Rector Major-PS and HR.doc

PERUTUSAN SALESIAN DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA

KHUSUSNYA HAK-HAK ANAK-ANAK

P. Pascual Chaves Villanueva

Rektor Mayor

Para peserta Konggres Internasional tentang Sistem Preventif dan

hak-hak asasi manusia yang terkasih


Saya gembira sekali menyambut kalian dan sekaligus menyampaikan sambutan yang menguatkan dan menantang kalian tentang sebuah tema yang secara khusus dekat di hati saya selama hari jadi yang ke-60 Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia ini.


Paus Benediktus XVI berbicara demikian pada bulan Desember lalu: “Enam puluh tahun yang lalu, pada tanggal 10 Desember, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berkumpul di Paris, menetapkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi manusia, yang sampai saat ini masih sebagai referensi tertinggi bagi dialog antar-budaya mengenai kebebasan dan hak-hak manusia. Martabat setiap orang sesungguhnya dijamin hanya kalau semua hak-hak dasarnya diakui, dilindungi dan dikembangkan. Gereja selalu menekankan bahwa hak-hak asasi manusia, terlepas dari formulasi yang berbeda dan kepentingan yang diambil berdasarkan kondisi budaya yang berbeda-beda, merupakan suatu pemberian yang universal, karena mereka berasal dari kodrat manusia itu sendiri” Sebagai Salesian, kita sadar dan yakin akan hal ini, yang menjadi alasan mengapa kita berbakti pada pendidikan dan membangun sebuah budaya pendidikan.


M aka saya berterima kasih kepada Prof. Vernor Muñoz atas apa yang telah ia kemukakan mengenai pentingnya mengembangkan pendidikan sebagai satu hak yang mendasar, khususnya pendidikan bagi anak-anak/ orang muda, supaya dapat meningkatkan warga negara yang aktif, inklusif, bertanggung jawab dan mandiri. Ia telah dengan terang menjelaskan sebab-sebab yang menghambat pendidikan jutaan anak-anak di seluruh dunia, sehingga berlanjut dengan situasi-situasi pengucilan dan diskriminasi yang serius. Sebagai seorang Salesian, saya menggemakan kata-katanya dan saya yakin bahwa pembaharuan budaya ini yang menyebabkan pengucilan dan marginalisasi merupakan tantangan-tantangan yang paling urgen. Saya sangat menyadari bahwa saat ini, pendidikan merupakan alat yang paling penting dan istimewa bagi pembangunan sebuah masyarakat yang lebih benar dan suportif di mana setiap orang, khususnya orang muda, yang paling lemah dan miskin, dapat memandang masa depan dengan pengharapan akan kehidupan yang bermartabat dan bahagia.


Kemendesakan pendidikan di dalam masyarakat kita.


Zaman kita ini menunjukkan bahwa orang menaruh kepercayaan kepada pendidikan; ada suatu usaha untuk melebarkan itu kepada setiap orang; ada suatu usaha terus-menerus untuk menyesuaikannya dengan tantangan-tantangan yang datang dari wilayah-wilayah kerja, ilmu pengetahun dan organisasi sosial; hal itu lebih dipercayakan kepada para ahli dari lembaga-lembaga. Pendidikan telah menjadi sebuah hak yang diakui dan aspirasi dari setiap pribadi. Meskipun ada kepercayaan kepada pendidikan ini, namun kita memiliki kesan ada suatu gap yang terus-menerus tumbuh dengan aspirasi-aspirasi dan kemungkinan-kemungkinan dalam kaitan dengan ini, antara pernyataan-pernyataan dan pemenuhannya, antara maksud-maksud dan pelaksanaannya. Hal itu menjadi sebuah upaya untuk mendefinisikan pendidikan di dalam kebudayaan yang ditandai dengan pluralisme kepercayaan dan tingkah laku, hal-hal yang berlangsung sesaat, pergantian pengetahuan yang begitu cepat, sosialisasi benda-benda budaya, sekolah yang terlalu menyamaratakan, universitas orang banyak, peran media yang dominan dalam budaya modern, pengembangan sektor keempat yang mementingkan inovasi dan penelitian yang berlanjut. Masyarakat dan lembaga-lembaga dalam setiap jenisnya nampak rapuh dan kehilangan arah berhadapan dengan pertanyaan mengenai makna yang dilontarkan oleh orang muda.


Jadi peringatan dari Paus Benediktus XVI tentang kemendesakan pendidikan memang sangat tepat waktunya. Dalam Suratnya kepada Dioses dan Kota Roma ia berkata: “Sudah menjadi kenyataan bahwa mendidik itu tidak pernah mudah, dan saat ini nampaknya bahwa hal itu bahkan menjadi lebih sulit. Orang tua, guru, imam dan semua yang berhubungan langsung dengan tanggung jawab pendidikan mengetahui ini dengan lebih baik. Kita dapat berbicara tentang tema “kemendesakan pendidikan” yang besar, dipertegas oleh kurang berhasilnya usaha-usaha kita dalam pembentukan manusia, mampu bekerja sama dengan orang lain dan memberi makna pada hidup mereka … Ada suatu iklim yang menyebar ke mana-mana, suatu mentalitas dan jenis budaya yang mengarah kepada keragu-raguan tentang nilai pribadi manusia, tentang makna sesungguhnya kebenaran dan kebaikan, dan akhirnya kebaikan hidup. Kemudian hal ini menjadi sulit untuk meneruskan itu dari satu generasi dan generasi berikutnya sesuatu yang valid dan pasti, aturan-aturan perilaku, tujuan-tujuan yang kredibel untuk membangun kehidupan seseorang”.


Kemendesakan ini menjadi tragis ketika hak untuk pendidikan yang secara universal diakui itu tidak dijamin, khususnya dalam beberapa konteks dan negara-negara berkembang. Bagaimana bisa berbicara mengenai hak untuk pendidikan kalau ada begitu banyak anak dan remaja mati kelaparan di Afrika dan Asia, anak-anak yang dijual atau dieksploitasi secara seksual? Di manakah hak untuk pendidikan bagi anak-anak yang dipaksakan ke dalam kerja berat dalam pertambangan-pertambagan ketika mereka baru berusia lima tahun, atau menghirup zat-zat beracun dalam pabrik-pabrik sepatu, atau harus sia-sia saja berbaris berulang-ulang sepanjang hari kerja untuk mencari kerja, namun nantinya berguna sekedar sebagai bagian-bagian kecil dari seluruh proses produksi?


