Bab V
Keberangkatan
Suatu sore, beberapa hari setelah kunjungan kepada pastor Ariccio, Mickey dalam perjalanan pulang bersama Greaser. Ia menceritakan hasil pertemuannya dengan sang pastor, dan berharap mendapat kabar dalam beberapa hari mendatang.
"Kamu akan pergi?" tanya Greaser.
"Tentu, dong." jawab Mickey.
"Oh," hanya itu komentar Greaser. Ia terdiam beberapa lama.
Keduanya saling menyadari bahwa persahabatan mereka akan segera berakhir. Mickey mengakui walaupun merasa pasti akan kehilangan teman-temannya jika pergi, ia akan tetap pergi dengan senang hati. Greaser tetap menyesalkan kepergian Mickey walaupun mengetahui kalau temannya mendapat suatu kesempatan bagus.
Greaser memecahkan kesunyian. "Besok kita mancing, yuk," usulnya. "Siapa tahu ini kesempatan terakhir kita main bareng."
"Oke," kata Mickey. "Kamu bawa pancingnya."
Esok paginya kedua pemuda itu bertemu ditempat yang cukup jauh dari rumah Mickey, di daerah yang penghuninya tidak mengenal mereka. Mereka masing-masing membawa sebuah buntelan berisi buku yang diikat dengan sabuk.
Walaupun membawa buku; mereka tidak berjalan menuju sekolah, tetapi sebaliknya. Tidak berapa lama mereka sampai di tanggul sungai dan berjalan menembus semak-semak menuju markas geng di mana mereka meletakkan buku-buku mereka dengan hati-hati di pojokkan. Mickey pergi keluar lagi dan meraba-raba di dalam semak belukar hingga ia dapat menarik keluar sebuah pancing yang tipis dan panjang. Greaser pergi keluar dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa sebuah pembungkus dari kain kanvas yang tipis. Selanjutnya mereka mencari tempat yang tanahnya subur dan lembab dan dengan potongan pipa menggali tanah mencari cacing. Ketika telah mengumpulkan cukup umpan untuk memancing seharian; mereka membersihkan tangan di rumput dan berdiri.
Ketika mereka dengan penuh kegembiraan menyusuri jalan raya, sebuah bayangan berlari menyusul dari belakang. Ternyata "Snotty" Velletti.
Greaser berhenti dan menatap anak itu. Wajahnya memperlihatkan rasa tidak senang. Dia hanya ingin berdua saja dengan Mickey dan tidak menyukai kehadiran orang lain.
"Kamu mau apa?" tanyanya.
"Aku boleh ikut, Greaser?"
"Tidak, kamu tidak bisa memancing."
"Aku bisa!"
"Kamu tidak bisa!"
"Ah, yang benar aja! Aku bisa mancing lebih baik daripada kamu."
Greaser sambil melangkah maju mengancam. "Aku bilang kamu tidak bisa," ulangnya sambil menakut-nakuti Snotty.
Snotty berlari menjauh demi keselamatannya. Ia memungut sebutir batu dan melemparnya ke arah Greaser. Ia terus berlari selama beberapa saat, dan sambil berbalik ke belakang berteriak, "Aku akan bilang ke pak guru! Kalian bolos sekolah!" Diulang-ulangnya ancaman itu terus menerus.
Greaser berdiri dengan satu tangan memegang stoples berisi cacing sementara tangan satunya memegang bungkusan dari kain kanvas yang panjang itu. Kedua bibirnya tertutup rapat; ia menarik nafas dalam-dalam, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Mickey berbicara memecahkan kesunyian. "Biarkan saja, biarkan ia pergi, Greaser," katanya. "Dia tidak mungkin ngadu. Dia enggak punya nyali. Ayo kita pergi!"
Matahari sudah tinggi di atas kepala ketika mereka pergi dan mulai memanaskan jalan di depan. Udara yang terasa panas sementara debu tebal terasa di bawah kaki telanjang mereka.
"Gee, hebat sekali, Mickey!" kata Greaser. "Kenapa kita tidak pergi mancing tiap hari dan kita tidak perlu pergi sekolah!"
