinaku dan bertanya pada Dominikus untuk memberitahukanku seorang pastor yang baik dan pengertian untuk mendengar pengakuan dosaku. Lalu, setelah berdamai dengan Tuhan, aku bersahabat lagi dengannya, walaupun aku telah membahayakan dirinya dengan kebencian dan keinginanku untuk balas dendam.”
Kejadian ini merupakan sebuah contoh yang baik bagi orang muda untuk ditiru jika ia melihat seseorang hendak melakukan balas dendam atau dirinya sendiri merasa dihina dan terluka. Apa yang benar-benar patut dikagumi adalah sikap diamnya; ia tidak pernah membicarakan kejadian ini pada seorang pun. Hal ini tidak akan pernah diketahui orang lain jika kedua anak yang bertengkar itu tidak sering membicarakannya.
Rutinitas Dominikus untuk pulang pergi ke sekolah, yang sangat berbahaya bagi seorang anak desa yang pindah ke kota, merupakan latihan yang serius dalam hal kebajikan. Dengan sangat mematuhi nasihat superiornya, ia memastikan bahwa ia menjaga matanya dari hal-hal yang tidak pantas untuk mata dan telinga seorang kristiani. Ia tidak peduli untuk mengakrabkan dirinya dengan anak-anak yang bertingkah laku seperti berandalan, menutupi pinggir-pingir jalan, berlari-lari, melemparkan batu, melompat-lompat, atau pergi ke daerah-daerah terlarang. Mereka memintanya untuk membolos suatu hari, dan hari yang lainnya untuk pergi tanpa permisi, tapi Dominikus selalu menolak. “Aku lebih senang melakukan tugasku,” jawabnya. “Jika kalian benar-benar temanku, kalian harus membantuku daripada menggangguku.”
Sayangnya, mereka terus menggodanya sehingga suatu hari ia hampir menyerah. Ia hendak pergi dengan mereka untuk membolos sekolah untuk sehari, tetapi sesudah berjalan beberapa saat, ia menyadari bahwa ia telah mengikuti ajakan yang tidak baik. Ia menyesal dan berkata kepada teman-temannya itu, “Aku harus kembali ke sekolah. Aku ingin kembali. Kita telah membuat Tuhan dan para superior kita sedih, dan aku menyesal aku menyerah pada ajakan kalian. Jika kalian menggodaku lagi, kalian tidak akan pernah menjadi teman-temanku.”
Anak-anak itu dimenangkan oleh kata-katanya. Mereka semua kembali ke sekolah bersamanya dan tidak pernah lagi mengajaknya membolos.
Pada akhir tahun, berkat kerja keras dan tingkah lakunya yang baik, Dominikus mendapat rangking pertama di kelasnya. Namun, pada awal tahun ajaran yang berikutnya, kesehatannya mulai menurun, dan ia disarankan untuk mengambil pelajaran-pelajaran privat di Oratori, diman ia dapat memperoleh waktu istirahat, belajar, dan rekreasi yang cukup.
Pada tahun pertama Retorika, karena kesehatannya membaik, ia mengikuti pelajaran yang dipimpin oleh Pastor Mathew Picco yang sering mendengar bakat Dominikus dan dengan senang hati menerimanya di sekolahnya lewat beasiswa. Sekolah ini mempunyai reputasi yang baik di kota Turin.
Banyak hal yang sangat baik yang dikatakan dan dilakukan oleh Dominikus pada tahun pertama Retorika-nya, dan aku akan mengulanginya sambil menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengannya.
CATATAN
Joseph Bonzanino, seorang guru yang baik, berbudi halus, dan halus tutur katanya, menjalankan sebuah sekolah di Turin setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sekolah ini seperti sekolah terbuka, di mana para murid maju dengan kecepatan atau kemampuan mereka sendiri dalam 3 tahun bahan pelajaran. Sekolah ini elit, dan anak-anak Don Bosco yang berpakaian sangat sederhana sangatlah terlihat kontras dengan anak-anak kaya yang berasal dari keluarga-keluarga terbaik di Turin. Sebanyak seratus anak-anak Don Bosco bersekolah di sana pada saat yang sama, kebanyakan dari mereka bebas biaya. Don Bosco secara berkala mengirimi guru yang baik itu sumbangan, sebanyak yang ia mampu.
Anak-anak di Oratori pergi ke sekolah dan pulang ke rumah dalam kelompok. Salah satu teman Dominikus yang bernama Conti, menulis: “Dominikus selalu tepat waktu menunggu di gerbang Oratori, siap untuk pergi ke sekolah. Ia akan berteriak kepada mereka yang agak telat untuk bergegas. Aku kadang-kadang termasuk salah satu dari mereka. Aku menghampiri Dominikus dan menampar punggungnya dan berteriak, “Berhentilah membuatku kelihatan jelek! Tapi, ia tidak pernah kehilangan kesabaran terhadapku.”
Pastor Mathew Picco yang kurang dikenal orang-orang (seperti juga Profesor Bonzanino), juga menjalankan sebuah sekolah swasta di Turin yang setingkat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Ia selama bertahun-tahun telah menjadi teman dekat Don Bosco dan mengajar hampir semua anggota Salesian yang pertama. Sekolahnya juga merupakan sekolah yang elit. Don Bosco sangat menghormati Pastor Picco sebagai seorang pastor dan guru.
Pastor Michael Rua menulis, “Dominikus dengan rajin melakukan seluruh tugas-tugasnya karena cintanya kepada Tuhan. Ia belajar dengan tekun karena ia menyadari bahwa itulah tugasnya, bukan untuk mengalahkan teman-teman sekelasnya.”
Pastor Yohanes Cagliero, teman sekolahnya dan yang nanti akan menjadi seorang kardinal, menulis: “Aku dapat menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan memenuhi seluruh pikiran, rasa kasih, dan perbuatan-perbuatan hatinya. Ia hanya takut menyinggung Tuhan.”
Yohanes Bonetti, yang nanti akan menjadi seorang pastor Salesian, telah ditunjuk oleh Don Bosco untuk menjadi pengawas Dominikus, yaitu: untuk mendengarkan pelajaran anak itu setiap hari dan mengecek pekerjaan-pekerjaan rumahnya. Nilai-nilai pelajarannya dikumpulkan setiap hari dan diserahkan kepada Don Bosco setiap minggu. Suatu kali, setelah beberapa minggu bersekolah, Dominikus mengulangi pelajarannya kepada Bonetti, lalu berkata dengan pelan, “Tahukah Yohanes, aku selalu berpikir bahwa aku selalu mendapatkan nilai seratus darimu untuk pelajaran-pelajaranku, tapi hari ini aku melihat raporku dan beberapa nilaiku rendah.” Sebelum pengawasnya menjawab, Dominikus mengubah topik pembicaraannya. Bonetti menulis, “Hal itu adalah kesalahanku, karena Dominikus terbiasa mengulangi pelajarannya sebelum anak yang lain dan aku dengan tidak teliti menuliskan sembarang nilai sewaktu aku mendengarkan anak-anak yang lain. Tapi ia tidak pernah mengeluh bahwa aku berlaku tidak adil terhadapnya.”
BAB 10
3 Menetapkan Tujuan |
▲back to top |
Setelah melihat pelajaran bahasa Latin Dominikus, sekarang kita akan berbicara tentang keteguhan tekadnya untuk menjadi kudus. Ia telah berada di Oratori selama kira-kira enam bulan, ketika ia mendengar sebuah khotbah tentang jalan yang mudah untuk menjadi kudus. Pastor itu – St. Yohanes Bosco sendiri – menekankan tiga hal yang sangat mengesankan jiwa Dominikus. Tuhan menghendaki agar kita semua menjadi kudus; tidaklah susah untuk menjadi kudus; ada upah yang besar di surga bagi siapa saja yang menjadi kudus. Khotbah itu terasa seperti bunga api di dalam hati Dominikus, membakarnya dengan cinta yang dalam kepada Tuhan.
Selama beberapa hari, teman-temannya dan aku menyadari bahwa ia kelihatan lebih pendiam dan serius daripada biasanya. Takut bahwa ia mungkin jatuh sakit lagi, aku memanggilnya dan bertanya ada apa.
“Tidak ada apa-apa,” dia menjawab. “Aku merasa sangat baik!”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku adalah aku merasakan sebuah kerinduan, sebuah kebutuhan untuk menjadi kudus. Aku tak pernah mengetahui bahwa aku bisa menyucikan diriku semudah itu, tetapi sekarang, ketika aku tahu bahwa aku dapat berbahagia dan kudus juga, aku begitu menginginkan hal itu! Benar sekali, aku harus menjadi kudus! Katakan kepadaku apa yang harus aku lakukan sebagai permulaan.
Aku memuji keputusannya tetapi aku menyarankan agar ia tidak terlalu khawatir sebab suara Tuhan tidak terdengar dalam kekacauan hati. Aku berkata kepadanya bahwa pertama-tama, aku menginginkan sebuah kegembiraan yang tak berlebihan. Aku menasehatinya agar tidak melemah dalam kewajibannya untuk belajar dan berdoa, dan aku menganjurkan agar ia selalu berekreasi bersama rekan-rekannya.
Suatu hari, aku berkata kepadanya bahwa aku akan memberikan kepadanya sebuah hadiah, tetapi ia harus memilihnya sendiri. “Hadiah yang sungguh-sungguh aku inginkan” jawabnya segera, “adalah supaya engkau menjadikanku kudus. Aku ingin menyerahkan diriku sepenuhnya kepada Tuhan, selamanya kepada Tuhan.”
Pada suatu hari pesta gereja, karena ingin memberikan kepada anak-anakku sebuah tanda cinta, aku memberitahukan mereka bahwa mereka bisa meminta sesuatu yang wajar dan mereka akan mendapatkannya. Kamu bisa membayangkan beberapa permohonan lucu yang aku dapatkan. Dominikus menuliskan permohonannya yang sederhana pada sehelai kertas: “Tolong selamatkan jiwaku dan buatlah aku menjadi orang kudus.”
Pada suatu hari, seseorang sedang membicarakan tentang asal mula beberapa kata. “Apa arti kata Dominikus?” tanyanya. “Kepunyaan Tuhan,” adalah jawabannya. “Benar, kan!” serunya. “Aku benar ketika mengatakan kepadamu untuk membuatku menjadi kudus. Bahkan namaku mempunyai arti bahwa aku adalah milik Tuhan. Aku ingin menyerahkan diriku seutuhnya kepada-Nya, dan aku harus menjadi kudus. Aku tidak akan bahagia sampai aku menjadi kudus.”
Keinginannya yang kuat untuk menjadi kudus bukan berarti dia tidak sungguh-sungguh hidup dalam kekudusan. Dia terus mengulangi hal itu karena ia ingin melakukan silih yang berat dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa – hal-hal yang dilarang oleh pastor pengakuan dosanya karena dapat merugikan kesehatannya dan tidak sesuai dengan umur dan kewajibannya.
3.1 CATATAN |
▲back to top |
Khotbah yang sangat menginspirasi Dominikus untuk berjuang mencapai kekudusan diberikan oleh Don Bosco suatu waktu pada masa Pra Paskah, kira-kira bulan Maret 1855. Dalam khotbah itu sendiri, hal itu tidaklah sangat menyolok, karena pemikiran-pemikiran yang diungkapkan adalah hal-hal yang biasa dibicarakan oleh Don Bosco dan dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikannya. Dalam sebuah buku doa yang ia tulis bagi orang-orang muda, dia mengatakan dengan tegas: “Aku bermaksud mengajarkan kamu jalan kehidupan kristiani yang bahagia dan memuaskan. Aku akan menunjukkan kepada kamu kegembiraan dan kesenangan yang sesungguhnya sehingga kamu dapat berkata bersama Nabi Daud: ‘Mari kita melayani Tuhan dalam kegembiraan yang kudus.’ Ini adalah tujuan dari buku ini: Untuk melayani Tuhan dan menjadi bahagia.”
Tiga hal dari program Don Bosco untuk mencapai kekudusan yang diberikan kepada Dominikus tidaklah unik, maupun asli dari pemikiran Don Bosco sendiri. Hal-hal itu adalah dasar-dasar kesucian yang diajarkan oleh St. Fransiskus Sales, dimana kekudusan berarti kebahagiaan sejati yang berakar dari dalam hati. Don Bosco menganggap St. Fransiskus sebagai teladan spiritual dan gurunya.
3.1.1 BAB 11 |
▲back to top |
Semangat Untuk Jiwa-Jiwa
Saran pertama yang diberikan kepada Dominikus agar ia dapat menjadi kudus adalah ia harus berusaha menyelamatkan jiwa-jiwa untuk Tuhan, karena tidak ada pekerjaan yang begitu mulia di dunia ini daripada menyelamatkan jiwa-jiwa yang telah ditebus Yesus dengan menumpahkan darah-Nya yang berharga. Dominikus mengerti akan pentingnya hal ini dan sering terdengar berkata, “Jika aku dapat memenangkan semua jiwa teman sekolahku untuk Tuhan, betapa bahagianya aku!”
Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memberikan nasihat yang baik dan mengingatkan mereka yang telah berdosa terhadap Tuhan lewat perkataan atau perbuatan. Sesuatu yang mengerikan baginya dan bahkan menyakitkan dirinya secara fisik adalah penghujatan, mendengar nama Tuhan yang Kudus dipakai dengan sia-sia. Jika ia mendengar ucapan-ucapan seperti itu di jalan, ia akan segera menundukkan kepalanya dan berkata dengan kesungguhan hatinya, “Terpujilah Yesus Kristus!”
Suatu hari ketika sedang berjalan bersama seorang temannya melintasi pusat kota, ia tiba-tiba melepaskan topinya dan bergumam pelan. “Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu katakan?” tanya anak laki-laki itu. “Tidakkah kamu mendengar cara pekerja pria itu menggunakan nama Tuhan?” jawab Dominikus. “Jika aku berpikir bahwa hal ini dapat membantu, aku menemuinya dan menegurnya, tetapi aku tahu bahwa hal itu hanya akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Maka aku hanya melepaskan topi aku dan berkata: ‘Terpujilah Yesus Kristus!’ Dengan demikian aku dapat menebus sebagian penghinaannya terhadap nama Tuhan yang kudus.”
Temannya mengagumi tindakan berani Dominikus ini dan menceritakan kejadian ini untuk menjadi teladan bagi teman-teman sekelasnya.
Pada hari yang lain, dalam perjalanannya dari sekolah, Dominikus mendengar hujatan orang pria tua yang sangat mengerikan. Ia sangat terkejut. Sambil memuji Tuhan dalam hatinya, ia melakukan satu hal yang baik. Ia mendekati bapak itu dan dengan hormat ia bertanya apakah bapak itu dapat menunjukkan jalan ke Oratori St. Fransiskus Sales.
Sikapnya yang sangat sopan membuat bapak itu menjadi tenang.
“Maaf, anak muda,” jawabnya. “Aku benar-benar tidak tahu.”
“Baiklah, jika bapak tidak tahu tentang hal itu, bisakah bapak melakukan sesuatu hal yang lain?”
“Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?”
Dominikus mendekatinya dan berbisik, “Lain kali, jika bapak sedang marah, katakanlah sesuatu yang lain daripada menyebut nama Tuhan.”
Pria itu menanggapinya dengan sangat heran dan senang. “Baik! Kamu benar! Ini merupakan suatu kebiasaan yang sangat buruk yang harus aku buang!”
Pada suatu hari, seorang anak pria yang berumur sembilan tahun terlibat dalam suatu pertengkaran di dekat gereja, dan dalam kemarahannya menghujat nama Yesus. Walaupun sebenarnya marah atas apa yang didengarnya, Dominkus dengan tenang berdiri di tengah kedua anak laki-laki itu, menenangkan mereka dan dengan tegas berkata kepada anak itu, “Mari ikut denganku, kamu tidak akan menyesal.”
Anak lelaki itu menyerah kepada kebaikan Dominikus. Dominikus memegang tangannya dan membawanya ke dalam gereja, ke depan altar. Mereka berlutut bersama. “Mintalah pengampunan dari Tuhan atas penghinaanmu terhadap nama-Nya,” nasihatnya.
Karena anak lelaki itu tidak tahu doa tobat, Dominikus mengucapkannya bersamanya dan menambahkan, “Sekarang sebutkan kata-kata ini untuk menebus penghinaanmu kepada Yesus, ‘TerpujilahYesus Kristus! Semoga nama-Nya yang indah selalu dipuji!’ ”
Ia lebih menyukai kehidupan beberapa orang kudus yang secara khusus berkarya untuk keselamatan jiwa-jiwa. Ia berbicara dengan penuh kasih tentang para misionaris yang bekerja di negara-negara yang jauh untuk keselamatan jiwa-jiwa. Tak sanggup untuk mengirimi mereka uang, ia berdoa setiap hari untuk mereka, dan sekurang-kurangnya seminggu sekali mempersembahkan komuninya untuk mereka.
Lebih dari sekali aku mendengar ia berseru, “Betapa banyak jiwa-jiwa di Inggris menunggu pertolongan kita! Jika aku mempunyai kekuatan dan kebajikan, aku akan segera pergi kesana dan menuntun mereka semua kepada Tuhan dengan nasehat dan teladan yang baik.”
Ia sering merasa tidak puas dengan dirinya sendiri dan selalu mengeluh kepada teman-temannya tentang kurangnya perhatian orang-orang untuk mengajar anak-anak mereka tentang kebenaran iman. “Segera setelah aku menjadi seorang misionaris,” ia berkata, “Aku akan mengumpulkan semua anak dari Mondonio untuk mengajarkan agama kepada mereka. Aku akan menceritakan kepada mereka cerita-cerita yang menarik dan membuat mereka semua menjadi orang-orang kudus. Betapa banyak anak yang dapat kehilangan arah karena tidak ada orang yang mengajari mereka kebenaran iman kita.”
Ia melaksanakan apa yang diungkapkannya dengan perbuatan-perbuatan. Sepanjang umur dan sekolahnya mengizinkan, dengan senang hati ia akan mengajar katekismus di Oratori. Jika suatu waktu seseorang membutuhkan bantuan, ia siap untuk mengajarnya, tujuan satu-satunya adalah agar dapat berbicara tentang hal-hal rohani dan menunjukkan kepada orang lain betapa bernilainya penyelamatan jiwa, bahkan untuk satu jiwa sekalipun.
Suatu hari, seorang anak lelaki mengganggunya saat dia sedang berbicara tentang hal itu.
“Mengapa kamu peduli tentang hal itu?”
“Mengapa aku peduli?” jawabnya. “Aku peduli karena Yesus meninggal untuk teman-teman sekolahku. Kita semua adalah saudara dan kita harus saling mencintai satu sama lain. Tuhan ingin agar kita saling menolong satu sama lain agar dapat diselamatkan. Jika aku menyelamatkan satu jiwa, maka aku menyelamatkan jiwaku juga.”
Meskipun sedang berada di rumah sewaktu liburan, semangat Dominikus untuk menyelamatkan jiwa-jiwa tidaklah mengendor. Ia biasa menyimpan semua hadiah-hadiah yang diperolehnya di sekolah, semua gambar-gambar dan medali-medali serta salib-salib dan buku-buku, dan kemudian, sebelum pergi ke rumah, biasanya ia bertanya kepada gurunya untuk memberikan barang-barang seperti itu kepadanya, agar ia dapat “menghibur” teman-temannya. Di rumah dia biasanya selalu dikerumuni oleh banyak teman, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua, dan dia akan memberikan semua hadiah-hadiah ini untuk sebuah jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan katekismus, atau memberikannya bagi perbuatan-perbuatan baik.
Hadiah-hadiah yang kecil ini membantunya untuk membujuk para anak laki-laki untuk mengikuti misa atau pelajaran katekismus bersamanya atau pergi mengikuti misa.
Aku telah diberitahu bahwa ia telah berusaha mengajar seorang anak laki-laki selama beberapa waktu. “Jika kamu belajar membuat tanda salib,” ia berjanji, “aku akan memberimu sebuah medali, dan aku akan mengantarmu ke seorang pastor yang akan memberimu sebuah buku, tetapi aku ingin agar kamu membuatnya dengan sangat baik. Sewaktu kamu mengatakan kata-kata itu, tangan kananmu harus menyentuh dahimu, kemudian dadamu, lalu bahu kiri dan bahu kanan, dan ketika kamu mengatakan amin, kamu harus menyatukan kedua tanganmu.”
Ia sangat bersikeras bahwa tanda penebusan kita ini harus dibuat dengan pantas dan ia selalu membuat hal ini ketika sedang berdiri di depan teman-temannya, sambil meminta mereka untuk mengikutinya.
Disamping sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas-tugasnya, Dominikus juga mengajar kedua adiknya untuk membaca dan menulis dan juga untuk mengucapkan doa pagi dan doa sore mereka. Ia biasanya mengantar mereka ke gereja dan meunjukkan kepada mereka bagaimana membuat tanda salib dengan air suci. Banyak dari waktu bermainnya ia gunakan untuk menceritakan cerita-cerita kepada keluarganya atau kepada orang yang datang untuk mendengarkannya. Dan juga ketika ia pulang ke rumahnya, ia selalu pergi mengunjungi Sakramen Maha Kudus setiap hari. Ia sangat bahagia jika ia dapat mengajak seseorang untuk pergi dengannya.
Kita dapat dengan jujur berkata bahwa Dominikus tidak pernah melewatkan satu kesempatan pun untuk melakukan sebuah perbuatan yang baik atau mengatakan kata-kata yang baik jika itu dapat membantu jiwa seseorang.
Pastor Michael Rua menulis: “Sangatlah menyenangkan melihat seorang pemuda dengan semangat untuk kemuliaan Tuhan sehingga ia merasakan sakit pada tubuhnya jika ia mendengar sebuah penghinaan kepada Tuhan.
Don Bosco telah meminta kepada Dominikus untuk memperhatikan seorang anak baru yang bernama Roda, dan untuk memastikan bahwa anak itu merasa di rumahnya sendiri dan belajar peraturan-peraturan oratori. Suatu hari, ketika Dominikus dan Roda sedang bermain bola, Roda mengucapkan suatu kata penghujatan, “Dominikus sangat terkejut,” tulis Roda, “dan langsung menyuruhku untuk pergi kepada Don Bosco untuk meminta pengakuan dosa. Aku melakukan hal itu. Koreksi itu sangat berkesan untukku, sehingga aku tidak pernah melakukan hal itu lagi.”
Suatu ciri yang menonjol dari kerasulan Don Bosco adalah perhatiannya tentang pelajaran-pelajaran dokrin Kristiani. Dia yakin bahwa ketidakpedulian adalah musuh terbesar gereja. Oleh kerena itu, ia mengajarkan katekismus tanpa kenal lelah. Jika anak-anaknya menjadi terlalu banyak dalam satu kelas, ia mengundang orang-orang awam dan pastor-pastor muda untuk membantunya. Beberapa bangsawan Turin yang terkenal adalah guru atau “ketekis” di oratori. Walaupun Dominikus adalah seorang murid asrama dan bukan “anak oratori”, ia biasa menggantikan siapapun yang tidak dapat datang untuk mengajar. Dilihat secara keseluruhan, ia sangat berhasil, sabar, disukai, dan menarik. “Dominikus cukup sering menggantikan para guru untuk mengajar di kelas,” tulis teman kelasnya, “dan ia sangat baik dan bijaksana dengan anak-anak Oratori sehingga mereka semua menginginkannya sebagai guru mereka.”
3.1.2 BAB 12 |
▲back to top |
Pikiran untuk memenangkan jiwa-jiwa untuk Tuhan selalu ada dalam pikiran Dominikus. Ia adalah jiwa dalam permainan-permainan saat rekreasi, tapi apa yang ia katakan atau lakukan hanyalah untuk memperbaiki dirinya dan orang lain. Ia sangat sopan, tidak pernah memotong pembicaraan orang lain, dan ketika pembicaraan hampir mati, ia mampu menghidupkannya kembali dengan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan tentang tugas-tugas sekolah. Ia mempunyai perbendaharaan cerita yang membuat keberadaannya menyenangkan. Ketika pembicaraan mulai berubah menjadi omelan dan keluhan, ia akan menceritakan sebuah lelucon atau cerita lucu yang membuat semua orang tertawa dan menghindarkan pembicaraan dari penghinaan kepada Tuhan. Karena ia sangat ceria dan penuh semangat, teman-teman sekolahnya menyukainya, bahkan mereka yang tidak tertarik pada kekudusan. Mereka sangat senang untuk menjadi temannya dan menerima nasihat-nasihatnya.
Suatu ketika, seorang teman kelasnya memutuskan untuk berjalan sepanjang hari dengan menggunakan sebuah topeng. Dominikus tidak menyukai hal ini dan memberitahunya “Apakah kau benar-benar ingin menjadi seperti topeng itu, dengan tanduk-tanduk dan sebuah hidung yang sangat panjang? Jika tidak kenapa engkau melakukan hal itu dan menutupi wajah yang telah diberikan Tuhan?”
