Ibu


Ibu



1

Warisan Yang Kaya




“Ya-Ya! Ya-Ya!” sorak para tentara sambil menepuk lutut mereka.

“Ya! Ya!” balas gadis itu, “dan, buu! buu!, juga.”

Para tentara sekarang mulai bersemangat dalam permainan ini dan mulai mengikuti suara gadis itu, “Buu! Buu!”

Hal itu terus berlanjut sampai sang gadis merasa bahwa hal itu cukup. “Buu! Buu! dan Ya! Ya!” serunya, “Dan keduanya menjadi buya.” Dalam bahasa daerahnya, kata ini berarti seorang tukang jagal atau penjahat, ”Itulah kalian!” teriaknya. “Tukang jagal! Penjahat!”

“Tentara!”gadis itu mengucapkan kata itu dengan campuran rasa kurang hormat dan takut. “Para tentara selalu saja membawa masalah!” Walaupun ia masih muda, ia tidak seperti teman-temannya yang terkesan dengan hal itu, ia sudah menyadari apa yang ada di balik seragam indah mereka, kancing baju mereka berkilat dan bulu topi mereka bergoyang. Di balik penampilan mereka yang mencolok ada sesuatu yang bertolak belakang dengan penampilan mereka. Terlepas dari seragam mereka, pria-pria ini sering menunjukkan diri sebagai pria yang hina, penjahat dan pemerkosa yang meneror desa-desa, sehingga tidaklah aman untuk membiarkan sapi, domba, atau kambing untuk keluar merumput tanpa dijaga, atau untuk membiarkan seorang wanita keluar sendirian.

Gadis ini telah membalikkan jagung-jagungnya untuk dikeringkan di halaman rumahnya dan telah menjaganya dengan hati-hati karena jagung-jagung itulah yang akan menjadi makanan keluarganya selama musim dingin sebagai polenta, yaitu makanan utama mereka. Ia sedang bergumam pada dirinya sendiri karena hari itu merupakan hari yang cerah di bulan September dan pemandangan di hadapannya menangkap perhatiannya.

Dari sisi bukit dimana rumahnya berada, ia dapat melihat sebelah utara pegunungan Alpen yang menakjubkan, yang memantulkan cahaya sinar matahari di siang hari, dan bagian selatan adalah lembah-lembah yang rendah dan padang Montferrat yang subur.

Seketika perhatiannya teralihkan pada suara logam yang sedang beradu yang kemudian berubah menjadi suara derap yang berat ketika kelompok tentara berkuda keluar dari jalan yang lurus menuju padang yang lembut. Selagi ia sedang melihat, para tentara berkuda itu berkumpul pada sebuah barisan semak-semak dan turun dari kuda mereka. Menilai dari kuda-kuda mereka yang terengah-engah dan hembusan nafas lega dari para pria itu, perjalanan mereka pastilah panjang dan melelahkan, melewati desa-desa dan bukit-bukit yang mampu untuk mengetes mental seorang pria yang berkuda. Sebelum beristirahat, mereka melepas kuda-kuda yang segera pergi untuk mencari makanan. Setelah melepaskan topi berbulu dari kepala mereka, para tentara itu melonggarkan jaket mereka dan segera menemukan tempat untuk beristirahat, sambil mengambil rokok dari saku mereka.

Dengan segera gadis itu kehilangan rasa tertariknya pada gerakan-gerakan para tentara itu dan menjadi sangat tertarik dengan aksi-aksi dari kuda-kuda mereka. Sewaktu sedang memperhatikan para tentara itu, kuda-kuda itu dengan cepat telah menemukan jagung-jagungnya dan mulai memakannya. Bahkan pada masa-masa biasa hal ini sangat keterlaluan, tapi dengan makanan yang begitu jarang dan harga-harga yang begitu tinggi, masa ini bukanlah masa biasa, maka ia segera berlari menuju kuda-kuda itu.

“Pergi kalian…! Pergi…!” teriaknya, namun usahanya untuk mengusir kuda-kuda itu tidaklah mengganggu kuda-kuda itu dan hanya menghibur para tentara yang benar-benar sedang bersantai dan dengan tenang menghisap pipa rokok mereka, bahkan beberapa dari mereka mulai menyemangatinya.

Sher gut, mudchen! her nicht auf!” seru mereka. “Kerja yang baik, gadis kecil! Jangan menyerah!” bagi mereka pemandangan itu sangat lucu.

Melihat bahwa seluruh usahanya tidak berhasil, gadis itu mengangkat roknya, dan kemudian lari untuk menghadapi para tentara itu, menjelaskan kepada mereka bahwa jagungnya terlalu berharga untuk diberikan kepada kuda-kuda. Untuk melindunginya, keluarganya menggantungkan persediaan musim dingin mereka di bawah atap rumah dan di kandang-kandang mereka, yang jauh dari mata para pengintai. Sekali lagi ia memohon agar mereka menarik kuda-kuda mereka.

“Mereka memakan jagung kami!” protesnya. “Kami memeras keringat kami sepanjang musim panas untuk menumbuknya dan jika kuda-kuda kalian memakannya maka dengan apa kami makan sepanjang musim dingin? Apakah kalian akan menarik kuda-kuda kalian sekarang?”

Sayangnya, semuanya itu dikatakan pada para tentara bukan dengan bahasa Italia yang mungkin mereka pahami sedikit, tetapi dalam bahasa Piedmontese yang tidak mereka mengerti sama sekali. Setelah mendengar permohonannya, mereka terdiam untuk beberapa saat lalu mereka tertawa terbahak-bahak.

Melihat ucapannya itu sia-sia ia berbalik lari untuk mengambil tongkat garpu dan menusuk kuda-kuda itu dengan gagang kayunya, tapi karena kenikmatan makan melebihi rasa sakit akibat ditusuk, kuda-kuda itu terus saja makan. Melihat hal ini, gadis itu membalik gagang kayu itu dan mulai menusuk kuda-kuda itu dengan ujung logamnya yang tajam. Namun, hanya setelah ia menusuk hidung mereka yang lunak barulah mereka pergi dengan mengeluh kesakitan.

Sekarang giliran para tentara untuk marah, tetapi pertama-tama mereka harus menangkap kuda-kuda mereka dan menuntun mereka menuju pohon-pohon terdekat jauh dari jagung-jagung itu, lalu mereka berbalik untuk menghadapi lawan mereka. Jika lawan mereka adalah seorang petani biasa maka mereka akan bertindak keras kepadanya karena seorang tentara berkuda tidak akan mau menerima penghinaan seperti itu. Pasukan berkuda adalah tentara elit yang sombong dan juga bodoh, yang biasa membunuh penduduk dengan pedang mereka. Tetapi apa yang harus mereka lakukan pada gadis itu? Akhirnya mereka mengangkat pundak mereka masing-masing dan mengerutu sendiri-sendiri, kemudian mereka kembali menuju tempat istirahat mereka dan kembali menghisap pipa rokok mereka.

Siapakah tentara itu dan apakah yang mereka lakukan di daerah bagian Italia itu?. Mereka adalah orang-orang Austria yang baru saja menduduki wilayah Piedmont, dan saat itu bukanlah tahun 1914 atau 1940, melainkan tahun 1799. Kehadiran tentara asing yang berulang kali dan berkelanjutan baik dari Perancis, Austria, ataupun Rusia mempunyai ceritanya sendiri. Bahkan dalam usia yang masih muda, gadis itu sudah melihat lebih dari satu bendera yang berkibar di Piedmont dan lebih dari sekali merasakan akibat-akibat perang.

Iklim pegunungan Alpen merupakan berkah, namun untuk kedamaian justru sebaliknyalah yang terjadi karena pegunungan Alpen merupakan gerbang menuju kota Roma. Ini berarti letak Piedmont berada pada kekuasaan para tentara yang berniat menaklukkan kota Roma dan mereka yang berniat untuk mempertahankannya. Sejak Ludovico Sforza “Penguasa Naples” pada tahun 1494, memohon pertolongan Raja Charles VII dari Perancis untuk mengkontrol tanahnya, Peninsula ini telah menjadi kacau dan terbuka untuk invasi-invasi. Invasi ini menambah perang yang membingungkan diantara negara-negara bagian Itali itu sendiri, dan telah menjadikan negara mempunyai reputasi akan ketidakstabilan.

Siapakah gadis yang telah berani menghadapi para tentara itu? Ia adalah Margareta Occhiena, lahir pada tanggal 1 April 1788 di Capriglio dan sekarang berumur sebelas tahun, dan yang pada saat mereka datang sedang bekerja di sebelah bukit dekat desa Capriglio yaitu “bukit kambing”.

Sepatu boot yang berat melindungi kakinya dari tanah yang kasar dan sebuah celemek kerja berwarna biru yang memudar menutup roknya dan menutupi lututnya yang berwarna coklat, juga sebuah selendang warna merah menutup rambutnya yang coklat. Kulitnya yang kelihatan segar dan sedikit kecoklatan disebabkan oleh musim dingin yang menggigit dan sinar matahari pada musim panas yang membakar. Matanya yang coklat mampu menembus hati, dan tubuhnya ramping mendekati kurus karena kerja keras dan sering kali menaiki dan menuruni kebun anggur, serta karena diet makanan yang seringkali dilakukan oleh penduduk di situ.

Roman wajahnya seperti darah yang mengalir melalui nadi-nadinya bukanlah murni Italia. Kependudukan asing dan invasi tentara asing telah dimulai lama sebelum datangnya tentara Romawi dan di beberapa tempat telah menggantikan penduduk asli serta di daerah lain telah diserap oleh mereka. Darah Celtic, Romawi, Gallic, Jerman, dan Slavic mengalir di darah gadis muda itu, dan ketika ia berbicara dialek daerahnya keluar dari mulutnya. Karakteristik dari berbagai macam ras telah memberikan ciri-ciri yang begitu kuat, yang menarik perhatian dan mengingatkan akan wanita-wanita besar pada masa lampau.

Warisan yang kaya ini berasal dari daerah pangeran-pangeran perang dan kejantanan dari berbagai macam bangsa yang tak terelakkan telah membuat Piedmont melebihi daerah-daerah lain di peninsula itu dan menjadi tanah “para pejuang, pemimpin negara dan tanah para Santo”.

Walaupun ia baru berusia satu tahun ketika revolusi Perancis pecah, untuk beberapa tahun sesudahnya ia mendengarkan dengan mata terbelalak cerita-cerita horor dari 50.000 pengungsi yang berhasil lari dari teror dan pisau jagal di sepanjang pegunungan Alpen.

Ia baru berusia enam tahun ketika ia mendengarkan kejadian detik-detik berdarah menyusul revolusi dan merupakan akibat dari kesuksesan Napoleon Bonaparte. Tahun 1799 ia menguasai Piedmont dan pada saat kerusuhan dan penjarahan yang menyusul setelah naiknya harga makanan di Chieri, seseorang yang bernama Francisco Bosco ditangkap dan dieksekusi bersama tahanan lainnya. Sejak saat itu orang-orang Perancis datang secara permanen dan sejak saat itu Piedmont tidak pernah bebas dari tentara. Ia dapat mengingat dengan jelas suara bel-bel yang memanggil para pria untuk mengangkat senjata guna membela Raja Charles Emanuel IV dan untuk melawan tentara Perancis serta bagaimana orang-orang yang lebih tua mengkritik para tentara itu akan ucapan-ucapan mereka yang bombastik dan sok pahlawan namun jauh dari kenyataan, selalu menjanjikan kemenangan namun tidak pernah mencapainya.

Orang-orang selalu berpikir tentang perang. Pembuatan seragam para tentara adalah bisnis yang maju, banyak dari seragam-seragam ini hampir seperti pakaian opera. Seragam dan pikiran akan kemuliaan dan kehormatan telah menghiasi karir militer bagi kalangan kelas atas. Bagi orang-orang biasa, menjadi tentara juga sangat menarik. Penduduk desa yang miskin tidak mempunyai masa depan yang lebih baik daripada kehidupan kerja keras di ladang pertanian sehingga dapat menemukan bahwa gaji, seragam dan harapan petualangan yang ditawarkan oleh militer menawarkan masa depan yang lebih menyenangkan, lagi pula kemenangan yang baru saja diperoleh Napoleon telah membutakan mata mereka akan tragedi perang. Dua puluh lima ribu orang Italia mati untuk Napoleon di Spanyol, dan lima belas ribu orang mati di Rusia. Jumlah ini berasal dari batalyon yang seharusnya melakukan penyerangan awal, namun sekarang orang-orang mulai bertanya-tanya apa yang seharusnya dilakukan Perancis, Rusia dan bahkan Turki di peninsula itu?

Margareta mempunya alasan untuk mengingat hal itu karena pada masa itulah ayahnya dipaksa untuk ikut berperang.

Ia baru berusia sembilan tahun ketika utusan Napoleon dan para revolusioner bangkit untuk melawan Raja Charles Emanuel IV. Orang-orang berdiri untuk membela raja mereka sehingga hukuman mati dan pembunuhan menjadi perintah harian yang biasa. Tentara Perancis berbaris pada tahun selanjutnya untuk membalas, walaupun para penduduk marah karena kekejaman mereka. Orang-orang Napoleon kemudian menjalankan hukuman yang kejam yaitu menyeret orang-orang yang mereka curigai dari rumah atau tanah pertanian mereka dan menembak di tempat siapapun yang ketahuan membawa senjata.

Dia adalah Napoleon yang telah mengkosongkan gereja-gereja dari benda-benda seni dan barang-barang berharga lainnya, serta menaruh para pastur di bawah pengawasan dan memaksa mereka untuk mengajarkan katekismus dengan penuh kesalahan, bahkan telah mencuri bel-bel untuk dilebur guna membuat meriam, dan pada akhirnya mengambil anak-anak mereka untuk menarik meriam. Setelah mendengarkan sumpah serapah mereka terhadap orang-orang yang telah melakukan hal ini sepanjang hidupnya, Margareta tidak bisa mengerti mengapa setiap kali ia pergi ke gereja ia diharuskan bersama seluruh umat lainya untuk berdoa agar surga melindunginya.

Ia baru berusia sebelas tahun ketika ketika Austria bersekutu dengan raja untuk melawan Perancis dan kemudian menguasai Piedmont. Hal in berarti kenaikan pajak lagi dan pengumpulan para pria untuk dijadikan tentara serta menangkap para pria yang melawan mereka. Makanan menjadi sangat langka seperti tidak pernah terjadi sebelumnya karena pihak penguasa melarang impor gandum dari Lombardi yang menyebabkan terjadinya kelaparan di daerah itu.


Setelah beristirahat sebentar, pemimpin pasukan itu mengeluarkan sebuah perintah yang tegas. Para tentara kemudian bangkit dan mematikan pipa rokok mereka, mengancingkan seragam mereka dan menaruh sadel di atas kuda mereka. Pada perintah yang kedua mereka menaiki kuda dan lantas pergi, beberapa dari mereka dengan bercanda melambaikan tangan kepada gadis yang telah melawan mereka, namun ia tidak menghiraukan mereka dan malah memperhatikan jagung-jagungnya.

Ketika hari berlanjut gadis itu hanya dapat mendengar sedikit suara dari sisi desa kecuali suara gonggongan anjing, suara wanita mengomel dan teriakan anak-anak kecil yang sedang bermain. Ketika sore mendekat suara-suara itu digantikan dengan suara kereta kuda dan keledai yang membawa ranting-ranting bakar dan suara bel sapi dan kambing yang semuanya berjalan pulang untuk beristirahat.

Hanya pada hari minggu atau hari-hari pesta gereja seluruh pedesaan bergema dengan suara bel-bel yang riang dari gereja kecil yang berada pada puncak bukit. Gereja Margareta adalah gereja yang berbatu bata merah di bukit yang menyimpan data tentang kelahiran dan pembabtisannya di desa Capriglio.

Para pejuang dan pemimpin negara yang besar memang telah menghiasi sejarah halaman Piedmont, tetapi santo-santo mereka telah memberikan banyak kemuliaan sejarah dan cukup banyak untuk menambah daftar mereka ke daftar universal gereja. Penguasa tradisionalnya yaitu keluarga Savoy boleh membanggakan santo-santa yang berasal dari keluarga mereka. Kolam dimana gadis itu menerima pembaptisannya telah melihat pembaptisan tiga orang Santo dan jika kita bertanya, nama Catollego, Caffasso, Lanteri, Bertagna dan banyak lainnya akan segera muncul di pikiran orang-orang.

Agama yang didasarkan pada praktik-praktik keagamaan, tradisi dan upacara yang sudah berusia berabad-abad, pada sakramen- sakramen dan pada empat hal terakhir (kematian, penghakiman, surga dan neraka), membentuk sebagian dan seluruh kehidupannya. Semua hal ini diajarkan kepadanya dalam katekismus yang dijelaskan dalam homili-homili dan ditegaskan lewat penyelenggaraan Ilahi sehari-hari dan oleh ritme musiman alam.

Sekarang yakin bahwa dengan kepergian kuda-kuda itu maka jagung-jagungnya akan aman dan menilai dari tingginya matahari bahwa kerja harianya telah selesai, gadis itu menaruh tongkat garpu di atas bahunya, menggulung roknya dan mulai mendaki jalan yang curam melewati barisan pohon anggur. Anggur-anggur yang sudah matang mengeluarkan baunya yang tajam, menandakan bahwa musim untuk menuai anggur segera datang. Menuai dan memeras anggur, piknik-pikniknya dan pesta-pestanya, semuanya menjanjikan saat-saat yang gembira. Pikiran tentang hal ini menghapus pikirannya atas kejadian yang baru saja dialaminya, kemudian ia tersenyum selagi melepas sepatunya yang berat dan kemudian masuk ke dalam rumahnya.

2

Hidup Yang Penuh




“Bangun…! Semua bangun!”

Dominica Occhiena memulai hari itu dengan membangunkan anggota keluarganya pada pagi hari, dari Mariane yang masih berumur empatbelas tahun hingga Michael yang baru berumur empat tahun. Di tengah mereka ada Margareta yang baru berumur sebelas tahun dan Francis yang berumur delapan tahun, serta Lucy yang berumur enam tahun. Reaksi yang bermacam-macam muncul, dari reaksi anak-anak yang lebih tua hingga yang paling muda. Karena Michael tidak bisa bangun sendiri, ia menaruh tangannya di bawah ketiaknya, mengangkatnya dan menaruhnya di atas kakinya sendiri di lantai dimana ia berdiri terhuyung-huyung sambil menggosok-gosok matanya sendiri.

Rumah Occhiena adalah rumah yang lapuk dan tua. Plester biru dan dindingnya yang tua terus mengelupas, tetapi tumbuhan yang merambat membantu menutupinya dan frame pintu serta jendelanya haus oleh cuaca dan tidak dicat. Akomodasi di dalam rumah terdiri dari ruang dapur, ruang duduk yang besar yang merupakan satu-satunya ruangan yang mereka beri penghangat pada musim hujan, sebuah kamar tidur di lantai bawah, dan di lantai atas ada dua kamar tidur yang lebih kecil. Satu sisi rumah dijadikan kandang dan sebagian tempat di atasnya menjadi tempat penyimpanan jerami dan persediaan pada musim dingin semuanya dilindungi atap dari genteng terra-cotta yang bergelombang. Rumah itu sendiri berhadapan dengan pemandangan yang menakjubkan dari bukit-bukit dan lembah-lembah yang memanjang ke barat, dan di rumah itulah tinggal keluarga Occhiena dengan kelima anak mereka. Lima anak lainnya hanya menikmati umur yang pendek. Kematian bayi-bayi adalah fakta menyedihkan yang harus dihadapi oleh para ibu. Mempunyai banyak anak adalah perlindungan alam untuk menghapus perasaan sedih akibat kehilangan. Bagi keluarga yang lebih miskin, hal ini juga adalah masalah dalam segi ekonomi yang berarti 4 mulut lagi yang harus diberi makan dan juga berarti lebih banyak tangan yang dapat bekerja. Melchior Marcus Occhiena adalah lelaki yang kuat dan sehat pada usia empat puluh tahun dan istrinya Dominica née Bossone berumur sama dengan suaminya, tetapi tubuhnya agak lemah.

Capriglio adalah di mana desa keluarga Occhiena tinggal, dan desa itu adalah salah satu desa yang membentuk kota Catelnuovo yang mempunyai sekitar empatratus penduduk. Bukit di mana rumah Margareta berdiri adalah bukit yang lebih kecil dari perbukitan Capriglio dan dianggap bagian kecil dari Capriglio dan diberi nama Gecca Di Gaia (Gecca yang berati burung Magpie atau gosip). Bahkan penduduk dari komunitas yang terkecil selalu bersemangat untuk mempertahankan identitas mereka.

Data-data sejarah yang selamat dari perang menunjukan bahwa keluarga Occhiena telah menunjukan keterikatan yang kuat dengan desa mereka karena satu keturunan setelah yang lain telah memilih tinggal disini sehingga keturunan Occhiena yang tinggal di Capriglio berjumlah ratusan orang. Nama ini cukup dikenal bahkan hingga sekarang di Capriglio. Di dalam berita dan daftar orang-orang yang meninggal pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, nama ini tidak berhubungan dengan nama kebangsawanan namun dapat membawa jauh menuju ke belakang sejarah daerah itu.

Karena tidak ada penduduk Capriglio yang kaya, keluarga Occhiena dapat dianggap hidup dalam situasi yang nyaman, selalu ada cukup makanan di meja untuk memuaskan anggota keluarga yang paling lapar sekalipun, dan pakaian hanya memerlukan sedikit biaya karena pakaian-pakaian mereka dibuat agar tahan lama agar dapat diwariskan seperti penduduk-penduduk desa yang lain, dan tidak ada dari antara mereka yang mengenyam pendidikan sehingga untuk semua hal yang membutuhkan kemampuan membaca dan menulis mereka memanggil pastor, yang tidak seperti orang lain di pasar, melakukannya tanpa harus dibayar.

“Hari ini adalah hari yang tepat!” panggil papa dari halaman. Ia membuat Margareta bertanya-tanya bagaimana ia tahu bahwa hari yang tepat bukanlah kemarin atau besok? Hari ini adalah hari yang tepat untuk memetik anggur-anggur karena ada banyak hal tentang pembuatan anggur dan hanya papalah yang tahu, tapi seperti pembuat anggur yang lain ia tidak pernah mau membagikan rahasianya.

“Cepat, cepat! Kita tidak bisa menghabiskan waktu seharian di rumah, Mariane …!”

“Ya, Papa?”

“Ikatlah bambu itu ke kereta. Margareta !”

“Ya, Papa?”

“Ambil keledai kita dan siapkan keranjang-keranjang.” Margareta memang biasanya diberikan tugas yang lebih berat.

“Francis…!”

Satu demi satu semua anggota keluarga menerima perintah mereka untuk hari itu karena perintah papa mempunyai efek mempercepat persiapan. Hal itu berarti mandi yang cepat dan sarapan dengan roti buatan sendiri yang ditemani dengan sepotong polenta dan dibantu dengan seteguk air atau anggur.

Ketika semua orang akhirnya siap, Margareta telah menyiapkan dua buah keranjang besar yang ia taruh di atas dudukan kayu yang berbentuk U yang ada di punggung keledainya, sementara itu Mariane mengurus kereta yang ditarik oleh dua kerbau yang bertanduk panjang. Namun, anggota-anggota keluarga yang muda mengikatkan ke punggung mereka masing-masing sebuah keranjang, di mana mereka akan menaruh anggur yang telah mereka petik.

Margareta menuntun keledai itu menuju halaman untuk menerima sinar matahari pagi pada bulan Oktober yang cerah. Di sebelah utara sinar matahari tampak berkilat karena berada di puncak es Monte Rosa, dan lebih jauh lagi ke timur tampak ratu dari pegunungan Alpen, Mont Blanc tertutup warna putih dan sangat kontras bersanding dengan langit biru simbol dari kemurnian alam yang belum tersentuh oleh manusia. Dari tempat Margareta berdiri ia tidak hanya dapat melihat puncak yang bersalju itu tetapi juga tanah sebelah selatan yang datar dan membentuk padang Montferat yang subur dan terpecah pecah oleh bukit yang tak terhitung banyaknya. Yang tertinggi diantaranya adalah Capriglio sendiri, yang berdiri setinggi 17 000 kaki. Betapa ia begitu mengenal bukit itu dan jalan setapak di sekitarnya karena ia dan teman-temannya telah menyusuri tiap centimeter bukit itu, seorang harus menjadi pejalan kaki yang baik untuk dapat tinggal di bukit itu. Ia mengenal dan mencintai bukit-bukit itu dan akan dengan senang hati untuk menghabiskan seluruh hidupnya di sana. Bagi sifat keitaliannya tempat ini juga berarti “rumah” seperti juga rumah di mana ia makan dan tidur

Dari bukit-bukit inilah kota Torino atau Turin, ibukota provinsi itu, mendapatkan namanya. Tor adalah dari bahasa Celtic yang artinya bukit, dan para penduduknya dikenal sebagai Torinesi atau “orang-orang bukit”. Di bawahnya terdapat hasil karya para nenek moyangnya, lantai karpet yang berganti warna setiap berganti tumbuhan panen dan yang ditandai dengan barisan semak-semak mulberry yang gelap atau pohon-pohon willow yang hijau muda tetapi alam sendiri lebih kaya, dengan menumbuhkan pada dataran yang tinggi pohon-pohon pinus dan akasia dan di dataran yang rendah terdapat pohon plane, oak, dan elm dan sisinya dogwood berwarna pink dan putih dari fulsia berwarna keemasan. Dalam segala kekayaan ini pegunungan Alpen juga memainkan peranannya yaitu menyediakan perlindungan terhadap angin yang membeku yang melewati lembah-lembah sehingga pada awal musim dingin bukit-bukit itu tetap hijau dan pada musim panas anginnya yang sejuk membuat matahari yang dapat tertahankan selagi daerah-daerah yang lainnya kepanasan. Terhadap alam, para petani tidak takut, terhadap panas yang berlebihan maupun dingin yang menusuk tulang. Apa yang mereka takutkan adalah badai es yang disertai dengan angin ribut yang dapat lebih banyak menghancurkan tanaman panen dari pada pasukan invansi manapun. Secara keseluruhan daerah itu adalah tanah dimana gunung dan lembah yang berefek terhadap tananaman panen sehingga membuat manusia selalu sadar akan kekuatan dan kehadiran tuhan.

“Margareta!”

“Ya, Papa?”

“Berhentilah melihat pemandangan dan mulailah bekerja!”

“Ya, Papa!”

Bekerja di pertanian, Margareta menyadari sejak awal hidupnya, adalah urusan sepanjang tahun. Hal ini dimulai pada musim semi dengan pembajakan tanah, pembersihan saluran air, sambil memperhatikan cuaca; bunga kecil yang akan menjadi anggur yang perlu disemprot dengan obat segala penyakit anggur, yaitu Chopper-Phosphate dan ia juga lebih banyak menyangkul di antara cabang-cabang pohon anggur yang berlanjut pada musim panen yang berati hari-hari dimulai pada saat matahari terbit dan berakhir jauh sesudah matahari tenggelam, namun masa panen adalah masa yang bahagia dimana Margareta dan teman-temannya akan bekerja, tertawa dan berpiknik bersama sampai semua tanaman di desa selesai dipanen.

Dengan harus berurusan dengan alam saja seorang petani dapat dengan tenang hasil kerjanya karena alam menyediakan cukup anggur, ia dan keluarganya dapat makan dan menmpunyai pakaian, tetapi ini bukanlah hadiah yang dijatuhkan dewa-dewa kepangkuannya , hal ini ia peroleh dari kerja keras dari tanah yang ia tanami dengan kerja keras sehingga tidak ada sepetak tanah yang terabaikan dan siap bukit tertutup dengan pohon-pohon anggur atau terisi dengan pohon-pohon apel, peach, plum apriokat dan pear.

Pada tahun yang baik ada banyak tanaman yang dapat dipanen, hal in berarti keuntungan ada pada keluarga Occhiena yang hidup di salah satu daerah yang subur di Eropa. Oat, gandum , barley, maize, hemp, semuanya dapat tumbuh dengan mudah di tanah ini, begitu juga semak-semak murbey yang menyediakan makanan untuk ulat sutra bahan industri yang penting dan tembakau yang disiapkan oleh para isti untuk suami mereka.

Dari seluruh saat-saat yang bahagia dalam hidup Margareta, tidak diragukan lagi musim yang paling membahagiakan adalah musim membuat anggur. Tidak ada tananman lain, tidak peduli betapa subur atau banyaknya, menerima begitu banyak cinta seperti anggur karena tidak ada tanaman lain yang dapat membawa begitu banyak kemakmuran atau ketenaran bagi lembah itu. Di daerah ini kata-kata penduduknya penuh dengan kesombongan dan mengalirlah anggur-anggur yang akan menghiasi meja-meja di seluruh dunia, diantaranya adalah Barbera, Nebiollo, dan Freisa dan sebagai konsuensinya, persiapan untuk menangani anggur-anggur dimulai jauh sebelum perjalanan untuk memetik anggur. Pada waktu itu, tong-tong penyimpan anggur-anggur, keranjang kayu dan semua peralatan yang bersentuhan dengan anggur harus dibersihkan sebersih-bersihnya.

Sesampainya di kebun anggur, para orang tua dan anak-anak bekerja menelusuri kebun anggur dan memotong buah-buah anggur itu dan menaruhnya di keranjang. Anak yang lebih muda bekerja menaruh anggur pada keranjang di punggung keledai dan sewaktu keranjang itu penuh, isinya dipindahkan ke gerobak, dan ketika isi gerobak itu penuh maka gerobak itu dibawa menuju rumah di mana papa akan mengurus tahap selanjutnya.

Keluarga itu bekerja terus sepanjang barisan anggur itu, mengingatkan Margareta kepada sekelompok kumbang besar yang sedang memakan buah beri di semak-semak. Ketika matahari sudah mulai naik lebih tinggi, mereka telah memenuhi keranjang dengan anggur dan jari-jari mereka dinodai warna unggu yang gelap dan juga pada lengan siku dan bagian tubuh lainnya yang telah menyentuh anggur.

Namun, kerja tetap diteruskan hingga bel dari gereja Murialdo berbunyi yang menandakan waktu berdoa Malaikat Tuhan dan suara bel itu segera diikuti oleh suara bel lainnya dilembah sehingga membentuk paduan suara bel-bel yang saling bersahutan. Tanpa bersuara sedikitpun, para aggota keluarga saling berkumpul di sekitar Papa di bawah kebun anggur. Mendaki dan menuruni jalan yang curam di kebun anggur adalah pekerjaan yang sangat melelahkan punggung bagi siapapun, terlebih lagi di bawah terik sinar matahari.

“Maria menerima kabar dari Malaikat Tuhan …”

Ketika doa itu selesai, seperti seorang kepala suku, Papa membuka lebar lengannya, “Mari makan,” katanya.

Dengan teriakan senang, anak-anak berlari menuju mama yang telah menyediakan makan siang bagi mereka di bawah pohon elm yang sangat besar. Di sanalah mereka duduk membentuk lingkaran dan mama memberikan masing-masing bagian makanan dan minuman mereka, pada acara special itu ditambah dengan potongan-potongan salami yang menambah nafsu makan mereka.

“Sekarang, setelah kalian menyelesaikan makan siang kalian,” kata Papa setelah mereka selesai makan, “aku ingin kalian semua beristirahat karena kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan”, kemudian seluruh anggota keluarga mencari tempat untuk beristirahat sejenak.

Margareta berbaring pada tanah berumput yang lembut dan mengalihkan pandangannya, pertama-tama ke langit lalu ke puncak-puncak pohon. Margareta belum memutuskan sikapnya terhadap alam. Musim dingin yang membekukan dan kerja berat yang melelahkan punggung serta kesia-siaan untuk mengulangi kerja ketika cuaca berbalik melawan seseorang dan terutama patah hati ketika tananman panen gagal. Sikap kasar orang-orang yang bekerja di tanah pertanian dan tidak peduli terhadap pakaian yang kotor, tidak memberikan kenyamanan, namun pada sisi lain ada alam yang indah dan menajubkan, pamandangan bukit, lembah dan gunung, saat surga dan bumi tampaknya sedang tersenyum.

Hee haw…! Hee haw…! Hee haw…!” Suara itu mengejutkan Margareta sampai ia menyadari apa yang terjadi.

“Aku lupa memberi makan keledai,” serunya. Ia segera berdiri dan melakukan tugasnya yang sangat penting ini. Jika ada satu hal yang papa terus ingatkan kepada mereka yaitu binatang harus diurus bahkan sebelum mengurus diri sendiri.

Ini adalah satu hal yang megherankan baginya yaitu pengertian yang mendalam antara Papa dengan binatang piaraan mereka. Seperti tidak peduli Papa hanya menghadiahi mereka tak lebih dengan tepukan di kepala atau kata-kata singkat, akan tetapi ia akan memastikan bahwa mereka telah diberi makan dan dijaga. Sebaliknya anak-anak akan memperhatikan mereka seakan-akan meereka adalah kesayangan mereka melebihi segala sesuatu di dunia ini, tetapi setelah bosan ia akan meninggalkan mereka tanpa ada rasa bersalah.

“Ayo, anak-anak,” panggil Papa, “kita telah cukup beristirahat.”

Mendengar kata itu, keluarga itu bangkit untuk memulai setengah pekerjaannya yang kedua, namun Papa kembali k erumah untuk bersiap-siap menangani gerobak pertama yang penuh dengan anggur.

“Margareta!” panggilnya sebelum ia pergi, “bawalah gerobaknya kembali ke rumah.” Sewaktu Margareta kembali ke rumah, ia sudah menemukan Papa berpakaian kerja dan kaki telanjang serta bercelana pendek. Walaupun ia menganggap hal itu lucu namun ia tidak akan tertawa di depan ayahnya sendiri sekalipun jika ia dibayar.

Pertolongan Margareta dan yang lain selesai di wadah yang besar untuk membawa anggur itu dari kebun ke tempat itu dan untuk menginjaknya diharapkan pertolongan semua orang. Tetapi setelah itu hanya Papa yang boleh menyentuh air anggur itu. Dengan fermentasi ia akan menambahkan (secara rahasia) sedikit garam, sedikit gula, sedikit ini dan itu sehingga ia benar-benar puas dengan rasanya, sampai ia menuang anggur itu ke dalam tong-tong di mana anggur-anggur itu akan disegel dan siap untuk dijual. Semuanya itu ditangani sendiri oleh Papa. Ini adalah proses yang dapat mengubah cairan buah anggur menjadi air anggur yang baik dan yang hebat. Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk menanganinya dan masing-masing menghasilkan anggur yang berbeda-beda, yaitu lebih buruk atau lebih baik dibanding tetangganya, masing-masing yakin bahwa metodenya memberikan kualitas istimewa pada anggurnya dan memberikan keberanian untuk meminta harga yang lebih tinggi ketika menghadapi para pembeli. Pada masa itu para pembuat anggur di Piedmont cenderung meminta harga yang baik, sejak revolusi Perancis yang efeknya merusak kebun-kebun anggur sehingga membuat harga anggur melonjak tinggi.

Musim untuk membuat anggur selalu diikuti dengan pesta-pesta dan festival-festival yang menyenangkan hati orang-orang tua dan muda. Tetapi semuanya berlalu dengan cepat dan memberi jalan bagi datangnya musim dingin. Bagi Margareta hal ini adalah pekerjaan memotong ranting di udara yang dingin dan mengumpulkannya untuk kayu bakar karena

batu bara sangat mahal. Ketika musim dingin datang maka pekerjaan bagi orang muda adalah tinggal di rumah dan mengupas chestnut dan menggantungkannya hingga kering sehingga kemudian dapat digunakan untuk sup dan berbagai jenis masakan lainnya, namun orang muda menganggapnya lebih menyenangkan untuk dibakar dan dimakan sambil berdekatan agar hangat di dekat kandang dan tumpukan jerami sambil mendengarkan cerita-cerita hantu dongeng atau legenda, selagi di luar angin dingin bersiul melewati pohon-pohon dan bukit-bukit. Untuk para wanita, musim dingin adalah menjahit, merajut dan membuat kotak-kotak dan menganyam keranjang sambil menggosip. Untuk para kaum lelaki, hal ini berarti waktu untuk memperbaiki bagian dalam rumah dan alat-alat kerja serta mengurus ternak.

Ketika Margareta bangun setiap pagi hal itu berarti memulai hari yang penuh yang menjadi jatah hari kerja setiap anak pedesaan. Satu-satunya perbedaan di antara dia dengan teman-temannya adalah ketika ia bertambah besar, ia selalu mendapat reputasi karena ia selalu mengerjakan pekerjaan lebih dari bagiannya bahkan sebanyak bagian laki-laki dewasa.

Ia merasa berkewajiban untuk mendorong dirinya sendiri sejak ia menyadari bahwa seluruh hidup ayahnya adalah usaha secara terus-menerus untuk mengejar alam dan juga hutang. Atap yang kering di atas kepala, lantai yang kering di bawah kaki, dan perut yang kenyang di tengah-tengahnya adalah satu-satunya kemakmuran yang dapat diharapkan orang-orang seperti keluarga Occhiena dari dunia ini. Namun untuk dirinya, hidup lebih dari hal-hal itu, selain berkumpul dengan keluarga dan teman-teman serta pesta yang kadang-kadang diadakan. Untuk Margareta, agama adalah sumber penghiburan dan kekuatan yang terus menerus.

Makan malam telah selesai dan para wanita akan segera membersihkan piring-piring dan Margareta akan memimpin rosario keluarga, dan setelah itu mereka akan mengunjungi tetangga, kecuali ada “devosi” yang diadakan di gereja yang mudah dijangkau dengan berjalan kaki dan anak-anak akan diperbolehkan pada siang hari pergi keluar untuk bermain. Di samping itu, ayah akan bekerja satu jam lagi atau berkunjung ke rumah teman untuk minum anggur dan beramah-tamah.

Itu adalah sebuah dunia kecil yang sederhana yang terbatas oleh kegiatan-kegiatan seperti itu, dimana anak-anak dapat dilahirkan dan tumbuh lalu kemudian menikah hingga meninggal. Semua ini hanya terjadi dalam wilayah yang beberapa ratus hektar saja.

Ketika malam tiba kegelapan menyelimuti daerah itu dan hanya diterangi oleh cahaya rumah-rumah pertanian yang saling berjauhan atau dari cahaya lampu yang merayap di sepanjang jalan yang dibawa oleh seorang yang terlambat pulang ke rumahnya dan kemudian semuanya pergi tidur. Lampu-lampu itu mati, seolah-olah desa itu menarik selimut untuk menutupi kepalanya dan desa Capriglio mengesampingkan seluruh kejadian hari itu untuk beristirahat tidur dalam ketenangan sepanjang malam.


3



“Ikutlah dengan kami, Margareta. Mari pergi ke pesta dansa itu dan bersenang- senang!”

Margareta melihat ke teman-temannya untuk sesaat, memperhatikan, selain hal-hal lain, bagaimana ia tidak dapat bersenang-senang. “Aku pikir aku tidak akan pergi,” akhirnya ia berkata. “Aku mungkin memilih berdansa dengan iblis. Lagipula, aku telah banyak berjalan bolak-balik ke gereja dan aku tidak ingin bejalan lagi.”

Ada sesuatu dalam kata-katanya ini, karena jarak rumahnya dan gereja tidak begitu jauh, namun bukit-bukit di antaranya membuatnya cukup melelahkan bahkan bagi orang yang paling bersemangat untuk satu hari. Namun alasan sebenarnya dari penolakannya itu adalah bahwa pada masa-masa sulit itu pesta dansa telah turun martabatnya menjadi hal yang kurang sopan, yang membuat para Pastor terus melarang hal itu. Sikap Margareta dan pengaruhnya yang besar, cukup untuk membuat para gadis itu setidaknya berpikir dua kali tentang apa yang akan mereka lakukan.

Margareta bertumbuh menjadi seorang gadis yang menarik yang dapat menarik perhatian para perjaka desa. Karena setiap minggu pagi, agar para keluarga yang lain dapat pergi ke gereja, ia mengikuti misa selanjutnya, beberapa lelaki muda memutuskan untuk menunggunya, berharap agar ia mau membiarkan mereka menemaninya. Segera setelah ia muncul, mereka berusaha untuk berjalan di sampingnya. “Berusaha” adalah kata yang tepat, karena setelah ia menyadari maksud mereka, ia membuat mereka frustasi dengan cara bejalan begitu cepat sehingga ketika para lelaki itu sampai di gereja, mereka telah kehabisan nafas dan terlihat bodoh. Strateginya yang lain adalah memilih sebagai temannya ke gereja wanita yang paling jelek dan tidak menyenangkan. Satu pandangan kepada wanita ini cukup untuk menakuti pria tertarik manapun! Di gereja, Margareta dapat merasa tenang karena pria dan wanita duduk di dua sisi yang berbeda. Karena pada masa itu banyak perang di Piedmont, populasi wanita jauh lebih besar dari pada pria, kejadiaan ini menjelaskan sesuatu tentang daya tarik Margareta.

Ketika ia bertambah dewasa, ia mempunyai makin sedikit waktu luang, dan kerena Mariane lebih memilih pekerjaan di luar rumah dan ibunya sering sakit-sakitan, semakin banyaklah ia dipercayakan dengan tugas-tugas di dalam rumah. Dengan segera, ia menjadi yang bertanggung jawab menyiapkan makanan untuk keluarga. Namun, di sekitar rumah Occhiena hal ini adalah hal yang sederhana, terdiri dari polenta atau sup lenti sebagai hidangan utama, ditemani oleh keju, sayur-sayuran, air anggur dan roti buatan sendiri. Daging sangat mahal dan jarang terlihat di meja makan. Jika ada, itu merupakan hasil buruan Papa.

Tugasnya yang lain termasuk juga pergi bersama adik laki-lakinya ke pasar, khususnya ke pasar di Castenouvo, untuk menjual apapun hasil pertanian pada musim itu, untuk membayar pajak pemerintah dan untuk membeli apa pun yang diperlukan di rumah. Karena panas dan debu jalanan, serta harus mendaki bukit yang curam membuat perjalanan ini tidak begitu menyenangkan. Jalan baru yang lebih pendek merupakan milik sebuah keluarga yang bernama Bosco. Margereta, istri dari Francis Bosco, mengundangnya mampir ke rumahnya yang terletak di tengah-tengah perjalanan itu. Karena telah bertemu dengan Margareta Bosco beberapa kali, ia senang hati menerimanya. Mereka berdua sering pergi ke gereja di Capriglio, di Murialdo, dan kadang-kadang ke gereja paroki di Castelnouvo, dan mereka berdua menganggap agama sebagai satu hal yang sangat serius. Seperti keluarga Occhiena, keluarga Bosco adalah orang-orang sederhana yang memiliki beberapa hektar tanah. Becchi, desa di mana mereka tinggal, hanya merupakan kumpulan tujuh atau delapan rumah yang tersebar di puncak bukit di barat daya lembah dan mandapat namanya dari orang yang pertama kali bermukim di situ.

Keluarga Bosco tinggal di rumah kecil yang menempel pada rumah besar milik Biglione, sang pemilik tanah. Adalah kepentingan Biglione agar keluarga Bosco mendapat rumah yang nyaman dan berkecukupan karena Francis adalah mandornya dan Francis mempunyai reputasi sebagai orang yang efisien dan dapat dipercaya.

Selagi Margareta sedang melanjutkan kehidupan biasanya yang sibuk, sejarah sedang terjadi. Sayangnya, sejarah itu terdiri dari peristiwa-peristiwa yang tidak membawa damai atau kemakmuran di Piedmont. Pajak menjadi beban yang tidak tertanggungkan oleh orang miskin, dan bahkan bagi mereka yang tidak terlalu miskin, pajak itu cukup berat untuk membuat mereka menjadi sangat miskin.

Di Marengo, Napoleon mengalahkan Austria di perang yang bersejarah – perang di mana ayah Margareta turut berperan – lalu melancarkan sebuah kampanye kepada para perampok, kriminal, dan tentara disertir yang telah meneror daerah pedesaan sampai akhirnya setiap desa harus dilindungi oleh tentara bersenjata untuk melindungi rumah-rumah dan hasil-hasil panennya. Pada tahun selanjutnya, kehadiran tentara-tentara asing mulai bicara tantang daerah yang tidak beruntung itu. Pada perang itu, Piedmont pindah tangan dari Perancis, ke Austria, ke Perancis lagi dan akhirnya ke Austria. Jika orang-orang di Turin menganggap pantas untuk membuat pakain baru setiap kali ada penguasa baru, orang-orang di pedesaan, tidak mempedulikan mereka dan gaya busana mereka, hanya meminta agar mereka dibiarkan hidup damai agar dapat mengolah tanah mereka dan tidak dipajaki sampai mati, sebagai balasan atas dukungan mereka terhadap tentara-tentara yang mereka benci.

Margareta tumbuh menjadi wanita dengan jiwa bebas, yang dianggap oleh tetangganya merupakan jodoh yang baik. Beberapa lelaki telah memintanya untuk menikahi mereka, tetapi mereka ditolak. Ia nampak seperti seorang yang tidak akan menikah, memilih untuk hidup sendiri, melakukan apapun yang diharapkan keluarganya di rumah dan memperhatikan kewajiban-kewajiban agamanya. Namun, ketika seorang wanita mencapai umur 24 tahun, orang-orang berharap agar ia untuk menikah dan pindah dengan suaminya ke rumah yang baru. Kecuali jika ia berkeinginan masuk biara. Ketika Margareta tidak menunjukkan keinginan untuk masuk biara, gosip-gosip menyimpulkan bahwa karena kehidupannya baik namun ia tidak mau menikah, hal itu karena ia terlalu mandiri untuk diikat oleh suatu aturan, dan terlalu terbiasa memimpin untuk dapat dipimpin orang lain.

Apapun yang mereka katakan atau pikirkan, tidak membuat Margareta kuatir sama sekali dan terus menjalani hidupnya dengan gembira.

Dalam perjalananya pulang dari pssar Castelnouvo, ia terus singgah di rumah Bosco untuk menceritakan kabar menarik apapun yang ia dengar di kota. Keluarga Bosco selalu memaksanya agar ia menerima setidaknya minuman penyegar sebelum ia melanjutkan setengah pejalanan pulangnya. Sebagai balasanya, Margareta akam memberi si kecil Antonius sedikit roti yang ia beli dari pasar, dan sedikit buah-buahan untuk ibu Fracis yang sudah tua – yang juga bernama Margareta – yang begitu gembira bahwa mereka bertiga mempunyai nama yang sama! Francis Bosco jarang ia lihat, karena pada siang hari ia biasanya sedang bekerja, dan dia hanya pernah bicara dengannya satu kali yaitu ketika dia memberi salam yang sopan. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang dirinya adalah bahwa dia memiliki reputasi sebagai seorang yang takut akan Tuhan dan seorang pekerja keras.

Suatu hari, Margareta memanggil dari depan rumah keluarga Bosco dan yang keluar menemuinya bukanlah Margareta, tetapi Francis.

“Istriku sedang sakit,” katanya sambil melangkah ke samping untuk mempersilahkannya masuk. Ketika Margareta masuk ke dalam ruamh, ia terkejut melihat perubahan yang terjadi pada penampilan temannya. Antonius kecil sedang menangis dan Granny, ketika ia melihat Margareta, juga menangis. Margareta melakukan semua yang ia bisa untuk menghibur bukan saja wanita sakit itu, tetapi juga para anggota keluarga yang lain.

Sepanjang sakit temannya itu, ia lebih dari sekali menjenguk keluarga Bosco. Setiap kali menjenguk, ia membawa sedikit makanan untuk wanita itu, tapi setiap kali ia berkunjung ia semakin yakin bahwa hidup Margareta Bosco di dunia ini tidaklah lama lagi. Bahkan, ketika ia mengunjungi keluarga itu pada kunjungan-kunjungannya yang terakhir, ia menemukan keluarga itu dalam keadaan putus asa. Mereka baru saja mengunjungi dokter dan mereka tidak mempunyai harapan sama sekali.

Ia membantu menyiapkan rumah itu untuk menerima kunjungan terakhir pastor dan membantu keluarga yang sedih itu menyiapkan jasad Margareta Bosco untuk dikubur. Peranannya juga tidak terhenti di sana karena ia terus mampir di rumah Bosco pada perjalanan pulangnya dari pasar, dan konsekuensi yang menyedihkan akibat kehilangan seorang ibu di rumah itu semakin nampak pada minggu-minggu selanjutnya. Karena ibu Francis sendiri sering sakit-sakitan dan Francis sendiri tidak di rumah karena bekerja sepanjang hari, rumah ini dengan sekejap kehilangan sentuhan seorang wanita. Apa yang menganggunya adalah kurangnya kasih seorang ibu berakibat buruk kepada Antonius kecil. Untuk menggantikan hilangnya pehatian seorang ibu, baik Francis dan Granny memanjakannya supaya ia bahagia. Sayangnya, semua ini mempunyai efek yang sebaliknya sehingga Antonius menjadi, jika bukan seorang anak manja, paling tidak seorang anak yang sangat emosional. Betapa ia berharap bisa melakukan lebih banyak hal untuknya! Ia merasa kasihan pada Francis juga, yang baginya nampak sebagai seseorang laki-laki baik yang tiba-tiba mendapatkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit dihadapi, dengan seorang ibu sakit-sakitan yang harus dirawat, anak yang sulit diurus, dan seharian penuh harus bekerja di ladang.

Francis Louis Bosco lahir pada tanggal 4 Februari 1784, satu dari selusin anak, enam di antaranya telah meninggal dunia ketika ia mencapai umur 12 tahun. Ketika ayahnya juga meninggal, Francis, pada usia 18, telah menggambil alih peran kepala keluarga. Tahun 1801, ia menikahi Margareta Cagliero dan melahirkan dua orang anak, Antonius, lahir tanggal 1 Maret 1808 dan Theresa, yang lahir tanggal 16 Februari 1810, tetapi meninggal dua hari kemudian.

Keluarga Bosco telah hidup lama di perbatasan Castelnouvo, dihormati untuk semangat kerja dan integritas mereka. Francis dapat menelusuri namanya ke belakang sampai pada data tertua kota itu, dimana tahun 1624, nama Bosco muncul di Consegna (daftar laki-laki yang mampu mengangkat senjata bagi raja ) dan di pendaftaran garam, di mana kebutuhan garam setiap keluarga dicatat. Keluarga ini telah banyak mengalami pasang surut kehidupan, terutama akibat perang-perang, dan Francis, dengan kemampuannya menangani masalah-masalah, sekarang dalam proses membangun kemakmurannya. Dengan peristiwa terakhir ini, hal itu tidak akan mudah.

Setelah kematian istrinya, ia benar-benar kesulitan untuk menjaga keteraturan di rumahnya. Karena bekerja sebagai seorang mandor untuk Biglione, sang pemilik tanah, dan juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sampingan lainnya, malam harinya ia tidak mempunyai cukup tenaga untuk apapun kecuali untuk beristirahat. Ibunya terlalu tua dan terlalu lemah untuk bekerja lebih dari menjaga Antonius jauh dari masalah. Bahkan setelah ia mempekerjakan seorang gadis untuk membersihkan rumah dan kadang-kadang dibantu oleh tetangganya, hal itu tidaklah cukup untuk membuat rumahnya sama seperti waktu istrinya masih hidup. Dengan berlalunya bulan demi bulan, dengan drastis rumahnya menjadi kacau tidak terawat. Ia juga tidak buta akan efek semua hal ini terhadap anaknya yang masih kecil.

Ketika ibunya melihat apa yang sedang terjadi, ia memutuskan bahwa sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dan mulai memberi petunjuk-petunjuk kecil dan akhirnya bergabung dengan orang-orang yang telah menasehati Francis untuk menikah lagi. Suatu hari, dengan kebiasannya untuk berterus terang, ia memaksa anaknya untuk memikirkan masalah itu.

“Apa kau tidak berpikir, Francis,” mulainya, “bahwa sudah waktunya engkau mengambil seorang isteri lagi?”

“ Tetapi waktu belum berlalu cukup lama, bu,” jawabnya.

“ Tujuh bulan sudah berlalu,” kata ibunya “tidak ada seorang pun di sini yang menunggu selama itu untuk menikah lagi. Satu bulan atau dua bulan sudah cukup lama. Dan melihat apa yang terjadi di rumahmu, waktu telah berlalu terlalu lama.”

“Haruskah aku mengambil seorang istri karena hal itu?” balas Francis.

“Haruskah engkau mengambil seorang istri karena hal itu?” ulang ibunya. “Kau sudah seharusnya mengambil seorang istri untuk menyelamatkan rumahmu sebelum hancur manjadi reruntuhan! Sudah seharusnya engkau mengambil seorang istri demi kebaikan anakmu yang masih kecil! Itulah sebabnya mengapa engkau harus mengambil seorang istri.”

Francis tidak menjawab. Apa yang dikatakan ibunya adalah benar.

“ Jadi?” paksanya.

“ Siapa yang ada di sekitar sini untuk dinikahi?”

“Apakah kau buta? Tidakkah kau melihat bahwa Margareta Occhiena akan menjadi seorang istri yang pantas untukmu dan seorang ibu yang pantas untuk anak-anakmu? Ia kan seorang Occiena dan itu sudah cukup banyak menceritakan sesuatu. Ia takut kepda Tuhan, suka berkerja keras dan mampu mengatur uang, seorang pengurus rumah tangga yang baik dan ia juga seorang tukang masak yang baik. Jangan katakan bahwa engkau tidak menyadari satu dua hal saat ia ada disini.