Mereka telah berjalan hampir satu jam ketika Mickey berbelok masuk ke sebuah ladang. Greaser berjalan terus hingga mencapai sebuah pintu gerbang dan duduk di atasnya. Seseorang muncul dari balik bukit ketika ia sedang duduk santai sambil menunggu kedatangan Mickey; orang itu membawa kantung pada pundaknya. Orang itu menatap Greaser dengan tajam.
"Hari yang indah," katanya.
Greaser memandang orang itu. Dengan ujung dagu, sepasang mata kecil yang terlihat licik, rambut tipis berwarna putih yang disisir rapi kebelakang membuat Greaser memikirkan setan.
"Apa yang kamu bawa?" Orang itu menunjuk bungkusan yang dibawa Greaser.
"Pancing," jawab Greaser. Dibukanya tutup atas bungkusannya dan memperlihatkan isinya, berupa seikat mata pancing dari logam dan sebuah tongkat pancing berwarna coklat yang memantulkan cahaya matahari. Orang itu menatap tajam ke Greaser.
"Pancingmu bagus," katanya.
"Ya," sahut Greaser.
"Dimana kamu membelinya?"
"Aku menemukaannya."
"Kamu menemukannya!"
Greaser tertawa walaupun tidak ada yang patut ditertawakan. "Aku tidak menemukannya. Ini diberi orang."
"Diberi orang?"ulang orang itu. Ia menatap tajam Greaser sambil berpikir sejenak. "Begini," ujarnya, "kamu kelihatannya anak yang pintar, tahu apa yang baik dan yang tidak. Aku punya uang dua lire kalau kamu mau menjual pancingmu. Lagipula kacang di tas ini untukmu semua." Diturunkannya tas itu dari bahunya dan membukanya untuk menunjukkan kacang tersebut kepada Greaser.
"Kamu lihat kacang-kacang itu?" lanjutnya. "Kalau aku memberi kamu cuma satu butir kacang, cuma satu! Dengar! Kamu dapat menanamnya dan akan menghasilkan, di waktu yang akan datang, sebatang pohon yang mungkin berbuah lima puluh butir kacang. Tanamlah kelima puluh kacang itu dan apa yang kamu dapatkan? - Kamu tidak bisa menghitungnya? Baik, aku beritahukan. Kamu akan mendapatkan lima ribu butir kacang! Kamu akan membanjiri Piedmont dengan kacang! Kamu bisa kaya, tahu. Dan daripada cuma mulai dengan butir kacang; kamu punya satu tas penuh ini! Kemarilah - kamu dapat ambil semuanya. Kamu anak baik dan aku suka kamu. Berikan pancing iu kepadaku sekarang dan tak akan kuceritakan kepada siapapun bagaimana aku bisa mendapatkan pancing ini, jadi kamu tidak akan mendapat masalah."
Orang itu mengawasi Greaser dengan matanya yang bundar ketika ia selesai bicara. Greaser memegang erat-erat pancingnya itu hingga buku-buku jarinya memutih, dan cepat menoleh kejalan raya.
Menyadari kalau kepandaiannya berbicara tak berguna, dengan sedikit membungkukkan pundaknya orang itu mendekati Greaser.
Pada saat itu semak-semak terbuka dan Mickey melompat dari jalan raya. Orang itu menoleh dan berdiri diam hingga Mickey muncul.
"Hai, Mickey," teriak Greaser dengan lega. "Orang tua ini mau menukar pancing dengan sekantong kacang dan beberap lira."
"Beberapa lira dan sekantong kacang, eh?" sahut Mickey. Terdengar ancaman dalam suaranya.
Untuk sesaat orang tua itu menatap Mickey seolah-olah mau menantangnya. Tetapi kemudian ia hanya mengganggukan bahu dan melangkah pergi.
Mickey dan Greaser sampai di akhir perjalanan tidak lama setelah bertemu. Di sisi kiri jalan raya, di seberang sebuah penginapan, mereka memasuki sebuah lapangan dan menyusuri jalan setapak yang gelap menuju sebuah sungai yang gelap dengan pinggiran yang tinggi dan berumput. Keduanya duduk beristirahat di rumput tak berbicara, agar tak mengganggu 'harta karun' yang meluncur dengan tenang tersembunyi di bawah permukaan air. Yang kehadirannya dapat di ketahui melalui gelembung udara yang sesekali muncul di permukaan air.