Sewaktu rekreasi, pada suatu hari, seorang laki-laki mendekati sebuah kelompok murid-murid dan berbicara dengan keras kepada salah seorang dari mereka sehingga yang lain dapat mendengarnya. Lalu, untuk mengumpulkan pendengar, ia dengan cerdik menceritakan beberapa lelucon sehingga dengan segera ia dikelilingi oleh lingkaran pendengar yang tertarik yang ingin mendengar setiap perkataannya. Lalu dengan tiba-tiba, setelah ia berhasil mengumpulkan para pendengar itu, ia beralih bicara tentang masalah-masalah agama dan membuat kesalahan yang bodoh dengan membuat lelucon tentang hal-hal yang kita anggap kudus, menghina para pastor. Beberapa dari para pendengarnya tidak menyukai perkataan-perkataanya yang tidak religius namun ragu untuk berbicara tentang kebenaran. Mereka kemudian berjalan pergi. Banyak orang yang kurang waspada tetap tinggal di tempat. Kemudian Dominikus datang. Segera setelah Dominikus menangkap arah pembicaraan itu, tanpa menghiraukan kritik, ia langsung berbicara pada kerumunan itu dan berteriak, “Mari kita meninggalkan orang ini! Ia ingin menghancurkan jiwa kita!”
Mendengar perkataan teman mereka yang baik dan saleh itu, anak-anak muda itu pergi dengan segera, dan laki-laki itu yang telah ditinggal sendiri, terpaksa keluar dari halaman. Ia tidak pernah kembali lagi.
Suatu ketika, beberapa anak berencana untuk berenang. Olahraga ini cukup berbahaya, tetapi di Turin, hal ini lebih buruk lagi karena selain bahaya moral, sungai-sungainya dalam dan mempunyai arus yang kuat, sehingga banyak orang tenggelam setiap tahun. Ketika Dominikus mengetahui hal ini, ia berusaha sekuat tenaga untuk dapat menunda rencana mereka, menceritakan lelucon-lelucon dan membuat mereka sibuk, tetapi ketika ia melihat bahwa mereka memutuskan untuk tetap pergi, ia memberitahu mereka, “Kalian tidak boleh pergi! Aku tidak akan membiarkan kalian!”
“Kenapa tidak?” tanya mereka dengan ketus. “Kami tidak melakukan suatu hal yang salah.”
“Ya, kalian melakukannya! Kalian melanggar perintah superior kalian dan kalian melakukan sebuah perbuatan yang dapat mendatangkan bahaya spiritual, dan kalian bahkan dapat tenggelam. Tidakkah hal itu salah?”
“Tapi kami tidak tahan terhadap udara yang panas ini!”
“Jika kalian tidak dapat menahan panas ini sekarang, bagaimana kalian dapat menahan api neraka yang mengerikan itu – dan kalian mungkin pantas mendapatkannya!”
Dominikus menang. Anak-anak itu berubah pikiran dan bermain dengannya di lapangan dan pergi dengannya ke misa gereja.
Dahulu ada semacam klub di Oratori, yang terdiri dari anak-anak baik yang bersemangat untuk menolong anak-anak yang lebih nakal. Dominikus adalah salah satu anggotanya yang paling aktif. Jika ia mempunyai permen atau buah atau sebuah hadiah kecil, ia akan berjalan mengelilingi lapangan, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berteriak, “Siapa yang mau? Siapa yang mau jeruk ini?”
“Aku!” teriak banyak orang yang segera berlari kepadanya.
“Baiklah, aku akan memberikannya kepada orang yang dapat menjawab sebuah pertanyaan katekismus dengan tepat.”
Tetapi, ia hanya akan bertanya pada anak-anak yang suka membuat masalah dan selama mereka dapat memberikan sebuah jawaban yang pantas, mereka mendapatkan hadiah itu. Anak-anak yang lain ia menangkan lewat cara-cara lain. Ia akan mendekati mereka dan membuat mereka berjalan atau berbicara dengannya. Seringkali ia bertingkah seperti Herkules, dengan gada besar di bahunya, bermain sebuah permainan, terlihat hanyut dalam kegembiraan. Namun, dengan tiba-tiba, ia akan menghentikan aksi anehnya itu dan berkata kepada seorang anak, “Maukah engkau pergi ke pengakuan dosa denganku hari Minggu ini?”
Karena hari Minggu terasa masih jauh dan mereka ingin segera melanjutkan permainan, mereka biasanya setuju. Dominikus akan melanjutkan permainan, namun ia tidak akan lupa. Setiap hari, ia akan mengingatkan anak itu akan janjinya dan memberinya nasihat-nasihat tentang cara membuat sebuah pengakuan dosa yang baik. Pada hari Minggu, si nelayan muda itu akan membawa tangkapannya ke gerja, mengaku dosa sebelum anak itu, sambil kadang-kadang memberi saran kepada bapa pengakuan tentang anak itu, lalu membantu si anak menerima sakramen itu dengan baik.
Hal ini cukup sering dilakukannya, dan hal ini memberinya banyak hiburan, selain menolong teman-temannya, karena anak-anak ini kadang-kadang tidak memperhatikan khotbah sama sekali, tetapi menuruti bujukan halus Dominikus.
Kadang-kadang, tentu, ikannya cerdik dan lolos dari kail, walaupun mereka sudah berjanji setiap hari. Namun, Dominikus akan menangkapnya lagi.
“Engkau telah menipuku,” canda Dominikus.
“Aku hanya merasa tidak ingin pergi. Aku sedang tidak ingin.”
“Kasihan kau! Tetapi setan menginginkan engkau, bukan? Dan engkau tidak siap sekarang, karena kau sedang tidak ingin. Mengapa kau tidak berusaha dan pergi ke pengakuan dosa saja? Kau akan merasakan kegembiraan membanjiri hatimu!”
Umumnya anak itu akan pergi ke pengakuan dosa, dan dengan kegembiraan yang dalam, kembali untuk memberitahukan Dominikus, “Kau benar! Aku merasa sangat baik! Mulai saat ini, aku akan sering pergi ke pengakuan dosa!”
Setiap kelompok anak muda biasanya mempunyai beberapa anak yang kasar, tidak terdidik, dan tidak peduli, atau yang terluka hatinya. Mereka tidak dihiraukan oleh yang lain, dan dalam kesepian, mereka membutuhkan kata-kata yang bersahabat. Dominikus menjadi teman mereka. Ia biasa pergi dengan mereka, menceritakan kepada mereka cerita-ceerita dan nasihat-nasihat. Hasilnya adalah bahwa para anak muda in, yang biasanya menonjolkan diri mereka dengan membuat banyak masalah, memperbaiki tingkah laku mereka.
Karena ia sangat bersahabat, anak-anak yang sedang sakit biasanya memintanya sebagai petugas penjaga. Hanya dengan berbicara dengannya ketika mereka merasa sakit dapat meringankan rasa sakit itu. Dan Dominikus berbuat sesuatu untuk menolong teman-temannya dan berjasa kepada Tuhan.
“Aku mendengar Don Bosco sendiri berkata bahwa Dominikus merupakan ‘pelindung setia’ Oratori, tulis Pastor Yohanes Francesia, guru Dominikus. “Ia memastikan bahwa tidak ada orang-orang yang datang ke Oratori untuk membuat suatu masalah. Aku masih ingat ketika orang-orang Protestan membuat propaganda yang besar pada tahun-tahun itu dan bahkan mereka datang ke Oratori. Dominikus adalah salah satu orang yang sangat ingin agar mereka tetap berada di luar Oratori. Suatu hari, aku berpapasan dengan Don Bosco dan Dominikus yang sedang berbicara berdua. Aku selalu berpikir bahwa Dominikus adalah anak yang agak penakut, tetapi aku terkejut melihatnya, tangannya di atas pinggang, sambil mendesak Don Bosco: ‘Bapa, hal ini tidak boleh ditoleransi di dalam Oratori!’ ‘Ya, ya,’ jawab Don Bosco, ‘namun kita harus bersabar sedikit.’ ‘Ini adalah sebuah skandal!’ seru Dominikus. ‘Hal ini harus dihentikan!’ Itulah pertama kalinya aku melihat Dominikus menonjolkan dirinya di hadapan Don Bosco, dan dia melakukannya tanpa sedikit pun terlihat sombong atau meremehkan.”
Beato Michael Rua, penerus Don Bosco yang pertama sebagai pimpinan Serikat Salesian dan teman dari Dominikus, menulis: “Dominikus suatu saat sedang bermain dengan sekelompok anak ketika bel berbunyi untuk menandakan waktu pengakuan dosa. Ia menyarankan agar mereka menghentikan permainan agar dapat memperoleh rahmat Tuhan ini. Melihat bahwa mereka tidak begitu tertarik dengan usulnya – beberapa dari mereka ingin terus bermain, yang lain karena mereka tidak ingin terlihat berbeda – ia terus mendesak dengan cara yang begitu menyenangkan sehingga mereka semua berhenti bermain. Berpikir bahwa mereka akan pergi ke bapa pengakuan mereka masing-masing, Dominikus segera pergi ke pengakuan dosa. Tetapi ketika ia kembali, ia melihat bahwa mereka telah menghentikan permainan, namun belum pergi ke pengakuan dosa. Tanpa rasa takut, ia pergi mencari mereka satu persatu dan tidak beristirahat sampai mereka semua pergi ke pengakuan dosa.
“Hal-hal semacam ini dilakukannya bukan karena ia ingin menonjolkan dirinya, namun karena ia benar-benar ingin menolong teman-temannya secara spiritual.”
3.1.3 BAB 13 |
▲back to top |
Di Atas Sayap-Sayap Doa
Yang terkenal di antara rahmat-rahmat Tuhan yang memperkaya jiwa Dominikus Savio adalah semangat doanya. Jiwanya sudah begitu terbiasa berbicara dengan Tuhan, sehingga di manapun ia berada, bahkan di dalam permainan yang paling gaduh pun, ia dapat mengarahkan hati dan pikirannya kepada Tuhan. Ketika ia berdoa bersama anak-anak lainnya, seseorang dapat membayangkan dia sebagai seorang malaikat – seluruh tubuhnya siap dalam posisi doa, berlutut tegak tanpa sokongan, dengan sebuah senyum pada wajahnya, kepala tertunduk, dengan mata memandang ke bawah. Ia tampak seperti seorang St. Aloysius yang lain. Hanya dengan melihatnya saja sudah dapat menimbulkan inspirasi.
Count Cays, yang telah dijadikan “pelindung” Perkumpulan St. Aloysius milik Oratori pada tahun itu, sangat terkesan sewaktu ia pertama kali menghadiri misa, ketika ia melihat seorang anak laki-laki berdoa dengan sikap tubuh dan devosi yang begitu baik. Setelah misa selesai ia menanyakan siapa nama anak itu dan diberitahu bahwa namanya adalah Dominikus Savio.
Setengah dari waktu rekreasi Dominikus hampir selalu digunakan untuk membaca atau mengunjungi gereja dengan sahabat-sahabatnya; mereka akan berdoa untuk jiwa-jiwa di api penyucian dan memberi penghormatan kepada Bunda kita yang terberkati. Sungguh besar devosi Dominikus kepada Bunda Allah. Setiap hari ia mempersembahkan suatu aksi penyangkalan diri. Ia tidak pernah memandangi gadis-gadis, mengontrol matanya dalam perjalanan pulang pergi sekolah. Kadang-kadang, walaupun teman-temannya sedang keasyikan menonton sebuah pertunjukan jalanan yang menarik, ternyata Dominikus tidak memperhatikannya sama sekali. Seorang anak dengan marah berteriak kepadanya, “Apa guna matamu jika bukan untuk melihat hal-hal seperti ini?”
“Aku akan menggunakan mataku untuk melihat wajah Bunda kita yang terberkati, jika oleh rahmat Tuhan aku pantas untuk masuk surga,” jawabnya dengan segera.
Secara khusus ia mencintai hati Bunda Maria Tak Bernoda. Setiap kali masuk ke gereja, ia akan terlebih dahulu berlutut di depan altar-Nya, meminta rahmat untuk menjaga hatinya terbebas dari ketidakmurnian. Ia akan berdoa, “Maria, aku selalu ingin menjadi anak-Mu. Biarkanlah aku mati sebelum melakukan satu dosa pun yang melawan kemurnian.”
Setiap hari Jumat ia meluangkan sedikit waktu rekreasinya untuk mengajak beberapa teman-temannya ke gereja dan mendoakan tujuh duka Bunda Maria atau Litani Ibu yang Berduka. Bukan saja ia sangat berdevosi kepada Bunda kita tapi ia juga merasa sangat gembira jika dapat membawa seorang teman sekolah untuk memberi penghormatan kepada Bunda Maria. Suatu Sabtu, sebagai contoh, ia mengundang seorang teman untuk berdoa Doa Sore Bunda Maria bersamanya dan anak itu mencoba mengelak dengan mengeluh bahwa tangannya kedinginan. Setelah membuka sarung tangannya, Dominikus memberikannya kepadanya dan mereka berdua masuk ke gereja. Pada kesempatan yang lain, ia meminjamkan mantelnya kepada seorang anak agar dia mau masuk ke gereja bersamanya. Kau pasti mengagumi devosi yang begitu murah hati ini.
Pada waktu bulan Mei itulah Dominikus berupaya sungguh-sungguh dalam usaha-usahanya untuk menghormati Bunda Maria, pelindung surgawi kita. Terlepas dari devosi-devosi sekolahnya, ia juga mampu mengajak beberapa anak untuk bergabung dengannya di dalam sebuah doa khusus setiap harinya. Juga, ia menyusun cerita-cerita yang menarik tentang Bunda Maria, yang dengan gembira ia ceritakan kepada teman-teman sekolahnya untuk membangkitkan rasa cinta mereka kepada-Nya. Pada saat rekreasi ia sering berbicara tentang Bunda Maria. Ia mendorong semua orang untuk menerima Sakramen Pengampunan Dosa dan Ekaristi Kudus sesering mungkin untuk menghormati Bunda Maria, dan ia adalah yang pertama kali memberi contoh, dengan menerima Komuni setiap hari dengan devosi yang luar biasa.
Sebuah peristiwa yang menyenangkan menunjukkan cintanya yang besar kepada Bunda Maria. Teman-temannya telah memutuskan untuk mendirikan sebuah tempat penghormatan kecil bagi Bunda Maria untuk meningkatkan devosi bulan Mei mereka. Dominikus sangat mendukung ide ini, tetapi ketika ia mengetahui berapa banyak biaya yang dibutuhkan, ia berseru, “Apa yang dapat aku lakukan? Aku tidak mempunyai uang sama sekali, tetapi aku harus melakukan sesuatu.” Tiba-tiba ia mendapat sebuah ide. Ia berlari untuk mengambil sebuah buku yang telah ia peroleh sebagai hadiah, dan dengan izin, ia memberikannya pada anak-anak itu, lalu berkata “Sekarang aku dapat memberikan bagianku untuk Bunda kita. Ambillah buku ini dan juallah. Ini adalah hadiahku.” Teman-temannya begitu terkesan dengan kemurahan hatinya sehingga mereka juga membawa buku-buku dan barang-barang lain, dan mengadakan sebuah undian kecil untuk membiayai proyek mereka ini. Usaha mereka berhasil. Sewaktu mereka mulai mendirikan tempat itu, mereka mulai menghiasinya dengan meriah, semua anak turut membantu. Sehari sebelum hari pesta, mereka baru menyadari bahwa mereka belum dapat menyelesaikan proyek itu dan harus bekerja semalaman untuk menyelesaikannya.
“Aku akan tinggal semalaman dan ikut membantu,” kata Dominikus dengan sukarela.
Teman-temannya mengetahui bahwa ia masih harus memulihkan diri dari sakitnya dan menyuruhnya untuk pergi tidur. Ia menolak sampai mereka memaksanya untuk patuh. “Baiklah,” katanya, “tapi segera sesudah kalian selesai, bangunkanlah aku. Aku mau menjadi orang pertama yang melihat tempat penghormatan yang telah kita dirikan untuk Bunda kita yang terkasih!”
4 CATATAN |
▲back to top |
Mama Margareta yang baik, ibu Don Bosco, yang telah meninggalkan desanya untuk datang ke kota dan merawat anak-anak yatim piatu Don Bosco, dengan segera merasakan kekudusan Dominikus yang luar biasa. “Kau mungkin mempunyai banyak anak yang baik di sini,” katanya segera setelah Dominikus tinggal di situ, “namun tak seorang pun yang lebih baik daripada Dominikus.” Dan ketika Don Bosco bertanya mengapa, dia menjawab, “Di dalam gereja ia bertingkah seperti malaikat di surga!”
Pastor Francesia menulis dalam Proses Apostolik, “Adalah percakapan yang umum di antara anak-anak di Oratori bahwa pelopor dari semua devosi anak-anak di Oratori di antara tahun 1855 dan 1856 adalah Dominikus Savio, dan hal ini merupakan hasil dari devosinya kepada Bunda kita.”
Dalam keseluruhan biografi ini, Don Bosco menyamakan Dominikus Savio dengan St. Aloysius Gonzaga, dan ia serta yang lainnya tak dapat memuji Dominikus lebih besar lagi selain dengan memanggilnya “St. Aloysius yang lain”. Perbandingan ini sangat tepat. St. Aloysius, yang menjadi pelindung bagi kaum muda, sudah sangat terkenal di abad ke 19, dan banyak organisasi kaum muda memakai namanya sebagai pelindung.
Lahir pada tanggal 9 Maret 1568 di Lombardi, Italia, dari keluarga bangsawan, Aloysius dibesarkan dalam kemewahan, namun baik kekayaan maupun kesenangan dunia tidak menarik baginya. Pada umur tujuh tahun, penulis biografinya mengatakan bahwa Aloysius mengalami kebangkitan rohani yang membawanya kepada kekudusan pada usia muda. Begitu lengkap penyerahan dirinya kepada Tuhan, dan juga begitu permanen sehingga ia tidak pernah melepaskan pandangannya dari tujuan kehidupan rohaninya. Ia menolak semua kesempatan untuk memperoleh karir sosial yang baik dan, dengan melawan kehendak ayahnya, masuk ke novisiat Yesuit di Roma pada umur 18 tahun. Hidup rohaninya ditandai dengan kemurnian dan silih. Ia mati sebagai seorang seminaris Yesuit karena terjangkit sebuah wabah penyakit ketika ia sedang merawat kurban-kurban penyakit itu di Roma, tanggal 21 Juni 1591, pada usia 23 tahun.
Aloysius dan Dominikus tentu saja merupakan dua orang yang sangat berbeda. Walaupun mereka sering dipasangkan sebagai pelindung kaum muda, Dominikus lebih menarik bagi anak-anak muda. Juga, Dominikus juga tidak sekeras Aloysius, walaupun ia tidak mengalami godaan yang sama dari lingkungan yang korup. Hidup Dominikus lebih pada kehidupan yang biasa, dan Don Bosco memastikan bahwa ia dengan hati-hati membatasi keinginan anak muda itu untuk melakukan mati raga tanpa mematahkan semangatnya atau meminimalkan perintah Tuhan kita, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Luk 9:23).
BAB 14
Kehidupan Sakramental
Pengalaman membuktikan bahwa seorang anak muda dapat menemukan penopang hidupnya yang terbesar dalam sakramen Pengakuan Dosa dan Ekaristi Kudus. Berikanlah kepadaku seorang anak yang sering menerima sakramen-sakramen ini dan kalian akan melihat bahwa, selagi ia bertumbuh dari masa anak-anak sampai menjadi seorang dewasa, dan jika Tuhan mengizinkan, sampai tua, tingkah lakunya akan menjadi contoh dari kehidupan Kristiani bagi semua orang yang mengenalnya. Biarlah orang-orang muda meyakini dan mengikuti hal ini, dan biarlah guru-guru mengetahui hal ini agar dapat mengarahkan yang lain.
Sebelum datang ke Oratori, Dominikus biasanya melakukan pengakuan dosa dan menerima komuni sebulan sekali, sesuai dengan kebiasaan sekolah. Lalu ia mulai pergi lebih sering, terlebih lagi setelah ia mendengar aku berkata pada sebuah kesempatan, “Anak-anak, jika kalian ingin tetap berada pada jalan yang menuju surga, lakukanlah tiga hal ini: pergilah mengaku dosa secara rutin, seringlah menerima komuni, dan pilihlah seorang pastor pengakuan dosa di mana kau dapat mencurahkan isi hatimu. Jangan mengantinya kecuali jika kau terpaksa.”
Dominikus mengerti semua itu. Ia mulai dengan memilih seorang pastor pengakuan dosa (Don Bosco) yang dipertahankannya selama ia berada di Oratori. Untuk membuat pastor itu benar-benar mengenalnya, ia membuat pengakuan dosanya secara rutin kepadanya. Pertama-tama ia mengaku dosa dan menerima komuni setiap dua minggu sekali, lalu seminggu sekali. Menyadari kemajuan spiritualnya, pastor pengakuan dosanya menasihatinya untuk menerima komuni tiga kali seminggu, dan pada akhir tahun, sekali sehari.
Untuk beberapa saat Dominikus dirisaukan oleh sikap skrupel (perasaan berdosa yang berlebihan) dan ingin pergi ke pengakuan dosa setiap empat hari sekali atau lebih sering, tetapi pastor pengakuan dosanya mengatakan tidak dan membatasinya untuk menaati pengakuan dosanya yang rutin setiap minggu. Dominikus menaruh kepercayaan penuh pada pastor pengakuan dosanya, kadang-kadang ia bebas berbicara kepadanya tentang masalah spiritualnya di luar saat pengakuan dosa. Tak ada yang dapat mempengaruhinya untuk mengganti pastor pengakuan dosanya.
“Bapa pengakuan dosa adalah dokter bagi jiwa,” kata Dominikus. “Orang-orang mengganti dokter mereka jika mereka kehilangan kepercayaan atasnya atau mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin disembuhkan. Kedua hal ini tidak terjadi padaku. Aku mempercayai sepenuhnya bapa pengakuanku. Dengan perhatian kebapaannya dan kebaikan, ia merawat jiwaku. Aku tidak mempunyai luka yang tak dapat disembuhkannya.”
Namun, pastor pengakuan dosanya kadang-kadang menasihatinya untuk mengaku pada pastor pengakuan dosa yang lain, misalnya pada waktu retret, dan Dominikus dengan taat mematuhinya.
Ia adalah seorang anak yang periang. “Jika aku sedang kuatir”, ia sering berkata, “aku akan pergi ke pastor pengakuan dosaku, dan ia akan memberitahukanku apa yang Tuhan inginkan dariku, karena Tuhan berkata bahwa pastor pengakuan dosa mengucapkan kata-kata Tuhan sendiri. Lalu, jika aku membutuhkan sesuatu yang penting, aku pergi mengikuti komuni dan menerima Hosti Kudus yang ditawarkan untuk kita. Hosti adalah tubuh, darah, jiwa, dan ke-Allah-an yang Yesus persembahkan di salib kepada Bapanya. Apa lagi yang aku perlukan untuk menjadi bahagia? Tak satupun yang berasal dari dunia ini. Hanya dengan dapat melihat-Nya sekarang dengan iman dan memuja Dia yang berada di altar sudah cukup bagiku.” Sikap batin ini membuat Dominikus dapat menjalani hari-harinya dengan benar-benar bahagia. Hal ini merupakan alasan kebahagiaannya yang dalam dan sempurna yang terlihat memancar dari wajahnya setiap saat.
Janganlah kita menyangka bahwa Dominikus tidak menyadari sepenuhnya pentingnya dua sakramen ini. Hidup Kristianinya yang sangat baik mengizinkannya untuk sering menerima komuni. Tingkah lakunya bebas dari kesalahan. Aku telah bertanya kepada anak-anak yang telah tinggal bersama Dominikus apakah mereka pernah menemukan, selama tiga tahun ia hidup bersama mereka, sebuah kesalahan yang harus dikoreksi atau sebuah kebajikan yang seharusnya ia miliki. Mereka semua meyakinkan aku bahwa mereka tidak menemukan satu kesalahan pun atau satu kebajikan pun yang tidak ia miliki.
Persiapannya untuk menerima komuni sangatlah penuh devosi dan patut diteladani. Pada malam harinya, sebelum ia pergi tidur, ia mendoakan sebuah doa khusus yang diakhiri dengan: “Terberkatilah dan terpujilah Sakramen Maha Kudus setiap saat!” Pada pagi harinya, ia meluangkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri, tetapi rasa syukurnya benar-benar tanpa batas. Seringkali, jika tidak diingatkan, ia akan melupakan makan pagi, rekreasi, dan sekolah, karena begitu terhanyut dalam doa dan dalam renungan akan kebaikan Tuhan, yang membuka harta karun belas kasih-Nya kepada kita dengan cara yang melebihi semua gambaran kita.
Merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan bagi Dominikus untuk menghabiskan waktu satu jam dalam adorasi di depan Sakramen Maha Kudus. Tanpa pernah lalai, ia membuat paling sedikit satu kunjungan sehari, sambil membawa anak-anak lain bersamanya. Ia suka mendoakan “Mahkota Kecil dari Hati Suci” – sebuah doa silih atas penghinaan terhadap Kristus dari orang-orang bidaah, orang-orang kafir dan orang-orang Kristen yang tak layak. Untuk membuat komuninya lebih bermanfaat dan untuk mendukung semangatnya setiap hari, ia membuat sebuah daftar intensi seperti berikut:
Minggu- untuk menghormati Tri Tunggal Maha Kudus
Senin- untuk mereka yang menolongku secara material dan spiritual
Selasa- untuk menghormati St. Dominikus dan malaikat pelindungku
Rabu- kepada Bunda kita yang Berduka untuk pertobatan para pendosa
Kamis- untuk jiwa-jiwa di api penyucian
Jumat- untuk menghormati penderitaan dan sengsara Yesus
Sabtu- untuk menghormati Bunda Maria yang kudus, untuk meminta
perlindungannya dalam kehidupan dan pada saat kematian
Segala sesuatu yang berhubungan dengan Sakramen Maha Kudus memberikan saat-saat yang bahagia untuk Dominikus. Jika ia bertemu dengan seorang pastor yang sedang membawa Ekaristi untuk seorang yang sedang sekarat, ia langsung berlutut di jalan, dan jika ia punya waktu, menemaninya ke rumah itu. Suatu kali, hal ini terjadi ketika hari sedang hujan dan jalan penuh dengan lumpur. Tidak menemukan satu tempat pun yang kering, Dominikus berlutut di sebuah genangan air yang kecil. Anak yang sedang bersamanya memprotesnya, “Kau tidak harus sampai mengotori pakaianmu. Tuhan tidak meminta kita berbuat sebanyak itu!”