Hal ini juga benar. Francis tidak hanya telah mengenal Margareta selagi ia merawat istrinya tetapi ia juga telah mendengar dari tetangganya hal-hal yang baik setiap kali ia mengunjungi kakak perempuannya, Madelene, di Capriglio. Namun, ia masih belum yakin. “Bagaimana aku tahu kalau ia akan menerima lamaranku?”

“Hanya ada satu cara untuk memastikannya,” kata ibunya. “Tanyai dia !”

Setelah menimbang hal itu masak-masak, Francis akhirnya yakin kalau ia harus menikah lagi dan segera menyampaikan lamarannya kepada Margareta. Lamarannya, seperti lamaran-lamaran lain pada masa itu, tidaklah romantis. Hal itu hanyalah sebuah masalah yang praktis, menimbang dengan hati-hati keuntungan dan kerugiannya. Dengan segera, ia ditolak. Sewaktu teman-teman dan saudara-saudaranya ikut memohon kepadanya, Margareta masih berkata tidak dengan alasan ia harus mengurus ayahnya yang sudah tua.

“Mengurus aku ?” adalah reaksi papanya mendengar hal itu. “Jika aku dapat mengurus diriku sejak kecil; jika aku dapat mengurus diriku sewaktu perang, tentu saja aku dapat mengurus diriku sekarang. Dan apa maksudmu tentang ayah yang menua? Kau berpikir bahwa aku akan segera meninggal! Biar aku memberitahumu satu hal, aku tidak mempunyai maksud untuk meninggal dalam waktu dekat. Dan ia benar, ia tidak meninggal sampai usia 92 tahun.

Setelah mendengar itu, Margareta yang sebenarnya bersimpati pada Francis, akhirnya menyerah.

Penjelasan tentang mas kawin (yang diberikan ayah pengantin perempuan kepada menantunya) Margareta tertulis dalam bahasa yang begitu resmi sehingga hanya seorang pengacara yang dapat membacanya! Pada intinya, mas kawin itu terdiri dari uang 250 Lire dan sebuah peti yang berisi pakaian-pakaian dan barang-barang lain.

Masalah antar keluarga terselesaikan, Francis dan Margareta mendaftarkan pernikahan mereka ke Balai Kota, pada tangal 6 Juni 1812, diberkati di gereja St. Andreas di Castelnouvo. Surat pernikahan ditulis dalam bahasa Perancis, data gereja ditulis dalam bahasa Latin dan upacara dilangsungkan dalam Bahasa Piedmont!

Ketika Margareta menikahi Francis, ia datang ke rumah yang tidak dapat disebut kaya, juga tidak miskin untuk standar umum. Selain beberapa hektar tanah, Francis juga memiliki beberapa hewan-hewan ternak – beberapa domba, dua sapi dan beberapa babi dan ayam betina. Francis adalah seorang administrator yang begitu cakap sehingga pemilik tanah mempekerjakan dia sebagai mandor. Bahkan, ia adalah seorang yang sedang menanjak karirnya. Makanan tersedia cukup banyak dan Margareta adalah seorang pengurus rumah yang dapat membuat semuanya dapat bertahan lama.

Mungkin satu-satunya masalah yang harus dihadapi Margereta adalah sikap Antonius. Ia telah begitu lama dimanja dan menjadi pusat perhatiaan sehingga ia melihatnya sebagi orang asing, sebuah ancaman unutk posisinya, dan saingan bagi kasih sayang ayahnya. Satu hal yang tidak ia sukai dan ditunjukan benar-benar adalah ia tidak diperbolehkan untuk tidur bersama ayahnya lagi. Karena Margareta, ia kehilangan hak istimewa dan harus tidur di loteng jerami – sendirian. Walaupun sadar tentang hal ini, Margareta yakin bahwa, jika ia diberi waktu dan kesempatan, ia akan memenangkan kepercayaan dan cintanya.

Dengan cara hidup seperti inilah mereka berempat – Granny, Francis, Margareta, dan Antonius – membentuk sebuah keluarga bahagia. Kebahagiaan mereka bertambah ketika tanggal 18 April 1813, Yosef, anak pertama Margareta, lahir.

Hidup berlanjut bagi keluarga Bosco sampai dua tahun kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1815, Pesta Maria diangkat kesurga – sebuah hari yang baik! – tampak bahwa Margareta akan melahirkan lagi. Tetapi baru setelah lewat tengah malam, pada tanggal 16 Agustus, anak kedua lahir. Suatu tradisi, pada hari selanjutnya, bayi itu dibawa ke gereja St. Andreas, di mana ia dijadikan anak Tuhan dan diberi nama Johanes Melchior Bosco.

Francis kembali dari gereja sebagai seorang lelaki yang sangat bahagia. Ia tidak hanya memiliki tiga orang anak, tetapi ia juga mempunyai seorang istri yang cakap yang telah membuktikan bahwa ia dapat memberikan banyak anak yang akan mengisi rumahnya dengan suara tawa, bekerja berdampingan dengannya di ladang dan untuk meneruskan nama keluarga.

Untuk Margareta, setiap malam ketika ia melihat wajah anak-anaknya yang tidak berdosa sedang tidur, ia merasa tersentuh. Ia, yang telah hidup di tanah yang penuh dengan karya lukisan patung yang hebat, tahu ketika karya-karya besar itu runtuh menjadi debu, ketika waktu sendiri tidak ada lagi, hasil karya seni dalam darah dan tulang ini, anak-anak ini yang ia, Francis dan Tuhan telah jadikan mahluk hidup, akan terus hidup dan, dengan hidup mereka sendiri, memperkaya hidup orang lain dan memberi penghormatan kepada Pencipta mereka. Hal ini bukanlah fantasi; itulah keyakinan yang mendasari imannya.


4

Sampai Maut Memisahkan Kita”




“Ayah! Ayah! Ayah!” seru mereka serempak, sambil berlari kepada ayahnya. Seperti seorang laki-laki yang baru saja dilepaskan dari beban berat di pundaknya, Francis berdiri tegak dan wajahnya tersenyum lebar ketika mendengarkan mereka.

Yang pertama sampai kepadanya adalah Anthoni. Ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi, menatap wajahnya, gembira melihat dalam wajah anaknya wajah Domenica, istrinya yang terdahulu. Selanjutnya adalah Yosef, anak pertamanya dari Margareta, yang ia goyag-goyangkan badannya dengan kasih sayang, sebelum melepaskannya, terakhir, sampailah Yohanes, yang paling muda. Mengangkatnya, seperti yang lain, ia mengamat-amati wajahnya, untuk menikmati wajah malaikatnya yang ikal dan rambut coklatnya. Kali ini, ia tidak menaruh anak itu turun, tetapi memutar-mutarnya dan mendudukannya di atas pundaknya. Dengan Yohanes memegangnya erat, dan kedua anaknya memegangi tangannya, Francis berjalan berapa meter lagi menuju rumahnya.

“Mama!” panggilnya. “Para lelaki telah sampai!”

Bekerja di pertanian selalu berat, tetapi lebih-lebih pada awal musim semi, dan Francis, terbungkuk, karena kelelahan, telah mendaki bukit curam yang menuju rumahnya. Ia bukan saja telah mengurus tanah miliknya sendiri, tetapi juga tanah milik Biglione, tuan tanah yang memintanya bekerja, untuk tiap sen yang ia bayarkan kepadanya. Pada masa-masa biasa, Francis mungkin telah meninggalkannya untuk bekerja bagi tuan lain yang lebih toleran, karena ia mempunyai reputasi yang sangat baik di daerah itu.

Tapi masa ini, bukanlah masa-masa biasa; masa-masa ini adalah “Tahun-Tahun Kelaparan”. Sebagai konsekuensinya, masa itu adalah masa yang kurang menentu, bahkan mendekati masa kritis. Piedmont selalu terpaksa terlibat perang, yang tidak hanya mengurangi tenaga manusia, tapi memajaki juga semua hasil tanah itu. Unutk menambah itu, cuaca-cuaca dalam tahun belakangan ini juga kurang ramah bagi para petani. Tahun lalu, hawa panas telah membakar banyak tanaman panen, dan musim dingin setelahnya, menjadi yang terparah yang bisa diingat Francis. Bencana-bencana ini, baik karena manusia maupun karena alam, telah menyebabkan daerah ini hampir dalam bahaya kelaparan dan jika kondisi tidak segera membaik provinsi itu akan menghadapi masalah yang serius.

Sejauh ini, ia masih mampu menyediakan cukup pangan bagi keluarganya, dan ia berharap, agar dapat melakukan hal yang sama pada masa mendatang, ketika kondisinya seharusnya makin membaik. Tapi ia tidak punya waktu untuk memikirkan masa mendatang, setelah melihat tiga figur kecil berlomba lari turun bukit untuk menyambutnya, pikiran-pikiran suram itu pergi.

Mendengar suaranya, Margareta muncul ke depan pintu, mengusap tangannya ke celemeknya, dan tersenyum selagi ia menawarkan pipinya.

Setelah melepaskan anak-anaknya, yang pertama Francis lakukan ketika ia masuk ke dalam rumah adalah mendekati ibunya yang duduk di kursinya dekat perapian.

“Bagaimana kabarmu hari ini, ibu?” ia membungkuk sedikit untuk menciumnya.

“Sedikit lebih baik dari kemarin, anakku. Syukurlah kepada Tuhan. Dan bagaimana dengan harimu?”

“Berbeda dari biasanya,” kata Francis. “Sebagian kubesarkan di pasar di Castelnuevo, untuk tuan Biliogne. Barang-barang menjadi semakin jarang dan harga-harga naik terus-menerus. Ia menggelengkan kepalanya dengan putus asa. “Dan tiada seorang pun tahu, kapan hal ini akan berakhir.”

Setelah makan malam, ia duduk beristirahat, dan sekaligus menunggu selagi Margareta mengisi pipanya dengan tembakau yaang telah dia sampaikan untuknya.

“Berita apa yang kau bawa dari Castelnuevo?” tanya Margareta.

“Satu hal yang pasti,” kata Francis, “Napoleon tidak akan menyusahkan kita lagi. Ia tidak akan bisa kabur dari Saint Helena seperti saat ia kabur dari pulau Elba. Hal itu berarti tidak akan ada lagi pria kita yang bertempur untuk kekaisarannya. Kita akan mendapatkan damai, paling tidak untuk sementara.”

“Hal itu tidak akan bertahan lama,” kata Granny. “Pria-pria kita selalu mati bertempur dalam peperangan orang lain.”

“Karena pohon-pohon anggur di Prancis belum pulih dari keadaan sejak revolusi,” lanjut Francis, bersemangat meneruskan ceritanya, “anggur kita masih dihargai tinggi.”

Sekarang anak-anak telah berkumpul di sekitar kursi ayah mereka, masing-masing ingin menarik perhatiannya. Anhony mulai menggeser Yosef yang tidak memprotes, tapi ketika ia mencoba menggeser Yohanes, Yohanes memprotes keras. Mengamati semua hal ini Francis tertawa, dan menaruh satu lengan di punggung Antonius, dan satunya pada Yohanes, dan mulai menceritakan kepada mereka cerita yang ingin mereka dengar sebelum mereka tidur.

Ketika ceritanya selesai, Margareta menyelaknya, “Kau sebaiknya pergi tidur bersama mereka,” desaknya, “kau lelah bekerja akhir-akhir ini, dan kau kelihatan tidak begitu sehat.”

“Kau bekerja terlalu keras untuk Tuan Biligione itu!” omel Granny,” Untuk upah yang ia berikan kepadamu, kau bekerja terlalu banyak.”

Untuk beberapa tahun setealah kelahiran Yohanes, keluarga itu hidup seperti orang desa yang sederhana, dengan hanya beberapa masalah keluarga yang tidak sulit dihadapi, dan rumor-rumor tentang masalah besar di luarlah yang membuat mereka kuatir.

Anak-anak menikmati hidup yang penuh kegembiraan seperti kehidupan anak-anak pedesaan yang lain. Bagi mereka, desa adalah surga, tempat dimana mereka menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain, keajaiban alam yang lain, dan refleksi kehidupan yang baik ini dapat dilihat dari wajah mereka yang cerah dan pipi mereka yang merah.

Francis akan bangun dan keluar pagi-pagi, tidak hanya mengurus Biliogne, dan mengurus masalahnya sendiri, tapi juga menerima pekerjaan sampigan untuk menambah penghasilan keluarganya. Hal ini berlanjut hari demi hari kecuali hari Minggu, di mana Keluarga Bosco menganggap hari itu sebagai hari untuk beristirahat dan untuk memberi kemuliaan bagi Tuhan.

Di samping mengurus Granny, yang kebanyakan waktunya dihabiskan untuk berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi, Margareta mengurus keperluan-keperluan suaminya dan rumahnya. Tapi perhatiannya yang terbesar dicurahkan untuk mengurus anak-anaknya. Selagi melakukan hal ini, tidak pernah terlintas di benaknya untuk memperlakukan Antonius kurang dari anaknya sendiri, dan ia memberinya cinta dan perhatian yang sebanyak ia berikan pada kedua anaknya yang lain.

Suatu malam, Margareta membuka matanya dan terbaring sadar sambil berpikir mengapa ia terbangun. Ia mencoba mendengar apakah ada suara, tapi satu-satunya suara yang menganggu malam yang tenang itu adalah suara Granny yang mengigau dalam tidurnya dan suara-suara nafas yang halus di kamar di mana anak-anak tidur. Kalau begitu, apakah yang telah membangunkannya? Ia bersiap untuk tidur lagi ketika ia mendengar seseorang mengerang. Hal ini dilanjutkan dengan keheningan, lalu erangan yang lain dan ternyata suara itu datang dari Francis yang terbaring di sebelahnya. Berpikir bahwa ia sedang mengigau, ia mengoyang-goyangkan tubuhnya.

“Francis,” bisiknya. “Bangun! Kau sedang mengigau!”

“Aku tidak mengigau,” kata Francis. “Aku telah terjaga selama berjam-berjam.” Margareta tahu bahwa apa yang paling ia kuatirkan telah terjadi.

Angin Sirocco yang bertiup pada awal musim semi dari arah tenggara telah membawa gelombang panas ke Piedmont yang dapat bertahan untuk beberapa hari. Kemarin, ketika Francis bekerja di ladang, ia telah membuka pakaian atasnya, lalu dengan dengan penuh keringat ia turun ke gudang bawah tanah di mana Biglione menyimpan anggur dan sayuran-sayurannya. Di atas, ia telah berkeringat deras karena panas, tapi di bawah ia segera merasa gemetaran karena dingin. Sore itu, berpikir bahwa badannya demam namun berpikir bahwa demam itu akan hilang setelah beristirahat semalam, ia pergi tidur seperti biasanya. Namun sebenarnya ia telah terkena demam, dan sekarang berusaha meyakinkan Margareta bahwa tidak ada hal yang perlu dikuatirkan.

“Demam datang dan pergi,” katanya, “tapi laki-laki maju terus selamanya.”

Margareta segera bangit, menyalakan lampu di meja dan membawanya ke dekat wajah suaminya. Wajahnya berkeringat dan juga bengkak. Untuk sesaat, ia berdiri sambil memikirkan obat apa yang terbaik bagi suaminya karena ia kelihatannya sedang menderita semacam demam. Karena ia bukanlah seorang yang tidak berpengalaman dalam hal merawat orang sakit – hampir tidak ada keluarga di distrik itu yang belum menerima pertolongannya – ia turun ke bawah untuk menyiapkan ramuan obat untuk menurunkan suhu tubuh suaminya, melakukannya dengan diam-diam sehingga tidak mengganggu anggota keluarga yang lain.

Ketika hari mulai berjalan, Francis tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan kondisinya kelihatan memburuk. Hal ini memaksa Margareta untuk memutuskan pikirannya. Setelah memberitahu Granny untuk menjaga anak-anak, ia bergegas pergi ke rumah tetangganya da meminta mereka untuk mengirim seseorang ke Castelnuovo untuk menjemput dokter. Permintaannya segera dikabulkan, karena para tetangga tahu bahwa ketika mereka membutuhkan pertolongan Margareta , ia selalu siap. Namun, dokter itu memberi kabar bahwa ia tidak dapat datang ke Becchi lebih awal dari pagi hari selanjutnya. Selagi menunggu, pasien harus dijaga tetap hangat dan diberi teh camomile yang panas untuk menurunkan demamnya.

Sang dokter benar-benar datang dengan menunggang kuda keesokan paginya dan anak-anak memperhatikan setiap gerakan yang ia buat sewaktu ia masuk, menaruh tasnya di meja dan mengeluarkan sarung tangannya.

“Di mana dia?” tanyanya.

“Di atas,” jawab Margareta, lalu menunjukkan jalannya.

Sesudah sampai di kamar, Margareta ingin menemani suaminya tapi dokter itu berbalik kepadanya dan berkata, “Aku lebih suka kau menunggu di luar.”

Margareta dengan segera turun ke bawah di mana ia berusaha sebaik mungkin untuk menghibur Granny dan anak-anak.

Akhirnya mereka mendengar suara dari atas selagi sang dokter menuruni tangga. Ketika ia sampai di dapur, ia melepas sarung tangannya, mengambil tasnya dan memberi tanda agar Margareta mengikutinya ke luar.

“Suamimu sakit parah,” katanya.

“Berapa lama waktu yang ia perlukan untuk sembuh?” tanyanya.

“Lebih lama dari yang kau perkirakan.”

“Seminggu? Sebulan?”

Pada tiap pertanyaan, sang dokter terus menggelengkan kepalanya.

“Dokter,” kata Margareta pada akhirnya, “apa kau ingin memberitahuku bahwa suamiku tidak akan sembuh?”

Kali ini, dokter itu mengangguk.

“Tak akan sembuh!” kata Margareta terkejut. “Bagaimana mungkin!”

“Suamimu terkena serangan pneumonia (radang paru-paru),” kata sang dokter, “sebuah serangan serius yang diakibatkan karena, ketika ia sedang berada dalam kondisi yang lemah, ia pindah dari hawa panas yang luar biasa ke dingin yang luar biasa dalam waktu beberapa detik. Hal ini telah terbukti terlalu berlebihan untuk badan yang terkuat sekalipun.”

“Apakah kita tidak dapat melakukan sesuatu untuknya?”

“Yang dapat kau atau orang lain lakukan pada tahap ini adalah berharap dan berdoa.”

Untuk dua hari dua malam, hal itulah yang Margareta lakukan – berharap dan berdoa. Ia juga terus memperhatikan apakah ada tanda-tanda perbaikan di mata suaminya yang layu dan pipinya yang mengurus, tapi tidak ada tanda-tanda perbaikan. Pagi hari di hari keempat, kondisinya bukan saja tidak membaik tapi juga kelihatan memburuk. Terbiasa dengan tanda-tanda kematian, ia dapat melihat tanda-tanda itu dengan jelas sekarang pada wajah suaminya. Pada tengah hari, ia memanggil saudara-saudaranya dan, sebagai tanda akhir penyerahan diri, memanggil seorang pastor.

Para tetangga menyadari tragedi yang akan datang dari kedatangan iringan kecil yang terdiri dari seorang pastor berpakaian jubah hitam dengan superply putih, didahului oleh dua putra altar yang membawa lilin bernyala dan membunyikan bel untuk menandakan bahwa Viatikum (bekal terakhir) sedang lewat dan memanggil mereka untuk berdoa bagi jiwa yang akan bersiap-siap untuk perjalanan yang pankjang. Pada saat-saat seperti itu, mereka menyadari bahwa, jika akhir yang sama tersedia bagi mereka, mereka terhibur karena tahu bahwa mereka termasuk dalam komunitas beriman yang sama dan mereka juga akan didoakan ketika waktu mereka tiba.

Sepanjang momen yang kritis ini Francis menunjukkan dirinya sebagai orang yang paling tidak kuatir di keluarganya, dalam menghadapi kematian, seperti saat menghadapi kehidupan, sebagai seorang yang sangat religius. Jumat itu, ia memanggil Margareta ke samping tempat tidurnya. “Betapa besar rahmat yang Tuhan berikan padaku!” katanya. “Ia memanggilku kepada-Nya pada hari kematian-Nya sendiri selagi aku seumur dengan diri-Nya, pada jam yang sama ketika Ia meninggal di salib.”

Sebelum pergi untuk selama-lamanya, ia meinggalkan sebuah pesan terakhir. “Jagalah semua anak-anakku,” katanya, “tapi jagalah secara khusus Yohanes kecil.”

Margareta sendiri yang menyiapkan jasad suaminya sebelum dikubur, menutupinya dengan kain kafan putih dan menutupi wajahnya dengan kain putih kecil.

Pada hari pemakaman, sambil memegangi tangan Antonius, ia berjalan di bagian depan prosesi pemakaman, di belakang keledai dan kereta yang dipinjam dari Biglione uantuk membawa peti jenazah. Sampai di pemakaman tua St. Petrus di Castelnuovo, ia melihat ketika peti jenazah Francis Bosco diturunkan ke lubang kubur yang baru dibuka, dan segenggam tanah secara simbolik disebarkan ke atasnya sebelum dikuburkan. Karena kondisi pemakaman itu sangatlah tidak bersih, ia merupakan orang terakhir yang dikubur di sana.

Reaksi tiap anggota keluarga Bosco berbeda-beda sesuai temperamen mereka.

Terpisah dari duka yang Granny rasakan atas kematian anaknya, yang mengisi benaknya sekarang adalah jawaban dari sebuah pertanyaan: Sekarang, setelah Francis meninggal dunia, bagaimanakanh sikap menantunya kepadanya?

Pada diri Yosef, hal itu tidak mempunyai terlalu banyak pengaruh karena ia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang telah terjadi, dan sifatnya yang tenang mampu menerima kejutan itu.

Efeknya pada Antonius, anak tertua, sangat dalam dan juga bertahan lama. Ia telah kehilangan ibunya ketika ia masih berusia 3 tahun. Untuk lebih dari setahun, ia telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, dan hidup di rumah yang hanya mempunyai sedikit suasana kekeluargaan. Ketika ayahnya menikah lagi, ia terpaksa tidur di orang tuanya, ia merasa terabaikan, dan dalam cara yang tidak ia mengerti, dikhianati. Semua ini menumpuk menjadi pengalaman yang hampir traumatis. Bahkan, pikiran tentang hal-hal yang terjadi padanya mendorongnya ke dalam kesedihan yang ekstrim, di mana kadang-kadang ia bergulingan dan mengerang di lantai, yang ia anggap sebagai gambaran nasibnya yang malang itu.

Reaksi anak yang termuda sewaktu ibunya membawanya untuk melihat jasad ayahnya menunjukkan sifat keras kepalanya.

“Mengapa ayah tidak berbicara denganku?” tanyanya. “Mengapa ia tidak mengatakan apa-apa? Aku tidak akan meninggalkan kamar jika ia tidak keluar bersamaku.”

“Ayahmu sudah meninggal,” adalah satu-satunya hal yang dapat Margareta katakan.

“Apa arti ‘meninggal’ ?”

“Itu berarti ayah telah pergi ke surga.” Setelah mengatakan hal ini, Margareta menangis.

Ketika ia melihat ibunya menangis, reaksi Yohanes adalah mengikutinya dan ia dibawa keluar menangis. Ibunya lalu mengatakan sesuatu yang terus tinggal dalam pikirannya: “Kau tidak punya ayah lagi sekarang.”

Kematian seorang anak kecil adalah hal yang biasa di daerah itu, dan jika ada luka yang tertinggal, luka ini sembuh ketika anak lain lahir mengisi kekosongan itu. Kematian orang yang lebih tua berbeda. Orang yang lebih tua mempunyai waktu untuk menyilangkan hidupnya dengan hidup orang-orang lain, sehingga kepergiannya akan selalu membekas di hati seseorang, seringkali meninggalkan luka yang terbuka. Itulah yang terjadi pada Margareta.

Sepanjang pemakaman ia berusaha untuk tetap tegar. Apa yang menopangnya adalah pikiran bahwa sejak saat ini ia harus menjadi pilar kekuatan bagi yang lain untuk bersandar, pilar di mana mereka dapat mengambil kekuatan dan keberanian. Masa depan tiga orang anak ada di tangannya sekarang. Karena pada masa itu seorang perempuan tidak bisa menjadi seorang wali, Yohanes Zucca, saudara sepupu Francis, ditunjuk oleh hukum untuk menjadi wali anak-anak itu.

Walaupun Francis tidaklah kaya, tapi daftar bawang-barang miliknya pada surat warisan kedengaran seperti itu! Warisan itu terdiri dari 2 kerbau yang dihargai 200 lire sampai ke sebuah tempat duduk kursi tinggi yang dihargai 25 centesimi, keseluruhannya berjumlah 74 barang yang ditulis pada kertas berukuran folio! Dari delapan orang yang menandatangani surat warisan itu, lima orang hanya memberi tanda silang yang artinya tidak bisa membaca di samping nama mereka. Margareta adalah salah seorang diantara mereka dan empat yang lain adalah anggota dari keluarga Becchi.

Barulah pada sore hari setelah anak-anak tidur, ia menemukan waktu untuk dirinya sendiri. Ia telah disibukkan oleh berbagai macam masalah, seperti mengurus Francis sewaktu sakit dan dengan hal-hal detil mengenai pemakamannya.

Hal-hal ini telah mencegahnya dari merasakan sepenuhnya pukulan dari kematian suaminya dan konsekuensi dari ketidakhadirannya. Sekarang setelah ia sendiri, ia punya waktu untuk memikirkan hal-hal ini.

Ia mengingat tahun-tahun yang ia habiskan bersama Francis, tersenyum mengingat pertengkaran mereka yang jarang, saat-saat kebahagiaan yang mereka habiskan berdua atau bersama keluarga. Francis, renungnya, telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Ia kemudian berpikir tentang hidupnya nanti tanpa Francis, tanpa bantuan dan dorongannya, tanpa kehadirannya yang lembut namun kuat … selagi kegelapan menggelapkan ruangan itu, begitu juga jiwanya. Bahwa Tuhan akan mengambilnya suatu hari darinya, ia dapat mengerti. Tapi bahwa Tuhan mengambilnya begitu cepat, ketika ia dan keluarganya sangat membutuhkannya, sewaktu semakin sulit hari demi hari untuk menyediakan makanan di meja … Bahkan yang lebih penting lagi, ia diambil ketika anak-anak memerlukan tangan seorang ayah yang kuat dan stabil, karena adalah tugas seorang ayah untuk mengurus para anak laki-laki di keluarga … hal ini lebih sulit lagi untuk dimengerti dan untuk diterima*. Mereka tidak akan menjadi anak-anak yang mudah dibesarkan, karena mereka masing-masing begitu berbeda. Mempertimbangkan nasib anak-anak itu saja sudah membuatnya sulit untuk mengerti mengapa Francis harus diambil darinya dan dari mereka, apalagi untuk menanggung hal itu. Tak tahan lagi memikirkan hal itu, ia menjatuhkan lututnya dan membungkukkan tubuhnya serta membiarkan air matanya mengalir. Kematian Francis yang tidak tepat waktu ini akan membuatnya menanggung kesepian di dalam hati sepanjang sisa hidupnya.



5

Berbagi




Jika di depannya ada sebuah jalan yang panjang dan berbukit-bukit, ia siap untuk menghadapinya. Itulah yang Margareta rasakan pagi berikutnya. Yang terburuk telah berlalu. Tak pernah lagi ia akan membiarkan dirinya hidup di masa lampau. Itu adalah kelemahan yang tak mampu ia lakukan. Mulai sekarang, ia hanya akan menatap masa sekarang dan masa depan. Hal itu akan lebih dari cukup karena ia mempunyai banyak hal untuk menyibukkan kepala dan tangannya. Keluarganya akan menyita seluruh perhatiannya, ladangnya akan menyita seluruh tenaganya. Ia tahu bahwa untuk menjalankan ladangnya, ia tidak bisa mengharapkan atau bergantung pada pertolongan orang lain, bahkan dari saudara-saudaranya. Seperti semua orang pada masa yang sulit itu, mereka mempunyai masalah mereka sendiri-sendiri. Francis selalu mendorongnya untuk percaya pada kebaikan Tuhan. Ia akan melakukan hal itu dan bagaimanapun caranya, dengan bantuan Tuhan ia akan mampu melakukannya.

Sejak saat itu, dengan dibantu oleh dua buruh tani, ia tidak saja melakukan semua pekerjaan wanita di rumah tetapi juga tugas-tugas yang lebih berat di pertanian, yang biasanya merupakan tugas laki-laki. Hal ini berlangsung sampai bulan Nopember, ketika semua kontrak kerja selesai. Lalu ia membayar dua buruh itu, meninggalkan kunci kamar-kamar dan pergi untuk tinggal di rumah yang telah Francis beli dari Tuan Biglione dalam transaksi bisnisnya yang terakhir. Rumah ini adalah sebuah rumah tua yang telah termakan cuaca, yang memiliki tiga kamar tidur, dapur sekaligus ruang keluarga, kandang untuk ternak dan loteng untuk jerami. Tetapi hal yang paling berarti bagi Margareta adalah bahwa ia sekarang tinggal di rumahnya sendiri.

Ia terus menyewa buruh tani setiap hari walaupun ia juga ikut mencangkul, menabur benih, menyabit jerami ... Sering kali ia mengalahkan hasil kerja para lelaki itu, walaupun mereka sedikit kesal karena dikalahkan seorang wanita. Selagi Margareta bekerja di ladang, Granny mengurus anak-anak.

Walaupun bebannya berat, ia secara perlahan-lahan mulai bisa mengontrol semuanya dan setenang yang ia bisa, ketika pada suatu saat, seperti halilintar pada siang hari yang cerah, tuntutan pengadilan atas kerugian hasil tanah datang padanya.

Seperti semua orang lain di desa itu, keluarga Biglione, walaupun mereka memiliki banyak tanah di castelnuovo, karena masa itu masa sulit, memerlukan uang untuk membayar kewajiban-kewajiban mereka. Lalu, ibu dari Biglione, yang menyukai hidup mewah dan tinggal di Turin, memaksa anaknya untuk menuntut Margareta untuk kerugian sewa. Biglione lalu menuduh Margareta tidak mengurus kebun anggurnya dengan baik dan telah melalaikan ladangnya sampai pada tahap tanahnya itu tidak memberinya hasil yang patut ia dapatkan.

Sewaktu kasus ini diajukan kepengadilan, pihak pengadilan menyelidiki tanah itu. Mereka menemukan bahwa kebun anggur itu terawat baik dan memberi hasil yang baik. Namun, untuk ladang itu, mereka menemukannya kurang terawat dan hukum tidak bisa memberi pengecualian atas kejadian yang telah menimpa keluarga Margareta. Kelalaian itu terbukti sehingga pengadilan memutuskan bahwa ia harus mengganti kerugian itu. Tapi, ketika kedua belah pihak diharuskan hadir di pengadilan, Margareta hadir, namun Biglione tidak. Pengadilan, sebagai konsekuensinya, menganggap Biglione melakukan penghinaan terhadap pengadilan dan memerintahkannya untuk membayar biaya pengadilan dan melepas Margareta dari seluruh kewajiban di masa depan. Tampaknya, Biglione tidak begitu berani unutk muncul di depan umum dengan fakta bahwa ia menuntut seorang wanita yang baru saja menjanda dan tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengurus tanahnya dan pada saat yang sama harus menjaga keutuhan rumahnya yang hancur karena kematian suaminya.

Cuaca juga ikut menambah ketidakberuntungannya. Musim dingin begitu parah dan musim panas begitu kering sehingga tanamannya gagal panen dua kali berturut-turut dan makanan menjadi begitu sedikit sehingga sulit didapatkan walaupun seseorang mempunyai uang. Orang-orang mati karena kelaparan dan dalam keputusan berpaling pada surga untuk bantuan, dengan mempraktikkan silih yang luar biasa dan melakukan ziarah ke tempat-tempat ziarah favorit. Keadaan menjadi begitu buruk sehingga serigala-serigala, karena tidak mampu mendapatkan makanan di hutan-hutan di daerah utara, mulai mengancam para penduduk di pinggir-pinggir kota sampai pada tahap di mana para pemburu dihadiahi uang untuk membunuh mereka!

Keluarga Bosco menderita bersama seluruh penduduk lainnya dan dengan cepat persediaan makanan Margareta sendiri habis. Ketika keadaan sampai pada titik terburuk dan anak-anaknya mulai menderita, ia memohon kepada seorang temannya untuk pergi ke pasar atau pertanian-pertanian untuk membeli makanan bagi mereka. Tapi tak peduli kemanapun ia pergi dan sebanyak apapun uang yang ia tawarkan, teman itu, setelah mencari selama dua hari, kembali dengan tangan kosong, tak berhasil membeli apapun untuk menghilangkan rasa lapar keluarga Bosco. Para tetangga yang sering ia bantu juga tidak bisa membantunya karena mereka juga menghadapi masalah yang sama. Karena anak-anaknya telah berpuasa selama beberapa hari dan kesehatan mereka mulai memburuk, Margareta yang tidak tahan lagi melihat penderitaan anak-anaknya, melakukan tindakan yang nekat untuk menyelesaikan situasi itu. Dengan membawa sebuah pisau dapur yang besar, ia bergegas menuju kandang, memotong satu-satunya anak dombanya yang masih muda dan memberikan dagingnya kepada anak-anaknya. Pengorbanan bagian yang besar dari hartanya itu menunjukkan keparahan situasi itu dan tekad Margareta utntuk tidak pernah membiarkan anak-anaknya menderita. Untungnya, beberapa saat setelahnya situasi membaik ketika suplai makanan dibawa dari selatan.

Tuntutan pengadilan yang lain terhadap Margareta datang lagi atas hal kecil seperti kepemilikan sebuah pohon walnut adalah indikasi dari pentingnya tanaman-tanaman produksi apapun dalam masa kelaparan. Pohon-pohon telah menjadi elemen penting dalam perjuangan untuk hidup. Pada masa itu, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak ditandai di peta oleh garis-garis, tetapi oleh nama-nama orang, jalan-jalan sempit, jalan-jalan lebar dengan begitu banyak modifikasi dan klarifikasi sehingga penghilangan batas-batas itu merupakan hal yang mustahil. Pertengkaran atas hal ini telah menyibukan pengadilan dan pengacara-pengacara dengan pekerjaan yang tak kunjung selesai.

Adalah merupakan karateristik Margareta bahwa ketika ia sendiri pun dalam banyak masalah, ia tidak akan pernah dapat menolak permintaan tolong tetangganya. Mereka dapat meminjam makanan atau obat, anggur atau kayu yang ia punyai. Ia juga tidak akan membiarkan sesorang menyelesaikan kalimat yang dimulai dengan, “Margareta, aku masih berhutang padamu …” Jika seorang sakit memerlukan sesuatu yang ia punyai, ia akan memberikannya dengan sukaela dan tidak pernah berpikir untuk meminta sesuatu sebagai balasannya.

Pada suatu kesempatan, ia pergi ke tempat penyimpanan tepung untuk mempersiapkan adonan keika, dengan terkejut, ia menemukannya kosong.

“Apa kau lupa mama,” kata Yohanes, “bahwa kau telah memberikan semua tepung kita pada keluarga itu kemarin? Kau bilang mereka lebih membutuhkannya daripada kita.”

Kemurahan hati seperti itu tidak dapat berlalu begitu saja dan seorang tetangga yang keadaannya lebih baik dari yang lain mengirimnya sekarung tepung. Setelah ia mengetahui dari mana asal karung tepung itu, Margareta memprotes donatur itu.

“Kau memberi semua yang kau punya untuk membantu yang membutuhkan,” keluarga itu memprotes balik. “Adalah benar jika kami juga berbuat sesuatu untuk membantumu.”

“Jika kau tidak mempunyai apa-apa lagi yang bisa diberikan untuk orang-orang miskin,” tambah istrinya, “datanglah ke rumah kami dan ambilah apa yang kau mau. Dan ketika kau hendak mengunjungi yang sakit beritahukanlah aku jika kau membutuhkan sesuatu untuk mereka.”

Tawaran yang terakhir ini adalah salah satu amal yang dilakukan Margareta. Karena tenaga medis dan perawat jarang ada pada masa itu, ia tidak hanya mengunjungi yang sakit, ia juga merawat mereka, bahkan kadang-kadang berjaga semalaman unutk merawat mereka, dan karena tempat penginapan jarang ada di daerah itu dan jalan-jalan buruk di musim dingin, Margareta sering menerima orang-orang yang melakukan perjalanan ke rumahnya, walaupun, karena hal ini biasa terjadi mendadak, tidak selalu ada cukup makanan untuk mereka.

Namun begitu, ia biasanya berhasil memberi mereka makan, walaupun hanya polenta, gruel, dardelion bakar, chestnut, sup atau roti, ditawarkan dengan seluruh kehangatan hatinya. Ia bergantung pada Yohanes untuk tidak hanya membantunya memasak, tapi juga untuk mencari beberapa bumbunya.

Kebiasaan untuk selalu menawarkan bantuan ini membuat beberapa kejadian lucu dan dan bahkan berbahaya.

Karena kekacauan politik dan tidak adanya hukum, sudah menjadi umum untuk gerombolan-gerombolan bersenjata untuk menjelajah daerah-daerah pedalaman, untuk mencari uang atau melarikan diri dari carabinieri, polisi nasional yang baru dibentuk. Invasi Napoleon telah mendorong orang-orang Italia untuk melihat semenanjung itu bukan sebagai banyak negara bagian yang berbeda, tetapi sebagai suatu negara yang mereka pikir harus merdeka. Untuk memperoleh kemerdekaan ini, perhimpunan-perhimpunan rahasia muncul di seluruh Italia, dan kebanyakan di Piedmont. Yang paling terkenal di antara perkumpulan ini adalah carbonari atau pembuat kayu arang, didirikan tahun 1811, yang memulai gerakan pertama dengan banyak usaha untuk mengusir banyak penjajah. Pada tahun 1820 para anggotanya telah berjumlah sekitar 700.000 orang. Tak semuanya mempunyai cita-cita patriotik. Kebanyakan adalah gerombolan-gerombolan penjahat, penyelundup, tentara desertir atau narapidana yang kabur. Gerombolan-gerombolan ini telah meneror daerah-daerah pedesaan sehingga orang-orang tidak berani keluar sewaktu malam, dan sewaktu siang hanya keluar dalam kelompok yang mampu melindungi diri sendiri.

Sewaktu malam dingin, beberapa dari kelompok ini akan mampir di rumah Margareta karena reputasi keramahannya, untuk mencari makanan atau tempat beristirahat. Pada tengah malam mereka akan membangunkannya dengan cara mengetuk pelan-pelan di pintu atau dengan cara melemparkan kerikil ke jendela atas. Margareta akan selalu membangunkan Yohanes, menyuruhnya untuk menaruh pasta di panci dan bergegas ke bawah untuk membukakan pintu bagi orang-orang yang kedinginan itu. Para lelaki itu akan makan dengan diam di sisi dapur yang gelap dan ketika mereka selesai, mereka akan menanyakan suatu hal yang tidak terelakkan, “Dimana kami bisa menumpang tidur di malam yang dingin ini?” menyadari sepenuhnya bahwa loteng atau kandang selalu siap untuk menampung mereka.

Karena reputasi Margareta dan lokasi rumahnya yang strategis, rumah itu menjadi tempat pertemuan bahkan bagi para polisi dimana mereka akan bertemu untuk saling menukar informasi selagi minum sesuatu yang menyegarkan. Untuk menghindari bertemu dengan para bandit di rumah Margareta, mereka memakai sebuah strategi. Kapanpun mereka mendekati rumah itu, Yosef, yang sudah kenal dengan mereka, akan bergegas menghampiri mereka dan mereka akan memanggil, “Apa ada orang di rumah?” Walaupun ada sedikit bahaya tertangkap, bandit itu akan mendengar suara itu dan biasanya mempunyai cukup akal sehat untuk bersembunyi sampai polisi itu pergi, yakin bahwa ketika ia sedang menerima keramahan Margareta, mereka akan membiarkannya.

Namun, fakta bahwa kedua pihak itu tidak pernah membuka rahasia akan gerakan mereka pada pihak yang lain memang pernah membuat sebuah situasi yang canggung. Pada satu kesempatan, tak lebih dari sepotong kertas pembatas memisahkan para bandit dan para polisi! Walaupun masing-masing pihak menyadari kehadiran pihak lainnya, mereka pura-pura tidak tahu. Pada kesempatan lain, para polisi masuk begitu saja dan menemukan seorang bandit sedang duduk sedikit tersembunyi di sebuah sudut sedang menikmati sepiring spagheti! Sebuah konfrontasi yang parah bisa dihindari ketika para polisi itu duduk begitu saja dengan jarak tertentu dari bandit itu sambil tak menghiraukannya. Mereka melakukan hal ini bukan saja karena mereka tidak mau membuat kuatir Margareta, tapi juga karena tidaklah bijaksana untuk mencoba menangkap bandit itu pada saat itu juga. Karena bandit-bandit biasanya bersenjata lengkap dan siap untuk melawan hingga mati, para polisi itu berpikir bahwa lebih bijaksanalah untuk menunggu saat yang lebih baik untuk menangkapnya.

Margareta juga tidak membatasi amalnya akan hal-hal material keperluan tetangganya, atau membiarkan dirinya berhenti karena malu ketika menyangkut hal membela nilai-nilai moral atau melindungi mereka yang dalam bahaya moral. Ketika ada gadis-gadis desa yang mau mengikuti acara dansa, mereka akan datang padanya untuk meminta nasihatnya, ia akan pertama-tama melihat situasi pesta itu dan orang-orang yang mengadakannya. Hanyalah jika yakin bahwa hal itu tidak bertentangan dengan moral, barulah ia mengijinkan gadis-gadis itu pergi.

Jika ia kebetulan menemukan gadis-gadis dengan pakaian yang terlalu terbuka, ia akan mencoba membujuk mereka untuk berpakaian lebih sopan.

“Tapi kami miskin dan tidak punya pakaian lain!” Balas mereka.

“Kalau begitu ikutlah denganku. Aku akan mempersiapkanmu sehingga setidaknya kau tidak akan menjadi godaan bagi yang lain.”

Ia akan membawa mereka ke rumahnya dan walaupun ia tidak punya banyak pakaian, ia memperbaiki pakaian mereka sehingga pakaian mereka menjadi kelihatan lebih baru dan juga lebih tertutup.

Namun, perhatiannya yang khusus adalah untuk gadis-gadis yang untuk satu atau dua hal berada dalam bahaya moral. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menarik mereka kepadanya lewat hadiah-hadiah kecil seperti roti, polenta, salami, buah-buahan, atau sesuatu yang mereka sukai. Setiap kali ia menemukan mereka dalam kebutuhan, ia akan menolong mereka semampunya, tak pernah membiarkan mereka pergi tanpa memberi sepatah nasihat atau dukungan.

Karena perhatiannya untuk mereka, ia dicintai oleh kaum muda di daerahnya dan dengan berbagai cara mereka berusaha menunjukannya. Di tengah cuaca yang panas, contohnya, ketika mereka mengetahui bahwa Margareta akan mengunjungi rumah mereka, mereka akan bergegas berpakaian yang sesuai dengan standar kepantasannya.

Ketika seorang wanita yang tinggal sendirian dekat Becchi menyewakan kamarnya kepada seorang laki-laki, para tetangga membicarakan skandal ini. Namun, Margareta adalah satu-satunya orang yang cukup berani untuk melakukan sesuatu. Ia bergegas pergi ke rumah wanita itu dan mengetuk pintu.

“Martha!” panggilnya.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka sedikit dan martha muncul. “Ya?”

“Apakah kamu Martha?”

“Kau tahu siapa aku.”

“Apakah kau seorang Kristiani?”

“Tentu saja.

“Apakah kau telah dibaptis?”

“Sekarang kau kedengaran lucu.”

“Apakah kau pergi ke gereja dan melakukan kewajiban Paskahmu?”

“Dengar Margareta Bosco! ….”

“Apakah kau tahu mengapa aku mengunakan kata ‘kau’ terus menerus? Apakah kau mau memaksaku untuk memberitahumu bahwa kau akan masuk neraka. Kau, temanku, Martha.”

Setelah mengerti dengan jelas maksud pertanyaan-pertanyaan ini, Martha mulai mencari-cari alasan. “Kau tahu aku miskin dan tidak seorang pun seharusnya kaget jika aku menerima seseorang menyewa kamar di rumahku.”

“Kaya atau miskin,” desak Margareta, “kau harus menghindari jatuh ke neraka.”

“Apa lagi yang dapat aku lakukan?” kata Martha dengan cemas.

“Usir pria itu.”

“Tapi hari sudah larut dan aku tidak tahu cara ….”

“Usir dia pergi,” ulang Margareta. “dan jika kau tidak tahu caranya, aku akan menunjukkannya kepadamu!” Membuka pintu itu lebar-lebar, ia berteriak ke dalam, “Keluar dari sini, kau pelayan iblis! Keluar sekarang juga!”

Sampai hal ini terjadi, tetangga yang lain telah berkumpul di sekitar rumah itu dan hal ini memberi dukungan moral bagi Margareta. Mendengar keributan itu, laki-laki itu, yang telah menyimpulkan bahwa pergi adalah pilihan terbaiknya, pergi dari rumah itu.

Pada kesempatan lain, salah seorang laki-laki dari lingkungan itu menerima di dalam rumahnya seorang wanita yang bereputasi jelek. Ketika ia sakit keras, Margaretalah yang lagi-lagi harus datang ke rumah itu untuk membujuk wanita itu untuk setidaknya memberi laki-laki itu kesempatan untuk berdamai dengan jiwanya. Namun, wanita itu menolak. Ketika orang sakit itu mendekati ajalnya seorang pastor datang, dan Margareta menjelaskan situasi itu padanya.

“Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan?” Pastor itu, yang tidak pernah melihat Margareta sebelumnya, ingin memastikan bahwa ia tidak cuma mendengar gosip saja.

“Tanyailah wanita itu sendiri.”

Ketika ia melakukan hal itu, wanita itu berusaha mambantah. Ia adalah seorang wanita yang jujur, katanya, yang punya alasan sendiri yang baik untuk tetap berada di rumah itu. Ketika pastor itu menegaskan bahwa jika wanita itu tidak pergi, ia yang akan pergi, wanita itu akhirnya menangis dan , setelah menimbang-nimbang sebentar, ia akhirnya pergi. Setelah wanita itu pergi, pastor itu mampu membujuk orang yang sekarat itu untuk mempersiapkan dirinya. Ketika semua itu selesai, ia mencoba bertanya siapa wanita yang telah melakukan perbuatan yang berani itu demi orang yang sekarat itu, tapi Margareta menolak untuk memberitahu namanya.

Cintanya pada tetangganya sering mendorongnya melewati batas-batas kebaikan biasa, membuatnya menolong mereka yang tampaknya tidak pantas menerimanya. Tidak jauh dari rumahnya, tinggallah seorang laki-laki bernama Cecco yang diterangkan oeleh tetangga-tetangganya sebagai “orang yang sangat suka makan, tetapi tidak suka bekerja.” Ia segera menyadari bahwa karena ia tidak mau bekerja, ia harus mengemis untuk makan atau kelaparan. Mengemis, ia tidak bisa, karena ia malu dan ia sudah tahu apa reaksi tetangga-tetangganya. Sebagai akibatnya ia terpaksa hidup sendiri dan menderita kelaparan.

Seperti biasa, ketika Margareta mendengar nasibnya, ia tidak tega melihatnya kelaparan. Seringkali, ketika yakin bahwa tidak ada orang yang melihat, ia akan melemparkan roti melalui jendela Cecco yang terbuka.

Margareta telah melakukan hal ini untuk beberapa waktu ketika ia akhirnya bertemu dengan Cecco yang membanjirinya dengan banyak ucapan terima kasih. Margareta menjadi begitu tersentuh sehingga ia melakukan hal yang lebih dengan menawarinya sup. Untuk menghindarkannya dari rasa malu, Margareta membuat rencana ini. Setelah agak malam, ia kan berpura-pura memarahi anaknya lalu menaruh sepoci sup di depan pintu Cecco. Setelah melakukan hal itu, ia akan menjauh dan sekali lagi “memarahi anaknya” dan Cecco akan mengetahui bahwa sekelilingnya aman. Cecco akan pelan-pelan membuka pintu, mengambil sup itu dan menghilang ke dalam.

Suatu malam pada musim dingin, ketika jalan tertutup salju dan es, seorang pengemis mengetuk pintunya. Selagi ia memohon untuk diberi tempat beristirahat, Margareta menyadari bahwa jempol kakinya menonjol keluar dari sepatunya yang bolong. Ia mempersilahkannya beristirahat, tapi sayangnya, ia tidak mempunyai sepatu untuk diberikan kepadanya. Tetapi ia tidak kehabisan akal.

Pagi selanjutnya ia menyuruh pengemis itu duduk dan secara pelan-pelan dan dengan hati-hati membungkus kakinya dengan kain hangat lalu, seperti cara orang-orang romawi, mengikatnya dengan kawat-kawat. Cara itu begitu sukses sehingga orang itu mampu berjalan di salju dan tanpa kesulitan.

Kadang-kadang, orang yang menerima aksi-aksi kasih ini akan menawarinya sesuatu sebagai balasan.

“Terima kasih,” ia akan berkata “tapi, apa yang aku lakukan, aku lakukan demi kasih Tuhan.”

1 6

▲back to top


2 “Tuhan Melihatmu”

▲back to top





“Tuhan memberiku seorang suami lalu mengambilnya dariku. Ketika ia meninggal, ia mempercayakan ketiga anaknya untuk kuasuh dan aku akan menganggap diriku sebagai seorang ibu yang kejam jika aku meninggalkan mereka ketika mereka sedang paling membutuhkan bantuanku.”

Margareta belum lama menjanda ketika ia menerima beberapa lamaran. Salah satu lamaran ini sangat baik. Laki-laki itu kaya dan, menyadari cinta Margareta kepada anak-anaknya, telah meyakinkan Margareta bahwa mereka akan diurus. Teman-teman dan sudara-saudara telah mendorongnya untuk menerima lamaran itu. Komentar di atas adalah reaksinya.

Ketika menegaskan bahwa seorang pengasuh akan disediakan bagi mereka, Margareta masih menolak.

“Seorang pengasuh,” tegasnya, “sebaik-baiknya, ia hanya akan menjadi teman mereka. Tapi aku ibu mereka dan aku tidak akan pernah menyerahkan mereka untuk diasuh dan dibesarkan oleh orang lain walaupun ditawari semua uang di dunia!”

Margareta sekarang mulai melatih anak-anaknya untuk menghadapi kerasnya hidup, dan sebagai awalnya mereka dibiasakan untuk bangun pagi sebelum matahari terbit.

“Hidup kita begitu singkat,” katanya kepada mereka, “kita hanya punya sedikit waktu untuk berbuat baik. Setiap jam yang kita pakai untuk tidur yang tidak pada tempatnya adalah waktu yang hilang menurut surga. Setiap menit yang kita ambil dari istirahat yang tidak perlu memperpanjang hidup kita karena tidur adalah gambaran kematian. Betapa banyak kebaikan yang dapat kita lakukan selama menit-menit itu, betapa banyak jasa yang dapat kita buat!”

Ketika kasur wol untuk musim dingin dan kasur bulu kuda untuk musim panas mulai digunakan orang-orang, ia menolak untuk membelikannya bagi anak-anaknya. Selama musim panas dan dingin, mereka harus puas dengan tidur di atas kasur dari kulit jagung dan batang-batang gandum. “Nanti,” katanya, “ketika kalian harus tidur di kasur kulit jagung, kalian tidak akan merasa kesulitan.” Jika salah seorang tetangganya jatuh sakit di malam hari dan meminta pertolongannya, ia tanpa ragu membangunkan salah seorang anaknya untuk menemaninya ke rumah itu. Untuk sarapan pagi, ia memberi mereka sepotong roti kering dan air dari sumur. Namin, ia memperbolehkan mereka makan buah-buahan apapun kapanpun mereka mau.

Ia adalah seorang ibu yang berhasil, karena ia berhasil mendapatkan dari ketiga anaknya sesuatu yang diinginkan oleh seorang ibu, yaitu, kepatuhan pada keinginannya terutama akan teman-teman mereka, dan kepastian bahwa mereka tidak akan ke luar rumah tanpa izin darinya.

“Mama,” mereka akan memanggil. “Teman kami ingin kami bermain dengannya. Bolehkah kami pergi?”

Jika ia berkata, “ya,” mereka akan berlari keluar dan bermain sesenang hati mereka. Dan jika jawabannya, “tidak,” maka mereka tidak akan keluar rumah dan mereka akan puas dengan bermain sendiri dengan mainan-mainan sederhana yang telah ia beli dari pasar, atau yang mereka buat sendiri. Kadang-kadang ketika ia tidak di rumah, anak-anaknya tetap menolak untuk keluar. Ketika ada teman yang bertanya mengapa, jawaban mereka adalah, “Mama tidak akan suka hal itu.” Ketika mereka tidak ada di rumah untuk sesaat pun, ia akan memaksa untuk tahu kemana mereka pergi dan apa yang telah mereka lakukan.

Pada hari-hari ketika pasar buka, ketika mereka melihat ibunya dalam perjalanan menuju rumah, ketiga anak itu akan berdiri di luar rumah memandangi bukit dan kemudian berlari menemui ibunya. Ia akan masuk ke rumah berkeringat dan berdebu karena perjalanan yang jauh dan baru duduk sebentar ketika anak-anak itu mulai berkata, “Roti! Roti!”

Sebelum ia memberi mereka roti, ada beberapa pertanyaan yang ia ajukan.