Kita mencatat bahwa kepentingan-kepentingan ekonomilah yang menetapkan prioritas-prioritas dalam masyarakat yang materialis dan bahwa dunia promosi, perangsangan untuk konsumerisme, merupakan suatu papan ajaib yang disewa oleh perusahan-perusahan multinasional yang tamak dan tak pernah puas. Hanya masyarakat agresif dan kompetitif yang bertahan hidup dan gaya yang sama ini juga menjadi bagian dari badan-badan dan perserikatan-perserikatan yang bekerja dalam bidang pendidikan. Jadi apa yang dapat kita lakukan?


Pendidikan itu harus semakin menjadi sebuah jendela yang terbuka lebar kepada dunia dan sebuah mesin untuk membangunkan kesadaran dan membaharui manusia. Oleh karena itu, tanpa memuja atau memanipulasikannya, kita perlu mendengar suara-suara mereka yang tidak bersuara, merasakan lapar dan haus mereka, menyaksikan ketelanjangan begitu banyak orang yang terlupakan; kita harus secara konsisten mengenalkan usaha-usaha begitu banyak orang yang terlibat dalam perjuangan-perjuangan besar seperti martabat wanita, perdamaian, hormat kepada ciptaan, … Untungnya, berbagai kelompok dan kesempatan (LSM, Gerakan-gerakan Sukarelawan …) sedang mulai bersatu untuk mempertahankan kehidupan, manusia, masyarakat, planet dan hak-hak manusia.


Dihadapkan dengan kemendesakan pendidikan ini kita para Salesian adalah pembawa suatu kharisma pendidikan yang lebih penting dan mengena daripada sebelumnya: Sistem Preventif Don Bosco. Ini merupakan harta kita, sumbangan yang dengannya kita dipanggil untuk diberikan kepada orang muda dan masyarakat saat ini, bentuk pewartaan kita. Sekarang saya ingin menarik perhatian Anda sekalian kepada kebutuhan untuk membaharui Sistem Preventif Don Bosco dalam kaitan yang lebih dekat dengan pemajuan dan pembelaan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak-anak, sebagai sebuah usulan rencana pendidikan yang dapat membentuk budaya dan membawa masyarakat menjadi sebuah bangsa berpendidikan.


Pengalaman Don Bosco


Berhadapan dengan situasi orang muda pada zamannya, Don Bosco membuat pilihan pendidikan: suatu jenis pendidikan yang menguasai lebih dahulu dosa dengan iman akan sesuatu yang baik di dalam hati setiap orang muda, dan yang mengembangkan potensinya melalui ketekunan dan kesabaran, membangun pengertian setiap orang akan identitas pribadinya. Kita sedang berbicara mengenai suatu pendidikan yang membentuk pribadi-pribadi manuisa yang dapat berdiri sendiri, akif dan warga masyarakat yang bertanggung jawab, orang-orang yang terbuka kepada nilai-nilai kehidupan dan iman, pria dan wanita yang dapat hidup dengan makna, kegembiraan, tanggung jawab dan kompetensi. Caya mendidik seperti ini menjadi pengalaman rohani sesungguhnya, suatu pengalaman yang menarik dari “kasih Allah yang memberi dalam kelimpahan bagi segenap ciptaanNya, yang senantiasa hadir di samping mereka dan dengan bebas mengorbankan diriNya untuk menyelamatkan mereka” (K. SDB 20).


Ketika ia menemukan anak-anak di penjara-penjara Turin, Don Bosco menjadi gelisah. Ia menulis: “Melihat kerumunan anak-anak muda berusia 12-18 tahun, semuanya sehat, kuat dan pintar, tetapi sayang sekali tidak berbuat apa-apa, kelihatan seperti digigit kutu anjing, tidak ada roti yang cukup baik rohani maupun jasmani – ini semua menakutkan saya”.


Don Bosco melihat bagaimana masyarakat itu sebenarnya, menghargai apakah maknanya dan mendapatkan akibat-akibat darinya. Pengalaman itu membangkitkan dalam dirinya belas kasih yang besar bagi anak-anak muda yang terlantar dan tereksploitasi; suatu pilihan kehidupan pribadinya tumbuh di hatinya: “untuk melakukan sesuatu dalam memperhatikan anak-anak muda terlantar itu”, seperti yang ia katakan kepada Marchioness Barolo yang memberikannya suatu alternatif apakah meninggalkan pekerjaannya demi anak-anaknya atau bekerja saja di Refuge. Pilihannya itu berdasar pada iman yang mendalam dalam kebapaan Allah yang penuh kasih dan penyelenggaraanNya; hal itu berdasar pada kepercayaan bahwa di dalam setiap orang muda, bahkan yang paling sial nasibnya atau nakal, ada sebuah titik yang terbuka kepada kebaikan yang, kalau dikuatkan dan didukung, dapat menjauhkan dia dari bahaya dan untuk memilih cara-cara yang berguna bagi kehidupan yang baik. “Saat itu saya menjadi sadar bagaimana beberapa dari mereka dibawa kembali kepada situasi itu, yaitu masuk kembali ke dalam penjara, karena mereka telah ditelantarkan begitu saja. Siapa tahu,” saya berkata pada diri sendiri, “jika anak-anak muda ini mempunyai seorang sahabat di luar, seseorang yang memperhatikan mereka, menolong mereka dan mengajarkan mereka agama pada hari-hari pesta, siapa tahu mereka dapat dibawa kembali dari situasi yang sudah hancur atau paling kurang jumlah yang telah kembali lagi ke penjara dapat berkurang? Saya bicarakan ini dengan Don Cafasso dan dengan nasihat dan masukannya saya mulai bekerja mendapatkan jalan guna melakukannya”.


Melalui imaginasi dan kemurahan hati Don Bosco menciptakan sebuah tempat yang menyambut, penuh dengan kualitas-kualitas kemanusiaan dan Kristen, di mana para pendidik berada bersama orang muda dalam suatu kedekatan yang efektif dan afektif. Oratori Valdocco menjadi sebuah tempat ideal dan pusat referensi bagi sebuah masa depan, suatu latihan pedagogis yang otentik bagi Sistem Preventif.


Dalam tempat ini Don Bosco meletakkan suatu rencana pendidikan menjadi berguna yang dengannya ia berusaha untuk mencegah pengalaman-pengalaman negatif anak-anak yang tiba di Turin untuk mencari pekerjaan, yatim piatu, atau mereka yang orang tuanya tidak dapat atau tidak ingin memperhatikan mereka, anak-anak miskin melarat yang belum terlalu nakal. Usulan rencana ini menyediakan bagi orang muda suatu pendidikan yang mengembangkan potensi-potensi mereka yang terbaik, memberi mereka kepercayaan pada diri mereka sendiri dan suatu pemahaman akan martabat mereka sendiri, menciptakan sebuah iklim kegembiraan dan persahabatan di mana dalam suatu cara yang paling buruk pun mereka dapat mengambil nilai-nilai moral dan agama, dan mencakup tersedianya sebuah praktek keagamaan dan dialami sedemikian rupa sehingga orang muda dapat menemukan diri mereka sendiri secara spontan berada di dalamnya.