“Lutut dan pakaianku adalah milik Tuhan dan harus memberi-Nya hormat. Ketika aku dekat dengan-Nya, aku akan dengan senang hati merangkak di atas lumpur untuk memberinya penghormatan. Aku akan melompat ke dalam tungku api jika aku dapat memperoleh sepercik kasih Tuhan yang tak terbatas itu, yang membuat-Nya mau memberi kita sakramen yang mulia ini.”
Dalam sebuah kejadian yang mirip, ia melihat bahwa ada seorang tentara yang sedang berdiri dan memperhatikan Sakramen Maha Kudus yang sedang dibawa melewatinya. Dominikus, yang tidak berani memintanya secara langsung, membentangkan sapu tangannya di atas jalan dan tanpa bicara mempersilahkan tentara itu untuk berlutut di atas saputangan itu. Dengan terkejut, orang itu menoleh ke sapu tangan itu dan buru-buru berlutut di atas jalan yang kotor itu.
Pada hari pesta Tubuh Kristus, Dominikus dan teman-temannya diberitahu bahwa mereka dapat memakai pakaian putra altar dan mengikuti prosesi Ekaristi di paroki itu. Ia melakukan hal itu dengan sangat gembira dan berkata bahwa hal itu adalah hal yang paling diinginkannya.
CATATAN
Di semua sekolah Salesian, siswa-siswa biasanya didorong untuk membuat kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Maha Kudus, khususnya setelah makan. Kunjungan-kunjungan ini memang singkat, tetapi memberikan pengaruh yang besar pada tingkah laku dan perkembangan rohani mereka. Tentang hal ini Pastor Yohanes Branda, seorang pastor Salesian dan teman sekolah Dominikus, menulis: “Aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa kebiasaan untuk mengunjungi Sakramen Maha Kudus, yang membudaya di Oratori, dimulai oleh Dominikus Savio, yang dulu sering melakukannya bersama teman-temannya setiap hari.”
Mengenai cinta Dominikus yang luar biasa kepada Yesus dalam Sakramen Maha Kudus, Mgr. Ballesio, ketika sedang mempersiapkan kesaksiannya untuk Proses Apostolik, terdengar beberapa kali berseru: “Mereka tidak akan mempercayai kita, aku yakin mereka tidak akan, jika kita berbicara tentang semangat Ekaristi Dominikus yang begitu hebat! Tapi semuanya benar, sampai pada hal-hal yang terkecil.”
St. Don Bosco, sebagai seorang bapa pengakuan yang bijaksana, menuntun Dominikus menuju kesempurnaan melalui jalan sakramen-sakramen, karena mengetahui bahwa inti dari Rahmat Tuhan yang menguduskan seseorang disalurkan melalui tujuh Sakramen Kristus. Dengan bijaksana ia meminta hubungan dengan Komuni Kudus, karena jika tidak, maka hal itu akan menjadi kebiasaan rutin saja, rutin namun hambar. Ia menambah jumlah komuni Dominikus setiap minggu ketika anak itu siap menerimanya, mendorongnya terus menerus, seperti ia mendorong semua anak-anaknya, agar Dominikus membuat persiapan dan ucapan syukur yang pantas. Dengan demikian semangat Ekaristi dapat menjadi ukuran kekudusan anak itu dan cara bagi pastor pengakuan dosanya untuk mengecek kemajuan spiritualnya.
Bahwa Dominikus menaruh kepercayaan penuh pada pastor pengakuan dosanya Don Bosco, cukup jelas terlihat dari kata-kata Don Bosco tentang skrupel yang dialami Dominikus. Tidak ada seorangpun yang bersaksi bahwa Dominikus terlihat terganggu oleh skrupel ini. Mereka semua setuju bahwa Dominikus adalah seorang anak yang suka tersenyum dan bisa menguasai diri. Karena itu, skrupel itu tidak bertahan lama dan tidak tampak, karena anak muda itu mematuhi pastor pengakuan dosanya dengan taat. Hal ini merupakan tes kecil bagi kebajikannya.
BAB 15
Silih Dosa dan Kemurnian
Usia muda Dominikus, kesehatannya yang buruk dan kemurniannya tentu memperbolehkannya untuk tidak melakukan berbagai silih, tapi ia mengetahui bahwa setiap anak muda akan sulit mempertahankan kemurniannya tanpa silih, maka ia menantikan hidup yang penuh derita seperti hidup yang ditaburi mawar. Yang aku maksudkan dengan silih bukanlah menanggung penghinaan-penghinaan dan ketidaknyamanan, atau mati raga yang tidak habis-habis dan pengontrolan diri selama doa, sekolah, studi dan bermain. Hal-hal ini adalah hal-hal biasa untuk Dominikus. Yang aku maksudkan adalah silih yang menyiksa tubuh.
Dengan semangatnya ia memutuskan untuk berpuasa dengan roti dan air setiap hari Sabtu untuk menghormati Bunda Maria, tetapi pastor pengakuan dosanya tidak memperbolehkannya. Ia mulai berpuasa pada masa pra-Paskah, tetapi setelah satu minggu aku mengetahuinya dan melarangnya. Setidaknya ia ingin tidak makan pagi, tetapi ini pun tidak diizinkan. Silih-silih seperti ini tentu akan merusak kesehatannya dengan sangat parah.
Karena ia tidak dapat berpuasa, selanjutnya Dominikus berusaha untuk bermati raga lewat cara lain. Ia menaruh batu-batu kerikil dan serpihan-serpihan kayu di tempat tidurnya sehingga ia tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Ia ingin memakai semacam baju yang sangat tipis. Semua hal ini dilarang, maka ia menemukan cara-cara baru. Sepanjang musim hujan dan gugur, ia tetap menggunakan seprei musim panas, sehingga di bulan Januari ia hanya memiliki sebuah selimut yang tipis. Pada suatu pagi, ketika ia terlalu sakit untuk bangun, aku pergi untuk menjenguknya dan memperhatikan bahwa ia hanya menyelimuti dirinya dengan sebuah selimut tipis.
“Apa arti semua ini?” tanyaku. “Apa kau mau mati kedinginan?”
“Aku tidak akan mati karena kedinginan,” jawabnya. “Yesus mempunyai lebih sedikit kain untuk menutupi diri-Nya di palungan dan di atas salib.”
Akhirnya aku harus melarangnya sama sekali untuk melakukan silih tanpa izin dari pastor pengakuan dosanya. Perintah ini ia taati – walaupun dengan sedih hati.
Pada suatu hari aku menyadari bahwa ia kelihatan tertekan. “Bapa,” keluhnya, “aku benar-benar bingung. Tuhan mengatakan bahwa apabila aku tidak melakukan silih maka aku tidak dapat pergi ke surga, dan bapa tidak membiarkan aku melakukannya. Akan seperti apakah surgaku nanti?”
“Silih dosa yang Tuhan minta darimu,” jawabku, “adalah ketaatan. Taatlah dan itu sudah cukup.”
“Tetapi tidakkah bapa akan mengizinkanku melakukan sejenis silih?”
“Ya, aku akan memberikan kamu kesempatan untuk silih dengan bersabar terhadap luka-luka, rasa sakit, hawa dingin, kelelahan, angin, hujan, dan semua ketidaknyamanan dari kesehatan yang buruk yang mungkin dikirimkan oleh Tuhan kepadamu.”
“Tetapi semua hal itu memang harus ditanggung olehku!”
“Persembahkanlah semua penderitaanmu kepada Tuhan, dan hal itu akan berubah menjadi kebajikan dan memberimu rahmat.”
Kata-kataku membuatnya merasa lebih baik, dan ia meninggalkanku dengan hati yang tenang.
CATATAN
Theresa Savio, adik bungsu Dominikus, bersaksi demikian selama Proses Apostolik: “Aku ingat ayahku memberitahuku bagaimana usaha Dominikus melakukan silih untuk menguduskan dirinya. Suatu kali ia bercerita kepadaku bahwa ketika Dominikus sedang sakit di rumah, ia memeriksa tempat tidurnya dan menemukannya berisi batu sehingga istirahatnya tidak nyaman. Hal ini diceritakannya kepadaku karena aku telah mengeluh bahwa tempat tidurku terlalu keras.”
Pastor Francis Cerruti, seorang Salesian dan teman sekolah Savio, menulis: “Segera setelah Dominikus meninggal, Don Bosco menceritakan kepada kami bagaimana Dominikus, dalam semangat silihnya, pernah menaruh jarinya di atas sebuah lilin selama satu kali Salam Maria, dan kemudian ia pingsan karena rasa sakit. Don Bosco memarahinya karena hal itu. Lalu kepada kita, Don Bosco berkata, “Jangan pernah melakukan hal-hal seperti itu tanpa izin superiormu.”
Dalam kebersamaannya yang pendek dengan Francis Besucco, salah seorang muridnya yang kudus, Don Bosco berbicara sedikit tentang anak itu: “Ketika cinta Ilahi menguasai hati, maka ia tidak akan terganggu oleh penderitaan-penderitaan, dan setiap rasa sakit yang ringan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kebahagiaan. Di dalam hati halus seorang anak kecil muncul pikiran mulia bahwa ia menderita untuk tujuan yang lebih besar, dan hadiahnya yang sangat mulia tersedia sebagai ganti penderitaan dalam hidup di dunia ini.” Betapa mirip hal ini dengan pesan dari Bunda Maria dari Fatima kepada tiga anak kecil: “Maukah kalian mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan untuk Tuhan dan menerima semua penderitaan yang akan Ia kirimkan kepadamu untuk memperbaiki dosa-dosa yang tak terhitung banyaknya yang menyinggung kemuliaan-Nya? Maukah kalian menderita untuk memperoleh pertobatan para pendosa, untuk menebus hujatan-hujatan mereka kepada Tuhan, dan juga penghinaan-penghinaan yang telah dilakukan melawan Hati Bunda Maria yang Tak Bernoda?”
Semangat silih yang begitu mengagumkan di dalam hati Dominikus bukanlah untuk menebus dosanya, walaupun ia melakukannya dengan maksud ini, tetapi terlebih lagi ditujukan untuk mempertahankan kemurniannya. Maka, hal itu adalah seperti yang dilakukan St. Aloysius, sebuah silih “preventif” – silih yang mendirikan sebuah tembok pertahanan di sekeliling dirinya untuk menahan serangan-serangan dari musuh spiritual.
BAB 16
Kemurnian Hati
Dominikus mempunyai kesopanan yang alamiah sehingga seseorang mungkin sampai berpikir bahwa Tuhan telah menciptakannya dengan sifat itu. Namun, guru-guru dan teman-teman dekatnya mengetahui bahwa kesopanannya itu merupakan hasil dari usaha kerasnya dengan dibantu oleh Rahmat Tuhan. Ia harus keras terhadap dirinya sendiri untuk mengontrol matanya, karena ia biasanya cepat memperhatikan segala sesuatu. Ia memberitahukan seorang temannya, “Waktu aku pertama kali memutuskan untuk menguasai mataku, aku merasa bahwa hal ini sangat melelahkan. Terkadang aku merasakan sakit kepala yang parah.” Namun ia berhasil menguasai matanya dengan sempurna, sehingga mereka yang mengenalnya mengaku tidak pernah melihatnya bahkan hanya melirik ke suatu hal yang tidak pantas.
“Mata adalah dua jendela yang dapat kita biarkan dilewati oleh apa saja,” katanya. “Kita dapat membiarkan malaikat atau setan melewatinya untuk mengontrol hati kita.”
Suatu hari, seseorang asing membawa ke lapangan bermain kami majalah-majalah yang memuat gambar-gambar yang tidak pantas dan tidak religius. Sekelompok anak muda berkumpul untuk melihat gambar-gambar kartun itu, yang dapat membuat siapapun merasa malu. Dominikus juga, berpikir bahwa ada sesuatu yang menarik, berlari kesana untuk melihat. Ketika ia melihat apa yang sedang mereka pelototi, ia langsung berhenti, lalu merebut majalah itu, dan sambil tersenyum sinis, merobeknya berkali-kali. Kerumunan anak-anak itu menjadi hening karena terkejut.
“Betapa bodohnya kita! Tuhan memberikan kita mata untuk melihat keindahannya, dan kalian menggunakannya untuk melihat hal yang kotor ini, yang dibuat oleh orang-orang jahat untuk merusak jiwa kalian. Apakah kalian lupa dengan semua yang telah kalian pelajari? Tuhan kita berkata, kita dapat mengotori jiwa kita dengan sekejap pandangan jahat, dan kalian malah terus saja menatap barang-barang kotor ini.”
“Kami hanya menertawakan gambarnya,” seseorang beralasan.
“Tentu, tertawalah!” jawab Dominikus. “Tertawakanlah diri kalian sampai masuk ke neraka! Apakah kalian pikir kalian masih dapat tertawa ketika sampai di sana?”
“Tetapi aku tidak melihat sesuatu apapun yang salah dengan gambar-gambar ini,” kata seseorang berkeberatan.
“Buruk untukmu,” jawab Dominikus. “Jika kau tidak dapat melihat apa yang salah dengan barang yang kotor ini, itu berarti matamu terbiasa melihatnya. Tetapi hal itu bukanlah sebuah alasan. Ayub yang malang! Kau adalah orang tua yang kudus, yang mengalami banyak penderitaan, dan kau tetap bersepakat dengan matamu untuk tidak melihat sesuatu yang memalukan!”
Hal ini membuat mereka diam. Tidak ada seorang pun yang berani menjawab atau menentang Dominikus.
Selain mengontrol matanya, Dominikus juga mengontrol lidahnya. Ketika yang lain sedang berbicara, benar ataupun salah, ia tetap diam, bahkan ia sering berhenti sebelum bicaranya selesai untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Guru-guru dan para superiornya setuju bahwa mereka tidak pernah memarahi Dominikus karena berbicara di dalam kelas, ruang belajar atau gereja. Bahkan jika ada yang mengganggu atau mengejeknya, ia tetap mengontrol dirinya dan tidak mengatakan apapun.
Suatu hari ia memperingatkan seorang anak laki-laki tentang sebuah kebiasaannya yang buruk. Bukannya menerimanya dengan baik, ia malah bersikap kasar dan bengis. Ia berteriak dan memukul serta menendangnya. Dominikus dapat dengan mudah membalasnya karena ia lebih besar dan kuat, tetapi ia memilih pembalasan seorang Kristiani. Dengan wajah yang terbakar dengan kemarahan, ia memeriksa keadaan dirinya sendiri dan hanya berkata, “Apa yang telah kau lakukan adalah sangat salah, tapi aku memaafkanmu. Hanya janganlah kau memperlakukan orang lain seperti ini!”
Apakah yang harus aku katakan lagi tentang mati raga Dominikus yang lain? Aku hanya akan membatasi diri dengan beberapa peristiwa. Di musim dingin, ia menderita gatal-gatal di tangannya. Namun, tidak peduli betapapun sakitnya dia, kami tidak pernah mendengarnya mengeluh. Ia bahkan terlihat menyukainya. “Lebih parah rasa sakit itu, lebih baiklah untuk kesehatanku,” katanya, yang ia maksudkan adalah kesehatan jiwanya.
Teman-teman sekolahnya mengingat betapa lambatnya ia berjalan ke sekolah di musim dingin, supaya ia dapat merasakan hawa dingin dan mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan silih. Seorang anak berkata, “Beberapa kali aku melihatnya, dalam dinginnya musim dingin, melukai dirinya sendiri dengan jarum atau pulpen, agar luka-luka itu membuatnya lebih mirip dengan Tuhan kita.”
Di dalam kelompok anak-anak muda di manapun, kau akan menemukan mereka yang tidak pernah puas. Mereka mengeluh tentang pelayanan-pelayanan di Gereja dan peraturan-peraturan sekolah, mereka tidak menyukai jumlah jam tidur, dan mengeluh tentang makanan. Mereka selalu mempunyai sesuatu untuk dikeluhkan dan terus menerus membuat pusing para superior mereka. Kelakuan buruk mereka ini menular dan dapat merusak seluruh sekolah. Dominikus benar-benar kebalikan dari mereka. Ia tidak pernah mengeluh tentang cuaca. Panas atau dingin, ia selalu sama gembiranya. Ia makan apa yang disediakan pada waktu makan, menyangkal dirinya dengan diam. Ketika yang lainnya menggerutu atas makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin atau keasinan, ia akan berkata bahwa makanan itu cocok saja untuknya. Ia terbiasa untuk tetap tinggal di ruang makan setelah yang lainnya keluar, untuk memungut remah-remah roti, bahkan dari lantai. Kemudian, ia akan memakannya. Ketika seorang anak laki-laki terkejut melihat hal ini, Dominikus membuat sebuah lelucon untuk menutupi rasa malunya, “Dengan jalan ini aku tidak usah mematahkan gulungan rotiku. Rotinya sudah hancur untukku dan lebih mudah untuk dikunyah!”
Ia makan setiap makanan yang disediakan untuknya sampai habis, namun bukan karena rakus, karena ia sering memberikan bagian makanannya kepada orang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya mengapa ia memungut sisa-sisa makanan untuk dimakan. Apakah ia tidak berpikir bahwa hal itu menjijikkan?
“Semua yang kita punyai,” jawabnya, “adalah ciptaan Tuhan. Setelah rahmat-Nya, pemberian terbaik yang diberikan Tuhan kepada kita adalah makanan untuk menjaga kita tetap hidup. Setiap sisa makanan yang terakhir patutlah disyukuri dan dipergunakan sebaik mungkin.”
Ia tidak keberatan untuk menyemir sepatu teman-temannya, menyikat pakaian mereka, menyapu kamar-kamar, dan melakukan pelayanan-pelayanan kecil untuk orang sakit. “Setiap orang melakukan bagian kerjanya masing-masing,” katanya. “Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang besar, tetapi apa yang aku lakukan adalah untuk kemuliaan Tuhan. Aku berharap Ia akan melihatnya seperti itu dalam kemurahan hati-Nya yang tak terbatas.”
Maka jadilah seperti itu, makan apa yang tidak ia suka dan mengorbankan kegiatan-kegiatan yang ia lakukan, menjaga matanya sepanjang waktu, tidak menghiraukan bau yang tidak enak, menolak keinginannya sendiri, dengan sabar menanggung segala penderitaan fisik dan spiritual, Dominikus melakukan silih sepanjang hari dan setiap hari dalam hidupnya. Aku tidak akan menuliskan kejadian-kejadian yang sejenis dengan hal ini, yang menunjukkan betapa besar keinginannya untuk melakukan silih, karya kasih, dan penyangkalan diri atas semua inderanya dan bagaimana ia memakai setiap kesempatan untuk bermati raga, bahkan dalam hal-hal yang biasa, untuk menguduskan dirinya supaya menjadi lebih pantas di hadapan Tuhan.
CATATAN
Tidak diragukan lagi bahwa dasar dari kesucian Dominikus yang luar biasa adalah kemurniannya, dan bahwa ia telah diberikan kepada anak muda zaman modern sebagai sebuah inspirasi kesucian untuk diikuti. Beberapa kesaksian atas kemurniannya yang seperti malaikat diberikan oleh mereka yang mengenalnya dan tinggal bersamanya:
Pastor Francis Cerruti bersaksi: “Dominikus adalah seorang malaikat dalam wujud manusia. Ini selalu menjadi keyakinanku dari pertama kali aku melihatnya. Aku tidak pernah melihatnya melakukan sesuatu yang dapat dianggap tidak murni atau tidak sopan dari segala segi. Ia sangat murni dalam semua kata-kata dan tindakan-tindakannya. Adalah keyakinan pribadiku bahwa ia pergi ke surga dengan kemurnian pembaptisannya.”
Pastor Michael Rua: “Dominikus tidak menghindarkan dirinya dengan alasan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam menghindari kesempatan dosa. Dalam kenyataannya, meskipun ia pergi bersama dengan beberapa anak nakal di Oratori, ia selalu memastikan bahwa mereka menghormatinya dan tidak seorang pun akan menunjukkan suatu hal yang tidak suci dalam setiap kehadirannya.”
Kardinal Yohanes Cagliero: “Kami yang menjadi teman Dominikus selalu menemukannya sangat berhati-hati dalam segala hal yang menyangkut kemurnian. Aku seringkali melihatnya berganti pakaian di ruang tidur asrama, dan ia melakukannya dengan sangat sopan dan sederhana sehingga ia membuat kagum semua temannya. Kenyataannya, beberapa anak laki-laki yang sembrono dalam hal berpakaian belajar bagaimana menjadi lebih sopan dengan memperhatikannya. Kehadirannya saja sudah merupakan pelindung kekudusan bagi mereka yang berada di dekatnya.
Beato Michael Rua menulis: “Dalam hal istirahat, Dominikus menurut; ia tidak diizinkan untuk tidur terlambat atau bangun sebelum yang lainnya. Ia tidak mencari hal-hal yang nyaman. Bahkan, ia harus diingatkan untuk melindungi dirinya sendiri dari udara dingin, karena biarpun pada pertengahan musim dingin, tempat tidurnya tidak memakai selimut, hanya ada seprei bawah dan atas. Aku tidak bisa memastikan apakah penyangkalan diri dalam hal istirahat ini memperparah sakitnya, tetapi jelas bahwa hanya ketaatan sajalah yang menahan hasratnya untuk menderita.”
Salah satu teman sekolah Dominikus menceritakan kembali: “Di satu pagi pada musim dingin, Dominikus pergi ke sekolah sendirian, pergi mendahului yang lain. Aku dan seorang teman tepat berada di belakangnya. Pagi itu sangatlah dingin sehingga, aku ingat, aku hampir menangis. Selagi kami bergegas untuk cepat sampai ke sekolah, Dominikus tampak tidak memperhatikan waktu, bahkan ia seperti berjalan santai. Sangatlah mudah dilihat bahwa ia berjalan dengan lambat agar dapat menderita karena udara dingin untuk cintanya pada bayi Yesus, karena Natal hanya tinggal beberapa hari lagi.”
BAB 17
Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda
Keseluruhan hidup Dominikus mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah aksi devosi yang berkepanjangan kepada Bunda kita. Ia tidak pernah melepaskan satu kesempatan pun untuk mempersembahkan penghormatankepada Bunda Maria. Pada tahun 1854, Paus yang berkuasa, Pius IX, menyatakan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda. Dominikus ingin sekali memberikan kepada Oratori sebuah peringatan yang hidup dan dapat terus bertahan, sebagai peringatan atas gelar mulia yang diberikan oleh Gereja untuk Ratu Surga.
“Aku ingin melakukan sesuatu sebagai penghormatan untuk Bunda kita,” katanya, “tapi aku harus melakukannya segera, atau aku tidak akan mempunyai waktu lagi.”
Karena ia sangat mempedulikan keselamatan jiwa teman-temannya, ia memanggil beberapa teman baiknya dan mengusulkan untuk membentuk sebuah kelompok bernama “Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda”. Kelompok itu bertujuan untuk mendapatkan pertolongan dari Bunda Allah dalam hidup dan pada saat kematian. Untuk mencapai tujuan ini, ia mengusulkan dua sarana: dengan mempraktik kan dan menyebarkan praktik devosi kepada Bunda Maria, dan dengan seringkali menerima komuni suci. Dengan persetujuan mereka, ia menyusun sejumlah peraturan, di mana, setelah beberapa saat yang mendebarkan, ia membacanya bersama mereka, sambil bersujud di depan altar Bunda kita, tanggal 8 Juni 1856, hanya sembilan bulan sebelum kematiannya. Aku menuliskannya di sini :
Hari kedelapan bulan Juni, 1856
Untuk memperoleh perlindungan dari yang terkudus Perawan Tak Bernoda dalam hidup dan pada saat kematian :
- berkeinginan untuk mempersembahkan diri kita sepenuhnya untuk melayani-Nya
- diperkuat oleh pengakuan dosa dan komuni
- bertekad untuk mempraktik kan devosi yang tak kenal lelah dan penuh cinta
seorang anak kepada Bunda kita
Dengan izin dari pemimpin rohani kita:
Kita berjanji dengan kesanggupan terbaik kami untuk meniru Aloysius Comollo.
Kita beresolusi :
Untuk menaati peraturan rumah dengan tegas.
Untuk membantu teman-teman sekolah kita dengan nasihat-nasihat dan
perkataan yang baik, khususnya dengan teladan yang baik.
Untuk menggunakan waktu kita dengan sebaik-baiknya.
Untuk memastikan ketekunan kita sendiri, kita akan mempraktik kan peraturan-peraturan di bawah ini, yang kita serahkan pada pertimbangan direktur kita:
Peraturan kita yang pertama adalah ketaatan yang penuh kepada para superior, yang kepadanya kita menaruh kepercayaan penuh.
Perhatian kita yang pertama adalah pelaksanaan kewajiban kita.