“Apakah kalian sudah mendoakan Malaikat Tuhan?” adalah pertanyaan pertama. “Sudahkah kau menyampaikan pesanku pada orang itu? Sudahkah kau mengambil bibit-bibit dan alat-alat dari orang itu? … dan yang terakhir pastilah, “apakah kalian melakukan apa yang disuruh Granny?” Sesuai dengan jawaban yang ia terima, ia akan memberi mereka selamat atau menasihati mereka. Setelah itu barulah ia membagikan barang-barang yang mereka inginkan.”

Jika ia menuntut kepatuhan dari anak-anaknya, ia pertama-tama memberi contoh dengan patuh pada ibu mertuanya yang sudah harus beristirahat di tempat tidur atau kursi. Ketika Francis meninggal, Granny kuatir apakah menantunya akan menerimanya. Ia terkejut dan berterimakasih ketika ia menemukan bahwa Margareta bertekad untuk mengurusnya seperti mengurus ibunya sendiri. Margareta telah berjanji demikian pada suaminya yang sekarat dan selama Granny hidup, ia menganggapnya sebagai kepala keluarga. Ia memastikan agar hidup Granny nyaman, menemaninya di musim dingin yang panjang, menyiapkan baginya makanan-makanan kesukaannya dan merawatnya ketika ia sedang sakit. Ketika Margareta pergi ke pasar, ia selalu membeli grissini (roti seperti tongkat), biskuit-biskuit atau buah segar untuknya, dan kepada anak-anak ia berkata: “Patuhilah Granny lebih dari kalian mematuhi aku.”

Granny juga berusaha membuat dirinya berguna, melakukan berbagai hal di sekitar rumah, merajut dan menjahit pakaian-pakaian bolong, dan mengurus anak-anak ketika Margareta tidak ada di rumah. Bahkan, ia mempunyai semangat yang cukup untuk memastikan bahwa mereka melakukan apa yang benar. Ia juga tidak menutup mata ketika ia berpikir bahwa mereka pantas di hukum.

“Bawa tongkat itu kepadaku,” ia akan memerintah.

Verga (tongkat) ada di pojok setiap rumah. Biasanya salah seorang dari orang tua atau anggota keluarga yang tertua yang menggunakannya dan tongkat itu harus dibawa oleh orang yang bersalah. Karena anak-anak tahu kalau Granny cukup kuat untuk memukuli mereka, mereka akan mencari-cari alasan.

“Itu bukan salahku!”

“Sekarang engkau akan mendapat dua pukulan,” balas granny. “Satu karena kesalahanmu dan yang satunya karena telah berbohong.”

“Ok, Granny. Memang itu salahku, tapi aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Apa kau menyesali perbuatanmu?”

“Ya, Granny. Sangat menyesal.”

“Hmn! Singkirkan tongkat itu. Tapi lain kali kau tidak akan lolos semudah ini.”

Ketika teman-teman mereka mendengar hal ini, mereka terkejut. Menyadari bahwa Granny tidak dapat berjalan, mereka menanyakan sesuatu yang wajar. “Karena wanita tua itu tidak bisa mengejar kalian, kenapa kalian tidak lari saja?”

Jawaban mereka juga mengejutkan. “Mama tidak akan menyukai hal itu.”

Sebaliknya Margareta, walaupun ia tidak mengendorkan ketegasannya, ia tidak pernah menggunakan tongkat itu, tidak pernah memukul anak-anaknya. Hukuman baginya berarti kehilangan beberapa hak istimewa. Bahkan, ketika ia harus menjatuhkan hukuman, ia tidak pernah memberi hukuman selagi ia marah, dan sebelum memberi tahu hukumannya, ia akan menjelaskan dahulu mengapa ia menghukum mereka sehingga hukuman itu biasanya tidak perlu lagi. Dalam masalah apapun, ia lebih ingin mengajari anak-anak itu untuk menyadari perbuatan mereka daripada menghukum mereka.

Caranya yang lain untuk mendidik anak-anaknya adalah mendorong mereka untuk berbicara kepadanya. Ia tidak pernah letih mendengarkan apa yang mereka katakan, walaupun tentang hal yang tidak penting sama sekali atau ceita yang begitu panjang. Apa yang penting adalah bahwa mereka membuka hati kepadanya dan pada saat yang sama memberitahukan kecenderungan-kecenderungan dan keinginan-keinginan mereka.

Satu kalimat yang terus ada di bibirnya adalah, “Tuhan melihatmu.” Jika ia mencurigai bahwa mereka sedang kesal ia akan berbisik di telinga mereka, “Ingatlah bahwa Tuhan melihatmu.” Atau, ketika ia sedang menanyai mereka, ia takut bahwa mereka akan berbohong untuk menutupi kesalahan mereka, ia akan mengingatkan mereka bahwa, “Tuhan melihat ke dalam hatimu.”

Kejadian-kejadian sehari-hari yang biasa, ia gunakan untuk mengajari mereka beberapa pelajaran yang berguna.

Di pagi hari, ia akan menunjukan kepada mereka matahari yang indah, dan pada sore hari, matahari tenggelam yang juga indah. “Tuhan menciptakan keajaiban ini,” katanya, “dan jika ia yang menciptakan keindahan ini, betapa indahnya ia sendiri?” Selanjutnya, ia akan berbicara tentang keindahan bunga atau binatang atau yang lainnya, yang telah Tuhan ciptakan untuk kesenangan manusia. Jika langit sudah gelap dan halilintar mulai terlihat dan guntur terdengar, ia akan menegaskan bahwa hal itu hanyalah secuil gambaran kekuatan Tuhan, sehingga mereka yang melawannya tidak akan menang.

Apakah badai salju menghancurkan seluruh atau sebagian tanaman mereka? – Tuhan memberi dan Tuhan mengambil,” katanya. “Ia tahu apa yang terbaik untuk kita.” Apakah panennya melimpah? – ia memberitahu anak-anaknya untuk bersyukur kepada Tuhan karena telah memberi mereka roti setiap hari; dan ketika musim dingin datang dan mereka berkumpul di sekitar perapian, mendengarkan cerita-cerita atau membakar chestnut, ia akan mengingatkan mereka untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah menjadi Ayah yang begitu baik yang menyediakan segala keperluan mereka.

Tanah pertanian Bosco dikelilingi oleh pohon dan sebuah batu besar, dan sebagian tanahnya disisihkan untuk kebun anggur kecil yang diurus dengan khusus oleh Margareta. Ketika buah-buah anggur-anggur itu masak, ia dan ketiga anaknya bekerja sepanjang hari mengumpulkannya di keranjang untuk dijual di pasar. Ketika mereka sedang melakukan hal ini, Margareta memperhatikan bahwa seorang asing mengendap-endap di belakang pertanian. Walau ia berpura-pura tidak peduli, Margareta tahu apa yang hendak dia lakukan. Karena pada tahun itu ada kekurangan akan anggur yang baik, para pencuri mencuri anggur di waktu malam.

“Malam ini kita akan mendapat masalah,” ujarnya pada anak-anaknya. “Kita tidak bisa melawan pria itu karena ia terlalu kuat bagi kita. Tapi kita juga tidak bisa membiarkannya mengambil anggur kita. Aku punya rencana lain. Jangan membuat suara sampai kusuruh, tapi ketika aku menyuruhmu, mulailah berteriak sekuat tenaga dan pukullah pintu kandang dengan tongkat.”

Malam itu, anak-anak berkumpul di pintu kandang dan menunggu tanda dari ibunya. Tiba-tiba mereka melihat bayangan seorang laki-laki mengendap-endap di kebun anggur. Laki-laki itu mengulurkan tangannya diam-diam ke arah anggur ….

“Ia disana, pak polisi!” teriak Margareta sekuatnya. “Tangkap dia!”

“Lewat sini, pak!” teriak Yohanes.

“Jangan biarkan ia lolos!” teriak Antonius dan Yosef bersama-sama.

Pada saat yang sama, keempat orang itu menghentak-hentakkan kaki mereka, memukul tongkat mereka ke pintu kandang, dan membuat begitu banyak keributan sehingga pencuri itu, ketakutan sekali, tersandung jatuh di kegelapan.

“Kita tidak mempunyai senapan atau pistol,” kata Margareta, “tapi kita menakutinya setengah mati. Ia takut atas segalanya karena ia sedang melakukan hal yang tidak benar.”

Sebuah pemandangan yang memberi inspirasi bagi orang-orang di daerah itu adalah melihat Margareta ditemani dua anaknya yang termuda – Granny mengurusi Antonius – pergi pagi-pagi untuk bekerja di ladang dan kembali dengan lelah dan lapar di sore hari dengan mereka berdua tetap di sampingnya. Ketika suara bel sore berbunyi, ia akan mendoakan Malaikat Tuhan dan ia akan melanjutkannya dengan rosario. Baginya hal ini harus dilakukan dan jika ada seseorang, asing atau teman, kebetulan sedang ada di rumahnya pada waktu itu, mereka akan diajak bergabung. Tidak masalah jika orang itu adalah pengelana yang sedang mampir, atau kadang-kadang carabinieri, atau bahkan para bandit! Lewat bujukan halusnya, Margareta akan membuat mereka berlutut untuk berdoa – suatu hal yang tidak mereka lakukan sejak masa kecil mereka!

Dari sejak mereka kecil, Margareta telah melatih anak-anaknya untuk berpakaian sopan. Pada hari Minggu, ia memastikan bahwa mereka memakai pakaian mereka yang terbaik, dengan rambut mereka terikat, sesuai tradisi hari minggu, dengan pita. Para tetangga akan berkomentar baik atas pemandangan indah ini.

“tidakkah kau suka dengan orang-orang mengatakan hal-hal baik tentang dirimu?” tanyanya pada mereka suatu kali.

“Tentu saja, Mama!”

“Tapi apakah kau tahu kenapa aku menyruhmu memakai pakaianmu yang terbaik?” desaknya. “Karena aku ingin kalian menunjukan kebahagiaan yang harus tiap orang Kristiani rasakan pada hari Minggu, hari yang istimewa dari hari-hari lain yang ada dalam seminggu. Aku ingin kebersihan lahiriah pakaian mencerminkan keindahan jiwa kalian. Apa baiknya berpakaian indah jika jiwa kalian jelek? Ingatlah juga agar kalian tidak terlalu memikirkan pujian orang lain. Hal itu membuat diri kita sombong dan ambisius, dan Tuhan tidak mencintai orang-orang seperti itu. Mereka berkata bahwa kalian mirip malaikat-malaikat, maka kalian harus bertingkah laku seperti malaikat, terutama di gereja. Jangan membalikkan badanmu, jangan berbisik-bisik atau mengobrol dan berdoalah dengan mengatupkan kedua tanganmu. Lalu Tuhan yang baik akan memberkati kalain.”

Karakter lainnya yang menonjol pada diri Margareta adalah cintanya terhadap kemurnian. Ia dapat menghadapi masalah seksual dengan tenang. Namun, ia juga tidak kenal lelah dalam usahanya untuk melindungi mereka yang tak bersalah dan yang tidak bersalah dan yang tidak mau terlibat masalah, dan untuk mencegah setiap orang, sengaja atau tidak, menyakiti orang lain. Cinta ini ia tunjukkan pada anaknya dan semua orang yang ia temui.

Pada satu kesempatan, seorang penjual keliling yang meminta tempat beristirahat menyimpan bersama barang-barangnya beberapa novel yang tidak pantas. Setelah mengetahui hal itu, Margareta membujuknya untuk menghancurkannya sebelum mereka jatuh ke tangan orang yang tidak berdosa.

Suatu hari, dalam perjalannanya menuju gereja dengan anak-anaknya, ia berpapasan dengan seorang penduduk desa bernama Secundo yang sedang menceritakan cerita-cerita tidak baik pada sekelompok anak muda. Ia juga menggangu orang-orang yang sedang berjalan dengan kata-kata kotor.

Tak bisa mempercayai telinganya, Margareta berhenti, berbalik kepada laki-laki itu dan memanggil namanya. “Secundo!”

“Ada apa?” jawabnya.

“Apa kau ingin anak perempuanmu mendengarmu berbicara seperti itu?” tanya Margareta.

Secundo mengelak pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa, karena semua orang berbicara seperti itu, mengapa ia tidak?

“Bahkan jika semua orang berbicara seperti itu, yang nyata-nyatanya tidak,” kata Margareta, “tidak berarti bahwa hal itu tidak berbahaya. Dan jika kau masuk ke neraka apakah akan membantu jika kau mengatakan bahwa semua orang melakukan hal yang sama?”

Laki-laki itu memaksa dirinya untuk tertawa dan yang lain ikut tertawa.

“Dengan usiamu dan rambut putihmu,” tegas Margareta, “kau seharusnya memberi contoh yang baik untuk anak-anak muda, bukannya menjadi sumber skandal.”

Ia masih kesal selagi ia menarik anak-anaknya ke samping. “Kalian tahu bahwa aku mencintai kalian lebih dari apapun di dunia ini,” katanya. “tapi aku lebih baik melihat Tuhan mengambil kalian saat ini juga daripada melihat kalian tumbuh seperti orang jahat itu. Aku akan mencekikmu dengan kedua tanganku sendiri sebelum hal itu terjadi!” Dalam hal kesopanan, ia tidak akan berkompromi dan bahkan akan memerintahkan keluar dari rumah, orang-orang yang mengucapkan hal-hal yang tidak sopan.

Suatu siang, ia mendengar dua anak muda di loteng jeraminya, berbicara kurang sopan menurut ukuran Margareta.

“Tinggalkan tempat ini sekarang juga,” perintahnya. “Ini rumahku dan aku tidak akan biarkan bahasa seperti itu diucapkan di sini. Pergi kalian!”

Ia juga tidak memperboleh kedua anak itu lagi mengikuti acara yang diadakan oleh anak-anak di daerah itu di lotengnya sepanjang musim dingin.

Jika ia mengawasi kelakuan anak-anaknya, ia melakukannya tanpa merasa terbebani.

Kapanpun mereka tampak tidak menerima keberatannya dengan baik, ia akan mengumpulkan mereka di dekatnya dan menceritakan cerita-cerita yang ia dengar sewaktu ia muda. Suara ribut dari permainan mereka tidak pernah menggangunya. Bahkan, ia bergabung dalam permainan mereka dan menciptakan permainan-permainan baru untuk mereka.

Suatu kali, seorang penjual obat keliling mampir di desa itu dan suara terompetnya membuat anak-anak itu bersemangat sekali. Mereka memohon pada ibunya untuk membiarkan mereka menonton.

“Tunggulah selagi aku melihat apa yang terjadi,” jawabnya.

Karena hiburan itu pantas untuk dilihat, ia mengizinkan mereka. Tapi, sebaliknya, jika ada sesuatu yang ia anggap membahayakan, jawabannya tegas-tegas, tidak.

“Tapi, Mama,” anak-anak itu kadang-kadang keberatan, “anak-anak yang lain ...”

“Biarkan yang lain melakukan apa yang mereka mau,” jawabnya. “tapi satu hal saja yang tidak aku mau, dan hal itu adalah melihat kalian terperosok jatuh ke neraka!”

2.1

▲back to top


2.1.1 7

▲back to top


2.1.2 “Sang Ibu Sendiri Yang Membentuk Hati”

▲back to top


3 A. Auffray

▲back to top




Margareta terus berdoa sampai mereka tiba pada kata-kata ini, Ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami. Ia berhenti dan menoleh kepada Antonius. “Kau sebaiknya tidak usah mengatakan kalimat ini,” katanya.

“Mengapa tidak? Kalimat ini ada di dalam doa.”

“Tentu saja. Tapi, kau lebih baik tidak mengatakannya.”

“Lalu, apa yang harus aku katakan?”

“Apapun yang kau mau. Tapi, berasal dari dirimu, kata-kata ini berarti bohong; sebuah penghinaan kepada Tuhan. Bagaimana kau dapat berharap Ia dapat memaafkanmu kalau kau tidak dapat memaafkan orang lain?’’

Antonius menunduk. “Aku minta maaf,” katanya. “Aku memang bersalah.”


Dengan kembalinya sedikit kestabilan di bawah kekuasaan Austria, kondisi hidup mulai membaik bagi keluarga Bosco, dan seiring waktu anak-anak itu mulai menyumbangkan tenaga mereka yang masih muda unrtuk bekerja di ladang.

Jika di luar rumah kondisinya membaik, hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk kondisi di dalam, di mana dengan berlakunya waktu, atmosfirnya mulai berubah. Ketika anak-anak ini bertambah besar, mereka mulai menunjukkan temperamen yang sangat berbeda. Mereka juga mulai meminta perhatian individual yang lebih banyak lagi dari Mama Margareta.

Yosef tumbuh menjadi seorang anak yang berhati hangat dan penuh kasih, yang sifat jeleknya muncul hanya ketika dia benar-benar marah atau ditentang. Lalu, ia akan bergulingan sebentar di lantai dengan kekanak-kanakkan, hal yang tidak berlanjut ketika ia mulai bertambah besar. Bahkan, dengan seiring bertambahnya waktu, ia tumbuh menjadi orang yang seimbang dan stabil karakternya. Bahkan, sampai ia besar, sikapnya terhadap Yohanes terus berada antara rasa kagum dan hormat.

Antonius, sekarang berumur 12 tahun, telah tumbuh menjadi anak yang kuat dan mampu melakukan kerja sebagai seorang laki-laki,yang merasa lebih kerasan di ladang daripada di rumah, seorang pekerja keras yang mencintai tanahnya. Mama Margareta tidak menentang hal ini. Adalah kelakuannya di rumah dan terhadap hal yang lain yang membuatnya cemas. Ia bertanya-tanya apakah Antonius pernah menganggap dirinya sendiri bagian dari keluarga dan merasa bahwa ia mulai melihat yang lain sebagai pengganggu.

Sejak Mama Margareta menginjakkan kakinya di rumah Bosco, Antonius telah menunjukkan dengan berbagai cara bahwa Mama Margareta tidak akan pernah menggantikan tempat ibunya. Ia telah menegaskan bahwa baginya, Yosef dan Yohanes tidak lebih dari saudara tirinya. Ia sekarang tahu bahwa dengan kehadiran mereka, ia telah kehilangan dua pertiga warisan keluarganya, yang sejauh ia pedulikan, berarti sebagian tanah ayahnya yaitu, tanah yang seharusnya miliknya. Ketika anak-anak bertambah besar, Yosef dan Yohanes bertambah dekat dan ia melihat bahwa seakan-akan mereka bersekutu melawannya, tidak menyadari bahwa sikapnya sendirilah yang merupakan sebagian alasannya. Ia merasakan Mama Margareta dalam konspirasi ini, yang membuatnya melihat setiap hal yang Mama Margareta lakukan dengan mata curiga. Hasilnya, satu-satunya anggota keluarga yang masih dapat mempengaruhinya adalah Granny.

Ketika pada suatu saat Antonius memukul Yohanes, Mama Margareta menahan diri untuk tidak menghukumnya dengan tidak mengacuhkannya sepanjang hari dan tidak mengucapkan sepatah katapun padanya. Pada akhir hari, Antonius datang kepadanya untuk bertanya apa masalahnya.

“Aku terlalu marah untuk berbicara tentang hal itu,” jawab Mama Margareta. “Aku akan berbicara denganmu besok.”

Keesokan harinya, ia datang menemuinya, kali ini untuk memohon ampun padanya. “Mereka yang memulainya,” adalah alasannya. “Aku hanya ingin mereka menghormatiku.”

“Jika itu apa yang kau rasakan, tidak ada gunanya kita berbicara. Bagaimana kau dapat mengharapkan mereka untuk memaafkanmu?”

“Tetapi aku tidak bersalah!”

“Pada awalnya, mungkin. Tetapi kau bersalah karena telah main hakim sendiri. Akuilah hal itu dan berjanjilah untuk berbuat lebih baik lain kali. Itulah satu-satunya cara kau dapat membuktikan bahwa kau menyesal.”

“Aku menyesal dan aku tidak akan melakukannya lagi.”

Itulah yang terjadi pada saat-saat yang baik. Tetapi ada saat-saat lain di mana ia tidak akan mengaku bahwa ia menyesal atau mau memaafkan dan semua usaha untuk mendamaikan akan gagal. Karena Mama Margareta tidak pernah memakai kekerasan, hal seperti ini terus terjadi sampai suatu hari mereka akan berdoa sore. Ia benar-benar sampai harus menyeret Antonius dan ia hanya mau berlutut di pojok, terpisah dari yang lain.

Pada kesempatan lain, ia benar-benar marah sampai mengangkat kepalan tangannya. “Kau ibu tiri yang berbisa!” teriaknya. “ Kau bukan ibuku!”

Walau Mama Margareta cukup kuat untuk memukulnya jatuh dengan satu tangan, namun ia menahan dirinya. Itu bukan caranya. Sebaliknya, ia hanya mundur dan menunggu sampai Antonius tenang.

Sementara itu, kedua anak yang lain, ketakutan melihat kekerasan ini, berlari menuju ibu mereka dan memeganginya, sambil memohon kepada Antonius untuk berhenti bertengkar. Granny juga menambah suara mereka, memarahi Antonius dan menyuruhnya berhenti bersikap seperti orang gila.

“Kau salah, Antonius,” kata Mama Margareta ketika ia telah mampu mengontrol dirinya sendiri. “Kau adalah anakku. Ketika ayahmu meninggal dia meminta untuk mengawasimu. Hal itu selalu aku lakukan, aku mencintaimu sebanyak aku mencintai kedua anakku yang lain. Aku akan terus mencintaimu seperti itu. Aku tidak akan memukulmu karena aku tidak akan memakai kekerasan pada anak-anakku. Hanya, cobalah untuk menyadari bahwa apa yang sedang kau lakukan adalah salah.”

Kata-kata ini memberi Antonius waktu untuk berpikir dan pada akhirnya ia minta maaf untuk kelakuannya. Tidak peduli seberapa marahnya dia, ia tidak pernah gagal untuk meminta maaf ketika kemarahannya sudah berlalu.

Untuk Mama Margareta, Yohanes sebuah tantangan lain. Pada usia 8 tahun, ia sudah mulai menunjukkan sifat-sifat yang membuatnya lebih sulit diatur daripada saudara-saudranya yang lain. Salah satunya adalah kecenderungannya untuk memanipulasi orang lain demi keuntungannya sendiri. Mama Margareta dapat melihat hal itu dalam kelakuannya terhadap Yosef. Ketika ia melakukan kesalahan, ia selalu mengeluarkan senyumnya yang lebar dengan mata coklat yang memohon. Ia juga berpikiran pendek, cepat marah, semaunya sendiri dan keras kepala.

Sebaliknya, ia adalah yang paling menarik dari ketiga anak itu dan jika ada dari mereka yang dapat menjadi seseorang di dunia ini, tentu saja itu Yohanes. Ia begitu penuh harapan, ia sudah terlihat menonjol dari mereka. Terlepas dari kesalahan-kesalahan yang ia buat, ia murah hati, punya keinginan yang baik dan pintar. Walaupun masih banyak hal yang tidak Mama Margareta tahu, setidaknya ia telah mengajar Yohanes untuk memeriksa dorongan-dorongan hatinya karena hal ini sering membawanya pada masalah, untuk berpikir sebelum ia bertindak.*

Yohanes dan kakaknya Yosef, pada suatu hari yang panas di musim panas, berlari pulang. Mereka telah bekerja begitu lama di bawah matahari sehingga mereka kehausan.

“Minta air, Mama!” seru mereka bersama.

Mama Margareta menuang segelas air dingin, tidak menghiraukan tangan Yohanes yang terentang, dan memberikannya pada Yosef.

“Aku meminta lebih dahulu!” protes Yohanes.

Ketika Yosef selesai, Mama Margareta mengambil gelas itu, mengisinya lagi dan memberikannya pada Yohanes. Namun, ia mencibir dan meninggalkan dapur dengan rasa kesal. Mama Margareta mengosongkan gelas itu, menaruhnya dan kembali bekerja.

Lima menit kemudian, Yohanes muncul lagi. “Mama.”

“Ya?”

“Aku haus!”

“Oh, ya?”

“Bolehkah aku mendapat segelas air? Tolong!”

“Aku telah menawarimu beberapa menit lalu.”

“Aku minta maaf, Mama. Mau menawariku lagi?”

“Sekarang kau bersikap masuk akal.”

Pada waktu yang lain, dalam sebuah pertengkaran dengan Yosef, Yohanes yang cepat naik darah melempar sebuah batu kepada Yosef dan mengenainya. Mama Margareta melihat hal itu.

“Yohanes!” panggilannya. “Segera ke sini.”

“Ya, Mama?”

“Lihat tongkat itu?” tunjuk Mama Margareta pada tongkat di pojok ruangan.

“Ya, Mama?”

“Bawalah tongkat itu kepadaku.”

Yohanes tidak bergerak.

“Aku berkata, bawalah tongkat itu kepadaku!”

“Apa yang akan kau lakukan dengan tongkat itu?” tanyanya sambil mulai menangis.

“Berikan tongkat itu kepadaku dan aku akan menunjukan kepadamu.”

Perlahan-lahan Yohanes berjalan ke pojok, mengambil tongkat itu dan membawanya padanya. “Aku tahu apa yang kau lakukan dengan tongkat itu!” Tangisnya.” Kau akan memukulku dengan tongkat itu!”

“Kenapa tidak?” tanya Mama Margareta dengan serius. “Setelah melihat kelakuanmu pada kakakmu.”

“Aku menyesal, Mama.” Yohanes memohon dengan mata coklatnya. “Aku tidak akan melakukannya lagi. Sumpah Mama.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum, dan setelah hening sesaat, Mama Margareta tersenyum balik padanya. Ia tidak pernah merasa mudah menghukum Yohanes, tetapi ia harus mengajarnya untuk berpikir dahulu sebelum bertindak.

Pada sebuah kejadian yang lain, Yohanes disuruh menjaga kalkun-kalkun. Ketika perhatiannya sedang teralihkan, seorang pencuri membawa satu kalkunnya. Segera setelah ia menyadari pencurian itu, ia menuju seorang yang benar-benar asing hanya karena, menurut pandangan Yohanes, ia adalah satu-satunya orang yang dapat mencurinya. Untungnya, Yohanes benar dan ia memperoleh lagi kalkunnya. Sewaktu ia pulang dan memberitahukan ibunya tentang hal itu, ia menunggu pujian darinya. Sebaliknya, reaksi ibunya mengejutkannya.

“Aku tahu, Yohanes,” katanya, “bahwa kau mengharapkan aku memujimu karena telah menghentikan orang itu dari mencuri kalkun itu. Tapi aku ingin kau mengerti bahwa kau menaruh dirimu dalam bahaya tidak saja dengan menuduh seorang yang mungkin tidak bersalah, tapi juga dengan membuat sepasang kuping merah!”

“Tapi, Mama,” protesnya, “aku benar kan ? Dan aku memperoleh kalkun itu lagi.”

“Ya, kau mendapatkan kembali kalkun itu,” jawab Margareta. “Tapi pikirkan hal ini: Jika kita kehilangan kalkun itu, tidakkah kita hanya akan kehilangan sedikit? Tapi kau menangung resiko menyinggung tetanggamu. Lain kali berhati-hatilah agar tidak melakukan suatu hal yang kurang menunjukan kasih.”

Suatu sore ia pergi untuk melihat sebuah sarang burung bulbul, dan merasa ngeri ketika seekor burung tekukur membunuh burung itu dan anaknya, mendorong badan mereka keluar sarang, lalu dengan santai beristirahat di sarang itu. Keesokan harinya ia bertelur di sarang itu. Ketika burung itu terbunuh oleh seekor kucing, sarang itu di ambil oleh seekor burung mawai. Yohanes bertanya apa yang akan terjadi pada telur itu.

Akhirnya, keluarlah tekukur kecil dengan dua cakar yang besar dan paruh yang jelek. Ketika ia siap untuk terbang, Yohanes membawanya pulang dan menaruhnya di dalam sangkar. Kareana waktu panen telah tiba maka ia begitu sibuk dan lelah sampai-sampai melupakan burung itu.

“Bagaimana tekukurmu, Yohanes?” Ibunya bertanya. Yohanes menepuk dahinya. “Aku lupa sama sekali tentangnya!”

Ia berlari sampai ke rumah dan menemukan burung malang itu, karena kelaparan, maka ia mencoba keluar dengan mendorong paruh kuningnya di antara kawat dan terjepit sampai mati. Ia menunjukan burung mati itu kepada ibunya sambil menangis.

Margareta menunjukkan bahwa burung tekukur itu mewarisi masalah dari orang tuanya. “Mereka yang mencuri dari orang lain,” katanya, “mewariskan kepada anak-anak mereka kemalangan mereka juga, bersama dengan barang curian mereka.”

Kemudian ia menemukan lagi seekor burung punai yang ibunya terbunuh, menaruhnya dalam sangkar dan menyaksikannya menyaksikannya tumbuh menjadi seekor burung kecil yang mempunyai nafsu makan yang besar, selalu siap makan lebih banyak dari yang ia tampung.

Suatu hari, ia membawa pulang sekeranjang buah ceri dan memberikan pada burung itu. Burung itu menelan dan segera meminta lagi. Ia memberinya satu lagi, lalu satu lagi. Ia menganggap hal ini lucu sehingga ia lupa berapa banyak yang telah ia berikan, karena setiap kali punai itu membuka paruhnya, ia memberinya ceri, sambil berkata, “ Nih, telan lagi yang baru!”

Tetapi pada suatu saat, punai itu membuka paruhnya, namun kali ini hanya menatap Yohanes dengan mata nanar. Ia menggelengkan kepalanya kesana kemari lalu tergelincir dari tempat hinggapnya ke lantai sangkar, menggelepar dan merentangkan cakarnya.

“Ia sudah mati!” Yohanes yang ketakutan berlari kepada ibunya.” Ia sudah mati!”

Mama Margareta sekali lagi menunjukan kepadanya sebuah pelajaran. “ Orang yang rakus mati cepat,” katanya,” karena ketidaksabaran memperpendek hidup mereka.”

Segera sesudah anak-anaknya dapat melakukan Pengakuan Dosa Pertama, Mama Margareta sendiri menyiapkan mereka dan hanya setelah ia pergi ke pengakuan, baru ia memperkenalkan mereka pada pastor itu. Setiap hari Minggu, ia akan membawa mereka ke Gereja desa yang kecil untuk melayani Misa, mendengarkan khotbah dan mengajarkan katekismus. Ketika mereka sampai di rumah, ia akan menanyakan apa yang telah mereka dengar di khotbah dan bagaiman hal itu mempengaruhi hidup mereka.

Ia melakukan hal yang sama untuk Komuni Pertama mereka. Ketika Yohanes mencapai usia 11 tahu, ia diberi izin untuk mempersiapkan dirinya. Namun, kesulitan muncul. Pastornya tidak mengenalnya secara pribadi dan untuk menghadiri pelajaran katekismus itu, ia harus menempuh jarak yang sangat jauh. Karena Mama Margareta ingin agar Yohanes segera dapat menerima sakramen ini, ia sendiri yang mempersiapkannya. Pada hari Yohanes harus menerima sakramen itu, Mama Margareta tidak membiarkan dia berbicara pada seseorangpun atau seseorangpun berbicara kepadanya. Ia menemaninya ke gereja, menolongnya untuk bersiap dan untuk mengucap syukur, dan untuk sisa hari itu mencoba melindungi Yohanes dari gangguan-gangguan.

Perintah-perintah religius yang ia berikan pada anak-anaknya lewat kata-kata dan peraturan, dengan membandingkan kelakuan mereka dengan ajaran katekismus, berhasil membuat agama menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka.

Dalam membesarkan anak-anaknya, Mama Margareta mungkin sedikit tidak beruntung karena tidak mempunyai kekayaan dan pendamping hidup, juga tidak berpendidikan. Pengetahuan agamanya juga ia peroleh melalui instruksi-instruksi yang ia dengar di gereja, kelas katekismus, bacaan-bacaan Injil dan khotbah-khotbah hari Minggu. Namun, ia mempunyai cinta seorang ibu yang besar. Sebelum ia dapat mengatur anak-anaknya dengan efektif, ia tahu bahwa ia bukan saja harus mencintai mereka tapi harus menunjukan cinta itu kepada mereka. Ia mempunyai keyakinan kuat pada naluri keibuannya, percaya bahwa hal ini juga berasal dari Tuhan, untuk membantunya dalam suatu hal yang ia anggap usaha manusia yang paling mulia membesarkan anak-anaknya. Di waktu malam, setelah ia menidurkan mereka, ia akan duduk dekat perapian dan mendiskusikan tentang mereka dengan Granny; atau jika Granny sedang tidak bisa, ia sendiri akan berpikir tentang mereka dan berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk membantu mereka.

Semua ini memberi pengaruh yang mendalam kepada anak-anaknya sehingga ketika mereka telah tumbuh menjadi pria dewasa, ia masih dapat menanyakan apakah mereka sudah melakukan kawajiban-kewajiban agama mereka atau apakah mereka sudah berdoa pagi dan sore.

Untuk bertindak sesuai Hukum Allah adalah satu-satunya batasan yang Mama Margareta tetapkan pada kebebasan anak-anaknya. Mempunyai hati nurani yang benar, mengontrol dengan kasih, jujur dalam perkataan dan adil dalam menilai orang atau sesuatu, ia sendiri tidak pernah bertindak dengan keraguan, takut, atau malu karena sesuatu. Seseorang tidak dapat memarahi sikapnya terhadap anak-anaknya kecuali pertama-tama memarahi kebenciannya pada perbuatan yang salah, kejijikannya terhadap dosa. Karena hal ini, ia berhasil mengajarkan mereka untuk mencintai kebenaran, mencintai kemurnian, berani, konsisten tindakan, semangat cinta kasih kepada sesama dan keprihatinan untuk keselamatan jiwa mereka sendiri dan jiwa orang lain.

3.1 8

▲back to top


3.2 “Beberapa Ibu Memiliki Jiwa Imam”

▲back to top



Suatu pagi yang cerah di bulan Mei, ketika Yohanes muda turun ke bawah untuk sarapan pagi, matanya memancarkan sesuatu yang lain dari biasanya dan ada sesuatu ynag mencurigakan tentang dirinya sehingga anggota keluarga yang lain menatapinya.

“Ada pa denganmu?” tanya Granny.

“Aku bermimpi aneh semalam,” katanya.

“Benarkah?” reaksi Antonius dengan segera. “Bekerjalah lebih banyak dan malamnya kau akan terlalu lelah untuk dapat bermimpi aneh.”

“Coba ceritakan mimpimu, Yohanes,” desak Granny.

Mama Margareta tidak berkata apa-apa, tetapi duduk untuk mendengarkan selagi anaknya menjelaskan mimpi anehnya.


Ia bermimpi bahwa ia sedang berada di sebuah lapangan bermain yang dipenuhi oleh anak-anak, beberapa tertawa dan bermain, yang lain berkelahi dan berkata-kata kotor. Sewaktu mendengar kata-kata kotor itu, ia naik pitam, berlari menuju mereka dan meninju mereka. Mereka yang terkena tinjunya menjadi marah juga, dan perkelahian dimulai. Perkelahian ini membuat semua anak itu menyerang Yohanes.

Di tengah keributan ini, tiba-tiba munculah seorang Pria yang wajah dan pakaiannya bersinar seperti terbuat dari cahaya. Penampilannya begitu menakjubkan sehingga anak-anak itu berhenti berkelahi untuk menatapnya.

“Kemarilah, Yohanes,” kata pria itu, sambil menaruh tangannya pada pundak Yohanes.” Kau tidak akan pernah dapat menolong anak-anak ini dengan memukul mereka. Bersikaplah ramah kepada mereka. Ajari mereka bahwa dosa itu jahat dan bahwa kemurnian merupakan anugerah yang sangat berharga.”

Tetapi Yohanes terlalu marah untuk mendengarkan. “Siapakah engkau sehingga menyuruh saya melakukan semua hal yang sulit ini?” tanyanya menuntut.

“Aku adalah Putera Wanita yang ibumu ajarkan untuk disalami tiga kali sehari,” kata Pria itu. “Dan hal-hal ini sebenarnya tidak sulit. Dengan mematuhi Wanita yang akan saya utus kepadamu, kau akan dapat melakukan semuanya dengan mudah.”

Pria itu menghilang dan Yohanes melihat anak-anak tadi berubah menjadi anjing-anjing, serigala-serigala, dan binatang-binatang buas yang lain.Dalam keadaan gemetar ketakutan, Yohanes berpaling dan melihat seorang wanita muncul di sampingnya. Wanita itu sangat cantik dan ramah dan mengenakan sehelai mantel emas. “Jangan risau, Yohanes,” kata wanita itu, sambil memegang tangan Yohanes. “Apa yang Aku lakukan terhadap binatang-binatang ini, kau harus melakukan bagi semua anak-anak-Ku. Tetapi untuk dapat melakukan hal ini, kau pertama-tama harus rendah hati dan tegar.”

Ketika wanita itu selesai berbicara, Yohanes melihat bahwa binatang-binatang itu memang sudah berubah menjadi domba-domba dan berkerumun di sekitar kakinya.

Bingung dan takut dengan apa yang ia lihat, Yohanes menangis tersedu-sedu. “Aku tidak mengerti!” tangisnya.

“Jangan risau anak-Ku,” ulang wanita itu. “Kau akan mengerti semua ini pada waktunya.”


Ketika ia selesai berbicara, semua orang berkomentar.

“Kau akan menjadi seorang gembala kambing kalau kau sudah besar!” goda Yosef.

“Tidak,” ejek Antonius. “Kau akan menjadi pemimpin carbonari!”

“Jangan tolol!” omel Granny. “Kau tidak dapat percaya pada mimpi, lagipula Yohanes, kau senang bercerita dongeng. Aku mendengar beberapa dongeng yang kau ceritakan pada teman-temanmu. Salah satunya tentang seorang pria yang menaruh telinganya ke tanah dan dapat mendengar apa yang terjadi seribu mil dari situ!…Apakah cerita ini salah satu dari dongengmu?”

Sedangkan Mama Margareta mulai bertanya-tanya apakah mimpi ini tidak mempunyai arti yang khusus, pesan khusus bagi dirinya dan juga anaknya. Memang benar bahwa Yohanes pernah bermimpi hal-hal yang aneh sebelumnya, dan ia juga seorang pendongeng yang baik. Namun, mimpi ini tampaknya mempunyai arti khusus. Mimpi ini mempunyai hubungan dengan hal-hal aneh yang terjadi pada anaknya, hal-hal yang belum membentuk sebuah pola, atau jika ada pola, pola ini masih membingungkannya. Akhirnya, ia mengungkapkannya pikirannya lewat kata-kata.

“Siapa tahu,” katanya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. “Suatu hari, kau bisa menjadi seorang imam.”

Ketika ia telah mengucapkan hal itu, ada keheningan di ruangan itu, sampai granny berbicara.

“Suatu hari ia bisa menjadi apa?” omelnya, “Jangan memasukkan pikiran-pikiran aneh ke dalam kepala anakmu, Margareta! Kita orang miskin dan orang-orang seperti kita tidak bisa menaikkan derajat kita. Hidup kita kadang-kadang baik, kadang-kadang buruk dan itu saja dan lebih cepat kita menerimanya, kita akan lebih bahagia. Ada sesuatu yang benar dalam kata-kata Antonius. Kita hanya terikat pada tanah ini, dan pada tanah ini saja terletak masa depan kita. Marilah kita berhati-hati, Margareta, untuk tidak menimbulkan harapan palsu dalam hati anak ini.”

Reaksi Granny adalah reaksi alami seorang penuduk desa atas sebuah pikiran bahwa salah seorang dari mereka naik ke level imam. Kedudukan imam merupakan milik orang-orang kaya dan berpendidikan, terlebih bagi para bangsawan. Para penduduk biasa, bahkan mereka yamg mempunyai uang banyak, adalah kelompok yang hidupnya tergantung pada orang lain, orang-orang yang selalu menerima perintah, tak pernah memberikan perintah. Maka, tekat Granny adalah menyingkirkan pikiran orang tentang “imamat” dari mimpi itu.

Tidak ada komentar lain setelah itu dan semua kecuali Granny keluar rumah untuk melakukan kerja harian mereka.

Namun, untuk sepanjang hari itu, dan untuk waktu yang lama sesudahnya, Mama Margareta tidak pernah dapat menyingkirkan mimpi itu dari benaknya. Jika mimpi itu hanyalah sebuah kejadian terpisah dalam hidup anaknya, ia mungkin tidak akan memikirkannya lagi dan menganggapnya remeh seperti orang lain. Tetapi kejadian itu tidak terpisah sendiri. Hal itu berhubungan, ia yakin, dengan beberapa hal mengherankan dalam hidup Yohanes.

Salah satu hal itu adalah minatnya yang tinggi dalam permainan-permainan sirkus, akrobat, sulap dan terutama berjalan di atas tali. Jika Yohanes memperoleh ijinnya, ia akan berlari kencang, membayar dua soldi, dan menonton semua pertunjukan dalam jarak yang wajar. Ia menghadiri pertunjukan-pertunjukan itu dengan begitu sering sehingga para pemain itu mulai menyadari kehadirannya dan bahkan mulai curiga padanya. Ketika mereka membuka pertunjukan mereka, mereka menemukannya di barisan terdepan, dengan mata dan telinga yang ingin tahu, sehingga ketika mereka mempersiapkan trik permainan mereka, mereka membalikan badan darinya. Ketika ia memberitahu ibunya bahwa ia akan mengadakan pertunjukan sendiri, satu-satunya syarat yang Mama Margareta tetapkan adalah untuk tidak mengharapkan uang darinya karena ia tidak punya. Lagipula ia tidak mengharapkan anaknya tumbuh menjadi seorang badut.

Pertam-tama, ia berpikir bahwa hal itu akan tapi ketika Yohanes mulai mendalami hal itu, ia mulai bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lebih dari itu. Ia mulai cemas ketika ia melihatnya mulai berlatih di atas tali. Suatu hari ia bahan ketakutan setengah mati ketika Yohanes jatuh dengan badan terlentang, pingsan, dan tidak mampu makan dan minum seharian. Dan ketika hari pertunjukan yang pertama tiba, ia lebih dari sedikit kuatir.

Ia mengatur pertunjukannya di lapangan tak jauh dari rumah. Di antara dua pohon ia mengikatkan tati untuk bersiap-siap berjalan di atasnya. Ia telah memilih waktunya dengan tepat, yaitu sesudah tidur siang hari Minggu mereka, ketika mereka sedang mencari sesuatu hal yang menarik.

Dengan menepuk-nepuk kedua tangannya, ia mengumumkan pertunjukannya. “Berkumpullah! Berkumpullah untuk pertunjukan gratis! Semua boleh menonton! Berkumpullah untuk pertunjukan gratis!”

Sekitar selusin anak-anak yang penasaran dengan sedikit orang dewasa mulai berkumpul di sekitarnya. Namun, sebelum mulai, ia memaksa mereka yang mau menonton untuk mendengarkan ringkasan dari khotbah yang telah diberikan oleh pastor tadi pagi di gereja. Hal ini mengakibatkan keresahan dan ketidaksabaran orang-orang, terutama yang dewasa. Ejekan dengan suara berbisik “pastor kecil” terdengar. Namun, khotbah ini pendek dan disampaikan dalam bahasa yang sederhana, sehingga hanya ada sedikit interupsi. Walau terkejut akan keberanian anaknya, Mama Margareta segera menjadi tertarik seperti penonton yang lain, menahan nafasnya ketika melihatnya melakukan atraksi berjalan di atas tali. Tapi ia berjalan dengan begitu santai sehingga para penonton melihatnya dengan mulut terbuka. Ia menutup pertunjukannya dengan sebuah doa singkat.

Ia masih bertanya-tanya apa arti semua itu bagi anaknya, ketika seorang tetangganya menariknya ke samping.

“Apa pikirmu,” tanyanya, “tentang akan menjadi apa anakmu nanti?”

Untuk saat ini, ia puas bahwa Yohanes menemukan cara untuk menyalurkan bakatnya pada masa yang berat itu dan dengan Antonius yang terus menerus mengganggunya. Selain bakatnya untuk tampil, ia mempunyai kemampuan untuk mempesona penonton dengan kemampuan bercerita. Ia menunjukan hal ini terutama selama malam-malam musim dingin dimana orang-orang terbiasa berkumpul di kandang yang hangat dan gudang-gudang jerami untuk mendengar cerita-cerita sejarah dan legenda. Tua atau muda, sebelum malam larut mereka akan memaksa Yohanes menceritakan sebuah cerita. Seringkali ia mendengarnya mengulangi kata demi kata dari cerita yang telah ia ceritakan padanya, atau ketika ia sudah belajar membaca, cerita yang telah Yohanes baca sendiri.

Bahkan selagi masih seorang anak berusia lima tahun, ia sudah mampu menangkap perhatian anak-anak lain dan mengajar mereka katekismus-katekismus kecil. Ketika Mama Margareta menggodanya tentang hal ini, Yohanes menjawabnya dengan keseriusan yamg mengejutkannya.

“Aku suka melakukannya, mama,” jawabnya. “Itulah satu-satunya hal yang mau aku lakukan!”

Ada masa-masa kecil Yohanes pulang ke rumah, kepalanya berdarah karena bermain dengan anak-anak yang lebih nakal. Ketika ia mencoba melarangnya bermain dengan mereka, Yohanes memohon kepadanya.

“Jika aku bersama mereka,” katanya, “mereka bersikap baik. Mereka tidak berkelahi atau mengucapkan kata-kata kotor.”

Lalu datanglah saat ketika, sambil membuka hatinya, ia memberitahukan keinginannya untuk menjadi seorang imam supaya dapat menolong anak-anak seperti ini. Jika, sebagai ibu yang baik, ia ingin melihat kemajuan anaknya, sebagai penduduk desa yang keras kepala, ia juga tahu keterbatasan-keterbatasannya. Ia tahu bahwa apa yang anaknya kehendaki memerlukan status sosial, uang dan, diatas segalanya, sebuah pendidikan yang baik, dan baik keluarga Occhiena atau Bosco tidak mampu memberikan hal-hal ini. Dengan pemikiran atas kesulitan-kesulitan ini, semangatnya pudar dan ia mulai berpikir bahwa mungkin Granny benar, dan bahwa cintanya terhadap Yohanes membuat kabur penilaiannya. Lalu, untuk keseratus kalinya ia akan mengingatkan dirinya bahwa Yohanes bukanlah anak biasa, bahkan pada usianya yang begitu muda ia sudah menonjol dari antara saudara-saudaranya. Jika ini sebuah pikiran yang sombong, semoga Tuhan memaafkannya, tapi faktanya adalah Yohanes telah membuktikan dirinya lebih baik dibanding anak-anak tetangganya. Status sosial atau harta tidak bisa ia berikan, tapi sebuah pendidikan? Hanya jika ia mengenyam pendidikan maka ia bisa punya kesempatan untuk mewujudkan mimpinya dan tidak menyia-nyiakan bakatnya. Pada saat itu, ia memutuskan bahwa, apapun yang terjadi, anaknya akan memperoleh pendidikan!

Tetapi Mama Margareta segera menyadari bahwa lebih dari satu kesulitan menghalanginya. Pertama-tama pendidikan di Piedmont bukanlah hal yang umum. Hanya baru-baru inilah pendidikan dasar bagi rakyat biasa diundang-undangkan oleh Napoleon, dan hal ini masih merupakan masalah dasar karena pemerintah tidak menyediakan apapun dan setiap komunitas masyarakat harus menyediakan guru dan ruang kelas sendiri. Guru-guru biasanya adalah pastor-pastor lokal dan ruang kelasnya begitu sedikit sehingga beberapa tingkat harus diajar di satu kelas pada saat yang sama. Orang-orang tua tidak saja diharapkan untuk menyediakan buku-buku, tapi juga segala hal lain yang di perlukan, walaupun kebanyakan dari mereka terlalu miskin untuk menyediakan lebih dari makanan dan pakaian bagi anak-anak mereka, dan bahkan hal itu juga tidak dapat disediakan. Nampaklah jelas bahwa, jika Yohanes mau mendapat pendidikan yang pantas ia harus bersekolah di Castelnuvo yang berarti pengeluaran yang tidak mampu keluarga Bosko tanggung.

Jika rintangan-rintangan ini menantinya di luar, dari dalam ada yang lain. Hal itu adalah penolakan Antonius.

“Biarlah ia mengayunkan cangkul seperti yang lain,” reaksinya. “Belajar buku untuk orang-orang seperti kita adalah pembuangan uang dan waktu.”

“Kita tidak memberikannya perlakuan istimewa,” mohon Mama Margareta. “Kau sudah belajar menulis dan membaca, begitu juga ia seharusnya. Sekolah bukan lagi sebuah keistimewaan. Bahkan para tukang pergi ke sekolah.”

“Sekolah berarti mengeluarkan uang-uang kita,” balas Antonius dengan marah. “Lihat, jika aku kuat dan sehat, itu bukan karena aku pergi ke sekolah. Bahkan, aku sering membolos dan aku tidak pernah belajar. Hal itu karena aku belajar keras. Biarkanlah ia melakukan hal yang sama. Biarlah ia bekerja di tanah kita. Kita terikat pada tanah kita.”

Ada begitu banyak kebenaran dalam kata-kata Antonius, sehingga jika hal ini bukan mengenai Yohanes, ia akan menyetujui sepenuhnya. Bagi keluarga Bosko, keluarga Occhiena dan tetangga-tetangganya, tanah menyediakan masa depan yang aman dan wajar. Pada masa-masa terbaik, untuk mempunyai sebidang tanah adalah hal yang terdekat bagi mereka dengan kemerdekaan dan bahkan dengan kehidupan yang baik., pada masa-masa yang terburuk, tanah adalah benteng yang terbaik terhadap kelaparan. Hal ini Mama Margareta percayai. Tapi jika menyangkut Yohanes, bakatnya dan tanda-tanda lain juga ia lihat, membuat Yohanes tidak terkena aturan kehidupan yang biasa. Karena sia-sialah untuk menjelaskan sikapnya atau pikiran-pikirannya pada Antonius, pada saat itu, masalah itu selesai.

Namun, Mama Margareta adalah seorang wanita yang kuat tekadnya. Setelah berpikir ulang, ia menyimpulkan bahwa ketika musim dingin tiba, karena tenaga Yohanes tidak akan diperlukan di ladang, Antonius tidak dapat berkeberatan kalau ia mengirim Yohanes ke sekolah gratis di Capriglio.

Lalu, ia menemui pastor Yosef Lacgua yang bertugas disana, dan ia harus kecewa sekali lagi. Karena anaknya tinggal di Becchi, yang di luar batas komunitas Capriglio, ia tidak dapat menerimanya. Mungkin alasan sebenarnya adalah ia sudah mempunyai banyak murid, lebih dari lima puluh, lebih dari yang mampu ia tangani, sebanyak empat kelas di satu ruangan pada saat yang sama! Sementara itu, seorang pekerja pertanian menawarkan untuk mengajari Yohanes belajar, “abc”. Mama Margareta melihat hal ini sebagai ironi bahwa anaknya harus berhutang pada seorang petani yang tidak dikenal untuk langkah pertamanya dalam pendidikan.

Sekarang ia benar-benar kebingungan. Nampaknya tidak ada jalan agar anaknya dapat bersekolah.

Tetapi penyelenggaraan Ilahi mempunyai rencananya sendiri. Pengurus rumah Pastor Lacqua meninggal tiba-tiba dan ia segera mengundang Marianne Occhiena, kakak perempuan Margareta, dan paman Yohanes, untuk menggantikannya. Karena menyukai Yohanes dan menyadari kesulitannya, Marianne segera memberitahu pastor Lacqua bahwa ia akan menerima dengan satu syarat: bahwa ia memperbolehkan Yohanes bersekolah di sekolahnya. Di bawah tekanan seperti itu, Pastor Lacqua dengan segera memperluas pemahamannya akan aturan itu dan setuju.

Dengan begitu, dimulailah untuk Yohanes kelanjutan dalam pendidikannya, karena selama tahun ajaran 1824 dan 1825, di bawah pimpinan Pastor Laqua, ia maju dengan cepat. Satu-satunya hal yang tidak menguntungkan adalah ia harus berjalan di tengah salju dan es sewaktu musim dingin, dengan angin yang menusuk atau hujan membasahi pakaiannya. Lebih dari itu, karena ini adalah satu-satunya cara memuaskan Antonius, ia juga mengurus sapi-sapi dan bekerja di ladang, membayar waktu yang hilang dengan belajar di waktu malam di kandang, di bawah cahaya sebuah lampu tua.

Menyadari situasi seperti itu tidak bisa berlanjut terus, Mama Margareta, masih mengkuatirkan pendidikan anaknya, hanya bisa berharap dan berdoa agar Tuhan mau memberinya sebuah peluang yang lebih baik.

9

Perpisahan Yang Menyedihkan




“Obat, pada usianya? Tidakkah kau melihat bahwa hal itu tidak saja sia-sia, namun bila kau terus menghabiskan uangmu untuk obat-obatan, kau tidak akan mempunyai uang lagi untuk anak-anakmu.”

Cobaan yang lain menimpa Margareta tahun itu, ketika menjadi jelas bahwa Granny tidak dapat hidup lebih lama lagi. Granny sekarang berumur 74 tahun dan walaupun ia berusaha untuk tidak merepotkan Magrareta, ia semakin sakit dan semakin tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Menyadari bahwa ia semakin lemah setiap hari, ia mengamati datangnya akhir kehidupannya dengan tenang. Margareta terus berada disampingnya, memberinya perhatian yang ia butuhkan untuk membuat akhir hidupnya lebih tidak menyakitkan. Ia juga tidak pelit mengeluarkan uangnya untuk membuat makanan spesial atau membeli obat untuk menghibur Granny atau memperpanjang hidupnya.