Seekor burung 'kingfisher' menukik menuju permukaan air dan hinggap di bebatuan sungai sambil menatap Mickey. Kemudian sambil menjerit keras sang burung meluncur lagi di atas permukaan air bagaikan sepotong baja berwarna kebiruan di bawah siraman cahaya matahari. Kedua anak itu memancing dalam kesunyian hingga saat-saat menyenangkan terlewat.
Mickey merasa sudah waktunya untuk pulang dan memandang temannya. Greaser sedang bersantai memperhatikan umpan dan kail. Sesekali ia mengalihkan pandangannya menyusuri hulu dan hilir sungai, dan kembali lagi menatap umpan. Kedua bibirnya mengerucut seolah-olah bersiul tetapi tak ada suarapun terdengar.
"Greaser," kata Mickey, walaupun berbicara perlahan namun suaranya memecahkan kesunyian. "Pulang, yuk."
"Mmmmm?" sahut Greaser. "Oh! Ya, sudah. Kita pulang." Lalu dengna kesal ia berkata, "Gee, aku benci pulang!"
Mereka mengeluarkan kotak kosong dan mengumpulkan hasil tangkapan hari itu dan menghitungnya. Empat ekor ikan 'brown trout' kecil tak lebih besar daripada tangan mereka. Mickey mengambil sisa-sisa umpan dan membuangnya, stoples dan seluruh isinya ke dalam sungai.
"Makan ini! Ikan-ikan sialan!" teriaknya dengan kesal. Kekesalannya memudar selama ia memperhatikan toples itu. Pertama-tama toples itu berayun-ayun di riak-riak gelombang hingga terbalik dan air masuk ke dalam melalui pinggirnya. Toples itu menegak pada saat tenggelam dan isinya tertumpah keluar hingga mengapung mengotori air yang jernih. Beberapa sosok-sosok gelap menghampiri dan mengitarinya dengan ragu-ragu. Dengan segera sosok-sosok lainnya menyusul dan seperti sebuah roda mengerumuni umpan yang telah tenggelam ke dasar sungai.
"Lihat, banyak banget ikan-ikan itu!" bisik Greaser. Ulah mereka membuatnya marah sehingga memungut segenggam tanah dan melemparnya kesungai. Ikan-ikan itu memecah bubar ketika tanah menyentuh air.
Mickey menggoyang-goyangkan kepala dengan kesal sementara mereka mendaki lereng menuju ke jalan raya dan berjalan pulang ke Carmagnola.
Mereka lebih memikirkan perut yang keroncongan karena sudah kehilangan minat memancing. Sambil menyusuri jalanan berdebu mata mereka jelalatan mencari kemungkinan untuk mengisi perut. Greaserlah yang pertama kali melihatnya.
"Lihat Mickey!" serunya. "Sepertinya kita bisa beruntung di sana."
Mickey memandang tempat yang ditunjuk Greaser dengan penuh pertimbangan, dan akhirnya menganggukkan kepala. Greaser memberikan pancing dan ikannya kepada Mickey ketika sampai di jalan setapak yang menuju rumah kecil itu; ia merapikan celana dan meneruskan perjalanannya. Mickey melompat bersembunyi di balik pepohonan sehingga tak tersembunyi, baik dari jalan maupun rumah itu.
Greaser menuju serambi depan dan mengetuk pintu. Ia menunggu beberapa saat, lalu sekali lagi mengetuk dengan lebih keras. Tak berapa lama pintu terbuka dan seorang nyonya tua muncul. Sang wanita tersenyum dengan wajah berwarna merah dan memakai topi putih kecil. Celemeknya seolah-olah membagi tubuhnya menjadi dua buah bulatan besar.
"Ada apa anak muda?" tanyanya.
"Ya, nyonya," sahut Greaser sambil berdiri dengan satu kaki. "Saya dan adik saya dalam perjalanan ke Turin dan kami lapar."
"Kasihan," gumam nyonya tua itu, "Apa yang bisa kuberikan untukmu? Aku tidak tahu …….?"
"Sepotong roti, Nyonya, atau apa saja ……"
"Hanya beberapa potong roti, dan sedikit sosis, atau keju …….?"