Menyadari pentingnya pendidikan orang muda dan manusia demi suatu pembaharuan masyarakat, Don Bosco menjadi penggerak proyek-proyek sosial dan preventif yang baru; ia berpikir tentang hubungan antara kerja dan dunia, tentang ikatan-ikatan kerja, waktu luang, mengembangkan budaya dan pendidikan populer. Don Bosco mengetahui bahwa hal itu tidak cukup untuk mempermudah situasi yang sulit dan anak-anak terlantar yang tinggal di dalamnya (tindakan meremehkan); tetapi ia memprakarsai perubahan budaya (tindakan transformatif) melalui sebuah tempat dan rencana pendidikan yang melibatkan sangat banyak orang yang dengan semangat yang sesuai dengannya dan misinya.


Elemen-elemen pembentuk Sistem Preventif Don Bosco


Bagaimana kita menghayati pengalaman rohani dan edukasi yang sama dengan yang Don Bosco capai bersama orang-orang muda di Valdocco dan bagaimana kita menginkulturasikannya ke dalam berbagai macam tempat di mana perutusan 
Salesian dijalankan? Cara untuk melakukan itu ialah dengan memperdalam pemahaman kita akan elemen-elemen dasarnya dan menghayatinya, yang kita sebut “kriteria oratorian” dalam bahasa saat ini.


Pengutamaan dan keterlibatan aktif orang muda, khususnya mereka yang paling miskin


Pendidikan yang diilhami oleh pedagogi Don Bosco menempatkan orang muda pada pusat rencana dan tindakan edukasi dan pastoral. Pendidikan itu mendengarkan suara mereka, memahami dan menangkap apa yang menjadi harapan-harapan mereka, kehendak-kehendak mereka, angan-angan dan harapan; pendidikan itu menemani mereka dalam jalan kepada suatu kesadaran akan kemampuan-kemampuan mereka, membantu mereka supaya menjadi lebih percaya akan kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan mereka dan menjadi pelaku-pelaku yang aktif dalam rencana hidup mereka sendiri.


Menempatkan orang muda pada pusat perhatian edukasi dan pastoral “merupakan satu dari elemen-elemen yang lebih khusus kekayaan rohani yang diwariskan kepada kita oleh Don Bosco. Dan tugas yang dipercayakan kepada kita ialah membawanya ke setiap budaya tempat kita pergi dan bekerja di antara orang muda yang pada kenyataannya lebih sering tidak kita perhitungkan”.


Kita secara khusus perlu membuat pilihan ini atas nama orang muda terlebih mereka yang berada dalam bahaya dan miskin, menemukan situasi-situasi mereka yang sulit baik yang terlihat maupun yang masih tersembunyi, memperhitungkan potensi-potensi positif yang mereka miliki, bahkan bagi mereka dengan pengalaman-pengalaman hidup yang paling hancur, membaktikan diri kita secara penuh bagi pendidikan dan penginjilan.


Semakin saya mengetahui Kongregasi, tersebar di lima benua, semakin saya menjadi sadar bahwa kita para Salesian telah berusaha untuk menjadi setia dengan kriteria dasar ini, menyatu dan suportif, yaitu dengan yang paling miskin dan untuk melihat situasi-situasi orang muda yang tidak ingin diperhatikan oleh masyarakat: misalnya anak-anak jalanan, anak-anak yang menjadi tentara, anak-anak pekerja, anak-anak yang dieksploitasi ke dalam seksual turisme dll. Kita telah bertumbuh dalam kepekaan terhadap yang paling miskin; karya para pionir kita, yang terkadang bekerja seperti “pelaku utama sendirian”, lalu diambil alih oleh lembaga tarekat; setiap orang khususnya mengembangkan suatu mentalitas yang membantu kita untuk menempatkan diri kita di berbagai tempat, dengan kunci yang tersendiri ini untuk dapat membaca situasi.


Sebuah budaya preventif


Kemendesakan bagi pencegahan, keuntungan-keuntungan dan implikasi-implikasinya, ditetapkan dengan data-data yang semakin memberikan peringatan, tetapi melihat itu sebagai suatu prinsip dan menempatkannya secara efektif pada tempatnya tidak dapat dianggap remeh dalam banyak konteks. Budaya preventif bukan sebagai budaya yang lasim. Justeru sebaliknya!


Tetapi pencegahan itu tidak mahal tetapi mendapatkan lebih daripada sekedar mengandung penyimpangan atau dengan suatu tindakan penyembuhan yang sebenarnya datang terlambat. Pada kenyataannya pencegahan itu memberi ruang kepada hampir semua orang muda untuk bebas dari beban pengalaman-pengalaman negatif yang berbahaya bagi kesehatan badan, kedewasaan psikologis, pengembangan potensi seseorang, kebahagiaan abadi. Pencegahan itu menyempatkan mereka untuk mengembangkan kualitas-kualitas mereka yang terbaik, mengambil keuntungan lebih baik dari kegiatan-kegiatan pendidikan yang paling baik dan suportif, dan memulai kembali dari dasar-dasar daripada jatuh di bawah beratnya semua itu.


Pedagogi ini “mengarah kepada pendidikan memberi kepercayaan, kepercayaan kepada orang muda saat ini dan kepercayaan kepada masa depan, ketika hal itu menjdai penting untuk menerima tantangan-tantangan modernitas.” Dalam kehidupan masyarakat saat ini, dengan kompetisi yang begitu kuat dan hanya dibimbing dengan kesulitan untuk menanamkan kepercayaan, orang-orang muda menjadi tersiksa dengan bahaya-bahaya mengancam yang banyak, orang-orang muda dibiarkan bertahan hidup tanpa ada keuntungan dari apa yang diakui sebagai hak-hak mereka: kesehatan, pendidikan, pekerjaan dll … Oleh karena itu, dengan mengikuti ajaran Don Bosco dan memusatkan itu pada pengakuan hak-hak orang muda, kita ingin mengabdikan diri kita untuk mengembangkan budaya pencegahan.