Cinta kasih persaudaran akan menjaga kita tetap bersama, menolong kita mencintai semua saudara kita sama rata; kita akan memberikan mereka nasihat jika kita berpikir bahwa hal itu perlu.
Setiap minggu, kita akan mengadakan pertemuan selama setengah jam. Setelah berdoa pada Roh Kudus, kita akan mendengarkan sebuah bacaan rohani singkat, dan kita akan mendiskusikan kemajuan perkumpulan kita dalam hal kebajikan dan doa.
Kita akan saling mengingatkan secara pribadi satu sama lain akan kesalahan-kesalahan yang harus dikoreksi.
Kita akan mencoba untuk menghindari rasa tidak nyaman di antara kita; kita akan sabar kepada teman-teman kita dan mereka yang menjengkelkan kita.
Tidak ada doa khusus yang diwajibkan. Setelah menyelesaikan tugas-tugas, masing-masing dari kita akan mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan jiwanya.
Kita memilih beberapa hal untuk dipraktikkan: menerima sakramen-sakramen sebanyak yang diizinkan; Komuni pada hari Minggu dan hari-hari pesta Gereja, selama novena dan pesta Bunda kita dan hari peringatan pelindung Oratori kita; setiap hari Kamis, kecuali kalau ada tugas-tugas penting yang menghalangi kita.
Kita akan berdoa untuk perkumpulan kita setiap hari, teristimewa selama rosario,
meminta Bunda Maria untuk memberikan ketekunan.
Kita akan menguduskan hari Sabtu untuk Bunda kita melalui beberapa perwujudan dari kesalehan Kristiani untuk menghormati-Nya yang Dikandung Tanpa Noda.
Kita akan menjaga postur tubuh yang baik sepanjang doa dan bacaan rohani, pada saat melayani misa dan di kelas serta di ruang belajar.
Kita akan bersemangat menyimpan Sabda Tuhan sebagai harta dan merenungkan kebenaran yang kita dengar.
Kita tidak akan membuang-buang waktu untuk menjaga diri kita dari godaan-godaan yang disebabkan oleh kemalasan; oleh sebab itu;
Setelah melakukan tugas-tugas pribadi, kita akan memakai waktu bebas kita untuk melakukan sesuatu yang berguna, seperti membaca buku yang baik dan berdoa.
Rekreasi dianjurkan atau setidaknya diizinkan setelah makan siang, kelas, atau jam belajar.
Kita akan memberitahu para superior kita hal-hal yang dapat membantu tingkah laku moral kita.
Kita akan menggunakan dengan seminimal mungkin izin-izin yang diberikan kepada kita oleh kebaikan para superior, karena kita bertujuan untuk menjaga peraturan-peraturan rumah dengan ketat, dan mereka terlalu sering dilanggar lewat penyalahgunaan izin.
Kita akan makan makanan yang disediakan bagi kita tanpa mengeluh dan menjaga yang lain agar tidak menggerutu.
Calon untuk perkumpulan ini harus pertama-tama membersihkan dirinya sendiri dengan pengakuan dosa dan pergi menerima komuni. Mereka akan berada dalam masa percobaan selama seminggu, membaca peraturan-peraturan dengan sungguh-sungguh dan teliti, dan berjanji kepada Tuhan dan Maria yang Dikandung Tanpa Noda untuk taat kepada Mereka.
Pada hari pelantikan, semua anggota akan menerima komuni dan berdoa semoga Tuhan menganugerahi para calon dengan ketekunan, ketaatan dan cinta Ilahi.
Perkumpulan ini dipersembahkan kepada Maria yang Dikandung Tanpa Noda yang nama-Nya kita sembah dan medali-Nya kita pakai. Kepercayaan yang tulus, seperti pada diri seorang anak, dan yang tidak terbatas kepada Bunda Maria akan membantu kita untuk melewati semua cobaan, menguatkan kita dalam resolusi-resolusi kita, membuat kita keras terhadap diri kita sendiri tetapi baik hati kepada orang lain, tidak terkecuali dalam semua hal.
Terakhir, kita menasihati semua anggota untuk menulis nama Maria pertama-tama dalam hati dan pikiran mereka, kemudian di dalam buku dan benda-benda yang mereka gunakan setiap hari.
Kita meminta direktur kita untuk membaca peraturan-peraturan ini dan menyetujuinya, dengan meyakinkannya akan kepercayaan penuh kita atas keputusannya. Ia dapat membuat koreksi-koreksi yang ia pikir baik.
Semoga Bunda Maria memberkati usaha kita, karena ide pendirian perkumpulan ini berasal dari-Nya. Semoga Ia menyetujui usaha kita dan memberkati keinginan kita. Terlindung oleh mantel-Nya dan dikuatkan oleh pertolongan-Nya, kita tidak akan takut terhadap badai di lautan ketidaksetiaan ini dan kita akan memukul mundur serangan-serangan musuh kita dari neraka. Dengan bantuan-Nya, kita akan menyemangati teman-teman sekolah kita, menghibur para superior kita, dan menjadi anak-anak yang mencintai Bunda mereka yang baik. Jika Tuhan memberi kita berkat dan kesempatan untuk melayani-Nya sebagai seorang pastor, kita akan menggunakan seluruh kekuatan kita untuk melayani-Nya dengan semangat yang terbesar. Tidak bergantung pada diri kita sendiri namun berpasrah sepenuhnya kepada pertolongan Tuhan, kita berharap, setelah pembuangan di dunia ini, dengan dihibur oleh Bunda Maria pada saat terakhir kita, kita akan dengan aman memperoleh hadiah yang telah disiapkan oleh Tuhan untuk mereka yang melayani-Nya dalam roh dan kebenaran.
Setelah membaca dan memeriksa seluruh peraturan ini, aku menyetujuinya dengan beberapa kondisi di bawah ini :
Janji ini tidak mengikat seperti sumpah.
Mereka tidak mengikat dengan hukuman dosa.
Dalam pertemuan-pertemuan, beberapa perbuatan baik akan diusulkan kepada para anggota, seperti membersihkan Gereja atau mengajar katekismus pada anak yang membutuhkan.
Minggu-minggunya harus dibagi agar setiap pagi ada setidaknya satu orang yang menerima komuni.
Tidak ada praktik religius yang ditambahkan tanpa izin superior.
Tujuan utama kelompok ini adalah menyebarkan devosi pada Maria Tak Bernoda dan kepada Sakramen Maha Kudus.
Sebelum seseorang menjadi anggota ia harus membaca biografi Aloysius Comollo.
CATATAN
Aloysius Comollo yang disebutkan dalam bab ini adalah seorang teman seminari Don Bosco. Meskipun ia sering sakit-sakitan, kekuatan kemauan dan kebajikannya meninggalkan kesan yang mendalam pada semua yang mengenalnya. Ia dan Don Bosco adalah sahabat yang sangat dekat. Aloysius meninggal sewaktu ia sedang belajar di seminari. Menjelang kematiannya, ia berjanji kepada Don Bosco bahwa ia akan kembali dan memberitahunya jika ia telah diselamatkan. Beberapa hari setelah pemakaman, di tengah malam, dormitori bergoyang sangat keras karena angin topan, dengan suara gemuruh yang menakutkan, di tengah sinar yang menyilaukan, Yohanes mendengar suara Comollo dengan jelas yang berkata tiga kali, “Bosco, aku telah diselamatkan!”
Don Bosco tidak pernah melepaskan persahabatan pada teman remajanya itu, kenangannya terus dipertahankan di Oratori lewat biografi singkat yang ia tulis sendiri, berjudul: “Aloysius Comollo.”
Dalam suatu catatan kaki, Don Bosco menyebutkan bahwa ada seorang anak laki-laki yang membantu Dominikus menulis peraturan-peraturan untuk Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda, yaitu Joseph Bongioanni, sahabatnya, yang datang ke Oratori pada tahun 1854. Joseph adalah seorang pemuda yang sangat religius, yang kemudian menjadi pastor Salesian dan jelas terlihat dalam kehidupannya semangat doa dan devosinya kepada Ratu kita, juga merupakan pendiri Perkumpulan Sakramen Yang Maha Kudus. Dia meninggal tahun 1868, ambruk karena kelelahan setelah menghabiskan seluruh tenaganya untuk pembangunan Basilika Maria Penolong Umat Kristiani di Turin, yang didedikasikan dan dikuduskan untuk Bunda kita.
BAB 18
Dominikus dan Camillo Gavio
Setiap orang menyukai Dominikus. Mereka yang bukan teman dekatnya sekalipun menghormatinya karena kebajikan-kebajikannya. Ia mengetahui bagaimana cara bergaul dengan semua orang. Kebajikannya berakar sangat kokoh, yang membuat superiornya menganjurkan agar ia pergi dengan anak-anak yang paling nakal dan mencoba untuk memperbaiki kelakuan mereka. Dominikus melakukan hal itu dan menggunakan permainan-permainan dan waktu bermainnya dengan sangat baik. Tetapi teman-temannya yang sesungguhnya adalah para anggota Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda, yang ia temui seminggu sekali untuk diskusi rohani atau berdoa. Pertemuan ini, yang disetujui oleh para superior, dijalankan oleh anggota-anggotanya sendiri. Mereka mendiskusikan pelayanan novena untuk perayaan- perayaan penting dan mengatur jadwal penerimaan komuni sepanjang minggu untuk para anggota. Beberapa anggota dipercayai untuk mendampingi anak-anak Oratori yang membutuhkan bimbingan moral yang khusus; ia harus menjadi teman bagi anak itu dan menunjukkan kasihnya dengan sebaik-baiknya untuk membuatnya mau memperbaiki dirinya sendiri. Dominikus Savio adalah jiwa dari pertemuan-pertemuan ini dan memberikan pengarahan dengan keyakinan seorang ahli.
Aku dapat menyebutkan nama beberapa anggota Perkumpulan yang sangat dekat dengan Dominikus, tetapi karena mereka masih hidup dan aku tidak ingin mempermalukan mereka, aku hanya akan menyebutkan nama dua orang anak, kedua-duanya telah dipanggil Tuhan ke rumah abadi mereka – Camillo Gavio dan Yohanes Massaglia.
Gavio hanya tinggal dua bulan bersama kami, tetapi itu sudah cukup baginya untuk meninggalkan kesan yang mendalam di Oratori. Karena kesalehannya yang menonjol dan bakatnya yang luar biasa dalam melukis dan memahat patung, ia dikirim oleh dewan kota Tortona, di mana ia tinggal, ke Turin untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar tentang seni. Ketika ia sampai di Oratori, ia baru saja sembuh dari sakit keras dan mungkin karena ia masih dalam tahap pemulihan kesehatan dan agak rindu akan rumah serta tidak kenal dengan anak-anak yang lain, ia biasanya berdiri sendirian sepanjang waktu rekreasi, seperti hanyut dalam pikirannya sendiri. Dominikus melihatnya, menghampirinya untuk menghiburnya, dan membuka percakapan di bawah ini:
“Hai! Apakah kau tidak mengenal seorang pun di sini?”
“Tidak, tapi aku senang melihat mereka semua bergembira.”
“Siapa namamu?”
“Camillo Gavio. Aku dari Tortona.”
“Berapa umurmu?”
“15 tahun.”
“Kau tidak terlihat ceria. Apakah kau baru sembuh dari sakit?”
“Ya, sakit yang sangat parah. Aku terserang demam rematik yang hampir merenggut nyawaku, dan aku belum pulih sepenuhnya.”
“Kau ingin menjadi sehat, ya kan?”
“Tidak juga. Aku hanya ingin melakukan kehendak Tuhan.”
Kata-kata terakhir ini meyakinkan Dominikus akan kesalehan luar biasa anak itu, dan ia sangat gembira. Dengan kepercayaan diri, Dominikus menjawab, “Seseorang yang ingin melakukan kehendak Tuhan pasti ingin menguduskan dirinya. Itukah yang kau inginkan?”
“Ya, aku sangat menginginkannya.”
“Bagus. Anggota kita bertambah. Kau akan bergabung dengan Perkumpulan kami untuk melakukan semua yang kita bisa untuk menjadi kudus.”
“Dengan senang hati! Apa yang harus aku lakukan?”
“Mudah saja. Di sini kita membuat kekudusan terdiri dari kegembiraan. Kecemasan kita satu-satunya adalah menghindari dosa yang merupakan musuh terbesar jiwa kita, yang mengambil kedamaian dan berkat Tuhan dari hati kita. Kita mencoba untuk melakukan kewajiban-kewajiban kita dengan baik dan dengan rela berdoa. Kau dapat memulainya sekarang dan memakai slogan ini: Melayani Tuhan dalam Kegembiraan Kudus!”
Gavio merasakan kata-kata ini datang kepadanya seperti obat yang menyembuhkan luka-lukanya. Mulai hari itu, ia menjadi teman setia Dominikus dan meniru kebajikan-kebajikannya. Tetapi, penyakit yang pernah hampir membawanya ke liang kubur menyerangnya lagi, dan meskipun ia menerima banyak perhatian dari para dokter dan teman-temannya, kondisinya memburuk dengan cepat. Dalam waktu dua bulan, setelah menerima sakramen-sakramen dengan devosi yang besar, ia meninggal tanggal 29 Desember 1856.
Dominikus sering mengunjunginya waktu sakit dan menawarkan diri untuk melewatkan malam bersamanya, tetapi ia tidak diizinkan. Ketika Dominikus diberitahu tentang kematian Gavio, ia meminta untuk melihat jenazahnya. “Selamat tinggal, Gavio,” ia berbisik, sangat berduka cita atas kematian temannya. “Aku tahu kau sudah berada di surga. Siapkanlah tempat untukku. Aku akan tetap menjadi temanmu, dan selama Tuhan memberikanku kehidupan, aku akan berdoa untuk istirahat kekal jiwamu.”
Kemudian ia membacakan ibadat kematian dengan teman-temannya dalam kamar Gavio. Doa-doa yang lain terus diucapkan sepanjang hari itu. Dominikus mempersembahkan banyak komuninya untuk mendiang temannya dan mengajak yang lain untuk melakukan yang sama.
“Kita tidak boleh melupakan teman kita,” katanya kepada anak-anak yang lain. “Aku berharap ia sekarang menikmati kemuliaan di surga, tetapi kita harus berdoa untuk jiwanya. Apa yang kita lakukan untuknya sekarang, akan dilakukan orang lain bagi kita suatu hari nanti karena perintah Tuhan.”
CATATAN
Sebuah contoh semangat Dominikus dan hasil kerja Perkumpulan ini telah diceritakan kepada kita oleh seorang anggota. Dominikus sangat menginginkan agar semua anak Oratori pergi menerima komuni pada Misa tengah malam saat Malam Natal tahun 1856. Perkumpulan menerima usulnya dan menyetujui untuk mengusahakannya. Setiap anak diberi daftar teman-teman yang harus diajak untuk pergi ke pengakuan dosa dan menerima komuni. Dominikus sangat cerdik dan berhasil, sehingga semua anggota yang lain mengikuti contohnya, dan Natal itu menjadi Natal yang paling indah untuk mereka semua.
Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda merupakan pusat kegiatan Dominikus Savio; melalui perkumpulan ini dan para anggotanya, ia melakukan kerasulan yang giat di antara semua anak Don Bosco, baik anak-anak asrama maupun Oratori. Pertemuan diadakan setiap minggu, dimana Dominikus hadir, tetapi, seperti yang dikatakan Yohanes Cagliero, seorang anggota, “Kerendahan hatinya membuat dirinya tetap tinggal di belakang layar dan kadang-kadang kehadirannya tidak disadari sama sekali.” Namun, Dominikus akan berbicara kalau ia merasa bahwa hal itu perlu. “Ketika ada sesuatu yang berhubungan dengan kemuliaan Tuhan atau kebaikan teman-teman sekolahnya,” tulis Yohanes Bonetti, seorang anggota juga, “Dominikus tentu saja bukan yang terakhir untuk memberikan sumbangannya. Ia akan berdiri dan berbicara seperti seorang pemimpin.”
BAB 19
Dominikus dan Yohanes Massaglia
Dominikus lebih akrab dengan Yohanes Massaglia daripada dengan teman-temannya yang lain, dan persahabatan mereka berlangsung paling lama. Yohanes berasal dari Marmorito, tidak jauh dari rumah Dominikus di Mondonio. Mereka tinggal di Oratori pada saat yang sama, mereka berasal dari kota yang bertetangga, mereka berniat menjadi pastor dan mereka berkeinginan untuk menjadi kudus.
“Hanya berbicara tentang menjadi seorang pastor tidaklah cukup,” kata Dominikus kepada Yohanes suatu hari. “Kita harus berusaha memperoleh kebajikan-kebajikan yang dibutuhkan oleh seorang pastor.”
“Aku tahu,” balas Yohanes, “tetapi jika kita berusaha sebaik mungkin, Tuhan tentu akan memberi kita kekuatan dan rahmat sehingga kita pantas menerima anugerah menjadi imam-imam Yesus.”
Menjelang Paskah, kedua anak ini mengikuti retret spiritual yang khusuk bersama dengan seluruh anak-anak Oratori. Ketika retret usai, Dominikus berkata kepada Yohanes, “Kita harus menjadi teman baik, kau dan aku, teman baik untuk jiwa kita masing-masing. Kau menjadi pengawasku dan aku akan menjadi pengawasmu, sehingga kita dapat saling menolong satu sama lain secara spiritual. Jika kau melihatku melakukan sesuatu yang kurang baik, dan mengetahui suatu hal baik yang seharusnya kulakukan, beritahukanlah aku.
“Aku setuju,” jawab Yohanes, “walaupun kau tidak membutuhkan koreksi sepertiku. Kau akan mempunyai banyak hal untuk dikatakan kepadaku karena aku memiliki lebih banyak masalah daripada engkau di dalam kehidupan sekolahku.”
“Mengesampingkan pujian-pujian,” Dominikus menanggapi, “marilah kita saling membantu satu sama lain di dalam kehidupan spiritual kita.”
Sejak hari itu, Dominikus dan Yohanes menjadi teman yang akrab. Persahabatan mereka sangat kuat karena berakar pada kebajikan. Ada suatu persaingan kudus di antara mereka untuk menjaga satu sama lain dari dosa, dan melakukan kebaikan dengan saling menasihati dan teladan yang baik.
Setelah ujian di akhir tahun ajaran, para siswa diizinkan untuk pulang mengunjungi orang tua atau saudara mereka saat liburan, tetapi beberapa di antara mereka, supaya tetap berkonsentrasi dalam pelajaran dan tekun dalam doa, meminta untuk tetap tinggal di Oratori. Dominikus dan Yohanes adalah dua di antara mereka. Bagaimanapun, karena aku tahu bagaimana mereka begitu ditunggu di rumah dan keduanya membutuhkan istirahat untuk meningkatkan kesehatan mereka, aku bertanya mengapa mereka tidak ingin pulang. Jawaban yang aku dapatkan hanyalah sebuah senyuman.
“Apa arti senyuman itu?” tanyaku.
Dominikus menjawab, “Kami tahu bahwa orang tua kami sangat ingin bertemu kami, dan kami mencintai mereka dan akan senang untuk pulang, tetapi kami juga mengetahui bahwa selama seekor burung berada dalam sangkar tidaklah ada kebebasan, tetapi burung itu terlindung dari burung elang. Keluar dari sangkar itu, burung itu dapat terbang kemana saja, tapi dapat juga jatuh ke dalam perangkap neraka!”
Bagaimanapun juga, aku tetap menilai bahwa akanlah lebih baik untuk kesehatan mereka jika aku mengirim mereka berdua pulang ke rumah untuk beberapa hari. Mereka pergi hanya untuk menaati aku dan segera kembali setelah beberapa hari.
Jika aku harus menulis kebajikan-kebajikan Yohanes Massaglia, aku hanya akan mengulangi apa yang telah aku katakan tentang Dominikus, yang ia tiru dengan setia sepanjang hidupnya. Ia mempunyai kesehatan yang baik dan juga unggul dalam pelajaran-pelajaran di sekolah. Setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, ia mengikuti tes masuk seminari dan lulus, tetapi jubah frater yang sangat ia banggakan hanya akan menjadi miliknya untuk beberapa bulan saja. Ia beristirahat di tempat tidur karena sakit perut yang kelihatannya hanya diakibatkan oleh flu yang parah. Untuk mengistirahatkannya dari buku-bukunya, yang tidak dapat dipisahkan darinya, dan untuk memungkinkan kesembuhan total, orang tuanya membawanya pulang ke rumah. Di sana ia menulis surat kepada temannya, Dominikus, sebagai berikut :
Temanku yang terkasih,
Aku yakin hanya akan berada di rumah untuk beberapa saat saja, maka aku meninggalkan buku-buku dan alat-alat tulisku di Oratori. Tetapi penyakitku tampaknya lebih parah daripada yang kuperkirakan, dan kesembuhan tampaknya sulit terjadi. Dokter mengatakan bahwa kondisiku membaik, tetapi aku merasa semakin buruk. Kita akan segera melihat siapa yang benar. Dom, jika saja kau tahu betapa aku merasa jauh dari dirimu dan Oratori. Di sini aku tidak dapat melaksanakan devosi-devosi rohaniku. Satu hal yang menghibur aku adalah mengingat hari-hari dimana kita menyiapkan diri untuk menerima komuni dan menerimanya bersama.
Aku mengharapkan, walaupun secara fisik kita berpisah, kita masih bersama dalam roh.
Tolong buka lokerku di ruang studi. Di sana, kau akan menemukan kertas-kertasku dan buku Mengikuti Jejak Kristus. Kirimkan semuanya kepadaku. Tetapi pastikan buku Mengikuti Jejak Kristus itu dalam bahasa latin, karena, walaupun aku menyukai buku terjemahannya, aku lebih menikmati buku aslinya yang berbahasa latin.
Aku lelah tidak melakukan apa-apa. Tetapi para dokter tidak memperbolehkanku belajar. Aku berkeliling di kamar tidurku, dan berkata, “Akankah aku sembuh? Akankah aku dapat melihat teman-temanku lagi? Akankah ini menjadi sakitku yang terakhir?” Hanya Tuhan yang mengetahui semua ini, tetapi aku merasa siap melaksanakan kehendak Tuhan yang kudus dan kucintai dalam ketiga pertanyaan ini.
Jika kau mempunyai berita yang baik untukku, tulislah. Bagaimana dengan kesehatanmu? Ingatlah aku dalam doa-doamu, khususnya dalam komuni-komunimu. Kuatkanlah dirimu! Marilah kita menjadi teman-teman sejati Tuhan. Jika kita tidak dapat menikmati persahabatan kita di sini lebih lama, aku berharap kita akan mampu menikmati persahabatan dalam keabadian.
Sampaikan salamku kepada semua temanku, khususnya kepada para anggota Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda. Semoga Tuhan selalu besertamu, seperti juga aku.
Temanmu terkasih,
Yohanes Massaglia
Dominikus melakukan permintaan temannya, dan beserta barang-barang yang diminta temannya itu, terlampir surat sebagai berikut :
Yohanes yang terkasih,
Aku begitu gembira menerima suratmu. Sekarang aku dapat memastikan bahwa engkau hidup! Setelah engkau pergi, kami tidak mendapat kabar apapun darimu dan tidak yakin apakah kami harus berkata, “Kemuliaan kepada Bapa” karena engkau masih hidup, atau “keluar dari lembah kematian” karena kematianmu.
Kau akan menerima barang-barang yang kau minta. Untuk Thomas A Kempis-mu yang sangat kau sukai, harus kau ingat bahwa ia hanyalah seorang teman yang sudah tiada. Kau harus mencari makna kata-katanya, memikirkannya dan mempraktikkan apa yang ia katakan.
Kau menyesal karena melewatkan kesempatan untuk berdoa bersama di sini. Kau benar. Ketika aku pulang aku merasakan hal yang sama. Aku akan menebusnya dengan mengunjungi Sakramen yang Maha Kudus setiap hari, dengan mencoba untuk membawa seorang teman bersamaku. Selain buku Mengikuti Jejak Kristus, aku biasa membaca “Harta Tersembunyi Dalam Misa” karangan St. Leonardus dari Port Maurice. Lakukanlah hal yang sama jika kau mau.
Kau mengatakan bahwa kau tidak bisa memastikan apakah akan pernah melihat Oratori lagi. Ya, badanku yang lemah ini semakin melemah, dan segalanya menunjukkan bahwa aku akan segera mengakhiri studi dan hidupku. Oleh karena itu, marilah melakukan hal ini – mari kita saling mendoakan untuk kematian yang bahagia. Siapa yang lebih dahulu pergi ke surga akan menyiapkan tempat untuk yang lain dan mengulurkan tangannya untuk menarik temannya masuk ke dalam rumah abadinya.
Tuhan menjaga kita selalu dengan rahmat-Nya dan membantu kita menjadi kudus – dengan cepat! – karena aku merasa waktu kita berdua hampir habis. Semua temanmu menanti kau kembali ke Oratori. Mereka semua menitipkan salam kepadamu dalam nama Tuhan.
Temanmu terkasih,
Dominikus Savio
Penyakit Yohanes Massaglia tidak tampak serius pada awalnya. Bahkan ia sempat pulih beberapa kali, tetapi kesehatannya memburuk lagi setiap kali. Akhirnya, hampir tanpa peringatan, ia meninggal dunia.
“Ia telah memperoleh semua kebaikan dari Iman kita dengan cara yang mengagumkan,” tulis direktur spiritualnya, Pastor Valfre. “Ia meninggal sebagai orang benar dan meninggalkan dunia untuk pergi ke surga.”
