7—Mornese Membuat Sejarah


7—Mornese Membuat Sejarah


KOMUNITAS SALESIAN DON BOSCO

TIGARAKSA





PERJALANAN MENUJU SURGA

(Riwayat Hidup Santa Maria Mazzarello)














Diterjemahkan dari buku:

Halfway to Heaven

By. Peter Lappin


Oleh Para Postulan angkatan 2003—2004








Copyright: SDB Tigaraksa



Kata Pengantar



Berkat di dalam Tindakan



Kami telah menghancurkan kepausan!” mereka berteriak.

Kami telah menghancurkan Gereja Katholik Roma!” kata mereka dengan lebih bersemangat.

Marilah kita jadikan setiap jahitan yang kita buat, ”bisiknya kepada temannya, “sebagai bentuk persembahkan cinta kita kepada Tuhan.”

Pernyataan-pernyataan di atas terjadi pada saat dan tempat yang sama tetapi dilakukan oleh orang-orang yang sangat berbeda dengan maksud dan tujuan yang berbeda pula.

Pada tahun 1855, Parlemen Kerajaan Piedmont sedang mengalami luapan kegembiraan. Penyebabnya adalah adanya perdebatan tentang masalah: Apakah pemerintah harus mengesahkan undang-undang yang akan memaksa tempat-tempat pertapaan dan biara-biara dan mengambil alih bangunan-bangunan dan barang-barang milik mereka, ataukah menolaknya? Perdebatan itu muncul karena di antara para anggota parlement sendiri terpecah antara yang masih setia dengan gereja dan pemerintah. Benso Camillo dari Cavour dan Urban Rattazzi, yang telah mempersiapkan dan mendorong rancangan undang-undang sejauh ini, mendengarkan dengan puas ketika ujung tombak mereka, Joseph Siccardi, membual dengan menentang “pelecehan-pelecehan dan kebohongan-kebohongan, tetapi lebih dari itu borok dari lembaga religius yang terjadi pada saat itu ketika negara sedang berjuang hidup-mati demi kebebasan.” Tuduhan yang terakhir ini ditujukan kepada para pendukung Bapa Suci, yang oleh kelompok antiklerik telah dituduh sebagai musuh kemerdekaan.

Ketika usulan itu benar-benar disahkan maka hal itu mempunyai arti yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda pula. Bagi beberapa orang hal itu berarti berakhirnya pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh kelompok religius; bagi yang lainnya hal itu berati satu langkah lagi terhadap penghacuran Kepausan dan terutama kepada Gereja.

Akibat dari usulan itu adalah dibubarkannya 34 tarekan religius, ditutupnya 334 rumah para religius dan tercerai berainya 5456 religius.

Meskipun demikian di sebuah sudut yang kurang terkenal di provinsi itu, di sebuah desa yang sangat kecil yang bahkan sangat sedikit dari para anggota parlement yang pernah mendengarnya, yang tidak pernah tersentuh sejarah, tidak pernah melahirkan pahlawan seorang-pun, yang tidak pernah memberikan perubahan. Tetapi kita bisa mencatat bahwa ada seorang gadis petani yang bergabung dengan empat gadis petani yang lainnya yang membentuk sebuah kelompok yang kecil yang mempunyai tujuan tidak lebih dari pada keinginan mereka untuk tidak terikat pada kehidupan dunia tetapi berusaha untuk sedapat mungkin terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan.

Marilah kita meyakinkan bahwa setiap jahitan yang kita buat akan kita lakukan demi cinta kita kepada Tuhan.” Hal ini, dan juga keinginannya untuk membantu anak-anak, merupakan keinginannya yang terbesar.

Tetapi gadis inilah yang terpilih untuk memainkan suatu peranan yang penting dalam meruntuhkan kecongkakkan-kecongkakkan yang diakibatkan oleh Undang-undang Siccardi.

Dengan bertambahnya waktu, kelompok kecilnya itu terus berkembang sampai akhirnya sang gadis petani ini menjadi seorang pemimpin dari sebuah kelompok yang sayapnya terbentang hampir ke seluruh penjuru dunia. Di bawab sayapnya itu; ribuan orang miskin, anak-anak perempuan yang terlantar dan tidak mempunyai rumah akan menemukan tempat untuk berteduh, tidak hanya mendapatkan tempat yang nyaman, tetapi juga kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup mereka sebagai seorang wanita yang bermartabat.

Dia bisa menjadikan dirinya sebagai wahana di mana Tuhan bisa mencurahkan rahmatnya, dengan cara berusaha untuk memenuhi rahmat itu. Oleh karena itu dia selalu menyediakan seluruh waktunya kepada wahyu Ilahi dan dia akan merasa sangat sedih jika menghabiskan waktu limabelas menit tanpa berpikir tentang kehadiran Tuhan. Meskipun tidak memiliki pendidikan yang tinggi ataupun pengetahuan yang luas, tetapi melalui kerendahan hatiannya, dia dapat dipercayakan untuk memikul tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sekarang dia telah berdiri dalam sebuah tradisi yang kuat di antara “orang-orang yang kecil” berkat penyelenggaran Ilahi yang selalu muncul di sepanjang kehidupan gereja di mana “yang terkecil di antara semuanya” bisa mengemban tugas-tugas yang terhormat dan karya-karya yang mengagumkan.

Bunga kecil itu menunjukkan keindahannya yang luar biasa ketika dia berkata, “Tuhan tidak membutuhkan bantuan manusia, terlebih orang seperti saya ini.”

Hal yang membuat Maria tidak begitu terkenal bukanlah karena ia tidak mempunyai pengaruh baik kepada kaum muda maupun orang tua di seluruh dunia, tetapi seperti yang dikatakan oleh Paus Pius XI, bahwa ciri khas dari seluruh hidupnya adalah keinginan untuk tetap berada di balik panggung atau seperti yang ia sendiri katakan, ”untuk tetap tidak dikenal kecuali oleh Tuhan.”

Bagimanakah kita bisa meneladani Maria Mazzarello supaya bisa membantu dalam kehidupan kita sehari-hari?

Santo Agustinus meninggalkan kepada kita pendapat yang patut kita ingat yang menyangkut kekuatan dari rahmat. Si iste et ille, cur non ego? Katanya. “Jika orang ini atau itu bisa menjadi seorang santo, mengapa saya tidak?” Atau, mengutip kata-kata dari Santo Thomas More, “Dengan rahmat Tuhan, saya bisa terus maju.”

Rahmat telah membantu membentuk seorang gadis petani yang tidak terkenal menjadi seorang santa yang terkenal dan mempunyai pengaruh di seluruh dunia. Apakah ada batasan-batasan yang bisa Ia lakukan untuk kita?

Kehidupan Maria mungkin telah mempengaruhi orang-orang yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Kepeduliannya kepada kaum muda—kecintaannya kepada kemiskinan dan juga pada orang-orang yang miskin—pencariannya untuk menemukan jiwa-jiwa yang bermurah hati mau melayani Tuhan melalui agamanya—penyerahan diri yang total kepada orang lain.....satu atau bahkan mungkin lebih dari sikap-sikapnya itu mungkin telah mempengaruhi beberapa orang di antara kita. Tetapi apa yang seharusnya mempengaruhi kita semua adalah kepercayaan totalnya kepada penyelengaraan Ilahi.

Hidupnya merupakan salah satu bukti lagi—jika bukti seperti ini dibutuhkan—Tuhan selalu siap dengan berkatnya untuk selalu membantu kita mengatasi rintangan-rintangan yang ada, bersama atau tanpa kita, yang akan menganggu jalan kekudusan dalam kehidupan kita. Dia tidak akan pernah mentulikan telinganya bagi setiap orang memanggilnya, tidak akan bernah menghianati setiap orang yang percaya kepada-Nya.














BAGIAN PERTAMA

Semangat Dari Mornese

























1—Tidak Ada Sesuatu Yang Pernah Terjadi Di Mornese



Pada usia yang masih sangat muda, Maria Mazzarello sangat menyukai telur mentah, keju buatan sendiri dan krim susu segar.

Karena tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan itu dengan cara yang wajar, dia terpaksa mencari cara di luar kebiasaan mereka untuk memuaskan keinginannya itu. Dia akan berkeliling kebun dan memungut telur-telur dari bawah induk-induk ayam, menaruhnya ke dalam sebuah keranjang dan membawanya kepada ibunya.

“Lihat apa yang telah saya temukan di kebun!” katanya kepada ibunya. Mengira bahwa puterinya telah menemukan telur-telur yang berceceran di kebun, ibunya biasanya akan segera menyalahkan induk-induk ayam itu. “Meninggalkan telur-telur di sembarang tempat!” omelnya. “Mengapa ayam-ayam itu tidak bertelur di sarangnya?” Dia memuji puterinya yang pintar dan yang telah mengumpulkan telur-telur yang berserakan itu.

Namun, Maria tetap berdiri di sana, sampai ibunya menyadari hal itu.

“Apa yang masih kamu tunggu?” tanyanya.

Tidakkah Ibu akan memberikan sesuatu karena saya telah memungut telur-telur itu?”

Tentu saja!” ibunya menanggapi. “Ambillah telur ini sebagai hadiah karena engkau telah menjadi seorang anak yang baik.”

Pada suatu kesempatan, ibunya menyiapkan beberapa bola-bola kecil dari keju, kemudian menaruhnya di atas meja untuk dikeraskan. Lalu, Maria menggoyang meja itu dan menarik kain penutupnya, sehingga mengakibatkan beberapa bola-bola keju tersebut jatuh ke lantai. Sebelum ibunya kembali untuk membereskan segala sesuatu yang ada di atas meja itu, Maria telah memuaskan dirinya dengan memakannya. Hal ini seringkali terjadi dan si kucinglah yang biasanya disalahkan.

Pemuasan akan kegemarannya pada krim susu segar merupakan hal yang paling gampang untuk dipenuhinya. Yang harus dia lakukan hanyalah berjalan melalui bak penampungan susu dan kemudian menggunakan sebuah sendok kayu atau kalau perlu hanya mengunakan dua jarinya, dan dia sudah bisa mencicipi barang yang lezat itu. Bagaimana cara memuaskan keinginannya terhadap barang-barang itu bukanlah merupakan suatu hal yang menjadi masalah bagi Maria.

Walaupun harus menanggung beban tambahan untuk menjaga anak-anaknya, Maddalena Mazzarello memastikan bahwa anak perempuan sulungnya mendapatkan pelajaran katekismus dan bagaimana cara mengaku dosa—sesuatu hal yang sangat menjengkelkan bagi Maria. Namun, sebelumnya dia harus yakin bahwa Maria benar-benar memahami apa yang telah pastor katakan dalam kotbahnya dan saat itulah Maria mengalami kesulitan yang serius dalam menghayati agamanya.

Ibu mengajak saya ke gereja setiap Hari Minggu dan memastikan bahwa saya mendengarkan kotbah itu. Ketika kami kembali ke rumah atau pada saat kami berdua saja, dia selalu mengejar saya dengan pertanyaan-pertanyaan. “Apakah engkau ingat apa yang telah dikatakan oleh pastor tadi?” “Apakah engkau mengerti apa yang dikatakannya?” dan seterusnya. Jika saya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pastor itu maka dia akan menjelaskannya kepada saya. Bukan hanya sekali. Saya harus mengakui bahwa mendengarkan kotbah adalah sesuatu yang sangat membosankan – mungkin karena saya tidak mengerti apa yang mereka katakan – maka ketika lonceng berbunyi pada malam hari sebelum hari Minggu atau pada malam hari sebelum hari-hari pesta Gereja, hal itu menjengkelkan saya karena mengingatkan saya akan kotbah-kotbah itu ... Kadang-kadang saya tidak mau pergi ke gereja tetapi Mama tidak akan membiarkan saya melakukan hal itu.

Kotbah-kotbah pada masa itu merupakan sebuah tantangan bukan hanya untuk anak-anak saja tetapi juga untuk orang yang lebih tua. Kotbah-kotbah itu seperti sesuatu hal yang tidak akan pernah berakhir dan hanya mendatangkan kebosanan dan selalu dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang sulit dipahami. Para pengkotbah itu juga sering mengutip kata-kata dari bahasa Latin, walaupun hanya dimengerti oleh pengkotbah itu sendiri, dan hanya supaya bisa menaikkan gengsi dan wibawa mereka.

Kotbah-kotbah itu selalu diulang kembali ketika Maria ingin pergi bersama teman-temannya.

“Tidak. Kamu tidak boleh pergi dari sisiku.”

“Tetapi mengapa, Mama?”

Apakah engkau tidak ingat apa yang dikatakan oleh pastor minggu yang lalu dalam kotbahnya? Di dalam kotbahnya itu, Pastor mengatakan bahwa orangtua mempunyai tugas untuk mengawasi anak-anaknya dan menjadi tugas bagi anak untuk patuh pada orang tuanya.”

Mengapa engkau selalu mengulangi kotbah itu kepada saya, Mama?”

Supaya kamu tidak melupakannya. Seorang anak perempuan yang ingin tumbuh menjadi gadis yang baik supaya disenangi Tuhan, harus mau mendengarkan kotbah-kotbah. Dari kotbah-kotbah itu dia akan belajar untuk menjadi patuh dan tidak akan pernah pergi meninggalkan orang tuanya.”

Maria segera menemukan cara agar bisa mempertahankan diri dari pertanyaan-pertanyaan ibunya. Selama kotbah, dia memaksa dirinya untuk tidak mendengarkan dan membiarkan dirinya sendiri tertidur! Bagaimana dia diharapkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kotbah itu, sedangkan dia sendiri tidak mendengarkannya?

Hal lain yang tidak Maria sukai pada praktek hidup beragama adalah tentang sikap pamer. Karena ada suatu kebiasaan bahwa anak-anak dari suatu keluarga dapat tinggal untuk beberapa waktu dengan keluarga lain, maka Maria pun pergi dan tinggal dengan keluarga Bodrato yang tidak mempunyai anak. Ketika dia pergi, ayahnya segera merindukannya dan atas desakannya, Maria segera kembali ke rumah. Dia bercerita kepada orang tuanya bahwa praktek agama keluarga Katharina Bodrato tidak menarik baginya. Katharina berdoa dengan kata-kata yang panjang dengan mengunakan doa-doa resmi di gereja dan agak memamerkan hal tersebut. Maria mengakui bahwa dia lebih menyukai kesalehan beragama yang hangat dan sederhana seperti yang ia temukan di rumahnya.

