Orang tua Dominikus adalah Charles Savio dan Brigid, petani miskin namun terhormat di Castelnuovo d˪Asti, sebuah kota yang ber


Orang tua Dominikus adalah Charles Savio dan Brigid, petani miskin namun terhormat di Castelnuovo d˪Asti, sebuah kota yang ber



KOMUNITAS SALESIAN DON BOSCO

TIGARAKSA





St. DOMINIC SAVIO





Terjemahan dari buku:

Dominic Savio

By. St. John Bosco







Disadur oleh:

Para Postulan angkatan 2002-2003















Copyright SDB Tigaraksa

BAB 1

Sebuah Keluarga Katolik



Orang tua Dominikus adalah Charles Savio dan Brigid Savio, petani miskin namun terhormat di Castelnuovo d’Asti, sebuah kota yang berjarak kira-kira 16 km dari Turin di Italia Utara. Pada tahun 1841, karena terdesak oleh kebutuhan akan uang dan juga karena telah kehilangan pekerjaannya, Charles Savio dan istrinya pergi ke Riva, kira-kira 3 km dari Chieri dan menjadi seorang pandai besi, keterampilan yang telah ia pelajari sewaktu kecil. Selama mereka tinggal di Riva, Tuhan menganugerahi mereka dengan lahirnya seorang putra pada tanggal 2 April 1842, yang akan memberi mereka banyak penghiburan. Ketika bayi itu dibawa untuk dipermandikan ia diberi nama Dominikus. Nama itu sendiri bukanlah nama yang luar biasa, namun akan menjadi bahan pemikiran untuk anak itu di kemudian hari.

Ketika Dominikus berumur 2 tahun, untuk alasan keluarga, orang tuanya memutuskan untuk kembali ke kota mereka. Mereka tinggal di Murialdo, sebuah daerah pinggiran dari Castelnuovo d’Asti.

Perhatian orang tuanya terpusat pada pendidikan Katolik untuk anak yang merupakan kebanggaan dan kegembiraan mereka. Ia memiliki watak alami yang baik, terutama hatinya yang cenderung pada kesalehan. Dengan mudah ia dapat mempelajari doa pagi dan doa sorenya, dan pada usia 4 tahun ia dapat mendoakannya sendiri. Bahkan pada usia dimana anak-anak lain senang bermain-main, Dominikus dengan patuh berada di sisi ibunya; Jika ia pergi dari sisi ibunya, biasanya ia pergi ke sebuah sudut ruangan dan dengan mudah berdoa sepanjang hari.

Sejak ia masih berusia sangat muda,” tegas orang tuanya, “ketika anak-anak lain tidak memikirkan kesusahan ibu mereka dan harus selalu melihat, menyentuh, dan memecahkan sesuatu, Dominikus tidak menyusahkan kami sedikitpun. Ia tidak hanya taat dan cepat menanggapi jika kami memanggilnya. Ia bahkan selalu mengantisipasi kehendak kami apabila ia merasa bahwa hal itu dapat membuat kami gembira.”

Sangatlah lucu dan menyenangkan melihat kerepotan yang ia buat untuk menyambut ayahnya yang baru pulang kerja. Ia akan berlari kepadanya, memegang tangannya, dan kadang-kadang melompat kepadanya dan berkata: “Engkau kelihatan letih, ayah! Engkau bekerja amat keras bagiku, dan aku hanyalah beban bagi ayah. Aku akan memohon kepada Tuhan yang baik agar Ia menganugerahi ayah kesehatan dan menjadikanku anak yang baik.” Kemudian ia akan membimbingnya masuk ke dalam rumah, membawakannya kursi dan menemaninya dengan ribuan perhatian. “Bagiku,” kata ayahnya, “hal ini adalah hiburan yang paling manis untuk keletihanku. Aku biasanya cepat-cepat pulang ke rumah untuk mencium Dominikus kecilku. Ia memilikiku, hati dan jiwa!”

Kesalehannya jauh melewati usianya. Pada usia 4 tahun, ia sudah tidak perlu diingatkan lagi akan doa pagi dan doa malam, doa syukur sebelum dan sesudah makan, dan doa Malaikat Tuhan; Dialah yang selalu mengingatkan jika yang lain lupa. Suatu hari, sebagai contoh, karena perhatian mereka teralih karena beberapa gangguan, mereka langsung duduk di meja makan tanpa mengucapkan doa syukur. Dominikus yang menyadari hal ini, berseru: “Ayah, kita belum meminta berkat Tuhan untuk makanan ini.” Kemudian ia sendiri membuat tanda salib dan mengucapkan doa itu.

Pada waktu yang lain, seorang tamu asing yang telah diundang untuk makan, langsung duduk dan menyantap makanan itu dengan terburu-buru, tanpa menunjukkan sedikitpun rasa syukur kepada Tuhan. Dominikus terlihat sakit hati, tetapi karena tidak berani mengatakan apapun, ia pergi menyelinap ke sebuah sudut. Ketika kemudian ia ditanya oleh orang tuanya mengapa ia melakukan hal yang aneh itu, ia menjawab: “Aku tidak berani duduk semeja dengan seseorang yang makan seperti binatang.”