Dominikus sangat sedih atas kematian temannya, dan walaupun ia pasrah pada kehendak Tuhan, ia menangis selama beberapa hari. Itulah pertama kalinya aku melihat wajahnya diliputi kesedihan dan air mata. Satu-satunya yang menghiburnya adalah berdoa dan mengajak orang lain berdoa untuknya. Seringkali ia terdengar berkata, “Yohanes yang terkasih, sekarang kau telah pergi. Aku berharap kau sudah bersama Gavio di surga. Kapan aku akan diizinkan untuk bergabung dalam kebahagiaanmu yang tak terbatas di surga?”
Sampai akhir hidupnya, Dominikus mengingat Yohanes di dalam doa-doanya, berkata bahwa ia tidak dapat melayani atau mengikuti misa tanpa menyerahkankan temannya itu kepada Tuhan, teman yang telah berbuat banyak untuknya dalam kehidupan.
Kematian Yohanes Massaglia benar-benar merupakan sebuah pukulan yang hebat bagi jiwa Dominikus yang sensitif, dan kesehatannya mulai memburuk.
CATATAN
Teman Dominikus yang paling dekat, Yohanes Massaglia, umurnya empat tahun lebih tua darinya dan masuk ke Oratori satu tahun lebih awal darinya. Ia adalah seorang pendiam dan mungkin hanya Dominikus yang mampu memahaminya dan mencoba menariknya keluar dari dirinya sendiri. Jika ia tetap hidup, mungkin ia akan menjadi seorang Salesian, karena ia telah berkata bahwa ia ingin tinggal dengan Don Bosco dan menolongnya dalam karyanya. Ia meninggal tanggal 20 Mei 1856.
Kematian lain yang menjadi pukulan yang sangat berat bagi Dominikus terjadi juga di tahun yang sama. Tanggal 25 November 1856, ibu Don Bosco yang terkasih meninggal. Sejak tahun 1846, ia telah menjadi ibu yang kedua untuk anak-anak Oratori, beberapa di antara mereka yatim piatu atau tidak pernah merasakan kasih seorang ibu. Seorang yang bijaksana dan pandai mengamati, ia menghargai kebajikan-kebajikan Dominikus, dan sebaliknya Dominikus suka membantunya melakukan tugas-tugas rumah. Kematiannya menimbulkan duka yang begitu dalam di Oratori, seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Don Bosco sendiri, yang sangat dekat dengan ibunya, sangat hancur hatinya. Berjam-jam setelah kematiannya, setelah mempersembahkan kurban misa bagi ibunya, ia berlutut di hadapan Bunda Penghibur dan berdoa, “Sekarang Kau harus menjadi Ibu bagiku dan anak-anakku.”
BAB 20
Persetujuan dengan Surga
Sampai pada saat ini, belum ada hal yang luar biasa tentang Dominikus Savio dalam tulisanku – kecuali sikap baiknya yang konsisten, kemajuannya yang terus menerus dalam kesempurnaan dengan kemurnian hidupnya, aksi silihnya, dan kehidupan doanya. Namun, kita dapat menyebut luar biasa imannya yang hidup, harapannya yang tak tergoyahkan, kasihnya yang besar dan ketekunannya untuk melakukan hal-hal yang baik sampai nafas terakhirnya.
Sekarang aku ingin menulis rahmat-rahmat khusus yang telah ia terima, dalam hal-hal yang ia lakukan, yang jauh dari biasa-biasa saja. Aku tahu bahwa aku akan menerima kritikan. Tetapi dalam hal ini, aku ingin para pembaca mengerti bahwa ceritaku ini menyerupai peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Alkitab dan kisah kehidupan orang-orang kudus. Aku hanya mencatat hal-hal yang aku saksikan dengan mataku sendiri. Aku menjamin bahwa aku sejujur-jujurnya setia pada kebenaran. Aku membiarkan para pembaca bebas membentuk opininya sendiri.
Beberapa kali, khususnya pada saat Dominikus menerima komuni atau ketika Sakramen Maha Kudus ditahtakan di altar, ia seperti terhanyut dalam ekstasi, sehingga ia akan terus berada dalam gereja, sampai ada seseorang yang memanggilnya.
Suatu hari, ia tidak hadir saat sarapan, tidak mengikuti pelajaran dan juga tidak hadir saat makan siang. Tak seorang pun tahu dimana ia berada. Ia tidak berada di ruang belajar atau di kamar tidur. Ketika aku diberitahu tentang hal ini, aku menebak dengan tepat bahwa ia berada di dalam gereja, seperti pada saat-saat lain. Aku pergi ke gereja dan masuk ke ruangan di belakang altar. Di sana aku melihatnya, tidak bergerak seperti sebuah batu.
Kaki yang satu beristirahat di atas kaki yang lain; satu tangan ditempatkan di atas sebuah mimbar, dan yang satunya menempel di dadanya. Mukanya terpaku memandang ke arah tabernakel. Bibirnya tak bergerak. Aku memanggilnya. Tidak ada jawaban. Aku menggoyangkan badannya. Ia berpaling kepadaku dan bertanya, “Oh, apakah misa sudah selesai?”
“Lihat, Dominikus,” jawabku sambil menunjuk pada sebuah jam, “Sekarang pukul dua siang!”
Ia dengan rendah hati minta maaf karena melanggar peraturan sekolah. Aku menyuruhnya makan siang, dan menyarankan, “Jika seseorang menanyakan engkau dari mana, katakanlah bahwa engkau menjalankan sebuah tugas untukku.” Aku cemas ia akan merasa malu karena pertanyaan-pertanyaan teman-teman sekelasnya.
Pada hari yang lain, setelah selesai mengucapkan syukur setelah misa, aku sedang meninggalkan sakristi ketika mendengar pembicaraan di dalam gereja, sepertinya seseorang sedang berdebat. Aku pergi memeriksanya, dan di sana aku melihat Dominikus, berbicara dan berhenti sebentar untuk mendengarkan jawabannya. Di antaranya hal-hal lainnya aku mendengar dengan jelas, “Ya, Tuhanku, aku telah mengatakannya dan akan mengatakannya lagi, aku mencintai Engkau dan akan mencintai-Mu sampai mati! Jika Engkau melihat bahwa aku akan menyakiti hati-Mu, biarlah aku mati lebih dahulu! Ya, aku lebih baik mati daripada berdosa!”
Aku sering menanyainya, apa yang terjadi pada saat ia sedang terhanyut. “Malangnya aku!” jawabnya penuh kesederhanaan. “Sebuah gangguan datang kepadaku dan aku kehilangan konsentrasi doa lalu aku melihat hal-hal yang indah sehingga waktu berjam-jam seperti terbang!”
Suatu hari ia berlari ke dalam kamarku. “Cepat!” serunya. “Ikutlah denganku! Kau mempunyai sebuah tugas penting untuk dilakukan!”
“Kemana kita pergi?” tanyaku.
“Cepat!” ia mengulangi.
Aku ragu-ragu, tetapi ia mendesak, sehingga aku mengikutinya. Aku telah membuktikan bahwa permintaan-permintaannya yang seperti ini memang mendesak. Aku mengikutinya selagi ia berlari keluar rumah, melintas lurus jalan yang satu ke jalan yang lain dan sampai ke jalan yang ketiga, tanpa berbicara sepatah katapun. Kemudian ia mengambil jalan yang lain. Aku mengikutinya melewati barisan rumah-rumah sampai ia berhenti. Ia dengan buru-buru menaiki tangga ke lantai ketiga lalu membunyikan bel.
“Di sini!” katanya dan dengan tiba-tiba meninggalkan aku.
Pintu itu terbuka. Seorang wanita berdiri di hadapanku.
“Tolong cepatlah,” katanya. “Hanya ada sedikit waktu! Suamiku akan meninggal. Ia telah pindah ke Protestan dan sekarang memohon agar dapat meninggal sebagai seorang Katolik.”
Aku segera menuju ke samping tempat tidurnya. Orang malang itu kelihatan sangat ingin membersihkan hati nuraninya. Aku membantunya berdamai dengan Tuhan, dan kemudian seorang pastor dari paroki St. Agustinus, yang telah dipanggil lebih dulu, datang. Ia hampir tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memberikan sakramen perminyakan orang sakit, kemudian orang itu meninggal.
Beberapa hari selanjutnya, aku menanyakan Dominikus bagaimana ia mengetahui tentang orang yang sekarat itu. Mukanya menjadi terlihat tertekan dan air mata membasahi matanya, sehingga aku tidak mendesaknya lagi.
Kemurnian hidup, cinta kepada Tuhan, dan keinginan akan surga benar-benar mengubah jiwa Dominikus sehingga ia dapat dikatakan telah terhanyut dalam Tuhan.
Kadang-kadang ia berhenti bermain, menatap ke kejauhan dan mulai berjalan sendiri. Ketika ditanya mengapa ia meninggalkan permainan, ia akan menjawab, “Gangguan-gangguan itu terus datang menghampiriku, dan surga kelihatan terbuka di atas diriku, sehingga aku harus berjalan menjauh, karena aku tidak mau mengatakan sesuatu yang mungkin akan ditertawakan oleh anak-anak itu.
Pada suatu hari, sewaktu rekreasi, percakapan kami dipusatkan pada upah yang disediakan di surga bagi mereka yang tidak kehilangan kemurnian, “Jiwa-jiwa yang murni itu,” kata seseorang, “adalah yang paling dekat dengan Tuhan dan mereka akan selamanya menyanyikan sebuah lagu pujian khusus untuk memuliakan-Nya!” Kata-kata itu cukup untuk mengangkat jiwa Dominikus kepada Tuhan dengan segera, lalu ia pingsan, kaku dipegang oleh anak-anak lain.
Ekstasi seperti ini datang kepadanya di ruang studi, saat pulang pergi sekolah, dan bahkan di dalam kelas.
Ia sering berbicara tentang Paus dan menyatakan keinginan untuk melihatnya sebelum meninggal, mengatakan berkali-kali bahwa ia mempunyai sesuatu hal yang penting untuk dikatakan. Karena ia sering mengatakan hal ini, aku menanyakannya apakah hal penting yang harus disampaikannya kepada Bapa Suci.
“Jika aku dapat berbicara dengan Paus,” balasnya, “aku akan mengatakan bahwa di tengah-tengah kesulitannya, ia tidak boleh berhenti memberi perhatian khusus kepada Inggris. Tuhan sedang menyiapkan suatu kemenangan besar untuk Gereja Katolik di sana.”
“Fakta-fakta apa yang menjadi dasar pernyataanmu ini?” tanyaku.
“Aku akan mengatakannya kepadamu, tapi jangan mengatakannya kepada orang lain atau orang-orang akan menertawakan aku. Jika anda pergi ke Roma, katakanlah kepada Paus Pius IX. Pada suatu pagi setelah mengucapkan syukurku setelah komuni, suatu gangguan yang hebat datang kepadaku. Aku seperti melihat sebuah tanah lapang yang sangat luas, penuh dengan orang-orang yang diselimuti kabut. Mereka terlihat sangat bingung. ‘Ini adalah Inggris’ kata seseorang kepadaku. Aku hampir akan melemparkan sebuah pertanyaan ketika aku melihat Paus Pius IX, seperti yang telah aku lihat dalam gambar-gambar. Ia berpakaian penuh kemegahan. Sambil memegang obor yang bernyala di tangannya, ia berjalan ke arah kerumunan orang itu. Semakin ia mendekat, kabut itu menghilang karena cahaya obornya, dan orang-orang itu menemukan diri mereka di dalam terang sinar. ‘Obor ini,’ aku diberitahu, ‘adalah agama Katolik yang harus menerangi Inggris.’ ”
Ketika aku berada di Roma tahun 1858, aku mengatakan hal-hal ini kepada Paus Pius IX. Ia mendengar dengan penuh perhatian dan kepuasan, sambil berkata, “Hal ini menguatkan keinginanku untuk bekerja lebih keras lagi untuk Inggris, yang telah kuberikan perhatian yang sangat besar. Jika tidak ada hal lain, maka hal ini akan aku anggap sebagai sebuah nasihat dari satu jiwa yang baik.”
Aku tidak menuliskan banyak peristiwa lain yang mirip. Aku akan mencatat mereka dan membiarkan mereka dipublikasikan oleh orang lain jika hal itu dapat menambah kemuliaan Tuhan.
CATATAN
Satu kejadian yang tidak dituliskan oleh Don Bosco dan diberikan kesaksian oleh saudari Dominikus, Theresia, ditulis di bawah ini:
Suatu hari Dominikus berlari ke kamar Don Bosco.
“Bapa,” ia menangis, “biarkan aku pulang ke rumah selama satu hari!”
“Mengapa?”
“Ibuku sakit keras dan Bunda kita ingin agar ia disembuhkan.”
“Bagaimana engkau tahu? Siapa yang mengatakan hal ini kepadamu?”
Mengetahui rahmat yang dipunyai anak itu, Don Bosco mengizinkannya. “Ini uang untuk biaya kereta. Keretanya hanya sampai ke Castelnuovo, kau harus berjalan kaki ke Mondonio.”
Dominikus pergi. Apakah ia berjalan kaki atau berkendaraan kita tidak tahu, tetapi ayahnya, yang sedang dalam perjalanan untuk menjemput seorang dokter, kaget melihat Dominikus pulang. “Pergilah ke rumah nenek,” perintah ayahnya, yang kemudian meneruskan perjalanannya.
Ibu Dominikus hendak melahirkan. Para wanita desa yang baik telah berbuat semampu mereka untuknya tetapi mereka mulai kehilangan harapan. Tiba-tiba Dominikus masuk ke dalam kamar itu, mendekati tempat tidur dan merangkul ibunya, mengambil sebuah medali skapulir dari sakunya, menggantungkannya pada leher ibunya, lalu berkata, “Aku akan pergi sekarang. Ibu akan baik-baik saja.”
Medali skapulir kecil itu, Theresia bersaksi, menyelamatkan hidup wanita itu.
Setelah kembali ke Oratori, Dominikus berkata kepada Don Bosco, “Ibuku telah sembuh sekarang. Bunda kita telah menyembuhkannya”.
Skapulir yang sama akhirnya menyelamatkan nyawa Theresia sendiri pada keadaan serupa dan juga beberapa wanita lain. Ketika sedang sakit dan beristirahat di rumah, Dominikus suatu hari merangkul ibunya dan berkata, “Apakah kau ingat skapulir yang aku berikan ketika kau sakit? Jagalah itu dan pinjamkanlah dengan cuma-cuma kepada wanita-wanita lain yang mengalami sakit seperti anda. Seperti skapulir itu menyelamatkanmu, ia akan menyelamatkan yang lain.”
Namun skapulir itu telah hilang. “Skapulir yang ajaib itu begitu sering diminta untuk dipinjamkan,” kata Theresia. “Skapulir itu dipinjamkan untuk begitu banyak wanita yang hendak melahirkan namun beresiko meninggal. Tetapi yang aku sesalkan, skapulir itu tidak pernah dikembalikan kepadaku.”
Sebuah kejadian yang serupa diceritakan dalam bab ini, seperti yang Don Bosco sendiri katakan kepada beberapa Salesian, pada tanggal 8 September 1855. Dominikus bersama beberapa anak mengadakan kunjungan ke rumah-rumah para kurban penyakit kolera. Tiba-tiba ia berhenti di dekat sebuah rumah petak, berpikir sejenak, lalu berlari ke rumah itu, mengetuk pintu rumah itu dan bertanya kepada pemilik rumah yang keheranan itu apakah di sana ada yang menderita penyakit kolera. Atas desakan anak itu, pemilik rumah itu membawa Dominikus ke seluruh tempat di dalam rumah tersebut. Semua orang sehat-sehat saja. “Loteng!” seru Dominikus. Dengan rasa enggan orang itu membawanya ke loteng. Di sana mereka menemukan seorang wanita tua, terbaring di lantai, gemetaran di ujung jurang kematian. Dominikus berlari menuruni tangga dan memanggil seorang imam untuk memberi sakramen terakhir kepada wanita malang itu.
Ekstasi Dominikus pada saat perjamuan ekaristi yang berlangsung selama 6 jam, di mana ia secara total tenggelam dalam kontemplasi kepada Sakramen Maha Kudus, kehilangan semua kesadaran dan perasaan, kemungkinan besar adalah puncak rahmat-rahmat spiritualnya. Tentu hal ini dianugerahkan kepadanya setelah seumur hidup setia kepada rahmat Tuhan dengan kemurnian hati dan cinta tulus penuh syukur untuk Yesus di dalam Roti Kehidupan. Hal ini adalah pemenuhan sabda Tuhan, “Berbahagialah orang yang murni hatinya, karena mereka akan melihat Tuhan,” dan juga, “Aku bersyukur kepada-Mu Bapa karena Kau telah menyatakannya kepada orang-orang yang sederhana!” Hal ini, bagi Dominikus, adalah sebuah janji dan awal dari apa yang telah dipersiapkan untuknya dan yang akan segera menjadi kebahagiaannya untuk selama-lamanya.
BAB 21
Malam Mendekatinya
Dari semua yang telah kutuliskan tentang Dominikus Savio, sangat jelaslah bagi para pembaca bahwa seluruh hidupnya adalah suatu persiapan terus-menerus untuk kematian. Ia sendiri selalu berpikir bahwa Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda adalah jaminan terbaiknya, bahwa ia akan dilindungi Bunda Maria pada saat ajalnya – suatu saat yang kita tahu tidak jauh dari kita. Aku tidak tahu apakah Tuhan menyatakan kepadanya waktu kematian dan bagaimana ia akan mati, atau apakah ia hanya mempunyai suatu firasat yang saleh. Tetapi aku tahu pasti bahwa ia berbicara tentang kematiannya jauh sebelum hal itu datang, dan ia berbicara tentang hal itu dengan begitu jelas sehingga orang-orang yang kemudian menyaksikan kematiannya tidak dapat melukiskannya dengan lebih baik.
Karena masalah kesehatan ia dibebaskan dari tuntutan pelajaran dan doa. Walaupun begitu, apakah karena keadaan fisiknya atau kelemahan fisik lainnya atau karena ketegangan spiritual yang terus menerus ia hadapi, membuat kesehatannya mengalami kemunduran hari demi hari. Ia menyadari hal itu dan sering berkata, “Aku harus bergegas, atau malam akan menangkapku di jalan.” Maksudnya adalah ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk hidup dan banyak perbuatan baik yang harus dilakukan sebelum kematian mengejutkannya.
Di Oratori, murid-murid kami membuat sebuah acara bulanan, yaitu “Latihan Untuk Kematian Yang Bahagia.” Singkatnya, kegiatan ini terdiri dari pengakuan dosa dan komuni, seolah-olah hal ini dilakukan untuk terakhir kalinya. Ini merupakan devosi yang telah diperkaya oleh Paus Pius IX dengan banyak indulgensi. Dominikus selalu mengikuti kegiatan ini dengan penuh keseriusan. Di akhir latihan ini, didoakan satu kali Bapa Kami dan satu kali Salam Maria “Untuk salah satu di antara kami yang akan meninggal lebih dahulu.” Suatu kali Dominikus secara berkelakar berkata, “Jangan katakan, ‘Untuk salah satu di antara kita.’ Katakan saja, ‘Untuk Dominikus Savio, yang akan meninggal lebih dahulu dari antara kita.’ ”
Ia seringkali mengulangi perkataan ini.
Pada akhir bulan April 1856, ia datang kepadaku dan bertanya bagaimana ia dapat mengisi bulan Mei dengan sikap yang kudus.
“Lakukanlah semua tugasmu dengan hati-hati,” jawabku. “Berceritalah tentang Bunda Maria kepada teman-temanmu. Bersikaplah dengan begitu baik sehingga engkau dapat menerima komuni setiap hari.”
“Aku akan lakukan hal itu, bapa – dengan sangat hati-hati,” jawabnya. “Rahmat apa yang harus aku minta?”
“Mohonlah kepada Bunda kita supaya memintakan bagimu kepada Tuhan kesehatan yang baik dan rahmat untuk menjadi kudus.”
“Untuk menjadi kudus, ya, dan untuk memperoleh kematian yang bahagia dan meminta penyertaan-Nya di saat terakhirku dan dibawa oleh-Nya ke surga!”
Ia menunjukkan semangatnya yang begitu besar bulan itu sehingga ia kelihatan seperti seorang malaikat dalam rupa manusia. Ia menulis, bercakap-cakap, bernyanyi, pergi ke sekolah – semuanya untuk Bunda Maria. Setiap hari ia memastikan bahwa ia mempunyai sebuah cerita pendek tentang Bunda Maria untuk diceritakan kepada teman-temannya selama waktu rekreasi.
Seorang anak bertanya kepadanya,” Apa yang akan kau lakukan tahun depan jika anda telah melakukan semua hal ini sekarang?”
“Biarlah aku yang mengkuatirkan hal itu,” jawab Dominikus. “Tahun depan, jika aku masih hidup, aku akan mengatakan kepadamu apa yang akan aku lakukan.”
Untuk memanfaatkan segala kemungkinan untuk memperbaiki kesehatannya, aku memanggil beberapa dokter. Mereka semua memuji kegembiraannya, kewaspadaannya, dan keseriusannya berbicara. Dr. Vallauri, yang aku minta juga pendapatnya, berseru, “Betapa berharganya anak laki-laki yang kau punya di sini.”
“Apa yang menyebabkan kemundurannya begitu cepat hari demi hari?” tanyaku.
“Tubuh fisiknya lemah, tetapi pikirannya sangat berkembang dan ia berada di bawah ketegangan spiritual. Hal-hal ini sangat menguras kekuatannya.”
“Apakah ada obat yang dapat kita gunakan?”
“Obat yang terbaik adalah membiarkannya pergi ke surga. Aku merasa ia begitu siap. Namun, satu-satunya hal yang dapat memperpanjang hidupnya adalah membebaskannya dari seluruh pelajaran untuk beberapa waktu dan memberinya tugas-tugas kecil yang tidak akan melelahkannya.”
CATATAN
Sakit Dominikus yang fatal benar-benar merupakan sebuah teka-teki. Ia bukanlah seorang anak yang kuat, sehingga Don Bosco biasa memanggilnya “si kecil Dominikus”, namun ia tidak sakit-sakitan. Tidak ada riwayat TBC dalam keluarganya. Charles Savio, ayahnya, tinggal di Oratori hingga berusia 75 tahun dan ia masih kuat sampai saat kematiannya.
Mungkin diagnosa Dr. Vallauri – walau kedengaran tidak medis – adalah diagnosa yang paling tepat. Dominikus perlahan-lahan membakar dirinya sendiri, seperti sebatang lilin, dengan cinta Ilahi.
Pastor Caviglia berkomentar dalam biografi ini bahwa Dominikus meninggal pada usia 15 tahun karena itu adalah waktu yang disediakan untuknya oleh Tuhan dan ia telah menyelesaikan tugasnya di dunia – kekudusan di usia remaja.
Sangatlah mungkin bahwa Dominikus secara fisik melemah karena aktifitas spiritualnya yang kuat dan pnemonia (radang paru-paru) menjadi mudah menyerangnya. Dengan demikian pengeluaran darah yang dilakukan oleh dokter keluarganya, hanya mempercepat kematiannya.
BAB 22
Hari–Hari Terakhir di Oratori
Penyakit Dominikus tidak membuatnya selalu berada di tempat tidur. Kadang-kadang ia pergi ke sekolah atau ke ruang belajar atau melakukan pekerjaan rumah yang ringan. Salah satu hal yang paling ia sukai adalah merawat anak-anak yang sakit di rumah sakit.
“Aku tidak berjasa kepada Tuhan dengan mengunjungi dan membantu mereka yang sakit,” begitu ia biasa berkata, “karena aku sangat menyukainya. Kegiatan itu merupakan rekreasi yang mengasyikan.”
Ketika Dominikus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil untuk membuat mereka nyaman, ia tidak pernah lupa untuk memberi nasihat-nasihat rohani. Contohnya, ia menghibur seorang anak laki-laki yang sedang mengeluh, “Tubuhmu itu tidak dapat hidup selama-lamanya bukan? Ia akan melemah dan mati. Tetapi jiwamu, setelah bebas dari tubuhmu itu, akan terbang dalam kemuliaan ke surga dan menikmati kesehatan dan kebahagiaan sejati”.
Suatu ketika ada seorang anak yang sakit yang terus menolak untuk meminum obat yang pahit. “Tetapi kita semua harus meminum obat karena kita harus menuruti Tuhan, yang telah memberikan obat-obat dan para dokter untuk memulihkan kesehatan kita.” Dominikus berkata: “Jika obatnya terasa pahit, jiwamu akan memperoleh manfaat yang lebih besar. Apakah kamu pikir empedu dan anggur yang Yesus minum di atas salib tidak lebih pahit dari ini?” Kata-katanya, yang diucapkan dengan kejujuran yang tulus, menghentikan semua keberatan anak itu.
Walaupun kesehatan Dominikus semakin memburuk, kembali ke rumah adalah hal terakhir yang ia inginkan, karena hal itu akan membuat Dominikus harus meninggalkan pelajaran dan doa-doa rutinnya. Berapa bulan sebelumnya, aku telah memperbolehkan Dominikus untuk pulang ke rumah, tetapi ia segera kembali ke tempat ini sesudah beberapa hari. Aku harus mengatakannya – aku juga sangat menyesal melihat dia pergi. Aku akan menahan dia disini apapun yang harus aku lakukan. Namun, para dokter telah menyarankan agar Dominikus pulang ke rumahnya dan aku mematuhi mereka, lebih-lebih lagi karena baru-baru ini ia mendapat batuk yang sulit disembuhkan.