Kemudian ibunya membawanya untuk mengikuti pelajaran katekismus yang diberikan kepada anak-anak setelah misa, pada saat yang pertama dia duduk di bangku yang paling sudut sambil mendengarkan dengan mata dan mulut terbuka lebar. Tetapi pada saat pertama kali dia ditanyai, pastor itu terkejut atas jawaban yang jelas yang dia berikan dan juga pemahamannya akan apa yang telah dikatakan.

Suatu pertanyaan yang seringkali dia lontarkan adalah “Siapakah Tuhan itu?” Jawaban-jawaban yang diberikan tidak pernah memuaskan dia. Pada suatu saat dia mendekati ayahnya dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang Tuhan kerjakan?“

Dia menciptakan seluruh bumi, saya serta kamu termasuk di dalamnya.”

Dan sebelum Dia menciptakan seluruh bumi apa yang Ia lakukan?”

Dia merenungkan diri-Nya, Dia mencintai diri-Nya dan Dia memuja diri-Nya.” Masih merasa bingung, Maria menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika dia ingin tahu lebih banyak lagi, ayahnya tidak bisa menjawabnya lagi. Semua jawaban yang diberikannya itu merupakan hasil dari apa yang telah diterimanya pada saat belajar katekismus dan merupakan batas pemahamannya.

Walaupun demikian, Maria tetap mempertahankan pertanyaan-pertanyaan ini di dalam pikirannya dan hal ini menimbulkan semangat untuk berusaha mencari jawabannya dan semakin menumbuhkan cintanya kepada imannya.

Pada kelas katekismus inilah dia dengan perlahan-lahan membuang rasa malunya dan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pastor dengan begitu cepat sehingga pastor itu menyuruhnya mengikuti lomba untuk mendapatkan hadiah-hadiah kecil yang diberikan kepada mereka yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Dia berhasil menjawab dengan sangat baik dan sering memenangkan hadiah-hadiah tersebut sehingga sejak saat itu pastor itu mulai menjadikannya sebagai teladan.

“Bagaimana caranya”, pastor itu bertanya, “seorang gadis kecil yang tinggal di desa dan tidak selalu hadir dalam pelajaran, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih baik daripada kalian? Kalian bahkan tidak bisa mengulang doa-doa itu, sementara dia malahan bisa menyanyikannya seperti burung.”

Keberhasilan Maria ini membuatnya menaikkan sasarannya. Dia mencoba meraih “penghargaan” pada saat perlombaan antara anak laki-laki dan perempuan yang terpandai yang diadakan pada setiap hari minggu. Dia menjuarainya pada usaha pertamanya dan mulai saat itu ia selalu menjadi juara. “Saya harus menang atas siapapun juga!” katanya. “Meskipun mereka anak laki-laki, saya tidak takut pada mereka. Saya akan mengalahkan mereka!”

Suatu saat, dia dan sahabatnya Petronilla bersama-sama memenangkan hadiah dan “penghargaan” itu. Hadiahnya adalah sebuah buku yang pastor berikan kepada Maria.

Bagilah buku ini di antara kalian” katanya.

Namun, karena begitu bersemangat untuk menang dan untuk mempelajari buku itu, Maria tidak membagi hadiah itu dengan kawannya. Dia menyimpan buku itu untuk dirinya sendiri.

Keinginan-keinginan Maria begitu kuat, sehingga memerlukan kehendak yang kuat untuk mengendalikannya.

Maria sebenarnya tidak dIlahirkan di desa Mornese. Untuk bisa sampai ke daerah kelahirannya seseorang harus melalui sebuah jalan kecil, berliku-liku di sebelah timur sepanjang pinggiran lembah yang dikenal dengan nama ‘tiga frazioni’, atau dusun Mornese. Ketiga dusun kecil itu diberi nama Mazzarelli di quá, Mazzarelli di lá, dan Mazzarelli di mezzo: yang berarti Mazzarelli di sini, Mazzarelli di sana dan Mazzarelli di tengah. Pada Mazzarelli di sini, terdapat sebuah jalan kecil yang mengarahkan ke sebuah rumah yang tinggi dan berwarna putih, berbentuk bujur sangkar dan bertingkat tiga.

Di rumah inilah pada tanggal 9 Mei 1837, satu tahun setelah wabah pes, Maria Domenica Mazzarello lahir dan pada hari yang sama dia dibaptis di gereja paroki Santo Nicolas dan Silvester.

Di sini Joseph Mazzarello, ayahnya, tinggal bersama isterinya dan dua orang saudaranya. Ketika salah satu saudara laki-lakinya beserta isterinya meninggal akibat wabah pes, dia mengadopsi salah satu dari dua anak-anak perempuannya, yaitu Domenica, yang pada saat itu berusia 12 tahun, sementara saudara laki-lakinya yang lain mengadopsi adiknya.

Orang tua Maria tinggal di bagian tengah bukit yang memiliki jalan yang menuju ke barat. Maria bisa melihat di belakang empat pohon pir yang besar, gereja kampung tersebut, dan di bagian timur kira-kira dua ratus meter, sebuah kapel yang dipersembahkan kepada Bunda Maria Penolong Umat Kristiani dan St. Laurensius sebagai ucapan syukur karena telah terhindar dari keganasan wabah penyakit pes.

Ayah Maria adalah seorang Piedmontese, kuat dan kurus karena harus bekerja keras di ladang. Penghayatan keagamaan yang mendalam, yang tidak mau berkompromi dengan perbuatan yang menyebabkan dosa baik melalui tindakan maupun kata-kata. Seperti halnya setiap orang dari Piedmontese dia juga mempunyai bakat untuk berbisnis.

Ibunya, Maddalena Calcagno berasal dari tempat yang tidak jauh dari situ yaitu Tramontana. Kehidupan keagamaaan orang-orang di Tramontana sama baiknya, mempunyai sifat menuruti suasana hati, emosinya yang meledak-ledak, dan cerdas dalam berpikir. Kedua orang itu sangat dihargai oleh penduduk di Mornese.

Dua tahun kemudian anak yang lain lahir dari pasangan Joseph dan Maria, namanya Maria Felicina. Hubungan antara Maria dan Felicina terjalin akrab semenjak dia dIlahirkan, Felicina selamanya ada di dalam hati Maria sebagai, la piccina, “si kecil,” seperti Maria yang bagi ibunya akan selalu menjadi Main atau “Maria kecil.”

Karena keluarganya sedang berkembang dan karena dia mampu melakukannya, maka Joseph memutuskan untuk membangun sebuah rumah yang lebih besar. Setelah pembagian yang adil dari warisan keluarga pada tahun 1843, dia menyewa satu dari rumah-rumah milik Marquis Doria, di mana dia juga telah menyewa kebun anggurnya.

Rumah baru mereka terletak di tepi lembah yang berlawanan dengan tiga Mazzarelli. Tempat itu dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam dari desa itu, tetapi dengan cara memotong jalan melewati hutan dan ladang, jarak itu dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.

Karena rumah itu memiliki nama La Valponasca, sejak saat itu Joseph dikenal dengan sebutan Joseph dari La Valponasca dan Maria dikenal sebagai Maria dari La Valponasca, hal ini dapat membantu dia untuk membedakan dari Maria-Maria yang lainnya dan juga dari Mazzarello-Mazzarello lainnya yang ada di desa itu.

Antara tahun 1845 dan 1859 sebanyak lima anak lagi lahir dalam keluarga Mazzarello: Dominic pada tahun 1846, Maria Phillomena pada tahun 1848, Yoseph pada tahun 1850, Assunta pada tahun 1852 dan Nicola pada tahun 1859.

Di antara penduduk desa keluarga Mazzarello terkenal karena semangat kesalehannya dan ketaatan mereka dalam melaksanakan tugas-tugas keagamaan mereka. Mereka juga menunjukkan kedekatan di antara para anggota keluarga, karena mereka tinggal di luar desa dan mereka juga harus mencari hiburan di rumah mereka sendiri. Selain itu, setiap orang yang dapat bekerja harus bekerja. Maria sendiri mempunyai cukup banyak pekerjaan selain masih harus membantu ibunya yang harus mengurus anak-anak di rumah atau di tempat lainnya, atau membantu ayahnya di ladang.

Keadaan lingkungan yang seperti itu membuat Maria bisa tumbuh menjadi seorang gadis desa yang sehat yang mempunyai kaki yang cukup kuat bahkan untuk berjalan tanpa alas kaki menelusuri ladang dan kebun anggur. Matanya coklat, tajam dan penuh kehidupan, yang terpancar pada saat dia bergembira, dan hal itu sering kali terjadi. Di samping sifat-sifatnya yang rajin dan jujur itu wajahnya juga mudah memerah ketika dia merasa malu atau kapanpun dia berusaha untuk mencegah watak aslinya itu muncul. Kekerasan sifat yang ada di dalam dirinya, ditutupi dengan sifat-sifat yang lembut, sering tersentum dan murah hati.

Walaupun Maria merupakan bantuan yang sangat besar bagi ibunya di rumahnya dan untuk mengurus adik-adiknya, ketika Fellicina sudah cukup dewasa untuk mulai mengambil alih tugasnya di rumah, Maria lebih suka bekerja dengan ayahnya di ladang.

Ayahnya tidak pernah membiarkan Maria pergi keluar seorang diri, namun dia selalu bahagia melihatnya berada sampingnya dan ketika Maria bekerja dengan ayahnya, tidak ada seorang pun yang berani menyindirnya. Kadang-kadang dia mendengar para pekerja berbicara dan tertawa tentang suatu hal, tetapi ayahnya akan berseru dan para laki-laki itu akan segera diam. Dia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa walaupun dia hanyalah seorang gadis kecil tetapi dia dapat berguna bagi ayahnya. Dia menunjukkannya dengan cara membantunya pada saat hitung menghitung karena ia ternyata mempunyai kemampuan menghitung cepat dengan mengunakan jari-jarinya. Lebih dari sekali, dengan menghitung dengan benar, ia telah menyelamatkan ayahnya dari perasaan malu pada saat membayar para pekerja, pada saat jual-beli hasil ladangnya atau pada saat membayar pajak. Ayahnya membalas jasanya itu dengan mengajarkannya beberapa bagian dari katekismus yang tidak bisa diajarkan oleh ibunya, dan sedapat mungkin mengajarkannya membaca.

Ketika ia tumbuh dewasa, dia dikenal sebagai seorang gadis pekerja keras, mampu mengatur hal-hal di rumah maupun di ladang.

Hal ini memang benar. Di ladang, dia dapat melampaui pekerjaan kaum laki-laki upahan ayahnya. Pada awalnya hal itu membuat ayahnya begitu gembira karena sejak saat itu para pegawainya bekerja dengan lebih keras supaya tidak dikalahkan oleh gadis kecil itu! Namun pada akhirnya, bagaimana pun juga ayahnya menyarankan untuk bekerja lebih pelan.

Masih ada hari esok.” Kata ayahnya. “Selain itu saya sedikit kuatir bahwa para pekerja itu tidak akan mau bekerja kepadaku lagi karena mereka akan dipermalukan oleh anak gadisku!”

Maria mencintai ayahnya dan sebaliknya. Ayahnya sering mengajaknya pergi ke pasar biasa atau pasar malam. Dengan kepercayaan seorang anak, dia memegang tangan ayahnya dan tidak mau melepaskansupaya dia tidak terpisah dari ayahnya di tengah keramaian. Ketika dia melihat dan mendengar apa saja yang ada di sekelilingnya, terpesona oleh beberapa gambar dan suara, ayahnya selalu berhati-hati untuk selalu menjaga kemurnian pikirannya dan berusaha memastikan bahwa Maria bertindak selayaknya seorang gadis muda.

Kapanpun mama menyuruh kami untuk melakukan sesuatu,” kata Maria mengingatnya, “dia selalu memberikan alasan-alasan untuk mendukung apa yang dia inginkan. Papa mempunyai pendekatan yang berbeda. Dia hanya mengatakannya sekali dan mengharapkan kami mematuhinya.”

Meskipun ayah mempunyai sifat yang keras tetapi pada dasarnya ia sangat mencintainya, kadang-kadang bahkan sampai berlaku boros. Pada suatu kesempatan pada saat mereka sedang berada di pasar malam, mereka melewati sebuah kios yang menjual sepatu. Sepasang sepatu berwarna hitam yang baik, dengan kancing yang bagus sangat menarik perhatian Maria dan dia mengoyang tangan ayahnya, meminta untuk dibelikan sepatu itu. Diam-diam, ayahnya merasa sangat bahagia melihat anak perempuannya itu memperlihatkan sepatu yang mahal tersebut kepada teman-temannya.

Keinginan Maria yang kuat untuk mendapatkan sepatu itu menunjukkan keinginannya supaya mendapatkan pengakuan dari teman-temannya.

Dia suka memakai baju sebaik mungkin dan hal itu berarti selalu sedikit lebih baik daripada anak-anak lainnya. Akhirnya dia mendapatkan julukan bula, atau seseorang yang membuat orang lain terkesan melalui tindak-tanduknya, penampilannya dan sikapnya.

Berapa banyak aku berhutang perhatian ayah kepadaku!” belakangan Maria mengatakannya. “Jika ada sesuatu yang baik dapat ditemukan di dalam diri saya, hal itu berkat ayahku! Melalui kejujurannya, lewat caranya berbicara kepada saya, lewat perbuatannya setiap saat, dia dapat dibandingkan dengan orang kudus. Setelah masa-masa berikutnya barulah saya mengerti dan hal itu menyebabkan saya lebih bersyukur lagi kepadanya.”