Don Bosco yakin bahwa jiwa orang muda, setiap orang muda, adalah baik, bahkan yang paling jelek pun ada benih-benih kebaikan. Adalah tugas pendidik yang bijak untuk menemukan itu semua dan mengembangkannya. Lalu kita perlu menciptakan suatu iklim positif dalam karya-karya pendidikan kita, dengan rencana-rencana yang menguatkan pengakuan atas potensi-potensi positif ini, memelihara pertumbuhannya dan membuka suatu pemahaman tentang kehidupan dan suatu cita rasa karena hal itu memang baik.


Kiranya cukup untuk berpikir mengenai kisah Michael Magone, sang “Jenderal tempat bermain” di stasiun kereta api Carmanogla, kepadanya Don Bosco yang pertama membuka persahabatannya, kemudian dengan sebuah iklim kecil pendidikan di Oratorium Valdocco, lalu menjadi pembimbingnya sendiri yang kompeten (“Magone yang terkasih, saya ingin kamu membantu saya, … biarlah saya menjadi guru bagi jiwamu untuk sementara waktu”), sampai pada saat ia menemukan makna hidupnya dan sumber kebahagiaan sesungguhnya di dalam Allah (“Betapa bahagianya saya!”) dan menjadi satu model bagi orang-orang muda dahulu dan sekarang.


Maka pencegahan harus menjadi kualitas intrinsik dan dasar dari pendidikan dan dengan demikian mengantisipasi kebiasaan-kebiasaan negatif, rohani maupun jasmani dan situasi-situasi yang timbul, dan sekaligus memperbanyak prakarsa-prakarsa yang akan mengarahkan potensi-potensi seseorang yang masih sehat kepada karya-karya yang menarik dan valid.


Pengalaman komunitas


Di Oratorium Don Bosco menciptakan sebuah komunitas, yaitu sebuah keluarga tempat ia berada di sana, sebuah tempat untuk bertemu, semangat kekeluargaan, tempat di mana nilai-nilai manusiawi dan Kristiani berjalan bersama sejauh menjadikan rencana kekudusan sesuatu yang dikehendaki. Bagi Don Bosco setiap karya Salesian harus menjadi sebuah “rumah”, yaitu sebuah keluarga bagi orang muda yang tidak memiliki keluarga; sebuah tempat di mana relasi antar pribadi, kehadiran dan dialog antara para pendidik dan orang muda merupakan sesuatu yang istimewa, termasuk dengan keterlibatan yang menggembirakan, kegiatan kelompok sebagai tempat-tempat bagi pengembangan pertumbuhan pribadi.


Don Bosco membuat kelompok suatu pilihan tersendiri bagi pedagoginya: kelompok sebagai sebuah tempat orang-orang muda mengalami pencarian makna dan membangun pemahaman akan identitas diri mereka sendiri; sebuah tempat bagi kreativitas dan keterlibatan aktif; sebuah sekolah tempat mereka belajar untuk menjadi tepat guna di dalam masyarakat tempat mereka hidup; sebuah sarana istimewa untuk mengalami kehidupan menggereja. Dengan demikian kelompok itu juga menjadi sebuah tempat bagi berbagi dan dialog antara orang muda dan orang dewasa, dalam pendampingan yang mutual dan berbagi karunia yang berlangsung terus-menerus.


Pengalaman komunitas ini membangun sebuah gaya relasi pendidikan yang baru ditandai dengan cinta-kebaikan hati yaitu sebuah cinta kasih yang ditunjukkan dan dialami menurut kebutuhan-kebutuhan setiap pribadi, khususnya mereka yang paling miskin; sebuah cinta kasih yang terungkap melalui perbuatan-perbuatan yang dapat diterima dengan baik. Perbuatan-perbuatan itu menunjukkan suatu cita rasa dan kehendak karena berada di sana di antara orang muda dan mengambil bagian dalam kehidupan mereka dan prakarsa-prakarsa; sebuah persahabatan yang membuka hati orang muda kepada kepercayaan diri dan memungkinkan suatu komunikasi edukatif yang berbicara ke hati, menyentuh kedalaman nurani, menanamkan suatu pemahaman tentang rasa nyaman di dalam diri orang muda dan mendukung usaha-usaha untuk tumbuh sebagai manusia dan orang-orang Kristen yang baik.


Bagi pendidik Salesian “locus pendidikan” yang mendasar tempat dirasakannya pengalaman komunitas yang demikian ialah lapangan bermain. Ini adalah tempat bagi kreativitas yang menggembirakan dan prakarsa, spontanitas dan keterlibatan. Para pendidik/ guru memiliki tugas menjadi bagian dari tempat ini, ikut mengembangkan kreativitas yang menggembirakan dan keterlibatan, memberikan sebuah kata yang menguatkan dan memotivasi, mendorong terwujudnya kegiatan-kegiatan kelompok dan prakarsa-prakarsa budaya, sosial dan keagamaan yang bermakna.


Sebuah proyek edukasi yang menyeluruh


Don Bosco ingin memberikan suatu jawaban menyeluruh terhadap kebutuhan-kebutuhan dan pengaharapan anak-anaknya; ia menyediakan bagi mereka sebuah rumah tempat mereka diterima dan dapat mengalami kehangatan sebuah keluarga yang tidak dimiliki oleh beberapa dari mereka. Ia memberikan mereka ruangan, sebuah lapangan bermain, tempat mereka dengan spontan menggunakan dengan baik tenaga mereka bagi kehidupan dan hasrat mereka kepada kabahagiaan dan persahabatan. Ia memperhatikan pembinaan budaya mereka dan persiapan mereka untuk bekerja, sehingga mereka dapat melihat masa depan dengan percaya diri dan menjadi bagian yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Ia memberikan mereka suatu pembinaan Kristen dan pengalaman iman yang sesuai sehingga menjadikan kehidupan Kristen yang berarti dan menarik bagi mereka. Rencana pendidikan ini menjadi sebuah jalan yang sesungguhnya bagi penginjilan dan membimbing orang muda untuk mengalami kegembiraan kehidupan Kristen yang menuju kepada kekudusan.


Para Salesian, dengan mengikuti cara yang sama, menjadikan pendidikan sebagai medan penginjilan yang istimewa, yaitu bahwa mereka mewartakan Yesus Kristus dan membimbing orang muda kepada kepenuhan kehidupan Kristen sepanjang jalan menuju pembangunan manusia seutuhnya, yang mulai dari tempat beradanya orang muda, mengembangkan potensi-potensi dalam diri mereka dan meyakinkan mereka akan pendampingan penuh kesabaran dalam pertumbuhan manusiawi dan Kristen mereka. Jadi pendidikan dan penginjilan, yang dialami dalam relasi sesungguhnya antara satu dengan yang lain, merupakan satu saja cara untuk menuju kepada pertumbuhan yang menyeluruh dan dengan saling melengkapi dapat memperkaya satu sama lain, seperti yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI: “Tanpa pendidikan, sebagai akibatnya, tidak ada penginjilan yang bertahan lama dan mendalam, tidak ada pertumbuhan dan kedewasaan, tidak ada perubahan mentalitas dan budaya”.