Betapa cepat tetangga-tetangganya berpendapat bahwa ia hanya menghabiskan uangnya saja!

“Ia adalah ibu dari suamiku,” jawab Magrareta, “dan oleh karena itu, berarti ibuku sendiri. Aku berkewajiban untuk menghormati dan melayaninya. Aku berjanji sebanyak itu pada Francis sebelum ia mati. Dan jika aku mengeluarkan uang untuk sesuatu dapat memperpanjang hidupnya selama satu jampun, aku pikir hal itu pantas untuk dilakukan.”

Sebelum kematiannya, yang dipercepat oleh musim dingin yang menggigit pada tanggal 11 Februari 1826, kata-kata terakhir Granny kepada ketiga cucunya adalah sebuah penghargaan untuk Margareta.

“Jangan pernah lupa,” kata pada mereka, “bahwa kebahagiaan kalian sendiri dan berkat Tuhan bergantung pada penghormatan dan kebaikan yang kalian tunjukan kepada ibu kalian.” Ia mendorong mereka supaya patuh kepada ibunya seperti Magrareta telah patuh kepadanya, dan untuk memperlakukan ibu mereka seperti Margareta memperlakukannya selama bertahun-tahun. Walaupun banyak lamaran datang pada Magrareta, ia telah menolak untuk mengubah statusnya. Sebaliknya demi mertua dan ketiga anaknya, ia telah membiarkan dirinya berada dalam kehidupannya yang keras dan penuh pengorbanan diri. Ia menyadari bahawa Margareta telah menderita banyak baginya dan mengakhirinya mendorong mereka untuk menghibur ibu mereka seperti ibu mereka menghibur dirinya.

Dengan kematian Granny, sebuah perubahan besar dalam hubungan di keluarga ini terjadi. Antoni sekarang menganggap dirinya sebagai satu-satunya Bosco yang tersisa dan hal ini menambah perasaan terpisahnya, bahkan kesepian. Ia sekarang 18 tahun, fisiknya berkembang baik, dan karena ia bekerja setengah waktu untuk petani lain, ia adalah satu-satunya orang yang menghasilkan uang di keluarga itu. Ia mulai melihat dirinya sebagai satu-satunya penopang keluarga. Semua hal ini memperburuk kelakuannya terhadap anggota keluarga lainnya dan terutama terhadap Yohanes, yang kepadanya selalu ia suarakan keberatannya. “Ia bersantai selagi aku berkerja setengah mati untuk keluarga ini.” Ia tidak ingin seorang mengmbil keuntungan darinya. Ia juga berpikir bahwa Yohanes telah menerima pendidikan yang cukup dan ia ingin memastikan bawha Magrareta tidak menghabiskan uang yang ia peroleh dengan susah payah untuk membeli buku bagi anak kecil itu! Pikiran tentang Yohanes menerima pendidikan yang lebih tinggi ia anggap sebagai mimpi seorang ibu yang memanjakan anaknya.

Walau menyadari hal ini, Margareta bersikeras. Ia mulai bertanya-tanya berapa lama lagi ia dapat mengontrol Antonius terutama ketika ia sedang marah, setelah sekarang Granny tidak ada lagi untuk bertindak sebagai pembawa damai atau menenangkannya dengan kata-katanya yang tajam. Ketakutannya yang besar adalah jika dalam kemarahannya, Antonius melukai Yohanes.

Untuk menghindarkan pertentangan, ia diam-diam mengatur Yohanes bersekolah pada pagi hari dan bekerja di waktu siang. Dan kapan waktu ia membuat pekerjaan rumah atau mempersiapkan pelajaran esok? Kapanpun ia bisa. Ini berarti ia harus melihatnya membawa buku ke ladang, menaruhnya di tanah dan mempelajarinya sambil menggali, mencangkul atau menggaruk tanah. Sewaktu istrahat siang, ia melihatnya memisahkan dirinya dari yang lain dan mengeluarkan buku-bukunya. Ia sendiri bekerja lembur untuk menggantikan waktu yang Yohanes pakai untuk belajar dan bahkan meyakinkan Antonius bahwa ia akan menggantikan kerugian apapun yang mungkin ia derita saat pembagian warisan.

Namun hal inipun tidaklah cukup bagi Antonius. “Siapa yang memerlukan bahasa latin untuk kerja di ladang? Petani belajar Latin, ya Tuhan!”

Margareta menyadari bahwa sebagian keberatan Antonius berasal dari fakta bahwa ia sendiri tidak bersekolah dan melihat adiknya terus maju dalam studinya dan juga semakin populer di daerah itu. Untuk Yohanes, juga ada sebuah rasa frustrasi untuk mengetahui bahwa ia pandai tapi tidak dapat menyalurkan bakatnya. Apa yang membuat Margareta kuatir adalah, menimbang Antonius yang sering marah dan emosi Yohanes yang tinggi, sesuatu yang akan terjadi di antara keduanya.

Hal itu terjadi lebih cepat dari pikirannya. Suatu hari Antonius pulang dan menemukan kepala Yohanes tenggelam dalam bukunya. Setelah bekerja keras di ladang untuk membawa uang yang sangat diperlukan keluarga itu, ia menemukan adik tirinya sedang bersantai dengan buku di tangannya. Marah melebihi akal sehat, ia merebut buku itu dan melemparnya.

“ Aku muak akan masalah buku ini!” teriaknya pada Yohanes. “Aku kuat dan besar dan aku tidak pernah membaca sebuah bukupun!”

Emosi naik karena sikap dan kata-kata kasar itu, Yohanes lalu membalas, “Keledai kita lebih kuat dan lebih besar darimu dan ia juga tidak pernah membaca sebuah buku!”

Kata-kata ini terlalau pedas untuk Antonius. Dengan sangat marah ia menyerbu Yohanes. Jika emosi Yohanes yang tinggi membuatnya berada dalam masalah, kali ini kakinya yang cepat telah menyelamatkannya.

Margareta telah berjanji pada suaminya untuk mengurus Antonius seoerti anak kandungnya sendiri, lebih lagi sebagai seorang ibu Kristen yang patuh, suara hatinya menyuruhnya untuk menjaga dan membimbingnya sampai ia mampu melakukannya sendiri. Ia selalu memastikan bahwa ia tidak akan pernah merasa diperlakukan tidak adil di rumah, karena ia jika meninggalkan rumah, Margareta merasa bahwa dengan karakternya yang sulit itu, Antonius akan berada dalam masalah. Ia masih merasa hal yang sama dan ia harus memperoleh solusi yang dapat membuatnya terus menahan Antonius dan juga dapat mempertahankan kedamaian pada saat yang sama.

Satu solusi terlihat mungkin. Ia harus mencari tempat di luar rumah di mana ia bisa menitipkan Yohanes untuk sementara. Karena adalah hal yang biasa bagi orang tua untuk mempekerjakan anak mereka di tempat lain yang merupakan saudara mereka, atau yang mereka kenal baik, hal itu tidak akan terlihat aneh lagi bagi orang lain.

Tetapi hal itu tidak ia putuskan dengan gampang. Ia memikirkannya, berdoa dan banyak menangis sebelum ia sampaikan pada kesimpulan ini. Memanggil Yohanes, ia mencoba menjelaskan hal itu kepadanya. Ia akan mengirimnya ke beberapa teman di Buffigliera untuk mencari kerja, dan jika mereka tidak dapat membantunya, ia harus pergi ke keluarga Moglia yang mempuyai sebuah tanah pertanian yang besar.

Pada pagi yang dingin di bulan Pebruari 1828, Yohanes terpaksa meninggalkan rumah dan ia hanya membawa dua baju, sebuah sarung tangan dan beberapa buku yang berharga baginya.

Selagi Margareta menyaksikan figur anaknya menjauh, menuruni bukit, berpakaian tebal untuk melawan udara dingin, namun kurang terlindung dari angin menusuk yang mendorong tubuh kecilnya, air matanya mulai menetes.

Setelah Yohanes hilang dari pandangannya, barulah ia menangis tersedu-sedu, dan bahkan sebelum ia sampai ke rumahnya ia mulai bertanya-tanya apakah yang telah ia lakukan? Apakah ia telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang melindungi rumah dan keselamatan anaknya? Atau, sebagai seorang ibu yang tidak memikirkan kebahagiaan, kesejahteraan dan bahkan masa depan putranya, ibu yang telah mengirimnya pergi demi sedikit kedamaian. Sekarang setelah ia pergi, ia mulai bertanya-tanya dari mana ia memperoleh kekuatan untuk memutuskan hal sekeras itu. Ia telah mengirim putranya ke luar rumah di tengah musim dingin, ke tengah-tengah orang asing; selagi para petani memecat pekerjanya bukan mempekerjakannya. Siksaan itu juga tidak berakhir karena ketidakhadiran Yohanes. Selama berhari-hari setelah itu, ia dihantui pikiran bahwa Yohanes bisa jatuh sakit, atau memikirkan apa yang sedang ia lakukan saat itu. Apakah ia mendapat cukup makanan? Di mana ia tidur? Apa ia gembira atau sedih? Sudahkah ia membuat kesalahan dengan mengirimnya pergi? Apa yang Yohanes pikirkan tentang dirinya yang telah menyuruhnya melakukan hal itu?

Tetapi apa yang bisa ia lakukan? tanyanya pada dirinya sendiri untuk keseratus kalinya. Dan, apakah ia tidak melakukan semua ini demi kebaikannya? Johnv ingin maju dalam studinya. Tetapi bagaimana ia bisa, ketika sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya dan tidak tahu ke mana ia harus pergi ? Antonius sudah pasti akan keberatan terhadap semua usulnya untuk Yohanes dan pasti akan menggunakan kekerasan. Lagi pula, ia menghibur dirinya sendiri, hal ini hanya akan sampai saat Antonius mencapai usia yang dianggap legal. Ketika hari itu tiba, tak peduli apapun biayanya, ia akan melakukan langkah-langkah yang perlu untuk meluruskan masalah ini.

Waktu membuktikan bahwa setidaknya ia telah membuat sebuah keputusan yang tepat. Ketika ia dipanggil keluarga Moglia untuk menandatangani kontrak yang baik untuk tenaga Yohanes, ia mengetahui bahwa anaknya telah membuat kesan yang baik pada mereka sehingga mereka telah mengganggapnya bagian dari keluarga itu.

Selama dua tahun ia akan bekerja di sana dan akan sepenuhnya bahagia, ia sendiri mengetahuinya jika bukan karena suatu hal ia tidak bisa melanjutkan studinya.

Apa yang dapat Margareta lakukan kecuali berharap dan berdoa agar keadaan membaik.

Lalu suatu hari ia terkejut melihat Yohanes muncul di Becchi, tanpa pemberitahuan sama sekali. Ia tidak bisa mempercayai matanya. Apakah ia telah diusir pulang? Apakah ia telah lari? Apa yang telah ia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu melintas di benaknya sampai Yohanes menjelaskan bahwa ketika ia bertemu dengan paman Michael, ia telah mengadu bahwa ia tidak maju dalam studinya. Lalu paman Michael menyuruhnya meninggalkan keluarga Moglia, pulang dan menunggunya.

Namun Margareta masih takut apa yang dapat terjadi jika Antonius melihatnya berada di rumah. “Bersembunyilah di semak-semak untuk sementara waktu, dan ketika paman Michael muncul kau boleh keluar.”

Yohanes segera lari ke semak-semak terdekat, menunggu dengan cemas sampai pamannya datang, lalu bergegas menghampirinya. Dengan kehadiran paman ia tidak takut pada Antonius.

Setelah membicarakan hal itu, Margareta dan Michael memutuskan unruk meminta Pastor Dassano, pastor di Castelnuovo, untuk mengajar Yohanes. Baik dia dan pembantunya kelebihan tugas, jawabnya, dan ia mengusulkan agar mereka meminta pastor di Buttigliera. Ketika ia juga menolak, masa depan Yohanes semakin terlihat suram


Ketika Uskup Agung Columban Chiaverotti dari Turin mendekritkan bahwa Indulgensi Luar biasa Yubileum yang diberikan oleh Paus Pius VIII untuk merayakan pelantikan dirinya tanggal 31 Maret 1829, dapat diperoleh umat selama tanggal 8-22 November. Ia juga mendekritkan bahwa Buttigliera, di mana Yohanes telah menjadi gembala sapi untuk beberapa saat, karena lokasinya di pusat, adalah tempat di mana umat Becchi dapat memperolehkannya. Karena seluruh anggota keluarga Bosco terikat dengan kerja di ladang, Margareta mengirim Yohanes untuk mewakili mereka, mengetahui bahwa ia mampu mengulangi khotbah-khotbah sore itu bagi mereka.

Pada suatu sore, ia pulang dengan sebuah cerita menarik unruk ibunya. Dalam perjalanan pulangnya dari misi, ia telah mendekati pastor Morioldo yang baru, yang merupakan salah satu bagian dari paroki Castelnnuovo, untuk mengucapkan salam. Pastor itu begitu senang atas jawaban-jawaban yang telah Yohanes berikan, sehingga ia memberi tahu Yohanes bahwa ia ingin menemui ibunya untuk membicarakan rencana-rencana untuk pendidikannya.

Perubahan yang mendadak dalam peruntungan anaknya ini mengejutkan Margareta. Melihat hal itu sebagai jawaban atas doanya, ia bergegas pada hari Minggu, sesudahnya ke Morialdo untuk menemui Pastor Yohanes Caloso. Ia mendapat kesan bahwa ia seorang pria tua yang baik, yang memberi tahunya bahwa ia menganggap anaknya sebagai seorang anak pintar yang harus mendapatkan kesempatan belajar. Ia menawarkan agar Yohanes dikirim kepadanya setiap hari untuk belajar – tawaran yang langsung diterima Margareta.

Sewaktu ia pulang ke rumah dengan berita itu, Anhony menolak kesepakatan apapun yang memberi adiknya waktu luang untuk belajar. Hal itu berlanjut untuk beberapa hari sampai Pastor Calosso ingin tahu mengapa Yohanes tidak muncul. Ketika diberitahu tentang penolakan Antonius, ia menjadi marah.

“Aku ingin agar anak ini belajar,” balasnya. “Besok aku ingin melihatnya di rumahku untuk memulai studinya. Terhadap kemauan dari pihak penguasa ini, Antonius dengan segera menyerah.”

Pagi-pagi sekali, dengan air mata bahagia di matanya, Margareta melihat anaknya berangkat dengan mengapit buku-bukunya. Ini adalah langkah penting untuk Yohanes jika ia ingin mencapai cita-citanya. Ia begitu gembira karena telah menerima kepastian bahwa ia tidak terlalu kelebihan menilai kemampuan anaknya. Menurut laporan pertama dari Pastor Calosso, bagi Yohanes, membaca sesuatu berarti mengingatnya untuk selamanya.

“Jika ia melajutkan seperti ini,” ia memberitahu Margareta yang gembira, “dalam waktu singkat ia akan mempelajari semua yang harus dipelajari! Anak yang menakjubkan.” Namun, perjanjian ini tidak begitu disukai Antonius. Hari demi hari, ia terus mengusilinya tentang bukunya, sampai Yohanes akhirnya mengeluh pada Pastor Calosso. Pastor Calosso bereaksi segera.

“Tinggalkan kakakmu yang tidak masuk akal itu dan tinggallah denganku,” serunya, “aku akan menjadi ayah bagimu!”

Ketika diberitahu tentang tawaran ini, Margareta lebih dari gembira untuk menerimanya. Karena Antonius tidak mau lawan pastor itu dan Yosef berjanji untuk melakukan bagian kerja Yohanes, Yohanes pergi untuk tinggal dengan Pastor Calosso. Sebagai kompromi untuk membuat Antonius tenang, jika diperlukan, Yohanes akan pulang ke rumah untuk membatu di ladang.

Pastor Calosso menempati janjinya dan menjadi seorang ayah bagi Yohanes. Untuk membalas kebaikan pendermanya ini, ia bekerja di dalam rumah, membersihkannya, hadir di kapel dan sebagainya. Mungkin untuk pertama kalinya ia merasa aman tentang masa depannya dan ia bersyukur pada Pastor Calosso tidak hanya untuk hal itu, tapi juga untuk pertama kalinya ia dapat mengalami sesuatu hal yang berhubungan dengan kasih seorang ayah. Selain membantu Yohanes dengan pendidikan, pastor Calosso juga memperkenalkan Yohanes pada keindahan yang lebih mendalam dari agamanya, dan mengembangkan dalam dirinya suatu kecintaan pada imamat. Tidak heran Yohanes membuat kemajuan yang begitu baik dalam studinya! Tidaklah heran bahwa masa depannya terlihat begitu cerah.

“Tidak ada seorangpun yang dapat membayangkan betapa bahagianya aku,” kata Yohanes pada masa-masa akhir hidupnya. “Aku mencintainya lebih dari seorang anak … Aku bahkan akan memberikan hidupku untuknya. Ia memberitahuku jangan kuatir tentang masa depan. Selagi aku masih hidup, kau tidak akan kekurangan apapun, dan jika aku mati aku masih dapat memenuhi keperluanmu.

Masa depan terus terlihat cerah sampai suatu hari di bulan November 1830, ketika Yohanes pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaiannya. Seorang membawa pesan sampai untuk memberitahunya bahwa Pastor Calosso tiba-tiba jatuh sakit dan memanggilnya. Walaupun ia berlari sekuat tenaga menuju rumah pastor itu, sewaktu ia sampai, pastor Calosso sudah tidak mampu lagi berbicara karena serangan jantung dan hanya memberi tanda kepadanya untuk mendekat. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil sebuah kunci dari sakunya dan memberikannya kepada Yohanes. Menyadari bahwa kepergiannya yang tiba-tiba dapat merusakan rencananya untuk Yohanes, dengan dengan tanda-tanda yang lain ia membuat Yohanes mngerti bahwa ia tidak boleh memberikan kunci itu kepada siapapun dan apa yang ada di mejanya diperuntukkan bagi Yohanes. Yohanes menaruh kunci itu di sakunya, lalu berlutut dan bergabung di dalam doa-doanya yang diucapkan untuk pendermanya yang sedang sekarat itu.

Walaupun sangat sedih karena kehilangan seorang dan penderma, ia masih terhibur oleh fakta bahwa Pastor Calosso telah meninggalkannya cukup uang untuk menjamin masa depannya.

Namun, setelah saudara-saudara Pastor Calosso tiba, ia menerima sebuah kejutan lain. Karena ia adalah oarang luar, mereka ingin tahu kanapa ia harus memperoleh uang paman mereka. Pasti akan baik dirinya untuk mengatakan bahwa Pastor Calosso menginginkannya untuk memperolehnya. Tetapi tidak ada bukti tentang hal itu kecuali ide yang para saksi peroleh dari tanda-tanda tidak jelas yang dibuat oleh pastor tua itu sebelum ia meninggal. Tapi bukti itu tidak akan cukup untuk pengadilan jika hal itu perlu dipertanyakan. Beberapa dari mereka bahkan memberi kesan bahwa mungkin ada tekanan pada orang tua yang kesepian dan sakit-sakitan itu.

Segera setelah ia menyadari bahwa jika ia memaksakan diri untuk mengakui uang itu sebagai haknya, ia akan menimbulkaan pertengkaran dan mungkin bissa menyeret nama pendermanya ke pengadilan. Ketika ia diberitahu bahwa tanpa adanya surat warisan atau sesuatu yang tertulis ia mungkin saja bertindak tidak adil, hati nuraninya mulai merisaukannya. Ia begitu kesal karena semua hal itu, sehingga ketika seorang keponakan dari pastor itu datang menawarinya uang itu sambil berkata, uang ini milikmu. Pamanku menginginkan agar engkau memilikinya, ia menolak untuk menerimanya.

Aku tidak akan menganbil resiko untuk berbuat suatu kesalahan, katanya, bahkan untuk semua uang di dunia inipun.

Keputusan ini mungkin heroik, tapi sayangnya tidak bijak, dan sebagai karena, ia mengakui sesudahnya, ia tidak mengetahui jumlah uang itu. Ia lebih peduli kehilangan seorang penderma dan kesempatan untuk studi. Bagi pikiran mudanya, karena Pastor Calosso dan dirinya sedang bekerja sama untuk sesuatu hal yang baik, ia merasa hal ini seharusnya tidak terjadi. Peistiwa ini membuatnya trauma.

“Aku menangis tak bisa dihibur untuk pendermaku yang meninggal itu,” tulisnya, “Jika aku terjaga aku memikirnya, jika aku tidur aku memimpikannya.”

Ia begitu terguncang sehingga ia tak bisa makan atau tidur, dan Margareta yang mengkuatirkan kewarasannya, mengirimnya untuk menginap beberapa hari di rumah saudaranya di Capriglio. Untuk sementara waktu ia berusaha mencari seorang yang dapat membantunya belajar. Akhirnya ia menemukan seorang pastor di Castelnuovo yang setuju untuk mengajarinya bahasa Latin, tapi setelah beberapa bulan, pastor itu juga meninggal.

Selama-lama masa itu, Yohanes dihibur oleh sebuah mimpi lain yang nampaknya berhubungan dengan mimpinya sebelumnya tentang wanita itu. Pada mimpi itu, Yohanes memberitahu Margareta bahwa ia ditegur karena telah menaruh harapannya pada pertolongan manusia yang tidak pasti, bukannya pada Penyelenggaraan Ilahi.

Untuk Margareta, seluruh masalah ini menyakitkan baginya. Benar-benar sulit untuk mengerti mengapa ada begitu banyak rintangan menghalangi jalan anaknya. Ketika suatu cara ditemukan agar ia bisa maju, rintangan lain muncul menghalanginya. Namun pikiran bahwa putranya begitu frustasi, bahwa masalah ini adalah tentang tentang panggilan imamat, membuatnya semakin bertekad untuk berhasil. Lagi pula, ia terus meyakinkan dirinya sendiri, jika Tuhan ingin agar anaknya menjadi seorang imam, Tuhan akan memberinya jalan.


10

Buah-Buah Dari Pengorbanan




Melihat anaknya begitu tertekan dan berpikir bahwa bakatnya akan tersia-siakan akhirnya membuatnya mengambil sebuah keputusan. Berapapun biayanya, ia akan mengirimnya bersekolah di sekolah menengah di Castelnuovo. Karena Margareta sering ke pasar di kota itu, bekas rumah bangsawan yang runtuh, bata merahnya yang berada di bukit tertinggi, jalan-jalannya yang naik turun, dan Duorno dengan atap yang rata dan menara berbentuk kubah adalah pemandangan yang biasa. Ia sudah terlalu hafal jarak yang harus ditempuh anaknya, 9 km pergi dan 9 km pulang. Untuk membuat hal itu lebih ringan, ia membuat kesepakatan dengan seorang tukang jahit yang akan menyediakan sup untuk Yohanes. Tetapi ketika musim dingin tiba, ketika jalan-jalannya tertutup salju dan es kemudian hujan itu deras, tidaklah mungkin baginya untuk mencoba pulang. Itu berarti ia harus menemukan sebuah tempat dimana ia tidur malam itu agar dapat masuk kelas dengan tepat waktu keesokan harinya.

Karena hal ini terlalu berat untuk anak seumur dia, Margareta mengatur agar dia dapat menginap di rumah tukang jahit itu sewaktu tahun ajaran sekolah berjalan. Ini bukan situasi yang ideal, ia tahu, tapi apa yang bisa ia lakukan?

Sementara waktu, yakin bahwa tidaklah mungkin mengharapkan Antonius setuju, karena Antonius telah mencapai usia dewasa yang legal, Margareta memutuskan untuk mengambil sebuah langkah serius lainnya, langkah yang memberinya penderitaan batin yang besar. Ia memulai langkah-langkah untuk membagi warisan keluarga. Antonius dengan keras menentang hal ini karena, jika tanah itu dibagi, bagiannya tidak akan cukup bagi kemampuan fisiknya. Walaupun ia berkeberatan, Margareta terus maju. Karena ia telah lama berpikir bahwa hal ini adalah solusi akhir bagi pertengkaran tentang sekolah Yohanes dan sikap berkuasa Antonius, ini adalah alasan lain kenapa ia mengirim Yohanes pergi dari rumah sampai pembagian ini dilaksanakan.

Pembagian tanah itu mencapai kesepakatan, rumah bagian timur menjadi milik Antonius, Margareta mendapat sisanya. Beberapan bulan kemudian, Yosef menandatangani kontrak untuk bekerja bagi hasil di dekat Sussambrino kemana kemudian ia pergi. Margareta lalu menyusulnya, membagi waktunya di sana dan di Becchi.

Tak mampu menghadapi kesepian yang telah ia buat sendiri, Antonius, pada tanggal 20 Maret 1831 menikahi seorang gadis lokal bernama Anna Maria Rosso. Pertama-tama ia ingin membawanya ke rumah yang sekarang sudah terbagi, tetapi setelah melihat bahwa hal ini tidak praktis ia membuat rumah kecil di dekatnya untuk dirinya sendiri.

Semuanya sekarang berjalan dengan cukup lancar bagi Margareta, ketika suatu hari Yohanes pulang menemuinya untuk memberitahunya bahwa guru yang di cintai, yang di bawah pengajarannya ia telah membuat banyak kemajuan, telah ditugaskan ke tempat lain. Posisinya digantikan oleh Pastor Nicolas Moglia (saudara sepupu penderma awalnya, Louis), yang telah mengajari dasar bahasa Latin ketika mereka sama-sama di rumah Moglia. Sial bagi anaknya, pastor itu menganggap bahwa tempat serendah Becchi hanyalah bagi manusia rendah. Si jelek, si bodoh, adalah salah satu ejekannya pada Yohanes. Bahkan sikapnya pada Yohanes mengarahkan pada perilaku yang tidak adil. Perubahan yang tiba-tiba mengejutkan Margareta. Satu satunya alassan yang ia pikirkan adalah umur pastor itu (75 tahun) dan fakta karena ia tidak bisa menerapkan disiplin, ia lebih suka menjilat murid-murid yang kaya. Ia pikir ia bisa melakukan hal ini dengan membuat Yohanes menjadi bahan leluconnya. Walaupun pada tes-tes tiap minggu Yohanes telah membuktikan bahwa seorang anak desapun mampu menjadi murid terpintar di kelas, Margareta menyimpulkan bahwa ia harus menemukan bagi Yohanes sekolah di mana kemajuannya tidak terhalang oleh prasangka dan guru yang kurang mampu. Ia memutuskan untuk mengirimnya ke sekolah lanjutan di Chieri.

“Chieri, kota seribu menara” dulu pernah merupakan sebuah republik kecil yang kuat, tempat di mana para keluarga bangsawan mendirikan rumah-rumah mereka sebagai simbol kekuasaan mereka. Kathedral abad ke-15 nya tetap tiada bandingnya di seluruh Piedmont. Namun perlahan-lahan, pengaruhnya terus berkurang sampai statusnya hanyalah sebuah kota satelit bagi Turin, kota bagi para pelajar dan pihak pengajar. Santo Louis Gonsaga dan Santo Yosef Cafasso adalah dua dari antara mutrid-muridnya yang terkenal.

Sekolah di Chieri, seperti kebanyakan sekolah pada masa itu, dikelola oleh pastor-pastor, yang mengurusnya seperti sebuah seminari. Murid-murid harus menghadiri misa harian dan misa hari Minggu sore. Sebelum mereka ikut ujian mereka harus menunjukkan sebuah tiket yang membuktikan bahwa mereka telah melakukan Paskah mereka. Pengawasan ketat dan penilaian moral siswa dilakukan oleh dewan sekolah setiap bulan. Bahwa para murid yang berasrama di luar juga diawasi ketat, bukan hanya oleh pengawas sekolah tetapi juga oleh pemilik-pemilik pensione (rumah asrama) bagi siswa-siswa supaya bisa disetujui oleh pihak sekolah. Setiap guru yang mengijinkan bahasa kotor di kelasnya segera dipecat.

Karena miskin, Margareta bukan saja harus mencari penginapan yang murah bagi Yohanes, tapi juga mencari cara membayarnya. Untungnya, ia diperkenalkan kepada seorang janda yang mengirim anaknya besekolah di Chieri dan juga membuka pensionenya sendiri, supaya bisa mengawasi anaknya! Ia setuju menerima Yohanes bebas biaya, jika Yohanes membantu anaknya belajar dan melakukan beberapa pekerjaan rumah yang ringan. Untuk menambah makanan Yohanes yang sedikit, setiap minggu Margareta berjalan kaki untuk membawakannya suplai roti, jagung India, tepung dan chestnut. Karena ia tidak punya kendaraan, ia harus meminta tolong tetangganya.

Mungkin, karena apa yang telah Margareta lakukan untuk mereka atau apa yang telah Yohanes lakukan untuk anak-anak mereka, mereka bersedia dengan senang hati.

Sehari setelah peringatan Arwah-Arwah pada tahun 1831, Margareta menunjuk sebuah karung gandum dan sekarung jagung India, “Hanya itu yang bisa aku berikan, Yohanes,” katanya. “Penyelenggaraan Ilahi akan menyediakan sisanya.” Masalah bagaimana membawa karung-karung kecil itu ke Chieri terselesaikan ketika seorang teman, yang tidak punya apapun untuk diberikan, membawa karung-karung itu dengan kereta ke sana bebas biaya.

Pada hari keberangkatan Yohanes, Margareta memberinya lagi sebuah kantong kecil tepung dan sebuah kantong kecil jagung India. Ini harus jual di pasar di Castelnuovo dan uangnya digunakan untuk membeli peralatan sekolahnya. Di Chieri, ia mengenalkan Yohanes pada Lusia Malta, wanita pemilik pensione, dan dengan cara yang benar-benar khas pedesaan, menjatuhkan karung-karung-karung itu ke lantai.

“Nyonya Malta,” katanya, “ini adalah pembayaran biaya penginapan anakku. Aku telah melakukan bagianku, anakku akan melakukan bagiannya. Aku berharap engkau tidak akan menemukan alasan untuk tidak menyenanginya.”

Setelah memeluk anaknya dengan hangat, dan hampir tidak mampu menahan air matanya, ia berbalik dan pulang ke Becchi.

Untuk sembilan tahun selanjutnya, inilah sumbangan Margareta terhadap perkembangan anaknya, setiap minggu ia pergi berjalan kaki jauh-jauh dari Chieri untuk membawa barang-barang atau makanan ini atau jenis pembayaran lainnya untuk Yohanes.

Jika bukan untuk membiayai iuran sekolah Yohanes, yang dibiayai Yohanes sendiri lewat beasiswa yang diperolehnya atau lewat usahanya sendiri, maka barang-barang itu digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran lain yang tak terelakkan dalam kehidupan seorang siswa. Yohanes tidak saja bekerja untuk membiayai sekolahnya, tapi juga belajar dasar-dasar beberapa keahlian pertukangan, membuat sepatu, pandai besi.

Ada juga masa-masa ketika ia jatuh sakit dan Margareta harus membawanya pulang dan mwrawatnya sampai pulih, ketika ia harus memberi makan Yohanes teman-temannya yang ingin tinggal dengannya selama musim panas yang panjang. Daftar tuntutan kepadanya tidak ada habisnya. Hal ini menambah panjang sejarah pengorbanan dari seorang ibu yang tidak boleh dilupakan.


Matahari bulan Desember yang tidak panas masih berada tinggi di langit ketika sang pastor membuat kudanya mendaki jalan yang curam dan bersalju sampai mereka akhirnya mereka sampai di tanah yang datar di puncak bukit. Beberapa langkah lagi membawanya ke deretan rumah-rumah yang membentuk desa Becchi. Tapi lama sebelum ia sampai, kedatangan sudah disadari oleh kerumunan anak-anak yang sedang bermain.

“ Don Dasano!” kata mereka bersama.

Sang Pastor membalas salam mereka dengan sebuah senyum dan lambaian tangan.

Mendengar keributan itu, banyak wanita sekarang muncul di pintu-pintu mereka, bertanya-tanya dalam hati siapakah pastor itu dan siapa yang ingin dia kunjungi?

Sang pastor menghentikan kudanya di depan rumah keluarga Bosco dan turun dari kudanya, dikelilingi oleh anak-anak yang kagum pada sang pastor dan kuda hitamnya yang cantik. Pada saat ini Margareta dan Yosef keluar dari rumah dan Yosef langsung mengambil tali kuda darinya.

“Selamat siang, Margareta,” katanya selagi Margareta mendekatinya. “Apa kau pikir kau bisa meluangkan sedikit waktumu siang ini?”

“Tentu saja, pastor,” Margareta bergegas ke samping untuk memungkinkannya memasuki rumah. Namun, sebelum masuk pastor itu berbalik dan memberi berkat ke arah wanita-wanita itu yang meresponnya dengan membuat tanda salib mereka sendiri.

Setelah berada di dalam, sang pastor membuka topinya yang berbentuk seperti piring sup yang datar, tapi sebelum memberikannya kepada Margareta ia menggosok-gosok dulu topi itu. Margareta menerima topi itu dan menaruhnya di atas lemari.

“Theresa!” ia memanggil dan salah seorang cucunya keluar. “Ambilah anggur untuk pastor yang baik ini. Lau beritahu yang lain untuk tidak mengganggu kita. Gadis itu membawa sebotol anggur dan dua buah gelas yang ia taruh di atas meja. Setelah ia memberi hormat ia meninggalkan mereka. Margareta menuang anggur, lalu dia dan pastor itu melakukan toast dan berkomentar tentang hasil anggur tahun ini.

“Margareta,” mulai pastor itu, “Yohanes telah datang menemuiku. Sejujurnya, semakin sering ia mengunjungiku, semakin senanglah aku. Ia memberi reputasi yang baik untukmu. Sekarang setelah ia menyelesaikan sekolahnya, ia memberitahu bahwa ia akan masuk ke seminari untuk menjadi pastor dan satu-satunya keraguan yang ada di pikirannya adalah apakah ia harus masuk kesalah satu ordo – Frasiskan, aku pikir, atau masuk Projo dan bekerja untuk keuskupan. Apakah ia mengatakan hal ini kepadamu?”

“Ia memang mengatakan sesuatu. Tapi aku selalu berpikir bahwa akan lebih baik untuk membiarkannya memutuskan sendiri panggilannya.”

“Dan kau telah melakukannya dengan sangat baik,” kata pastor itu menyetujui. Setelah meneguk lagi anggurnya, ia melanjutkan. “Ia harus dibiarkan bebas untuk memilih. Tapi mendengarkan baik-baik apa yang aku katakan sekarang, karena hal ini menyangkut kesejahteraanmu sendiri. Jika anakmu memutuskan untuk masuk ke salah satu ordo, untuk beberapa tahun kedepan engkau tidak usah kuatir tentang apapun. Mereka akan mengurus semua biaya, makanan, pakaian, buku-buku dan lainnya. Namun setelah ia ditahbiskan, itu terakhir kalinya kau akan melihatnya. Kau lebih baik melupakannya. Seluruh hidup jiwa raganya akan menjadi milik ordo. Ia bakan dapat dikirim ke luar negeri ke tempat yang asing dan jauh.” Pastor itu meneguk anggurnya lagi pelan-pelan untuk memberi waktu agar kata-katanya dapat dimengerti. Tapi tidak ada reaksi dari Margareta selain anggukan kepala yang kadang-kadang.

“Jika ia akhirnya memutuskan untuk menjadi pastor projo seperti diriku,” lanjut pastor itu, “kau harus, sayangnya, membiayai semua pengeluaran itu sendiri, dan hal itu juga termasuk warisan yang diminta oleh Hukum Kanonik. Aku tahu hal ini tidak akan mudah. Namun engkau sudah berhasil membiayainya sampai sejauh ini dan Tuhan tahu hal itu pasti membuatmu mengeluarkan banyak uang. Tapi dengarkanlah baik-baik, setelah ia ditahbiskan maka segala kerisauannya, dan kerisauanmu selesai. Dari apa yang aku dengar dan aku ketahui tentang Yohanes, ia tidak perlu cemas akan masa depannya. Ia pasti dapat maju. Ia bahkan bisa membatu di paroki ini. Dan aku tidak melihat alasan kenapa engkau tidak menjadi pengurus rumahnya dan hidup nyaman dengannya. Kesimpulannya, jika ia masuk ordo, aku tidak melihat keuntungan apapun bagimu, tapi jika ia bergabung dengan projo, kau akan mendapat balasan atas semua yang telah kau lakukan untuk membantunya mencapai cita-citanya. Ia akan mampu membayar hutangnya kepadamu. Apa pendapatmu tentang hal itu, Margareta?”

Margareta berpikir cukup lama sebelum ia berkata apa-apa. Akhirnya ia mengangkat kepalanya. “Aku pertama-tama mengucapkan terima kasih, pastor,” katanya, “karena engkau begitu memperhatikan anakku dan mau menasihatinya sebaik kau bisa. Aku akan memberitahukan hal ini kepadanya. Tapi keputusan terakhir akan ada di tangannya.”

“Bagus sekali Margareta. Hal itu yang aku minta. Aku yakin kau akan melakukan hal yang benar bagi dirinya dan dirimu.”

Menepati janjinya, ketika ia pergi lagi ke Chieri dengan menenteng keranjangnya, ia menceritakan semua yang dikatakan pastor itu kepada Yohanes.

“Apa pendapatmu Mama?” Yohanes ingin tahu.

“Aku pikir kau harus berpikir seksama untuk memutuskan langkahmu selanjutnya,” jawabnya. “Tapi aku ingin membuat satu hal jelas. Kau tidak usah mengkuatirkan diriku. Aku tidak menginginkan apapun darimu. Aku tidak mengharapkan apapun darimu. Aku lahir miskin dan aku pun ingin mati miskin. Dan ingatlah hal ini.” Ia berhenti sebentar untuk memberi penekanan pada kata-katanya selanjutnya, dan ketika ia berbicara ia tidak bisa menyembunyikan sedikit gemetar pada suaranya. “Jika kau akhirnya memutuskan untuk menjadi imam projo dan nanti menjadi kaya, aku tidak pernah memasuki rumahmu!”

Walau ia memutuskan untuk masuk seminari projo berdasarkan pilihan bebasnya dan alasan-alasannya sendiri, kata-kata yang mengesankan dari ibunya ini terus tinggal di benaknya dan menjadi salah satu prinsip hidupnya.

Pada hari keberangkatan Yohanes ke seminari, Margareta punya sesuatu hal lain untuk dikatakan kepada anaknya. “Anakku,” katanya, “kau sekarang memakai pakaian seorang imam, dan pada saat ini aku merasakan kepuasan terbesar yang dapat dirasakan seorang ibu. Tapi janganlah lupa bahwa bukan jubah itu yang akan membuatmu dihormati, tetapi kehidupan yang baik dan kudus. Bila suatu hari kau menyangsikan panggilanmu, aku memohon kepadamu untuk tidak menghina Penciptamu. Aku lebih baik memiliki putra seorang petani miskin dari pada seorang pastor yang melupakan tugasnya.”

Margareta dan Yohanes sendiri hampir menangis ketika Margareta melanjutkan. “Ketika kau lahir, aku telah mempersembahkanmu pada bunda kita yang terberkati. Ketika kau memulai studimu, aku memberitahumu untuk setia kepadanya. Sekarang aku memintamu untuk menyerahkan diri kepadanya. Melangkahlah maju. Pilihlah teman-temanmu hanya dari mereka yang mencintai-Nya dan jika kau telah menjadi imam, sebarluaskan devosi kepada-Nya.”


Sewaktu Yohanes belajar di Chieri, ia pulang musim panas untuk menghabiskan liburannya dengan ibunya dan Yosef serta keluarganya. Ia membantu memanen dan menggunakan keahlian yang telah dipelajarinya sebagai tukang kayu untuk membuat barang-barang perabotan rumah.

Inilah yang dilakukan setiap musim panas, kecuali tahun 1840 di mana ia akan kembali ke seminari untuk terakhir kalinya. Ia telah mendapat izin untuk mempersingkat waktu belajarnya, jika ia belajar sewaktu musim panas dan dapat lulus ujian-ujiannya. Hal ini dilakukan dengan baik dan ia ditabiskan tanggal 5 Juli 1841, bukan di Kathedral seperti biasanya, tetapi di kapel pribadi Uskup Agung. Uskup agung dinyatakan persona non grata oleh pemerintah, bahkan tidak diperbolehkan masuk ke kota. Ia mengadakan misa pertamanya di gereja St. Frasiskus Asisi di Turin.

Dengan kecewa, Margareta tidak dapat menghadirinya. Ia sedang memetik daun-daun mulberi untuk ulat-ulat sutranya ketika ia jatuh dari pohon, lalu ranting yang diinjaknya patah dan mengenai jidatnya. Hal ini meninggalkan bekas luka yang dibawanya sepanjang sisa hidupnya. Namun ia bertekad untuk menghadiri misa Yohanes di Castelnuovo.

Mungkin karena ia masih lemah karean kecelakaan itu, tapi ketika ia berjalan ke altar, ia merasa kekuatannya hilang. Namun, lengan Yosef yang kuat menopangnya dan ia berlutut di rel altar dengan seluruh keluarganya di sisinya. Sewaktu komuni ia melihat, selagi Yohanes berjalan ke tempatnya. Ketika Yohanes memberinya hosti ia merasakan gemetar pada tubuhnya, namun sebelum hal itu melupuhkan, ia berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Dengan sengaja berkonsetrasi pada ucapan syukurnya, ia mampu mempertahankan ketenangannya.

Berbeda ketika ia berdiri menerima berkat yang akan anaknya berikan pada tiap anggota keluarganya. Sekali lagi, adalah hak istimewanya untuk menerima berkat ini sebelum yang lain, dan sekali lagi ia harus bergulat dengan perasaannya. Ketika Yohanes menaruh tangannya ke atas kepalanya, begitu banyak emosi mengisi jiwanya sehingga tubuhnya menjadi dingin dan ia menekankan telapak tangannya di pipinya dengan begitu keras sehingga terasa sakit. Takut untuk bergerak karena ia merasa bahwa ia akan kehilangan kontrol seluruh tubuhnya, ia tetap pada posisi ini sampai ia mendengar suara yang berbisik.

“Mari, Mama.” Membawanya pelan-pelan, Yosef membantunya dan menuntunnya kembali ke kursi gereja.

Sesaat sesudah ia tenang kembali, ia memperhatikan anaknya berjalan disekitar altar untuk memberkati orang yang berikutnya. Apakah ini anaknya, ia bertanya kepada dirinya sendiri, yang sedang memberkati orang-orang? Anak yang pernah berjalan di atas seutas tali? Anak yang dibantunya menerima komuni pertamanya? Yang pernah ia kirim ke orang-orang asing? Matanya berhenti kepada tangan aanaknya, tangan yang akan terus memberkati selama masih punya kekuatan, tangan yang akan menyiapkan begitu banyak jiwa untuk kehidupan dunia, dan lebih banyak lagi jiwa untuk kehidupan surga.

Setelah pentahbisan Yohanes, beberapa tetangganya tidak sabar mengingatkan akan status Margareta yang sudah berubah karena Yohanes, sekarang seorang imam … Betapa sedikitnya mereka mengerti apa yang sedang dipikirkannya, Ia terus berkata kepada dirinya. Bagaimana ia dapat menjelaskan kepada mereka momen yang sedang dinikmatinya, pengalaman yang tidak pernah mereka rasakan dan tak pernah lagi akan ia rasakan. Bagaimana ia dapat meyakinkan mereka bahwa ia merasa tujuan hidupnya telah terpenuhi, bahwa jika ia sekarang sendirian, ia dapat menangis karena penuh bahagia, bahkan berseru memuji Tuhan. Dalam cara sendirinya ia mengerti sekarang apa yang Bunda Maria rasakan ketika ia mengatakan kalimat indah ini. Jiwaku memuliakan Tuhan. Dan dia begitu ingin berseru bersama Nabi Simeon. Sekarang Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera.

Ketika misa selesai, ia dan Yohanes duduk berdua, mengenang dan tertawa atas masa-masa senang dan menjadi serius ketika mengingat kenangan-kenangan yang lebih suram di masa lampau. Pembicaraan beralih ke masa depan. Sambil Margareta menatap anaknya dengan dengan bangga, ia menyimpulkan pikirannya dalam beberapa kata.

“Sekarang engkau telah menjadi imam dan kau akan merayakan misa,” katanya, “kau lebih dekat pada Yesus Kristus. Tapi jangan pernah lupa bahwa mulai mengucapkan misa berarti mulai menderita. Kau tidak akan menyadari hal ini dengan segera, tapi pelan-pelan engkau menyadari bahwa ibumu benar. Aku yakin kau akan berdoa untukku setiap hari, baik selagi aku masih hidup, maupun sesudah aku mati dan aku tidak akan meminta apapun lagi. Mulai sekarang kau tidak boleh mengkuatirkan aku lagi. Kau harus berpikir untuk menyelamatkan jiwa-jiwa orang.”

Yohanes menerima beberapa tawaran yang menarik untuk tenaganya, dan Pastor Dassano berusaha paling keras untuk mempertahankannya di paroki itu. Sewajarnya, Yohanes akan mendengarkan apapun dari ibunya, tapi Margareta menepati janjinya untuk tidak mencampuri panggilan anaknya. Ia pernah sekali menyuarakan pendapatnya yaitu ketika tetangga-tetangganya mencoba meyakinkannya bahwa ia seharusnya membujuk Yohanes untuk menerima kerja sebagai guru seorang anak bangsawa Gonoseve. Adalah hal yang biasa bagi seorang pastor untuk bekerja seperti itu. Hal itu berarti, mereka meyakinkannya, bahwa selagi anaknya hidup nyaman dengan gaji bulanan sebesar 1000 lire, Yohanes akan dapat mengurusnya juga.

“Anakku tinggal di rumah orang-orang kaya?” jawabnya. “Dan apa yang akan ia lakukan dengan semua uang itu? Selain itu, apa yang akan aku lakukan dengan uang itu, atau apa yang anakku Yosef akan lakukan dengan uang itu, jika untuk memperolehnya, Yohanes harus kehilangan jiwanya.” Ia betul-betul menyadari bahwa cara hidup di rumah-rumah kaya itu tidak selalu cocok untuk mempertahankan kesejahteraan rohani pastor-pastornya.

Imam-imam di rumah para bangsawan dan orang-orang kaya pada saat itu telah mulai dipertanyakan. Keluhan yang paling dasar adalah bahwa mereka menghalangi imam-imam ini melakukan banyak kebaikan bagi jiwa-jiwa di tempat lain. Terlalu banyak imam-imam di rumah-rumah orang kaya disuarakan oleh mereka yang mendesak dikeluarkannya undang-undang anti-klerik. Bahkan beberapa pendukung undang-undang ini berkat bahwa undang-undang ini bukan anti gereja, tapi hanya anti-klerik.

Tidak yakin akan arah yang harus ditempuh, Yohanes seperti kebiasaannya, mencari nasihat dari salah seorang teman yang nasihatnya dapat dipercaya – Pastor Yosef Cafasso –yang beberapa tahun lalu, Margareta berkatanya kepadanya bahwa ia adalah seorang santo. Namun, nasihat yang diberikan oleh pastor itu bahkan mengejutkan Margareta. Yohanes harus menolak semua tawaran itu, dan pergi ke Institut Eklesiastikal di Turin untuk beberapa tahun lagi belajar dan berlatih.

Institut ini telah didirikan oleh Pastor Cafasso dan teman-temannya yang lain untuk menyediakan pelatihan dan pengajaran lanjutan untuk pastor-pastor yang baru lulus seminari. Setelah kejatuhan Napoleon, sebuah kebutuhan dirasakan utnuk membangun imam-imam yang terdidik baik dan bersemangat, yang tidak hanya akan menjadi teladan tapi juga akan melawan kesalahan-kesalahan yang diajarkan di bawah kekuasaan kaisar itu.

Walau yakin bahwa itu adalah kehendak Tuhan, ia tetaplah ibu yang sedih ketika mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya ketika ia pergi. Ia bertanya-tanya apakah ini yang terakhir kalinya. Jika imam seperti Pastor Cafasso begitu perhatian terhadap anaknya, itu pastor karena mereka sudah melihat di dalam diri anaknya beberapa kualitas istimewa. Untuk alasan ini mereka tidak ingin melihatnya hanya sebagai Pastor di desa. Ini bukan kesombongan atau ambisi seorang ibu yang membuatnya berpikir demikian, tapi hanyalah pengakuan atas apa yang telah dilihat orang lain sekarang. Kesedihannya atas perpisahan ini bercampur dengan kegembiraan atas keberhasilan anaknya.

Betapa berbedanya antara perpisahan ini dan perpisahan beberapa tahun yang lalu. Dulu, Yohanes harus meninggalkannya untuk mencari makanan dan tempat berlindung di antara orang-orang asing, sekarang Yohanes meninggalkannya untuk memulai misi hidupnya. Misi apakah itu, ia tidak tahu bahkan Yohanes sendiri tidak yakin. Tapi ia tahu bahwa misi itu memerlukan dua hal, penyerahan total pada Tuhan dan untuk memperhatikan anak muda.

Apa yang meringankan penderitaan atas kehilangan Yohanes adalah keyakinan bahwa kebaikan apapun yang Yohanes lakukan, jiwa-jiwa manapun yang Yohanes selamatkan, apapun yang Yohanes buat, ia akan berbagi dengannya atas semua itu. Jika Yohanes telah sampai pada posisinya sekarang, hal itu dapat terjadi bukan hanya karena doa-doa dan pengorbanannya, tapi lebih-lebih karena kegigihannya dalam menghadapi hal-hal yang tidak mungkin sekalipun. Terlebih lagi, Margareta merasa bahwa hidupnya sendiri sudah terpenuhi. Tuhan telah memberinya tiga orang anak, masing-masing telah mapan sekarang. Untuk semua hal ini, ia bersyukur kepada Tuhan.

11

Anakmu Sedang Sekarat”




Di usia 58 tahun, Margareta Bosco mempunyai tinggi badan 172 cm dengan berat badan cukup ideal karena sifat keras kepalanya untuk tetap melakukan bagian kerjanya di ladang dan di rumah. Lagipula, dengan begitu banyak cucu, selalu banyak kejadian di mana seorang nenek dibutuhkan. Pakaiannya, walaupun ada desakan dari keluarganya untuk membuatnya lebih bagus, tetap saja tampak seperti pakaian orang desa. Kakinya tertutup stocking katun tebal dan terlindung dari tanah yang kasar oleh sepatu bot yang berat. Ia memakai baju katun, jumlahnya bervariasi tergantung musim dan selalu terbuat dari bahan dan warna yang tidak mudah luntur dan rusak akibat bekerja di ladang. Sebuah topi wanita diikat di bawah dagunya dan sebuah jubah kecil atau syal di pundaknya kapan pun ia pergi ke luar.

Wajahnya agak kotak dengan rahang yang kuat dan dagu yang kuat dan agak bulat. Bibirnya penuh, sering tersenyum dan di atasnya ada hidung khas Italia yang ramping dan agak panjang, dan mata coklat yang agak lelah karena berlalunya waktu. Di atas mata ini ada jidat yang berkerut dan rambutnya abu-abu sambil masih ada sehelai dua helai yang berwarna coklat kemerahan pucat. Wajahnya memancarkan kehangatan dan pengertian seseorang yang menganggap serius perbuatan-perbuatan jahat, namun lebih bersemangat untuk menemukan dan mendorong perbuatan-perbuatan baik.

Hidup mulai berjalan baik untuk Margareta. Kesehatannya sangat baik, para tetangga mencarinya ketika membutuhkan pertolongan, dan ia masih dapat menunjukkan pengaruhnya di komunitas itu kapan pun ia merasa bahwa ia benar.

Antonius mempunyai lima orang anak yang usianya berkisar antara tiga sampai empat belas tahun, anak yang keenam meninggal setahun sebelumnya. Untuk menopang keluarganya yang besar, Antonius tidak saja bekerja keras di tanah pertaniannya yang kecil tapi juga menyewakan dirinya sebagai pekerja harian. Ia telah berdamai dengan yang lain dan terutama dengan Margareta. Kesabarannya dan kebikannya yang tidak pernah putus secara perlahan-perlahan menyadarkan diri Antonius yang sering meminta nasihatnya sekarang. Bukti lain bahwa Antonius telah berubah adalah fakta bahwa ia sering diminta kehadirannya pada pertemuan-pertemuan lokal karena sikapnya yang riang.

Yosef telah tumbuh menjadi seorang lelaki yang stabil, pekerja keras, dengan bakat untuk bisnis sehingga sering dicari untuk dimintai nasihat dan untuk menolong orang-orang lain memecahkan masalah. Tahun 1883, ia telah menikahi seorang gadis bernama Maria Calosso, dan telah membangun sebuah rumah yang cukup besar untuk menampung keluarganya yang sedang tumbuh, dengan lima orang anak dengan usia berkisar antara enam bulan sampai sebelas tahun. Ini berarti Margareta sekarang mempunyai dua anak, dua menantu perempuan, dan sepuluh cucu yang dapat dicurahi kasih sayang dan perhatiannya.

Yohanes, tentu saja, masih memenuhi pikirannya. Benar, Yohanes jarang berada jauh dari pikirannya. Ia hanya tinggal melihat di sekitar rumah dan matanya akan memandangi beberapa perabotan yang telah Yohanes buat selama liburannya di sini. Terlebih lagi, dari waktu ke waktu Yohanes mengunjunginnya, tanpa menghiraukan jarak 24 km dari Turin, berangkat jam dua siang dan sampai di rumah jam delapan malam.