Di bagian selatan dari daerah yang sangat luas, di suatu tempat yang sangat subur karena terdapat sungai Po, terletak daerah yang bernama Monferrato atau Bukit-Bukit Besi yang terkenal dengan udaranya yang sangat dingin. Tempat ini terletak di kaki Pegunungan Appeninnes yang menghadap ke pantai Liguorian. Bukit yang naik-turun itu seperti sebuah gelombang samudera yang sedang dilanda badai dengan ketinggian mencapai 5.000 kaki di Gunung Elisa. Pada salah satu puncak dari suatu gelombang pegunungan itu, terdapatlah sebuah puncak dengan ketinggian seribu kaki di atas permukaan laut dan di situlah terletak desa Mornese. “Di atas permukaan laut” adalah ungkapan yang pantas. Jikalau dilihat dari suatu jarak tertentu, desa itu memberi kesan seperti sebuah perahu di atas suatu puncak gelombang yang besar, dengan puncak menara gerejanya seperti sebuah jembatan dan hijaunya tanah berumput seperti gelombang yang mengalir, memberi kesan surutnya lautan. Satu-satunya jalan yang menghubungkannya dengan dunia luar adalah jalan yang sempit dan memutar dari Ovada, stasiun kereta api terdekat, yang memotong desa itu menjadi dua dari utara ke selatan. Jalan ini juga terpotong oleh satu-satunya jalan milik penduduk desa itu. Karena Mornese dibangun di atas bukit, maka tanah yang datar berharga sangat mahal. Mornese sangat kacau karena penuh lekukan, tikungan-tikungan, sudut-sudut, jalan-jalan setapak dan lereng-lereng, di mana air akan langsung mengalir ke jalan-jalan. Di Mornese, seseorang akan berjalan naik bukit atau turun bukit.

Tidak ada tempat umum untuk hiburan dan hanya ada rumah-rumah kecil dan beberapa toko-toko kecil yang menjadi ciri khas Mornese dan sebagai sumber berita bagi seribu dua ratus penduduknya perihal dunia luar adalah apa saja yang mereka dengar di pasar dekat Casalegno, Lerma dan Reccagrimaldi, atau dari para pengumpul pajak dari Ovada, yang berjarak 11 atau 12 km ke arah barat, yang biasanya datang untuk mengumpulkan pajak dari para pembuat ubin, penjual tembakau, pembuat kertas, perusahaan bubuk mesiu, dan pembuat kaca. Sedangkan berita-berita yang berhubungan dengan Gereja biasanya datang dari Acqui, 23 km ke arah timur laut di mana terdapat Istana Keuskupan Diosesan Acqui.

Jalan pintas di desa mendaki ke arah kanan sampai mencapai kaki dinding-dinding yang kokoh, gelap dan suram dari Benteng Dorio yang melindungi para penghuninya. Ke arah kanan akan memotong Via Chiesa yang dapat dilewati dengan pendakian melintasi sebuah lapangan kecil dan di tepinya berdirilah gereja paroki.

Bagian muka gereja itu memiliki keindahan gaya romawi dengan satu pintu tengah dan dua pintu samping serta sebuah menara lonceng yang tinggi di sebelah kirinya. Sebuah batu langka menutupi baik gereja atau lapangannya. Dari ketinggian lapangan itu, pada setiap Hari Minggu dan Hari-hari pesta orang-orang biasanya akan saling menukar berita sambil mengagumi keindahan latar belakang gereja itu yaitu sebuah jalan berbukit, kebun anggur dan kebun-kebun sayuran. Keretakan-keretakan yang dalam telah mengancam bukit-bukit itu, hal ini disebabkan baik oleh cuaca maupun oleh gempa bumi pada masa lalu. Bagian dalam gereja, mengikuti gaya pada saat itu, dipenuhi dengan dekorasi-dekorasi yang terpasang secara teratur. Sebuah kayu dari pohon Oak dipelitur dan ditegakkan di atas mimbar sebagai salib.

Mornese biasanya digambarkan sebagai terra arse e ferto, aperta al sole e al vento yang berarti “sebuah tanah yang terbakar dan kuat dan sangat terbuka terhadap sinar matahari dan hembusan angin,” dan keterbukaan inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya perubahan angin yang mendadak yang datang menyilang dari arah utara dan selatan.

Angin dari arah utara turun dengan panas dari letusan-letusan Gunung Alpine selama musim panas, sedangkan yang berasal dari selatan membawa kabut dari laut dan hujan. Musim dingin yang panjang dan tidak nyaman diiringi dengan turunnya salju yang sangat lebat. Tanah yang ada berasal dari endapan tipis lahar di mana tanaman bisa tumbuh, tetapi tidak cocok untuk tanaman-tanaman pertanian. Meskipun demikian tanah itu sangat cocok untuk sejenis anggur yang sangat bermutu yang dikenal dengan nama dulcetto, sebuah nama yang berarti sedikit manis meskipun anggur ini termasuk jenis yang tumbuh di daerah yang kering, dan merupakan sumber pendapatan utama penduduk di sana.

Para ahli sejarah menemukan kesulitan untuk mengetahui asal mula keberadaan daerah ini. Beberapa ahli mengadakan penyelidikan sampai pada zaman Romawi bahkan pada masa sebelum zaman Romawi. Beberapa ahli yang lainnya memperkirakan bahwa daerah itu berasal dari jaman Feodal pada abad pertengahan ketika para budak memberontak dari Tuan-tuan mereka, melarikan diri dari istana dan membangun rumah-rumah di sekitar daerah itu. Hal itu tidak pernah dicatat dalam sejarah karena daerah itu terletak di luar pusat kota dan hanya mendapat sedikit pengaruh dari beberapa kejadian-kejadian penting yang telah terjadi selama beberapa abad. Sejarah telah berlalu tanpa menyentuh daerah itu kecuali catatan naik turunnya harga anggur, kemarahan yang besar akibat naiknya pajak dan kejadian-kejadian yang lain yang muncul secara sporadis. Meskipun demikian kehadiran orang-orang Perancis di Piedmont memberikan suatu pengaruh yang penting untuk daerah terpencil itu, yaitu masuknya pengaruh Jansenisme. Orang-orang di daerah itu mempunyai kebiasaan menghayati kehidupan keagamaannya dengan keras, dan pengaruh Jansenisme yang paling mencolok adalah adanya perubahan pemahaman akan cinta mereka kepada Tuhan menjadi suatu ketakutan kepada-Nya.

Pada saat Maria sedang mengalami masa pertumbuhan ada beberapa perubahan yang terjadi di Piedmont. Dia tidak pernah mendengar adanya perubahan-perubahan itu dan andaikata mengetahuinya, ia pun pasti tidak akan memahaminya. Karena Perjanjian Vienna, perbatasan Piedmont telah bertambah besar dan luas. Pemerintahan yang terdahulu di mana kehendak raja adalah hukum diganti menjadi sebuah pemerintahan yang didasarkan pada pemilihan. Pada tahun 1848, Raja Charles II mengizinkan diberlakukannya sebuah Undang-Undang Dasar untuk Piedmont beserta dengan parlemennya. Inilah satu-satunya parlemen di Italia yang tidak pernah dibubarkan sampai akhirnya diganti pada tahun 1870 dengan Parlemen Italia bersatu yang berkedudukan di Roma.

Perubahan-perubahan penting yang lain juga terjadi di sana dan hal itu mempengaruhi seluruh semenanjung itu. Daerah Italia menjadi impian untuk dikuasai oleh orang-orang Jerman, Polandia dan bahkan Rusia. Keinginan untuk membebaskan diri dari kehadiran mereka dan keinginan untuk mempersatukan Italia di bawah satu bendera segera berkobar. Piedmont menjadi pusat pergerakan ini dan bahkan bisa dikatakan sebagai otak seluruh pergerakan.

Sayangnya, karena Paus juga memiliki kekuasaan di Kerajaan Kepausan, dia mulai mempertanyakan persatuan ini. Meskipun dia tidak menentang persatuan seluruh Italia, dia masih berusaha untuk mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dan meminta beberapa jaminan dari kaum revolusioner. Akan tetapi karena para revolusioner berkeyakinan bahwa pemberian beberapa jaminan itu merupakan sebuah penghianatan dari kepercayaan mereka, maka mereka menolaknya.

Para pejuang Katholik dihadapkan pada sebuah masalah yang serius: berada di pihak kaum revolusioner berarti melawan Paus, sedangkan berada di pihak Paus maka akan dianggap menentang persatuan. Masalah ini harus mereka hadapi selama hampir lima puluh tahun.

Sebagai puncak dari semua ini, Revolusi Industri yang tertunda menimbulkan masalah-masalah lain dalam bentuk yang berbeda. Kebutuhan akan para pekerja menciptakan perpindahan yang mendadak kaum muda yang mau mencari kerja ke kota-kota. Akibat langsung dari kejadian ini adalah sulitnya mendapat kesempatan untuk bisa berkumpul bahkan untuk waktu yang singkat baik di rumah, sekolahan, gereja dan tempat-tempat sosial dan di tempat-tempat lainnya.

Di bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat persoalan-persoalan baru bermunculan, keputusan-keputusan penting diambil, pertempuran-pertempuran besar yang mengakibatkan kemenangan atau kekalahan, meskipun demikian tidak ada sesuatu pun yang pernah terjadi di Mornese.


2—Kegemparan Di Mornese!



Mornese sedang mengalami kegemparan? Ya. Penduduk di daerah itu sebelumnya tidak pernah merasa begitu terganggu seperti yang mereka alami sekarang ini kecuali dahulu saat ada pengumuman bahwa anak-anak mereka diharuskan mengikuti wajib militer dan pergi berperang. Tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan kecuali hal itu. Rencana-rencana telah dibuat supaya sebanyak mungkin anggota keluarga-keluarga tersebut bisa menyaksikan peristiwa itu. Bahkan ada beberapa orang yang membicarakan usaha untuk mencegahnya, akan tetapi orang-orang yang lebih bijaksana akhirnya menang. ”Biarlah kita memastikan bahwa hal itu memang benar-benar terjadi. Kemudian kita akan berusaha untuk mencegah kejadian yang sama terjadi lagi.” Ini hanyalah salah satu pendapat saja. Masih ada yang lainnya. ”Itu hanyalah sebuah rencana yang gila dan pasti akan segera lenyap. Lagipula, kitalah yang harus melakukannya. Dan apakah kita seperti orang-orang semacam itu? Tentu saja bukan. Biarlah semua hal itu lenyap karena kurangnya dukungan.”

Selain itu, orang-orang melihat hal ini sebagai sebuah serangan langsung kepada salah satu kepercayaan yang sangat mereka hargai. Bahkan hal itu digunakan untuk menyerang keberadaan Gereja. Kata-kata seperti “profanisasi” dan “sacrilege” telah diucapkan. Tetapi pendapat umum mengatakan bahwa jika tindakan yang nyata harus diambil, harus menunggu sampai peristiwa itu terjadi.

Kejadian apakah yang telah menganggu hati para penduduk desa yang biasanya tenang ? Apakah “profanisasi,” ataukah “sacrilege” itu?

Apapun itu, semuanya disebabkan oleh semangat dari seorang imam muda yang datang untuk berkarya di antara orang-orang di desa asalnya.

Dominikus Pestarino dIlahirkan di Mornese pada tanggal 5 Januari 1817, dari pasangan Johanes Pembaptis Pestarino dan Rose Gastaldi dan merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara yang terdiri dari lima anak laki-laki dan enam anak perempuan. Salah seorang saudara laki-lakinya menjadi dokter, yang lain menjadi ahli kimia, tiga orang saudari perempuannya menjadi biarawati dan tiga lainnya sudah menikah. Keluarga tersebut tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas, tetapi juga sangat tekun dalam menjalankan kewajiban keagamaannya. Paman Dominikus adalah juga seorang pastor dan tinggal di rumah keluarga tersebut, yang mana pasti mempengaruhi keadaan rumah tersebut.

Awalnya Dominikus bersekolah di Ovada bersama dengan pastor-pastor Scalopian. Lalu ia pergi ke Acqui untuk pendidikan yang lebih tinggi, kemudian ke Genoa di mana ia menyelesaikan pendidikan imamatnya. Karena kesalehan dan selalu menjadi juara satu di kelas, dia diterima dengan baik oleh guru-guru maupun teman-temannya. Meskipun tingginya kurang dari rata-rata tetapi ia gesit dan ia berhasil membuat hidup menjadi menyenangkan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya dengan kemurahan hati, cerita-cerita lucu dan rasa humornya.

Sesudah ditahbiskan tanggal 21 September 1839, dia ditunjuk sebagai prefek atau kepala asrama bagi seminaris-seminaris muda, sebuah jabatan yang berhasil ia emban dengan sangat baik. Pada saat itu orang-orang menyebutkan sebagai “kecil tetapi kokoh” dan dalam kehidupan selanjutnya banyak sifat-sifat yang dia miliki itu membantunya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ia hadapi.

Andaikata daerah itu dalam keadaan yang normal, dia lebih suka tinggal di seminari, akan tetapi Vincenzo Giorberti telah menyerang keras para Jesuit, kongregasi-kongregasi religius yang lainnya dan juga para imam, dan sementara itu masyarakat umum dibakar oleh sentimen antiklerik dan adanya upaya penyerangan secara fisik yang diarahkan kepada kaum Jesuit, anggota-anggota dari kongregasi-kongregasi yang lain dan juga para imam dan bahkan mereka menjadi target penganiayaan secara terbuka. Selama masa itu, perlindungan hukum terhadap mereka sangat diabaikan. Pastor Pestarino sendiri dituduh sebagai tersangka pelaku revolusi.

Masih ada alasan yang lain kenapa Dominikus memilih untuk meninggalkan Genoa dan kembali ke Mornese, yaitu ayahnya yang sudah lanjut usia. Pada tahun 1846, ayahnya genap berumur 65 tahun dan menginginkan anaknya tinggal bersamanya sehingga dapat merayakan misa di kapel pribadi yang akan dibangun di dalam rumahnya. Pada masa itu adalah sesuatu yang biasa bagi sebuah keluarga memiliki pastor keluarga yang bertindak sebagai imam di rumah dan sekaligus guru bagi anak-anak mereka.

Gereja melihat bahwa pastor-pastor yang mempunyai kerasulan di dalam rumah orang-orang kaya itu semakin banyak dan hal itu merupakan suatu penyalahgunaan. Mereka telah melakukan suatu pemborosan tenaga yang sebenarnya bisa digunakan untuk memimpin dan membina kelompok beriman. Kelompok antiklerik menuduh para pastor ini telah melupakan orang miskin dan mementingkan orang kaya.

Menanggapi masalah ini, Pastor Pestarino berpikir bahwa karena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok antiklerik yang ada di Genoa, tidak ada banyak kesempatan baginya untuk menjalankan kerasulannya di sana.

Pada kenyataannya, ayahnya telah mengizinkannya membangun oratori dan kemudian diberkati pada tanggal 22 Juli 1846. Pada waktu itu, Pastor Pestarino telah memohon ke Tahta Suci untuk ditugaskan di desanya. Sebelum mengajukan permohonannya itu, ia merasa lebih baik meminta nasehat kepada mereka yang bertugas sebagai prefek di seminari dan dari beberapa temannya yang merupakan imam-imam yang berpengaruh misalnya Pastor Cajetan Alimonda, lalu Uskup Agung Turin, dan Pastor Joseph Frassinetti, seorang teolog yang terkenal.