Aku memberitahukan kepada ayah Dominikus tentang hal ini dan kami memutuskan bahwa Dominikus akan meninggalkan Oratori tanggal 1 Maret. Dominikus menuruti keputusan itu, mempersembahkannya sebagai kurban untuk Tuhan.
“Mengapa kamu menyesal pulang ke rumah?” tanyaku kepadanya. “Kamu seharusnya senang dapat berkumpul kembali bersama keluargamu.”
“Aku ingin menghabiskan hidupku di sini, di Oratori,” jawabnya.
“Kau hanya akan berada di rumah untuk beberapa waktu saja, dan ketika kau sembuh, kau dapat kembali lagi ke sini.”
“Tidak, tidak, bapa,” serunya. “Aku akan pergi namun aku tidak akan kembali lagi!”
Malam hari sebelum dia pergi, aku tidak dapat membuatnya pergi dari sisiku. Ia mempunyai banyak hal yang ingin ditanyakan kepadaku.
“Apakah hal terbaik yang dapat dilakukan seorang anak yang sakit untuk mendapatkan imbalan dari Tuhan?”
“Serahkan seluruh penderitaanmu kepada Tuhan.”
“Apa lagi?”
“Persembahkanlah hidupmu kepada Tuhan.”
“Apakah engkau yakin Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku?”
“Aku yakin dalam nama Tuhan, dosamu akan diampuni.”
“Apakah aku dapat yakin akan keselamatanku?”
“Ya, kau dapat yakin, dengan rahmat Tuhan, yang tidak akan kurang.”
“Jika Iblis menggodaku, apakah yang harus aku katakan?”
“Katakanlah padanya bahwa engkau telah menjual jiwamu kepada Yesus, dan Ia telah membelinya dengan darah-Nya. Jika Iblis tetap menggangumu juga, tanyalah kepadanya apakah yang telah ia lakukan untuk jiwamu. Yesus rela mati untuk membebaskanmu dari dosa dan membawamu bersama-Nya ke surga.”
“Dapatkah aku melihat keluarga dan teman-teman sekolahku di surga.”
“Ya, kamu akan dapat melihat semua yang ada di Oratori ini dan juga orang tuamu dan kamu akan mengetahui semua hal mengenai mereka, dan banyak hal-hal menarik lainnya.”
“Dapatkah aku mengunjungi mereka sekali-kali?”
“Jika kunjungan itu demi kemuliaan Tuhan, ya.”
Dan ia tetap menanyakan pertanyan-pertanyan sejenis yang tidak terhitung banyaknya. Orang lain akan berpikir bahwa ia telah menginjakkan satu kakinya di surga dan ingin memastikan bahwa ia mengetahui apa yang ada di dalamnya sebelum ia melangkahkan kedua kakinya.
BAB 23
4.1 Dominikus Savio Meninggalkan Oratori |
▲back to top |
Di pagi hari keberangkatannya, Dominikus melakukan “Latihan untuk Kematian yang Bahagia” bersama anak-anak lainnya. Semangatnya yang kuat untuk mengaku dosa dan menerima komuni – yang kusaksikan sendiri – sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
“Aku harus melakukan Latihan ini dengan sangat baik,” katanya, “karena aku berharap bahwa hal ini akan benar-benar mempersiapkan diriku untuk sebuah kematian yang baik. Seandainya aku meninggal dalam perjalanan menuju rumah, aku setidaknya telah menyambut komuni.”
Ia mengunakan sisa pagi hari itu untuk mengepak dan membereskan barang-barang seperti ia tidak akan menyentuhnya lagi. Kemudian ia menjumpai teman-temannya satu persatu, memberikan beberapa kata-kata nasihat kepada seseorang, meminta yang lain untuk memperbaiki kesalahan mereka, membesarkan hati yang lain untuk mempertahankan kerja mereka yang baik. Ia bahkan membayar hutang sebesar dua sen kepada temannya. “Mari kita menyelesaikan hal ini sekarang,” katanya, “agar aku tidak usah memikirkannya lagi ketika aku harus mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanku kepada Tuhan.”
Ia mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya dari Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda, mendesak mereka untuk setia kepada janji-janji yang telah mereka ucapkan kepada Bunda Maria dan untuk menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya.
Sebelum pergi, Dominikus datang kepadaku dan mengucapkan kata-kata ini dengan persis: “Karena engkau tidak menginginkan tubuhku yang kurus ini, aku harus membawanya kembali ke Mondonio. Tetapi tubuh ini hanya akan membebanimu beberapa hari saja, dan semuanya akan berakhir. Terjadilah kehendak Tuhan! Seandainya engkau pergi ke Roma, ingatlah apa yang telah kukatakan kepadamu untuk disampaikan kepada Paus tentang Inggris. Berdoalah untukku agar aku dapat meninggal dunia dengan baik. Kita akan bertemu kembali di surga.”
Kami telah sampai di gerbang utama Oratori, dan ia masih terus memegang tanganku dengan erat.
Ia berpaling kepada teman-temannya. “Selamat tinggal,” katanya. “Doakanlah aku. Kita akan bertemu kembali di surga.”
Selagi ia berjalan keluar gerbang ia berbalik dan bertanya, “Maukah engkau memberiku sebuah kenang-kenangan?”
“Apa yang kau inginkan, Dominikus? Bagaimana kalau sebuah buku?”
“Tidak, sesuatu yang lebih baik.”
“Apakah kau menginginkan uang untuk perjalananmu?”
“Ya, uang untuk perjalanan ke keabadian. Engkau pernah memberitahuku suatu kali bahwa Paus telah memberimu kekuasan untuk memberikan indulgensi di saat kematian. Taruhlah namaku di antara orang-orang yang dapat memperoleh indulgensi itu.”
“Dengan senang hati, anakku! Anggaplah namamu sudah berada di dalam daftar itu. Aku akan mencantumkan namamu di dalam daftar itu sesegera mungkin.”
Lalu Dominikus berjalan keluar Oratori, dimana ia telah tinggal selama tiga tahun dengan kegembiraan yang besar dan untuk kebaikan rohani teman-teman serta para superiornya. Ia pergi untuk tidak kembali lagi.
Kami semua benar-benar merasakan perpisahan yang lain dari biasanya itu. Kami tahu bahwa ia sakit, namun tidak pernah kuatir tentangnya karena sakitnya tidak pernah membuatnya harus beristirahat terus di tempat tidur. Dan ia selalu begitu ceria sehingga tidak seorangpun pernah berpikir bahwa ia sedang sakit baik tubuh ataupun pikiran. Walaupun kami semua bersedih karena perpisahan ini, kami yakin bahwa ia akan kembali lagi.
Tetapi hal itu tidak penah terjadi. Ia telah siap untuk surga. Dalam riwayat hidupnya yang singkat, ia telah memperoleh hadiah yang pantas bagi orang yang beriman, seolah-olah ia telah hidup untuk waktu yang lama. Tuhan berkehendak untuk mengambilnya pada usia mudanya untuk menjaganya dari bahaya-bahaya yang bahkan dapat menghancurkan yang baik.
4.1.1 CATATAN |
▲back to top |
Perkataan dalam kitab kebijaksanan Salomo sangatlah relevan: “Karena sempurna dalam waktu yang pendek, maka orang benar memenuhi waktu yang panjang. Tuhan berkenan kepada jiwanya, maka iapun diambil dari tengah-tengah kejahatan.” (Keb 4:13-14).
Kepergian Dominikus dari Oratori meninggalkan kesan tersendiri dalam hati anak-anak, khususnya mereka yang dekat dengannya sebagai anggota dari Perkumpulannya. Beberapa kesan-kesan mereka ditulis di sini, seperti yang tercatat di dalam Proses Apostolik:
Kardinal Yohanes Cagliero: “Aku melihat Dominikus bangun dari tempat tidurnya pagi itu. Ia terlihat pucat, namun ia tersenyum dan tampak pasrah. ‘Benar-benar seorang anak yang baik,’ kataku kepada diriku sendiri. Ia terlihat seperti seorang malaikat. Ia kecil – tapi ia nampak seperti seorang santo besar.” Waktu itu Cagliero masih berumur sembilan belas tahun.
Angelo Savio, bukan saudara dan kemudian menjadi seorang pastor Salesian: “Ia datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepadaku; ia memberiku pakaian-pakaiannya, sambil berkata, ‘Aku tidak membutuhkannya lagi. Berikanlah kepada Don Bosco atau seseorang yang dapat mengunakannya.’ Pakaian-pakaian itu terlipat rapi, seperti disingkirkan untuk selama-lamanya. Lalu ia berjabat tangan denganku dan berkata dengan suara yang bergetar, ‘Doakanlah aku. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi di kehidupan ini. Selamat tinggal!’ Aku tidak pernah melupakan kata-katanya, dan waktu aku mendengar kabar kematiannya, aku berseru, ‘Ia adalah seorang santo!’ ”
Pastor Francensia: “Aku tidak banyak memikirkan kepergiannya dari Oratori karena bukan untuk pertama kalinya ia harus pergi ke Mondonio karena alasan kesehatannya. Aku sangat terkejut sewaktu ia datang kepadaku dan mengucapkan selamat tinggal dan memintaku untuk mendoakannya.”
Pastor Eugene Ceria, penulis kronikel Serikat Salesian dan ko-editor 19 volume buku biografi Don Bosco, berkomentar bahwa kepergian Dominikus dari Oratori merupakan hal yang menyedihkan pada saat itu, namun sungguh-sungguh merupakan sebuah berkat. Jika ia meninggal dunia di Turin, ia akan dikuburkan di dalam kuburan kota, dan setelah beberapa tahun tubuhnya akan hancur dan tulangnya akan ditaruh di dalam wadah biasa bersama dengan jasad-jasad orang lain. Karena proses kanonisasi juga meminta untuk mengidentifikasi sisa-sisa tubuh seorang kandidat (Dominikus), hal ini dapat membuat kasusnya lebih sulit lagi.
5 BAB 24 |
▲back to top |
6 Dunia Dikalahkan |
▲back to top |
Dominikus meninggalkan Oratori ditemani oleh ayahnya pada jam dua siang tanggal 1 Maret. Perjalanan pulang yang ditempuhnya sangatlah menyenangkan. Bahkan, mengendarai kereta kuda yang melewati daerah pedalaman dan desa-desa dan menemui orang tuanya kembali tampaknya membangkitkan semangatnya. Kondisi Dominikus begitu baik sehingga untuk empat hari pertama ia tidak harus beristirahat di tempat tidur saja. Namun setelah itu, ia segera kehilangan nafsu makannya dan batuknya semakin memburuk sehingga ia harus dibawa ke dokter. Setelah dokter memeriksa penyakitnya, ia menemukan bahwa penyakit Dominikus lebih parah dari kelihatannya. Ia memerintahkan agar Dominikus beristirahat di tempat tidur dan karena ia mendiagnosa bahwa Dominikus menderita sebuah peradangan, ia memutuskan untuk mengeluarkan darah Dominikus.
Anak-anak muda biasanya takut melihat darah yang mengucur, dan dokter itu menyuruh Dominikus untuk memalingkan mukanya ketika ia menyayat urat nadinya dan meminta Dominikus untuk sabar dan berani. Dominikus hanya tersenyum dan berkata, “Apalah arti sebuah luka sekecil ini bila dibandingkan dengan luka-luka Yesus yang tak bersalah di tangan dan kakinya?” Lalu, dengan tenang dan tanpa rasa takut, ia melihat darahnya mengalir keluar sambil membuat satu atau dua pernyataan yang berani.
Setelah beberapa kali pengeluaran darah, kondisi Dominikus tampaknya membaik. Itulah yang dikatakan oleh sang dokter dan apa yang ayah-ibunya pikirkan. Tapi Dominikus mempunyai pemikirannya sendiri. Menyadari bahwa akanlah lebih baik untuk menerima sakramen lebih awal daripada tidak sama sekali, ia memanggil ayahnya.
“Ayah,” katanya, “mari kita memanggil dokter surgawi sekarang. Aku ingin mengaku dosa dan menerima komuni.”
Ayah dan ibunya merasa menderita mendengar permintaan Dominikus ini karena mereka yakin bahwa kondisinya mulai membaik, tapi untuk menghiburnya mereka memanggil pastor di daerah itu, yang datang segera untuk menerima pengakuan dosanya. Lalu, untuk menenangkan anak itu, pastor itu juga memberinya komuni. Kau hanya dapat membayangkan dengan kesungguhan seperti apa ia menerima Viatikum (bekal terakhir) itu. Setiap kali ia menerima komuni ia terlihat seperti St. Aloysius sendiri. Sekarang, setelah ia yakin bahwa komuni ini adalah komuninya yang terakhir, dengan kesungguhan dan kelembutan hati seperti apa hatinya yang murni itu menerima Yesus yang begitu dicintainya!
Ia mengulangi resolusi-resolusi yang telah ia buat pada saat Komuni Pertamanya dan terus berkata, “Yesus, Maria, ya, Kalian akan selalu menjadi Temanku. Aku akan mengatakannya lagi dan lagi, aku lebih baik mati daripada berdosa.”
Setelah ucapan syukurnya ia beristirahat dengan tenang, dengan berkata, “Sekarang aku bahagia. Aku akan melakukan perjalanan yang panjang menuju keabadian, tetapi dengan Yesus yang menemaniku, aku tidak takut. Oh, katakanlah kepada semua orang, katakanlah sesering mungkin, bila Yesus menjadi Pendamping dan Temanmu, tidak ada yang perlu ditakuti, tidak juga kematian!”
Kesabarannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan sangatlah luar biasa sepanjang hidupnya, tetapi sakitnya yang terakhir ini telah menunjukkan bahwa Dominikus adalah sebuah model kekudusan. Ia tidak membiarkan seorang pun membantunya dalam keperluan-keperluan hariannya.”Aku ingin meringankan beban orang tuaku sebanyak mungkin,” katanya. “Mereka telah menanggung begitu banyak ketidaknyamanan dan penderitaan karena diriku. Aku hanya berharap bisa membalas kebaikan mereka!”
Ia meminum obat-obatnya, walaupun rasanya tidak enak, tanpa mengeluh sama sekali. Darahnya harus dikeluarkan sepuluh kali, tapi ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Setelah empat hari, sang dokter mengucapkan selamat kepada pasiennya dan mengungkapkan kepuasannya kepada orang tua Dominikus. “Syukur kepada Tuhan bahwa kita telah melewati semua bahaya. Penyakit itu telah dikalahkan. Yang ia perlukan sekarang adalah istirahat untuk memulihkan dirinya.”
Mereka sangat gembira karena berita itu. Dominikus hanya tersenyum dan berkomentar, “Dunia telah dikalahkan. Satu-satunya yang aku butuhkan sekarang adalah penampilan yang baik di hadapan Tuhan.”
Setelah sang dokter pergi, tanpa sedikit pun terkesan oleh kabar gembira itu, ia meminta Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Orang tuanya menyetujui hal itu sekedar untuk memuaskan Dominikus, kerena mereka maupun sang pastor dapat melihat bahaya kematian yang segera. Ia terlihat begitu gembira dan berbicara begitu riang sehingga mereka yakin bahwa keadaannya sudah membaik. Tetapi, mungkin karena kesalehan atau karena suara Tuhan yang berbicara di dalam hatinya, ia selalu menghitung secara cermat hari-hari dan jam-jamnya, menggunakan setiap kesempatan untuk mempersiapkan penampilannya di hadapan Tuhan. Sewaktu hendak diminyaki, ia berdoa, “Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku. Aku mencintai-Mu dan aku ingin mencintai-Mu selama-lamanya. Semoga sakramen ini, yang karena belas kasih-Mu yang tak terhingga Kau izinkan aku terima, menghapus semua dosa yang telah aku lakukan lewat penglihatan dan pendengaran, lewat mulut, tangan dan kakiku. Semoga tubuh dan jiwaku disucikan oleh jasa penderitaan suci-Mu. Amin.”
Ia menjawab semua doa-doa yang pastor ucapkan dengan suara yang kuat dan kejelasan pikiran, sehingga ia terlihat sangat sehat.
Saat itu tanggal 9 Maret, hari keempat dari masa sakitnya, hari terakhir dalam hidupnya. Darahnya telah dikeluarkan sebanyak sepuluh kali dan ia juga telah diberi obat-obat yang lain; akibatnya ia menjadi begitu lemah sehingga sang pastor memberinya Berkat Paus. Ia mengucapkan doa Tobatnya sendiri dan menjawab doa-doa sang pastor. Ia menunjukkan kebahagiaannya sewaktu ia menyadari bahwa ia sedang menerima berkat Bapa Suci dan indulgensi. “Deo Gratias!” bisiknya terus menerus, “Terima kasih Tuhan!” Lalu ia menoleh kepada salib dan mengulangi kalimat yang sering ia ulangi:
Tuhan, ambillah kebebasanku, aku memberikannya kepada-Mu;
Tubuhku dan seluruh kekuatannya adalah milik-Mu;
Semua kepunyaanku adalah pemberian-Mu,
Semoga aku dapat tunduk pada kehendak-Mu!
6.1 BAB 25 |
▲back to top |
7 Penglihatan yang Indah |
▲back to top |
Iman kita mengatakan kepada kita bahwa pada saat kematian kita akan menuai panen dari perbuatan-perbuatan baik kita. “Apa yang telah kita tanam, itulah juga yang akan kita tuai.” Jika kita menanam bibit-bibit perbuatan baik, maka kita akan menuai pula panen penghiburan pada saat kematian kita. Jika kita telah menanam bibit-bibit perbuatan jahat, maka kita akan menuai pula musibah demi musibah. Namun, kadang-kadang terjadi, bahkan jiwa yang suci pun mengalami rasa takut pada saat-saat kematian. Tuhan mengizinkan hal ini terjadi sesuai dengan kehendak-Nya, dengan tujuan untuk memurnikan jiwa-jiwa dari noda-noda dosa yang kecil, dan membawa mereka kepada mahkota yang lebih mulia di surga. Hal itu tidak terjadi pada Dominikus. Aku percaya bahwa Tuhan telah memberikan “seratus kali lipat” yang telah Ia janjikan kepada yang beriman, sebelum menerima kemuliaan di surga. Tentu, kemurnian Dominikus, yang dipertahankan sampai ia mati, imannya yang hidup, doa-doanya yang terus menerus, silihnya yang panjang, dan hidupnya yang diisi dengan penderitaan tentu saja berhak mendapat kenyamanan pada saat kematiannya.
Oleh karena itu, Dominikus melihat kematian mendekatinya dengan ketenangan sebuah jiwa yang tak berdosa. Juga terlihat bahwa tubuhnya juga diluputkan dari rasa sakit yang biasanya menemani pemisahannya dari jiwa. Kematian Dominikus lebih seperti jatuh tertidur daripada meninggal.
Di malam hari tanggal 9 Maret 1857, ia telah sepenuhnya menerima kenyamanan dari agama suci kita. Siapapun yang mendengarnya berbicara dan melihat kedamaian di wajahnya akan berpikir bahwa ia sedang beristirahat. Dari wajahnya terlihat bahwa ia begitu gembira, matanya bercahaya, dan ia sepenuhnya sadar. Tidak ada orang lain selain dirinya sendiri yang dapat menduga bahwa ia begitu dekat dengan kematian.
Setengah jam sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, sang pastor datang dan, menyadari ketenangannya, terkejut mendengarnya menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dominikus terus mengulangi doa-doa pendek sambil menghembuskan nafas-nafas yang panjang. Semua orang dapat melihat betapa inginnya ia pergi ke surga. Apa yang dapat disarankan oleh seorang pastor kepada seorang anak pada saat–saat terakhirnya? Setelah mngucapkan beberapa doa bersamanya, ia akhirnya memutuskan untuk pergi.
“Tolong, bapa,” panggil Dominikus, “Berikan aku sebuah kenangan-kenangan sebelum engkau pergi.”
“Kenang-kenangan apa yang dapat aku berikan kepadamu?”
“Sesuatu yang dapat membuatku nyaman.”
“Aku tidak dapat memikirkan sesuatu apapun selain penderitaan Yesus!”
“Terima kasih,” balas Dominikus. “Penderitaan Yesus akan selalu ada di dalam pikiran, bibir, dan hatiku. Yesus, Maria, dan Yosef, bantulah aku dalam penderitaanku yang terakhir. Yesus, Maria, dan Yosef, semoga aku dapat menghembuskan jiwaku dalam kedamaian bersama kalian.”
Setelah itu, ia jatuh tertidur dan beristirahat selama setengah jam. Lalu ia membuka matanya, melihat kepada orang tuanya, dan ia berkata, “Ayah, sudah waktunya!”
“Ini aku, anakku. Apa yang kau inginkan?”
“Ayah, sudah waktunya! Ambillah buku doaku dan bacakanlah untukku doa untuk kematian yang bahagia.”
Mendengar kata-kata ini, ibunya menangis tersedu-sedu dan lari meninggalkan kamar tidur. Hati ayahnya sakit karena duka dan isak tangis membuat suaranya tidak keluar, tapi ia memaksa dirinya untuk membaca doa-doa itu. Dominikus mengulangi setiap bagian doa dengan jelas dan tepat. Pada akhir setiap bagian litani orang yang sekarat, ia mengucapkan sendiri kalimat ini, “Yesus Maha Pengampun, kasihanilah aku.”
Ayahnya sampai pada kata-kata ini: “Pada akhirnya, jiwaku yang diterima di hadapan-Mu, akan pertama-tama merasakan kemulian-Mu yang tak berkesudahan, janganlah menolaknya, tapi terimalah aku ke dalam pelukan belas kasihan-Mu, di mana aku akan menyanyikan lagu-lagu pujian-Mu selama-lamanya.
“Ya,” kata Dominikus sambil terengah-engah, “itulah yang kuinginkan, Ayah. Untuk menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan.”
Untuk sementara, ia kelihatan sedang beristirahat, seperti seseorang yang sedang hanyut dalam pikirannya sebelum membuat sebuah keputusan penting. Lalu, ia perlahan-lahan sadar, dan dengan sebuah senyum ia berkata dengan jelas, “Selamat tinggal, Ayah, selamat tinggal!” Sang pastor ingin mengatakan kepadaku sesuatu yang lain, tetapi aku tidak dapat mengingatnya ... Oh, begitu indah pemandangan yang kulihat!”
Dengan kata-kata terakhir ini dan dengan senyum surgawi di bibirnya, Dominikus menghembuskan nafasnya yang terakhir, tangannya disilangkan di depan dadanya. Ia tidak membuat suatu gerakan kecil sekalipun.
Pergilah, jiwa yang beriman! Surga membuka pintu gerbangnya untukmu! Malaikat-malaikat dan para santo telah menyiapkan sambutan atas kedatanganmu!
Yesus yang begitu mencintaimu mengundangmu dan memanggil: “Datanglah, pelayan yang baik dan setia, kau telah berjuang dengan baik, kau telah memenangkan mahkotamu! Sekarang datanglah dan ambillah kebahagiaanmu yang tidak akan pernah berkesudahan!”
MASUKLAH KE DALAM KEGEMBIRAAN TUHANMU!
BAB 26
Oratori Berduka
Ketika ayah Dominikus mendengarnya menyerukan kata-kata ini dan melihat bahwa kepalanya jatuh kembali ke atas bantal, ia yakin bahwa anaknya itu jatuh tertidur lagi dan tidak membangunkannya. Barulah ketika ia mencoba membangunkannya, ia sadar bahwa anak laki-lakinya itu sudah meninggal. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan duka hati yang mendalam dari seorang orang tua yang kehilangan seorang anak yang sangat dicintainya karena kemurnian, kesalehan dan kebaikannya.
Di Oratori, kami sedang cemas menunggu kabar tentang Dominikus, ketika aku menerima sebuah surat dari ayahnya. Isinya sebagai berikut:
“Dengan air mata, aku dengan sangat sedih memberitahumu bahwa anakku, Dominikus, muridmu, sebuah bunga lili dalam kemurnian, St. Aloysius yang lain, telah mengembalikan jiwanya kepada Penciptanya semalam, tanggal 9 Maret, setelah menerima sakramen-sakramen dan berkat Paus dengan sangat menyentuh hati.”
Semua murid terkejut. Kami berduka cita karena kehilangan seorang teman dan penasihat yang baik, teladan kebajikan. Beberapa berkumpul bersama untuk mendoakan jiwanya, tetapi kebanyakan hanya dapat berkata, ”Ia adalah seorang santo! Ia sekarang berada di surga!”
Beberapa bahkan mulai berdoa kepadanya sebagai santo pelindung di hadapan tahta Tuhan. Semua orang menginginkan barang-barang yang pernah ia miliki.