Yohanes juga sering dipikirkan oleh para tetangga, kebanyakan dari mereka mengingat pengaruhnya yang baik terhadap anak-anak mereka sewaktu ia masih tinggal di antara mereka. Namun, beberapa tetangga lain mempunyai keraguan terhadapnya.

“Tidakkah aneh,” salah seorang dari mereka berbicara dalam jarak pandangan Margareta, “bahwa satu-satunya pekerjaanya selama ini adalah ... pastor pembantu – pastor pembantu! Di rumah asrama gadis-gadis! Dengan semua bakatnya? Ia tentu saja lebih baik dari itu. Tidakkah hal ini membuatmu heran?”

“Ketika ia datang dari Becchi untuk mengunjungi ibunya,” yang lain menambahkan, “ia tidak memberi kesan bahwa ia sukses. Jika kau mau tahu pendapatku, ia sangat bersahaja. Bukankah ia harus berjalan karena ia tidak mampu membayar biaya kereta kuda ? “

“Untuk hal meyokong kehidupan Margareta dalam usia tuanya, seperti yang kita sangka,” orang yang ketiga menyimpulkan, “sebaliknyalah yang terlihat! Dengan bantuan dua anaknya yang lain, tampaknya Margaretalah menyokong dia!”

Bagi Margareta, berdasarkan apa yang lebih Yohanes katakan kepadanya, ia melihat anaknya sebagai seorang imam yang memperhatikan mereka yang paling membutuhkannya, makhluk-makhluk malang yang paling mudah dilupakan dunia ini yaitu anak-anak miskin dan terlantar di tempat kumuh. Ia tidak sedikitpun kuatir atas “kesuksesan” anaknya. Satu –satunya doanya adalah bahwa Yohanes akhirnya dapat menemukan jalan yang dikehendaki Tuhan untuknya. Untuk menemukan apa yang telah menjadi keprihatinannya yang terbesar.


Pada bulan Juni 1846, ketika keluarga itu sedang bekerja di ladang, seorang pembawa pesan sampai di desa itu. Ia tidak mau makan atau minum sampai ia dapat menemukan Margareta. Ketika ia menemukannya, pesannya singkat dan langsung pada intinya: “Don Bosco sedang sekarat dan kalau kau masih mau melihatnya selagi ia hidup, kau sebaiknya segera datang!”

Margareta segera bersiap untuk pergi ke Turin. Ia hampir saja langsung berangkat dengan kereta kuda selanjutnya jika saja Yosef tidak mengingatkannya bahwa, karena ia mungkin harus tinggal lebih lama di kota itu, beberapa hal perlu disiapkan. Ia bersikeras untuk membawa roti buatannya sendiri dan sebotol anggur, dimana keduanya pernah menyembuhkan anaknya dari sakit parah.

Ketika akhirnya ia dan Yosef duduk di atas kereta kuda dan dalam perjalanan menuju Turin, ia tidak sempat melihat-lihat pemandangan. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada Yohanes. Rencana-rencana yang belum Yohanes diskusikan dengannya, rencana-rencana yang begitu ambisius sehingga ia harus menenangkannya. Mimpi-mimpi dan rencana-rencana apa yang tidak Yohanes pikirkan demi anak-anak miskin dan terlantar yang telah ia kumpulkan di bawah sayapnya! Namun ia mempunyai kualitas-kualitas yang dapat membuat semua mimpi ini terwujud. Ia tidak dapat menahan senyumnya ketika ia mengingat bahwa salah satu sifat Yohanes adalah keras kepala. Para tetangga senang mengingatkannya bahwa mereka tahu dari mana datangnya sifat itu. Tapi apa guna semuanya itu jika ia mati sekarang? Apa guna semua rencana-rencana bagus, rencana-rencana ambisius itu? Tapi dalam kehidupannya yang panjang ia telah mampu menerima kejadian-kejadian seperti ini. Ia telah mampu melewati cobaan-cobaan yang sama beratnya dan telah hidup cukup lama untuk melihat mereka memudar menjadi tak lebih dari kenang-kenangan saja. Ia akan melewati cobaan ini seperti ia telah melewati cobaan-cobaan yang lain, dengan menerimanya sebagai keinginan Tuhan. Secepatnya ia menerima kehendak Tuhan, Tuhan akan memberikan kekuatan kepdanya untuk menanggung semuanya itu.

Yohanes yang malang! Bagaiman perasaannya tentang hal ini? Setelah begitu banyak usaha keras, akhirnya tidak menghasilkan apa-apa? Bekerja begitu keras untuk menjadi sia-sia! Tapi, apakah hal itu sia-sia? Tidakkah Yohanes juga selalu berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan? Jika Tuhan ingin agar ia meninggalkan dunia ini sebelum ia dapat mencapai suatu hal yang besar atau setidaknya tidak sia-sia maka, seperti Margareta, Yohanes harus menerima hal ini sebagai ujian lain terhadap imannya, ujian lain terhadap cintanya.

Sepanjang tiga tahun yang ia habiskan untuk belajar di Ecclesiastical Institute* Yohanes telah mengunjunginya secara rutin di Becchi, dengan gembira memberitahukannya tentang apa yang sedang ia lakukan dan hal-hal apa yang lebih penting baginya, apa yang hendak ia lakukan. Ia mencintai studinya, dan juga senang mendapat kesempatan untuk tinggal bersama laki-laki seperti Pastor Cafasso. Ia memberitahunya bahwa berada di Institut memberinya kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang penting di gereja dan pemerintahan dan Margareta benar-benar terkesan. Tapi ia membuatnya menangis ketika ia memberitahunya bahwa ia telah berteman dengan seorang anak miskin yang telah masuk ke dalam gereja di mana ia sedang mengadakan misa. Dengan pertolongan anak ini, ia telah mengumpulkan sebuah grup anak-anak miskin untuk diajari katekismus. Setelah studinya di Institut selesai, ia menerima tawaran untuk menjadi pastor di Rifugio, sebuah rumah asrama gadis-gadis, karena pekerjaan itu menyediakan tempat tinggal dan uang untuk keperluan-keperluannya.

Untuk anak-anak itu ia menghabiskan seluruh waktu luangnya dan semua uangnya. Pasti ada anak-anak yang sulit diatur karena Yohanes telah mengakui bahwa ia menghadapi masalah dengan pihak penguasa. Ia telah diperingatkan bahwa ia hanya menghabiskan waktunya karena mereka tidak bisa mencapai hasil yang baik, bahwa usahanya untuk mereka sia-sia saja, bahwa banyak dari mereka yang tidak mungkin diselamatkan lagi. Ketika Yohanes tetap menolak meninggalkan mereka, polisi menuduhnya melatih mereka untuk melawan pemerintah – sebuah pikiran yang lebih lucu bagi Margareta daripada membuatnya cemas. Bahkan pastor-pastor yang merupakan sahabatnya telah menyimpulkan bahwa ia pasti gila untuk berurusan dengan mereka dan berusaha untuk memasukkannya ke rumah sakit jiwa! Ia tertawa ketika Yohanes memberitahunya bahwa ia telah lolos dari tipuan mereka dan bahkan sebaliknya, menaruh mereka di rumah sakit jiwa! Karena ia tidak mau melepaskan anak-anak ini, bosnya Marchioness Barolo, telah memecatnya. Dan sekarang, setelah semua ini, ia sekarat. Mungkin ia tidak seharusnya pergi ke kota besar itu. Keadaan di sana begitu berbeda. Mungkin ia seharusnya tidak pernah meninggalkan daerah asalnya.

Sampai pada sore hari, Margareta dan Yosef melanjutkan dengan berjalan kaki ke Rifugio dan kerumunan anak di bawah sebuah jendela memberitahukannya di mana anaknya berada. Selagi ia menaiki tangga menuju lantai atas, ia diikuti oleh sebaris anak-anak yang ingin melihat sekilas teman dan penderma mereka itu. Namun mereka dihentikan oleh beberapa anak muda yang kuat yang telah menerima perintah yang tegas dari dokter untuk tidak membiarkan seorangpun mengganggu Don Bosco.

Segera setelah memasuki kamar itu, ia bergegas memeluk anaknya. Untuk beberapa waktu yang lama, mereka berdua tidak berbicara, ataupun bergerak. Hanya sesudah ia melepaskannya, barulah ia mampu mengontrol dirinya sendiri untuk melangkah mundur dan memperhatikan keadaan anaknya. Rongga matanya yang tenggelam ke dalam dan pipinya yang kurus memberi petunjuk pada mata Margareta yang berpengalaman akan demam yang berkepanjangan. Lengannya yang kurus menandakan turunnya berat badan. Anaknya belum mati tapi ia sakit parah. Penyebab penyakitnya dan kejadiannya ia ketahui dari teman dekat Yohanes dan pastor di Rifugio, Pastor Yohanes Borel.

“Ia telah bekerja keras selama dua tahum terkhir ini,” katanya kepada Margareta. “Ia terus berkeliling Turin untuk mencari tempat bagi oratorinya – lima tempat yang berbeda dalam waktu delapan bulan! – mencari lowongan-lowongan pekerjaan, pakaian-pakaian, buku-buku dan kadang-kadang makanan untuk menjaga anak-anaknya dari kelaparan; kunjungan-kunjungan ke penjara, berjam-jam di ruang pengakuan dosa, mengajar katekismus. Hal-hal ini secara perlahan-lahan namun pasti melemahkan bahkan fisiknya yang kuat. Kami telah memperingatkan dia lebih dari sekali bahwa satu atau dua kegiatan harus dilepaskan, namun bukanlah sifat Yohanes untuk melepaskan anak-anaknya.

Hari Minggu dua minggu kemarin, setelah hari yang lebih sibuk dari biasanya, ia berjalan ke kamarnya di Rifugio, jatuh kelelahan karena serangan pneumonia (radang paru-paru) yang begitu parah sehingga hari minggu. Minggu depannya aku harus membawakannya Viatikum dan memberinya sakramen perminyakan orang sakit. Bayangkan akibatnya pada anak-anak itu! Mereka memenuhi tempat ini! Tapi kami hanya mengijinkan beberapa anak-anak yang lebih tua untuk mendekatinya dan mereka bergantian duduk menemaninya siang dan malam. Anak-anak yang lain berdoa, berjanji untuk membuat pengorbanan, bahkan berpuasa demi kesembuhannya.”

“Di lain pihak,” pastor Borel memprotes, “Don Bosco tampaknya terlalu tenang menghadapi masalah ini sehingga aku tidak tahan lagi! ‘Don Bosco,’ kataku kepadanya, ‘kau harus melakukan sesuatu terhadap penyakitmu ini.’

“ ‘Hal seperti apa?’ katanya.

“ ‘Seperti berdoa untuk kesembuhanmu,’ kataku.

“ ‘Biarlah kehendak Tuhan terjadi,’ katanya.

“ ‘Ya, tapi pikirkan anak-anak itu,’ desakku. ‘Apa yang harus mereka lakukan jika mereka kehilanganmu? Kemana mereka akan pergi? Bayangkanlah mereka berkeliaran di jalan lagi seperti waktu mereka belum mengenalmu?’ “Apakah kau percaya?” lanjut pastor Borel dengan bersemangat. “Hal itu adalah satu-satunya alasan yang menggerakkannya!”

“ ‘Baiklah, aku akan berdoa,’ katanya. ‘Bagaimana kau menginginkan aku berdoa?’ ”

“ ‘Ulangilah perkataanku,’ kataku. ‘Tuhan, jika hal itu berkenan kepada-Mu, biarlah aku sembuh,’ dan dia melakukan persis hal itu. ‘Sekarang kita bisa yakin bahwa kau akan sembuh,’ kataku. Itu terjadi hari Sabtu malam. Walaupun kami masih ragu apakah ia bisa tetap hidup sampai hari Minggu pagi, ketika dokter memeriksanya, ia mengatakan bahwa Yohanes sudah terlepas dari bahaya. Dengan perawatan dan perhatian yang baik, ia akan kembali sehat.”

Beberapa saat sesudah itu, Yohanes sudah siap-bukan untuk bekerja – tetapi hanya untuk meninggalkan Rifugio untuk kembali ke kampung halamannya. Margareta akan memastikan bahwa ia memperoleh makanan dan istirahat yang ia perlukan untuk menyehatkannya kembali.

Ketika ia sampai di rumah, Margareta segera menemukan bahwa ia lebih sakit daripada kelihatannya. Kaki-kakinya begitu bengkak dengan varises yang keluar sehingga ia tidak bisa tidur di malam hari karena kesakitan; Margareta meringankan rasa sakit itu dengan memakaikan kepadanya stocking yang elastis. Matanya juga telah meradang karena kurang istirahat dan juga karena akibat kilat yang hampir mengenainya ketika ia masih di seminari, dan ia secara keseluruhan begitu lemah dan terlalu letih! Hal apakah yang membuatnya begitu letih, Margareta ingin tahu. Tapi yang bisa ia dapatkan dari anaknya adalah bahwa ia telah banyak belajar banyak berkotbah, banyak mengajarkan katekismus, mengunjungi banyak rumah sakit dan penjara-penjara dan telah banyak mengurus anak-anaknya.

“Satu-satunya hal yang tidak banyak kau lakukan,” Margareta menyimpulkan, “adalah makan, beristirahat, dan mengurus dirimu sendiri! Berapa lama kau pikir kau dapat terus seperti ini?” Selagi mengatakan hal ini, ia tahu bahwa ia sama saja berbicara pada tembok karena Yohanes tidak akan melakukan semua hal yang telah ia sebutkan tadi. Ia hanya harus menyehatkannya dan membiarkan masa depan menentukan nasibnya. Karena itu ia terus memaksa agar Yohanes beristirahat sebanyak mungkin, memastikan bahwa ia tidak terlalu capek karena berjalan, hal yang suka ia lakukan, dan memberinya makanan terbaik yang bisa ia berikan. Selain daging, kue-kue kecil dan anggur bagus yang diberikan oleh tetangga, ia memastikan bahwa dalam makanannya ada riccotta dan mazzarella buatannya sendiri, daging dan susu kambing, dan polenta ditemani sejenis daging.

Hari-hari yang dihabiskan Yohanes di Becchi untuk memulihkan diri adalah masa yang membahagiakan untuk Margareta. Selain kebahagiaan karena anaknya berada di dekatnya, ia juga bangga melihatnya dikelilingi oleh begitu banyak perhatian dan rasa hormat dari keluarganya, dari para tetangga, dan dari pastor lokal. Mereka senang mengundangnya untuk makan malam atau menginap sehari. Tapi hal yang paling membahagiakannya adalah melihat bagaimana orang-orang muda berlari kepadanya. Hal ini mengingatkannya pada masa lampau, ketika sebagai bocah ia akan mengumpulkan mereka di sekitarnya untuk mengajar mereka katekismus.

Menyadari bahwa akanlah memerlukan beberapa waktu sebelum Don Bosco dapat kembali kepada mereka, anak-anaknya di Turin memutuskan bahwa mereka tidak bisa menunggu selama itu dan mulai mengiriminya surat untuk mendorongnya agar kembali, lalu mengatur perjalanan-perjalanan kaki ke Becchi. Mereka akan pergi dari Turin pagi-pagi sekali dan sampai kembali larut malam.

Selama kunjungan-kunjungan itu, jelaslah bagi mereka bahwa anak-anak di Becchi juga menjadi sama terikatnya kepada Don Bosco. Beberapa dari mereka mengungkapkan pada Margareta rasa takut bahwa hal ini akan membujuknya untuk tetap tinggal di Becchi daripada kembali ke kota.

“Jika kau tidak kembali ke Turin,” kata mereka kepadanya, “kami akan pindah ke Becchi!”

“Jangan kuatir,” katanya meyakinkan mereka. “Sebelum daun-daun mulai berguguran, aku akan kembali.”

Setelah tiga bulan, Yohanes merasa kesehatannya telah pulih setidaknya cukup untuk membuatnya berpikir tentang kembali. Sebaliknya, Margareta setuju dengan teman-teman Yohanes yang menghalangi hal ini, berargumen bahwa Yohanes memerlukan istirahat yang lebih lama untuk memulihkan kesehatannya yang hancur.

“Aku harus membali,” desaknya.

“Tapi hal itu tidaklah mungkin!” respon Margareta.

“Mengapa kau berkata seperti itu?”

“Aku bukan satu-satunya yang mengatakan hal itu,” jawabnya. “Pastor itu mengatakannya, kakakmu mengatakannya, teman-teman pastormu mengatakannya, dan jika kau ingin bukti lebih, dokter juga mengatakan bahwa kau perlu setidaknya satu tahun untuk memulihkan dirimu sepenuhnya.”

“Tapi, Mama. Aku harus pergi. Anak-anak itu membutuhkanku.”

“Jika hanya karena hal itu, anak-anak di sini membutuhkanmu juga.”

“Mari berkompromi. Aku akan pergi satu atau dua minggu lagi.”

Walau Don Bosco menyatakan, “Sejak saat itu, untuk lebih dua puluh lima tahun, aku tidak memerlukan dokter ataupun obat,” ia harus membayar mahal atas ketergesa-gesaannya itu. Untuk sepanjang sisa hidupnya, ia harus menderita penyakit emphysema (paru-paru bengkak karena pembuluh darahnya kemasukan udara)

Margareta telah menyadari, kesehatan Yohanes telah mulai menurun selagi ia masih di seminari. Beberapa kali ia harus kembali ke rumah untuk memulihkan diri karena kesehatannya yang buruk. Pada suatu kesempatan, Margareta kebetulan sedang menjenguknya di seminari ketika menemukannya sekarat. Melihat ibunya membawa roti buatannya sendiri dan sebotol anggur yang baik, ia memakan roti itu dan meminum anggur itu. Setelah melakukan hal itu, ia jatuh tertidur untuk waktu yang lama, sekitar empat puluh jam, dan terbangun benar-benar sembuh! Dua kali ia hampir tersambar petir dan di atas semua hal itu, Margareta sering mengeluh bahwa ia benar-benar tidak peduli pada dirinya sendiri. Namun, Yohanes tidak pernah berhenti menasihati orang lain untuk menjaga kesehatan mereka sebaik-baiknya.

“Yohanes sayang,” ia menyimpulkan, “kau tidak akan pernah berubah.”

Untuk beberapa saat mereka memandang satu sama lain. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.

Keteguhan niat Yohanes bahkan mampu meyakinkan Uskup Agung yang akhirnya menyetujuinya untuk kembali tapi hanya dengan syarat bahwa ia membatasi dirinya untuk mengatur anak-anaknya, dan sama sekali tidak berkhotbah, mendengar pengakuan dosa, mengajar katekismus dan tugas-tugas melelahkan lainnya. Walaupun anaknya meyakinkan bahwa ia akan patuh terhadap peerintah Uskup Agung, Margareta tahu bahwa, segera sesudah ia dikelilingi anak-anaknya, ia akan segera menemukan alasan untuk mengenyampingkan perintah itu.

Setelah menyelesaikan masalah itu, sebuah rintangan lain muncul yang bisa menghalangi ia kembali. Karena ia telah dipecat dari posisinya sebagai pastor pembantu di Rifugio, ia sekarang harus mengembalikan kamarnya, dan sekarang harus tinggal sendiri di kamar-kamar yang ia sewa. Kamar-kamar ini terketak di sebuah bangunan yang juga dihuni oleh beberapa orang yang reputasinya kurang baik dan berada di tengah-tengah beberapa penginapan bereputasi buruk. Ia juga memerlukan seorang pengurus rumah yang baik. Tapi bagaimana ia bisa melindungi reputasinya dan reputasi pengurus rumahnya itu selagi mereka tinggal di tengah-tengah lingkungan seperti itu? Seperti biasa, ia mencari nasihat dari pastornya yang segera melihat sebuah solusi.

“Aku tidak bisa memikirkan seseorang lain yang lebih cocok daripada ibumu,” katanya. “Tidak saja kalian akan melindungi reputasi kalian masing-masing, tapi ia juga akan menjadi sumber penghiburan bagimu.”

“Ibuku? Memintanya untuk meninggalkan semua ini? Pada usianya?”

“Berapa usianya ?”

“Lima puluh delapan tahun.”

“Hmn. Tapi aku masih berpendapat bahwa ia adalah pilihan terbaikmu. Yang harus ia lakukan hanya mengurusmu dan itu tidak terlalu berat untuknya.”

Walaupun nasihat itu kedengaran sangat masuk akal, Yohanes tidak tahu bagaimana ia dapat meminta ibunya untuk meninggalkan Becchi dimana ibunya dikelilingi oleh anak-anaknya, cucu-cucunya dan semua teman-teman yang telah ia kenal bertahun-tahun. Disini ibunya dicintai oleh keluarganya dan begitu dihormati oleh semua orang, tapi di sana?… Terlepas dari semua hal itu, ia juga mempunyai rasa hormat yang begitu besar terhadap ibunya, seperti yang ditulis oleh penulis biografinya. “Seorang ratu tidak bisa meminta lebih banyak lagi dari hambanya.” Baginya dan bagi kakak-kakaknya, bahkan setelah mereka tumbuh menjadi pria dewasa, kata-kata ibu mereka adalah hukum dan keinginannya yang terkecil itdak bisa ditolak. Barulah yakin bahwa inilah satu-satunya jalan yang ada, dan hanya karena ia begitu menghormati ibunya sehingga ia mampu bertanya kepadanya.

“Ibuku adalah seorang santa,” ia menyimpulkan, “dan hanya karena alasan itulah aku dapat memintanya untuk ikut denganku. Karena hal itu untuk kebaikan jiwa-jiwa, aku yakin bahwa ia akan merasa seperti aku.”

“Mama,” ia memulai pembicaraan suatu hari, “karena aku akan tinggal sendirian, aku memerlukan seorang pengurus rumah tangga.” Secara hati-hati ia menguraikan alasan-alasan mengapa ia memerlukannya dan setelah ia selesai menerangkan hal itu, ia menanyakan pada ibunya pertanyaan yang terpenting: “Maukah ibu ikut denganku ?”

Permintaan ini sangat mengejutkan Margareta. Tidak pernah sesaat pun ia pernah berpikir untuk meninggalkan rumahnya yang nyaman, lingkungan asalnya, keluarganya dan teman-temannya. Namun anaknya malah memintanya untuk meninggalkan tempat di mana ia dilahirkan dan hidup sepanjang hidupnya, dan orang-orang yang tidak pernah terpisah dengannya. Ia telah menghabiskan seluruh hidupnya di Becchi, mengenal dan dikenal oleh semua orang, dan telah memperoleh posisi istimewa di komunitas itu. Ia mencintai tiap centi tanah, tidak hanya yang ia garap dan tanami, tapi juga tiap bukit dan lembah. Semua ini – teman-temannya, keluarganya, tanah pertanian, gereja, daerah pinggiran desa – baginya berarti rumah. Ia bukan saja seorang ibu bagi Yohanes dan seluruh keluarganya, tapi juga bagi semua orang. Dan sekarang anaknya memintanya untuk meninggalkan semua ini untuk pergi ke sebuah tempat yang asing? – Untuk sebuah hidup yang asing baginya ? – di antara orang-orang asing?

Melihat besarnya pengorbanan yang harus ia lakuukan, ia menundukkan kepalanya dan wajahnya menjadi sangat serius.

Aku ini hamba Tuhan. Kata-kata ini mulai terdengar di telinganya. Betapa seringnya ia telah mengucapkan kalimat itu untuk menghormati Bunda Allah! dan jawabannya selalu, Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.

Inilah jawaban Bunda kita ketika Tuhan telah meminta sebuah pengorbanan darinya. Bisakah ia, Margareta, melakukan kurang dari itu? Mengangkat kepalanya, ia menatap anaknya sesaat.

“Kalau begitu,” Yohanes memberitahunya, “kita akan pergi setelah pesta Semua Orang Kudus.”


Setelah hal itu diputuskan, Margareta, dengan pandangannya yang jauh ke depan, mengirimkan lebih dahulu beberapa sayur-sayuran, gandum dan jagung, untuk memastikan bahwa untuk beberapa hari pertama, setidaknya mereka tidak akan kelaparan. Ia juga membawa sekeranjang kain linen dan beberapa peralatan dapur yang penting. Sebaliknya, anaknya hanya membawa breviarinya dan buku misanya.

Saat keberangkatan adalah pengalaman yang juga menyakitkan bagi Yohanes, yang harus mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman mudanya yang telah ia dapatkan selama ia tinggal sesaat di Becchi. Para orang tua berkumpul mengelilinginya untuk memohon kepadanya untuk mengurus anak-anak mereka dan mereka berjanji untuk menyediakan semua keperluan Yohanes. Mereka tidak bisa mengerti mengapa Yohanes ingin pergi. Tapi hal ini hanya menambah beban kesedihan yang ia dan Margareta harus tanggung ketika mereka mengucapkan salam perpisahan yang menyedihkan.

Setelah memeluk setiap anggota keluarganya, tersenyum sambil menangis ketika Antonius berjanji untuk sering mengunjunginya dan Yosef juga melakukan hal yang sama, Margareta berbalik untuk menghadapi masa depan, siap untuk percaya pada kekuatannya sendiri, pada kebijaksanaan puteranya, dan pada kebaikan Tuhan.

Karena mereka tidak punya uang untuk maik kereta kuda, pada tanggal 3 November 1846, mereka berjalan kaki ke Turin.

Dalam perjalanannya, hati Margareta dipenuhi berbagai perasaan. Ia merasa sedih karena harus meninggalkan seluruh keluarga dan teman-temannya. Ia merasa masa depannya tidak jelas, karena ia telah melihat bahwa Valdocco, tempat tinggal anaknya, tidak begitu menggembirakan. Malah ia merasakan bahwa kesulitan akan menghampirinya. Tapi, ia mengingatkan dirinya sendiri, ia sudah pernah menghadapi dan mengalahkan situasi-situasi sulit sebelumnya dan dengan pertolongan Tuhan, ia akan mengadapi dan mengalahkan yang ini. Lagipula, ia yakin bahwa anaknya memiliki bakat-bakat khusus, bahwa Yohanes benar-benar sedang melakukan kehendak Tuhan dan ia ingin menolong anaknya sukses dalam apa yang dilakukannya. Ia mencintai anaknya begitu dalam sehingga ia gembira untuk menanggung beban bersamanya. Pikiran terakhirnya beralih lagi kepada keluarganya. Ketika ia mengucapkan selamat tinggal kepada ia mampu menahan air matanya, tapi sekarang setelah acaara perpisahan itu selesai, air matanya mulai memaksa keluar dari matanya.

Ia lalu berpikir, “Aku tidak boleh menangis. Hal ini akan membua Yohanes lebih terbebani.”

“Yohanes,” katanya. Mari kita bernyanyi.”

“Ide yang bagus!” Kata Yohanes menyetujui, gembira untuk dapat mengalihkan pikiran ibunya. Ia mulai bergumam sendiri sesaat sebelum menyanyikan sebuah lagi khas Piedmont, yang kemudian Margareta menambahkan suaranya.

Dengan cara ini mereka meringankan perjalanan mereka ke Chieri, sekitar di tengah-tengah perjalanan ke Turin, di mana mereka berhenti di rumah seorang teman yang menyediakan bagi mereka makanan yang memberikan cukup tenaga bagi mereka untuk menyelesaikan sisa perjalanan.

Bahkan sebelum meninggalkan Becchi, Margareta menyadari bahwa baik rumah baru atau lingkungannya tidak begitu bagus. Kalau tidak, mengapa anaknya sampai harus memohon kepdanya untuk menemaninya demi reputasinya? Semakin ia mendekati tempat tujuan mereka, lebih baiklah ia dapat melihat alasannya.

Valdocco, distrik dimana tempat pusat anak-anak muda milik Yohanes terletak, terdiri dari ladang-ladang dan tanah-tanah yang sudah dibajak, pagar-pagar tanaman, pohon-pohon, dan kumpulan semak-semak sedikit bangunan di sana sini. Kebanyakan bangunan yang ada adalah penginapan-penginapan murah, dan para lelaki keluar dari sana bersama wanita-wanita, berjalan malas melewati kedua pejalan kaki itu tanpa memberi salam sedikitpun. Margareta merasa hal ini sangat aneh karena di tempatnya semua orang memberi salam pada semua orang lain. Untuk mencapai tujuan mereka, mereka harus melintasi sebuah ladang, tapi sebelum mulai berjalan pada jalan itu, anaknya membuat tanda salib.

“Mengapa kau melakukan hal itu ?” ia ingin tahu.

“Karena kita sedang melewati Ronda della Forca1.”

“Tempat apa itu ?”

“Itu tempat dimana mereka menghukum gantung para kriminal,” anaknya menjelaskan dan ia memberitahu ibunya bagaimana ia sendiri sering menemani para lelaki yang malang itu ke tiang gantung. Tapi ia begitu menderita batin karena hal itu dan ia jatuh sakit sehingga harus meninggalkan kegiatan itu.

Sekarang giliran Margareta-lah untuk membuat tanda salib.

Sore itu hampir menutupi dengan kegelapan tempat-tempat lain yang kurang menyenangkan untuk dilihat – tempat pembuangan sampah, tumpukan kotoran-kotoran, botol-botol kosong. Namun hal yang paling tidak menyenangkan baginya adalah bau tidak enak di udara. Mereka hampir mencapai tujuan mereka ketika mereka terkejut karena bertemu dengan Pastor Yosef Vola, seorang teman anaknya.


Yohanes pertama kali bertemu Pastor Cafasso tahun 1829 ketika Cafasso masih frater muda dan tahun 1833 membantunya saat pentahbisannya. Pada saat itu pun ia sudah mengesankan Yohanes karena hanya tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Dibaptis di kolam yang sama, Yohanes juga akan menyusul Pastor Cafasso pertama-tama ke seminari di Chieri, lalu ke Ecclesiastical Institute di Turin dan akhirnya ke penghormatan di altar. Sepanjang hidupnya, Pastor Cafasso bukanlah hanya penasihat dan pembimbing Yohanes, tapi juga pembela dan pendermanya.

“Kalian berdua kelihatan lelah dan pakaian kalian penuh debu,” ia menyalami mereka.

“Dari mana kalian datang ?”

“Dari Becchi,” kata Don Bosco.

“Dengan berjalan kaki? Aku tidak percaya!”

“Kereta kuda terlalu mahal untuk kami.”

“Di mana kalian akan tinggal ?”

“Di rumah kos Pinardi. Beberapa temanku telah menyewakan beberapa kamar untukku.”

“Tapi kalian tidak punya uang dan pekerjaan! Dengan apa kalian akan hidup?”

“Untuk saat ini, kami menyerahkannya pada penyelenggaraan Ilahi.”

Setelah pastor Vola pulih dari keterkejutannya, ia merogoh sakunya dan menarik keluar jamnya.

“Aku mengagumi iman kalian,” katanya sambil menyerahkan jam itu kepada Yohanes. “Dan aku berharap aku dapat memberimu lebih. Tapi ini akan dapat menenangkan kalian untuk beberapa hari. Juallah untuk membeli apa yang kalian butuhkan. Aku tidak perlu jam untuk memberitahuku kapan aku harus tidur.” Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dalam kekaguman, ia mengucapkan selamat tinggal.

Kedua orang itu melanjutkan ke rumah baru mereka, ke bagian dari rumah yang disewakan pada mereka – dua kamar tidur kecil yang dapat dicapai lewat tangga dari luar, satunya berfungsi juga sebagai dapur dan dua kamar lain yang benar-benar kosong. Lantainya telah digosok, jendela telah dibersihkan dan dinding-dindingnya yang putih telah dibersihkan sebagai persiapan untuk kedatangan mereka.

Yohanes mengambil kamar di sebelah barat, Margareta mengambil kamar di sebelahnya sehingga dapat dekat dengannya untuk dapat mengurus keperluan-keperluannya; dua kamar lainnya akan berfungsi sebagai pusat kegiatan. Untuk perabotan, yang ia punyai hanyalah dua tempat tidur kecil, dua kursi panjang, dua kursi, sebuah meja kecil, sebuah peti pakaian, sebuah kuali masak, dua panci masak, dan beberapa piring. Hanya sedikit yang bisa dilihat secara optimis, tapi ia bertekad untuk tidak tertekan atau murung. Cukuplah bahwa ia bisa menanggung beban anaknya bersama-sama.

“Di Becchi, aku harus menentukan segalanya,” adalah reaksi pertamanya ketika melihat keadaan ini. Akulah yang harus merapikan semua dan memberi perintah-perintah di pagi hari. Setidaknya, di sini aku bisa lebih santai. Benarkan, Yohanes?”

Yohanes tidak menjawab. Ia hanya menatap ibunya dan tersenyum.


12

Dunia Yang Mengancam




Margareta bangun di sebuah kamar berdinding putih yang dingin, bertanya-tanya sesaat di mana ia berada, tapi ia dengan cepat menyadari keadaannya sekarang. Gemetaran karena kelembapan dan udara dingin di pagi bulan November, ia bangun dan mulai menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya – segelas kopi dan satu rol roti kering. Ia baru saja hendak membicarakan beberapa hal dengan anaknya pagi itu, tapi setelah Yohanes menyelesaikan sarapan paginya, ia langsung memakaikan topi pastornya yang bulat ke atas kepalanya dan berjalan menuju pintu.

“Yohanes,” katanya.

“Ya, Mama?”

“Kau tahu apa yang dikatakan dokter. Kau belum siap untuk kembali bekerja selama beberapa waktu. Kau harus lebih banyak beristirahat.”

“Aku akan istirahat jika iblis istirahat,” adalah jawabnya. Lalu, ia tersenyum kepadanya dan pergi.

Karena sampai agak larut di sore hari, Margareta tidak mampu melihat apapun di sekitarnya, dan karena para penyewa kamar yang lain sedang keluar bekerja, maka tidak ada saat yang lebih tepat daripada sekarang untuk memeriksa seluruh bangunan itu. Jelas, kesan yang ia dapat kemarin malam tidaklah begitu baik. “Disinilah anakku tinggal?” ia bertanya pada dirinya sendiri. “Tidak heran ia jatuh sakit!”

Ketika ia memandang keluar lewat jendela, pandangannya melihat pemandangan yang lebih suram. Kabut abu-abu bulan November telah menyelimuti daerah itu yang terletak di sebuah dataran rendah yang berbentuk seperti mangkuk, dan yang menyebabkan daerah itu menjadi tempat berkumpulnya kelembapan dan kabut. Kabut abu-abu ini naik dan turun dengan irama melankolis di daerah itu. Valdocco terletak di sebelah utara dan di luar “kota pajak” atau batas kota. Kota ini dikelilingi oleh sebuah tembok yang dipatroli oleh pihak penguasa untuk mencegah usaha-usaha penyelundupan barang.

Rumah kos itu sendiri, terletak di pusat, terdiri dari dua lantai dan sebuah gudang dari kayu di sebelah utaranya. Sebuah balkon luar memberi akses ke kamar-kamar atas di bagian selatan, dan sebuah tangga di dalam gedung memberi akses pada ruangan lain. Pintu masuknya berada di sisi selatan dan di depan ada pompa yang menyediakan air yang sedingin es pada para penghuninya. Keseluruhan bangunan itu berukuran 18 m x 6 m x 6 m. Sebuah jendela di atap memberikan loteng itu sedikit cahaya dan udara, dan sebuah loteng kecil menyediakan tempat untuk menaruh barang. Margareta dan Yohanes menempati kamar-kamar di sisi barat, kamar-kamar ini akhirnya manjadi ruang makan untuk dirinya dan orang-orang yang membantunya. Anaknya telah mengubah gudang itu menjadi kapel karena ia menyebut Oratori-nya, “sebuah tempat untuk bermain dan sebuah tempat untuk berdoa.” Atap dari gudang ini begitu rendah sehingga anak-anak di luar bisa melompat ke atasnya dengan mudah, dan anak-anak di dalamnya bisa memegang atapnya dengan tangan mereka.

Ketika Margareta pindah ke Valdocco, anaknya baru menyewa empat kamar yang mereka tinggali, gudang itu dan sepotong lahan di sampingnya. Namun, pada tanggal 1 Desember, ia menyewa dari Pancratius Soave, pemilik seluruh gudang itu dengan syarat bahwa Soave akan mengosongkan seluruh gedung pada tahun 1848, karena masih ada beberapa penyewa yang belun habis kontrak sewanya.

Rumah kos Pinardi berdiri di tengah-tengah lahan berumput dengan bentuk seperti bangunan bersisi lima yang tidak beraturan dan mempunyai beberapa pohon di sekelilingnya, dan semuanya tertutup semacam tembok. Delapan belas meter ke sebelah timur, ada rumah kos lain untuk para supir mobil-mobil di kota, murid-murid mereka, dan campuran para pemabuk, pencuri, dan pembunuh. Bahkan jubah satu-satunya yang sedang ia jemur dicuri! Dengan jarak kira-kira sama ke sebelah barat, ada rumah kos Madame Bellezza dan juga sebuah kedai dengan nama yang puitis, Qiardiniera (keranjang bunga-bunga), di mana orang-orang minum-minum. Beberapa wanita yang tinggal di rumah Pinardi bekerja di sini. Kedua rumah ini terbukti menjadi sumber gangguan bagi anaknya, dalam waktu dan cara yang berbeda. Pada akhir minggu, rumah yang pertama hampir kosong karena para supir dan teman-temannya pulang ke rumah. Namun, rumah yang kedua malah paling ramai di akhir minggu. Fakta bahwa Qiardimiera berhadapan langsung dengan kapel Oratori tidaklah berarti apa-apa, sehingga ketika anak-anak sedang menggunakan kapel itu, mereka dapat mendengar, dan bahkan melihat, apa yang sedang dikatakan atau dilakukan di Qiardiniera.

Suatu minggu sore, ada keributan yang lebih dari biasanya di Qiardianiera. Kata-kata kotor, ancaman-ancaman … semuanya terdengar sampai keluar dan sampai ke dalam kapel. Bahkan, sekali-kali ada orang yang muncul di jendela dan meneriakkan kata-kata yang tidak sopan. Tidak mampu membuat dirinya terdengar di dalam kapel, Don Bosco akhirnya menyuruh anak-anaknya tetap tinggal di tempat dan, setelah melepaskan stola dan superply-nya, pergi menuju penginapan itu. Ia menemukan sebanyak lima puluh orang di dalam, kebanyakan sedang berteriak-teriak mabuk.

Awalnya Margareta dan anak-anaknya mengkuatirkan keselamatannya, tapi mereka terkejut dan lega melihat para pemimpin di penginapan itu menyoraki Don Bosco dengan riang walaupun sedikit kasar.

“Viva Don Bosco! Mari kita bersulang untuk pastor terbaik di Turin! Pastor terbaik di seluruh dunia!”

“Terima kasih untuk pujiannya, teman-teman.” Don Bosco kemudian berbicara dengan seseorang yang tampaknya adalah pemimpin mereka. “Tapi ada sedikit bantuan yang aku minta dari kalian.”

Don Bosco lalu menjelaskan bahwa ia sedang mencoba berkhotbah pada anak-anaknya, tapi ia tidak bisa membuat dirinya sendiri terdengar karena suara berisik yang datang dari penginapan itu. Bisakah kalian agak tenang untuk dua puluh menit ke depan?

Teriakan-teriakan setuju datang dari setiap sudut.

“Diam!” teriak pemimpinnya. “Kalian dengar apa yang ia bilang. Untuk dua puluh menit ke depan tidak ada yang berbicara, yang bernyanyi, dan yang ribut-ribut. Mengerti?”

Kedekatan letak Qiardiniera dari kapel adalah penyebab jenis gangguan-gangguan yang lain. Seorang perwira suatu kali mabuk dan setelah membawa seorang wanita ke dalam kapel, ia duduk di salah satu kursinya dan mendudukkan wanita itu di kakinya. Kejadian ini merupakan skandal yang besar bagi anak-anak yang mulai memenuhi kapel itu.

Segera setelah ia melihat apa yang terjadi, Don Bosco dengan sangat marah, langsung menghampiri mereka, menarik wanita itu dan mendorongnya ke samping. Marah karena hal ini, perwira itu hampir menarik pedangnya namun Don Bosco menangkap tangannya dengan genggaman seperti besi. Walaupun rasa sakit membuat air mata keluar dari matanya, perwira itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk membebaskan dirinya.

“Sekarang bagaimana ?” akhirnya ia berkata.

“Begini saja,” kata Don Bosco dengan dingin. “Jika aku mau, aku bisa mencabut tanda pangkat di pundakmu di depan umum.”

Sadar bahwa jika Don Bosco mau melaporkan masalah ini kepada atasannya, ia akan berada dalam masalah besar, perwira itu akhirnya menyerah.

“Aku minta maaf,” katanya.

“Kalau begitu, pergilah!”

Perwira itu kemudian pergi.


Tak lama sesudah kedatangannya, Margareta pergi ke pasar untuk pertama kalinya. Pasar-pasar ini terletak di bagian selatan kota. Pasar-pasar ini menjual begitu banyak jenis dan jumlah makanan dan barang-barang, yang membuatnya kagum. Ia tidak pernah melihat begitu banyak barang, bahkan tidak juga di pasar-pasar di Castelnuovo. Balun, atau stand-stand yang menjual perabot-perabot bekas juga menarik baginya karena ia berharap ia bisa membeli dengan harga yang bagus untuk mengisi rumahnya yang agak kosong. Karena ia bukanlah pemula dalam hal tawar menawar, ia menikmati proses tawar menawar yang tajam. Perjalanan-perjalanan ini juga menyediakan semua hiburan yang ia perlukan, karena jalan-jalan itu tidak hanya dipenuhi oleh stand-stand dan toko-toko, tapi juga oleh para penulis indah, peramal, penyanyi jalanan, pemusik dan pemain akrobat.

Suatu sore, ia kembali dari pasar, tidak begitu terbebani oleh barang belanjaan yang telah ia beli dengan sedikit uang yang anaknya mampu berikan. Ia basah kuyup dan kedinginan dan telah berjalan banyak untuk mendapatkan harga yang terbaik. Ia sendirian dan juga sangat lelah. Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara dari pintu gedung itu.

“Apakah itu kau, Yohanes ?” panggilnya.

Satu-satunya jawaban yang ia terima adalah suara seorang pria yang mabuk dan tawa kecil seorang wanita selagi mereka menaiki tangga. Diikuti oleh bantingan pintu dan akhirnya hening.

Jika ia tidak antusias terhadap cuaca di tempat itu, ia bahkan lebih tidak antusias lagi terhadap kehidupan yang dijalani tetangga-tetangganya. Perampokan-perampokan dan suara pisau beradu, teriakan-teriakan di malam hari dan suara orang bertengkar, bahkan kadang-kadang ada suara letusan pistol – semua ini membuat Valdocco begitu berbahaya sehingga tidak ada orang yang berani keluar setelah malam kecuali mereka yang berniat jahat. Juga, ia segera menyadari karakter wanita-wanita yang menyewa kamar-kamar lain di rumah kos ini. Sekarang jelaslah baginya mengapa anaknya memintanya untuk ikut dan tinggal bersamanya. Kebanyakan waktu mereka dihabiskan untuk bekerja di penginapan-penginapan lokal tapi pada waktu malam hari ketika mereka pulang, mereka menunjukkan bahwa mereka tidak ramah. Walaupun begitu, ia tetap bertanya-tanya apakah ia akan mempu menolong wanita-wanita malang itu seperti ia telah menolong banyak wanita di Becchi.

Ia melihat keluar jendela lagi dan perlahan-lahan, imaginasinya membawanya melewati gambaran keterasingan ini, melewati batas kota yang padat ini, lebih jauh lagi ke timur dimana terletak Becchi yang ia cintai … dan ia kembali ke masa-masa pembuatan anggur yang bahagia, dikelilingi tawa cucu-cucu dan keponakannya.Di selatan, ia bisa melihat padang yang disinari matahari, diselingi oleh bukit-bukit, dan keajaiban pegunungan Alpen yang bercahaya. Betapa berbedanya waktu, tempat, dan orang-orang!

Perbedaannya terlalu besar. Matanya memudar, air mata mulai terbentuk, dan untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Valdocco, keraguan timbul di benaknya … sampai ia mendengar lagi suatu suara seseorang memasuki gedung.

“Apakah itu kau, Yohanes ?” tanyanya dengan sedikit ragu-ragu.

“Memang ini aku, Mama!” panggil Yohanes. “Dan aku membawa pulang seorang tamu!”

Beberapa detik kemudian, Yohanes masuk ke dapur. “Dan inilah tamu kita Tommy … Tommy … Tommy saja untuk saat ini.” Ia bergeser lalu memperkenalkan seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun.

“Aku menemukannya di bawah sebuah jembatan, menangis,” anaknya menjelaskan. “Ia bilang ia kedinginan dan lapar dan tidak punya tempat untuk berlindung maka aku mengundangnya kemari untuk makan bersama kita. Dan ia menyutujuinya dengan senang hati.” Lalu ia berbalik pada anak itu. “Bilang halo kepada Mama, Tommy.”

“Halo,” kata Tommy dengan suara pelan.

“Che sporcaccione!” kata-kata keluar sebelum Margareta bisa menghentikannya. “Anak yang begitu kotor!”

Yohanes menoleh kepadanya dengan tajam tapi tidak mengatakan apa-apa. Setelah membersihkan dirinya, anak itu makan bersama mereka dan setelah selesai. Don Bosco memberinya beberapa sen dan membuatnya berjanji untuk hadir pada hari minggu di Oratori. Segera setelah Don Bosco kembali lagi ke rumah, ia langsung menghampiri ibunya.

“Mama,” katanya, “mungkin sudah saatnya aku menyediakan waktu untuk membicarakan beberapa hal denganmu.”

“Baiklah, anakku,” kata ibunya. “Tak ada waktu yang lebih tepat daripada sekarang.” Segera setelah mereka duduk berhadapan di dua kursi satu-satunya di ruangan itu, Don Bosco memulai.

“Aku pikir ibu punya hak untuk lebih dahulu tahu,” katanya, “apa yang aku lakukan dan dengan bantuan Tuhan, apa yang hendak aku lakukan di masa depan. Aku tidak mengharapkan agar kau langsung memahami seluruhnya, karena sesungguhnya akupun belum begitu jelas. Tapi selagi waktu berlalu, kau dan aku – akan mampu melihatnya dengan lebih jelas.”

Yohanes lalu mejelaskan padanya bahwa anak-anak yang ia bawa pulang bukanlah anak-anak kaya. Mereka adalah anak-anak yang ia temukan tidur di jalan-jalan atau di bawah jembatan, mengemis di jalanan-jalanan … Mereka berpakaian compang-camping dan muka serta tangan mereka tidak menyentuh sabun dan air untuk beberapa waktu. Mereka adalah anak-anak buangan, yang ditolak dan juga tersesat kerena mereka juga dapat dimangsa oleh berbagai godaan. Mereka kebanyakan juga bukan, seperti yang dikatakan Margareta sendiri, Stinchi di Santi, bahan untuk membentuk santo. Beberapa dari mereka bahkan pernah berurusan dengan polisi.

Selagi Margareta mendengarkan, ia mulai melihat bahwa semakin tujuan mereka terlihat tidak ada harapan di mata dunia, semakin menariklah hal itu di mata anaknya. Ia sendiri telah dibesarkan di desa dimana aturan moral yang keras membentuk cara hidup, di mana anak-anak dikelilingi oleh begitu banyak perhatian dan kasih sayang dan diberi contoh yang baik. Apa yang ia dengar tentang apa yang terjadi di jalan-jalan kota mengejutkannya; apa yang terjadi pada anak-anak muda yang berkeliaran bebas tanpa ada seorangpun yang membimbing atau membantu mereka, menakutkannya. Jika reaksi pertamanya adalah rasa tidak suka dan bahkan jijik, selagi ia mendengarkan anaknya, kebenaran perlahan-lahan memberinya kesan bahwa anak-anak muda ini hanyalah korban dari keadaan.

Di bawah akibat dari revolusi industri yang baru-baru terjadi, anaknya melanjutkan, Turin sedang mengalami pembangunan yang pesat, yang telah menarik ribuan penduduk di dalam kota yang sedang menganggur atau para penduduk desa yang lebih tertarik pada lampu-lampu kota daripada kerasnya keerja di ladang. Populasi kota, sebagai akibatnya, yang dulu berkisar 136.000 orang, bertambah begitu pesat sehingga para pemimpin kota tidak dapat mengatasinya. Adalah dengan unsur anak-anak muda, ia telah melibatkan dirinya dan memberikan waktu dan bakatnya.Terakhir, dengan penuh keyakinan, ia mengagetkan ibunya dengan mengatakan bahwa ia pada akhirnya bertujuan untuk memperbaharui masyarakat dari bawah ke atas, mulai dari anak-anak terlantar di tempat-tempat kumuh di dalam kota.

Sebelum Yohanes selesai berbicara, Margareta sudah dapat menangkap banyak hal yang ada di pikiran Yohanes ketika melihat wajah anak-anak itu. Yohanes melihat lewat wajah-wajah kotor mereka ia melihat kehidupan manusia yang hangat dan berdenyut, permata yang tidak ternilai harganya dari jiwa yang abadi, sepercik keilahian, gambaran Kristus yang bersinar. Lebih mudahlah baginya sekarang untuk mengerti mengapa banyak teman anaknya dan orang-orang lain tidak mampu memahami mengapa Yohanes sangat tertarik dan mau meluangkan waktunya untuk anak-anak muda yang terlantar. Beberapa – semoga Tuhan memaafkan mereka! – bahkan berani memanggil mereka “Manusia buangan!” Sebelum pembicaraan mereka selesai, Margareta sudah memperoleh pandangan yang lebih dalam tentang pastor seperti apakah anaknya itu, dan ia bangga atas apa yang telah ia lihat.

Beberapa hari kemudian, anaknya membawa pulang seorang anak yang ia temukan sedang berkeliaran di jalan. Walaupun ia hampir seumur dengan anak yang pertama, ia tampaknya belum mengalami hal sebanyak anak yang pertama.

Selagi anak itu menghampirinya, Margareta bangkit berdiri untuk menyambutnya dan melihat sedikit rambut ikal berwarna coklat menutupi dahi anak itu. Wajahnya bulat dan kedua matanya terbuka lebar, dengan mata coklat yang memikat. Melihat anak itu membawa begitu banyak kenangan akan masa kecil Yohanes sehingga untuk sesaat, Margareta berdiri terdiam.

Yohanes menyadari keragu-raguan ibunya. “Apakah ada yang salah?” tanyanya.

Bagaimana Margareta dapat menjelaskan kepada Yohanes bahwa ia sekali lagi menemukan dirinya menatap wajah muda anak muda yang mengemis untuk segelas air – mata coklat yang sama, dengan daya tarik aneh yang sama? Tapi tidak seperti yang pertama, anak ini tidak mempunyai seorang ibu untuk memberinya bahkan segelas air dinginpun.

“Tidak ada apa-apa,” jawabnya perlahan. Lalu, setelah terdiam lagi sesaat, ia menambahkan, “Mulai sekarang segalanya akan baik-baik saja.”

Anak yang kesepian ini bukan saja telah membuka pintu kenangannya, tapi juga pintu hatinya. Wajah anak yang tak berdosa itu dengan tiba-tiba telah membuat segalanya jelas baginya. Ia tidak akan pernah lagi meragukan lagi nilai pekerjaan yang sedang dilakukannya. Ia akan bekerja demi anak yang berdiri di depannya ini, ia akan melakukannya untuk semua anak yang duduk menangis di bawah jembatan-jembatan di dunia, yang kesepian, kedinginan, kelaparan, dibenci orang, dan terlupakan. Biarlah mereka semua datang! Mulai sekarang, ia akan menyambut setiap anak itu!

Namun, sebagai seorng wanita yang praktis, ia dapat mengira-ngira betapa banyak mengorbanan diri, kesabaran, dan kerja keras yang dituntut darinya. Pertama- tama, mereka harus meyakinkan setiap anak bahwa ia adalah makhluk yang berharga dalam pandangan Tuhan. Ini berarti membersihkan kotoran dari wajah tiap anak muda dan memperbaiki pakaian mereka sehingga menampakkan kepribadian mereka, jiwa dari anak itu akan bersinar dari mata mereka yang sekarang penuh dengan keraguan dan ketakutan. Dengan beberapa orang, hal ini akan mudah dilakukan, dengan anak-anak yang lain hal ini akan menjadi pekerjaan yang menyakitkan hati, dan anak-anak yang lain, bahkan setelah Yohanes dan dia bekerja semampu mereka, menghabiskan banyak materi dan kesabaran, mereka tidak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka berhasil dan, dalam beberapa kejadian, kepastian akan kegagalan.

Tapi, ia menyimpulkan dengan optimis, imbalannya akan begitu besar sehingga semua hal itu pantas dilakukan!


Hari-hari Margareta sekarang dipenuhi dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ini berarti menggunakan seluruh keahlian wanitanya untuk mencukupkan diri mereka dengan seberapapun yang Yohanes mampu berikan untuk pemeliharaan rumah, dan memberi makanan serta pakaian kepada anak muda yang tak terhitung banyaknya yang ia bawa pulang dengannya setiap kali kembali dari kota.