Rencana pendidikan yang menyeluruh ini akan selalu sulit untuk dicapai dalam sebuah masyarakat sekuler yang menyediakan sebuah pandangan reduksionis dan instrumentalis tentang pribadi manusia. Maka rencana pendidikan lalu menuntut segenap komunitas edukasi dan pastoral dengan keteguhan hati menjalankannya dan berbakti untuk memberikan perhatian istimewa kepada pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial di dalam masyarakat, dengan tegas mengatasi ketidakseimbangan yang kita temukan antara kebebasan dan kebenaran, kebebasan dan pemahaman etis, kekuasaan dan suara hati, kemajuan teknologi dan kemajuan sosial. Suatu panggilan untuk dialog dengan aneka budaya yang berbeda dalam semesta yang dihidupi orang muda dan untuk menghargai kekuatan-kekuatan besar bagi pemanusiaan yang diberikan oleh iman Kristen untuk pertumbuhan pribadi dan sosial orang muda dan untuk pembaharuan masyarakat.


Pandangan Kristen mengenai pribadi manusia dan kehidupan


Situasi keacuhan terhadap agama merupakan hal yang umum, situasi yang di dalamnya mayoritas orang muda di Eropa tumbuh. Sikap acuh ini memiliki relevansi budaya yang luar biasa. Pengalaman keagamaan dihadirkan dalam nada-nada yang negatif, sebagai sebuah fenomena yang tidak berarti, sesuatu yang hanya menghasilkan kesalahan, sebuah rintangan bagi kepenuhan pertumbuhan pribadi manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan perdamaian sosial; oleh karena itu pengalaman keagamaan disempitkan kepada urusan pribadi.


Cukup bagi kita untuk melihat pada literatur atau sinema dunia kontemporer. Dalam beberapa dekade terakhir atau dalam karya-karya yang lebih representatif dan sukses, sulit untuk menemukan produksi-produksi dengan karakter-karakter utamanya mendapatkan inspirasi bagi kehidupan mereka, atau martabat hidup mereka, dari Kekristenan.


Pola pikir ini sedang menyebar ke konteks-konteks sosial dan budaya lain di mana kehadiran publik agama dipandang dengan rasa malu yang kian bertambah, khususnya Kekristenan sebagai suatu faktor sosial atau iman Kristen sebagai sebuah ungkapan kehidupan.


Iman yang tidak relevan terhadap budaya dan kehidupan membuat orang muda menjadi acuh tak acuh dan orang-orang menjadi asing terhadap dunia keagamaan, membuat pertanyaan tentang Tuhan tidak bermakna, kekosongan makna bahasa agama dan sangat membahayakan nilai mutlak hak-hak asasi manusia itu sendiri, dan sering menjadikannya lebih rendah dibandingkan kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik.


Pendidik, menurut jiwa Don Bosco, menyadari bahwa Sistem Preventif pendidikan didasarkan pada suatu pandangan Kristen tentang pribadi manusia dan kehidupannya. Pendidik baik pria maupun wanita yakin bahwa kekayaan pribadi manusia yang paling dalam dan berarti terletak pada keterbukaan manusia kepada Allah dan panggilan untuk menjadi seorang putera atau puteri Allah. Oleh karenanya pendidik berusaha untuk membangunkan kembali atau membawa orang muda kepada lebih dalamnya membuka diri kepada makna keagamaan tentang kehidupan, untuk mengembangkan suatu kemampuan untuk menemukan di dalam kehidupan sehari-hari adanya tanda-tanda kehadiran dan tindakan Allah, untuk mengungkapkan keyakinan tentang suatu kesepahaman yang mendalam antara iman dan nilai-nilai kemanusiaan seperti solidaritas, kebebasan, kebenaran, keadilan dan perdamaian. Pendidik percaya bahwa Injil melibatkan ungkapan diri mereka sendiri yang otentik, membenarkan kembali aspek-aspek kelemahan mereka dan memperkayai mereka dengan mengarahkan mereka kepada wawasan-wawasan tentang Allah.


Kepeduliaan sosial dari kegiatan pendidikan


Memelihara orang muda yang datang ke Oratorium adalah penting bagi Don Bosco, tetapi sama penting baginya juga ialah keprihatinannya untuk keluar supaya mendapat anak-anak muda lainnya di dalam masyarakat. Ia prihatin akan pengembangan pribadi manusia kepada kedewasaan manusiawi dan Kekristenan yang penuh, tetapi ia juga prihatin tentang pembaharuan sosial, melalui pendidikan orang-orang muda.


Menyadari pentingnya pendidikan orang muda dan orang-orang bagi suatu pembaharuan masyarakat, Don Bosco menjadi penggerak karya sosial dan pencegahan yang baru; ia mengajar tentang hubungan antara kerja dan dunia, tentang ikatan-ikatan kerja, waktu luang, mengembangkan kultur dan pendidikan bagi masyarakat melalui pelayanan di bidang media massa.


Masyarakat di dalam pikiran Don Bosco adalah sebuah masyarakat Kristen, yang dibangun di atas moralitas dan agama. Saat ini pandangan sebuah masyarakat seperti ini telah berubah: kita berada di dalam sebuah masyarakat sekular, yang dibangun di atas prinsip-prinsip kesamaan, kebebasan partisipasi; tetapi program pendidikan Salesian masih bertahan dengan kapasitasnya untuk membentuk seorang warga negara yang sadar akan tanggung jawab sosial, profesional, politik, dapat membaktikan dirinya bagi keadilan dan pemajuan kebaikan bersama, dengan kepekaan dan perhatian tersendiri terhadap mereka yang paling lemah dan kelompok yang paling terpinggirkan. Kemudian kita harus bekerja dalam mengubah kriteria dan pandangan hidup, untuk memajukan suatu budaya altruistik, gaya hidup yang sederhana, sikap yang tetap memberi dengan kebebasan, perjuangan demi keadilan dan martabat setiap kehidupan manusia.


Untuk mewujudkan program ini Don Bosco melibatkan suatu lingkaran besar orang-orang, yang bermimpi tentang sebuah gerakan sebesar lebarnya dunia melalui kolaborasi dan saling melengkapi di antara orang-orang berkehendak baik yang tertarik dalam dunia pendidikan orang muda dan masa depan masyarakat.