Apapun alasannya, pada tahun 1847 Pastor Pestarino telah tiba di Mornese dan kata-kata pertama yang diucapkannya di mimbar adalah, ”Berilah saya pekerjaan. Bukan pekerjaan di lapangan tapi pekerjaan rohani, pekerjaan yang Tuhan inginkan dari saya. Banyak tawaran yang diberikan kepada saya tetapi saya lebih memilih untuk datang kepada kalian.”

Mengenai Pastor Lawrence Ghio; Pastor Paroki di daerah itu, dia tidak bisa lebih senang lagi. Karena kesehatannya yang menurun dan umurnya yang terlalu tua untuk memenuhi semua tugasnya sebagai seorang pastor, dia merasa lebih dari sekedar bahagia mendapatkan seorang pastor pembantu yang sangat giat. Seiring berjalannya waktu, ia merasa lebih percaya kepada pastor ini dan memberikan kebebasan yang lebih besar untuk mewujudkan rencana-rencananya. Apapun yang dilakukan oleh Pastor Pestarino, kita bisa yakin bahwa semua itu dilakukannya demi keselamatan jiwa-jiwa.

Ajaran Katholik adalah sebuah jalan hidup dan seorang pastor merupakan seseorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan penduduk di desa itu. Pastor biasanya adalah satu-satunya orang yang terpelajar dalam masyarakat dan harus selalu ada ketika diperlukan, dan jika diperlukan kadang-kadang membingungkan lawan-lawannya dengan kutipan-kutipan dari Bahasa Latin! Dia juga biasanya agak terisolasi dan diharapkan untuk tidak bergaul terlalu bebas dengan orang-orang.

Pastor Pestarino baru saja memulai karya pembaharuan kehidupan spiritual di desa tersebut, ketika dia berhadapan dengan rintangan yang kelihatannya tak bisa diatasi. Dengan kecewa, ia menemukan bahwa para penduduk desa itu sangat tidak peduli dalam bidang agama. Tidak peduli berapa lama atau betapa tekunnya ia berkotbah, ia hanya mampu menyentuh beberapa hati saja. Apa yang salah dengan orang-orang ini? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Setan manakah yang telah merusak dengan begitu mendalam orang-orang di desa ini?

Meskipun Jansenisme telah lama dikutuk oleh Gereja, walaupun tidak lagi kelihatan pengaruhnya tetapi masih tetap mengakar di desa itu, dan akibatnya yang sangat berbahaya terlihat dalam kebulatan tekad mereka untuk tidak menerima Komuni Kudus lebih dari sekali setahun. Selain itu, sakramen ini hanya bisa diterima pada saat pernikahan ataupun pada saat seseorang hampir meninggal. Untuk melakukan hal yang berlawanan dari ketentuan itu merupakan perbuatan dosa karena tidak mempunyai rasa hormat kepada sakramen itu.

Mengetahui bahwa akan ada perjuangan yang panjang, Pastor Pestarino menjalankan rencananya. Sebagai langkah pertama, dia harus meyakinkan beberapa orang dari kalangan terbaik anggota jemaatnya, tanpa bermaksud melanggar penghormatan kepada KeIlahian Kristus dan hanya demi keuntungan jiwa mereka, untuk menyambut komuni kudus lebih dari sekali setahun. Hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Dia tidak hanya harus meyakinkan mereka tentang hal ini, tetapi juga harus menanamkan pada diri mereka keberanian yang cukup untuk menghadapi tantangan dari beberapa orang di dalam masyarakat. Ketekunannya membuahkan hasil ketika akhirnya dia berhasil membujuk seorang jiwa pemberani—seorang wanita—untuk menyambut Komuni Kudus di luar masa Paskah.

Ketika Maria mendengar hal ini untuk pertama kalinya, dia mendekati ayahnya yang diharapkan dapat memberikan bimbingan kepadanya.

Papa,” katanya, “Bagaimana pendapat anda tentang menyambut Komuni Kudus lebih dari setahun sekali sebagaimana yang dianjurkan oleh Pastor Pestarino ?”

Belum pernah ada yang melakukan hal itu sebelumnya”,

Tetapi jika Pastor Pestarino mengatakan begitu, itu pasti benar, bukan?”

Janganlah menjadi yang pertama untuk mencobanya; atau juga janganlah menjadi orang yang terakhir untuk meninggalkan hal-hal yang lama.”

Tetapi ayah, saya ingin sekali menyambut Komuni Kudus lebih sering!”

Masih ada waktu untuk itu.”

Ayah, dapatkah saya melihat wanita ini menyambut Komuni Kudus?”

Saya tidak ingin kamu ke sana sendirian. Mungkin akan berbahaya.”

Apakah ayah mau menemani saya?”

Kita akan pergi bersama.”

Meskipun sudah menjadi kebiasaan untuk datang lebih awal pada saat misa, pada hari Minggu yang istimewa itu, Maria dan ayahnya kesulitan mencari tempat ketika tiba di gereja tersebut. Orang-orang berduyun-duyun datang ke gereja, jika bukan karena devosi, pastilah karena keinginan tahu mereka tentang sebuah peristiwa penyambutan komuni di luar Paskah yang telah meluas seperti api yang melebar. Maria menemukan bahwa ada suasana yang bersemangat dan ketika kejadian yang luar biasa itu terjadi yaitu ketika dia melihat wanita tersebut mendekati altar untuk menyambut komuni, dia sendiri merasa tegang. Dia melihat sekelilingnya, orang-orang berdiri bertumpu pada ujung jari kaki mereka masing-masing dan mereka yang di bagian belakang naik ke atas bangku, supaya jangan sampai ketinggalan menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka menunggu sampai wanita itu selesai menyambut dan kembali ke tempat duduknya. Lalu suara gaduh mulai memenuhi gereja yang kemudian dengan cepat hening kembali ketika Pastor Pestarino menoleh ke belakang dan menatap mereka sampai mereka semua diam sampai misa itu selesai.

Ketika sudah berada di luar gereja, bagaimanapun juga, mereka yang mengagumi wanita itu memberikan selamat atas keberaniannya, sementara mereka yang tidak, mengejeknya. Ketika ia sedang berjalan ke rumahnya, beberapa di antara mereka mengikutinya, mengejeknya “biarawati” dan menghindarinya layaknya penderita kusta.

Namun, kebekuan telah mencair, dan pada akhirnya Pastor Pestarino lebih mudah membujuk yang lainnya untuk mengikuti perbuatan wanita itu, walaupun untuk beberapa waktu yang cukup lama ada beberapa orang yang dengan gigih telah menuduh mereka ”sebagai orang yang mencemari sakramen.” Akhirnya, contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh mereka dan karena petunjuk-petunjuk dari Pastor Pestarino, ia berhasil memberikan sakramen ekaristi lebih sering lagi bagi umatnya. Pertama-tama secara mingguan—Ayah Maria mulai menyambut komuni itu setiap minggu—lalu komuni harian menjadi suatu kebiasaan, yang membawa manfaat rohani bagi masyarakat.

Meskipun ia sangat menghormati wanita—dia tidak akan pernah mengizinkan mereka memasuki rumahnya—Pastor Pestarino yakin bahwa merekalah yang memegang kunci keberhasilan terhadap perubahan di desa tersebut. Merekalah yang lebih dulu mendidik anak-anak dan dapat mengendalikan suasana di dalam rumah. Mereka juga dapat memberikan nasihat atau peringatan dimana hal itu tidak bisa diberikan bahkan oleh seorang pastor. Dia memulai karyanya dengan mereka dengan mendirikan sebuah kelompok untuk ibu-ibu.

Kalian begitu perhatian kepada kebun anggur kalian,” Pastor Pestarino berkata kepada mereka, “namun begitu kurang dalam memperhatikan anak-anak kalian!”

Ketika kaum pria dari desa tersebut melihat bagaimana berhasilnya Pastor Pestarino dengan perempuan-perempuan itu, mereka mulai mengeluh, “Bagaimana dengan kami?” mereka ingin mengetahui. “Bukankah kami juga bagian dari jemaat anda?” keluh mereka dengan sungguh-sungguh. Pastor meyakinkan mereka, dan bagi mereka dia mengorganisasikan sebuah cabang dari perkumpulan St. Vincentius de Paul di mana ayah Mazzarello menjadi anggota.

Karena keberhasilannya berhubungan dengan mereka, dia pernah menyuruh mereka untuk datang ke pertemuan pada pukul lima pagi di mana mereka bisa mendengarkan konferensi, mengikuti misa dan menyambut Komuni Kudus. Di bawah bimbingan dan dorongannya, mereka menyewa dua ruangan di desa tersebut untuk tempat tinggal para wanita yang kurang beruntung yang ketika mereka jatuh sakit tidak mempunyai tempat untuk tinggal atau berlindung.

Keberhasilan terbesarnya tampak ketika suatu rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang datang ke tempat pengakuan, menghadiri misa dan menyambut Komuni Kudus, dan seluruh penduduk desa yang lainnya melihat dengan takjub. Yang menyebabkan ketakjuban itu adalah kenyataan bahwa selama beberapa tahun sebelumnya tidak ada satupun dari mereka mau menerima sakramen. Pastor Pestarino telah berbicara secara terpisah kepada setiap orang dan meyakinkan mereka bahwa mereka harus mengubah kebiasaan mereka. Untuk memudahkan mereka, dia memanggil pastor lain untuk menolongnya dan berjanji kepada mereka bahwa jika mereka melakukan apa yang dia minta; dia akan menyediakan makan malam yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan. Tetapi dia juga berusaha membantu mereka untuk mengerti bahwa dia menginginkan mereka untuk melakukan tindakan keagamaan ini secara utuh sebagai silih untuk memperbaiki skandal hidup mereka di waktu yang lampau. Ternyata, ia tidak perlu memanggil imam dari luar desa karena mereka semua hendak mengaku dosa kepadanya saja, dan ketika semuanya sudah selesai ia memenuhi janjinya tentang makan malam itu.

Orang muda dari desa tersebut terbukti lebih sulit. Dia mulai dengan berkunjung ke rumah mereka dan berbicara dengan mereka, memastikan untuk memberi mereka sesekali sebuah pesta di rumahnya atau piknik di suatu tempat. Dia tidak peduli berapa besar kegaduhan yang dibuat oleh mereka, dia tidak pernah merasa terganggu. Pada waktu sore di musim dingin yang panjang dia membuat rencana permainan kartu bagi mereka dengan sejumlah taruhan uang yang kecil dan berlangsung sampai mendapatkan uang yang cukup untuk sebuah makan malam bersama.

Seperti yang dapat diduga, dia harus menutup mata lebih dari sekali.

Saya ingat ketika ia memainkan sebuah permainan yang bernama “Putra dari Perang Salib,” salah satu dari mereka menceritakan kepada kami. “Ketika kami sedang berlatih di rumahnya, saya menemukan sebuah kunci ruangan di mana ia menyimpan anggurnya dan mengambil beberapa botol. Sore berikutnya, saya dan seorang teman pergi ke tempat itu lagi dan kali ini mengambil 15 sampai 20 botol. Meskipun kami mempunyai banyak anggur yang lebih bagus di rumah, bagi teman-teman kami ini terlihat sebagai suatu tindakan berani yang harus dilakukan dan di samping itu anggur milik orang lain selalu terasa lebih nikmat daripada anggur di rumah. Tetapi ketika kami semua pergi untuk mengaku dosa kepada Pastor Pestarino; saya pergi juga dan mengatakan kepadanya apa yang telah saya lakukan. Yang dilakukannya adalah meminta saya membuat suatu janji untuk tidak mengulanginya lagi dan memperingatkan saya jika saya mengulanginya lagi selalu ada hukuman jika saya tertangkap. Saya tentu saja berjanji. Tetapi, saya yakin jika dia menangkap saya sedang mencuri anggur dia pasti tidak akan menghukum kami dan akan memberikan apa saja agar kami mengunjunginya.”

Perlahan-lahan tetapi pasti, Pastor Pestarino juga berhasil mengubah desa di sekitarnya. Untuk berbuat seperti itu dia tidak terlalu memperhatikan dirinya sendiri. Jam tidurnya begitu sedikit, bangun pukul lima pagi pada musim dingin dan pukul tiga pada musim panas, dan selalu memikirkan keadaan orang-orang lain. Begitu suksesnya dia dengan orang-orang itu maka selama musim panas, taman di depan gerejanya akan penuh dengan peralatan pertanian karena para petani itu mengikuti misa sebelum mereka pergi ke ladang mereka.

Betapapun besarnya perhatiannya kepada kelompok-kelompok ini, perhatian terbesarnya ditunjukkan kepada para gadis dan para wanita muda. Ia menanamkan kepada mereka disiplin dalam hal kesederhanaan, karena dia tahu bahwa di dalam diri mereka terdapat masa depan kehidupan keagamaan dari masyarakat. Sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap kelompok lain, dia juga mengusulkan untuk membentuk suatu perkumpulan, memilih di antara mereka yang memiliki keutamaan dalam hal keagamaan dan berharap bahwa melalui mereka para gadis-gadis di desa akan ikut juga. Perhatiannya secara khusus tertuju kepada satu orang—Angela Maccagno, seorang gadis muda yang cerdas berumur 20 tahun yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda dan seorang saudara laki-lakinya.

Mendapat pendidikan yang lebih baik daripada gadis-gadis yang lain membuatnya lebih menonjol daripada yang lain dan menjadikannya sebagai pemimpin. Dia juga memiliki keutamaan yang mendalam dalam hal keagamaan dan hal ini membuatnya menjadi pilihan untuk memimpin suatu pekerjaan seperti yang ada di dalam pikiran Pastor Pestarino. Sesudah diumumkannya Dogma Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda pada tahun 1854, perkumpulan Maria mulai berkembang, dan hal ini merupakan keharusan bagi Pastor Pestarino untuk membentuknya juga di Mornese.

Sebagai hasil dari usaha-usahanya ini, beberapa perempuan telah mengungkapkan ketertarikan mereka untuk mempersembahkan diri mereka kepada suatu kehidupan yang saleh dan pelayanan terhadap sesama. Pastor Pestarino memanggil Angela dan meminta bantuannya dalam mendirikan kelompok Maria yang dibentuk dari gadis-gadis yang merasa mempunyai panggilan tetapi tidak menghendaki untuk masuk biara, atau karena mereka tak ingin kegiatannya dibatasi, atau karena mereka tidak diizinkan untuk masuk biara oleh orang tua mereka, atau karena mereka tidak dapat menyediakan mas kawin untuk masuk biara.