Karena devosinya kepada Bunda Maria, Margareta dengan segera mempunyai kebiasaan untuk mampir ke gereja Consolata setiap kali ia pergi berbelanja. Gereja ini menjadi gereja favoritnya seperti juga orang-orang di kota ini menganggapnya. Di gereja inilah penduduk Turin meminta Bunda kita untuk membantu setiap kali ada bencana besar yang dihadapi kota ini. Pilar dengan patung Bunda Maria di atasnya yang terletak di pintu masuk adalah sebuah peringatan atas pertolongan-Nya saat kota mereka terserang wabah penyakit tahun 1837. Di tengah perjalanannya menuju pasar, Margareta juga melewati rumah sakit jiwa dan ia tersenyum ketika mengingat bagaimana teman-teman Yohanes yang salah sangka telah mencoba menjebak anaknya, namun Yohanes salah membalikkan keadaan dan mengirim mereka ke dalam rumah sakit itu! Dalam perjalanan pulangnya, ia melewati reruntuhan tembok pertahanan yang dibangun oleh orang-orang Romawi untuk pertahanan kota itu, sebagai pengingat akan masa lalu mereka yang heroik.

Walaupun orang-orang Romawi-lah yang telah meninggalkan tanda kekuasaan mereka di Turin – tembok pertahanan dan pembangunan yang harmonis – kota itu mempunyai sejarah yang dapat ditelusuri ke belakang sampai ke zaman pra-Romawi. Setelah zaman Romawi, raja-raja telah menambahkan pada arsitektur Romawi sebuah selera bangsawan pada istana-istana yang mewah, bangunan-bangunan indah dan jalan-jalan yang lebar, yang merupakan tuntutan revolusi industri. Sejak abad ke sebelas, kota ini telah melihat bendera banyak negara lain dan telah merasakan bermacam-macam tekanan dari berbagai penindas. Kebanggaan terbesar dari penduduk kota itu adalah bahwa jalan-jalan mereka adalah yang terindah dan terbersih di Eropa dan dipenuhi oleh patung ratusan pahlawan. Semua ini membuat perjalanan melewati kota menyenangkan bagi Margareta . Beberapa uang yang telah diperoleh melalui penjualan jam milik pastor Vola, uang itu segera habis dan begitu juga persediaan makanan yang telah dibawanya. Untuk menambah berat permasalahan, anaknya tidak mempunyai satu sen pun pendapatan tetap. Namun, permintaan-permintaan terus datang dari banyak sisi untuk membeli makanan serta pakaian untuk anak-anak, untuk menyewa lebih banyak kamar, untuk memperbaiki dinding kamar yang tua dan membangun yang baru … Bahkan, sumbangan dan hadiah yang telah diterima anaknya dari mereka yang mampu melihat nilai dari pekerjaannya tidak dapat memenuhi permintaan-permintaan yang ada. Tapi kemana mereka dapat berpaling untuk bantuan?

Margareta sekarang menyadari bahwa, segera setelah ia berhubungan dengan orang-orang miskin, kecuali kalau ia mau berkompromi, ia akan menemukan dirinya terdorong sampai pada titik memberikan segalanya untuk mereka – seluruh waktunya, keberadaannya, bahkan hidupnya. Ia sudah tahu bahwa kemiskinan dalam bentuk abstrak bisa sama indah dan dapat memberi inspirasi seperti pegunungan Alpennya bila dilihat dari kejauhan. Tapi jika seseorang menjadi terlalu dekat dengan mereka, ia juga tahu, bahwa keindahan itu akan segera hilang, digantikan oleh dingin yang menusuk dan membekukan. Kemiskinan dengan iman sudah cukup buruk, pikirnya sambil melihat ke sekelilingnya, tapi kemiskinan tanpa iman adalah kemalangan yang paling malang. Untuk menerima kemiskinan dengan rrela seseorang harus melihatnya sebagai sesuatu yang berharga secara rohani, seseorang harus menerimanya dengan alasan yang sama seperti alasan Yesus.

Setelah berpikir untuk beberapa waktu tentang hal-hal ini, ia dan Yohanes menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengambil langkah yang drastis. Mereka memutuskan untuk menjual beberapa bagian tanah dan kebun anggur warisan mereka di Becchi. Ketika uang dari hasil penjualannya juga habis, Margareta melangkah lebih jauh dengan membuat pengorbanan yang luar biasa bagi seorang wanita. Ia menjual kenang-kenangan pernikahannya.

“Ketika aku melihat barang-barang yang sedang kupegang untuk terakhir kalinya,” ia mengakui, “Pertama-tama aku merasa sedikit kesal … Tapi setelah aku menjualnya, aku merasa begitu gembira sehingga jika aku mempunyai seratus barang kenang-kenangan, aku akan menjual semuanya tanpa sedikitpun rasa sesal !”

13

4 Orang-Orang Buangan

▲back to top




Karena kota Turin telah dibangun sesuai dengan rencana yang mantap, kota itu tidak dikotori dengan daerah-daerah kumuh di dalam tembok-tembok kotanya.Yang ada adalah “kota-kota pinggiran”.

Rencana pembangunan kota hanya terdiri dari istana-istana bangsawan, gedung-gedung pemerintah, gereja-gereja, rumah-rumah orang kaya dan orang penting, dan tempat-tempat untuk melayani kebutuhan mereka. Mereka yang tidak penting ataupun kaya, orang-orang kecil, tinggal berdesak-desakan di daerah pinggiran kota.Hal ini juga berlaku bagi mereka yang datang ke kota untuk mencari kerja. Daerah yang paling sering mereka tuju adalah Valdocco. Karena kerja amal adalah karakteristik yang paling menonjol dari kota ini dan tempat itulah yang paling membutuhkannya, ke sanalah pergi raksasa-raksasa amal kasih seperti Cottolengo dan Barolo untuk mendirikan “kota amal kasih”.

Yosef Benedict Cottolongo (1786-1842, dikanonisasikan tahun 1934) adalah pendiri institusi amal yang disebut Picola casa della Divina providenza (rumah kecil penyelenggaaan ilahi). Rumah ini mengurus lebih dari 7000 pasien. Dia dan Don Bosco mempunyai cara-cara yang berbeda untuk mencari pertolongan dari Penyelenggaraan Ilahi: Cottolengo tidak pernah meminta apapun, sedangkan Don Bosco selalu meminta segala sesuatu.

Marchioness Juliette Galletti di Barolo nee Colbert (La Barolo), seorang keturunan langsung dari politisi Perancis, Colbert, telah kehilangan beberapa saudaranya akibat pisau guillotine. Ia telah melarikan diri bersama ayah dan kakak-kakaknya untuk berlindung kepada Napoleon di Coblentz. Ketika ia bermur tiga puluh empat tahun, sebuah kunjungannya ke penjara telah mengubah jalan hidupnya. Untuk pertama kalinya ia berhubungan langsung dengan kengerian kemiskinan, kejahatan dan korupsi. Ditinggal sebagai seorang janda dan tidak mempunyai anak pada umur lima puluh tahun serta mempunyai harta yang banyak, ia sekarang membaktikan diri dan hartanya untuk orang miskin dan terlantar. Seorang wanita yang tegar, tidak terbiasa ditolak atau ditentang, pada lebih dari sati kejadian ia menemukan dirinya dalam dua karakter lain yang sama kuatnya –Cottolengo dan Don Bosco. “Mereka berdua sama saja,” keluhnya. “Mereka menolak menerima bantuanku!”

Di sanalah, Di Valdocco, Don Bosco memulai kerja amal kasihnya sendiri yang dia sebut dengan sederhana, Oratori, di mana anak-anak miskin dan terlantar di kota itu dapat bermain dan berdoa. Namun setiap minggu sore, ketike ia menutup Oratori, ia menemukan dirinya terpaksa menyuruh anak-anak itu pulang. Walaupun kebanyakan dari mereka pulang ke rumah, ia tahu bahwa ada anak-anak lain yang tidak punya rumah. Menyuruh mereka pulang pada waktu sore, ia mengaku kepada Margareta, membuatnya tidak tega karena mereka akan tidur di pinggir-pinggir jalan, di taman, di mana saja. Walaupun berpikir untuk membiarkan mereka tinggal di Oratori kedengarannya tidak masuk akal, ia merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu bagi mereka dan Margareta setuju.

Dengan rencana untuk menggunakan rumah asrama untuk hal itu, ia bertanya kepada pemiliknya berapakah harganya.

“Delapan puluh ribu.”

Karena harganya sangat mahal, ia memutuskan untuk melupakan rumah asrama dan menggunakan apa yang ia punya. Satu tahun setelah Margareta datang ke oratori, sang ibu dan anak membersihkan loteng, membuat ruangan untuk dua belas tempat tidur. Dengan inisiatifnya, Margareta melengkapi kekurangan tempat tidur dengan mengisi kantong-kantong dengan jerami, melapisinya dengan seprei dan beberapa selimut tentara. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menunggu tamu pertama mereka.

“Di sini ada dua belas rasul, Mama!” kata anaknya pada suatu malam. “Mereka datang untuk menginap malam ini. Bisakah kau menyediakan sesuatu bagi kami untuk dimakan?”

“Malam ini,” katanya kepada ibunya, “aku merasa bahwa aku telah melakukan suatu hal yang besar.”

“Aku gembira untukmu, Yohanes,” jawab Margareta, “tapi dari mana kau memperoleh kelompok anak yang aneh itu?”

Pulang agak terlambat karena ada seseorang yang sakit – ia memberitahunya – ia bertemu dengan salah satu cocche (geng anak muda) – suatu hal yang biasa masa itu. Kebanyakan dari mereka berkelahi satu sama lain. Walaupun senjataa yang biasa dipakai adalah batu, kadang-kadang perkelahian ini begitu liar sehingga polisi pun tidak berani melerainya.

Curiga bahwa mereka akan memberinya masalah, ia memutuskan untuk menunjukkan keceriaannya.

“Selamat malam, teman-temanku,” salamnya. “Bagaimana keadaan kalian?”

“Tidak begitu baik,” jawab pemimpinnya.

“Kenapa?”

“Kamu haus tetapi tidak mempunyai sesenpun untuk membeli minum. Mungkin kau mau membelinya untuk kami?”

“Kau membelikan kami minum dan kau tidak akan mendapatkan masalah.”

Walaupun nadanya mengancam, Don Bosco menjawab dengan santai “Baiklah, aku akan membelikan kalian minuman, tapi dengan suatu syarat …”

“Syarat?”

“...bahwa aku minum bersama kalian!” seru mereka. “Ada kondisi lain yang seperti itu?”

“Mungkin, tapi mari kita minum dulu.”

“Ke penginapan Alpine!” seru geng itu.

Ia menemani mereka ke tempat minum, bukan hanya untuk menghindari masalah tapi lebih-lebih untuk mencoba rencana yang pelan-pelan timbul di pikirannya.

“Isi gelas-gelas kami, bartender!” teriak pemimpinnya, setelah mereka masuk ke dalam. Ketika minuman mereka tiba, ia memerintahkan semua untuk diam. “Mari kita bersulang,” katanya, “untuk pastor terbaik di Turin: Don Bosco!”

“Terima kasih, anak-anak!” kata Don Bosco. Lalu ia juga meminta mereka diam. “Apakah kalian semua merasa senang?”

“Pasti!”

“Baiklah,” katanya. “Sekarang aku hendak meminta dari kalian sedikit bantuan.”

“Kau ingin kami memecahkan jendela-jendela?” kata pemimpinnya. “Kau ingin kami menghajar seseorang? Bilang saja!”

“Tidak, teman-temanku. Aku ingin kaliam berhenti mengucap sumpah serapah.”

“Kedengarannya aneh,” jawabnya, “tapi kami akan mencobanya. Ya kan, teman-teman?”

“Tentu!”

“Dan aku ingin kalian pergi ke Oratori minggu ini. Kita akan bergembira di sana.” Ia menghabiskan anggurnya. “Dan sekarang, mari kita pulang.”

“Pulang?” jawab mereka. “Kami tidak punya rumah.”

“Di mana kalian tidur?”

“Kadang-kadang kami menyelinap ke kandang-kandang.”

“Atau masuk ke rumah yang kosong.”

“Walaupun begitu, sekarang waktunya pulang,” jawab Don Bosco. “Kalian yang punya rumah – selamat malam dan Tuhan memberkati kalian! – Kalian yang lain mau ikut denganku?”

“Bisa rugi apa kita?” adalah jawabnya, dan walaupun terkejut dengan tawaran itu, enam orang dari mereka mengikutinya. Di tengah perjalanan ia mengajak enam orang lagi.


“Dan,” katanya, “dimulailah eksperimen yang besar!”

Walau Margareta menyadari bahwa sekarang harus terbiasa atas kejutan-kejutan dari anak-anaknya, ia merasa sedikit kesulitan menyediakan makanan untuk dua belas anak muda yang lapar. Tapi ia tidak kehabisan akal. Akhirnya mereka dapat makan dan Yohanes membawa mereka ke ruang tidur yang baru itu, berdoa dengan mereka, dan setelah memberitahukan mereka untuk tidak mengganggu para tetangga, mengucapkan selamat tidur.

Ketika Yohanes pergi, Margareta berpikir sendiri bahwa ini bukan pertama kalinya Yohanes tiba-tiba melakukan suatu hal yang ia anggap bodoh, juga bukan pertama kalinya Yohanes dipimpin oleh hatinya, bukan oleh kepalanya. Tindakan malam ini, contohnya jika sepenuhnya bodoh, pastilah keterlaluan. Apa yang seharusnya ia lakukan, bukankah lebih mudah untuk memulai dengan satu dan dua anak dulu dan kemudian menambah jumlahnya. Tapi tidak, Yohanes harus memulainya dengan dua belas anak yang kelihatannya sulit diatur. Dan kenapa dua belas? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Karena ia telah menyiapkan dua belas tempat tidur? Bagaimana kalau ia telah menyiapkan dua puluh tempat tidur?”

Keesokan paginya, Margareta mengikuti anaknya ke loteng untuk membangunkan “dua belas rasul”nya. Mereka tidak mendengar suara apapun. “Mereka pasti tidur pulas!” bisik Yohanes kepadanya. “Mungkin aku datang terlalu pagi.”

Pelan-pelan ia membuka pintu loteng, ia melongok ke dalam: ia tidak datang terlalu cepat tapi terlalu lambat. Para “rasul” telah pergi dan membawa seprei-seprei, bantal, dan selimut. Untuk beberapa saat, ia tidak dapat mempercayai matanya. Pelan-pelan air matanya mengalir dari pipinya lalu, dengan kepala tertunduk, ia menutup pintu itu.

“Apa yang kau lakukan sekarang, Yohanes?”

“Aku … aku tidak begitu yakin,” katanya dengan suara tercekik. “Mungkin aku akan mencoba lagi dan berharap agar lain kali lebih beruntung.”

Saat itu, Margareta dapat mengatakan dengan mudah kepada anaknya.

“Apa aku bilang!” jika saja ia tidak melihat air mata kekecewaan anaknya. Ia lalu berusaha menghiburnya.


Suatu sore di bulan Mei, tidak lama setelah eksperimannya yang pertama Yohanes dan ibunya sedang duduk di dekat perapian, mendengarkan suara hujan deras ketika mendengar ketukan di pintu. Sewaktu membukanya Margareta melihat seorang anak sedang berdiri di tengah-tengah hujan deras.

Ia membawanya ke dalam dengan segera, menyuruhnya berdiri dekat perapian, dan karena kelihatan ia belum makan berhari-hari, mulailah menyiapkan makan untuknya. Ketika ia selesai makan, ia menyuruh duduk di dekat perapian, hampir membungkusnya dengan jubah tentara yang besar dan memasangkan sandal yang hangat di kakinya.

“Sekarng ceritakanlah tentang dirimu,” katanya.

Ia adalah seorang anak miskin dari Valsesia, sebuah desa dekat pegunungan Alpen, yang datang ke kota untuk mencari pekerjaan, tidak menemukannya, dan setelah kehabisan uang terpaksa tinggal di pinggir jalan.

Sebelum menanyakan pertanyaan selanjutnya, sang ibu dan anaknya memandang satu sama lain. Mereka mengenang masa lalu ketika seorang anak kecil yang lain tidak mempunyai rumah dan terpaksa mencari tempat tinggal di antara orang-orang asing. Mungkin, ingatan itu ingin mereka kuburkan selama-lamanya, tetapi hal itu tidak mungkin karena setiap detiknya tertanam dalam pikiran mereka.

“Di man kau akan tidur malam ini?” tanya Margareta.

“Aku tidak tahu. Di suatu sudut jalan…” Kemudian ia mulai menangis.

“Sudah, sudah!” hibur Margareta, ia sendiri hampir menangis.

“Jika kami dapat yakin bahwa kami dapat mempercayaimu,” kata Yohanes, “kau dapat menginap di sini malam ini. Tapi anak-anak yang sebelumnya lari dengan seprei kasur kami.”

“Aku tidak pernah mencuri apapun sepanjang hidupku!” protes anak itu.

“Mari kita membiarkan menginap malam ini,” usul Margareta, “dan biarkan Penyelengaraan Ilahi mengurus hari esok.”

“Di mana kau akan menaruhnya?”

“Di dapur.”

“Dia akan mencuri panci-pancimu,” bisik Yohanes setengah bercanda

“Aku akan memastikan bahwa ia tidak.”

Setelah hal itu diputuskan mereka menyusun beberapa batu bata, lalu Margareta menaruh papan di atasnya dan sebuah kasur jerami, seprei-seprei, dan sebuh selimut. Dengan cara inilah disiapkan tempat tidur pertama di oratori.

“Ayo, pergi tidur!” perintah Margareta. “Tapi kau harus berdoa dahulu.”

“Aku tidak tahu doa-doa,” kata anak itu.

“Kalau begitu kau bisa berdoa bersama kami.”

Margareta dan Yohanes berlutut dan mengucapkan doa malam mereka, anak itu mengucapkan bagian-bagian doa yang masih ia ingat. Sebelum anak tidur, Margareta memberinya sebuah renungan saleh. Hal ini adalah Boanoite (Selamat malam) pertama yang pernah diberikan di Oratori, sebuah pemikiran sederhana yang diambil dari kejadian-kejadian hari itu untuk direnungkan sebelum tidur. Ia juga berjaga-jaga dengan mengunci pintu dapur.

Ia seharusnya tenang saja karena keesokan harinya mereka menemukan anak itu masih tertidur dan semua barang tetap di dapur. Setelah makan pagi, Yohanes membawanya ke kota, mendapatkan sebuh pekerjaan untuknya dan ia tingal di Oratori sampai musim dingin berlalu sebelum ia pulang kembali ke desanya.

Anak yang kedua segera menyusul. Yohanes baru saja kembali dari kota ketika ia bertemu dengan yang satu ini menyandarkan kepalanya ke sebuah pohon dan menangis.

“Kenapa kau menangis?” tanyanya.

“Ibuku meninggal kemarin dan mereka sudah menguburkannya. Ia begitu mencintaiku…” Setelah itu anak itu mulai menangis lagi.

“Kau tidak punya seorang pun untuk mengurusnu?”

“Tidak seorangpun. Ayahku meninggal sebelum aku sempat mengenalnya.”

“Di mana kau akan tidur malam ini?”

“Di pondok kami. Tapi tuan tanah kami telah mengambil semua perabotan untuk membayar sewa kami, lalu mengunci pondok itu. Aku sendirian, aku lapar dan aku perlu tempat untuk tidur. Apa yang akan terjadi padaku?” semua ini diucapkan sambil terisak-isak.

“Ikutilah denganku,” kata Don Bosco.

“Siapa engkau?”

“Untuk saat ini katakanlah aku ini temanmu.”

Anak itu lalu mengikutinya ke oratori.

“Ini ada seorang anak yang dikirimkan oleh Tuhan, Mama!” Yohanes berkata kepada Margareta. Uruslah dia seperti engkau mengurusi anak yang lain.

“Yohanes,” protes Margareta, “apa yang akan diberikan oleh Tuhan untuk makan malam?”

“Kita akan memberi mereka roti, kita akan memberi mereka kacang, kita akan memberi mereka apapun, yang penting kita akan memberi mereka makan.”

Ketika jumlah anak-anak yang tinggal di Oratori meningkat, Margareta mulai berharap bahwa ada lebih dari 24 jam sehari karena ada begitu banyak pekerjaan. Terlebih lagi, dengan anak-anak yang sering datang-pergi, pengaruhnya tentu saja tidak banyak. Tapi terhadap mereka yang akhirnya tinggal di oratori, ia semakin dekat dan pengaruhnya semakin efektif. Ketika ia melihat kembali pada kesan pertamanya saat baru tiba di Valdocco, ia terpaksa menyimpulkan bahwa hidup mereka memang tidak akan mudah.

Mencari cukup makanan selalu menjadi masalah pokok baginya. Sarapan pagi bukanlah masalah karena Yohanes hanya tinggal memberi anak-anak yang hendak keluar beberapa sen untuk membeli makanan. Adalah makan siang dan makan malam yang memusingkannya. Namun, ketika anak-anak itu kembali ke rumah untuk makan siang, mereka akan menemukannya berdiri memasak sop yang terbuat dari nasi, kentang, pasta, kacang-kacangan, chestnuts, tepung jagung… apapun yang dapat ia temukan untuk ditaruh kedalamnya. Pada acara yang spesial ia akan menambahkan keju, ikan kod atau sosis. Untuk makan malam, makanan utamanya lagi-lagi semangkuk sup. Memasak di Oratori pada masa-masa awal itu merupakan suatu masalah sehingga seringkali para sukarelawan dipanggil untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan anak-anak itu, mereka masih menganggap diri mereeka beruntung. Keadaan mereka jauh lebih baik saat mereka belum bertemu Don Bosco. Mereka tidak harus berkeliaran lagi di jalan-jalan, kesepian dan terlantar; mereka tidak lagi dihantui oleh kelaparan.

Menyediakan makanan untuk Yohanes mudah saja. Pada awal minggu ia menyediakan bagi Yohanes sepiring sayuran dicampur dengan potongan-potongan daging atau telur dan dia menyajikan ini untuk selama beberapa hari berturut-turut. Jika masakan ini mulai terasa hambar, Yohanes sendiri akan menambahkan setetes minyak atau cuka. Margareta tidak begitu senang dengan hal itu, tentunya, dan lebih dari sekali telah memprotes Yohanes untuk lebih memperhatikan lagi kesehatannya. Ada hari-hari saat Yohanes benar-benar lupa untuk makan.

Suatu kali, ia pulang ke rumah sambil mengeluh kepalanya pusing. “Apa kira-kira penyebabnya, ya?” tanyanya.

Mengetahui kebiasaan makannya yang buruk, Margereta bertanya, “sudahkah kau makan?”

Ia terkejut. “Jadi itu sebabnya!” serunya. “Aku lupa untuk makan siang!”

Ia menjadi begitu tidak peduli kepada makanan sehingga suatu kali di sebuah paroki, setelah mendengarkan pengakuan dosa sampai larut malam, ia pulang ke rumah dan menemukan semua orang sudah tidur. Ia pergi ke dapur dan dengan cahaya sebuah lampu kecil, mencari apakah ada makanan yang tersisa untuknya. Melihat sebuah panci di tungku, ia mencicipi isinya dan makan apa yang ia kira sejenis sup kental. Keesokan harinya ia menyadari bahwa ia telah memakan semangkuk kanji yang telah disiapkan oleh pengurus rumah untuk menggosok pakaian.

Untuk menjadi begitu tidak peduli terhadap makanan sudah cukup buruk bagi Margareta, tetapi ketika ia mengurangi waktu istirahatnya!…


Karena ia telah menulis beberapa buku yang sukses dan mulai menulis buku yang selanjutnya, untuk memperoleh waktu untuk menulis ia bersembunyi di rumah temannya atau berjaga sampai jauh malam. Ketika hal ini belum cukup, ia membuat kebiasaan berjaga sepanjang malam sekali seminggu untuk menulis. Seperti yang bisa diperkirakan, keesokan harinya ia akan kelihatan terlalu lemah dan mengantuk, bahkan ia akan tertidur sebentar di rumah seseorang, di sebuah toko, gereja, atau bahkan di meja. Untuk Margareta, bukanlah suatu pertanyaan apakah anaknya akan jatuh sakit lagi, tetapi kapan.

Setelah makan malam, anak-anak bergabung dengan mereka yang datang untuk kelas sore dan ruangan-ruangan akan diberi penerangan akan terdengar suara dari berbagai grup yang sibuk dengan pelajaran-pelajaran mereka. Ketika kelas berakhir, Margareta, dengan bantuan beberapa anak, membersihkan ruangan-ruangan itu dan mempersiapkannya untuk nanti sore.

Karena Yohanes tidak mau ada bantuan dari orang lain yang dapat mengganggu atmosfer kekeluargaan yang ia ciptakan, Margareta juga mengurus dapur, mencuci pakaian dan kain linen; memperhatikan kebersihan anak-anak, membantu merapikan tempat tidur, menyisir rambut anak-anak yang masih kecil, menyapu ruangan-ruangan dan kapel kecil, menimba air dari sumur, mengupas kacang-kacang dan kentang. Namun, harinya belum selesai karena pada waktu malam ia pergi melihat-lihat di sekitar tempat tidur, mencari baju-baju yang perlu ditambal untuk diperbaiki agar siap untuk keesokan harinya.

Pada masa-masa awal Oratori, usia rata-rata anak-anak yang tinggal sekitar delapan belas dan dua puluh tahun, tetapi setelah sistem sekolah asrama diterapkan, usianya turun menjadi dua belas dan lima belas tahun. Kelompok ini hidup dalam gaya keluarga dalam cara yang benar-benar nyata. Semua orang berusaha untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada karena mereka tahu betapa banyak mereka berutang pada usaha Margareta yang bekerja mati-matian bagi mereka dan don Bosco yang mengemis untuk mereka. Namun, di samping semua usaha ini, masa-masa ini tetaplah heroik. Kondisi mungin tidak terlalu buruk di musim semi dan panas, tetapi ketika musim dingin tiba, kondisinya berubah menjadi begitu sulit dan susah. Anak-anak “membeku” di gereja dan di ruang kelas.

14

Ratu Di Antara Para Ibu




“Kita mudah membiasakan diri terhadap kenyamanan.”

Seperti setiap orang yang dibesarkan di pedesaan, Margareta memiliki peribahasa- peribahasa, kumpulan kebijaksanaan dari orang-orang. Ketika ia sedang bekerja tidak kenal henti untuk memperbaiki baju anak-anak, beberapa anak akan berdiri di dekatnya, dengan kepala tertunduk.

“Kau adalah anak yang baik,” katanya kepada anak ini. “Apa yang terjadi padamu? Apakah kau tidak mengucapkan doa-doamu lagi?” Ia lalu menyimpulkan dengan sebuah peribahasa. “Biarlah mereka yang mau, jatuh; biarlah mereka yang mampu, bangkit.”

Ia disusul oleh seorang anak lain yang telah melakukan suatu kesalahan yang serius. Dengan kelancangan anak muda, ia juga meminta sesuatu.

“Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Margareta, berharap untuk mencegah kejadian yang sama. Tapi sebelum itu, kau harus memberitahukan kapan terakhir kali kau menerima sakramen?”

“Kemarin aku tidak punya waktu.”

“Dan hari Sabtu?”

“Aku sedang tidak siap.”

“Tentu! Tentu!” balas Margareta. “Seorang pekerja yang malas selalu beralasan tidak menemukan alat yang tepat.”

Anak yang ketiga datang sambil menyeka air mata. Hatinya terluka oleh apa yang dikatakan seorang temannya kepadanya. Margareta memberinya beberapa butir anggur untuk dimakan sambil menghiburnya dengan peribahasa yang lain. “Tidak ada satu tempatpun, baik di sini ataupun di sebelah sisi sungai, yang bebas dari masalah.”

Tidak semua anak yang ia koreksi menerimanya dengan rendah hati. Salah seorang anak yang bari ia koreksi telah menundukkan kepalanya sepanjang saat. Tapi setelah Margareta pegi, ia mencibir kepadanya.

Don Bosco secara kebetulan menyaksikan semua ini dari jendela, tapi ia pura-pura tidak melihatnya. Margareta menghampirinya, yakin bahwa ia telah berhasil sekali lagi. “Mereka sebenarnya anak-anak baik,” katanya. “Yang mereka perlukan hanyalah sedikit nasihat keibuan.”

Menyadari bahwa hal-hal seperti ini biasa terjadi di semua keluarga, Don Bosco tidak mengatakan apa-apa tetapi tersenyum kepadanya seperti setuju sepenuhnya.

Tidak pernah meninggikan suaranya, ia tetap sangat berpengaruh atas anak-anak, bergantung pada dua elemen yang dipercayai oleh anaknya sendiri – akal budi dan agama. Jika ia menunjukkan perhatian lebih, hal itu ditujukan kepada anak-anak yang nakal, yang keras kepala atau yang cenderung membuat masalah. Kepada anak yang malas belajar, ia akan berkata, “Don Bosco berkeringat darah supaya kalian memiliki kesempatan dalam hidup ini dan kau membuangnya!” Kepada seorang anak lain yang cepat naik darah dan berkelahi, “Hanya binatang yang berkelakuan seperti dirimu! Tidak bisakah kau melihat bahwa teman-temanmu adalah saudara-saudaramu?” Kepada seorang yang menolak untuk bekerja, ia menunjuk ke Rondo, tempat di mana mereka menggantung kriminal. “Di sanalah anak-anak sepertimu akan berakhir,” ia memperingatkan. Namun ketika anak itu mulai menangis, ia segera mengubah cara perkataannya, menghiburnya dan menjelaskan bahwa ia akan lebih gembira jika ia dapat berbagi beban menjalankan Oratori.

Suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak yang terlalu malu untuk pergi dan makan bersama dengan yang lain karena suatu perbuatan, bersembunyi di sebuah sudut ruangan. “Jadi beginilah cara kau berterimakasih kepada Don Bosco atas pertolongannya kepadamu!” ia mengomel. Tapi itulah akhir omelannya. “Ikutlah denganku.” Ia membawa anak itu ke dapur, menyiapkan snack untuknya, sambil memberitahunya untuk tidak mengatakan hal itu kepada yang lain, “Mereka mungkin berpikir bahwa aku mudah ditipu. Dan aku tidak ingin mereka berpikir bahwa aku berlawanan dengan Don Bosco.”

Kadang-kadang seorang anak yang harus bekerja lembur tidak bisa pulang untuk makan malam tepat waktu. Tetapi, tidak peduli betapa terlambatnya dia, Margareta selalu menunggunya pulang dan tidak akan pergi tidur sampai ia yakin bahwa anak itu sudah makan.

Kadang-kadang juga, walaupun ia sulit dibohongi, kebaikan hatinya akan membuatnya jatuh ke dalam perangkap anak-anak itu.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Margareta kepada seorang anak yang masuk ke dapurnya.

“Bisakah aku mendapatkan satu rotimu yang enak itu?” Anak itu meminta dengan cara yang sulit ditolak.

“Bukankah kau sudah mendapatkan saat makan malam?”

“Ya, tapi aku masih merasa – oh! – begitu lapar!”

“Anak yang malang!” ia bersimpati. “Ambilah ini.” Ia memberinya satu roti. “Jangan beritahukan anak-anak yang lain,” ia memperingatkan. “Aku tidak ingin semua anak datang ke sini meminta tambahan roti!”

“Aku tidak akan memberitahukan siapapun,” anak itu meyakinkannya.

Namun, baru saja ia sampai ke lapangan bermain, teman-temanya ingin tahu darimana ia mendapatkan roti itu.

“Mama Margareta.”

Anak-anak itu segera membentuk barisan yang panjang menuju dapur dan dengan segera Margareta membagikan beberapa gulungan roti.

Pada hari minggu berikutnya, ketika anak yang sama pergi ke dapur dengan permintaan yang sama, Margareta memarahinya. “Minggu lalu ketika aku memberikan kau roti, kau berjanji untuk tidak memberitahukan siapapun,” omelnya. Tetapi baru saja kau sampai di lapangan semua orang yang sudah mengetahuinya, dan dapurku dipenuhi oleh anak-anak yang meminta tambahan roti. Oleh karena itu, kau tidak akan mendapatkan tambahan roti lagi dariku.”

“Tapi, Mama Margareta,” anak itu memohon, “Mereka bertanya kepadaku darimana aku mendapat roti itu dan aku terpaksa memberitahu mereka. Apakah engkau mau aku berbohong?”

“Tidak, aku kira tidak,” Margareta menyetujui hal itu dengan ragu-ragu. “Kita harus selalu berkata jujur.” Lalu ia memberi anak itu apa yang dimintanya.

Dengan anak-anak yang lebih tua ia memakai pendekatan yang berbeda. Sambil memberi mereka penghargaan yang sepatutnya mereka dapatkan, pada saat yang sama ia mengingatkan mereka bahwa lebih banyak hal diharapkan dari mereka. Namun, ketika salah seorang dari mereka memakai jubah religius, perlakuannya kepada anak itu berubah total. Mulai dari saat itu ia menahan diri untuk menegurnya, memberinya perintah atau bahkan menasihatinya. Ia merasa bahwa ia dapat mengganggu rencana khusus anaknya – sesuatu yang tidak akan ia lakukan.

Hidup tidak pernah membosankan bagi Margareta. Di samping melakukan pekarjaan yang rutin, ia harus menghadapi kebiasaan anaknya membawa anak “spesial” yang ia temukan sedang berkeliaran di jalan. Yohanes kelihatan tidak begitu peduli apakah ada cukup kamar untuk mereka, atau bahkan cukup makanan. Walaupun ia sering merasa ingin memprotes, setelah ia sendiri mendengar cerita ditelantarkan anak itu atau cerita bahwa ia diperlakukan secara tidak baik oleh ynag lain, ia akan mengalah dan mulai mengurus anak itu seolah-olah ia anaknya sendiri.

Ia akan benar-benar memperhatikan anak-anak yang karena suatu sebab menjadi sakit atau sedih. Dengan mereka yang sedih ia mencoba segala cara untuk membuat mereka riang kembali; ia selalu memperhatikan yang sakit. Ia paling memperhatikan mereka yang sakit kepala atau sakit gigi, dan anak-anak itu merasa bebas untuk meminta tolong padanya siang atau malam. Jika ia mendengar seorang anak sedang sakit ia akan bergegas menemuinya dan kepada anak-anak yang harus beristirahat di tempat tidur ia selalu menemui mereka, menyediakan bagi mereka obat-obat dan makanan yang terbaik yang mampu ia berikan. Jika ia bahkan akan berjaga sepanjang malam di samping tempat tidur anak itu. Suatu ketika, seorang anak menjadi begitu sakit sehingga dokter menyuruhnya dipindahkan ke rumah sakit. Sewaktu mereka membawa anak itu dengan usungan, Margareta hanya memandanginya dengan diam. Tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah, ia menangis.

Ketika usaha Yohanes yang sukses mulai diketahui oleh para pendiri kota, seorang teman mengajukan petisi untuk memberikan subsidi bagi oratori. Untuk menilai kelayakan permohonan itu, mereka menunjuk tiga senator untuk mengunjungi oratori dan melaporkan temuan mereka.

Setelah menunjukan kepada mereka berbagai bagian oratori dan sistem kerjanya, Don Bosco membawa mereka ke dapur dimana mereka menemukan Margareta, dengan sendok sup yang besar di tangannya, sedang meyiapkan makan malam. Count Frederick Sclopis membuka percakapan dengan bertanya siapakah kokinya.

“Ini adalah ibuku” jawab Don Bosco, “dan ibu dari anak-anakku.”

“Kau merangkap sebagai koki dan ibu?” tanya Count itu.

“Untuk memproleh tempat di surga,” Margareta menjawab, “kita harus berusaha melakukan segala sesuatu.”

“Berapa hidangan yang kau berikan pada anak-anakmu?”

“Hidangan? Situasi hanya mengijinkan kami menyediakan roti dan sup.”

“Lalu berapa hidangan yang kau berikan kepada Don Bosco?”

“Hanya satu.”

“Hanya satu? Tapi itu terlalu sedikit! Mungkin kau membuatnya sangat enak?”

“Aku membuatnya sangat enak sehingga ia memakannya dari pagi sampai malam, dari hari Minggu sampai hari Kamis!”

Ketika suara tawa sudah reda, Count itu bertanya lagi, “Tetapi kenapa bukan dari Minggu sampai Minggu?”

“Karena hari Jumat dan Sabtu merupakan hari puasa baginya.”

“Hari puasa?” seru yang lain. “Tetapi…”

“Metode memasakmu,” Count itu berkata, “walaupun sedikit kuno, tetapi benar-benar ekonomis.”

“Apakah ada orang yang membantumu memasak?” tanya senator yang kedua.

“Ya, ada. Tapi ia sedang sibuk sekarang.”

“Dan siapakah dia jika aku boleh bertanya?”

“Itulah dia.” Jawab Margareta, sambil mengarahkan sendok supnya kearah anaknya. Ia mulai tertawa karena situasi yang aneh itu dan yang lainnya ikut tertawa.

“Selamat Don Bosco!” seru Count Sclopis. “Aku tahu bahwa kau adalah seorang pendidik dan penulis buku, tetapi ini adalah pertama kalinya aku mendengar bahwa kau adalah seorang ahli masak!”

Pada saat itu, seorang anak datang mengirimkan pesan kepada Don Bosco.

Sclopis memanggilnya, menanyakan namanya, darimana ia datang, dan apa yang ia kerjakan.

“Apakah orangtuamu masih hidup?” tanyanya.

“Ayahku telah meninggal.”

“Dan ibumu?”

Muka anak itu memerah, lalu ia menundukkan kepalanya.

“Apakah ia sudah meninggal juga?”

“Ia ada di penjara!” katanya, lalu mulai menangis. Untuk beberapa saat tidak ada orang yang berniat berbicara.

“Aku minta maaf, anakku,” kata Sclopis. “Tapi beritahukan aku di mana kau akan tidur malam ini?”

“Sampai saat ini aku tidur di tempat bosku, tetapi Don Bosco memberikan sebuh tempat di sini dan di sinilah aku akan tidur malam ini.”

Sclopis menoleh dalam keterkejutannya kepada Don Bosco. “Apakah selain menjalankan Oratori, kau juga rumah bagi anak-anak jalanan?”

“Itulah yang diperlukan. Saat ini tiga puluh anak tinggal bersamaku. Mereka bekerja sewaktu siang dan kembali pada waktu malam.”

“Atas nama diriku sendiri dan teman-temanku,” Sclopis berkata, “aku harus memberitahumu bahwa kami meninggalkan tempat ini dengan hati puas…sebagai warga dan senator, kami manghargai kerja dan usahamu, dan kami mendoakan sukses bagimu!”

Hasil dari kunjungan itu adalah subsidi yang cukup besar bagi Oratori setiap tahunnya.


Hidup yang dijalani oleh Margareta di Oratori untuk dua tahun terakhir sangatlah berbeda dari hidupnya di Becchi selama lima dekade. Walaupun temperamennya sangat cocok untuk menangani jenis anak yang datang ke Oratori – ia pintar, berani, sederhana dan terbiasa menghadapi cara-cara yang kasar – mereka sering menguji kesabarannya. Anak-anak yang diterima oleh anaknya, bagaimanapun mereka nantinya berkembang, ketika mereka baru tiba di Oratori adalah anak-anak yang berkelakuan buruk dan tidak menarik. Begitu buruknya penampilan mereka sehingga beberapa bos bukan saja tidak mau mempekerjakan mereka, mereka juga tidak membiarkan anak-anak itu menemui mereka. Tingkah laku dan cara berbicara mereka, adalah dari lingkungan kumuh. Walau mereka kadang-kadang berbuat sesuatu tanpa berpikir, mulut mereka yang kadang-kadang lancang, bahkan kurangnya sikap hormat mereka pada saat sedang bergembira, Margareta mencintai mereka.

Tetapi ada suatu kejadian dimana ia pun merasa bahwa mereka sudah berbuat terlalu jauh.


Ketika Raja Charles Albert pada tahun 1848 mengemukakan perang melawan Austria, seluruh Piedmont bangkit mendukungnya dan Turin menjadi pusat dari usaha perang. Walaupun Don Bosco berusaha keras untuk menghalangi efek perang dari anak-anaknya, mereka tetap terpengaruh oleh semangat perang. Don Bosco mencari cara untuk menghilangkan efek-efek buruknya dan menemukannya dengan cara membuat permainan perang-perangan di oratori. Ia dapat melakukan hal ini karena di antara penolong-penolongnya ada Yosef Brosio, seorang bekas tentara perang kemerdekaan. Brosio membentuk anak-anak menjadi grup-grup dan melatih yang terbaik di antara mereka sebagai perwira. Dari pemerintah daerah ia memperoleh senapan-senapan palsu, menambahkan pedang-pedang kayu dan meminjamkan terompetnya kepada seorang anak untuk meniupkan panggilan-panggilan perang. Lalu dari saat itu tentara-tentaranya menyajikan suatu perang palsu yang begitu seru sehingga membantu anak-anak itu melepaskan pikiran mereka dari hal-hal serius yang terjadi di luar oratori.

Di dekat lapangan tempat anak-anak itu bermain perang-perangan, Margareta, setelah menghabiskan banyak waktu dan perhatian, telah berhasil membuat taman kecil sayur-sayuran dimana ia menanam brokoli, tauge, bawang, peterseli, wortel, mint dan tanaman-tanaman lain. Taman kecil di dapur ini adalah kebanggaan dan kesenangannya dan untuk melindunginya, ia telah mengelilinginya dengan pagar.


Pada suatu kali, anak-anak itu bermain dengan semangat dan antusiasme yang berlebihan. Anak-anak ini terus mendesak musuhnya ke belakang, sampai ke ujung lapangan bermain, melewati taman di dapur dan terus lagi. Di sini mereka berhenti. “Kita menang!” seru mereka. Setelah teriakan-teriakan itu reda barulah anak-anak itu menyadari apa yang telah terjadi. Tidak ada satu tanaman atau sayurpun yang lolos akibat injakan kaki mereka dan taman Margareta – hasil perhatian selama berbulan-bulan – hancur. Hanya setelah semangat bermain mereka turun barulah anak-anakitu menyadari besarnya kesalahan mereka. Setelah berbulan-bulan kerja keras tidak ada yang tersisa tanaman itu, tidak juga sehelai daun untuk memberi makan salah satu kelinci Margareta.

Ketika Margareta melihat apa yang telah diperbuat anak-anak itu kepada tamannya, ia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Tidak seorangpun tahu apa yang ia pikirkan atau apa yang ingin ia katakan pada saat itu, tapi rahangnya mengeras dan matanya berkaca-kaca. Ada saat dimana Yohanes tampak tidak mempunyai kontrol apapun kepada anak-anaknya, saat dimana Yohanes tampak tidak menyadari, atau peduli atas apa yang harus Margareta hadapi, saat dimana….

Pikirannya terganggu oleh kedatangan anaknya yang datang dengan segera ke sampingnya. Ia tidak perlu memberitahukan Yohanes apa yang ia rasakan karena Yohanes dapat membaca tanda-tanda dari wajahnya dan tahu bahwa ia bekerja di bawah tekanan yang berat.

“Mama yang malang” hibur Yohanes. “Aku benar-benar kasihan padamu. Tapi aku yakin bahwa anak-anak itu tidak bermaksud merusak tamanmu. Lagi pula mereka masih anak-anak.”

Namun, Margareta tidak dapat berbicara. Ia malah berbalik untuk menyembunyikan air matanya.


Bab 15

Saat Bahagia dan Sedih



Setiap tahun, Yohanes biasanya tinggal beberapa hari di Becchi, dan untuk membuat misa ia harus berjalan kaki ke Capriglio atau Murialdo, sampai suatu hari ia mendapat sebuah inspirasi. “Kenapa kita tidak memuat sebuah kapel kecil di Becchi?” Setelah mendapatkan izin-izin yang diperlukan, ia membujuk Yosef untuk membuat sebuah kamar di lantai dasar rumahnya menjadi sebuah kapel, dan membuat sebuah pintu di belakangnya. Ketika selesai dibangun, kapel itu menjadi monumen pertamanya untuk bunda kita, dan ia mendedikasikannya dengan nama Bunda Rosario. Untuk membuat acara itu sekhidmat mungkin, ia merencanakan sebuah acara jalan-jalan, untuk enam belas anak-anaknya yang ia nilai paling baik.

Margareta memutuskan untuk pergi dengan mereka. Walaupun ia tidak menunjukkannya, ia juga sangat menantikan hal itu, sama halnya seperti anak-anak itu. Jika bagi mereka acara jalan-jalan itu memberi mereka sedikit insiprasi dan hiburan, untuk Margareta, hal itu berarti sebuah perjalanan yang akan membawanya kembali ke Becchi yang dicintainya, yang setelah ia tinggalkan selama dua tahun ia akan bertemu lagi dengan kedua anaknya, istri mereka, dan kesebelas cucunya. Walaupun ia sekarang berusaha enam puluh tahun, perjalanan sepanjang 23 kilometer tidak membuatnya berpikir dua kali.

Di pagi hari mereka berangkat, Margareta, dengan keranjang di tangannya, sangat senang dan tidak kuatir seperti juga anak-anak yang lain. Jika ada satu hal yang ia rindukan selama ia tinggal di Valdocco, hal itu adalah berjalan-jalan di desa melewati bukit-bukit, yang merupakan hobinya. Setelah mereka melewati batas kota, ia memimpin grup itu dan mengundang anak-anak itu berdoa rosario.

Margreta benar-benar memberi tempat utama, bagi dua kebiasaan ini – Doa Malaikat Tuhan, dan rosario. Untuk mengetahui besarnya keterikatan Don Bosco dengan Rosario, yang telah ditanamkan oleh Margareta, seseorang hnaya perlu mengingat sebuah kunjungan dari Marquis Robert’Azeglio ke Oratori Don Bosco pada tahun yang sama. Marquis itu seorang tokoh politik yang kuat pada saat itu, benar-benar berhasrat untuk membantu Don Bosco, dan institusinya yang sukses. Suatu hari ia mengunjungi Oratori dan Don Bosco mengantarnya berkeliling, menerangkan kepadanya, rencananya untuk masa depan. Marquis itu benar-benar terkesan, memberi beberapa saran yang membantu, dan mengakhirinya dengan mengakui bahwa ia menyetujui semua hal dengan satu pengecualian. Ia mengatakan bahwa pengulangan doa-doa panjang adalah waktu yang disia-siakan, khususnya doa rosario. Ia menyatakan kepada Don Bosco bahwa Rosario itu kuno, dan praktiknya harus dihentikan.

“Praktik doa ini,” Don Bosco berkata, “sangat berarti bagiku. Aku akan berani berkata bahwa seluruh kegiatanku didasarkan pada hal ini. Aku tidak akan menolak melepaskan praktik-praktik lain, tapi tidak untuk yang satu ini. Bahkan jika suatu saat aku harus memilih, maka aku akan melepaskan persahabatan kita yang berharga ini, daripada melepaskan praktik rosario.

Reaksi Don Bosco ini begitu tidak berkenan di hati Marquis, sehingga ia tidak pernah lagi berurusan dengan Don Bosco.

Setelah mereka berdoa Rosario, Margareta dan Yohanes bergantian memeriahkan perjalanan dengan lagu-lagu dan hymne-hymne, beberapa diantaranya dibuat oleh Yohanes sendiri, dan grup ini berjalan terus, bernyanyi, tertawa, dan menemukan hiburan-hiburan yang tak ada habis-habisnya dari kejadian-kejadian kecil yang mereka temukan di jalan.

Dengan segera, pemandangan dan suara, dan terlebih lagi bau udara kota, menghilang. Di bawah langit yang tak berawan, yang merupakan hal tak biasa pada musim itu, mereka melihat petani-petani sedang memanen, mendengarkan suara kambing, domba, sapi dan ayam, begitu baru bagi telinga mereka; dan menghirup udara bulan Oktober yang bersih, yang membawa bau jerami, apel, dan bahkan anggur. Margareta menghirup udara dalam-dalam, seperti hendak menyimpan udara itu selama-lamanya di paru-parunya .

Mereka satu kali berhenti di sisi jalan untuk berisirahat, dan makan sekali lagi di Chieri, di mana seorang teman Yohanes menawarkan keramahannya. Chieri adalah sebuah tempat yang membangkitkan kenangan. Margareta mengingat hari-hari di mana ia berjalan tiap Minggu ke seminari Yohanes dengan terigu, kacang-kacang, atau makanan-makanan untuk membuat Yohanes tetap hidup, hal yang benar-benar berat baginya, tapi telah memberi semacam kepuasan yang hanya dapat diperoleh seorang ibu, bila mengingat anaknya sukses disebabkan oleh karena hal itu. Ia melihatnya sekarang bahwa hal itu memang pantas dilakukan, bahwa semua yang telah ia lakukan bagi Yohanes tidaklah sia-sia.

Sewaktu meninggalkan Chieri dan menuju ke timur, matahari dan angin terasa di punggung mereka, dan pikiran bahwa mereka akan bersenang-senang, membuat semuanya hampir lebih ringan. Tapi percakapan dan nyanyian mereka berkurang akibat jarak yang telah mereka tempuh, berjalan mendaki begitu banyak bukit telah membuat mereka lelah, dan mereka membutuhkan Margareta dan Yohanes untuk menyemangati mereka agar mereka terus bergerak sampai mereka melihat pemandangan yang membuat detak jantung mereka bergerak lebih cepat: Becchi! Laki-laki di depan segera berlari, dan mereka bertemu di tengah perjalanan dengan anak laki-laki dan perempuan, anak Yosef yang tertua, dan Philomena, anak Antonius yang tertua. Mereka berdua segera bergegas memeluk Margareta, mengambil keranjangnya, dan menawarkan untuk membantunya mendaki bukit itu. Ia menolak dengan sopan.

“Apa kalian berpikir bahwa aku seorang wanita tua?” katanya. Di puncak bukit, ia bertemu dengan keluarga Yosef dan Antonius, istri-istri mereka dengan bayi-bayi di tangan mereka, dan sembilan anak lainnya yang berbaris. Namun, dari sambutan itu, yang paling berkesan baginya adalah dari Antonius. Mereka berpelukan cukup lama, dan mengharukan. Kemudian ia bertanya tentang anak-anak. Apakah mereka sehat-sehat? Apakah mereka patuh? Apakah mereka melaksanakan kewajiban agama mereka?

Setelah mereka selesai bertanya, Margareta yang gembira yang diikuti oleh cucunya, diajak masuk ke rumah di mana ia tinggal begitu lama. Sementara itu, Yosef telah mengurus tempat untuk beristirahat, dan mengurus makanan bagi grup itu. Karena ia tidak mampu menyediakan makanan bagi semua orang selama dua minggu, ia tidak ragu-ragu pergi ke tetangganya, kali ini bukan untuk adik-adiknya, tetapi untuk anak-anak adiknya.

Ini adalah yang pertama dari banyak perjalanan yang diatur oleh Yohanes setiap tahun untuk merayakan pesta Bunda Rosario, dan tiap tahun grup ini bertambah dalam jumlah, lingkup, dam kekhidmatan. Grup ini memberinya kesempatan untuk menyuntikkan semangat kegembiraan kepada agama yang masih dipengaruhi oleh Jansenisme, dan yang lebih penting lagi, untuk kerjanya, untuk mengumpulkan anak-anak yang terbaik dari paroki yamg ia kunjungi. Lewat perjalanan seperti inilah ia bertemu dengan anak-anak seperti Dominikus Savio (dikanonisasi tahun 1954), dan Yohanes Cagliero (yang nantinya menjadi kardinal). Margareta mungkin adalah seseorang yang pertama melihat kualitas istimewa dari Dominikus Savio, dan memberitahukan hal ini kepada anaknya. Di lain pihak, ia pernah mengancam untuk memukulkan sapunya sampai bengkok ke punggung Cagliero, jika ia tidak berhenti berlatih memainkan piano kecil yang dibelikan Don Bosco baginya. Cagliero nantinya akan menjadi musikus yang terkenal.

Bagi Margareta, perjalanan ini memberikannya kesempatan untuk memperbaharui hubungannya dengan kedua anaknya, dan anak istri mereka, para tetangga yang ia cintai, dan tempat yang ia masih sebut rumah.


Beruntung bahwa Margareta mengunjungi Becchi tahun itu, karena pada tahun 1849, hatinya tercabik oleh kesedihan, oleh kematian yang tiba-tiba dan tak terduga dari apa yang terlihat sebagai penyakit ringan pada Antonius. Ia meninggal pada usia empat puluh satu tahun, dan meninggalkan seorang istri, dan enam orang anak.

Ketika ia melihat ke belakang pada kehidupan Antonius, ia mengingat betapa tak bahagianya dia pada awal masa mudanya. Sewaktu berumur tiga tahun, dia kehilangan ibunya, dan terlalu lama tidak mendapatkan perhatian seorang ibu. Ketika Margareta pindah ke rumah itu, dia kehilangan tempat istimewanya, dan ketika dua anak lain lahir, dia kehilangan, seperti yamg dilihatnya, dua pertiga harta warisannya. Akhirnya, dengan kematian ayah, dan neneknya, ia kehilangan anggota terakhir dari keluarganya.

Margareta sering merenungkan keteguhan Antonius, agar Yohanes terus “mencangkul seperti kita semua”. Ia telah menjadi apapun kecuali anak yang bodoh, dan telah belajar membaca, dan menulis – sesuatu yang tidak didapatkan Yosef. Apakah ia merasa bahwa Yohanes telah mendapatkan apa yang diinginkkannya, tetapi ia takut untuk memintanya?- atau apakah tanah pertanian adalah jaminan satu-satunya bagi orang macam mereka? Apapun alasannya, ketika ia bertambah tua, ia menjadi lebih baik, dan mereka menjadi dekat satu sama lain. Ia telah menjadi seorang laki-laki yang dihormati, sering dicari, bukan hanya untuk nasihat, tetapi juga untuk pembawaannya yang riang.