Oleh karena itu setiap Salesian harus bekerja selalu dalam berpikir tentang dirinya sebagai sebuah pusat yang menerima dan memanggil orang-orang sebanyak mungkin untuk bersatu, dan semakin menjadi sebuah pusat yang menjiwai penyebarannya lebih luas, melibatkan, dalam berbagi bentuk dan cara, setiap orang yang ingin menjadi terlibat dalam memajukan dan menyelamatkan orang muda.


Kualitas sosial pendidikan Salesian dapat masih mencapai suatu pemahaman dan pencapaian lebih besar dengan komitmen untuk memajukan hak-hak asasi manusia, khususnya bagi anak-anak, sebagai suatu cara yang istimewa dalam menerapkan pencegahan dalam berbagai konteks, pembangunan kemanusiaan yang terpadu, membangun sebuah dunia yang lebih adil dan secara bertahap memperkenalkan pedagogi kita ke dalam budaya-budaya dunia.


Pemajuan hak-hak asasi manusia, khususnya bagi anak-anak


Kita adalah pewaris dan pembawa sebuah kharisma pendidikan yang bertujuan untuk memajukan sebuah kebudayaan hidup dan perubahan struktur-struktur. Hal ini menjadi alasan mengapa kita mempunyai tugas untuk memajukan hak-hak asasi manusia. Sejarah Keluarga Salesian dan penyebarannya yang sedemikian cepat bahkan di dalam situasi budaya dan agama yang sangat berbeda dan jauh dari saat tradisi itu dimulai, merupakan kesaksian bagaimana Sistem Pencegahan Don Bosco merupakan salah satu pintu masuk yang menjamin berlakunya pendidikan orang muda di setiap konteks kehidupan, dan sebagai sebuah program kerja bagi dialog dengan sebuah budaya yang baru tentang hak-hak dan solidaritas. Sebagai para Salesian, pendidikan hak-hak asasi manusia, khususnya bagi anak-anak, merupakan sebuah cara istimewa yang dijalankan, dalam berbagai konteks, sebuah komitmen akan pencegahan, pembangunan kemanusiaan yang terpadu, membangun sebuah dunia yang lebih adil, sebuah dunia yang lebih baik dan sehat. Bahasa hak-hak asasi manusia juga memberi ruang bagi kita untuk berdialog dan memperkenalkan pedagogi kita dalam budaya-budaya yang berbeda di seluruh dunia.


Memajukan hak-hak asasi manusia sebagai pendidik


Dihadapkan dengan berbagai situasi yang bermasalah yang dialami oleh orang muda di dalam setiap bagian dunia, kita dipanggil untuk mengikuti teladan Don Bosco, untuk bersama mereka mempertahankan martabat mereka dan meyakinkan mereka akan suatu masa depan yang positif dan bermartabat.


Dalam memajukan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak-anak, komitmen kita mesti melampui sekedar kesejahteraan sosial, bahkan jika sering kita terpaksa terjun ke dalam situasi-situasi mendesak, tanpa membatasi diri kita untuk membela hak-hak mereka ketika dilanggar atau diabaikan. Kita perlu mengambil komitmen sebagai pendidik yang mengusahakan pertumbuhan pribadi anak-anak laki-laki atau perempuan tertentu dan pertumbuhan mereka yang terpadu, dalam kesadaran yang penuh atas martabat dan tanggung jawab mereka.


Don Bosco merasa bahwa ia diutus oleh Allah untuk menjawab tangisan orang-orang muda yang miskin dan memahami bahwa jika hal itu penting untuk memberikan suatu jawaban yang segera atas kesulitan-kesulitan mereka, bahkan lebih penting lagi untuk mencegah sebab-sebab kesulitan mereka. Mengikuti teladannya itu, kita ingin bertemu dengan mereka, dan yakin bahwa cara terbaik untuk menjawab kemiskinan mereka ialah, tentu saja, melalui tindakan pencegahan”.


Dalam beberapa sambutan saya, saya telah berusaha untuk menunjukkan bahwa pendidikan sebagai cara istimewa bagi kegiatan pencegahan dan pembaharuan ini dalam banyak situasi yang sulit dan terpinggikan, menimpah anak-anak laki-laki, perempuan dan orang muda di seluruh dunia. Secara khusus saya telah menjelaskan Sistem Pencegahan Don Bosco dari titik pandang seorang yang dengan sadar mengambil tanggung jawab atas mereka yang terdidik, yang berubah dari situasi hidup yang terlindungi, karena mereka orang-orang miskin, kepada mereka yang menjalankan tanggung jawab, karena mereka memiliki hak-hak dan mengakui hak-hak orang lain, dan dengan demikian menyiapkan warga negara masa depan dalam orang-orang muda saat ini.


Sistem Pencegahan bertujuan untuk mencegah kejahatan melalui pendidikan, tetapi sekaligus membantu orang muda untuk membangun sendiri identitas pribadinya, memberi kehidupan baru atas nilai-nilai yang tidak dialami dengan berhasil di dalam pertumbuhan mereka karena keadaan mereka yang tidak diperhatikan, mereka juga tidak menemukan atau menetapkan sendiri alasan-alasan yang kuat tentang makna hidup, kegembiraan, tanggung jawab dan kompetensi. Sistem yang demikian juga percaya dengan pasti bahwa dimensi rohani seseorang berada di dalam kedalaman dan makna dirinya; oleh karena itu Sistem itu bertujuan, tujuan tertinggi dari semua rencananya, untuk membimbing setiap orang muda kepada perwujudan panggilannya menjadi anak Allah.


Jadi setia kepada warisan yang luhur ini, kita harus mengabdikan diri kita sebagai pendidik dalam pemajuan dan pembelaan hak-hak asasi manusia dan hak-hak orang muda, dengan memberi perhatian istimewa bagi pembangunan pribadi orang muda yang terpadu. Pantaslah kita mengenang panggilan yang menuntut saat saya dan para Salesian dari seluruh dunia bersama dengan saya pada Kapitel Umum ke 25 tahun 2002, menyampaikan kepada mereka yang bertanggung jawab dan tertarik dengan masa depan kemanusiaan dan khususnya orang muda: “Kita berada di pihak orang muda, karena kita memiliki kepercayaan pada mereka, dalam kehendak-kehendak mereka untuk mempelajari, belajar, membebaskan diri dari kemiskinan, menggenggam sendiri masa depan … Kita berpihak kepada orang muda karena kita percaya akan berharganya seorang pribadi, kemungkinan adanya satu jenis dunia yang berbeda dan terutama ialah besarnya nilai pendidikan … Pendidikan orang muda merupakan satu-satunya cara untuk menyiapkan suatu masa depan yang lebih baik bagi seluruh dunia. Kita ingin menjawab globalisasi ekonomi dengan suatu globalisasi suatu karakter pendidikan!”