Ketika Pastor Pestarino menganjurkan agar Angela menyiapkan sebuah peraturan sederhana yang bisa mereka ikuti, dia lalu mulai mengerjakannya dan pada tahun 1852 dihasilkan sebuah peraturan yang dengan sedikit perubahan diterima oleh Pastor Pestarino dan dijadikan contoh untuk karya-karya mereka. Peraturan ini didasarkan pada peraturan dari Perkumpulan St. Ursula, yang didirikan di Brescia pada tahun 1536 oleh Santa Angela Merici. Sekalipun demikian, Pastor Pestarino memutuskan untuk mengirim peraturan itu supaya mendapatkan persetujuan dari temannya, Pastor Joseph Frassinetti, seorang ahli teologi. Ia membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan tugas itu. Dia sempat kehilangan salinan yang pertama, sehingga membuatnya terlambat 1 tahun, kemudian sempat juga kehilangan salinan yang kedua tapi akhirnya ditemukan dan mengirimkannya kembali ke Pastor Pestarino pada bulan November 1855. Pada waktu itu, bagian terakhir dari peraturan itu sudah dikonsultasikan ke beberapa pihak dan kemudian terciptalah Peraturan untuk Kelompok Putri-Putri Maria Immaculata. Empat tahun kemudian, Peraturan ini diterbitkan di Genoa dan mendapatkan dukungan yang hebat di seluruh Italia.

Pada waktu itu, kelompok itu langsung mempraktekkan peraturan tersebut. Pada awalnya kelompok ini hanya beranggotakan lima orang saja termasuk Maria yang pada saat itu baru berumur tujuh belas tahun dan merupakan anggota termuda, tetapi jumlah itu terus bertambah hingga mencapai jumlah lima belas orang. Jumlah keanggotaannya sebenarnya bisa bertambah dengan pesat seandainya tidak dibatasi oleh Pastor Pestarino dengan syarat-syarat khusus dalam penerimaan anggota baru. Dalam melaksanakan karya-karyanya, mereka melakukannya dengan agak rahasia sampai pada tahun 1857 ketika Uskup Acqui, dalam kunjungan pastoralnya, berhenti di Mornese. Dia menghadiri salah satu dari pertemuan-pertemuan mereka dan pada hari Minggu, 31 Mei, di hadapan seluruh jemaat di gereja, melantik seluruh anggota dengan memberikan medali Maria Immaculata. Setelah peristiwa itu Pastor Pestarino dengan tegas mengatakan bahwa mereka harus memperkenalkan dan juga membicarakan tujuan-tujuan mereka itu dengan pihak-pihak luar. Mereka mengucapkan kaul satu tahun mempraktekkan kemurnian, ketaatan kepada Pastor Pestarino yang sesuai dengan hati nurani mereka, dan mematuhi Angela dalam segala hal khususnya yang menyangkut peraturan; mereka harus menjauhi dosa meskipun dosa ringan sekalipun, menjaga hati mereka untuk tidak memihak pada keinginan duniawi, menggunakan keutamaan mereka untuk kebaikan sesama dan melakukan perbuatan-perbuatan kasih. Mereka dapat tinggal di rumah tetapi mereka harus berpakaian sederhana, menjauhi mode yang sedang berkembang pada saat itu dan berusaha untuk maju dalam hal keagamaan. Setiap hari Minggu mereka bertemu di rumah Angela dan biasanya mereka akan membaca sebuah buku rohani seperti Kesempurnaan Kristiani karangan Rodriguez.

Di dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan pada hari Minggu berikutnya. Hal ini termasuk juga menanamkan dalam diri para gadis desa tersebut rasa cinta kepada agama mereka, mendorong orang tua untuk mengawasi apakah anak-anak mereka mengikuti misa dan mengikuti kelas katekismus, merawat yang sakit dan menolong mereka yang membutuhkan. Pastor Pestarino menanamkan dalam diri mereka perasaan cinta dan kesungguhan sehingga meskipun harus menembus lautan api maka hal itu akan mereka lakukan andaikata Pastor Pestarino memintanya. Selain itu ia juga meminta dengan tegas bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang boleh menganggap dirinya sebagai “superior“, meskipun demikian Angela diperbolehkan bertindak sebagai tangan kanannya dalam mengatur kelompok itu.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mengetahui bahwa salah satu anggota kelompok itu bukanlah orang yang biasa. Maria Mazzarello, Pastor Pestarino menjelaskan, datang dari sebuah keluarga yang sangat taat beribadat dan Maria sendiri telah mulai memperlihatkan kesukaannya terhadap hal-hal yang menyangkut Tuhan. Contohnya, cara dia belajar katekismus dan keinginannya supaya bisa menerima komuni kudus sesering mungkin. Tentu saja, karena hal inilah maka Pastor Pestarino memperbolehkannya menerima pada tanggal 19 April 1848, satu tahun sebelum umur yang diperbolehkan. Kemudian Pastor Pestarino mengizinkannya untuk menerima lebih sering dan akhirnya mengizinkannya menerima setiap hari. Sejauh yang Pastor Pestarino lihat, Maria menerima semua nasihat yang diberikan olehnya untuk memperkuat kehendaknya, dan mengenai masalah bimbingan rohani Pastor Pestarino membuktikan bahwa dia bisa menjadi pembimbing rohani yang baik. Penyangkalan diri yang dia lakukan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana-rencananya untuk kemajuan rohani, seperti halnya ketaatan yang sukarela dan menerima kekurangan orang lain.

Betapa kerasnya bimbingan yang diberikan oleh Pastor Pestarino dipelajari oleh Maria dari pengalaman. Pada suatu pagi ayahnya menyuruh dia untuk mengikat secara bersama-sama tunas-tunas anggur yang kecil. Ketika hari terus belanjut pekerjaan menjadi bertambah berat dan dengan tidak sabar dia meraih tunas-tunas pohon dan dengan sebuah sabit memotongnya dengan cepat. Pada hari berikutnya dia datang mengaku dosa kepada Pastor Pestarino. Setelah dia selesai mengaku dosa wajahnya berubah kemerahan.

Astaga!” dia berseru. “Saya tidak berpikir bahwa saya telah melakukan sesuatu hal yang begitu buruk! Setelah semuanya, kami memiliki beratus-ratus tanaman anggur. Tapi ketika mendengarkan Pastor Pestarino! Omelan yang begitu hebat! Kau dapat berpikir bahwa ini adalah akhir dunia! Sekarang saya lebih menyesal daripada yang pernah saya alami sebelumnya!”

Apa yang dikehendaki oleh Pastor Pestarino, bukan saja untuk menyelamatkan tanaman anggur tuan Mazzarello tetapi juga mengajarkan kepada Maria bahwa dia harus mengendalikan dorongan-dorongan hatinya, mengurangi ketidaksabarannya terhadap sesama dan juga terhadap benda atau barang.

Sebuah sepatu bot dengan kancing yang tinggi menjadi sebuah peristiwa yang memberikan sebuah pelajaran yang berharga baginya.

Dia ragu-ragu untuk memakainya padahal pada saat membeli perasaan itu tidak ada. Sebagian besar teman-temannya hanya memakai sabot (sandal kayu) dan tidak ada yang lainnya. Sekarang telah menjadi kebiasaannya jika dia sedang mengalami kecemasan, ia akan segera datang kepada Pastor Pestarino dan mengatakan kepadanya tentang perasaannya terhadap sepatu bot itu.

Apa yang harus saya lakukan terhadap sepatu itu?” dia bertanya kepada Pastor Pestarino.

Kau telah membelinya?” Pastor Pestarino berkata dengan keras. “Pakai sepatu itu!”

Tapi sepatu itu terlihat begitu ... mencolok.”

Olesi dengan minyak!”

Pastor Pestarino lalu menggunakan peristiwa ini untuk menanamkan padanya bahwa dia juga harus berpakaian yang bersih dan rapi, tetapi jangan untuk berlagak dan tentu saja bukan untuk bermewah-mewah.

Pastor Pestarino dapat melihat bahwa dalam usahanya untuk mengatasi kesalahan-kesalahannya, Maria Mazzarello telah bersikap keras kepada dirinya sendiri. Setiap saat dia mencoba untuk memeriksa suara hatinya, dibutuhkan usaha yang keras sehingga bibirnya mulai gemetar, mukanya perlahan-lahan mulai memerah dan ketika kawannya mengatakan hal ini kepadanya, justru wajahnya akan tambah memerah.

Ketika Maria Mazzarello mulai bisa mengatasi kelemahannya, Pastor Pestarino mengatakan kepadanya, bahwa kemajuan yang ia peroleh semakin mantap dan meyakinkan.

Pastor Pestarino, kalau dilihat dari luar, gayanya tampak santai meskipun dia adalah seorang ahli dalam hidup rohani. Dia mengetahui dengan baik bahwa gadis muda ini, meskipun mempunyai potensi besar untuk kemajuan spiritual, masih harus menempuh perjalanan panjang menuju jalan kekudusan. Meskipun demikian, Pastor Pestarino juga mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki Maria Mazzarello; kerajinannya, sifatnya yang suka menuruti dorongan hatinya sendiri, ambisinya, keinginannya yang kuat untuk diakui oleh orang-orang di sekitarnya, dan lain sebagainya, namun dengan bantuan rahmat Tuhan, dapat mengubahnya untuk kemajuan hidup. Tetapi dia masih membutuhkan waktu yang panjang dengan segala kehati-hatian dan kesabaran dan andaikata ia dibimbing ke arah yang salah, hal itu akan dengan mudah menjauhkannya dari kerajaan surga.

Maria juga mengalami kemajuan dalam hal kepedulian untuk menolong sesamanya. Dimulai dengan anak-anak yang berada di rumah, kemudian kepada anak-anak di desanya, mendorong mereka untuk belajar katekismus, menemani mereka saat misa dan mendorong mereka untuk setia dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.

Pada saat kegiatan-kegiatan luar tersebut terus berjalan, ada sesuatu hal lain juga yang terjadi di dalam dirinya. Dia baru saja berumur 15 tahun ketika mendengar bahwa beberapa orang gadis telah meminta kepada Pastor Pestarino untuk membuat kaul kemurnian untuk beberapa waktu yang telah ditentukan. Pastor Pestarino mengatakan bahwa beberapa orang di antara mereka bisa melakukan hal itu tetapi beberapa orang yang lainnya tidak bisa.

Maria begitu terkejut akan hal ini. “Saya tidak mengerti,” dia berkata, ”mengapa mereka harus meminta persetujuan untuk melakukan hal itu padahal hanya untuk beberapa saat saja. Saya tidak pernah meminta izin dari orang lain ketika saya membuat janji itu untuk sepanjang hidup saya. Apakah yang saya lakukan ini salah ”

Dalam suatu peristiwa yang lain, ketika para gadis sedang memimpin sebuah pertemuan di mana setiap orang di antara mereka menyalahkan dirinya masing-masing atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Ketika tiba pada gilirannya Maria berdiri. “Saya harus menyalahkan diri saya,” katanya, ”karena telah melewatkan lima belas menit tanpa sekalipun memikirkan kehadiran Allah.”

Ketika Maria dan teman-temannya sedang membicarakan masalah rohani, salah satu dari mereka menganjurkan bahwa mereka harus membuat sebuah pengakuan dosa. Lalu Maria nampak sedih. Pengakuan dosa baginya bukan sesuatu yang mudah.

Jika kalian semua setuju,” katanya dengan berat hati, ”saya terpaksa ikut dengan kalian.”

Dan mengapa tidak?” Mereka ingin mengetahui.

Daripada menjawab pertanyaan itu, muka Maria menjadi memerah. Karena pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi dari teman-temannya yang lain, ia setuju untuk membicarakan hal ini dengan Pastor Pestarino. Setelah melakukannya, dia memberitahu kepada Pastor Pestarino bahwa betapa sulitnya membuat sebuah pengakuan dosa baginya.

Dia enggan untuk pergi mengaku dosa, hal itu disebabkan karena adanya kenyataan bahwa di satu sisi kehidupannya, tingkah lakunya yang tampak dari luar merupakan suatu yang dibuat-buat; di sisi yang lainnya, sebuah pengakuan dosa menuntut suatu keikhlasan yang penuh, dan kedua hal ini membawa kepada pertentangan yang menyakitkan dalam dirinya.

Pastor Pestarino sadar tentang apa yang terjadi dan ia takut jika pengakuan dosa itu ditunda, ada sebuah penghalang yang muncul di dalam pikiran Maria dan hal itu bisa melawan sakramen yang terpenting ini yang harus dia terima. Untuk beberapa saat Pastor Pestarino merenungkannya sambil menundukkan kepala.

Saya tetap berpikir bahwa akan berguna bagimu untuk membuat pengakuan dosa.” katanya menyimpulkan.

Kapan?”

Saat ini juga.”

Tetapi saya tidak siap.”

Saya akan membantumu dalam mempersiapkan diri.” Pastor Pestarino mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya dan sedikit demi sedikit Maria Mazzarello membuat pengakuan dosanya.



































3—Merpati Baja


Dari kamar tidur kecil yang gelap terdengarlah sebuah suara yang pelan ketika Maria perlahan-lahan turun dari tempat tidur. Maria menggigil ketika menjejakkan kakinya di lantai yang dingin, dengan cepat dia mengenakan sepasang kaus kaki katun yang tebal dan menyelipkan kakinya ke dalam sabot (sandal kayu). Kemudian dia juga mengenakan sepasang causotti atau kaus kaki yang terbuat dari bulu domba yang banyak disenangi oleh para gembala. Sesudah itu dia bangun dan buru-buru mandi dengan sebaskom air dingin, membuka satu persatu pakaiannya, lalu membersihkan rambutnya, mengikat kepalanya dengan sebuah sapu tangan tebal dan sebuah selendang abu-abu melingkar di bahunya. Sebelum meninggalkan kamar, dia mengatur selimut-selimut yang ada di tempat tidur di sekitar tubuh la picina (si kecil) yang masih tergolek.

Ketika ia turun ke ruangan bawah, dia begitu hati-hati sehingga tidak membuat kegaduhan. Orang tuanya tidak mau melihatnya meninggalkan rumah terlalu pagi di musim dingin seperti ini.