"Woow, Nyonya!……" untuk sesaat wajah Greaser menjadi cerah tetapi dengan segera ia 'memperbaiki' penampilannya. "Ya, nyonya,"ujarnya, "Itu sudah cukup. Adik saya ……."
"Baik, tunggu sebentar di sini. Aku ambilkan untukmu sebentar. Tapi, kenapa adikmu tidak kamu ajak ke sini?"
"Dia selalu menangis," jawab Greaser.
"Kasihan!" kata sang nyonya tua sambil masuk ke dalam rumah.
Greaser duduk menunggu di tangga serambi waktu wanita itu masuk. Dilihatnya sesosok tubuh membungkuk di balik semak-semak dan memberi tanda berupa kepalan tangan.
"Gimana?" 'tanya' kepalan tangan itu.
Greaser mengangkat kepalan tangannya dan menggerakkannya perlahan.. "Berhasil", 'jawab' kepalan tangan Grease. Sosok bayangan itu kembali ke balik semak-semak.
Greaser mendengar langkah kaki sang nyonya tua dan langsung berdiri.
"Kasihan, kamu pasti kelaparan," ujarnya sambil memberikan beberapa potong roti dan sebuah bungkusan kepada Greaser. "Ini! Sedikit daging dan keju untukmu. Apa cukup?"
"Terima kasih, Nyonya," ujar Greaser sambil menerima bungkusan itu dengan canggung. "Terima kasih banyak." Dipegangnya bungkusan dengan satu tangan sambil berjalan santai meninggalkan rumah itu hingga tempat persembunyian Mickey.
"Wow!" kedua bola mata Mickey terbelalak ketika melihat makanan itu. Mereka membelah roti, memasukkan daging serta keju ke dalamnya untuk membuat sandwich, dan memakannya sambil ngobrol dalam perjalanan pulang ke rumah. Sekolah sudah bubar ketika mereka melihat menara-menara gereja Carmagnola di kejauhan.
Esok harinya sebelum pulang sekolah; sang guru memanggil mereka: "Magone dan Pallone, kemari. Yang lainnya bolah pulang."
Mickey memperhatikan barisan teman-temannya yang berlalu dan mengacuhkan pandangan mereka kepadanya.
"Kemana kamu kemarin, Magone? Kenapa tidak sekolah?" tanya guru itu.
"Saya membersihkan rumah dan harus bekerja." sahut Mickey tanpa ragu-ragu
"Pallone, kemana kamu?" ujar sang guru dengan nada yang sedikit keras.
"Saya…… saya membersihkan rumah……dan……saya bekerja," ujar Greaser dengan terbata-bata.
"Pallone, kamu boleh pergi," kata sang guru, dengan menatap Greaser dan menegaskan setiap kata-katanya. "Tapi aku ingin menemui orangtuamu."
"Baik Pak," sahut Greaser; mencoba untuk terlihat peduli.
"Magone, ada pesan dari pastor paroki untukmu. Beliau ingin menemuimu setelah pulang sekolah. Kamu sangat beruntung dapat pesan darinya karena aku sendiri ingin berbicara denganmu. Tapi jangan kuatir, tuan, aku akan mengingatnya. Sekarang kamu boleh pergi. Magone! Apa-apan kamu ini. Lari-larian seperti itu. Rapikan buku-bukumu!"
"Maaf, Pak."
Mickey meletakkan buku-buku ke lemari; kemudian merapikan meja belajarnya dan beberapa detik kemudian sudah berlarian di jalan menuju pastoran. Beberapa orang anak mencoba mencegat, tetapi ia hanya melambaikan tangan dan terus berlari hingga depan pintu pastoran. Ia menunggu hingga nafasnya teratur sebelum menekan bel.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dan tak berapa lama pintu terbuka beberapa inchi.
"Ada apa?" ujar 'Kate' dengan nada mencela.
"Pastor menyuruh saya datang," kata Mickey dengan penuh percaya diri.
"Tunggu di situ." Lalu pintu ditutup.
Mickey hanya menunggu beberapa menit sebelum pintu terbuka lagi. "Di sana," kata Kate sambil menunjuk ke ruang tamu. Mickey memasuki ruangan itu dan sang Pastor meletakkan berkas-berkas suratnya sambil tetap duduk.