Mengembangkan suatu budaya hak-hak asasi manusia


Pendidikan juga memiliki tujuan untuk membangun sebuah kultur hak-hak asasi manusia, terbuka untuk dialog, menumbuhkn kepercayaan, dan akhirnya mencegah kekerasan-kekerasan atas hak-hak itu, daripada menghukum dan menekan mereka.


Kemiskinan dan marginalisasi sesungguhnya bukan faktor ekonomi, tetapi sesuatu yang menyentuh nurani orang dan menantang pikiran masyarakat, yaitu menyangkut budaya; kita perlu bergerak dari suatu budaya pemilikan, penampilan-penampilan, dominasi kepada budaya keberadaan, memberi perhatian dan berbagi. Pada aspek ini saya ingin kembali kepada apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam sambutannya pada pembukaan Koferensi Umum CELAM ke-5 di Aparecida (Brasilia). Paus berkata: “Bagaimana harusnya kita menanggapi tantangan besar kemiskinan dan kebutuhan? … Baik Kapitalisme dan Marxisme berjanji untuk menemukan suatu jalan untuk menciptakan struktur-struktur dan mengatakan bahwa ini semua, sekali pada tempatnya, akan bekerja dengan sendirinya; mereka berkata bahwa tidak perlu moralitas pribadi di masa lampau, tetapi bahwa struktur-struktur ini dalam membangun sebuah moralitas bersama. Ideologi memberikan janji ini telah terbukti salah. Fakta-fakta jelas sekali terlihat. Sistem Marxis, ketika menjadi suatu pemerintahan, tidak hanya meninggalkan catatan menyedihkan pada ekonomi dan lingkungan hidup di mana jurang pemisah antara kaya dan miskin berkembang dan kita menyaksikan suatu degradasi yang mengacaukan tentang martabat pribadi manusia melalui narkoba, alkohol dan jalan-jalan kebahagian lain yang menyesatkan.

Struktur-struktur yang benar merupakan suatu kondisi yang penting sekali bagi sebuah masyarakat yang benar, tetapi hal itu tidak terjadi atau berfungsi sebagaimana mestinya tanpa kesdaran moral bersama dalam masyarakat mengenai nilai-nilai fundamental dan perlunya menghidupi nilai-nilai ini melalui pembaharuan diri yang mendasar, bahkan menyangkut kepentingan-kepentingan diri seseorang. Ketika Allah dianggap tidak ada – Allah dengan wajah manusia Yesus Kristus – nilai-nilai ini tidak tampak dalam seluruh kekuatan mereka, juga tentang konsensus atau kesamaan nilai-nilai itu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa orang-orang yang tidak percaya tidak bisa hidup mengikuti standar-standar moral dan teladan hidup yang tinggi; saya hanya ingin mengatakan bahwa sebuah masyarakat di mana Allah tidak diakui tidak menemukan suatu konsensus atau kesepakatan yang diperlukan oleh nilai-nilai moral dan kekuatan untuk hidup menurut model dari nilai-nilai ini, bahkan kalau itu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan normal seseorang.”


Sistem Pencegahan Don Bosco dan semangatnya memanggil kita saat ini kepada suatu tugas yang pasti, secara bersama maupun pribadi, untuk mengubah struktur-struktur kemiskinan dan keterbelakangan dan, khususnya, untuk mengembangkan nilai-nilai moral yang menjamin suatu pembaharuan mentalitas dan sikap-sikap yang harus berhadapan dengan situasi-situasi yang tidak benar. Melalui pendidikan kita ingin mengembangkan suatu budaya altruistik, suatu gaya hidup dan sifat memakai yang sederhana, kesiapsediaan untuk berbagi dengan bebas, pemahaman yang adil sebagai perhatian kepada hak-hak setiap orang; ini merupakan budaya hidup yang bermartabat, komitmen untuk mendukung, keterbukaan kepada yang Transenden.


Beberapa syarat


Pengembangan perhatian kepada hak-hak asasi manusia dan hak-hak orang muda harus menjadi, di dalam tangan-tangan kita, sebuah alat untuk pendidikan dan pembaharuan budaya. Hal itu berarti melihat pada beberapa syarat penting yang akan menjamin berjalannya tugas itu.


Seorang Salesian yang membaca kembali hak-hak asasi manusia

Setiap dari kita, sebagai seorang pendidik, telah memilih suatu pandangan antropologis Kristen, pandangan yang sama yang dimiliki Don Bosco, supaya ia harus menjadi seorang pembela dan penggerak hak-hak asasi manusia dan orang-orang muda. Kita dapat didampingi oleh seorang Salesian untuk membaca kembali prinsip-prinsip yang terdapat pada dasar hak-hak ini. Berikut ini ada beberapa elemen dalam membaca kembali itu, khususnya dalam kaitan dengan hak-hak anak-anak.

Sifat keterpaduan manusia dan aplikasi prinsip tak terpisahkan dan saling ketergantungan antara semua hak-hak dasar pribadi manusia: sipil, budaya, keagamaan, ekonomi, politik dan sosial.

“Saya ingin bahagia sekarang dan dalam hidup abadi” dan aplikasi prinsip keterpaduan perkembangan manusia, suatu perkembangan di mana, dalam pandangan yang holistik Konggres tentang hak-hak anak, termasuk aspek-aspek fisik, mental, budaya, rohani, moral, sosial, politik. Suatu logika kesejahteraan sosial tidak cukup juga tidak bisa menjadi satu jaminan untuk bertahan hidup; kita harus memberikan anak-anak elemen-elemen mendasar bagi perkembangan mereka yang tepat dan menyeluruh; hal ini melibatkan kita dalam memberikan perhatian atas keadaan-keadaan yang ternyata membatasi pandangan holistik ini dalam dinamika proses pendidikan setiap hari.

“Satu demi satu” dan prinsip kepentingan anak yang lebih besar. Prinsip dari Konggres ini menekankan perlunya pemahaman atas setiap situasi yang tepat dan aspek kehidupan anak serta mengetahui bagaimana menghargai pendapat-pendapat anak-anak tentang diri mereka sendiri dalam memilih dan mengarahkan tindakan-tindakan pendidikan yang sesungguhnya baik bagi mereka. Perhatian yang demikian kepada situasi nyata anak adalah penting dalam menghayati Sistem Pencegahan.