Hal yang paling menghiburnya, pada saat yang menyedihkan itu, adalah pikiran, bahwa kesabaran, pengertian dan ketekunannya, tapi terlebih lagi cintanya, akhirnya memenangkan hati Antonius. Ketika Margareta pindah ke Oratori, ia sering mengunjunginya, dan menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan masalahnya kepada Margareta. Jika ia memerlukan bukti lain, selain kunjungan-kunjungan itu, ia mempunyai fakta bahwa Antonius, tidak lagi menyebutnya “ibu tiri”, tetapi memanggilnya dengan gelar yang indah: “ibu”.


Walaupun setiap orang di Oratori miskin, tidak ada seorang pun yang mencintai kemiskinan lebih dari Margareta, dan kemiskinan hampir membuat “panggilannya” terperosok. Hal ini terjadi ketika semuanya sedang kacau.

Ini adalah saat dalam hidup anaknya ketika ia begitu sibuk. Ia terus menerus dipanggil untuk berkhotbah dan terus menerus mengemis untuk membiayai Oratori di Valdocco dan dua oratori lainnya yang telah ia buka di daerah-daerah yang lebih miskin lagi di kota itu. Ia juga sedang menulis sebuah buku dan supaya dapat menyelesaikannya, ia biasanya pergi ke rumah Yosef Brosio atau ke Institut Eklesiastikal, meninggalkan Margareta untuk mengurus segala sesuatunya. Hal-hal menjadi begitu kacau sehingga ketika Pastor Zoia datang untuk menawarkan bantuannya, setelah ia melihat apa yang terjadi, dengan segera memutuskan bahwa ia tidak sanggup menghadapi begitu banyak kekacauan dan pergi.

Hal ini berarti, selain harus mengurus lebih dari lima puluh anak asrama, Margareta juga harus mengurusi beberapa ratus anak Oratori, tidak seorang pun dari mereka dikenal sebagai anak yang disiplin. Di atas semua ini, Margareta, yang seluruh hidupnya dikelilingi kemiskinan, yang tahu bahwa Yohanes mengemis untuk dapat menghidupi begitu banyak anak yang tidak punya rumah, dapat melihat bahwa anak-anak itu kurang rasa terima kasih – serpihan roti tercecer di lapangan bermain, pakaian-pakaian sobek, ditinggal dengan ceroboh atau dibuang … Ia juga menyaksikan pencurian-pencurian, penipuan-penipuan, dan aksi pengrusakan yang dilakukan untuk membalas seseorang yang mereka anggap menghina mereka, atau bahkan untuk merusak hasil kerja anaknya.

Sebagian dari masalahnya adalah bahwa walaupun hal-hal ini terjadi, anaknya kelihatan tidak terlalu peduli. Ketika, contohnya, ia menemukan bahwa seorang anak menahan gajinya dan ia memberitahukan hal itu kepada anaknya, apa yang Yohanes lakukan? Tidak ada.

“Biarkan saja,” katanya. “Jika ia tahu bahwa aku menyadari bahwa ia telah berbohong, ia tidak akan pernah mau mendekatiku lagi.”

Kejadian ini tetaplah merupakan pengalaman yang mengganjal hati bagi seseorang yang berasal dari rumah yang selalu tertib. Lebih-lebih lagi, pada hari yang khusus ini semuanya tampak membebaninya sampai pada titik ia merasa tidak dapat menanggungnya lagi. Hal-hal itu begitu membebani sehingga ia merasa bahwa ia harus membuka hatinya kepada anaknya.

“Aku tidak dapat menanggung beban ini lebih lama lagi,” katanya. “Anak-anak ini begitu nakal! Kau terus memberitahuku untuk sabar, bahwa mereka hanya anak-anak. Tapi bagaimana aku bisa sabar kalau mereka tidak mau bekerja sama? Jika mereka tidak menghargai apa yang aku lakukan demi mereka? Ketika mereka bahkan menentangku? Mereka sudah menghancurkan tamanku, dan kemarin mereka menjatuhkan semua pakaian yang aku jemur. Mereka pulang dengan pakaian sobek, atau tanpa kaos kaki atau sapu tangan yang telah aku belikan untuk mereka. Mereka membawa panci-panciku untuk bermain-main lalu meninggalkannya di sembarang tempat sehingga aku harus mencarinya berjam-jam … Aku tidak dapat menyembunyikan hal ini darimu Yohanes, aku sudah muak. Aku tidak dapat menanggungnya lagi. Biarkan aku pulang ke rumah di mana aku dapat hidup dengan tenang dan berada di antara orang-orang yang setidaknya menghargai apa yang aku lakukan bagi mereka.”

Setelah ia selesai berbicara, ia mengakhirinya dengan melepaskan celemek kerjanya, dan sebagai tanda penolakan, menjatuhkannya ke atas meja.

Untuk berkata bahwa Yohanes terkejut tidaklah tepat. Ia sedang melihat suatu kejadian yang tidak pernah ia bayangkan. Ibunya sendiri hendak berhenti! Apakah ini wanita yang telah melatihnya sewaktu kecil untuk bertahan terhadap segala hal? – terhadap segala kemunduran? – terhadap segala kesulitan? – terhadap segala kekecewaan? – yang di depan kemalangan telah menunjukkan kepadanya bagaimana dapat melanjutkan? Pertama-tama, hal ini kelihatannya tidak mungkin, tetapi refleksi yang singkat menunjukkan bahwa ia seharusnya tidak begitu terkejut.

Ada lebih dari satu alasan yang baik atas reaksi ibunya. Sebagai awalnya, ibunya benar-benar kelelahan. Hari-harinya dimulai pagi-pagi sekali, mengurus anak-anak yang harus pergi bekerja, lalu dilanjutkan dengan tugas-tugas rutin setiap ibu – tapi bukan hanya untuk dua atau tiga anak tapi begitu banyak anak yang harus diurus. Lalu dilanjutkan dengan persiapan untuk makan siang, lalu membersihkan lagi … Hal-hal itu terus berlanjut sampai ia mengakhiri hari dengan kelelahan. Namun, akhir dari hari itu bukan berarti akhir dari pekerjaannya. Ketika anak-anak tidur, ia akan berkeliling tempat tidur memeriksa pakaian-pakaian mereka untuk mencari apakah ada yang perlu diperbaiki, dan dengan cahaya redup dari lampu minyak akan menjahit pakaian-pakaian itu sampai larut malam.

Walaupun ini bukan pertama kalinya anak-anak itu menguji kesabarannya, dan ia juga dikenal sebagai wanita yang sabar, namun, pada setiap kesempatan Yohanes telah berhasil menenangkan perasaan ibunya. Tapi kali ini, anak-anak itu kelihatannya telah berbuat terlalu jauh. Kali ini mereka telah melewati batas.

Untuk waktu yang lama Yohanes tidak mengatakan apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Semua keluhan ibunya memang benar. Anak-anak itu berharap terlalu banyak dari Yohanes dan Margareta yang telah bekerja sangat keras demi mereka; mereka dapat tidak peduli atas setiap tindakan kebaikan. Ya, mereka bahkan dapat bertindak kejam pada penderma mereka.

“ Kau memang benar, mama,” katanya. “Mereka seharusnya tidak mengharapkan begitu banyak jika mereka membalasnya hanya sedikit. Mereka seharusnya … mereka seharusnya … “ Untuk beberapa saat ia ragu-ragu, menebak bagaimanakan ibunya akan bereaksi. “… mereka semua seharusnya suci seperti malaikat, tapi mereka bukan malaikat! Karena jika mereka semua malaikat,” ia menambahkan pelan-pelan, “mereka tidak akan membutuhkan Oratori, atau aku, atau bahkan engkau. Apapun yang telah terjadi, apa yang benar-benar penting adalah orang-orang seperti engkau dan aku dapat membantu menyelamatkan jiwa-jiwa mereka. Tidakkah engkau setuju?”

Margareta tidak berkata sepatah kata pun. Ekspresi wajahnya tetap keras selagi ia menatap ke arah meja.

Selama beberapa saat Yohanes terdiam, lalu ia mulai berbicara lagi dan kali ini ia hanya berkata, “Mama.” Tapa sepatah kata lagi, ia menaikkan arah pandangnya kepada figur yang dipaku di salib yang tergantung di dinding.

Kemudian Margareta juga mengarahkan pandangannya ke salib Kristus. Lalu, mereka berdua diam. Keheningan ini cukup untuk mengingatkannya tentang begitu banyak hal. Tentang, contohnya, bagaimana anaknya berkurban begitu banyak demi anak-anak itu – untuk mereka semuanya, yang baik dan yang nakal tanpa pengecualian; tentang bagaimana Yohanes bertahan terhadap kemunduran-kemunduran yang dialaminya, kekecewaan-kekecewaan, dan bahkan penghinaan-penghinaan. Ia mengingat bagaimana pada awal kerja mereka, ia pertama-tama enggan karena penampilan, cara berbicara dan tingkah laku mereka … tapi ia juga mengingat bahwa banyak dari anak-anak itu telah tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang penuh dengan pengharapan, menjadi pemuda-pemuda yang baik, jujur dan bahkan kudus. Dan untuk anak-anak yang kelihatannya tidak mempunyai harapan … Yohanes memang benar. Jika anaknya, dirinya dan orang-orang seperti mereka tidak mengurus anak-anak muda yang malang ini, siapa yang akan melakukannya?

Sesudah berpikir beberapa saat, ia memutuskan untuk tidak pernah lagi menjadi putus asa karena kurangnya pengertian, kerja sama, bahkan kekurang ajaran mereka, karena ia tidak akan melupakan bahwaa mereka bukanlah anak-anak biasa tapi anak-anak yang perlu perhatian khusus. Ia tidak pernah akan melupakan bahwa bekerja untuk mereka juga akan menghasilkan jauh lebih banyak kebaikan.

Ia juga tidak akan pernah membiarkan dirinya berpikir tentang betapa mudahnya ia dapat kembali ke Becchi di mana sambutan yang hangat dan hidup yang nyaman menunggunya di sana. Ia juga tidak akan lagi membanding-bandingkan antara pegunungan Alpen yang tampk berkilat karena matahari, atau ladang yang penuh dengan buah-buahan, atau bukit yang ia suka lewati, dengan Valdocco, di mana ia hanya bisa melihat bangunan-bangunana yang rusak, tumpukan sampah dan botol-botol kosong berserakan di sepanjang jalan, dan tubuh-tubuh para pemabuk yang tidur di sembarang tempat; dan ia tidak akan lagi membandingkan teriakan anak-anak saat bermain dan suara bel-bel gereja berdenting yang memanggil orang-orang untuk berdoa dengan teriakan laki-laki dan wanita yang sedang bertengkar. Ia akan berusaha melupakan udara di Becchi yang dipenuhi dengan aroma harum jerami yang baru dipotong, dan yang begitu alami sehingga ia merasa sedang menghirup semacam energi kehidupan; sedangkan udara di Valdocco dipenuhi dengan bau busuk dan kematian yang, seperti kelembapan dan kabut, menembus tembok-tembok Oratori.

Betapa beruntungnya anaknya yang hanya melihat jiwa-jiwa dari orang-orang yang mengelilingi mereka di Valdocco! Tidak mengherankan bahwa ia dapat mendekati semua orang dengan kehangatan dan keterbukaan! Ia hanya dapat berdoa agar Tuhan memberinya pandangan dan pemahaman yang sama.

Perlahan-lahan ia mengangkat celemek kerjanya lagi dan mengikatnya dengan kencang di pinggangnya.

Seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami tipe anak-anak yang Yohanes ambil. Suatu hari, kakaknya, Marianne, yang telah datang ke situ untuk membantunya ketika Pastor Lacqua meninggal, memarahi seorang anak karena ia bermain-maian dengan mengejar-ngejar ayam-ayam milik Margareta. Ketika Margareta melihat bahwa kakaknya sangat marah, M dengan segera menengahi.

“Marianne,” serunya, “jangan marah! Tidak bisakah kau melihat bahwa ia hanyalah seorang anak kecil?”

Untuk memahami betapa “luar biasanya” reaksinya ini, seseorang harus pertama-tama mengetahui hubungan dekat yang terjalin antara Margareta dan ayam-ayamnya. Walaupun ia sekarang tinggal di kota, ia masih seorang wanita desa, dan ayam-ayam adalah bagian yang penting dalam hidupnya. Mereka begitu penting baginya sehingga, ia membiarkan mereka masuk ke dapur ketika anak-anak sudah selesai makan untuk membersihkan makanan-makanan yang jatuh ke lantai. “Mereka lebih penting baginya daripada para anggota dewan rakyat,” komentar anak-anak. Ayam-ayam itu juga begitu terikat dengannya sehingga mereka akan datang kepadanya jika ia memanggil nama mereka, dan ia telah berhasil mengajar beberapa ayam untuk melompat dan bertengger di atas lengannya.

Suatu ketika, anak-anak membuat drama di mana seorang pengacara bercerita tentang seekor serigala yang mencoba untuk menangkap beberapa ayam, tapi dihalangi oleh petani yang waspada. Yohanes sedang mengomentari pertunjukan ini ketika Margareta lewat.

“Bagaimana pendapatmu tentang pertunjukan tadi, mama?” tanyanya.

“Aku sangat menyukainya,” jawabnya. “Tapi aku masih belum dapat memaafkan serigala yang mencoba menangkap ayam-ayam itu!”

Jika setiap keluarga mempunyai seorang ibu, untuk keluarga di Oratori, Margareta menjalankan peranan ini dengan sempurna. Untuk banyak anak, ia adalah satu-satunya ibu yang mereka tahu. Selagi ia mengawasi dapur, cucian, dan hampir semua yang lain, kebanggaannya yang terbesar adalah melihat anak-anak itu meninggalkan Oratori dengan kenyang, berpakaian bersih dan rapi. Ia tahu bahwa hal-hal sederhana ini menanamkan dalam diri mereka rasa harga diri, nilai diri mereka sendiri. Imbalan lain baginya adalah bahwa semua hal ini pelan-pelan menyadarkannya tentang sebuah kebenaran yang besar: bahwa mereka ini adalah anak-anaknya dan tempat ini adalah rumahnya.

Ketika ia telah meninggalkan Becchi, ia berpikir bahwa ia tidak akan pernah lagi dikelilingi oleh begitu banyak anak muda yang memerlukannya, yang mencintainya. Di Valdocco ia menyadari betapa salahnya dia. Di sini ia menemukan dirinya dikelilingi oleh bukan lusinan, melainkan puluhan bahkan ratusan anak muda yang sangat membutuhkan bantuannya, yang begitu mencintainya sehingga mereka mulai memanggilnya dengan gelar yang terindah, Mama. Mulai saat ini, ia akan mereka kenal sebagai Mama Margareta.


16

Kemiskinan Diajarkan, Kemiskinan Dipraktikkan




“Mama Margareta, bolehkah kami masuk?”

Margareta memperhatikan semua orang yang berstatus tinggi dan rendah, dengan keramahan dan kesopanan yang sama. Para bangsawan dan pekerja wanita, pemilik bank dan tukang roti, baginya adalah anak-anak Tuhan dan patut memperoleh rasa hormat. Pada gilirannya, banyak tamu-tamu penting yang datang untuk menemui putranya, menghampirinya juga. Jika Yohanes terlambat pulang atau lagi sibuk, para tamu, karena masih belum ada di ruang tunggu di Oratori, akan mengetuk pintu Margareta.

“Waktunya Don Bosco” sekarang berarti anaknya akan kembali ke rumah pada waktunya sendiri. Ia bisa beberapa jam terlambat untuk suatu pertemuan. Semakin ia menjadi terkenal, semakin terlambatlah juga ia datang dalam pertemuan-pertemuan yang ia janjikan, hanya karena ia tidak diperbolehkan meninggalkan tempat yang ia kunjungi dengan tepat waktu. Begitu banyak permintaan untuk doa-doa, pemohonan-permohonan dan berkat-berkat. Margareta akan menemui tamu-tamu itu sampai anaknya kembali.

Namun, ia sangat sadar bahwa betapapun baiknya intensi mereka, kunjungan mereka ke bagian kota yang miskin seperti Valdocco adalah kunjungan dan tidak lebih dari itu. Mereka jarang datang, beberapa dari mereka sangat merendahkan diri, menghabiskan sekitar satu jam dan meninggalkan sedikit sumbangan sebelum kembali ke rumah mereka yang nyaman. Tidak begitu halnya dengan anaknya. Yohanes tidak menghabiskan sedikit waktu dengan yang miskin dan membutuhkan; ia menghabiskan seluruh hidupnya dengan mereka. Ia juga tidak membatasi kemurahan hatinya dengan sebagian kecil harta miliknya; ia memberikan semua miliknya. Tidak pernah terlintas dalam benak Margareta untuk menyamakan pengorbanannya dengan pengorbanan anaknya. Dalam pikirannya, apa yang ia lakukan di Valdocco adalah sesuatu yang selalu ia lakukan, apa yang harus dilakukan semua wanita, jika di dalam tangan mereka ada kemampuan untuk bekerja bagi orang-orang miskin dan terlantar untuk Tuhan.

Terpisah dari semua hal ini, ketika para pengunjung ini datang ke oratori, ia menerima mereka dengan sambutan yang paling ramah.

“Tentu saja boleh, masuklah,” jawabnya. “Dan semoga Tuhan memberkatimu!”

Sewaktu masuk, mereka akan menemukannya duduk di atas kursi yang dikelilingi oleh kursi-kursi lain yang di atasnya telah ada tumpukan pakaian yang harus diperbaiki. Walaupun banyak dari tamunya termasuk dalam kalangan atas masyarakat Turin, Margareta benar-benar tenang, hanya menyingkirkan pakaian-pakaian itu dari kursi untuk menyambut mereka.

Sebuah percakapan yang hidup akan dimulai dimana tamu-tamu itu akan meminta pendapat-pendapatnya atau memintanya mengeluarkan beberapa peribahasa miliknya. Peribahasa Piedmont adalah yang paling berani dan tajam. Bahkan mereka kadang-kadang bertanya tantang politik, sejarah atau agama, tahu bahwa jika Margareta tidak bisa menjawab pertanyaan mereka, ia akan mengelak dari situasi itu dengan sebuah peribahasa, sebuah nasihat keibuan, atau dengan kata-kata yang membuat mereka tertawa. Tapi jika mereka terus menerus berbicara untuk waktu yang menurutnya terlalu lama, ia mempunyai sebuah cara tersendiri untuk menghadapinya. Ia akan mulai berdoa dengan bergumam! Jika hal ini terjadi, para tamu itu biasanya akan sadar dan pulang.

Ketika para penderma untuk anaknya berkunjung, Margareta akan memberikan sambutan khusus, menawarkan secangkir kopi, atau jika tamunya ituadalah seorang pastor mengundang mereka untuk makan siang bersama dengan anaknya. Jika mereka makan siang bersama dengan anaknya, ia akan menolak makan bersama mereka, mencukupkan dirinya dengan apa yang ia hidangkan bagi anak-anak.

Suatu hari, Pastor Stellardi, pastor bagi raja, mampir untuk bertemu Don Bosco. Ketika ia menerima undangan Margareta untuk makan malam bersama, Margareta meminta waktu untuk makan malam bersama. Margareta maminta waktu supaya ia bisa menyiapkan “sesuatu yang istimewa” bagi tamu yang terhormat itu.

Pastor Stellardi menolaknya. “Aku ingin hidangan yang sama seperti yang kau sendiri makan,” desaknya.

Ketika ia mendengar protesnya ini, Margareta meneruskan lagi menyiapkan makan malam.

Apa yang tidak ia tahu adalah beberapa hari yang lalu Pastor Stellardi makan malam di rumah Count Lorenzo d’Agliano. Beberapa tamunya menuduh Don Bosco membuat anak-anak didiknya kelaparan selagi ia sendiri makan dengan mewah. Beberapa tamu yang lain membela Don Bosco. Untuk membuat masalah ini jelas, Pastor Stellardi telah menawarkan diri untuk pergi ke Oratori untuk menyelidiki kebenarannya.

Ketika ia telah duduk, hidangan pertama yang keluar adalah sepotong ikan kod yang dilumuri minyak zaitun. Bau dari minyak itu saja sudah cukup untuk membuatnya menolak. Hidangan selanjutnya adalah hidangan cardon yang direbus dan digarami. Diikuti oleh sepotong keju. Para klerus lain yang makan bersama Don Bosco tertawa dalam hati melihat pastor Stellardi menolak semua hidangan yang ada.

Setelah pulang dengan buru-buru, ia bergegas ke rumah Count itu. “Cepat, sediakan bagiku makan malam!” serunya, “sebelum aku mati kelaparan!”

Tamu lain yang menerima undangan yang sejenis adalah Canon Caesar Ronzoni dari keuskupan agung. Apa yang ia dapatkan hanyalah daging rebus dan kol. Namun, ia menertima tawaran Margareta untuk “hidangan istimewa,” yang ternyata hanyalah beberapa potongan salami. Ia yang juga telah mendengar gosip buruk tentang makanan Don Bosco, begitu tersentuh oleh pengalaman itu sehinggah matanya berkaca-kaca ketika ia mengucapkan selamat tinggal kepada Don Bosco dan Margareta. Sebelum para klerus makan bersama dengan anaknya, Margareta seringkali makan bersama di meja yang sama. Tapi setelah itu, ia menolak untuk makan bersama lagi, merasa bahwa ia salah tempat. Ia juga selalu menolak untuk selalu menikmati bersama makanan istimewa yang ia siapkan untuk tamu anaknya. Mencukupkan dirinya dengan polenta, lada, bawang, dan kubis yang di garami. “Orang miskin tidak selalu punya makanan,” ia biasanya berkata, “di sini aku tidak pernah tanpanya.”

Tanggal 8 Februari 1851 adalah hari yang besar bagi Don Bosco dan Oratori. Ia harus mulai memperlakukan empat orang dari anak-anaknya sebagai klerus. Margareta telah diberitahu untuk menyiapkan makan malam yang istimewa pada hari itu. Makan malam itu benar-benar istimewa, karena anaknya tahu kapan harus membeli makanan yang pantas untuk acara itu. Hanya dua hal yang kelihatannya kurang benar. Salah satunya adalah hidangan daging dan yang lain adalah kopi. Beberapa tamu menolak hidangan daging. Beberapa yang lain menolak kopinya, bahkan beberapa yang lain menolak kedua-duanya. Penyebab dari masalah itu akhirnya diketahui. Mariane, kakak Margareta, salah menggunakan panci untuk merebus daging itu. Panci itu sebelumnya digunakan Margareta untuk membuat kopi! Ketika seseorang berkata bahwa dagingnya beraroma kopi, dan sebagai kompensasinya kopinya beraroma daging, hal ini kemudian mengakibatkan mereka tertawa.

Ketika ditawari sebuah kotak tembakau, Margareta selalu menolak. “karena aku harus menyimpan uangku untuk keperluan anak-anakku,” jelasnya. “Aku tidak mampu membiasai kebiasaan yang mahal itu.” Namun, ketika ditawari kotak tembakau yang cukup bernilai oleh seorang Uskup yang berkunjung, ia menerimanya. “Barang ini akan memberi anak-anakku kaos kaki,” katanya kepada uskup yang sedikit kaget itu.

Pada beberapa kejadian, dimana ia merasa bahwa adalah tindakan sopan santun yang umum untuk balas berkunjung ke rumah-rumah orang yang berada itu, ia melakukannya dengan pakaian daerahnya dan berbicara dengan pakaian desanya.

“Mereka mengenalku dengan baik dan mereka tahu siapa aku,” katanya.

“Mereka tahu bahwa aku adalah wanita miskin, mengapa aku harus berpura-pura sebaliknya?” Karakternya terlalu kuat untuk dibuat kagum oleh kekayaan atau kekuasaan.

Ketika ia sampai di rumah orang itu, ia akan menunjukan keranjang daging kelinci atau burung pegar yang telah dikirim oleh Yosef, atau berisi anggur atau buah-buahan dari musim itu dan memberikannya kepada mereka sebagai tanda terima kasih. Tetapi ketika seorang penderma mencoba membalas kebaikannya dengan memberi mantel sutra yang besar untuk di buat menjadi pakaian untuk mengganti pakaiannya yang lama, Margareta tidak mau. Karena tidak mau memakai pakaian yang begitu mahal, ia memotong-motongnya dan membuat pakaian untuk anak-anaknya. Ia tidak pernah mau menggunakan pakaian yang bernilai.

Walaupun ia miskin, ia sangat jujur. Setelah memberi beberapa bahan menjahit, dalam perjalanannya ia mulai menghitung uang kembaliannya. Dengan terkejut ia menemukan bahwa penjaga toko talah memberikannya terlalu banyak.

“Kembailah ke toko,” ia memberitahu gadis yang bersamanya, “dan tanyalah apakah sudah terjadi suatu kesalahan. Bicaralah secara pribadi dengan penjaga toko itu supaya pemiliknya tidak tahu. “Gadis itu kembali ke toko itu dan penjaga toko, setelah memeriksa, mengakui kesalahan itu.

“Siapa yang menyuruhmu kembali dengan uang ini?” tanyanya.

Gadis itu memberitahunya.

“Katakan kepadanya bahwa aku sangat berterima kasih,” katanya, “tidak saja karena telah mengembalikan uang ini, tetapi lebih-lebih karena tidak membertahu bosku. Jika ia mengetahui hal ini, aku pasti akan mendapat masalah. Katakan kepadanya bahwa ketika ia datang kembali lain kali, ia akan mendapatkan pelayanan terbaik!”

Ketika ia berada di toko itu mungkin ia sempat berpikir untuk membeli bahan-bahan untuk membuat pakaian yang baru karena pakaian yang ia pakai telah begitu tua sehingga Yohanes mencoba membujuknya untuk menggantinya.

“Demi surga, Mama,” protesnya suatu hari, “kau telah memakai pakaian yang sama untuk bertahun-tahun. Buatlah yang baru.”

“Apa kau berpikir aku harus membeli yang baru.”

“Tentu saja. Pakaian yang ini sudah tidak pantas lagi. Bahkan para penyapu jalan berpakaian lebih baik daripada dirimu. Ketika Count Giriodi atau Marchioness Fessati berkunjung apakah kau berpikir kau akan menerima mereka dengan pakaian seperti itu?” Yohanes menggunakan nama-nama itu dengan harapan untuk mempengaruhinya.

“Tapi bagaimana aku dapat membeli pakaian baru jika aku tidak punya uang?”

“Dari pada melihatmu memakai pakaian itu terus lebih baik kita tidak meminum anggur atau hal yang lain.”

“Kalau begitu aku harus membelinya.”

“Berapa harga sebuah pakaian baru?”

“Dua puluh lire.”

Margareta mengambil uang yang anaknya berikan kepadanya dan kembali bekerja. Suatu hari berlalu, diikuti oleh beberapa hari lagi dan mereka menemukan bahwa ia masih memakai pakaian yang sama.

Yohanes memutuskan untuk berbicara dengannya lagi. “Apa yang terjadi dengan pakaian baru yang hendak kau beli itu?”

“Bagaimana aku dapat membeli pakaian baru jika aku tidak mempunyai uang?”

“Apa maksudmu “tidak punya uang”? Bagaimana dengan uang yang kuberikan kepadamu?”

“Oh, uang yang itu? Kata Margareta. “Begini…. Salah satu anak kita tidak mempunyai sepatu dan aku harus membelikannya. Uang yang tersisa kugunakan untuk membeli sebuah dasi dan sepasang kaos kaki untuk anak-anak yang lain.” Seperti biasanya, menurut pandangan Margareta, perhatian pertama seorang ibu haruslah kepada anaknya.

“Baiklah, Mama,” kata Yohanes dengan sabar. “Mari lupakan apa yang terjadi pada uang itu. Tapi aku tetap merasa bahwa kau harus mengganti pakaian itu. Orang-orang terus mengeluh kepadaku ketika melihatmu dengan pakaian itu.”

“Kalau begitu,” kata Margareta menyetujuinya, “kita harus berbuat sesuatu tentang hal ini.”

“Ini dua puluh lire lagi. Tapi kali ini jangan macam-macam. Aku minta kau membeli pakaian baru.”

“Jangan kuatir.”

Apa yang Margareta maksudkan adalah, Yohanes akhirnya menyadari, bahwa Yohanes tidak perlu kuatir bahwa ia akan mengeluarkan sesenpun untuk dirinya sendiri kalau masih ada seorang anak yang masih memerlukan suatu hal. Jika Yohanes ingin Margareta mempunyai sesuatu yang baru, ia memutuskan tidak hanya ia akan membelikannya untuknya, ia juga harus memastikan bahwa Margareta memakainya.


Ketika Yohanes membuka suatu bengkel yang pertama, ia sudah berpikir untuk membuka satu bengkel lagi, yaitu “bengkel penjilidan buku”. Sebenarnya ia sudah mempersiapkan gedung baru untuk menaruh alat-alat percetakannya tetapi ia bukanlah seorang yang suka menunggu terlalu lama untuk suatu hal. Sambil setengah bercanda, seperti yang kadang-kadang ia lakukan, ia mengatakan kepada seorang anak yang bernama Geverno, “Kau akan menjadi penjilid buku.”

“Kau bercanda!” kata anak itu. “aku tidak pernah menjilid satu buku pun dalam hidupku!”

“Kau akan melakukannya ketika aku selesai denganmu,” kata Yohanes. “Kau lihat kertas-kertas ini? Kau dapat memulainya dengan melipat mereka.” Ia memberi anak itu kertas-kertas dari buku barunya yang berjudul Malaikat pelindung Kita.

Ketika Margareta melihat hal ini, ia tahu bahwa ia akan menyaksikan lahirnya perusahan baru. Dengan cara itulah Yohanes memulai toko pembuat sepatu, toko jahit, dan dengan cara itulah ia akan memulai toko jilid bukunya. Mengapa harus menunggu sampai keadaannya lebih baik? Jika kebutuhan adalah ibu dari penemuan, maka kemiskinan adalah ibu baptisnya, Margareta berkata pada dirinya sendiri. Untuk membuat anak itu berhenti memprotes, Ia sendiri duduk di sebelahnya, membantunya melipat kertas-kertas itu. Dengan segera keras-kertas itu siap untuk dijahit. Dengan sedikit tepung, mereka membuat adonan tebal dan menempel kovernya ke buku itu. Halaman-halaman itu sekarang harus diratakan.

Sementara itu anak-anak yang lain, melihat bahwa ada sesuatu yang baru dan menarik, mengerumuni tiga orang itu, sambil memberi usulan-usulan. Masalah besarnya sekarang adalah bagaimana meratakan pinggiran kertas-kertas itu. Maka setelah mendengar saran dari anak-anak itu untuk memakai sebuah pisau, Yohanes menganggukkan kepalanya, pergi ke dapur dan kembali beberapa detik kemudian dengan sebuah pisau pemotong daging yang berbentuk seperti setengah bulan yang digunakan Margareta untuk memotong sayur-sayuran. Anak-anak itu pura-pura takut, tetapi Yohanes tidak menghiraukan mereka dan mulai memotong pinggir kertas-kertas tersebut.

“Kalian dapat tertawa sampai puas,” katanya kepada mereka. “Tetapi kita memerlukan sebuah toko jilid buku dan kita akan membuatnya.”

“Bagaimana kalau kita mewarnai pinggir-pinggirnya?” tanya seorang.

“Bagus!” kata Yohanes. “Ada ide, Mama?”

“Kau akan memerlukan warna emas,” kata Margareta.

“Karena kita tidak punya warna emas, “kata Yohanes, “marilah kita mewarnainya kuning.” Ia memegang sedikit pewarna tapi untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana cara melakukannya.

“Campurlah dengan air,” kata anak itu.

“Jangan, nanti akan membasahi kertas-kertas itu,” kata yang lain.

“Bagaimana dengan sedikit minyak goreng?” kata Margareta.

“Aku tahu apa yang akan aku gunakan,” kata Yohanes. Ia mencari sedikit varnish, mencampurnya dan menggunakannya pada pinggir kertas-kertas itu. Cara itu berhasil.

Melihat hal itu anak-anak bersorak gembira dan Yohanes serta Margareta bergabung dengan anak-anak tertawa puas malihat keberhasilan eksperimen mereka.

17

Waktu Untuk Bertanya-Tanya




Sejak para tetangga telah bertanya kepadanya, “Akan jadi apakah anak ini nanti?” Margareta telah merasakan bahwa Yohanes memang ditakdirkan untuk sesuatu yang biasa dan telah selalu berharap untuk melihat hari dimana bakat-bakat anaknya akan diakui orang-orang yang lain. Yohanes telah menjadi seorang imam yang telah membaktikan dirinya bagi anak-anak muda dan miskin, dan untuk hal iitu ia benar-benar bersyukur. Tapi masih ada begitu banyak hal tentang Yohanes yang ia tidak ketahui. Jika pada satu sisi Yohanes sangat dekat dengannya seperti wajarnya kepada seorang anak kepada ibunya, pada sisi yang lain ia tetap terasa jauh dan asing bagi Margareta.

Walaupun tak tertarik dengan gosip, walaupun ketika hal itu tentang anaknya, ia tidak bisa tidak mendengarkan komentar orang-orang tentang kekuatan yang dimiliki oleh anaknya. Yang paling mengejutkan dari komentar-komentar ini ia dengar ketika ia sedang membeli ikan untuk oratori. Ia baru saja hendak menawar ketika seorang perempuan mendekatinya.

“Bukankah kamu Margareta Bosco, ibu dari imam yang menjalankan pusat kaum muda?”

“Benar.”

“Tentu kau dapat memberitahu kami apa yang terjadi.”

“Apa yang terjadi kapan?”

Beberapa wanita lain, merasakan sesuatu yang tidak biasa, berkumpul di sekitar Margareta.

“Ketika ia pergi menemui Charles yang muda.”

“Di mana hal itu terjadi?”

“Di rumah anak itu di restoran White Mulbery, sudut Via Del Carmine, nomor 11.”

“Di manakah itu?”

“Kau tidak tahu?”

Margareta mengeleng-geleng kepalanya.

Yakin bahwa ia pasti mengetahui hal itu tapi tidak mau membicarakannya, mereka lalu berbicara sendiri.

Setelah itu Margareta mendengarkan dengan cermat untuk dapat menyusun keseluruhan dari cerita itu.

Ketika seorang anak berumur lima belas tahun bernama Charles yang sering mengunjungi oratori jatuh sakit, dokter menyuruh ibunya untuk memanggil seorang imam.

“Panggillah Don Bosco,” pinta anak itu.

Tapi Don Bosco sedang berada di luar kota sehingga ibu anak itu meminta pastor yang sudah hadir untuk mendengar pengakuan dosa anak itu.

Ketika Don Bosco kembali ke Turin, setelah mengetahui apa yang telah terjadi, dia segera pergi ke rumah anak itu.

“Charles kecilku terus menerus memintamu datang sebelum pergi ke surga,” kata ibu itu sambil menangis.

“Bawalah aku kepadanya.”

Ibu itu membawanya ke kamar anak itu dimana Don Bosco menemukan tempat tidur itu dikelilingi oleh saudara dan teman-teman, yang juga sedang menangis. Anak itu telah didandani untuk pemakaman, dengan tubuhnya ditutupi kain dan wajahnya ditutupi kain putih.

“Tinggalkan kami sendirian untuk beberapa saat,” pinta Don Bosco kepada orang orang di ruangan itu. “Ibu dan bibinya boleh tinggal jika mereka mau.”

Ketika para pekabung telah pergi, Don Bosco menutup pintu itu dan keheningan terjadi di antara para pekabung selagi mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi diruangan itu.

Akhirnya pintu itu dibuka. Mereka segera masuk ke dalam dan apa yang mereka lihat sangat membingungkan mereka. Charles, yang telah meninggal, sekarang hidup lagi dan sekarang sedang bercerita dengan ibu dan bibinya bagaimana dalam mimpinya ia mendengar suara Don Bosco dan ia bangun serta menemukan dirinya hampir dikuburkan. Ekspresi terkejut muncul di ruangan itu.

Don Bosco mengangkat tangannya meminta keheningan. “Teman-temanku yang baik,” katanya, “Tuhan telah begitu baik kepada kita pada hari ini, dengan menunjukan pentingnya sebuah pengakuan dosa yang baik.” Ia berpaling kepeada anak it . “Charles, sekarang pintu surga telah terbuka unutkmu. Apakah kau lebih suka pergi ke sana atau tinggal di dunia ini?”

Anak itu berpaling unutk beberapa saat dan matanya menjadi lembab. Keheningan ada di ruangan itu selagi menunggu jawabannya.

“Aku lebih suka pergi ke surga,” katanya.

Ketika ia mengatakan hal ini, sambil melihat orang-orang tersebut, ia berbaring ke belakang, menutup mata dan kembali lagi ke keheningan kematian.

Sesuadah ia sampai di oratori, Margareta menanyakan kebenaran cerita itu.

“Benarkah hal itu, Yohanes?” katanya ingin tahu.

Yohanes mengesampingkan pertanyaan itu. “Cerita ibu-ibu tua,” katanya sambil berjalan menaiki tangga. Di tengah-tengah anak tangga itu, ia berpaling. “Lagi pula,” tambahnya,” siapa bilang anak itu telah meninggal? Ia mungkin saja sedang tertidur.”


Pada tahun yang sama,1849, Yohanes membawa semua anak, baik anak asrama maupun anak oraatori, hampir berjumlah enam ratus orang melakukan kunjungan yang umum dilakukan ke pemakaman pada hari minggu setelah hari semua orang kudus, untuk berdoa bagi jiwa-jiwa yang kudus. Ia memberitahukan Margareta bahwa ia telah berjanji dengan anak-anak itu untuk memberikan mereka sesuatu yang mereka sukai pada perjalanan pulang yaitu setopi penuh chestnut rebus. Margareta telah membeli tiga karung chestnut untuk acara ini dan acara lainnya, tetapi ia berpikir bahwa anaknya hanya memerlukan satu karung saja. Untuk kali ini, ia hanya memasak satu karung saja.

Ketika kunjungan ke pemakaman telah usai dan seorang anak datang untuk mengambil chestnut itu, ia melihat bahwa jumlahnya terlalu sedikit. “Apakah hanya ini?” tanyanya.

“Itu sudah lebih dari cukup,” kata Margareta, “dan jangan lupakan sendok besar ini.”

Anak itu lalu membawa chestnut itu dan Margareta dapat mendengar keributan yang timbul karena pembagiannya dilakukan di depan pintu gereja.

Tiba-tiba ia mendengar anak yang tadi mengambil chestnut berseru, “apa yang kau lakukan Don Bosco? Chestnut itu tidak akan cukup untuk semua jika kau membagikannya seperti itu!”

“Tentu saja cukup. Ibuku telah merebus tiga karung.”

“Tidak. Ia hanya merebus satu karung.”

Berpikir bahwa ibunya menyimpan sisa chestnut rebus yang ada, Yohanes naik ke lantai atas untuk mengambilnya, dan menemukan bahwa apa yang dikatakan anak itu benar.

“Aku telah berjanji untuk membeli chestnut pada semua anak itu,” katanya, “dan aku harus memegang janjiku.” Lalu ia buru-buru turun kebawah lagi.

“Mari kita beri anak-anak itu bagiannya sampai chestnut ini habis,” katanya. Memegang sendok besar itu, ia mulai membagikan chestnut itu dengan ukuran yang sama seperti sebelumnya. Walaupun sekarang hanya tersisa tiga atau empat genggam chestnut di keranjang, baru sepertiga dari anak-anak itu yang sudah menerima bagian mereka. Ketika mereka melihat keranjang yang hampir habis itu, teriakan gembira mereka berubah menjadi kesunyian.

Pada sat itu mereka melihat suatu hal. Setiap kali Yohanes memasukkan sendok ke keranjang, ia mengangkatnya begitu penuh sampai chestnut itu berjatuhan. Namun jumlah cestnut di keranjang itu tetap sama sampai setiap anak dari ratusan anak di situ menerima bagiannya.

Ketika anak-anak itu mengerti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, mereka tak dapat lagi menahan tepuk tangan mereka. “Don Bosco adalah seorang santo.” seru mereka. “Don Bosco adalah seorang santo. Don Bosco adalah seorang santo.”


Semua orang di oratori, termasuk juga Margareta, perlahan-lahan mulai yakin bahwa beberapa mimpi Don Bosco adalah wahyu, untuk alasan yang sederhana bahwa bukti dari apa yang ia ramalkan selalu ada. Suatu malam, ia mendengarkan menceritakan kepada anak-anaknya mimpi itu.

“Aku sedang bersama kalian di lapangan bermain, gembira melihat kalian begitu hidup dan senang, melompat-lompat berteriak dan bermain. Tiba-tiba salah seorang dari kalian keluar dari rumah dengan memakai topi yang tinggi. Topi itu transparan dan dinyalahkan dari dalam dan menunjukan gambar bulan dengan angka 22 di tengahnya. Aku baru saja hendak menegur anak itu supaya berhenti bercanda ketika kalian berbaris seperti biasa ketika bel berbunyi. Lalu kalian kelihatan takut, beberapa dari kalian tampak pucat seperti orang mati. Aku melintas di depan anak-anak yang pucat dan dari antara mereka aku melihat anak yang memakai topi itu. Ia bahkan lebih pucat dari yang lain dan jubah hitam yang biasanya mereka gunakan waktu pemakaman tergantung di pundaknya. Aku baru hendak bertanya kepadanya apa maksud pakaian yang aneh ketika seorang asing yang berwibawa tampak.

“Ketahuilah bahwa anak ini hanya punya dua puluh dua bulan lagi unutk hidup,” katanya. “sebelum waktu ini lewat, ia akan meninggal. Pastikanlah bahwa ia siap!”

Aku menginginkan penjelasan atas penampakan tiba-tiba orang asing itu, tapi ia menghilang.

Aku tahu siapa anak itu. Ia ada disini di antara kalian.


Karena itu adalah pertama kalinya ia secara serius untuk terbuka meramalkan kematian seseorang di oratori, anak-anak menjadi ketakutan. Bahkan Margareta menjadi kuatir.

“Jangan takut,” katanya kepada mereka. Lagi pula ini hanya sebuah mimpi. Tapi suatu hal yang pasti kita semua harus siap-siap, karena Tuhan telah memperingatkan kita. Serahkan anak dari mimpi itu kepadaku. Aku akan memastikan bahwa ia akan diurus.”

Ketika beberapa hari telah berlalu, kebanyakan anak itu sudah melupakan tentang mimpi itu, walaupun Yohanes membantu mengingatkan mereka dengan bertanya pada beberapa anak, “Berapa bulan yang tersisa?” Bebereapa anak dapat menjawab angka yang benar dan yang lain akan mencoba menanyakan nama anak di mimpi itu.

Suatu hari di bulan Oktober 1855, ia memanggil Cagliero. “Kau bertugas di tiga dormitori kecil, katanya. “Di mana kau tidur?”

“Aku tidur di dormitori yang terakhir dimana aku bisa melihat dua dormitori lainnya.”

“”Kau sebaiknya pindah ke dormitori yang di tengah-tengah.”

“Disana sangat lembab,” protes Cagliero. “Dan dengan musim hujan yang segera tiba, aku akan mudah terkena flu. Lagi pula, aku dapat melihat dua dormitori lain dari tempatku sekarang.”

“Aku tetap berpendapat bahwa kau sebaliknya pindah ke tengah.”

Di tengah bulan Desember, seorang anak bernama Gurno terserang rasa nyeri di punggung yang begitu parah sehingga mereka harus memanggil seorang dokter, dan setelah satu minggu perawatan, dokter mengatakan bahwa Gurgo hampir saja meninggal.

Ketika ayahnya datang untuk membawanya pulang, Gurgo memberitahunya bahwa ia ingin sekali makan daging, dan ayahnya berpikir bahwa hal ini baik untuk kesehatannya, segera membelinya.

Gurgo makan daging itu dengan rakus lalu pergi tidur. Namun malamnya ia bangun, menahan rasa sakit. Cagliero berlari ke tempat tidurnya. “Ada apa Gurgo?”

“Cagliero,” kata Gurgo terengah-engah, “aku selesai mengajarimu bermain piano.”

“Tenangkan dirimu,” kata Cagliero dan ia mulai berdoa untuknya. Lalu Cagliero tertidur dan terbangun melihat petugas kesehatan menunjuk kepada Gurgo, yang beberapa saat kemudian meninggal dunia.

Keesokan harinya anak-aak berkumpul mmengelilingi Don Bosco dan salah seorang dari mereka langsung bertanya, “Apakah Gurgo adalah anak yang kau lihat dalam mimpi tentang duapuluh dua bulan itu?”

“Ya, dialah orangnya,” kata Don Bosco, lalu ia berpaling kepada Cagliero.

“Dan lain kali jika aku memintamu melakukan sesuatu, aku harap kau melakukannya!” tapi suaranya melembut ketika ia melanjutkan. “Jika Gurgo masih hidup hari ini, ia dapat menceritakan betapa seringnya aku berbicara dengannya dan dengan cara tak langsung mempersiapkan untuk kematiannya.”

“Bagaimana kau tahu kapan seorang akan mati?” tanya Margareta .

”Kadang-kadang di dalam mimpi aku melihat banyak jalan di depanku dan setiap jalan dilalui oleh seorang anak. Sebuah lubang akan muncul di jalan itu baik di dekatnya, di tengah jalan, atau di sepertiga jalan. Ini berarti anak itu akan meninggal pada periode itu di dalam hidupnya. Pada lain kesempatan aku melihat pada jalan itu sederetan angka yang memberitahu tahun, bulan dan bahkan hari dimana anak itu akan meninggal.”

Bahwa anaknya adalah seorang pemimpi tidak lagi mengesankan Margareta sejak ia bermimpi bertemu wanita yang telah berjanji membimbingnya. Mimpi yang lain telah menyusul, banyak di antaranya ia bertitahukan kepada anak-anaknya di dalam “selamat malam” baik untuk menarik perhatian mereka atau untuk menegaskan suatu moral. Jika Margareta hanya mendengar dari pihak lain tentang mimpi itu, ia menjadi saksi bagi rentetan peristiwa yang juga luaar biasa yang terkait dengan mimpi-mimpi yang diceritakan oleh Yohanes kepada anak-anaknya pada beberapa “selamat malam”.

Ia juga mendiskusikasn mimpi-mimpi itu secara terbuka dan panjang lebar dengan anggota-anggota dari komunitasnya. Dan karena hal ini berhubungan langsung dengan keluarga kerajaan sehingga menimbulkan resiko bagi hidup anaknya, membuat Margareta harus memperhatikan mimpi-mimpi itu. Latar belakag dari mimpi-mimpi itu, Yohanes memberitahukannya, adalah situasi politik di kerajaan Piedmont. Yohanes telah memperingatkan semua orang di oratori bahwa kekuatan-kekuatan anti-klerikal sedang berusaha mensahkan sebuah undang-undang untuk menutup biara-biara dan mengambil harta milik mereka menjadi milik kerajaan. Hal ini tidak hanya menjadi kekuatiran para Uskup dan religius di Italia, tetapi juga keluarga kerajaan karena mereka selalu setia pada gereja.

Dalam mimpi-mimpi Yohanes yang pertama, Margareta mendengarnya memberitahukan anak-anak, ia sedang berjalan-jalan di oratori ketika seorang pembawa pesan dari kerajaan yang berseragam merah masuk ke dalam lapangan.

“Pengumuman penting!” katanya.

Ketika Yohanes menanyaka apa isi pengumuman itu, ia menjawab, “pemakaman salah seorang anggota keluarga kerajaan!”

Yohanes lalu berusaha mengorek keterangan lain darinya, tapi ia menghilang. “Aku menulis tiga surat pagi ini,” katanya pada saat sarapan pagi.

“Satu kepada Paus, satu kepada Raja, dan kepada tukang pemakaman.” Margareta tahu mengapa ia harus menulis kepada Raja. Tapi, tidak seorang pun telah mendengar berita bahwa ada anggota keluarga kerajaan yang sakit.

Mimpi yang kedua terjadi lima hari kemudian.

“Kali ini aku datang duduk di mejaku,” katanya kepada anak-anak di oratori, “Ketika itu, tiba-tiba aku mendengar suara dengusan kuda, pintu terbuka dan pembawa berita yang sama masuk dan membawa buku merah yang besar.”

“Sebuah pengumuman!” serunya. “Bukan sebuah pemakaman, tetapi banyak pemakaman di kerajaan! Banyak pemakaman di kerajaan! Lalu ia menghilang.”

Besok paginya dia menulis surat kedua kepada raja di mana ia menunjukkan bahwa jika, walaupun ia berhak memveto undang-undang itu, ia meloloskan undang-undangnya itu, ia akan berada dalam bahaya besar dan keluarganya akan menderita. Namun, sang raja tetap meloloskan undang-undang itu. Begitulah situasinya ketika tragedi membuat debat tentang hal itu perlahan terhenti. Ibu dari raja tiba-tiba jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.

Selagi ia dibaringkan di peti mayatnya, sebuah surat dikirimkan kepada raja. “Seorang yang telah diinspirasikan Tuhan telah memperingatkanmu,” disitu tertulis. “Buka matamu! Satu orang telah meninggal. Jika undang-undang sampai disahkan, tragedi-tragedi lain akan menimpa keluargamu dan akan menjadi awal bagi kesedihan yang lebih besar. Jika kau tidak membatalkan undang-undang itu, malapetaka akan menimpa keluargamu bertubi-tubi.”

Raja sedang berburu ketika ia menerima surat itu. “Contacc!” serunya dalam bahasa Piedmont, dan ia memutuskan untuk mengunjungi rumah pastor yang menyusahkan ini. Beberapa hari kemudian, dengan berpakaian seperti rakyat biasa dan ditemani pembantunya, ia pergi ke oratori dimana ia pertama-tama bertemu dengan frater Cagliero. Ketika di beritahu bahwa Don Bosco sedang berada di kapel tapi lelah karena baru mendengarkan pengakuan dosa dan berkotbah pada anak-anaknya, Raja lalu memutuskan untuk kembali pada lain waktu. Tapi ketika ia melakukannya, Don Bosco sedang berusaha untuk menulis sesuatu sebelum tenggang waktunya habis, dan karena telah memutuskan untuk memperoleh privasi agar dapat menyelesaikannya, telah memberitahu penjaga pintu, “Jika Raja sendiri pun yang mencariku, kau harus mengatakan bahwa aku tidak ada di rumah ini!” Ketika raja benar-benar mencarinya, si penjaga pintu mematuhi perintah Don Bosco dengan mengatakan bahwa Don Bosco tidak ada dirumah!

Keluarga kerajaan baru saja memberi penghormatan terakhir bagi ibu Suri, ketika mereka dipanggil untuk menemani Viatikum kepada sang Ratu. Ratu Maria Adelaide baru saja melahirkan seorang putra empat hari sebelumnya, tapi karena ia begitu mencintai ibu mertuanya, ia begitu berduka sehingga hidupnya sendiri berada dalam bahaya. Walau begitu banyak orang memenuhi gereja untuk berdoa demi kesembuhannya, beberapa hari kemudian ia juga, setelah menerima sakramen pengurapan orang sakit, meninggal dunia.

Walau begitu, duka yang menimpa raja belum juga selesai. Malam itu juga, Vatikum juga diberikan kepada Duke Ferdinand dari Genoa, kakak satu-satunya dari raja, sebelum ia meninggal dunia.

Margareta terkejut melihat begitu cepatnya ramalan anaknya terpenuhi. “Mimpi-mimpimu telah menjadi nyata,” katanya kepada Yohanes ketika mereka pulang dari pemakaman. “Aku berharap bahwa hal ini berakhir.”

“Jalan Tuhan sulit di pahami.” jawabnya. “Dan kita tidak tahu apakah keadilan Ilahi telah dipuaskan.”

Keadilan Ilahi belum puas. Pemakaman kerajaan yang terakhir adalah pemakaman anak yang baru dilahirkan sang Ratu.


18

Waktu Untuk Kuatir




Semua orang sedang berada di gereja sore hari Minggu itu ketika dua orang mengendap-endap dekat tembok dan mencari-cari jendela gereja. Berdiri di atas pundak temannya, salah seorang dari mereka mengintip ke dalam sampai ia melihat sebuah figur dari jendela. Ia mengeluarkan sebuah benda yang panjang dari jubahnya dan menaikkannya ke matanya, membidik dan menembak. Suara tembakan bergema seperti suara halilintar dan menggetarkan bangunan itu. Setelah itu, ia segera turun dari pundak temannya dan mereka berdua keluar Oratori dan menghilang.

Pada waktu itu, Don Bosco sedang mengajar katekismus kepada anak-anak di ruangan kecil di belakang altar, ketika di dalam kapel, kelas-kelas yang lain sedang mengeluarkan suara dengungan yang biasa.

Setelah tembakan itu, anak-anak panik dan kebingungan. Tak seorangpun tahu apa yang terjadi. Walaupun anak-anak di dekat Don Bosco melihat temboknya rusak, pertama-tama mereka tidak menyadari bahwa hal itu disebabkan oleh peluru. Ketika mereka sadar, mereka bergegas mengelilingi Don Bosco, ingin tahu apakah ia baik-baik saja. Dengan tenang ia mengangkat tangan kirinya, menunjukkan dua lubang kecil di jubahnya

“Ini hanyalah lelucon seseorang,” katanya. “Tetapi mereka benar-benar telah membuat lubang di satu-satunya jubahku dan merusak dinding! – Sekarang karena kita telah tahu, mari kita kembali pada pelajaran katekismus kita!”