Pastor Matthew Picco, guru bahasa latinnya, sangat berduka karena berita itu. Sebelum memulai kelas pada hari itu, ia mengumumkan kematian Dominikus kepada para muridnya dalam kata-kata berikut ini:
Belum lama ini aku mempunyai kesempatan untuk mengatakan betapa tidak pastinya kehidupan, bahkan bagi anak-anak yang masih berusia sangat muda, dan aku memberikan contoh teman kelas kalian, Leo Cocchis, yang dua tahun lalu mengikuti kelas ini bersama kalian, penuh dengan kehidupan dan kesehatan, dan kemudian setelah sehari dua hari jatuh sakit, ia melanjutkan perjalanannya ke keabadian, diiringi duka cita keluarga teman-temannya. Aku tidak pernah menduga waktu itu bahwa hal yang sama akan terjadi lagi tahun ini pada seorang muridku yang lain. Ya, aku harus sekali lagi membuat kalian berduka lagi. Dua hari yang lalu, kematian telah mengambil kehidupan dari salah seorang teman kalian yang paling bijak yaitu Dominikus Savio. Kalian dapat mengingat kembali bahwa, pada beberapa hari terakhir ia bersama kita, ia tersiksa oleh batuk, sehingga kita tidak terkejut akan ketidakhadirannya di sekolah. Untuk menyembuhkan dirinya dan, seperti yang sering ia katakan, untuk bersiap untuk kematian, ia mengikuti saran dokternya dan pulang ke rumahnya. Di sana sakitnya bertambah parah, dan setelah empat hari ia menyerahkan jiwanya yang murni kepada Penciptanya.
Kemarin aku membaca surat ayah Dominikus, dan surat itu membuatku menangis karena penjelasannya yang singkat atas kematiannya. Orang yang baik itu tidak dapat menemukan suatu gambaran yang lebih baik untuk anaknya daripada memanggilnya St. Aloysius yang lain, baik untuk kesucian hidupnya maupun kesiapannya untuk menghadapi kematian.
Aku sangat menyesal bahwa kehadirannya di sekolah ini sangatlah pendek dan, seperti yang wajar terjadi di dalam sebuah sekolah kecil, aku benar-benar tidak sempat mengenal dan menghargainya. Aku menyerahkan sepenuhnya kepada para superiornya sendiri untuk memberitahu kalian kesucian dan semangat doanya. Kalian sendiri, teman kelas dan temannya, yang tinggal bersamanya dan berbagi pikiran dengannya, mengetahui betapa sederhananya hidup dan tingkah lakunya dan betapa seriusnya ia berbicara. Aku menyerahkan kepada orang tuanya untuk memberitahukan kalian ketaatan, rasa hormat, dan sikap patuhnya.
Kalau begitu, apa lagi yang dapat aku katakan kepadamu tentang Dominikus? Yang dapat aku katakan hanyalah bahwa ia memang pantas dicontoh untuk tingkah laku dan kesopanannya di ruang kelas, untuk ketekunan dan ketelitiannya dalam mengerjakan pekerjaan sekolahnya, dan juga untuk perhatiannya yang tidak teralihkan kepada pengajaranku. Aku akan menjadi orang yang paling beruntung jika kalian dapat mengikuti teladannya ini.
Sebelum ia cukup umur dan siap untuk masuk sekolah ini, ia tinggal selama tiga tahun di Oratori St. Fransiskus dari Sales. Aku seringkali mendengar direkturnya berbicara tentang dirinya dalam tingkat yang paling tinggi, sebagai salah satu dari anak laki-laki yang paling rajin dan bijak yang dipunyainya. Adalah keseriusannya dalam belajar dan kemajuan pesat yang dibuatnya dalam pelajaran Bahasa Latin dasarnya yang membuatku dengan senang hati mengambilnya sebagai salah seorang muridku, berharap agar mereka dapat menirunya dalam hal belajar dan kebajikannya.
Dalam kunjunganku yang cukup sering ke Oratori, aku mengingat pesona kepribadiannya – kalian tahu seperti apa – kemurniannya yang begitu nyata, sehingga, dengan hanya melihatnya, aku mengagumi dan menyukainya. Tentu saja, ia tidak pernah mematahkan harapanku yang tinggi untuknya sejak ia mulai mengikuti kelasku pada tahun ajaran ini. Aku tidak perlu mengatakan kepada kalian karena kalian dapat melihat sendiri konsentrasi dan keseriusannya belajar, tidak hanya dengan menaruh perhatian karena kewajiban di dalam kelas tapi juga dengan menggunakan waktunya, yang mana begitu banyak murid yang berbakat dan rajin, habiskan dengan sia-sia. Ingatlah sendiri, karena kalian belajar dengannya dan melihat sendiri cara hidupnya, apakah kalian pernah melihatnya mengabaikan salah satu tugasnya?
Aku masih dapat melihatnya datang ke kelas ini dengan kesederhanaan yang merupakan ciri-cirinya, duduk dengan tenang, dan menyiapkan pelajarannya sewaktu murid-murid yang lain memasuki ruangan kelas. Ia akan menulis atau membaca daripada membuang-buang waktunya untuk mengobrol. Ketika sekolah pertama kali dimulai, betapa ia menghormatiku dengan wajah malaikatnya. Jadi tidak mengherankan bahwa, walaupun usianya yang muda dan kesehatan yang lemah, ia dapat menggunakan bakatnya dengan sangat baik! Di kelas yang berisi anak-anak yang kemampuannya di atas rata-rata, ia menduduki salah satu rangking tertinggi, walaupun ia berada di bawah penyakit yang akhirnya membawanya kepada jurang kematian dan memaksanya untuk sering absen. Satu hal yang khusus dari dirinya yang paling menarik perhatianku ialah melihat pikiran remajanya begitu terfokus pada Tuhan, begitu hangat dan khusuk berdoa! Bukanlah suatu rahasia bahwa remaja yang lebih dewasa pemikirannya, dikacaukan oleh keriangan alamiah mereka, sangat sedikit merefleksikan arti doa yang mereka ucapkan dan hampir tidak pernah berdoa dengan kehangatan hati. Kebanyakan doa yang mereka ucapkan hanyalah dengan bibir dan suara. Jika mereka begitu terganggu ketika berdoa kepada Tuhan dalam keheningan dan rekoleksi gereja dan dalam keheningan kamar, kalian tahu dengan jelas bagaimana mereka mengucapkan doa-doa pendek sebelum dan sesudah pelajaran.
Dalam doa-doa pendek inilah aku dapat mengagumi kesalehan Dominikus yang begitu kuat dan kesatuan jiwanya dengan Tuhan. Betapa seringnya aku melihatnya memandang ke surga – surga yang akan segera menjadi rumahnya – waktu ia mengarahkan pikirannya dan menyerahkannya kepada Tuhan dan Bundanya yang suci, dengan cinta yang diperlukan di dalam doa. Sikapnya dalam doa ini menggerakkan dirinya untuk mengerjakan tugasnya dengan baik; hal ini menguduskan setiap kata dan perbuatan, dan sepanjang hidupnya, mengarahkannya kepada kemuliaan Tuhan.
Betapa beruntungnya anak-anak muda yang mempunyai sikap doa seperti ini! Mereka akan menemukan kebahagiaan dalam hidup ini dan hidup yang akan datang. Mereka akan memberikan kegembiraan pada keluarga dan guru-guru dan semua yang berusaha membantu mereka.
Murid-muridku yang baik, hidup adalah pemberian yang paling berharga dari Tuhan. Hidup memungkinkan kita memperoleh harta di surga. Dan harta itu akan selalu bersama kita jika apapun yang kita lakukan dapat kita persembahkan kepada Penolong surgawi kita. Seperti inilah tepatnya hidup Dominikus. Tapi apa yang dapat kita katakan bagi seorang remaja yang menghabiskan hari-harinya dengan kealpaan akan alasan mengapa Tuhan menciptakan dia, yang tidak dapat menyisihkan sedikit waktu untuk menawarkan pujian kepada Penciptanya, yang tidak pernah tergugah hatinya dengan satu perasaan pun yang dapat membawanya lebih dekat pada Tuhannya? Apakah yang akan kita katakan akan seorang anak laki-laki yang melakukan segala yang ia bisa untuk membuang perasaan-perasaan itu, atau secara sengaja menolak dan mematikan mereka ketika mereka muncul di dalam hatinya?
Kalian akan melakukan hal baik jika kalian memikirkan hidup dan kematian kudus teman kalian Dominikus dan kebahagiaan yang kita percaya sedang ia nikmati sekarang. Lalu pikirkanlah tentang dirimu sendiri, dalam hal apakah kalian gagal menirunya. Ingin menjadi orang macam apakah kalian jika – seperti yang terjadi pada dirinya – kalian dipanggil hari ini ke kursi penghakiman di mana Tuhan akan meminta pertanggungjawaban yang tegas bahkan atas kesalahan-kesalahanmu yang kecil.
Ketika kalian berhadapan dengan diri kalian sendiri, jika kalian menyadari bahwa kalian begitu berbeda dari Dominikus, ambillah dia sebagai teladan kalian, tirulah kebajikan-kebajikan Kristianinya, siapkanlah jiwamu untuk menjadi sepertinya, murni dan bersih di hadapan Tuhan. Lalu, ketika panggilan itu datang, tak terduga namun tak dapat dihindari oleh kita semua, kalian akan menjawab dengan gembira, dengan senyum di bibir kalian, seperti teman sekolahmu yang seperti malaikat itu.
Satu harapan terakhir, dan aku juga menyimpulkan. Jika aku menemukan kalian, para muridku, benar-benar memperbaiki tingkah laku dan muali sekarang lebih tekun dalam pekerjaan sekolahmu, terutama jika kalian lebih menghargai lagi pentingnya doa di dalam hidup kalian, aku akan menghubungkannya dengan contoh kesantoan Dominikus dan melihatnya sebagai berkat yang diberikannya karena kalian adalah teman-teman kelasnya, dan aku adalah gurunya.
Begitulah Pastor Picco mengungkapkan perasaan dukanya yang mendalam yang ia rasakan sewaktu mengetahui kematian murid kesayangannya, Dominikus Savio.
BAB 27
Dominikus Memberkati Oratori
Siapapun yang telah membaca catatan tentang Dominikus Savio tidak akan terkejut ketika menemukan bahwa Tuhan menganugerahkan kepadanya rahmat-rahmat khusus, dan mengizinkan kebajikan-kebajikannya bersinar lewat banyak cara. Ketika ia masih hidup, banyak yang mendengarkan nasihatnya, mencoba contohnya, mengikuti kebajikan-kebajikannya, sedangkan yang lainnya, tertarik oleh kebaikannya yang nyata, kekudusan hidup dan kemurniannya, meminta doanya. Beberapa anak melaporkan telah menerima banyak berkat melalui perantaraannya sewaktu ia masih hidup. Tetapi setelah kematiannyalah, rasa penghormatan dan kepercayaan kepadanya berkembang pesat. Ketika mendengar kematiaanya, beberapa teman sekelasnya mulai memanggilnya “santo”. Mereka berkumpul untuk mengucapkan doa untuk orang yang meninggal, tapi mereka tidak mengatakan “Santa Maria, doakanlah dia.” Mereka berkata, “Doakanlah kami,” karena mereka menganggap, “Savio sekarang telah berbahagia dalam kebahagiaan abadi di surga dan tidak memerlukan doa kita lagi.”
“Jika Dominikus tidak langsung masuk ke surga setelah hidup dengan murni dan kudus,” kata yang lain, “siapa yang dapat mengatakan bahwa kita akan mampu masuk ke sana?”
Mulai dari hari itu, beberapa teman dan teman sekolahnya yang mengagumi hidup Dominikus yang penuh kebijakan itu, menjadikan dirinya sebagai model hidup mereka dan berdoa kepadanya sebagai pelindung surgawi mereka.
Hampir setiap hari semua orang mendengar adanya berkat spiritual dan fisik. Aku sendiri melihat seorang anak laki-laki yang terganggu oleh sakit gigi yang begitu parah. Ia berdoa dengan singkat kepada Dominikus dan dengan segera sakitnya itu hilang. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi menderita sakit gigi lagi. Banyak yang berdoa kepadanya untuk dibebaskan dari demam yang berat dan sembuh. Aku sendiri menyaksikan sendiri kesembuhan instan seorang laki-laki dari demam yang parah.
Aku punya di mejaku, surat-surat yang berasal dari orang-orang yang telah menerima kesembuhan dan rahmat dengan berdoa kepada Dominikus Savio, tetapi, meskipun orang-orang dan saksi-saksinya itu sulit untuk ditemui, aku memilih untuk tidak menuliskan nama mereka di sini karena kebanyakan dari mereka masih hidup. Sebaliknya aku akan menceritakan sebuah kesembuhan yang telah diperoleh teman sekelas Dominikus. Pada tahun 1858, orang muda ini, seorang murid SLTA, menjadi sangat sakit, sehingga ia harus meninggalkan sekolah untuk mencoba berbagai obat dan ia tidak diizinkan untuk mengikuti ujian akhir. Ia dengan cemasnya berharap agar dapat mengikuti tesnya pada bulan November dan tidak harus mengulang seluruh tahun ajaran itu, tetapi ketika kesehatannya menurun, begitu juga harapannya. Sepanjang musim gugur, ia beristirahat di rumah orang tuanya dan menghabiskan beberapa hari di desa dengan teman-temannya. Ia merasa lebih baik, tetapi setelah ia kembali ke Turin dan memulai lagi studinya, ia jatuh sakit lagi dengan parah.
“Ujian-ujian sudah mendekat,” tulisnya, “dan kesehatanku dalam keadaan buruk. Sakit kepala yang parah dan sakit perut meyakinkanku bahwa aku tidak akan dapat mengikuti ujian-ujianku. Didorong oleh apa yang telah aku dengar tentang teman sekelasku Dominikus, aku mulai berdoa novena kepada Tuhan melalui perantaraan Dominikus dan memohon kepadanya begini: “Temanku yang terkasih, aku sangat beruntung mempunyai dirimu sebagai teman sekelasku selama lebih dari satu tahun, dan kita berdua telah berusaha dengan keras untuk berada di rangking teratas di kelas. Kau tahu betapa pentingnya bagiku untuk melewati ujian ini. Mintalah kepada Tuhan untuk menganugerahkan kepadaku sedikit kesehatan sehingga aku dapat belajar.”
“Dalam lima hari, aku merasa kesehatanku meningkat jauh lebih baik sehingga aku dapat belajar lagi. Aku menyadari bahwa aku dapat menguasai bahan pelajaran dengan mudah, dan tepat pada waktunya aku dapat melewati ujianku dengan sangat baik. Ini juga bukan kesembuhan yang sementara juga, karena sekarang aku menikmati kesehatan yang baik, yang tidak pernah aku rasakan sepanjang tahun itu. Aku mengakui rahmat surgawi ini diberikan melalui perantaraan temanku, temanku dalam kehidupan, penolong dan penghiburku karena ia sekarang telah menikmati kemuliaan surgawi. Dua bulan telah lewat setelah kesembuhanku dan kesehatanku tetap baik, yang sangat menghibur dan menolongku.”
Melalui catatan ini, aku mengakhiri biografi Domminic Savio ini, meninggalkan hal-hal lain sebagai lampiran untuk dipublikasikan jika mereka dapat menambah kemuliaan Tuhan dan berguna bagi keselamatan jiwa-jiwa.
Sekarang, pembacaku tersayang, karena kau telah dengan baik membaca semua yang telah aku tulis tentang anak muda yang penuh dengan kebajikan ini, aku ingin agar engkau bergabung denganku dalam sebuah kesimpulan yang akan menguntungkan bagi dirimu dan diriku, dan juga mereka yang membaca buku ini. Marilah kita bertekad untuk meniru Savio muda ini dalam kebajikan-kebajikan yang cocok dengan kehidupanmu sekarang. Walaupun miskin, Dominikus hidup dengan kegembiraan, kebajikan, dan kemurnian, dan hidupnya dimahkotai dengan kematian seperti seorang santo. Marilah kita meniru dalam cara hidupnya, dan kita akan punya banyak alasan untuk menjadi sepertinya dalam kematiannya.
Janganlah kita gagal mencontoh Savio dalam menerima Sakramen Pengampunan Dosa; sakramen ini adalah pendukung praktik kebajikannya yang tak pernah kenal lelah, dan hal ini membwanya dengan aman kepada akhir kehidupan yang mulia. Marilah kita menghampiri sumber keselamatan ini sesering dan sebaik mungkin, tapi setiap kali kita melakukannya, mari kita menoleh ke belakang pada pengakuan dosa kita yang terakhir, untuk memastikan bahwa kita benar-benar pantas dan, jika perlu, memperbaiki kekurangan-kekurangan kita.
Aku melihat bahwa jalan ini merupakan jalan teraman dalam melewati hari-hari kita dalam kegembiraan di tengah-tengah penderitaan. Dan pada saat kematian, kita akan dapat menunggu dengan tenang saat kematian kita. Lalu, dengan kegembiraan di wajah kita dan damai di hati kita, kita akan pergi dengan yakin menemui Tuhan kita, Yesus Kristus. Dalam belas kasihnya yang besar, Ia dengan baik hati akan memegang tangan kita dan menuntun kita – baik diriku maupun dirmu, pembaca yang tersayang – dari cobaan-cobaan hidup ini sampai pada kegembiraan abadi, di mana kita akan memuji dan menyembah Dia dari masa ke masa. Amin.
LAMPIRAN I
Dua Penampakan Dominikus Savio
Biografi Dominikus Savio yang ditulis oleh Don Bosco, ditulis dengan kesederhanaan, kehangatan, dan daya pesona yang sering hilang dalam terjemahan, diakhiri dengan sebuah permohonan yang sungguh-sunguh untuk menerima Sakramen Pengampunan Dosa dengan sering dan tulus. Semua orang yang sedikitnya mengenal St. Don Bosco akan mengenali ajarannya ini sebagai dasar utama sistem pendidikannya. Dia sendiri adalah pastor pengakuan dosa yang sangat baik untuk orang muda, orang tua, imam-imam dan biarawan-biarawati. Tidaklah mengherankan bahwa ia mengakhiri biografi Dominikus Savio ini, yang ditulisnya dengan segera demi kaum muda, dengan nasihat yang menggugah ini.
Haruslah dicatat bahwa “lampiran” yang Don Bosco maksudkan dalam bab yang terakhir berisi kesaksian-kesaksian mengenai kesembuhan-kesembuhan dan berkat-berkat yang telah diperoleh melalui perantaraan Dominikus Savio. Lampiran itu tidak disertakan pada edisi Indonesia ini.
Lampiran ini menceritakan dua penampakan Dominikus Savio, yang pertama kepada ayahnya segera sesudah kematiannya, yang satunya lagi kepada Don Bosco sendiri. Penampakan Dominikus kepada ayahnya disertakan oleh Don Bosco sendiri dalam sebuah catatan kaki. Yang tertulis di bawah ini adalah kata-kata tuan Charles Savio sendiri:
Rasa kehilangan seorang putra yang kukasihi itu menimbulkan duka yang sangat dalam, yang terus bertambah parah sewaktu aku ingin mengetahui apa yang terjadi kepadanya ketika ia melanjutkan ke kehidupan yang selanjutnya. Tuhan berkehendak untuk menghiburku. Suatu malam, kira-kira satu bulan setelah kematian Dominikus, ketika aku gelisah karena tidak bisa tidur, aku merasa melihat atap ruang tidurku terbuka dan di sana, di tengah sebuah cahaya terang, berdirilah Dominikus, yang tersenyum gembira, wajahnya agung dan mengagumkan. Lain dari diriku yang biasa karena terkesima, aku berseru, “Dominikus, Dominikusku! Apakah engkau baik-baik saja? Di mana engkau berada? Apakah engkau sudah berada di surga?”
“Ya, Ayah,” jawabnya. “Aku sudah berada di surga.”
“Oh,” seruku, “jika Tuhan telah menunjukan kemurahan hati-Nya kepadamu dengan membiarkanmu menikmati kebahagiaan abadi di surga, doakan saudara-saudarimu sehingga suatu hari mereka boleh bergabung denganmu!”
“Ya, Ayah, ya,” jawabnya, “aku akan berdoa kepada Tuhan untuk mereka agar suatu hari mereka boleh bergabung denganku untuk menikmati kebahagiaan abadi di surga.”
“Berdoalah juga untukku,” pintaku. “Berdoalah untuk ibu, sehingga kami dapat diselamatkan dan suatu hari dapat berkumpul bersama di surga!”
“Ya, aku akan berdoa!”
Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia langsung menghilang dan kamarku kembali normal.
Don Bosco tidak memberi penilaian atas penampakan ini. Ia hanya berkomentar: “Ayahnya meyakinkan kami bahwa ia benar-benar menceritakan hal yang sebenarnya dan tidak pernah sebelum atau sesudah kejadian itu, baik sewaktu terjaga maupun tidur, ia pernah dihibur oleh penampakan yang serupa.”
Tetapi penampakan Dominikus yang paling mendebarkan, di mana ia memberi sedikit gambaran tentang kemuliaannya, ditunjukkan kepada pastor yang telah membimbingnya menuju kekudusan. St. Don Bosco juga merasakan kehilangan itu. Namun ia tidak berduka karenanya. Kehilangan Dominikus, ia tahu, adalah suatu hal yang tidak mungkin. Anak itu telah selamat di surga. Seringkali ia memberitahu orang-orang, “Jika aku adalah Paus, aku tidak akan mempunyai kesulitan untuk mengkanonisasikan Dominikus Savio.”
Dominikus tidak melupakan Don Bosco. Malam itu, pada tanggal 6 Desember 1876, 19 tahun setelah kematiannya, Dominikus menampakan dirinya dalam sebuah penglihatan kepada santo itu.
Hal itu terjadi begitu tiba-tiba sehingga Don Bosco tidak dapat memastikan apakah penglihatan itu datang kepadanya sewaktu ia sedang tidur atau terjaga. Ia menemukan dirinya sendiri di tengah-tengah daerah pedalaman desa, yang paling indah yang pernah dilihatnya, perlahan-lahan menyusuri lereng hutan yang tebal dan padang hijau yang kaya. Berpola di seluruh pemandangan itu adalah taman-taman yang begitu indah, yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang begitu beragam. Warna-warna berdansa dengan liar di depan matanya. Pada tiupan angin yang lembut datanglah suara musik, seperti yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Ia dapat dengan jelas membedakan setiap nada dalam tangga nadanya, kaya dengan nada-nada tambahan, namun tanpa ada nada yang tidak harmonis, tanpa pernah ada pengulangan nada, tanpa pernah mengulangi sebuah melodi. “Ini pastilah surga!” serunya.
Segera sebuah sorotan cahaya menembus horison yang jauh dan menembuskan ujung cahayanya ke langit. Walaupun cahayanya melebihi cahaya seribu matahari, cahaya itu tidak menyakiti matanya.
Dan dari cahaya yang terang ini muncullah barisan laki-laki dan anak-anak, wajah mereka memancarkan kegembiraan. Di depan barisan itu berjalanlah – ya, Dominikus kecil, tapi Dominikus yang penuh kemuliaan, yang dibanjiri dengan kecemerlangan. Berbusana jubah putih panjang yang dihiasi dengan perhiasan-perhiasan, yang terkumpul di pinggangnya pada kain ikat pinggang yang berwarna merah darah, ia berjalan maju, memancarkan kemuliaan
“Bapa,” tanyanya, “apakah engkau tidak mengenaliku lagi?”
Tetapi nadanya seperti musik bukan seperti suara biasa.
“Tidak bisakah engkau menjawabku? Kau kelihatan takut. Ini hanyalah Dominikus. Kau tidak pernah takut kepadaku di bumi. Kenapa sekarang kau takut?”
Akhirnya pastor itu mampu mengucapkan sepatah dua patah kata. “Apakah kau benar-benar Dominikus Savio? Apakah ini semua mimpi? Di manakah aku berada?”
“Di sebuah tempat kebahagiaan.”
“Surga?”
“Tidak, tentu bukan. Ini bahkan tidak mendekati gambaran surga sama sekali.”
“Tetapi bagaimana dengan cahaya yang menyilaukan itu?”
“Itu hanyalah cahaya duniawi. Kau tidak akan pernah mampu menatap cahaya surga!”
“Lalu, Dominikus, apakah kau ada di surga?”
“Ya, bapa, aku ada di surga.”
“Mengapa kau memakai jubah putih itu, dan apa arti ikat pinggang merah itu?” Dominikus tidak memberi jawaban apapun. Tetapi jawaban itu datang dari barisan jiwa-jiwa yang terberkati itu, bernyanyi dalam kekayaan harmoni: “Mereka telah mencuci jubah mereka dengan darah Domba. Mereka adalah para perawan!”
Dengan segera Don Bosco mengerti. Jubah putih itu simbol dari kemurnian Dominikus dan ikat pinggang merah melambangkan perjuangan keras yang telah ia lalui untuk mempertahankannya. Dalam sekejap ia menyadari apa tujuan silih-silih yang telah dilakukan anak laki-laki itu – untuk mengalahkan kekuatan hawa nafsu dalam tubuhnya dan mempertahankan kesucian baptisnya. Motto “LEBIH BAIK MATI DARIPADA BERDOSA” telah membuat Dominikus berjuang sangat keras. Hal in merupakan bentuk mini dari kemartiran.”
“Dominikus, karena sekarang aku dapat bebas berbicara denganmu,” lanjut Don Bosco, “katakanlah kepadaku, apa yang memberimu kepuasan yang paling besar pada saat kematianmu? Apakah itu karena kebijakan kemurnian, atau mungkin, harapan akan surga?”
“Hal itu memang membahagiakan. Tapi yang sungguh-sungguh membantuku adalah pertolongan Bunda Allah yang tercinta. Katakanlah hal ini kepada anak-anakmu. Sekarang cepatlah, karena aku harus pergi.”
“Bagaimana tentang masa depan?”