Di luar dia melindungi dirinya dengan mantel salju. Musim dingin kali ini menjadi bagian yang panjang dan sangat berat. Salju menutupi semua jalan-jalan kecil tetapi dia tahu jalan pintas di belakang rumahnya yang menuju ke lembah.

Seperti burung gagak yang terbang melintasi jarak antara rumahnya dan gereja yang hanya beberapa kilometer. Tetapi bila ditempuh dengan berjalan kaki jaraknya cukup jauh. Dia memulai perjalanannya ke gereja dengan menuruni sebuah bukit curam berbatu-batu, dengan jalan yang berlubang, batang-batang pohon, rumput yang tinggi, semak belukar dan tanah yang berlumpur. Bukit ini berakhir di lembah yang pertama di mana dia sudah dihadapkan dengan suatu tebing yang curam, yang mempunyai tanah yang lapang di puncaknya, dari situ dia untuk kedua kalinya terhalang lagi untuk menuruni bukit yang kecuramannya sedikit berkurang dibanding dengan yang pertama. Sesudah itu dia harus menempuh perjalanan yang lebih susah dengan melintasi rumput yang tinggi hingga mencapai bukit yang kedua. Semua ini hanyalah rintangan-rintangan dan kesulitan-kesulitannya yang pertama dan dia masih harus berusaha naik terus mencapai bukit lain di mana terdapat gereja yang terletak di tepi tanah datar yang berada di atas bukit itu.

Sekitar empat puluh lima menit kemudian dia mendaki bukit yang terakhir dan melangkah terus ke tanah lapang. Di tempat ini salju sudah menutupi seluruh jejak kaki yang ada. Kehidupan di Mornase dimulai sejak pagi dini hari.

Tak seorang pun yang berjalan melalui rute yang sama bahkan pada saat cuaca yang baik dan menyenangkan sekalipun. Untuk berpikir ada seorang gadis muda antara tahun 1852 hingga tahun 1858 yang berjalan melalui rute ini dua kali sehari bahkan di musim yang paling buruk sekalipun adalah suatu hal yang sulit dipercaya. Namun, begitu banyak orang yang mau mengungkapkan sumpah dan kesaksian termasuk teman-temannya yang menyaksikan sendiri kebenaran ini dan tak seorang pun dapat meragukan hal ini.

Dengan sekali dorongan Maria membuka pintu gereja, lalu memasuki gereja yang masih sedikit gelap dengan satu atau dua kelap kelip lampu minyak yang menimbulkan cahaya dan bayangan. Hanya ada sedikit orang yang berkumpul di dekat pintu pengakuan, meskipun Pastor Pestarino selalu siap melayani umat, teristimewa bagi mereka yang merasa tentram hidup di dunia ini dan tidak pernah mau pergi untuk mengaku dosa.

Maria memilih tidak duduk di dekat ruangan pengakuan dosa, karena dia tidak merasa yakin bagaimana reaksi Pastor Pestarino ketika melihatnya. Dia tetap berdiri di belakang tiang yang paling ujung di dalam gereja, dan menunggu, sambil menggigil hingga misa dimulai.

Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang gatal di dalam kerongkongannya dan merasa ngeri sekali akan hal itu! Dia ingin batuk. Dia mencoba untuk terus bertahan, namun tidak berhasil. Dia batuk, tidak hanya sekali tetapi beberapa kali. Serta merta semua mata memperhatikan dirinya. Keadaan bertambah buruk, ketika dia mendengar suara gaduh dari tempat pengakuan, Pastor Pestarino menarik tirai dan menengok ke luar.

Siapa itu?” dia ingin tahu.

Maria Mazzarello,” kata orang-orang kepadanya.

Dia menarik kembali kepalanya dan sesaat kemudian dia keluar dan berjalan ke arah Maria. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pastor.

Ya Pastor,” kata Maria. “Ada sedikit rasa gatal di dalam tenggorokan saya.”

Dia berdiri melihat kepadanya untuk beberapa saat tanpa sepatah kata pun, dia memperhatikan bagaimana air mulai menetes ke lantai dari pakaian Maria yang basah. “Kamu harus melakukan sesuatu untuk pakaianmu yang basah itu.” kata Pastor kepada Maria. “Pergilah ke rumah terdekat dan katakan kepada mereka bahwa saya yang mengutus kamu untuk mengeringkan pakaianmu.

Tetapi saya tidak ingin terlambat misa, Pastor.”

Kamu tidak akan terlambat, masih ada waktu setengah jam. Kamu datang terlalu cepat seperti biasanya.”

Baik, Pastor.” Maria sedikit membungkuk untuk memberi hormat dan kemudian pergi. Tetapi pada saat dia sedang berbicara dengan Pastor Pestarino, air terus menerus menetes dari pakaiannya ke lantai gereja yang sedikit dingin dan air tersebut membeku dan juga turut membekukan sepatu yang dia pakai! Ketika dia mencoba mengangkat kakinya dari lantai itu ternyata dia tidak bisa. Sepatu itu melekat di lantai! Sementara Maria sedang berusaha membebaskan sepatunya itu, hanya wajah tegang pastor itu yang membuatnya mampu menahan tawa menghadapi situasi yang aneh itu.

Setelah misa selesai dia kembali ke rumah melalui jalan yang sama, perbedaannya adalah hari telah siang dan hal itu membuat perjalanannya lebih mudah. Ketika dia sampai di rumah, seluruh penghuni rumah sudah memulai kegiatan mereka. Anak-anak telah bangun dan mandi.

Apakah itu kamu, Main ?” ibunya memanggil dari tingkat atas, sesaat kemudian Maria muncul memperlihatkan bungkusan pakaian pada tangannya.

Maria bergegas maju mencium ibunya dan mengambil bungkusan darinya.

Kamu bisa sakit bila pergi pagi-pagi sekali dengan cuaca yang seperti itu.” keluh ibunya. “Jangan terlalu berharap banyak dari ibumu untuk selalu memperhatikanmu. Aku telah cukup repot dengan mengurus rumah dan juga harus menjaga adik-adikmu.”

Jangan kuatir, Mama, saya yakin tidak akan sakit karena hal ini.”

Aku ingin mengetahui apa yang membuat kamu begitu yakin. Bagaimana pun juga banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan. Satu hari akan berlalu sebelum kita bisa menyelesaikan separoh dari pekerjaan-pekerjaan itu.”

Kita akan bisa mengerjakan semua. Mama akan melihatnya. Saya akan segera memulainya.”

Pekerjaan ini termasuk mencuci, membersihkan rumah, mempertajam perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk pertanian, mempersiapkan bibit-bibit untuk persedian anggur berikutnya . . . Sekali memulainya, Maria tidak pernah berhenti, bahkan untuk makan, malahan melahap makanannya sambil terus bekerja. Akhirnya ketika hari berakhir bersamaan dengan terbenamnya matahari, pekerjaan itu selesai juga seperti yang Maria janjikan, dan dia bebas. Tetapi itu bukan berarti bahwa dia bisa segera pergi tidur. Dia pergi ke jendela dan dari sana dia dapat melihat gereja. Bahkan dia mengawasinya di waktu malam dengan devosi-devosinya yang dimulai dengan rosario dan diakhiri dengan berkat ekaristi. Apa yang tidak dapat dia lihat, dia dapat membayangkannya dan ketika devosi-devosi itu selesai dia bersujud memanjatkan doa-doa malamnya.

Main,” kata Felicina dari balik selimut, ”mengapa kamu tidak tidur?”

Tidurlah, piccina, kata Maria. “Kamu masih muda dan kamu membutuhkan lebih banyak tidur daripada saya.”

Main!” seru Mama yang mendengar percakapan itu.

Ya, Mama?”

Tidurlah.”

Tidak dapatkah saya tetap berjaga sebentar saja?”

Tidak, kamu akan menghabiskan semua minyak”

Baiklah, Mama.”

Maria berganti dengan pakaian tidur lalu membaringkan diri di samping saudara perempuannya. Dia menempatkan lengannya sekeliling Felicina dan dalam waktu sekejap hanya terdengar suara nafas yang halus dari ruangan kecil yang gelap itu.


Semenjak Pastor Pestarino membolehkan Maria menerima Komuni Pertamanya satu tahun lebih awal dari kebiasaan, Maria mulai berubah. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu satu malam saja. Mengingat sifat-sifatnya yang keras, keras kepala dan didorong perasaan hati, hal itu melebihi yang dapat diharapkan darinya. Meskipun demikian Pastor Pestarino adalah seorang pendamping yang berpengalaman dan selalu mau memberikan nasehat, teguran atau bahkan hardikan bila diperlukan dan di bawah bimbingannya sedikit demi sedikit Maria mengalami perubahan.

Dia telah lama menghentikan kebiasaan tidur pada saat mendengarkan kotbah-kotbah. Barangkali karena kotbah-kotbah Pastor Pestarino lebih baik bila dibandingkan dengan pastor-pastor yang lain dan diucapkan dengan suara yang sangat jelas.

Perubahan-perubahan yang dialami Maria telah menjadi semakin lebih jelas setelah dia untuk pertama kali melakukan pengakuan dosanya. Dia mulai berpakaian lebih sederhana bahkan mengenakan pakaian-pakaian yang lama, mulai bisa mengontrol kehendaknya untuk menonjol di antara teman-temannya; cara dia berhubungan dengan orang lain, bahkan kesederhanaannya pada saat berjalan di desa menarik perhatian para ibu yang mulai berkomentar tentang kedalaman penghayatan kehidupan keagamaannya. Dia juga mengalami perkembangan untuk menghargai waktu, dan ketika tidak sedang bekerja di rumah ataupun di ladang, atau bahkan pada saat jam istirahat, dia akan memilih tempat yang tenang untuk berdoa atau belajar katekismus.

Perubahan-perubahan secara jelas tampak pada kecintaannya kepada Sakramen Maha Kudus dan khususnya pada perayaan ekaristi. Semenjak pastor mengizinkannya untuk menghadiri misa harian, dan ketika orang tuanya memperbolehkannya maka dia akan segera pergi. Jika melihat kebiasaanya untuk mau meninggalkan kehangatan tempat tidurnya pada pagi hari pada musim dingin yang mengigit, dengan berjalan kaki menembus hujan dan lumpur, salju dan es, supaya bisa menghadiri misa kudus, tampaknya terlalu berlebihan untuk seorang gadis muda seperti dia, tetapi hal itu tidak akan mengejutkan bagi mereka yang telah mengetahui sifat-sifatnya.

Rosa Mazzarello yang tinggal di bukit yang lebih bawah mengatakan bahwa Maria sering memintanya untuk menghadiri misa dan mereka biasa berjalan bersama-sama sampai di lembah. Ketika ada seseorang yang terkejut menyaksikan hal itu, Rosa biasa akan berkata,” Kamu harus tahu Maria, mekipun dia masih muda, tetapi sangat berani! Sangat kuat!

Supaya tidak terlambat menghadiri misa kudus, kadang-kadang dia akan mengikat dengan melilitkan seutas tali di pinggangnya dengan keras supaya istirahatnya terganggu sehingga dia tidak tidur terlalu lelap. Pada saat musim dingin dia dilarang tidur di lantai dengan hanya mengenakan baju, karena bisa terkena radang paru-paru (pneumonia). Karena tidak memiliki jam dan takut terlambat, kadang-kadang dia datang lebih dahulu sebelum gereja dibuka. Kemudian dia akan duduk dengan tenang di atas tangga sambil menunggu kedatangan Pastor Pestarino. Pada suatu pagi di musim panas dia membangunkan saudarinya Felicina dan kemudian mereka ke gereja. Mendapatkan pintu yang masih terkunci mereka duduk seperti biasa untuk menunggu kedatangan pastor. Ketika pagi hari mulai terang mereka melihat ada seseorang yang datang mendekati mereka.

Bagi anak-anak perempuan pada awalnya mereka merasa terganggu hingga Maria mempunyai suatu ide.

Mari kita bertanya jam berapa sekarang dan pasti dia kemudian tidak akan menakuti kita.”

Felicina berpikir ini adalah sebuah ide yang baik.

“Tuan,” panggil Maria, ”dapatkah anda memberitahukan kepada kami jam berapa sekarang ?”

Sedikit terkejut sendiri ketika tiba-tiba mendapat sapaan dari dua anak perempuan muda, laki-laki itu—seorang buruh tani yang sedang lewat untuk berkerja—menjawab, ”Jam dua lewat sedikit.” Laki-laki itu memandangi mereka bergantian. ”Anak-anak, apa yang kalian lakukan di luar pada jam seperti sekarang ini?”

Kami akan mengikuti Misa”

“Pada jam dua dini hari?”

“Ya tuan, kami tidak tahu jam berapa sekarang dan kami tidak ingin terlambat.”

Kebiasaannya untuk pergi pada pagi dini hari ini sempat memberinya suatu peristiwa menakutkan yang tak terduga.

Pada suatu pagi dengan ditemani oleh sepupunya Domenica, tidak lama lagi mereka akan mencapai pelataran gereja tiba-tiab bermunculan dua makhluk putih. Anak-anak perempuan itu segera lari. Ketika mereka telah sampai pada jarak yang dirasa aman dan mendapat kesempatan untuk berpikir, Maria berpikir untuk kedua kalinya mengenai hantu-hantu itu.

Mari kita kembali lagi ke sana.” katanya pada Domenica. ”Saya merasa bahwa hantu-hantu ini tidak membahayakan kita.”

Ketika dia dan Dominica kembali, kedua hantu itu melambaikan kedua tangan mereka disertai beberapa teriakan-teriakan yang keras, lalu menghilang di balik pepohonan. Ketika dia menceritakan peristiwa itu kepada Pastor Pestarino, Pastor mendapati bahwa mereka adalah dua orang muda setempat yang hanya mau bercanda saja dengan mereka, dan meyakinkan bahwa mereka tidak akan muncul lagi.

Semuanya menjadi lebih baik pada saat musim semi dan musim panas tetapi ketika awal musim dingin tiba dan tidak mungkin mendapatkan seseorang pun untuk menemaninya. Maria tetap pergi sendirian.

Kadang-kadang, ketika ada cahaya bulan yang membantunya melihat jalanan, dia akan bangun sekitar jam satu, kemudian mengerjakan tugas-tugasnya di kebun anggur dan kemudian baru pergi ke misa.