Walaupun Margareta untuk kebanyakan waktu berada di Oratori , ia cukup banyak melihat dan mendengar apa yang terjadi di luar untuk mengetahui bahwa anaknya benar-benar bergerak di dunia yang begitu berbeda dari dunianya. Turin adalah tempat berkumpulnya banyak kekuatan yang bertemu secara rahasia dan bertekad untuk mengubah jalan sejarah negaranya. Seringkali mereka melakukannya lewat pembunuhan-pembunugan dan pemberontakan, karena saat itu adalah masa yang paling brutal dalam sejarah Italia, ketika orang-orang hampir menyelesaikan perjalanan yang panjang dan berdarah menuju kemerdekaan.

Ada masa di mana Yohanes kembali dari kota dengan terlalu tenang dan terlalu tersenyum daripada biasanya. Ini berarti suatu masalah sedang membuatnya kuatir tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Ketika hal itu terjadi, Margareta tidak akan memberitahukannya hal apapun yang tidak menyenangkan yang terjadi di Oratori sewaktu Yohanes tidak ada.

Walaupun Margareta tidak mengetahui secara detil dari pekerjaan anaknya di luar Oratori , atau hal itu menarik perhatian beberapa grup yang kuat, ia segera menyadari bahwa berjalan-jalan sendirian telah menjadi sesuatu hal yang berbahaya bagi Yohanes. Ketika peristiwa penembakan itu terjadi, Margareta begitu terkejut bahwa Yohanes bahkan tidak aman di balik tembok Oratori .

Jika ia menunggu sampai anaknya memberitahukan apa yang terjadi, ia mungkin tidak akan pernah tahu.Tetapi ketika ia ingin tahu bagaimana dua lubang itu ada pada jubahnya, Yohanes terpaksa memberitahunya hal yang sebenarnya. Hanya setelah Yohanes selesai bercerita barulah ia menyadari betapa dekatnya peluru itu: hanya dua sentimeter dari jantung anaknya! Tidak mampu bergerak untuk sesaat, ia akhirnya meletakkan jubah itu dan ia menangis ketika ia menyadari betapa dekatnya Yohanes dengan kematian.

Selain beban fisik yang ia tanggung karena pertumbuhan Oratori , beban yang lain juga menjadi berat untuk ditanggung. Ketika anaknya datang ke Valdoco, pihak pemerintah hanya menganggapnya sebagai seorang juru tulis dari desa yang besar mulut dan memiliki sebuah pena yang goyah dan bakat untuk menarik kaum muda, terutama yang bermasalah. Namun, pengaruhnya terus bertambah luas, dan dengan hal itu, telah membuat perhatian berbagai pihak tertuju kepadanya untuk berbagai alasan, tidak setuju dengan apa yang ia tulis atau tidak suka dengan apa yang dilakukannya. Margareta melihat beberapa surat kabar dengan senang hati menyerangnya, dan pamflet-pamflet yang menggambarkannya dalam kartun dan menjadikannya bahan lelucon. Orang-orang sering melaporkan kepada Margareta berita-berita miring yang beredar di kedai-kedai minum di kota dan tuduhan-tuduhan yang dituduhkan kepadanya bahwa ia adalah musuh orang Italia dan teman dari penjajah mereka.

Pada masa itu, Margareta sering harus menungguinya sampai larut malam, bertanya-tanya apakah terjadi sesuatu padanya, atau duduk di sampingnya selama berjam-jam, mendengarkannya dengan hatinya dan mulai sering terkejut atas suara sekecil apapun. Betapa sering juga ia menangis karena penghinaan-penghinaaan yang ditujukan kepada Yohanes oleh musuh-musuhnya dan kadang-kadang oleh mereka yang adalah teman-temannya! Kuatir setengah mati melihatnya bekerja terlalu keras dan takut bahwa ia akan jatuh sakit lagi, betapa seringnya ia memohon kepadanya untuk bekerja tidak terlalu keras, bahkan untuk beristirahat hanya untuk mendengarnya mengulangi kata-kata favoritnya, “Aku akan beristirahat ketika iblis beristirahat.”

Ketidakpedulian yang ceroboh atas kesehatannya sering membuat Margareta bertanya-tanya pada dirinya sendiri di manakah batas antara dedikasi dan kebodohan. Lebih dari sekali sejak penembakan itu, ia pulang ke rumah dengan terlihat gemetar.Tetapi satu-satunya yang ia katakan adalah ia telah dicegat orang. Reputasinya yang meningkat membuatnya harus membayar mahal.

Margareta sedang berada di dormitori suatu sore untuk membersihkannya ketika ia mendengar keributan dari lapangan. Melihat keluar dari jendela, ia melihat seorang laki-laki memegang pisau dapur yang besar dan berlari kesana-kemari dengan liar. Margareta segera mengenalinya sebagai Adreis, seorang yang pernah dijadikan teman oleh Don Bosco sewaktu ia tinggal di rumah Pinardi. Ia sekarang tinggal di asrama Bellezza. Tiba-tiba perhatiannya terarah ke grup anak-anak yang sedang berdiri di dekat pagar sedang berbicara dengan Don Bosco.

“Di mana dia?” serunya. “Di mana dia? Aku akan membunuhnya!”

Teriakan laki-laki itu membuat anak-anak berpencar ke segala penjuru. Di antara mereka ada seorang frater yang memakai jubah yang dikira adalah Don Bosco oleh orang itu. Hal ini memberi Don Bosco waktu untuk berlari ke lantai atas dan menutup pagar besi yang menuju kamarnya. Karena Oratori berdiri terisolasi di tengah-tengah bunga-bunga dan lapangan tanpa perlindungan pagar atau tembok, Margareta telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan memasang pagar ini di kaki tangga. Beberapa saat kemudian, Andreis, setelah menyadari kekeliruannya, mengejar Don Bosco dan berdiri sambil berteriak-teriak di depan pagar.

Dan pada waktu itu, anak-anak telah berkumpul lagi, mempersenjatai diri mereka dengan senjata apa pun yang dapat mereka temukan dan hendak mendekati sang pengacau itu.

Takut akan terjadi pertumpahan darah, Yohanes memanggil mereka, “Taruh senjata-senjata itu, anak-anak! Aku tidak mau kalian membantuku dengan cara itu.”

Menimbang-nimbang untuk beberapa saat apakah akan menurut atau tidak, anak-anak itu akhirnya membatalkan niat mereka untuk menyerang orang itu.

Margareta lalu segera memanggil polisi. Karena sentimen anti klerikal yang masih luas pada saat itu, dua orang polisi baru tiba satu jam sesudahnya. Ketika melihat mereka, Andreis segera tenang, menyerahkan pisaunya dan membiarkan dirinya dibawa ke luar Oratori .

Tanggal 14 Agustus 1850 adalah hari lain yang akan terus ia ingat. Yohanes baru saja memberitahukannya untuk menyiapkan makan malamnya seperti biasa.

“ Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku tidak akan menyiapkannya?” tanyanya.

“Aku hanya ingin kau tahu bahwa apapun yang terjadi, aku akan kembali.”

Satu jam ke depannya adalah waktu yang paling tegang dalam hidup Margareta .

Masalahnya berasal dari sebuah insiden yang melibatkan seorang menteri negara yang bernama Santarossi. Karena ia telah memberikan suaranya atas rancangan undang-undang untuk mengambil tanah-tanah milik para religius, ia telah di-ekskomunikasi-kan. Ketika ia jatuh sakit dan hampir meninggal, ia minta pengurapan yang terakhir. Pastor itu, sebelum memberikan sakramen pengurapan, memintanya untuk mengakui kesalahannya. Ia menolak, begitu juga pastor itu. Hal ini membuka jalan para anti-klerikal. Mereka menyerang biara Servite tempat pastor itu tinggal dan mengusir para religiusnya. Selanjutnya adalah giliran uskup agung yang membela pastor itu. Ia kemudian dibawa ke penjara – Benteng Fenestrelle – yang temboknya suram dan berwarna abu-abu, menyatu baik dengan batu-batu di sisi pegunungan.

Yohanes juga diserang karena ia telah menulis pembelaan bagi ordo-ordo religius. Para anti- klerikal berencana menyingkirkannya dan menghancurkan Oratori . Teman-teman Don Bosco telah memperingatkannya bahwa mereka akan sampai di Oratori sore itu dan itulah sebabnya mengapa baik dia maupun Margareta duduk menunggu kedatangan mereka. Mereka tidak pernah sampai ke situ dan kemudian Margareta mengetahui alasannya.

Setelah selesai mengusir para religius Servites, mereka menuju Oratori. Namun, di antara para demonstrator itu ada seorang teman Don Bosco. Orang ini sekarang berpikir lagi tentang rencana penyerang terhadap temannya. Tiba-tiba orang itu melompat ke atas sebuah gerobak .

“Dengarkan aku, teman-temanku!” serunya. “Kalian ingin keadilan dan kalian ingin menghukum Don Bosco bersama yang lain. Tetapi, jika kalian mau mendengarkan aku, kalian tidak akan pergi ke Oratori sama sekali karena kalian hanya menemukan Don Bosco dan ibunya mengurus anak-anak miskin. Dari pada berteriak menentang Don Bosco, kita seharusnya menyorakinya. Ia mengurus anak-anak kita!”

Seorang yang lain berdiri, “Don Bosco tidak pernah menjadi teman musuh-musuh kita,” teriaknya. “Ia adalah tokoh yang mengabdi rakyat. Mari kita mencari musuh-musuh yang sebenarnya!”

Permohonan ini cukup untuk membuat para gerombolan menjauh dari Oratori. Tetapi Margareta sulit tidur cukup lama sampai larut malam akibat kejadian itu.

Pada kesempatann lain, dua orang datang memohon puteranya untuk mengunjungi temannya yang sekarat. Karena Margareta tidak menyukai penampilan mereka dan tidak suka anaknya keluar sendirian larut malam, ia membujuknya untuk membiarkan beberapa anak yang lebih besar menemaninya.

“Kami akan menemanimu,” mereka berkeberatan. “Terlalu banyak orang di kamar orang sakit tidaklah baik.”

Ketika Yohanes juga mendesak, mereka menyerah dan dengan diikuti oleh setengah lusin murud Don Bosco yang tegap, mereka berangkat.

Margareta kemudian mengetahui bahwa mereka tidak pergi ke sebuah rumah tetapi ke sebuah penginapan di mana Yohanes menyuruh anak-anaknya menunggu di luar selagi ia mengurus orang yang sakit itu.Menurut anak-anak, sesuatu pasti terjadi di dalam penginapan itu karena Yohanes tiba-tiba keluar dengan empat orang berbadan kekar yang terlihat mencari masalah.

Tak lama setelah panggilan orang sakit yang pertama datanglah yang kedua. Kali ini melibatkan istri seorang seorang laki-laki yang sedang sekarat dan meminta seorang imam. Seperti yang lain, laki-laki ini juga menolak seorangpun menemani anaknya. Tetapi Margareta bersikeras agar beberapa anak yang besar pergi bersamanya.

Ia baru pergi sekitar satu jam dan ketika kembali lagi dengan kepala berdarah dan ibu jari dibalut saputangan,

“Apa yang terjadi ?” Margareta ingin tahu.

“Sedikit salah pengertian.” adalah yang ia katakan.

“Ia pergi pada tengah malam,” kata Margareta, mengangkat pandangannya ke atas, “pulang ke rumah dengan kepala berdarah dan menyebutnya sedikit salah pengertian!”

“Hanya alarm palsu yang lain.”

“Dan kau tersandung, jatuh dengan kepalamu terlebih dahulu dan menginjak ibu jarimu.”

Untuk melepaskan pikirannya dari hal-hal yang mengkuatirkan itu, dua kejadian lain terjadi di Oratori, yang memenuhi seluruh pikirannya dan menghabiskan seluruh energinya.

Pada sore hari tanggal 1 Desember 1852, ia baru saja hendak beristirahat, ketika ia dikejutkan oleh suara keras dari dormitori baru. Karena pada bulan November sebagian dari lantai bangunan itu mulai runtuh, ia menyimpulkan bahwa keruntuhan yang terjadi.

Ia lari ke bagian sayap baru dari bangunan itu dan melihat bahwa yang sebenarnya terjadi lebih parah dari perkiraannya. Sebagian dari tembok bagian selatan telah runtuh dan runtuhan tadi telah menggoyahkan fondasinya yang tua. Lalu ia segera menyalakan alarm, memperingati anak-anak agar segera meninggalkan gedung. Karena Yohanes tidur di bagian bangunan yang sama, ia juga berada dalam bahaya yang serius.

Karena kebutuhan yang mendesak akan dormitori dan kelas-kelas baru, Yohanes telah menyuruh bangunan itu diselesaikan secepat mungkin. Ketika tinggal atapnya saja yang harus diselesaikan, untuk beberapa hari hujan telah turun melunakkan semen di antara dan di beberapa tempat bahkan menghancurkannya. Batu bata-batu bata tersebut lalu hanya berdiri di atas masing-masing tanpa perekat lain. Anak-anak yang mengikuti kelas-kelas sore telah, seperti biasa, tidak langsung pulang, namun, bermain-main dahulu, dan tak sadar akan bahaya itu, bergembira dengan berlari naik turun tangga dan melintasi bangunan tersebut. Pada waktu malam, tembok-tembok yang telah lemah itu runtuh. Margareta tidak mau memikirkan apa yang mungkin terjadi jika tembok-tembok itu runtuh ketika anak-anak sedang bermain.

Dia dan Yohanes sekarang berusaha menenangkan anak-anak dan menertibkan mereka. Dengan segera semua orang akhirnya tertawa melihat mereka masih berpakaian tidur, karena mereka langsung melompat dari tempat tidur dan mengambil pakaian terdekat sewaktu mendengar tembok itu runtuh. Anak-anak itu lalu melanjutkan istirahat mereka di ruang sakristi, rurang makan dan ruangan-ruangan lain yang masih kosong.

Sepanjang krisis itu terjadi, Margareta menunjukkan keberanian dan perhatian yang besar kepada semua orang kecuali dirinya sendiri, bergerak tanpa takut dari satu bagian bangunan ke bagian yang lain untuk membawa mereka keluar dari daerah yang berbahaya. Karena bagian dari bangunan yang tua masih dapat runtuh lagi, seperti induk ayam menjaga anak-anaknya, ia berjaga terus sampai semua orang, bahkan anaknya pergi tidur.


Ketika hidup anaknya berada dalam bahaya, Margareta, seperti ibu-ibu yang lain, berusaha mencegahnya mengambil resiko yang tidak perlu. Namun, ada satu peristiwa di mana ia tidak berusaha mencegahnya, namun bahkan mendukungnya, walaupun hal itu berbahaya. Hal ini terjadi ketika wabah kolera menyerang kota ini. Dari semua peristiwa yang terjadi di Oratori, yang ini adalah yang paling dramatis.

Ilmu kedokteran tidak berguna, ketidakpedulian meningkatkan ketakutan. Orang-orang meyakini bahwa wabah itu disebabkan oleh air beracun yang diberikan oleh para dokter kepada pasien-pasien yang tidak bisa tertolong lagi atau digunakan oleh Becchini (para penggali kuburan), yang mendapatkan uang dengan mengangkut jenasah-jenasah. Begitu takutnya orang-orang, mereka bahkan meninggalkan orang-orang yang mereka cintai bila mereka terkena penyakit ini, para ibu meninggalkan anak-anak mereka di pinggir jalan dalam keadaan sekarat. Para petugas kesehatan telah menggeledah rumah-rumah yang mempunyai jenasah yang telah dibiarkan membusuk di dalam rumah dan akhirnya menularkan penyakit pada tetangganya. Jalan-jalan menjadi sepi dan suara yang terdengar adalah suara kereta jenazah atau suara anjing menyalak. Tempat-tempat penampungan orang sakit yang besar dengan segera dibangun agar orang-orang yang tertular setidaknya bisa dibawa dari pinggir-pinggir jalan.

Ketika Yohanes ditunjuk sebagai pastor untuk salah satu penampungan ini, Margareta mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menjaga wabah ini tidak masuk ke Oratori. Ia membersihkan rumah dari atas sampai ke bawah, mengurangi jumlah tempat tidur untuk menyediakan lebih banyak ruangan kosong di dormitori dan memastikan anak-anak mendapat makanan yang lebih baik.

Sepanjang waktu itu, Yohanes merasa tenang meninggalkan urusan rumah kepada ibunya karena Yohanes begitu sibuk mengurusi orang yang sakit dan yang sekarat. Di parokinya saja, begitu banyak keluarga telah meninggal dan tidak kurang dari delapan ratus orang tertular, lima ratus orang meninggal dalam satu bulan saja!

Sementara itu, Margareta terus-menerus dimintai seprei dan selimut atau pakaian, baik untuk disobek sebagai pembalut atau untuk menghangatkan tubuh para penderita, karena membiarkan mereka kedinginan berarti membiarkan mereka meninggal.

Ia segera memberikan apa saja yang ia punyai dan temukan di depannya, dan termasuk juga taplak-taplak meja! Ketika tak ada lagi yang dapat diberikan, sebuah permintaan datang untuk seorang korban.Untuk sesaat ia bingung. Apa lagi yang tersisa? Bergegas ia ke gereja dan mengambil semua kain linen yang dapat ia temukan. Ketika ia melihat kain yang menutup altar, ia rgu-ragu, tetapi hanya untuk sesaat. Kain ini juga ia ambil dan taruh ke tangan anak yang sangat terkejut melihat hal ini!


Ketika Margareta mendengar anak-anak membicarakan tentang seekor anjing yang telah melindungi anaknya dari beberapa gelandangan, ia tidak berpikir bahwa hal itu berhubungan dengan serangan-serangan yang sering terjadi pada anaknya. Sebaliknya, ia berpikir bahwa anjing ini adalah anjing yang berkeliaran di jalan. Tetapi ketika ia pertama kali melihat anjing itu, ia takut. Dengan tinggi 90 cm, ia berbulu abu-abu, berkepala besar dan bertelinga lurus tajam.

“Anjing yang benar-benar menyeramkan!” adalah reaksinya.

Pada suatu malam yang gelap di musim dingin, ia pulang ke rumah melalui pusat kota, ketika ia menyadari bahwa dua orang mengikutinya. Ketika ia berhenti, mereka berhenti, ketika ia berjalan lebih cepat, mereka juga. Ia melihat-lihat apakah ada rumah yang bisa ia masuki, tetapi melihat gelagat ini, kedua laki-laki itu, segera mendekatinya, menutupi kepalanya dengan kain dan menyumpalkan sapu tangan ke mulutnya. Don Bosco memberontak sekuat tenaga, tetapi tidak bisa membebaskan dirinya dari kain itu, lalu jatuh ke tanah. Ketika hal itu terjadi, ia mengakui, ia sudah berpikir bahwa ia akan mati.

Pada saat itulah ia mendengar suara geraman yang ia kenali, keluar dari kegelapan, meloncat ke arah dua orang itu, membuat mereka jatuh dan memberi kesempatan kepada Yohanes untuk membebaskan diri. Penyerangnya yang pertama berusaha berdiri, tetapi sebelum ia berhasil grigio berdiri di atasnya, rahangnya didekatkan ke leher orang itu. Sesaat kemudian, grigio melakukan hal yang sama pada penyerang yang lain, dan ia juga tetap berada di tempatnya, tak bergerak karena ketakutan. Grigio mundur beberapa langkah, tetapi maksudnya jelas; jika ada yang bergerak, ia akan merobek-robek mereka.

“Suruh ia pergi!” mereka memohon. “ Jangan sampai ia membunuh kami!”

“Tenang, grigio, tenang!” perintah Don Bosco .


Tidak saja grogio menemani anaknya ke perjalanan-perjalanan paling berbahaya, ia juga pernah menghalanginya pada suatu kali. Don Bosco lupa melakukan suatu hal yang penting di kota, dan walaupun sudah agak malam, hendak kembali lagi. Margareta berusaha sekuat tenaga agar ia tidak pergi, tetapi hal itu sia-sia saja. Yohanes memaksa bahwa dirinya harus pergi dan memanggil sukarelawan untuk menemaninya.

Namun, di pagar Oratori berbaringlah grogio. Kali ini bukannya berdiri dan berjalan ke sebelah Yohanes, grogio tidak bergerak dan menggeram.

“Apakah kau tidak mengenaliku lagi, grogio?” Yohanes menyentuh anjing itu dengan ujung sepatunya dan grogio menggeram lagi. Ia mencoba melewatinya tetapi grogio terus menggeram, dan ketika Yohanes berusaha memutarinya, grogio bangun dan menghalangi jalannya.

“Anjing itu mempunyai lebih banyak akal sehat daripadamu, Yohanes!” omel Margareta. “Aku akan tinggal di rumah saja, jika aku dirimu.”

Akhirnya terbujuk, Yohanes kembali ke kamarnya. Ia baru saja masuk ke sana ketika seorang laki-laki berlari masuk ke Oratori . “Jangan biarkan Don Bosco keluar malam ini!” serunya. “Tiga atau empat berandalan sedang bersembunyi di rumah tua di ujung jalan, dan mereka bersumpah untuk membunuhnya jika ia keluar dari Oratori !”


“Yohanes,” kata Margareta suatu sore ketika mereka sedang sendirian. “Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi.”

“ Apa maksudmu, mama?”

“Kau tahu benar apa maksudku. Kau keluar, tidak memberi tahu seorang pun ke mana engkau pergi dan kau kembali seperti baru pulang dari perang. Mereka menembakimu, mereka menyerangmu di jalan-jalan, mereka memfitnahmu. Tampaknya tidak ada hal yang tidak mereka lakukan untuk menghancurkanmu. Aku ibumu, Yohanes, dan aku punya hak untuk mengetahui siapa yang melakukan hal-hal ini kepadamu. Bagaimana menurutmu perasaanku melihat semuanya ini menimpamu tetapi tidak tahu alasannya?”

Yohanes mengusap dagunya untuk beberapa saat. “Baiklah, mama,” katanya. “Jika kau bisa duduk dengan tenang selama sepuluh menit, aku akan memberitahumu.”

“Tentu saja bisa duduk tenang. Mulai saja memberitahuku apa yang ingin aku ketahui.”

Yohanes mengangkat tiga jarinya. “Masalahnya terdiri dari tiga sisi. Yang pertama adalah politik. Yang kedua adalah religius dan yang ketiga sosial, yaitu, menyangkut keadaan hidup orang-orang. Mari kita mulai dengan politik: - Untuk beberapa tahun, gerakan untuk menyatukan semua negara bagian menjadi satu negara dengan satu ibukota dan mengusir pasukan-pasukan asing telah begitu lama ada dan siap meledak. Di belakang gerakan ini ada bermacam-macam grup, dan pimpinan dari tiap grup berpikir bahwa ia tahu cara terbaik untuk melakukannya. Namun, mereka harus mengusir orang-orang asing itu, dan mereka harus menumpahkan banyak darah.”

“Lalu, di mana posisimu? Kau bukan politikus atau tentara, kau seorang pastor!”

“Sabar sedikit, Mama,” kata Yohanes. “Kita akan sampai ke situ nanti. Untuk memperoleh gambaran dari sisi religius kau harus ingat bahwa Bapa suci, selain sebagai Paus, adalah pemimpin daerah kepausan seperti raja Emanuel adalah penguasa Piedmont. Karena ia merasa bahwa salah satu tugasnya adalah melindungi daerah kepausan untuk gereja, ia belum mendukung rencana Itali untuk bersatu ini sampai hak-hak gereja dijamin.Hal ini berarti bahwa sambil berperan sebagai bapa spiritual bagi para umatnya, pada saat yang sama ia harus melawan mereka yang hendak merampas dari gereja harta-harta dan hak-haknya.”

“Jadi jika aku ingin menyatukan negara ini, aku harus melawan Paus?”

“Tepat. Dan aku berpikir bahwa aku akan sulit menerangkan semua ini kepadamu!”

“Yohanes,” protes Margareta, “ ibumu tidak bodoh!”

Yohanes tertawa. “Aku tidak mengatakan hal itu. Tetapi kau telah mengatakan dengan jelas masalah yang dihadapi semua orang katolik yang baik. Mereka menginginkan Italia bersatu dan juga menginginkan setia kepada Bapa Suci. Pada pihak lain, ada juga yang mau melawan Bapa Suci dan mereka berusaha membingungkan orang-orang. Mereka memanfaatkan situasi ini dengan menuduh Paus melawan orang-orang Italia dan mendukung para penjajah.

“Yang terakhir sisi sosial. Lain kali ketika kau pergi ke Becchi jika kau melihat-lihat ke sekelilingmu, kau akan menemukan bahwa lebih banyak orang – terutama orang muda – pindah dari desa ke kota. Hal ini disebabkan karena lebih banyak bengkel dan pabrik dibuka di kota. Mereka membuat segala jenis barang yang kau lihat di pasar-pasar. Pabrik-pabrik ini selalu memerlukan lebih banyak pekerja. Hal inilah yang menarik orang-orang dari tanah-tanah pertanian di mana bayarannya terlalu kecil, jam kerjanya terlalu banyak dan pekerjaannya terlalu berat.”

“Aku menghabiskan hidupku di pertanian,” potong Margareta, “dan aku tidak pernah berpikir bahwa jam kerjanya terlalu banyak atau kerjanya terlalu berat. Dan begitu juga kakak-kakakmu.”

“Orang-orang zaman sekarang berbeda,” kata Yohanes dengan sabar. “Maka, dengan orang-orang ini memenuhi kota, apa yang terjadi? Tidak ada cukup rumah. Hal ini berarti mereka harus berdesak-desakan di kamar-kamar, rumah asrama dan rumah penginapan. Atau, mereka tidur di lorong-lorong bangunan kosong, kursi-kursi taman, di jalan-jalan atau di bawah jembatan. Aku rasa aku telah menjelaskan semuanya.” Sekali lagi ia mengangkat tiga jari dan menyebut tiga hal itu. “Sisi Politik, sisi religius dan sisi sosial.” Ia baru saja hendak berdiri ketika Margareta memegang tangannya dan menghentikannya.

“Yohanes,” katanya, “kau mungkin sangat pintar, tetapi kau tidak bisa menipu mamamu.”

“Apa maksud mama?”

“Sejauh ini kau baru memberitahukan apa yang terjadi di sekitar kita, tetapi belum mengatakan apa-apa tentang posisimu. Hal inilah yang paling ingin aku dengar.”

“Baiklah. Tetapi aku yakin bahwa aku tahu apa yang Tuhan inginkan dariku – untuk mendedikasikan diriku bagi jiwa-jiwa dan khususnya bagi jiwa-jiwa anak-anak miskin dan terlantar. Ini akan menjadi karya hidupku. Untuk melakukan hal ini aku memerlukan bantuan semua orang, tetapi terutama bantuan pihak yang berkuasa. Di saat yang sama, ada Bapa Suci dan kebenaran. Untuk hal ini, aku harus berbicara dan menulis pembelaan bagi mereka.”

“Tetapi mengapa ada serangan-serangan terhadapmu?”

“Yang pertama datang dari pihak berkuasa yang berpikir bahwa aku bekerja dengan Tahta Suci menentang ide Italia bersatu. Yang kedua, datang dari mereka yang yang ingin aku berhenti berbicara dan menulis pembelaan atas kebenaran.”

Margareta lalu memegang kedua tangan anaknya dan menekannya. “Yohanes yang malang!” hiburnya. “ Aku akan berdoa agar Bunda Allah selalu melindungimu. Tetapi berapa lama kau pikir kau dapat bertahan?”

“Orang-orang di pemerintahan sudah setengah percaya bahwa aku tidak merencanakan pemberontakan, dan orang-oraang yang berusaha menghancurkan gereja akan segera sadar bahwa mereka sedang memukulkan kepala mereka ke tembok. Ketika hal itu terjadi mereka akan berhenti juga. Mereka akan membiarkanku melakukan pekerjaanku yang sebenarnya.” Setelah mengatakan hal ini, Yohanes menaruh dagunya di atas tangannya dan memandang ke kejauhan.

5 19

▲back to top


“Kita Berdua Harus Selalu Bersama”




Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Margareta, yang dianugerahi kesehatan yang sangat baik seperti orang-orang Piedmont pada umumnya, datang ke Oratori. Ia sekarang enam puluh delapan tahun dan seandainya ia dulu memilih untuk tinggal tinggal di daerahnya dan menghabiskan sisa hidupnya di lingkungan perbukitan yang sehat, ia akan memperoleh makanan yang baik dan bergizi, udara pedesaan yang segar dan atmosfir moral yang membuat pikiran tenang. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah tugas-tugas seorang nenek yang diidolakan oleh cucu-cucunya. Sebagai akibatnya, ia akan dapat hidup sampai usia lanjut seperti anggota-anggota keluarganya yang lain.

Tetapi anaknya telah memberinya tantangan untuk bekerja bagi ratusan anak miskin yang telah ia kumpulkan.

Yohanes telah memintanya untuk melepaskan semuanya dan ikut dengannya ke pusat yang telah ia buka untuk orang-orang yang paling miskin dan terlantar di tempat-tempat kumuh di kota. Margareta menerima tantangan itu dan telah mengabdikan dirinya kepada mereka, berharap untuk meringankan penderitaan mereka, untuk menawari mereka cara hidup yang lebih baik, dan membantu mereka menyelamatkan jiwa mereka.

Tetapi, dengan datang ke Oratori ia juga harus menerima banyak hal yang melawan dirinya. Makanan kadang-kadang tidak ada atau kurang bergizi; tanah yang harus ia lalui bukanlah tanah lembut yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga, tetapi, jalan-jalan yang dipenuhi oleh para gelandangan dan sampah-sampah. Udara yang ia hirup bukanlah udara segar pegunungan, tetapi udara pengap kota dan atmosfer moral yang juga sama buruknya. Di atas semuanya itu, ia akan menderita bersama anaknya. Semua cobaan, kemunduran dan kekecewaan dan tekanan oleh beberapa pihak yang hendak menghancurkan mereka, ketika semua yang telah mereka lakukan sepertinya sia-sia dan siap untuk hancur berantakan.

Semuanya ini telah ditanggung oleh jiwa besarnya dengan ketenangan yang berbeda dari wanita biasa.

Namun, jiwa dan tubuh bekerja dengan hukum yang berbeda. Terhadap Margareta, jika kemalangan menguatkan jiwanya, pada saat yang sama kondisi-kondisi yang kurang baik telah bekerja melawan fisiknya dan telah melemahkan begitu jauh sehingga ia menjadi target mudah penyakit yang sewaktu musim dingin mengintai di daerah-daerah kumuh. Sekitar pertengahan bulan November 1856, ketika iklim di Turin sedang berada pada titik yang terburuk, lembab, dingin dan tidak sehat, Margareta merasa sakit. Bertahun-tahun beberja keras dan hidup dengan sangat miskin membuatnya begitu lemah sehingga ketika ia terserang pneumonia, ia terpaksa harus beristirahat di tempat tidur. Serangan itu begitu tiba-tiba dan begitu parah sehingga ia harus menghentikan pekerjaannya yang sedang ia lakukan, yaitu merajut kaos kaki katun untuk anak-anak.

Dr. Celso Bellingeri, dokter Oratori dipanggil dan setelah memeriksanya, ia keluar dengan terlihat cemas.

“Bagaimana dia?” tanya Yohanes.

“Saya kuatir penyakitnya serius. Serangan yang begitu hebat pada usianya…” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tetapi, jangan menyerah begitu cepat.”

“Aku yakin kau akan melakukan yang terbaik baginya.”

Dokter itu pasti melakukannya, karena, setelah Don Bosco, Margareta adalah orang yang paling dicintai di Oratori. Namun, walaupun dokter itu merawatnya dan memberi harapan untuk membaik selama satu atau dua hari, kondisi Margareta memburuk dengan cepat, sehingga penyakitnya sampai pada tahap di mana Yohanes dan dokter itu memutuskan bahwa mereka harus menghadapi yang tak terelakan. Ketika Pastor Borel, pastor pengakuan dosanya, dipanggil dan Viaticum dibawa ke kamarnya, semua orang tahu bahwa hidup Margareta tak lama lagi.

Kehadiran Yosef, dua cucu yang sudah besar, kakaknya Marianne, dan temannya Joan Mary Rua di samping tempat tidurnya meyakinkan Margareta bahwa ia tidak akan hidup lebih lama lagi. Menyadari hal ini, ia memanggil Yohanes ke sisinya, karena ia ingin berbicara dengannya secara pribadi.

“Apa yang akan aku katakan padamu sekarang,” katanya kepada Yohanes, “seharusnya kukatakan di pengakuan dosa. Percayailah mereka yang bekerja denganmu, tetapi percayalah hanya kepada hal-hal yang demi bertambahnya kemuliaan Tuhan. Begitu banyak orang yang bekerja demi diri sendiri! Aku harus pergi dan meninggalkan pekerjaaku di Oratori ke tangan orang lain. Hal ini adalah perubahan besar tetapi Bunda Maria tidak akan mengecewakanmu. Jangan mencari keanggunan atau supaya dilihat orang, tetapi bekerjalah demi kemuliaan Tuhan. Biarlah kemiskinan menjadi landasan semua hal yang kau lakukan. Begitu banyak orang mengatakan bahwa mereka mencintai kemiskinan tetapi tidak mempraktikkannya. Pengajaran yang terbaik adalah dengan melakukan terlebih dahulu apa yang kamu minta dari orang lain.”

Ia memberitahunya banyak hal lain yang tidak Yohanes sadari, mengagetkan Yohanes dengan pengetahuannya atas apa yang terjadi di Oratori .

Ia sekarang berpaling kepada Yosef. Hubungannya dengan Yosef selalu baik dan hangat. Dari saat ketika Yohanes pergi untuk bekerja, ia telah tinggal dengan Yosef, baik di Sussambrino, di mana Yosef bekerja sebagai buruh tani, atau di Becchi dimana Yosef telah membuat sebuah rumah baru yang lebih besar daripada yang lama. Tidak seperti Antonius yang dulunya kasar sikapnya dan Yohanes yang keras kepala, Yosef, bahkan ketika masih anak-anak, sudah berwatak menyenangkan dan dewasa. Ia terus berhubungan dengan Margareta, dan seperti kakak dan adiknya, ia dapat dikatakan sebagai suatu kemenangan dari apa yang bisa dianggap sebagai “Sistem Pendidikan” Margareta. Ketika Yohanes belajar di Chieri, betapa sering Yosef pergi dari pintu ke pintu untuk meminta-minta agar Yohanes bisa melanjutkan studinya!

Ketika Yohanes membuka Oratorinya, Yosef, sadar bahwa adiknya hidup dengan sangat miskin, melakukan semua yang ia mampu untuk membantunya. Ia biasanya datang ke Oratori setiap musim panas, membawa segerobak penuh kacang-kacangan, anggur, gandum atau kentang untuk bahan makanan anak-anak.

“Aku harus meninggalkanmu dan keluargamu,” kata Margareta kepada Yosef. “Aku selalu melakukan apa yang dapat aku lakukan untukmu dan setiap orang telah berusaha bekerja sama denganku. Jagalah anak-anaakmu dengan baik. Aku berharap mereka mengikuti panggilan yang telah Tuhan tetapkan – kecuali kalau mereka ingin menjadi imam atau hidup religius. Mereka mungkin saja hanya menjadi petani, tetapi mereka akan memperoleh nafkah mereka dengan jujur. Jika mereka mencari yang lebih, mereka mungkin akan menghabiskan dengan ceroboh apa yang mereka peroleh lewat kerja keras mereka. Ingat-ingatlah lagi segala yang telah kukatakan padamu dan mereka akan membimbingmu ke hal-hal lain yang terlalu lelah untuk kubicarakan. Berbuatlah semampumu untuk Oratori. Semoga Tuhan memberkatimu dam membuatmu gembira untuk seluruh sisa hidupmu.”

Memasrahkan jiwanya kepada Tuhan dan meminta pada Tuhan dan meminta doa semua orang, ia berpaling kepada Yohanes. “Dulu aku pernah membantumu menerima sakramen-sakramen,” ia mengingatkan Yohanes. “Sekarang giliranmu untuk membantuku. Mari mengucapkan bersama-sama doa untuk orang yang sekarat.”

Selagi Margareta berbaring sekarat, walaupun ia menderita sakit saat bernapas, pikirannya pelan-pelan kembali ke masa lalu sampai ia melihat seorang gadis muda berdiri di bukit kambing, melihat ke sekeliling lembah pemandangan indah musim gugur. Bagaimana ia mencintai bukit-bukit dan lembah itu!! … Sekarang, ia sedang bernyanyi bersama dengan gadis-gadis yang lain selagi mereka memetik tangkai-tangkai anggur… Papa dengan celana pendeknya! Betapa ia begitu bersikeras untuk mengurus anggur-anggur itu sendirian! Margareta tidak pernah membayangkan bahwa musim panen anggur dan semua hari gembira itu akan berakhir… Tiba-tiba, ia sudah menikah….. Francis terlihat tenang dan tersenyum. Baik, halus, kuat dan baik hati. Kematiannya begitu tidak terduga dan begitu cepat sehingga ia sampai berpikir ingin mati saja bersama dia. Sekarang ia dapat melihat di dalam kejadian itu, seperti dalam kejadian-kejadian lain, tangan Tuhan…..Jika saja Francis masih hidup, Yohanes akan menjadi seorang petani yang sukses dan tak lebih dari itu. Dengan semua bakat dan talenta itu?… Ia mengingat waktu-waktu sulit, waktu-waktu kegelapan…..

Satu serangan yang lain membuatnya menarik nafas tiba-tiba dan hal ini meningkatkan rasa sakitnya.

Yohanes tidak saja merupakan kebanggaan dan kegembiraannya, tetapi juga sebab terbesar kecemasannya. Anak yang benar-benar luar biasa!….Mereka selalu dekat tetapi ada begitu banyak hal yang tidak ia mengerti mengenai Yohanes. Dedikasi yang begitu penuh pada anak-anak miskin… “Mama, tetapi anak yang ini spesial.” Suatu ketika, rumah mereka begitu penuh sehingga seorang anak harus tidur di menara bel. Untuk Yohanes mereka semua spesial karena mereka semua adalah jiwa-jiwa yang harus diselamatkan… Betapa ia telah mengubah anak-anak miskin dan yatim piatu ini menjadi satu keluarga besar… dan rencana-rencana yang ia miliki! Bagaimana ia dapat melakukan bahkan sepersepuluh dari pekerjaan itu? Pada sisi yang lain, apa yang tidak bisa ia lakukan?… Ada sisi lain dari dirinya. Mukjizat-mukjizat, melihat masa depan, bermimpi tentang orang-orang dan kejadian-kejadian… Bagaimana anaknya dapat melakukan hal-hal ajaib tersebut?

Ketika ia pergi siapa yang akan mengurus Yohanes? Ia begitu ceroboh atas kesehatannya. Dan siapa yang akan mengurus anak-anak? Tetapi mengapa aku harus kuatir? Ia akan menjadi orang pertama yang mengatakan kepadaku bahwa Tuhan akan menyediakan. Tuhan telah melakukannya; Tuhan selalu melakukannya.

“Anak-anakku,” gumamnya, dan walaupun ia sedang merasa sakit, memikirkan mereka membuatnya tersenyum. Mereka tidak mudah untuk dibesarkan. Tetapi sekarang ia melihat – oh, dengan begitu jelasnya! – bahwa semua penderitaan yang ia tanggung demi mereka memang layak untuk ia tanggung. Lalu ia berpaling kepada Yohanes, matanya memancarkan kasih sayang.

“Tuhan sendiri yang tahu betapa besar cintaku kepadamu,” katanya. “Aku berharap dapat lebih mencintaimu lagi di kehidupan mendatang. Hati nuraniku jernih karena aku telah melakukan tugasku sebaik yang kumampu. Kaddang kala aku mungkin nampak terlalu keras, tetapi hal itu karena tugasku mengharuskan demikian. Katakan pada anak-anakku bahwa aku telah mencintai mereka dengan cinta seorang ibu. Beritahulah mereka untuk berdoa bagiku dan menerima komuni untukku.”

Pada saat ini, ia dan Yohanes menjadi begitu terharu sehingga tidak bisa berbicara. Sekarang menjadi jelas baginya bahwa Yohanes sangat menderita. Hal ini tidak bisa ia tanggung.

“Tinggalkanlah aku, anakku!” ia memohon. “Kau sangat menderita karena diriku. Hal ini hanya membuatku lebih menderita. Pergilah ke kamarmu. Berdoalah untukku.”

Ketika Yohanes ragu-ragu, ia memaksa. “Kau menderita. Kau membuatku menderita. Tinggalkan aku. Kita akan bertemu di surga.”

Masih sambil menangis, Yohanes meninggalkannya dan pergi ke kamarnya.Tetapi ia tidak bisa tidur atau beristirahat. Tiga kali ia mencoba menyalakan lampu di kamarnya dan tiga kali apinya mati.

Dan ketika ia berhasil menyalakannya, dengan sangat terkejut ia melihat gambar ibunya yang tergantung di sebelah tempat tidurnya, sisi depannya menghadap ke tembok. Yakin bahwa bukan ia yang melakukannya dan tidak mungkin orang lain melakukannya, ia menyimpulkan bahwa itu hanya dapat berarti ibunya akan segera meninggal. Ia segera kembali ke kamar ibunya.

Ketika Margareta menyadari kehadiran Yohanes, ia lagi-lagi memberi tanda agar Yohanes pergi, tetapi Yohanes tidak mau meninggalkannya.

“Hal ini akan terlalu berat untukmu,” ia memperingati.

“Seorang anak tidak seharusnya meninggalkan ibunya pada saat seperti ini,” adalah jawabannya.

“Kau tak akan mampu menanggungnya.” Nafasnya sekarang menjadi engahan yang menyakitkan. “Aku memintamu satu permohonan ini. Ini adalah permohonanku yang terakhir. Tinggalkan aku. Ketika kau menderita kau melipatgandakan sakitku. Berdoalah untukku. Hanya itulah permohonanku. Selamat tinggal, Yohanes.”

Ketika Yohanes pergi, rasa sakit di dadanya yang meningkat membuatnya menutup mata. Suara-suara di luar menjadi semakin lemah dan ia mulai mendengar suara-suara lain dan melihat orang-orang lain pada waktu dan tempat yang berbeda. Tetapi gambar-gambar itu tak teratur, berkelana ke belakang dan ke depan, dan ia diganggu oleh rasa sakit yang begitu kuat di dada sehingga menyebabkan ia pingsan. Usahanya bernafas sekarang menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuhnya… Apakah ini penderitaan yang dialami Francis sebelum meninggal?… Rasa sakit dan kehilangan udara membuat kepalanya pusing sehingga tak mampu berpikir… Apakah ia akan jatuh pingsan? Atau apakah ia akan meninggal?… Ia merasa segalanya menjauh darinya, memaksanya mengakui bahwa ini mungkin akhir dari segalanya.

Ia mencoba berdoa, tetapi tidak dapat. Ia hanya dapat berharap agar Tuhan tidak menghakiminya terlalu keras atas segala dosanya… agar Bunda Maria mau … datang… menolongnya. Rasa sakit yang terakhir mendorong kehidupan keluar dari tubuhnya dan ia menarik nafas untuk terakhir kalinya.

Yohanes menangis dan berdoa di kamarnya sampai jam tiga pagi, saat ia mendengar suara langkah kaki kakaknya, lalu ia pergi ke pintu. Dua laki-laki itu saling memandang dengan diam selama sesaat lalu menangis dan berpelukan. Setelah itu ia bergegas pada pagi yang dingin itu ke Consolata, gereja yang dicintai ibunya, untuk mengucapkan misa demi kedamaian jiwa ibunya. Setelah selesai misa ia berdoa lagi cukup lama di depan patung Bunda Maria Penghibur.

Jika Margareta telah mendorong praktik kemiskinan pada anaknya dan orang-orang yang bekerja padanya, mereka yang mengurus pemakamannya menemukan bukti bahwa ia mempraktikkan apa yang ia nasihatkan. Ketika teman Margareta meminta beberapa pakaian Margareta untuk disimpan sebagai kenang-kenangan, Yohanes tidak dapat menemukan satupun pakaian. Margareta hanya mempunyai satu baju dan baju itu digunakan untuk pemakaman. Di saku bajunya, Yohanes menemukan dengan utuh, uang yang telah ia berikan kepada ibunya untuk membeli topi wanita yang baru.

Pemakaman yang diadakan tanggal 27 November 1856, adalah pemakaman seorang wanita miskin. Cara seperti itulah yang ia inginkan. “Aku dilahirkan miskin,” ia pernah berkata, “aku telah hidup miskin dan aku berharap meninggal dengan miskin.” Yohanes juga tidak mau mengundang kritikan dengan memberi perhatian istimewa bagi ibunya. Lagipula, inilah cara para Salesian yang lain dikuburkan. Mereka dilairkan miskin, mereka hidup miskin, telah bekerja untuk dan dengan yang miskin, mereka dikelilingi orang-orang miskin dan bekerja di daerah-daerah yang miskin di kota. Biaya pemakaman ditanggung oleh Dominikus Groppi, seorang pendukung Oratori. Misa khidmat dilakukan di Oratori dan anak-anak, seperti yang telah Margareta minta, mempersembahkan komuni kudus demi kedamaian jiwanya. Setelah misa, dengan diiringi musik band Oratori, mereka mengiringi peti mati itu ke gereja paroki, dan dari sana iringan-iringan itu menuju ke Cimitero Generale, pemakaman kota, dimana jenasahnya dibaringkan di antara yang lain, di kuburan nomor 117, baris ke-31.

Setelah pemakaman itu Yohanes merasa jiwanya begitu hancur sehingga untuk memulihkan diri ia harus menghabiskan beberapa waktu di rumah seorang temannya.

Cintanya untuk ibunya bertahan sampai begitu lama, Yohanes sering bercerita tentangnya, sering menceritakan cerita-cerita hidupnya dan kesalehannya dan bercerita kepada Pastor Lemoyre bahwa ia telah melihatnya beberapa kali di mimpinya, salah satunya terjadi di bulan Agustus 1860. Pada mimpi ini ia sedang berada di Oratori ketika ia bertemu ibunya di dekat Consolata.

“Apakah itu benar-benar kau?” tanyanya. “Tetapi bukankah engkau sudah meninggal?”

“Aku sudah meninggal tetapi aku hidup.”

“Apakah engkau gembira?”

“Sangat gembira.”

Ia bertanya kepadanya apakah ia langsung pergi ke surga ketika ia meninggal. Margareta memberitahunya, “Tidak.” Ia memberikan nama-nama beberapa anak dan menanyakan apakah mereka sudah berada di surga. Margareta memberitahunya,”Ya.”

“Apakah yang kau nikmati di surga?”

“Hal itu tidak bisa kujelaskan.”

“Setidaknya kau dapat memberiku ide tentang kebahagiaan yang kau nikmati.”

Kemudian tubuh ibunya memancarkan sinar dan ia tampak berpakaian jubah yang sangat indah. Dengan suara paduan suara di belakangnya, ia bernyanyi dengan sangat manis sehingga Yohanes begitu terharu sehingga tak bisa meminta lebih darinya.

Ketika ia selesai bernyanyi, sebelum ia menghilang, ia berkata kepada Yohanes, “Aku akan menunggumu. Kau dan aku harus selalu bersama.”

Yohanes-Baptist Lemoyne, penulis biografi Don Bosco, datang ke Oratori delapan tahun setelah kematian Margareta. Namun, ia menemukan bahwa Margareta masih berada dalam pikiran mereka yang mengenalnya. Mereka menyebutnya “Ratu Para Ibu.” Ia mulai mengmpulkan cerita-cerita kehidupannya pada saat ia sedang mengumpulkan cerita-cerita tentang Don Bosco. Pada tanggal 24 juni 1885, pada pesta St.Yohanes Pembaptis, ketika Oratori biasanya memberi penghormatan kepada Don Bosco, mereka memberinya gambar ibunya yang dibuat oleh pelukis Rollini. Gambar ini masih tergantung di kamar Don Bosco di Oratori. Pada saat inilah Lemoyne memutuskan bahwa pada kesempatan yang sama ia akan memberikan pada idolanya gambar lain dari ibunya, yaitu yang dibuat dengan kata-kata.

Ia segera bekerja, menghubungkan bahan-bahan yang telah ia kumpulkan, cerita-cerita yang ia kumpulkan dari mereka yang mengenal dekat Margareta, dari catatan-catatan Oratori, dan dari bibir Don Bosco sendiri sepanjang pembicaraan-pembicaraan panjang yang ia lakukan dengannya ketika penyakitnya memaksanya untuk tinggal di dalam kamar. Karena dorongan dari teman-teman Margareta dan desakan Don Bosco agar ia tidak mengerjakan hal lainnya, ia dapat menyelesaikan buku itu tanggal 23 Juni 1886, sehari sebelum Pesta Yohanes Pembaptis.

Ketika saatnya tiba bagi Lemoyne untuk menyerahkannya, mata Don Bosco berlinang air mata. Untuk sepanjang sisa hidupnya ia menyimpan buku itu di mejanya, dan ketika matanya mengizinkan, ia membaca buku itu. Ia menyetujui apa yang telah Lemoyne tulis tentang ibunya dan mengirim satu salinan buku itu ke penderma-pendermanya yang terbaik. Kesimpulan setelah membaca dan merenungkan hidup ibunya: “Ibuku adalah seorang kudus.”

Tidak pernah mencari pengakuan saat hidup, tampaknya tak mungkin ia akan menerimanya setelah meninggal, terkubur di antara orang-orang miskin dan terlupakan. Jenasah Margareta tidak dibiarkan tenang bahkan di tempat yang begitu biasa itu. Tahun 1876, jenasah itu dibawa lagi dan diletakkan bersama jenasah-jenasah lain di kuburan yang sama di bawah salib monumental di pintu masuk pemakaman, dibayangi oleh kuburan orang-orang besar. Namun, mereka telah lama dilupakan, tidak seperti nama Mama Margareta. Bahkan, hampir di setiap sudut dunia dapat ditemukan perkumpulan atau kelompok yang telah terinspirasi oleh teladannya, telah memilihnya sebagai pelindung.

Tentang bibit yang ia bantu anaknya tanam di Valdocco, bibit yang begitu sering disirami oleh air mata dan pupuk kerja kerasnya selama tahun-tahun awalnya yang paling penting. Pada waktunya, bibit itu tumbuh menjadi pohon yang besar yang cabang-cabangnya menyebar ke seluruh dunia, menawarkan tempat berlindung bagi ribuan anak miskin dan terlantar dan yang membutuhkan. Seperti ulir getah pohon bertambah besar ketika pohon itu bertumbuh, sama seperti itu, dengan bertumbuhnya ketenaran anaknya tumbuhlah juga ketenaran ibunya yang rendah hati, suka berkorban dan tak menghiraukan diri sendiri. Sebagai hasilnya, sekarang, di mana pun nama Don Bosco dihormati, dihormatilah juga nama Mama Margareta.*









* Jika seseorang melihat kematian Francis ini dengan kacamata iman, ia akan dapat melihat tangan Penyelenggaraan Ilahi. Sewaktu ia meninggal, ia menyerahkan tugas untuk mengasuh anak-anak ke tangan Margareta. Jika ia terus hidup, ia akan membesarkan Yohanes dalam cara yang dipakai oleh semua ayah di Italia, yaitu, tradisi maskulin “machismo”. Di bawah bimbingan seperti itu, seseorang dapat membayangkan akan jadi seperti apakah Yohanes nanti.

* Dalam sebuah buku yang berjudul I Santi dalla Scritura (Para santo menurut tulisan tangan mereka) Padova, 1952, p. 217, Pastor Girolamo M. Moretti, ahli analisis tulisan tangan, menganalisis sebuah contoh tulisan Don Bosco. Kesimpulannya, walaupun terlalu panjang untuk ditulis semuanya di sini, mengungkapkan beberapa detil menarik mengenai temperamen dan karakter Don Bosco. Kita diingatkan untuk tidak menyimpulkan bahwa Don Bosco dilahirkan dengan watak yang halus dan penuh cinta kasih. Sepanjang hidupnya, kelihatannya, tetapi terutama pada masa mudanya, ia berjuang keras melawan sifat impulsif, manipulatif, dominasi dan dorongan sensualnya.

Bahkan ketika ia telah mencapai usia yang matang yaitu enam puluh satu tahun, ia memberitahu kami, “Jangan berpikir bahwa ketika aku telah memberi seseorang sebuah tugas yang penting, dan kemudian aku menemukan bahwa tugas itu tidak dibuat atau dibuat dengan kurang baik, aku tidak berusaha keras menahan emosiku. Aku meyakinkan kalian bahwa ada saat-saat di mana darahku mendidih dan syarafku gatal seperti dikerumuni semut. (M.B.XII, 456)

* Di tempat kecil ini, lalu menjadi bagian dari Ecclesiastical Institute dari St. Franciskus, seekor elang terbang

mengangkasa, sang jenius Don Bosco, membawa bersamanya, di bawah perlindungan Beato Cafasso,

jiwa-jiwa anak Oratori.

Turin, 1941

Tulisan di atas diukir ke sebuah batu marmer di bawah patung elang dan berada di halaman Institut itu, lapangan bermain Oratori yang pertama.

1 Orang-orang di Turin memiliki sebuah monumen peringatan yan menyentuh hati atas cinta St. Josoph Cafasso terhadap saudara-saudaranya yang tertekan. Di tengah Rondo della Forca berdirilah sebuah patung perunggu yang bergerak yang menggambarkan pastor Cafasso yang sedang menghibur seorang narapidana yang hendak digantung.

* Sebuah plat marmer berwarna putih sekarang menghiasi rumah di mana Margareta dilahirkan. Di sana tertulis:

Di rumah ini, tanggal 1 April 1788, lahirlah Margareta Occhiena,

ibu yang saleh dari Yang Berbahagia Don Bosco.

100