"Aku punya berita bagus," katanya. "Kita beruntung. Menurut Don Bosco dia bisa mencarikan tempat untukmu. Apalagi, sepertinya ia sering memikirkanmu. Saya tidak tahu kenapa! Dia bilang ia akan menerimamu karena kamu memiliki sifat yang bagus. Hmmmmm!" ujar sang Pastor sambil mengerutkan dahi.
Mickey merasa tersanjung ketika mendengar kata-kata sang pastor dan bertekad - entah bagaimana - akan membuat Don Bosco terus memikirkannya.
Ia berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Yang terpikirkan hanyalah kegembiraan pergi ke Turin; untuk bersekolah dan belajar bekerja, dan untuk bertemu Don Bosco. Dalam lamunannya tentang kejadian-kejadian indah yang akan terjadi, ia melemparkan buntelan buku-bukunya ke udara makin lama makin tinggi dan menangkapnya seperti seorang pesulap yang berpengalaman. Suatu saat, ketika ia salah perhitungan, buku-bukunya jatuh ke dalam selokan. Disekanya dengan lengan baju jaketnya, merasa kalau buku-buku ini sudah tak berguna lagi. Tak ada yang memberati pikirannya sekarang - teman-teman disekolahnya, gangnya, rumahnya. Ya, dia akan pergi meninggalkan rumahnya, dan juga berarti meninggalkan ibunya. Khayalannya terhenti sesaat dan sekali lagi mencoba membayangkan hal-hal yang lebih menyenangkan.
Turin pasti menyenangkan! Didengarnya cerita orang-orang tentang kehebatan kota itu, tentang makanan dan pakaian yang tersedia banyak sekali, juga tentang uang yang berlimpah. Ia telah menyaksikan orang-orang Turin yang mengunjungi rumah-rumah besar di sekitar Carmagnola. Dan ia dapat membayangkan kalau kota itu sangat makmur, dilihat dari dari cara berpakaian dan kereta-kereta kuda yang mereka kendarai. Ia membayangkan kalau ia memiliki kereta kuda sendiri. "Wow!" katanya. "Banyak hal bisa terjadi padaku!" Ia mulai berlari dan tak berhenti hingga memasuki kamar di ujung atas tangga.
"Hai, Mam!" teriaknya. "Aku mau pergi ke Turin!"
Pada awalnya sang ibu tidak mengerti arti ucapan anaknya, tapi ia tersenyum dengan gembira saat menatap mata anaknya yang berseri-seri dan wajahnya yang cerah penuh antusiasme. Sang ibu mendengarkan dengan penuh perhatian sambil menggelengkan-gelengkan kepala penuh kekaguman ketika Mickey bercerita tentang percakapannya dengan Pastor Ariccio, tentang surat-surat dari dan ke Don Bosco, dan akhirnya tentang ia diterima oleh Don Bosco. Sang ibu memeluknya ketika Mickey selesai bercerita.
"Ini berita gembira!" serunya. "Luar biasa! Semuanya untuk Mickey - Mickeyku yang besar!"
Selama beberapa hari mendatang Mickey dan ibunya tidak dapat memikirkan apapun kecuali tentang keberangkatannya nanti. Hanya hal itulah yang mereka bicarakan. Pakaian-pakaian Mickey sudah dibersihkan dan diperbaiki. Kebutuhan-kebutuhan lainnya dibeli dengan uang yang diberi oleh pastor, kepala sekolah dan beberapa teman ketika mereka tahu bahwa ia akan pergi sekolah di Turin.
Mickey pergi ke tempat persembunyian gangnya pada malam sebelum berangkat. Entah mengapa ia tidak terlalu berniat pergi ke sana, dan ketika menarik papan dan melangkah kedalam, ia berpikir apakah ini kunjungan yang terakhir kali baginya. Ia tersenyum gembira ketika teman-temannya menyambutnya dengan meriah. Mereka semua ada di sana, suatu penghormatan baginya.
Salah seorang anak menemukan sekeranjang apel, yang lainnya satu tas buah berangan, dan anak ketiga sepotong sosis utuh. Dalam waktu singkat pesta berlangsung dan akhirnya Mickey harus mengakhiri kegembiraan itu. Teman-temannya tidak rela membiarkannya pulang sendirian sehingga mereka memaksa menemaninya hingga kaki anak-tangga rumahnya.