Ketika dia harus bangun terlalu pagi maka dia berhati-hati supaya jangan sampai membangunkan orang tuanya. Suatu ketika dia pernah membuat kegaduhan, kemudian ayahnya datang untuk menyelidiki. Ketika menemukan siapa yang membuat kegaduhan itu, dia menyuruhnya untuk tidur kembali. Agar supaya tidak melanggar larangan itu, maka Maria merencanakan sedikit tipuan. Pada kesempatan yang lain ketika dia membuat kegaduhan, dia bergegas ke gudang dan dengan cepat melepaskan rantai yang mengikat sapi keluarga di kandang. Ketika ayahnya muncul, dia hanya memperlihatkan rantai itu.

Rantai sapi itu terlepas.” katanya. ”Saya sedang mengikatnya.”

Ayahnya melihat kepadanya untuk beberapa saat, kemudian mengerti. ”Kembalilah tidur,” kata ayahnya.

Ketika musim panas tiba maka biasanya dibutuhkan lebih banyak air daripada biasanya dan diambil dari sumur terdekat, dia biasanya membangunkan Felicina dan mereka akan mengambil air yang diperlukan untuk pagi hari. Ini berarti membawa dua puluh lima galon ember berisi air dan harus berjalan kaki mendaki selama sepuluh menit.

Kini kita dapat pergi ke misa” Maria berkata kepada saudari perempuannya itu, ”dan jika kita terlambat pulang, mereka tidak akan mengeluh bahwa kita tidak mengerjakan tugas kita.”

Bagi Maria hal yang paling menyenangkan sebagai selingan dari seluruh kegiatan rutin itu adalah ketika dia disuruh pergi ke desa. Ketika dia diminta pergi ke sana, dia akan mengunjungi Sakramen Kudus dan mengajak temannya pergi bersamanya.

Hal ini bukanlah satu-satunya kesempatan di mana dia berusaha mengajak orang lain supaya lebih dekat dengan Tuhan. Ketika para biarawan dari Gavi melakukan kunjungan yang merupakan kebiasaan mereka yaitu quaestua, atau kunjungan untuk meminta sedekah. Maria menunjukkan hal itu kepada saudara-saudara laki-lakinya. “Mengapa kalian tidak menjadi biarawan?” katanya. ”Kalian dapat berbuat banyak kebajikan dan dengan cara itu bisa menyelamatkan jiwa kalian.”

Mengapa kamu tidak menjadi biarawati?” balas mereka.

Jika saja saya bisa!” keluh Maria. “Tetapi jika saya melakukannya kalian akan melihat kebaikan-kebaikan yang akan saya lakukan .”

Pendapat umum pada waktu itu menganggap bahwa biara-biara adalah tempat khusus yang hanya bisa dibiayai oleh golongan atas yang kaya, dan para pemimpin biara adalah seseorang yang berasal dari kaum bangsawan. Kadang-kadang orang yang tidak begitu kaya diterima dan diberi tugas yang kurang berarti.

Mungkin satu-satunya gadis di Mornese yang dapat dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh selain Maria, adalah Angela Maccagno. Dua orang ini saling berbeda. Angela lebih tua, lebih dewasa dan berpendidikan lebih baik, sedangkan Maria lebih muda, lebih bersemangat, sedikit berpendidikan sehingga dia sulit membaca tetapi sungguh-sungguh bersemangat dan memiliki kualitas khusus yang tersembunyi. Meskipun demikian Maria berpandangan lain dan tidak mau melakukan apapun tanpa meminta nasihat darinya. Jika dia telah membeli sebuah pakaian atau benda-benda lainnya, untuk membuatnya yakin bahwa dia tidak bertentangan dengan semangat kelompoknya maka pertama-tama dia akan meminta nasihat dari Angela. Apapun anggapan orang lain, bagi Maria hal itu menunjukkan sebuah bentuk penyangkalan diri dalam mengambil keputusan-keputusannya dan juga terhadap kehendak-kehendaknya, yang mengurangi ketakutan atas tanggapan orang dan merupakan bentuk pengendalian terhadap kebanggaan dirinya.

Kepekaan hati nuraninya berkembang dengan cepat dan kesempurnaan religius menjadi tujuan hidupnya, dan dia rela mengorbankan kesenangan dan bahkan kesehatannya demi hal itu. Mempunyai sedikit noda dosa pada jiwanya atau bahkan mempunyai kecurigaan akan adanya sebuah noda dosa pada jiwanya merupakan sesuatu yang tidak dapat ditahannya.

Pada suatu kesempatan dia merasa begitu yakin bahwa dia sungguh-sungguh telah menodai jiwanya dan tidak dapat beristirahat sampai dia melepaskan noda itu. Jika tidak, dia akan mengikuti misa tanpa menerima komuni suci dan hal itu tidak bisa ia terima! Ketika dia pergi untuk mengaku dosa kepada pastor Pestarino, ia menemukan bahwa pastor itu sedang tidak ada. Jika tidak ada Pastor Pestarino maka ia harus mengaku kepada pastor yang lainnya. Dia berlari sampai gereja Santo Stefano, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada pastor di sana. Lalu bagaimana selanjutnya? Di desa yang lain ketika dia mengetuk pintu rumah seorang pastor. Beberapa saat kemudian muncullah pelayannya.

Apakah pastor ada di rumah?” tanya Maria terengah-engah.

Beliau baru saja menyelesaikan makan malamnya”.

Maukah ada memberitahukan bahwa saya mau berbicara kepadanya saat ini juga.”

Saat ini juga? Tetapi dia masih bersama dengan beberapa tamu.”

Hanya sebentar saja. Tolonglah! Saya mempunyai sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan beliau.”

Mengapa tidak kau katakan hal itu pada saya dan saya akan sampaikan padanya.”

Oh, tidak! Ini sebuah rahasia.”

Rahasia? Hah!” Sesudah memandangi Maria beberapa saat, pelayan itu menyampaikan persoalannya kepada pastor itu. Beberapa menit kemudian pastor itu muncul tetapi sebelum dia dapat membuka mulutnya, Maria sudah menerangkan kesulitannya kepada dia. ”Apakah saya telah berbuat dosa?” Maria ingin tahu.

Mula-mula pastor itu enggan menemui gadis itu, yang telah memaksanya untuk meninggalkan sahabat-sahabatnya karena hal yang sepele. Tetapi sesudah dia mengerti bagaimana kesungguhan Maria datang kepadanya, sikapnya luluh.

Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, nak.”

Lalu saya dapat menerima komuni?”

Tentu saja! Begini, apa yang kamu rasakan ... Tunggu sampai saya memberi penjelasan!”

Tetapi, Maria sudah berlari ke jalan.

Mulai saat ini dia tak pernah berusaha untuk menonjolkan dirinya, dia berbicara sedikit dan bahkan lebih sedikit lagi berbicara tentang dirinya sendiri. Dia menjadi terkenal karena kegembiraannya dan kerelaannya untuk menolong. Inilah hal-hal yang teman-temannya sampaikan kepada Pastor Pestarino. ”Kami benar-benar suka bersama dengan dia.” Dia memulai semua hal itu dari dalam lingkungan keluarganya lalu keluar lingkungan keluarganya, dia memilih untuk bekerja di antara anak-anak yang lebih muda di desa dan terbukti menjadi seorang rasul yang bersemangat yang mempunyai cara tersendiri dalam menangani anak muda yang sulit.

Salah seorang di antaranya adalah seorang gadis yang menolak untuk pergi ke pengakuan dosa. Berbekal pengalaman dalam mengatasi beberapa kesulitan masalah pengakuan dosa yang dialaminya sendiri, maka Maria merasa dapat menolong. Setelah memberikan pendapat-pendapatnya tentang karunia yang ada di dalam sakramen itu, Maria mulai menyadari bahwa penolakan yang dilakukan oleh gadis itu ternyata hanya pada soal perasaan saja bukan pada keyakinan dasarnya. Maria memutuskan memancing gadis itu.

Jika kamu berjanji untuk pergi ke pengakuan.” kata Maria kepada gadis itu, ”saya menjanjikan kepadamu sebuah kejutan yang menyenangkan.”

Kejutan menyenangkan yang seperti apa?” tanya gadis itu dengan curiga.

Seekor ayam yang besar dan gemuk.”

Seekor ayam yang besar dan gemuk?” Segera saja kecurigaan itu berubah menjadi ketertarikan.

Dan jika kamu bersikap baik, kita dapat pergi bertamasya dan memasaknya serta makan ayam itu bersama-sama!”

Bertamasya dan seekor ayam yang besar dan gemuk? Mari kita pergi, Maria!”

4—Satu Langkah Menuju Surga


Jiwa-jiwa yang malang! Marilah kita mengampuni mereka dan berdoa semoga Tuhan mengasihi dan mengarahkan mereka ke jalan-Nya.”

Maria sedang mengingat satu dari dua peristiwa kemalangan yang terjadi di antara tahun 1858 dan 1860, yang mengacaukan ketenangan kehidupan di La Valponasca.

Suatu pagi pada tahun 1858 Mama Mazzarello bersama anak-anaknya pergi ke Mornese. Pada saat yang sama, Papa dan Maria pergi ke kebun anggur untuk menyiapkan kebun anggur untuk musim semi yang akan tiba. Ketika mereka kembali ke rumah pada malam hari mereka terkejut; segerombolan perampok telah masuk ke dalam rumah dan mencuri uang keluarga sebanyak 700 lira, suatu jumlah yang besar pada saat itu.

Untuk beberapa hari keluarga itu hidup dalam kesedihan dan keputusasaan. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa mengembalikan uang itu, tidak ada kesempatan untuk membawa masalah itu ke pengadilan dan menghukum para penjahat itu. Jika perasaan optimis Maria mampu meredam peristiwa itu, adalah keberanian dan penyerahan diri sang ayah terhadap kehendak Tuhan yang memungkinkan keluarga itu bisa menghilangkan kesedihan yang telah mereka derita. Dia semakin mengerti bahwa dibalik hilangnya uang itu muncul kesadaran baru adanya peringatan bahwa pada saat para perampok sedang mengintai daerah itu, tempat itu tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk melindungi keluarganya.

Itulah saat di mana pasukan-pasukan revolusioner terbentuk di dalam masyarakat atau pemerintahan, dan mereka berkeliaran sebagai sebuah kelompok-kelompok rahasia. Tidak semua pasukan yang terbentuk itu mempunyai tujuan yang mulia seperti membebaskan bangsa mereka dari kaum penjajah. Banyak di atara mereka tidak lebih dari sekumpulan pencuri dan penjahat yang mencoba mengambil keuntungan dari goyahnya hukum yang berlaku dan merampas harta dari para penduduk desa. Mereka memilih markas di tempat-tempat yang berhutan untuk mewujudkan niat mereka itu.

Menyadari bahwa posisi rumah La Valponasca yang terisolasi memundahkan bagi para bandit untuk menjadikannya sebagai sasaran mereka, Papa memutuskan bahwa hal yang paling bijaksana adalah pindah rumah. Kemudian dia membeli sebuah rumah di Via Valgelata, di bawah sebuah kastil yang ada di desa itu.

Rumah keluarga Mazzarello yang baru itu, yang sama besarnya dengan rumah-rumah yang lainnya, lebih kecil dari yang rumah mereka yang pertama. Rumah di La Valponasca mempunyai tiga buah loteng, sedangkan rumah yang baru ini hanya mempunyai dua buah loteng dengan dua buah jendela yang sempit, sebuah serambi dan halaman yang sempit. Sebuah tangga kecil menghubungkan sebuah kamar di mana Maria biasanya tidur. Maria mendapat keuntungan dengan adanya perpindahan ini. Kalau sebelumnya, supaya bisa mengunjungi Sakramen Maha Kudus dia harus menunggu ibunya menyuruhnya pergi ke desa, sekarang dia bisa mengunjungi-Nya kapan saja ia mau pada saat dia mempunyai waktu bebas.

Peristiwa sedih yang kedua terjadi pada tahun 1960 ketika wabah penyakit typus menyerang desa itu. Seluruh anggota keluarganya terserang penyakit itu dan beberapa orang bahkan hampir meninggal.

Penyakit itu pada umumnya menyebar melalui kotoran manusia yang terserang penyakit dan kemudian kuman-kumannya berpindah ke dalam air minum. Malangnya saat itu fasilitas-fasilitas kesehatan tidaklah terlalu baik sehingga memudahkan berkembangnya wabah penyakit itu. Setelah masa pengeraman selama sepuluh hari, kuman-kuman itu segera bereaksi dengan sangat mematikan, penderita akan mengalami demam yang tinggi, pusing, mengantuk, batuk, perut sakit, sembelit yang disertai dengan diare. Yang beruntung hal itu dapat berarti sebuah masa mengalami demam pilek—seperti sebuah infeksi; bagi yang tidak beruntung berarti kematian dalam waktu satu atau dua minggu.

Ketika Pastor Pestarino meminta kepada orang tua Maria supaya mengizinkan Maria untuk menolong para penderita itu, mereka berkeberatan, dengan mengatakan bahwa Maria sangat dibutuhkan di rumah, khususnya di kebun anggur. Hal itu terjadi karena adanya ketakutan dari orang tuanya karena ia bisa tertular penyakit itu dari anak-anak yang lain. Tetapi karena Pastor Pestarino terus memintanya, akhirnya ayahnya mengizinkannya dengan syarat dia sendiri yang menghendakinya.

Itulah yang Pastor Pestarino inginkan. Karena mengetahui sifat-sifat Maria, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan menolak permintaanya.

Tetapi yang membuat dia terkejut adalah karena Maria enggan menerima permintaannya itu. Hal ini bukan disebabkan karena rasa jijik kepada para penderita itu, dia mencoba menjelaskan, tetapi karena beberapa alasan lain yaitu keyakinannya bahwa jika dia merawat orang-orang sakit itu dia sendiri pasti akan tertular.

Saya akan pergi jika engkau memang menginginkannya,” dia memperingatkan, ”Tetapi saya tahu jika saya berbuat itu maka saya pasti akan tertular typus.”

Dia mengulang kata-kata itu berulang kali kepadanya dan meskipun demikian Pastor Pestarino tetap memintanya untuk bisa membantunya. Maria akhirnya meninggalkan rumah untuk membantu saudara-saudaranya yang menderita itu.