Lalu Dominikus membuat beberapa ramalan mengenai Oratori dan kongregasi Salesian, yang semuanya terpenuhi tahun selanjutnya. Ia mengakhiri dengan kata-kata ini: “Pius IX hanya tinggal mempunyai beberapa perjuangan yang harus dilewati. Ia akan segera dipanggil kepada hadiahnya.” Paus yang suci itu, nyatanya, meninggal dunia tahun 1878, kurang dari dua tahun sesudah penampakan itu.
“Tapi, Dominikus, jangan pergi dahulu!” seru pastor itu ketika ia melihat cahaya indah dari penglihatan itu mulai memudar. Ia meraih anak itu seolah-olah ingin menahan kepergiannya. Tapi ia hanya memegang udara kosong.
“Kau tidak dapat menyentuhku, bapa. Aku adalah roh. Aku harus pergi sekarang, tapi sebelum itu, ini ada tiga lembar kertas. Yang pertama berisi nama-nama anakmu yang berada dalam kemurnian pembaptisan. Lindungilah mereka. Yang kedua berisi nama-nama anakmu yang telah jatuh, tetapi sedang berusaha untuk bangkit kembali. Dan yang terakhir berisi nama-nama anakmu yang sedang hidup dalam dosa berat. Jangan! Jangan membuka kertas-kertas itu sekarang. Bau busuk dari kertas yang ketiga bahkan dapat membuat sakit para malaikat Tuhan. Sekarang, bapa, selamat tinggal lagi. Aku tidak dapat tinggal lebih lama lagi.”
Dengan perkataan itu, Dominikus dan semua jiwa-jiwa yang terberkati itu perlahan-lahan menghilang seperti kabut yang terkena sinar matahari, dan kecemerlangan itu memudar menjadi cahaya biasa. Don Bosco membuka kertas yang pertama dan kedua. Tidak ada nama pada kertas itu, tapi sekilas ia melihat wajah-wajah dari anak-anak yang dimaksud. Saat membuka kertas yang ketiga, bau yang begitu busuk mengisi udara yang membuatnya terbatuk-batuk dan tersedak karena mual. Kejutan itu membangunkannya.
Pikirannya sangat kacau. Apakah semua ini hanyalah mimpi? Namun, bau yang memualkan itu menempel pada pakaiannya, dan wajah anak-anak yang malang itu terekam dalam pikirannya. Pasti ini merupakan kenyataan. Dominikus telah menampakkan dirinya!
LAMPIRAN II
Don Bosco sendiri sering mengatakan, “Oratori ini mempunyai banyak anak yang suci, beberapa dari mereka mempraktik kan kebajikan seperti St. Aloysius.” Tetapi tidak satu pun dari mereka yang menimbulkan gelombang penghormatan dan devosi seperti Dominikus Savio. Setelah Dominikus Savio meninggal, mereka mulai berdoa kepadanya. Sebuah gambar wajah Dominikus dibuat berdasarkan ingatan Charles Tomatis, teman akrabnya. Walaupun jauh dari mendekati potret sebenarnya – ciri-ciri umum dari anak itu ada pada gambar itu, tapi sketsa gambar itu masih kasar – gambar ini dicetak pada edisi pertama biografi ini dan dicetak lagi untuk didistribusikan. Anak-anak Oratori menyimpan gambar Dominikus di dalam buku doa mereka dan menyebarkannya kepada yang lain. Mereka mulai berdoa kepada teman kelas mereka dan melaporkan kesembuhan-kesembuhan. Atas usul dari para superior, mereka mulai berdoa agar Dominikus dikanonisasikan.
Tahun 1859, tubuh Dominikus dipindahkan dari kuburan umum di Mondonio dan dikuburkan kembali persis di sebelah kapel kuburan. Tahun 1870, tubuhnya digali lagi dan ditempatkan di dalam kapel di dekat altar. Tahun 1908, pada tengah malam karena adanya perlawanan keras yang dilakukan oleh beberapa warga kota Mondonio, tulang-tulang santo muda itu dipindahkan secara rahasia ke Turin, di mana ia kemudian ditempatkan di sebuah wadah yang sangat indah dan diletakkan di dalam Basilika Maria Penolong Umat Kristiani, di tanah Oratori.
Pada saat yang sama, proses resmi untuk kanosisasi Dominikus sudah dimulai di Turin, pada bulan April 1908. Don Bosco telah mempunyai harapan yang besar untuk kesuksesannya. “Aku mungkin tidak akan hidup untuk menyaksikannya,” katanya beberapa tahun setelah kematian Dominikus, “tetapi jika Dominikus terus melakukan mukjizat-mukjizat, aku tidak ragu bahwa Gereja akan mengizinkan penghormatan kepadanya, setidaknya di Oratori.”
8 Paus St. Pius X |
▲back to top |
Ketika Charles Salloti, pada waktu itu menjabat sebagai uskup dan kemudian menjadi kardinal, memberitahukan kepada Paus Pius X bahwa dia sedang mengerjakan biografi Dominikus Savio, Paus Pius X dengan antusias berkata kepadanya:
“Apapun yang akan kamu tulis tentang Dominikus akan bermanfaat, tapi terlalu sedikit. Kamu harus berusaha memajukan kasusnya. Jangan memboroskan waktu. Selesaikanlah secepat mungkin.”
“Dominikus Savio adalah contoh nyata bagi kaum muda masa kini. Seorang anak laki-laki yang telah mempertahankan kemurnian baptisnya sampai mati dan tidak pernah menunjukkan satu dosa pun di dalam hidupnya yang pendek adalah benar-benar seorang santo. Apa lagi yang dapat kita harapkan daripadanya?”
“Tapi, Bapa Suci,” seru uskup itu, “ketika kasusnya diajukan dan aku diminta mempertahankannya, aku mendengar beberapa keberatan bahwa ia masih terlalu muda untuk diberi penghormatan di altar.”
“Alasan yang lebih besar lagi untuk mengkanonisasikan Dominikus,” balas Paus. “Betapa sulitnya bagi seorang anak laki-laki untuk mempraktik kan kebajikan dengan tingkah laku yang sempurna! Tetapi Savio melakukannya. Biografi yang ditulis oleh Don Bosco, yang telah aku baca, telah memberiku gambaran seorang anak teladan, yang pantas dipertimbangkan untuk menjadi seorang teladan kesempurnaan.”
Bapa Suci berkata lagi, “Jika kau telah menyelesaikan bukumu, bawalah satu kepadaku. Aku akan dengan senang hati membacanya.”
Pius X pergi menuju imbalan surgawinya sebelum tugas itu selesai, tetapi Uskup Salotti memenuhi permintaannya dengan meletakkan sebuah salinan buku biografi Dominikus di atas kuburannya.
Benar-benar sebuah kebetulan yang menyolok bahwa Pius X dan Dominikus Savio dikanonisasikan pada tahun yang sama, hanya dengan selisih satu minggu.
9 Paus Benediktus XV |
▲back to top |
Pastor Yohanes Francesia, seorang guru Dominikus Savio dan salah seorang Salesian yang pertama, diperkenankan untuk bertemu Paus Benediktus XV pada tahun 1915. Ketika ia memasuki kantor Paus, ia melihat sebuah buku yang sangat bagus di atas mejanya.
“Ini adalah buku Uskup Salotti, untuk menghormati seorang santo yang cocok untuk zaman kita,” kata Paus Benediktus XV. “Buku ini berisi riwayat hidup Dominikus Savio, muridmu. Buku ini akan lebih menarik bagi anak-anak kita daripada buku St. Aloysius. Beberapa hal yang sangat aku kagumi dari Dominikus Savio ialah keceriaan hidupnya, caranya bergaul sehingga dapat menjadi teman semua orang, dan cintanya terhadap sesuatu yang menyenangkan, bahkan yang agak ribut. Zaman kita yang modern tidak lagi peduli dengan para santo yang berdisiplin sangat keras.”
10 Paus Pius XI |
▲back to top |
Setelah semua dokumen yang berhubungan dengan proses beatifikasi Dominikus dikumpulkan di Turin, Proses Apostolik dimulai di Roma pada tahun 1914. Uskup Salotti dipilih menjadi pembela kasus itu. Prosesnya lama, sangat detil, syarat-syaratnya sangat menghabiskan waktu. Karakter dan kekudusan Dominikus dianalisis, setiap perbuatannya diselidiki, dan setiap pernyataan dari semua orang yang mengenalnya diteliti. Roma memang abadi dalam lebih dari satu hal. Akhirnya, pada 9 Juli 1933, Paus Pius XI mendeklarasikan bahwa kebijakan-kebijakan Savio bersifat kepahlawanan dan cara hidupnya pantas diteladani oleh orang-orang beriman. Pada kesempatan itu Paus mengeluarkan pernyataan resmi:
“Di depan mata kami sendiri sewaktu kami berbicara dengan kalian, kami melihat figur Don Bosco sendiri, memberikan kepada kita muridnya yang kecil, atau lebih tepatnya dibilang hebat, Beato Dominikus Savio.
“Benar-benar Don Bosco sendiri yang datang kembali dengan menggandeng hasil akhir dari sistem pendidikannya, dari kerasulan yang ia rangkumkan dengan sangat baik dalam kata-kata yang menjadi rencana kegiatan putra-putranya: Beri aku jiwa-jiwa, ambillah yang lainnya.
“Benar-benar menakjubkan dalam rancangan Ilahi adalah kembalinya Don Bosco, jika seseorang berpikir sejenak tentang kondisi-kondisi yang harus dijalani orang-orang muda: bahaya-bahaya dan setan-setan menyerang kemurnian mereka; kekacauan dalam hidup eksterior – pemujaan terhadap tubuh dan kekuatannya, seluruh kebudayaan material dan fisik sebagaimana mereka memanggilnya – pendidikan menyeluruh dalam kekerasan, tidak menghormati siapapun dan tidak menganggap apapun suci.
“Bahaya-bahaya lain datang dari penerbit-penerbit yang tidak tahu malu dan selusin penemuan-penemuan lainnya, yang oleh rahmat Tuhan seharusnya menjadi sarana kebenaran dan kebaikan, tetapi dalam kenyataannya telah dialihkan untuk membantu kekuasaan setan. Apakah tidak pantas kalau kita berterima kasih kepada Tuhan yang telah memunculkan di tengah-tengah kita, aktual dan bercahaya, figur seorang anak yang baik dan kudus; bahwa kita harus berterima kasih kepadanya atas kesempurnaan kehidupan Kristiani di dalam seorang anak, yang tidak memperoleh bantuan-bantuan yang besar yang biasanya menyertai hal-hal yang hebat?
“Dia hanyalah anak miskin dari orang tua yang sederhana, hanya kaya dalam inspirasi-inspirasi surgawi dan dalam kehidupan Kristiani, dan ia hidup dalam hal-hal sehari-hari yang biasa saja. Dia juga tidak hidup dalam sebuah kebun yang dijaga, tapi pertama-tama di dalam dunia dan kemudian di tengah-tengah anak-anak yang dikumpulkan, dibentuk, dan dikuduskan Don Bosco; namun disini pun ada campuran anak-anak yang baik dan jahat. Inilah sebenarnya rahasia Don Bosco, mengatur elemen-elemen yang kurang baik dan menakjubkan bagi mereka yang tidak mempunyai iman atau ketergantungan pada Tuhan seperti dirinya. Don Bosco juga percaya bahwa kebaikan adalah sifat dasar manusia. Ia berusaha menghasilkan kebaikan dari kejahatan, seperti yang dilakukan Tuhan sendiri.
“Tetapi mari kita kembali kepada Beato kita yang baru. Di sekolah St. Don Bosco dan dengan mengikuti teladannya, anak ini, yang akan meninggal pada umur 15 tahun, dalam waktu singkat menjadi raksasa kecil dalam roh. Pada umur 15 tahun – sebuah contoh yang sempurna dan nyata dari kehidupan Kristiani dengan karakteristik- karakteristik yang kita perlukan pada zaman ini untuk kaum muda. Dia adalah sungguh-sungguh kesempurnaan kehidupan Kristiani, sebuah kehidupan yang mendapat kekuatannya dari tiga sumber utama: kemurnian, kesalehan dan semangat.
11 KEMURNIAN |
▲back to top |
Ia mempunyai kemurnian seperti bunga lili – kemurnian malaikat, yang diinspirasikan oleh Perawan tersuci, Ibu dari segala kemurnian. Kemurniaan ini diberi banyak perhatian khusus, pertama oleh ayah dan ibunya, kemudian oleh Don Bosco dan para Salesiannya, dan anak itu selalu menjaganya dengan insting nyata akan kemurnian. Dan melawan semua yang mungkin mempunyai bahaya terkecil terhadap kemurnian, ia membangkitkan seluruh kekuatan dari jiwanya sehingga menjadi sangat waspada dan berjaga-jaga. Kemurnian, kualitas yang utama ini, sebagai awal dari rahmat-rahmat Tuhan yang lain, hadiah untuk pekerjaan yang paling mulia! Kemurnian, cinta Bunda Maria dan Putranya, adalah parfum yang paling menarik hati Tuhan. Kemurnian! Betapa perlunya kita menaikkan lebih tinggi standar dari kebajikan yang cemerlang ini di tengah-tengah anak muda kita zaman sekarang!
12 KESALEHAN |
▲back to top |
Seseorang dapat berkata bahwa anak ini menjadikan kalimat kebijaksanaan Ilahi ini sebagai mottonya: “Ketika aku melihat dan menimbang, O Tuhan, bahwa tanpa bantuan-Mu aku tidak dapat menjadi murni dan damai, aku berpaling pada-Mu dan kepada-Mu aku meminta harta ini.” Untuk alasan ini, Dominikus Savio selalu dibantu oleh semangat kesalehannya yang besar. Di dalam dirinya, kesalehannya menjaga kemurniannya – kesalehan yang dibangun dengan doa, dan devosi kepada Santa Perawan Maria. Untuk doa jiwa ini, doa yang lain selalu disatukan, doa dari tubuh.
Seluruh kehidupan Dominikus Savio, semua doa dan silih, sekalipun tidak sekeras cerita-cerita orang kudus yang lain, namun tidak salah lagi merupakan sebuah kehidupan silih yang nyata. Pasti bahwa hal ini merupakan sesuatu yang memberi kita teladan yang paling berguna bagi kita semua, terutama bagi orang-orang muda zaman sekarang, karena merupakan silih yang dapat dilakukan semua orang. Ia menunjukkan dalam hidupnya kewaspadaan yang terus menerus: bagian yang lebih mulia mengendalikan bagian yang kalah mulia, roh mengendalikan tubuh.
12.1 SEMANGAT |
▲back to top |
Semua ini adalah persiapan alami untuk jiwa kerasulan yang mengerakkan seluruh hidup anak yang beruntung ini. Merupakan kecenderungan yang alami dari kebaikan untuk mengkomunikasikan dirinya pada orang lain, terutama di mana paling diperlukan, kecenderungan yang sangat menonjol dalam diri anak ini. Dominikus mengambil semua kesempatan dan ketika tidak ada, ia menciptakannya, dengan menjadikan dirinya seorang pewarta. Dari mengajar katekismus sampai bergabung dalam permainan-permainan teman-temannya, ia selalu bertujuan untuk menyebarkan apa yang baik dan kudus.
Oleh karena itu, ia merupakan sebuah teladan yang tepat untuk waktu sekarang ini, terutama bagi semua orang muda di seluruh dunia yang dengan antusias meminta agar dapat berpartisipasi dalam tindakan Gereja Katolik. Untuk dapat masuk ke dalam barisan ‘tentara’ ini harus ada pembentukan, yang lebih mendasar, lebih menyeluruh, lebih khusus, tentang hidup Kristiani. Di atas semuanya, harus ada kemurnian hidup dalam partisipasi dengan kesalehan besar Gereja, dalam doa yang semakin bertambah dan persatuan dengan Tuhan.
Memang benar bahwa kita selalu mengajak anak-anak kita untuk berdoa, karena dengan berdoa dan berkurban kamu mempersiapkan diri untuk bertindak. Dengan doa yang diinspirasikan oleh kesalehan, sekaligus juga pribadi sifatnya dan intim, dengan semangat pengurbanan yang berakar di dalam jiwa, kita dapat mempersiapkan diri untuk kegiatan yang berbuah di dalam kerasulan – sebuah kegiatan yang tidak dapat dipahami hanya berdasarkan kemampuan manusia saja, biarpun mulia dan murah hati. Boleh dikatakan bahwa figur besar Don Bosco tercermin di dalam pribadi muridnya yang kecil itu, yang memantulkan semangatnya untuk karya kerasulan di dalam hidupnya yang singkat itu.
Semua hal ini – hidup dengan semangat untuk jiwa-jiwa, untuk persatuan dengan Tuhan, silih dan doa yang terus menerus – selalu merupakan ciri khas dalam diri semua santo-santa, bahkan di dalam hidup mereka yang benar-benar menunjukkan kemuliaannya, karena Tuhan ingin menggunakan mereka untuk tujuan khusus di dunia ini. Tapi dalam kesimpulan akhir, apakah hal-hal ini, jika bukan elemen-elemen yang membentuk cara hidup Kristiani yang mereka jalani, tidak dalam ketentuan-ketentuan minimum yang dibuat oleh banyak orang, tapi dengan kesetiaan yang besar terhadap prinsip?
Dunia tidak mengetahui hidup semacam ini, ia tidak dapat membayangkannya. Ia mengenal kehidupan kafir dengan semua kesalahan dan keburukannya. Namun dengan adven Kristiani, hidup dalam roh mulai tumbuh dan mengeluarkan bunga dengan keindahan surgawi – dari anak-anak yang pertama-tama dipangku dan dikasihi oleh Tuhan Yesus, sampai pada pelayan Tuhan yang terberkati ini, Dominikus Savio.
13 Paus Pius XII |
▲back to top |
Pada tahun 1950, komisi eklesiastikal di Roma akhirnya mengakui dua mukjizat yang dituntut oleh Hukum Gereja sebagai kesaksian Ilahi tentang kekudusan seorang calon yang akan dibeatifikasikan. Keajaiban yang pertama adalah kesembuhan yang instan dan total dari seorang anak yang berumur tujuh tahun, Sabatino Albano, yang hampir meninggal karena menderita pendarahan ginjal dan radang sumsum tulang belakang. Keajaiban kedua adalah kesembuhan yang dialami oleh Maria Adelanto, seorang gadis Spanyol yang berumur 16 tahun, yang mengalami patah tulang lengan dan terserpihnya tulang-tulang yang patah.
Pada tanggal 5 Maret 1950, Paus Pius XII secara resmi mengumumkan gelar Beato kepada Dominikus Savio di Basilika St. Petrus. Gereja yang besar dan luas itu dipenuhi oleh umat yang mengagumi Dominikus, khususnya anak-anak dari sekolah-sekolah Salesian. Setelah koor vatikan menyanyikan sebuah hymne syukur kepada Tuhan, Paus bercerita secara singkat namun menyentuh tentang Dominikus. Hari berikutnya, Paus menerima audiensi anak-anak Salesian, berbicara kepada mereka dalam enam bahasa dan mengharapkan mereka untuk meneladani semangat kesalehan, kemurnian, dan apostolik dari Dominikus Savio.
Menurut keputusan Paus Urban VIII, dua mukjizat lagi diperlukan sebagai tanda persetujuan Ilahi sebelum seorang Beato dapat dikanonisasikan menjadi santo dan menerima penghormatan penuh dari Gereja. Dua mukjizat itu diakui untuk kasus Dominikus pada tahun 1954. Kedua mukjizat penyembuhan yang instan dan total itu terjadi atas dua orang ibu. Yang pertama bernama Ny. Mary Porcelli, yang sekarat dengan pendarahan dalam. Dokternya sendiri menyarankannya untuk berdoa kepada Dominikus Savio, yang baru ia baca cerita hidupnya. Hari berikutnya, pasiennya sudah menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Mukjizat yang kedua adalah kesembuhan Ny. Antoinette Micelli, yang merasakan sakit yang parah di wajah dan kepala karena sinus hidungnya yang terinfeksi. Dia sembuh secara instan, tanpa operasi, setelah mengucapkan doa yang pendek kepada Beato Dominikus.
Pada suatu sore, tanggal 12 Juni 1954, Paus Pius XII secara resmi menyatakan Dominikus Savio sebagai santo Gereja Katolik dan memberinya penghormatan penuh di altar, menetapkan 9 Maret, hari kematiannya, sebagai hari pestanya. Bersama dengan Dominikus, empat orang beato dideklarasikan menjadi santo. Hari itu adalah hari kemenangan untuk Gereja di Roma. Lapangan yang luas di depan Basilika St. Petrus dipenuhi pengunjung. Di depan Basilika yang berdiri dengan gagah di bawah langit Roma yang biru, berdirilah Paus yang sering sakit itu. Dengan suara yang dalam dan jelas – bukan seperti suara seorang tua yang sakit – ia membuka upacara kanonisasi Gereja itu. Lalu tanpa terputus-putus, ia membaca dekrit kanonisasi:
Sebagai penghormatan kepada Trinitas yang Kudus dan yang tak terpisah, untuk memuliakan iman Katolik dan penyebaran agama Kristiani – dengan kuasa dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari rasul kudus, Petrus dan Paulus, dan dengan kuasa kami sendiri – setelah pertimbangan yang matang, dan dengan meminta bantuan Tuhan … Kami menyatakan Beato Dominikus Savio sebagai seorang santo dan kami menuliskan namanya dalam daftar para santo, mendekritkan pestanya untuk dirayakan tanggal sembilan Maret. Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Amin.
Setelah menyanyikan lagu Te Deum, yang diiringi oleh suara bel-bel Basilika St. Petrus yang nyaring bunyinya, Bapa Suci membacakan pengantar singkat tentang santo yang baru ini. Pujiannya kepada St. Dominikus Savio, yang diselingi oleh tepuk tangan yang bersemangat oleh kerumunan anak-anak yang memenuhi lapangan itu, singkat namun sangat jelas:
“Pahlawan-pahlawan yang baru saja kita hormati ini memberikan seluruh tenaga mereka untuk melawan Iblis, dan kita melihat di sini, berdiri di depan kita, Dominikus Savio, seorang anak muda, yang tidak kuat dalam hal fisik, tapi dalam hal jiwa, yang dibaktikannya sebagai persembahan murni yang tak bercela sebagai tanda cinta kepada Kristus. Pada usia yang begitu muda, seseorang mungkin hanya berharap untuk menemukan sebuah jiwa yang baik dan ramah. Namun, kita terkejut menemukan jalan indah dari inspirasi Rahmat Ilahi, keterikatan yang penuh dan konstan terhadap hal-hal Surgawi, yang sangat dipahami imannya dibandingkan orang lain.
“Di sekolah milik guru spiritualnya, St. Yohanes Bosco, ia belajar bagaimana kegembiraan dalam melayani Tuhan dan membuat dirinya dicintai oleh teman-temannya, dapat menjadi cara kerasulan yang baik sekali. Tanggal 8 Desember 1854, Don Bosco melihatnya terangkat ke udara dalam sebuah ekstasi karena cintanya kepada Bunda Perawan Maria, dan segera setelah itu, Dominikus bergabung dengan beberapa temannya untuk membentuk Perkumpulan Maria Dikandung Tanpa Noda, yang tujuannya adalah untuk berjuang maju dalam kekudusan dan menghindari bahkan dosa yang terkecil.
“Ia mendorong teman-teman sekolahnya kepada kesalehan, tingkah laku yang baik, untuk sering menerima sakramen-sakramen, untuk mengucapkan rosario, untuk menghindari dosa dan godaan-godaan. Tidak takut terhadap sikap yang kasar atau kata-kata yang kurang ajar, ia terus berusaha mengingatkan mereka yang sesat jalannya. Menikmati, bahkan di kehidupan ini, keakraban dan pertolongan-pertolongan yang manis dari Tamu jiwanya, ia cepat meninggalkan dunia ini untuk menerima, melalui perantaraan Ratu Surgawinya, hadiah atas cintanya.”
Dengan kata-kata ini, Dominikus Savio diberikan kepada Gerja dan dunia. Ia bukan lagi seorang anak kecil dari Italia yang tinggal di pojok sebuah kota yang terpencil. Ia adalah jawaban Tuhan kepada masalah dunia sekarang ini, yaitu kenakalan anak-anak muda, pelindung anak-anak muda Tuhan, membimbing mereka dengan slogannya, “Lebih baik mati daripada berdosa!”
14 Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI |
▲back to top |
Paus Yohanes, ketika ia masih menjadi Uskup Venice, menulis sebuah surat kepada Pastor Renato Ziggioti, Rektor Mayor Serikat Salesian pada waktu itu, sehubungan dengan kanonisasi Dominikus. Di dalam surat itu, ia mengingat sebuah kunjungan yang telah ia lakukan ke makam anak itu di Mondonio. Setelah itu, dalam sebuah homili saat perayaan di Venice untuk gelar santo anak itu, ia berkata: “Pesan berharga dari Dominikus Savio untuk zaman kita ini, yang berlaku untuk anak-anak kecil dan juga orang-orang dewasa, untuk anak-anak muda dan orang-orang tua, adalah tentang kemurnian, kerendahan hati dan kesederhanaan dalam hidup.”
Paus Paulus VI, sebagai Uskup Agung Milan, meminta agar relik (sisa jasad) Dominikus dibawa ke Milan untuk pesta yang diadakan tanggal 19 sampai 25 April 1955. “Dominikus,” katanya, “adalah contoh yang luar biasa dan halus akan kekudusan anak muda.”