"Sampai jumpa, Mickey," mereka serempak berseru, "semoga kamu kembali."
"Kalau kamu mendapat masalah," teriak Greaser, "beri tahu kami dan kami akan pergi ke Turin untuk menolongmu!"
"Selamat tinggal, geng," hanya itulah yang dapat dikatakan Mickey ketika berbalik memasuki rumah.
Esok paginya ia gembira karena banyak hal yang harus dikerjakan sebelum berangkat, karena hal itu membantunya untuk tidak memikirkan tentang perpisahan. Ia berharap agar semua persiapan segera selesai dan segera berada di kereta ke Turin.
Akhirnya segalanya siap dan Mickey beserta ibunya pergi meninggalkan rumah. Mickey dengan setengah bercanda membalikkan badan dan "meniupkan" ciuman selamat tinggal kepada tangga besi tua yang usang dan selalu dilewatinya. Sang ibu tidak tersenyum, tetapi tetap menatap ke depan.
Mereka naik ke kereta setelah membeli tiket dan Sarah menemukan bangku kosong di sudut gerbong dekat jendela. Sang ibu meletakkan barang-barang bawaannya - dua buah kotak karton dan sebuah buntelan pakaian - di atas rak, membersihkan debu-debu pada bangku dan jendela, dan mulai membersihkan sisi depan jas Mickey dengan jari-jarinya, mencabuti benang-benang khayal di sepanjang lengan, dan menjatuhkannya ke lantai.
Mickey biasanya menggeliat-geliat menolak jika ibunya melakukan hal itu. Tapi pagi itu di dalam gerbong kereta yang dingin, ia tidak memiliki keinginan untuk protes. Akhirnya sang ibu menyelesaikan pekerjaannya dan duduk sebentar divsampingnya. Sejauh ini sang ibu tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan, tetapi ketika tiba waktunya untuk berpisah ia tidak dapat mengontrol dirinya lagi.
"Oh, Mickey! Mickey!" ujarnya terisak-isak sambil memeluk Mickey dengan erat. Ia terus menerus menggeleng-gelengkan kepala sambil mengulang-ulang ucapannya di sela-sela air mata: "Mickey!"
"Jangan kuatir, bu," katanya. "Aku tidak akan pergi selamanya." Kemudian, katanya: "Kalau ibu mau aku pulang, beritahu aku dan aku akan segera datang, jalan kaki kalau perlu."
Sang ibu memandang wajahnya sambil menjawab dengan lembut dan dengan tenang: "Tidak, Mickey. Aku tak tahu apa yang kulakukan tanpamu. Bagaimanapun juga aku sungguh-sungguh mau kamu pergi. Dan aku mau kamu tinggal bersama dengan Don Bosco selama…beberapa tahun, sedikitnya. Selamat jalan. Tuhan memberkatimu dan menjagamu, dan semoga Bunda Maria selalu menjagamu siang maupun malam."
Ibunya turun dari kereta dan berdiri di bawah jendela. Apakah ia ingat sudah mengemas semua perbekalannya? Mungkinkah ia akan sering mengirim surat? Apakah ia akan menaati semua peraturan?
Mickey mencoba mendengarkan dengan penuh perhatian semua perkataan ibunya walaupun seperti bergaung secara tidak wajar. Seperti semua bunyi-bunyian di setiap stasiun kereta api.
"Baik, bu." Kata-katanya tertelan oleh bisingnya mesin kereta-api."… Aku janji…"
Lengkingan peluit kereta-api bergema dipantulkan oleh tembok di kejauhan dan sang ibu melangkah menjauh dari jendela, melambaikan tangan kepadanya selama kereta-api berjalan keluar stasiun di tengah gumpalan asap.
Mickey menjulurkan tubuh keluar dan menatap ibunya hingga sebuah belokan menghalangi pandangan. Ia kembali duduk dan tiba-tiba seluruh kehidupannya terasa kosong, sekosong gerbong kereta-api itu. Ia mencoba mengingat semua hal ketika sang ibu bersamanya, tetapi sekarang ia sudah pergi; karena tidak ada orang lain di gerbong, ia tak dapat menahan air matanya yang mulai bercucuran.