CATATAN


Keluarga Savio memiliki sepuluh orang anak. Dominikus adalah anak mereka yang kedua dan namanya itu adalah nama dari anak pertama mereka yang meninggal setahun sebelum Dominikus dilahirkan.

Don Bosco menegaskan, bahkan di dalam beberapa bab yang sederhana ini, bahwa kekudusan Dominikus pada masa kecilnya bukan hanya semata-mata anugerah dari Tuhan, tetapi juga karena didikan keluarganya. Charles dan Brigid Savio adalah seperti para penduduk Piedmontese pada umumnya, yang menikah bukan hanya karena ingin berkeluarga, namun menganggapnya sebagai suatu panggilan atau misi, berteguh untuk membangun sebuah keluarga sesuai dengan konsep ideal mereka tentang kepercayaan, kerja keras dan hidup sederhana Kristiani. Mereka juga berpegang teguh pada hal-hal yang berkaitan dengan kedisiplinan dalam keluarga, menuntut agar anak mereka tampil rapi, bertingkah laku sopan, hormat, dan taat kepada setiap keinginan mereka. Meskipun demikian, mereka melunakkan disiplin ini dengan kehangatan cinta dalam keluarga dan kebijaksanaan, sehingga anak-anak mereka tumbuh menjadi orang yang berwatak tenang, dan tahu cara bertingkah laku sopan. Sejak dari bayi, Dominikus telah merasakan lingkungan yang hangat, tak memaksa, dan bahagia ini, sehingga kita tidak usah heran jika ia dapat mengembangkan kepribadian yang begitu menyenangkan, seimbang dan menarik, dengan pesona yang sederhana dan bermartabat. Disamping latar belakang alami ini, Charles dan Brigid juga menyediakan bagi anak mereka suasana supernatural yang telah diperhitungkan untuk mengembangkan bibit kekudusan dari pembaptisan. Ada di dalam rumah keluarga Savio – seperti juga ada sampai sekarang di banyak rumah di Piedmont – suasana supernatural yang membuat iri, dan kedekatan dengan Tuhan. Doa adalah hal yang sangat penting dalam hidup, seperti halnya bernafas. Gereja, Misa dan Sakramen-Sakramen – kematian, hadiah, dan hukuman – dosa dan rahmat – setiap ciri dari filsafat Katolik adalah sebuah kenyataan yang begitu jelas, yang membasahi setiap syaraf jiwa anak itu, bertumbuh dalam dirinya “menuju manusia yang sempurna” seperti di dalam benak St. Paul.

Charles Savio, yang lahir tahun 1815, tinggal di Murialdo sesudah putranya Dominikus meninggal sampai bulan Januari 1879, ketika Don Bosco membawanya ke Oratori di Turin untuk membantunya “sebagai penghormatan atas kenangan indah dari putranya Dominikus”. Charles meninggal di Oratori tanggal 16 Desember 1891.

Brigid, ibu Dominikus, lahir tahun 1820 dan menikah dengan Charles Savio tahun 1840. Ia meninggal di Mondonio tanggal 14 Juli 1871.

Charles dan Brigid mempunyai sepuluh orang anak, lima laki-laki dan lima perempuan. Enam dari mereka, termasuk Dominikus, meninggal sebelum berumur lima belas tahun. Adik Dominikus, Charles, yang lahir setelah Dominikus, hanya berumur satu hari. Maria dan Wiliam, yang sempat Dominikus kenal, meninggal pada umur 12 tahun. Remondina danYohanes, yang juga ia kenal, meninggal pada usia 64 tahun dan 44 tahun. Yohanes meninggal pada suatu kecelakaan bangunan. Katarina, anak baptis Dominikus, meninggal pada usia 59 tahun. Louise, lahir pada tahun 1863, hanya berumur satu tahun. Theresa, yang lahir dua tahun setelah Dominikus meninggal, meninggalkan kepada kita banyak kenangan tentang saudara laki-lakinya dari cerita ibunya. Dia meninggal tahun 1933 di Turin.


1 BAB 2

▲back to top

2 Anak dengan Masa Depan yang Menjanjikan

▲back to top

3 Menetapkan Tujuan

▲back to top

4 CATATAN

▲back to top

5 BAB 24

▲back to top

6 Dunia Dikalahkan

▲back to top

7 Penglihatan yang Indah

▲back to top

8 Paus St. Pius X

▲back to top

9 Paus Benediktus XV

▲back to top

10 Paus Pius XI

▲back to top

11 KEMURNIAN

▲back to top

12 KESALEHAN

▲back to top

13 Paus Pius XII

▲back to top

14 Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI

▲back to top