Pemusatan perhatian sesungguhnya pada anak sebagai satu pribadi aktif dan partisipasi yang utama. Mendengarkan, melibatkan, menjamin bahwa anak-anak terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan mereka merupakan suatu cara untuk memberikan mereka tanggung jawab sebagai anggota-anggota masyarakat tempat mereka hidup, dan memampukan kemampuan-kemampuan sosial mereka. Di dalam semangat ini kita perlu memandang dengan cara lain jenis-jenis penerimaan dan keterlibatan anak-anak di dalam program-program dan kegiatan pendidikan kita.

“Cukuplah bahwa kalian orang-orang muda bagi saya untuk dikashi” dan aplikasi prinsip tidak adanya diskriminasi. Hal ini terkait dengan menentukan keuntungan-keuntungan istimewa dari perutusan Saleisan: orang-orang muda yang termiskin dan paling malang hidupnya, mereka yang berada dalam bahaya terpinggirkan, mereka yang sakit, para pengungsi, kaum migran, terlantar, anak-anak yang menjadi korban pelecehan dll. Dalam pemahaman ini kita harus mengembangkan partisipasi dan keterlibatan aktif kaum lemah miskin dalam pusat-pusat pendidikan kita, di dalam rencana-rencana kegiatan kita, di dalam berbagai kelompok dll.


Sebuah kerangka pembaharuan untuk saling berbagi di dalam komunitas


Sifat komunal pengalaman pendidikan Salesian menuntut bahwa kita selalu bekerja sebagai sebuah kelompok, sebagai sebuah komunitas pendidikan. Memang tidak mungkin untuk sendiri melakukan segala sesuatu, seperti para pionir, atau dalam tindakan yang dilakukan sendiri-sendiri. Hanya di dalam komunitas kita dapat menjamin adanya situasi-situasi bagi suatu kegiatan dan tempat yang benar-benar edukatif. Kita perlu mengembangkan suatu mentalitas jejaring kerja sama, baik di antara berbagai kegiatan maupun di antara kelompok-kelompok Kongregasi, dan orang lain yang memiliki kehidupan dan pendidikan orang muda di hati mereka. Untuk membaharui masyarakat dari dalam, dengan menjalankan misi pendidikan kita, menuntut kesadaran kembali akan energi-energi sosial dan budaya yang baru, mengatasi situasi-situasi ketidakadilan yang menyolok, meminta tanggung jawab sosial setiap orang. Sebagai Salesian, dengan banyak sumber daya kita dan kekayaan rohani serta warisan pedagogis, kita memegang sebuah tanggung jawab penting. Kita perlu menjadi inti dan pusat penjiwaan setiap orang untuk memanggil bersama setiap orang yang siap mengambil suatu komitmen pendidikan dalam cara yang mendukung menurut gaya Don Bosco. Berbagi dalam pembelaan hak-hak asasi manusia dan anak-anak dapat menjadi sebuah motivasi kuat untuk memberikan kekuatan kerja sama ini dan mempertahankan ketekunan tugas-tugas harian.


Suatu pembaharuan arah pastoral


Untuk efektivitas jaminan atas hak-hak asasi manusia dalam pendidikan Salesian dan kegiatan pastoral diperlukan bertumbuhnya keyakinan akan hubungan mendasar antara pendidikan dan evangelisasi. “Kita perlu untuk mengingat bahwa pewartaan sabdaTuhan itu berkembang sejalan dengan perkembangan manusia dan kebebasan Kristen yang otentik. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama telah menjadi satu: di dalam sesama yang paling kecil kita menemukan Yesus sendiri, dan di dalam Yesus kita menemukan Allah (bdk. Deus caritas est 15). Karena alasan yang sama katekese sosial dan pembinaan yang tepat dalam ajaran sosial Gereja juga diperlukan … Kehidupan Kristen tidak hanya diungkapkan melalui kebajikan-kebajikan pribadi, tetapi juga dalam kebajikan-kebajikan sosial dan politik”.

Kegiatan Salesian juga mencakup suatu keprihatinan bagi keselamatan menyeluruh setiap pribadi: pengetahuan akan Allah, persekutuan anak-anak denganNya melalui pengakuan akan Kristus, Gereja sebagai sakramen perantara. Setelah memilih orang muda dan orang muda yang miskin, para Salesian mendapatkan titik-titik untuk memulai di tempat ditemukan orang-orang muda dan kemungkinan-kemungkinan yang mereka miliki untuk suatu perjalanan iman. Di dalam setiap prakarsa untuk perbaikan, atau prakarsa pendidikan dan pengembangan manusia, keselamatan diwartakan dan dijadikan mungkin, sebuah keselamatan yang akan menjadi lebih jelas sedikit demi sedikit sebagaimana mereka yang terlibat juga menjadi lebih mampu. Kristus adalah hak bagi setiap orang. Ia harus diwartakan tanpa memaksa saatnya, tetapi juga tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja.

Hanya dengan mengacu pada Kristus, Manusia Baru, yang dapat membantu kita untuk memikirkan kembali tugas kita dalam pengembangan hak-hak asasi manusia dan pendidikan orang muda yang paling malang nasibnya dan yang berada di dalam bahaya. Hal itu membantu kita untuk mengerti tujuan akan perwujudan keberadaan manusia seutuhnya. ”Datang berhadapan muka dengan Yesus dari Nasaret … tidak menetapkan apa pun alternatif atau ambang pergantian tetapi memerlukan mereka yang terlibat di dalam pemajuan hak-hak asasi manusia. Memikirkan dan menetapkan kembali dalam kebenaran pria dan wanita di dalam rencana Allah”.


Kesimpulan

Perkenankanlah saya menyimpulkan ini dengan satu puisi singkat oleh Gabriella Mistral, singkat tetapi penuh dengan makna profetis, dan yang mengatakan kita mengapa saat ini lebih dari pada biasanya kita harus berbicara tentang suatu “kemendesakan pendidikan” dan bagaimana saat ini lebih dari pada biasanya jalan yang dapat ditemukan di dalam hati Don Bosco:


Namanya adalah “Hari ini”


Kita bersalah karena banyak kesalahan, banyak pelanggaran,

Tetapi perbuatan kita yang paling jahat ialah menelantarkan anak-anak,

Melalaikan mata air kehidupan.


Banyak dari sesuatu yang kita inginkan dapat menanti.

Anak tidak dapat.

Sekarang ini saja adalah saat tulang-tulangnya terbentuk,

Darahnya sedang dibuat dan indera-inderanya sedang berkembang.

Kepadanya kita tidak dapat menjawab “Besok”.


Namanya adalah “Hari ini”



Gabriella Mistral

Pemenang Hadiah Nobel bidang Puisi dari Cile



P. Pascual Chaves Villanueva