Kami semua hanya bisa berbaring di tempat tidur saja,” kata seseorang. ”Saya hampir satu bulan hanya berbaring saja dan rambut saya mulai rontok. Kami pergi ke pengakuan dosa dan Mama bahkan harus menerima Sakramen Perminyakan. Maria berlari dari satu kamar ke kamar yang lain untuk memperhatikan kami. Dia melakukan semua hal ini dengan ketekunan dan kesabaran, sehingga mengingatkan kami pada Suster-suster Caritas.”

Dalam waktu satu bulan atau lebih seluruh penderita telah melewati masa kritis mereka. Meskipun demikian, seperti yang Maria kuatirkan, dia tertular penyakit itu dan dalam waktu yang singkat nyawanya terancam. Pastor Pestarino segera bergegas menuju tempat tidurnya dan mendengarkan pengakuan dosanya, meskipun demikian dia menemukan bahwa Maria sangat berpasrah kepada kehendak Tuhan. Dia juga harus bisa menghibur orang tuanya.

Mengapa kalian menangis?” Maria bertanya kepada mereka. ”Apakah kalian berpikir bahwa saya terkena penyakit ini karena saya menolong para penderita itu? Jika memang demikian, saya dapat dianggap seorang martir cinta kasih! Bayangkan, seorang martir! Betapa seharusnya saya bahagia!”

Dia meminta untuk bisa menerima komuni suci sesering mungkin dan ketika Pastor Pestarino membawakannya, dia akan selalu ditemani oleh beberapa anggota Putri-putri Maria Immaculata. Meskipun demikian, dari tempat tidurnya Maria tetap melanjutkan kerasulan pribadinya kepada anak-anak di desa itu, mendorong mereka untuk menghindari perbuatan-perbuatan dosa sehingga mereka akan perlindungan dari Tuhan terhadap bahaya penyakit itu.

Jika dia begitu bersemangat mempersembahkan diri kepada Tuhan sebelum dia jatuh sakit,” kata seseorang, ”anda dapat membayangkan seperti apa dia ketika dia sakit.”

Maria mempunyai lebih banyak waktu untuk berhubungan dengan Tuhan dan selama sakitnya itu, dia bahkan dapat mengubah jalan hidup seorang tetangganya yang datang mengunjunginya.

Laki-laki ini mempunyai kelakuan yang kurang baik sehingga ketika salah seorang saudara Maria melihatnya berusaha untuk mendekati rumah mereka, dia curiga bahwa kedatangannya akan menganggu Maria dan oleh karena itu dia segera memasuki rumah lewat pintu belakang untuk melindungi Maria! Oleh karena itu, dia bisa menjadi saksi dari sebuah pengakuan yang sangat berarti.

Menyenangkan sekali melihat kamu mengunjungi saya,” Maria memberi salam kepada tamunya itu.

Dengan topi di tangan, pemuda itu menggumamkan sesuatu yang tidak dapat dimengerti.

Saya tahu kamu menyukai saya, dan saya juga menyukaimu.” Maria menunggu reaksinya, tetapi tidak ada. Dia mengerti bahwa kesunyian itu telah membuatnya malu.

Ketika kamu melihat saya terbaring di sini kamu juga dapat melihat ketidakpastian dari kehidupan manusia,” dia melanjutkan. ”Kamu tahu bahwa kamu belum siap untuk menerima kematian. Tetapi kamu seharus siap menghadapinya. Kamu harus berusaha untuk menjadi laki-laki yang baik. Kamu harus mencobanya. Maukah kamu berjanji kepada saya bahwa kamu akan berusaha untuk menjadi laki-laki yang baik?”

Kehangatan dalam suara yang penuh cinta kasih yang keluar dari mulut Maria dan juga kebenaran yang sederhana yang telah diungkapkannya begitu menyentuh laki-laki itu. Satu-satunya jawaban dari pemuda itu hanyalah dengan membenamkan wajahnya ke topinya. Beberapa saat kemudian, dia sudah merasa cukup kuat untuk mengungkapkan janji kepada Maria bahwa mulai saat itu dia akan mengubah jalan hidupnya.

Meskipun dia telah melewati masa kritisnya selama beberapa minggu tetapi kelihatannya penyakitnya itu belum juga menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Meskipun dia selalu mengikuti nasehat dari dokter yang merawatnya, suatu hari dia berkata kepada dokter bahwa dia merasa pengobatan itu telah cukup baginya.

Jangan berbicara tentang obat-obatan lagi kepada saya!” katanya kepada sang dokter. ”Saya tidak menginginkannya lagi. Saya ingin pergi ke surga. Kematian akan membawa saya lebih dekat kepada Tuhan.”

Untungnya dalam waktu yang singkat, segala sesuatunya berangsur membaik sampai pada suatu hari dia telah berhasil melewati bahaya itu.

Meskipun masa krisis itu telah selesai, penderitaan masih harus dijalani oleh Maria, sesuatu yang tidak biasa dan begitu membingungkan bagi dokter yang merawatnya, sehingga ia menyerah. Meskipun demikian dalam menghadapi penderitaan itu, Maria melaluinya dengan penuh ketenangan yang tidak seperti kebanyakan orang, sehingga teman-temannya menyangka bahwa dia akan mati, dan mereka memesan karangan bunga mawar dari Genoa untuk diletakkan di atas kuburnya. Menjelang pesta Bunda Maria Rosario, penyakitnya mulai hilang dan pada perayaan pesta itu sendiri, dia bisa menemani teman-temannya ke gereja untuk berterima kasih kepada Bunda Maria. Karangan bunga itu, katanya kepada teman-temannya, bisa digunakan untuk kesempatan yang lain.

Ketika dia untuk pertama kali diperbolehkan pergi ke gereja, dia segera berlutut di depan Sakramen Ekaristi. ”Tuhan Yang Maha Kasih,” dia mulai berdoa.”Jika karena kasih-Mu, Engkau telah menganugerahkan kehidupan yang lebih lama lagi, biarlah saya tidak dikenal dan dilupakan oleh orang lain kecuali oleh Engkau seorang.”

Ketika orang lain menyampaikan selamat atas kesembuhannya itu, dia tampak begitu sedih.

Kenapa engkau begitu sedih, Maria?” kata mereka.

Saya merasa bahwa saya sudah berada di jalan menuju surga.” jawabnya. ”Sekarang saya harus menunggu lebih lama lagi.”

Setelah itu, dia masih membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan kesehatannya sampai musim gugur dan dingin berikutnya dan meskipun penyakit typus itu telah hilang dari tubuhnya tetapi dia masih merasa tidak mempunyai kekuatan untuk dapat melakukan sesuatupun. Hari-hari yang membosankan ini hanya dapat diceriakan oleh kunjungan-kunjungan dari beberapa temanya.

Setelah merasa begitu lama tinggal di tempat persembunyiannya, sekarang dia mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan seluruh kehidupannya lagi sama seperti dahulu sebelum dia terserang penyakit itu.

Pagi-pagi benar Maria telah meninggalkan rumahnya, berusaha untuk mengetahui apakah ia masih bisa melakukan hal-hal yang dulu sering dia lakukan dengan mudah dan begitu memuaskan. Jika dia bisa melakukannya maka dia juga bisa kembali bekerja di sisi ayahnya dan juga di antara orang-orang upahan mereka.

Pertama-tama dia mencoba sendirian untuk menarik bajak dengan sapi milik keluarga, tetapi dia tidak bisa mengendalikan laju bajak tersebut, dan ketika dia berusaha untuk tetap menjaga agar mata bajak ganda tetap di jalurnya, mencegahnya memotong jalur lurusnya tetapi dia tidak berhasil karena mata bajak itu berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri tak terkendali sehingga dia harus menghentikannya. Ketika dia berusaha untuk mengayunkan sabit untuk memotong sesuatu, rasa sakit terasa sekali di punggungnya sehingga menghentikan usahanya itu. Ia lalu beralih ke hal lain. Dia menguji kekuatannya dengan mengangkat salah satu ember kayu yang berisi air yang berat. Meskipun musim dingin telah berlalu namun ia masih merasakan dingin yang menembus tulangnya. Akhirnya, dia harus menerima kenyataan: dia tidak akan bisa lagi bekerja bersama-sama dengan ayahnya di ladang.

Meninggalkan pekerjaan di ladang, dia mengalihkan perhatiannya ke gereja dan selama perjalanannya itu dia selalu berpikir tentang keadaannya dan hal itu membuatnya merasa kehilangan, merasa kehidupannya seakan sia-sia saja, kehidupan yang tidak memiliki tujuan. Dia tidak bisa bekerja di kebun dan dia tidak dibutuhkan di rumah untuk menjaga adik-adiknya karena mereka dengan cepat bisa belajar untuk menjaga diri mereka sendiri. Selain itu, pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh Felicina.

Merapatkan pakaiannya ke tubuhnya, dan kesusahan untuk bernafas, dia berhasil mencapai undakan yang terakhir, melewati lapangan kecil dan masuk ke gereja. Meskipun tidak ada orang yang mau datang ke gereja pada jam-jam seperti itu, dia tetap memilih tempat duduk yang lebih jauh dari pintu. Dia kemudian duduk, menghela nafas dan kemudian memejamkan matanya. Sebelumnya dia tidak pernah meresa seperti ini, sangat tidak berguna, sangat tidak dibutuhkan, dan dia harus mengakuinya, merasa sendirian. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dia bicarakan dengan orang lain. Bagaimana mereka bisa mengerti segala yang ia rasakan? Dan saat ini merupakan saat yang paling menyedihkan dan merasa paling kesepian di sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu kepada siapa dia harus mengungkapkan masalahnya itu dan bagaimana caranya. Sekarang dia telah berumur dua puluh tiga, tidak melakukan sesuatu pun dan sekarang berhadapan dengan masa depan yang suram dan hampa.

Ya, Tuhan!” dia meletakkan tangannya di atas kepalanya. ”Akan menjadi apa aku ini? Apa yang harus aku lakukan?” Dia tidak ingin menangis tetapi ternyata air mata itu tak tertahankan untuk tertumpah dari kedua matanya. Akhirnya dia menutup wajahnya dengan celemek kerjanya sambil mengeringkan airmatanya.

Dia tidak tahu berapa lama dia telah menangis. Namun tiba-tiba dia mendengar suatu keributan dari luar gereja. Keributan itu berbaur dengan jeritan dan tawa anak-anak yang girang. Puntu gereja itu segera terbuka dan sebuah sinar yang terang menerobos masuk ke lantai yang gelap itu. Diikuti oleh beberapa orang yang mencelupkan jarinya ke air suci, dan tergesa-gesa membuat tanda salib dan berlutut untuk menghormati Sakramen Mahakudus.

Maria dengan segera mengusap matanya dan berusaha untuk menguasai dirinya sendiri. Sementara itu tiga anak berjinjit mendekatinya.

Nona Maria”

Ya?” Maria tetap tidak menoleh kepada mereka. ”Anak-anak, apa yang kalian lakukan sehingga membuat suasana yang gaduh di dalam gereja?”

Nona Maria, apakah anda sedang menangis?”

Kami tidak suka melihat anda sedih.”

Kami semua mencinatai anda, Nona Maria.”

Maria menjadi gembira. ”Ya, saya sedang sedih,” katanya, ”tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang saya sedang tersenyum.” Dia berbalik menatap mereka. ”Apa yang kalian inginkan dari saya?”

Kami ingin tahu kapan anda akan kembali bersama-sama dengan kami lagi.”

Untuk mengajarkan kami bagaimana menjadi anak yang baik.”

Untuk mengajarkan bagaimana mencintai Yesus.”

Mengajar kepada anak-anak bagaimana mencintai Yesus,” ulangnya pada dirinya sendiri, ”Bagaimana mencegah anak-anak supaya tidak jatuh dalam dosa dan pada saat yang sama bagaimana harus...... Ya! Ya! Itu dia! Anak-anak tinggalkanlah saya untuk beberapa saat. Oh, tidak, lebih baik tetap tinggal di sini, berlututlah dan bedoalah bagi intensi-intensi saya.”

Dengan taat, anak-anak itu segera berlutut di belakang Maria, memejamkan mata mereka dan bibir mereka mengucapkan doa dengan cepat.

Sekarang Maria telah mendapatkan kembali ketenangannya. Menengok kembali ke belakang, dia merasa yakin bahwa suatu perubahan telah terjadi dengan begitu cepat. Memang tidak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi. Hal itu mirip secercah sinar menyala di dalam kegelapan. Tetapi dia tahu bahwa akhirnya semuanya itu akan menjadi semakin jelas. Sambil berlutut, dia berdoa untuk kekuatan dan bimbingan dan ketika dia bangkit matanya telah penuh dengan harapan yang baru.

Ayo, pergi, anak-anak!” ajaknya sambil berbisik.

Dia sangat bergembira ketika melewati bukit di belakang gereja di mana Pastor Pestarino membangun rumah untuk musim panasnya. Tiba-tiba dia berhenti, tidak bisa mengerti tentang sesuatu hal yang sedang dilihatnya. Dia melihat, atau paling tidak mengira bahwa dia melihat, sebuah bangunan besar seperti sebuah sekolah yang penuh dengan anak-anak yang sedang tertawa dan bermain dan sementara itu dia sendiri berdiri di antara mereka.

Bangunan itu tidak ada di sana sebelumnya,” dia berkata sendiri. ”Saya ingin tahu, apakah arti dari semuanya ini?” Kemudian dia mendengar suara dari seseorang, ”Aku mempercayakan mereka kepadamu.” Merasa tidak yakin apakah dia sedang bermimpi, ataukah hal ini merupakan pesan khusus kepadanya, dia kemudian menceritakan semua hal ini secara terperinci kepada Pastor Pestarino.

Omong kosong!” adalah jawabannya. ”Jangan pernah kamu memikirkan hal itu lagi, buang jauh semua pikiran yang menyangkut hal itu!”

Karena dia baru saja sembuh dari penyakit yang begitu lama dia derita, Pastor Pestarino menyangka bahwa hal ini hanyalah khayalannya saja. Dia sendiri berharap bahwa mimpinya itu mudah-mudahan dapat terwujud. Maria sendiri mulai berpikir bahwa mungkin apa yang telah Pastor Pestarino katakan, benar adanya. Di dalam beberapa kesempatan, Pastor Pestarino sendiri memintanya untuk melupakannya. Merasa bingung dan sedikit sedih, dia berusaha untuk melupakan semua hal itu. Meskipun demikian, berulang kali dia tidak bisa mencegah dirinya untuk mengingat kejadian itu dan ia akan merenungkannya.


5 - Rahasia Besar



Sebelum kita masuk ke gereja marilah kita berjalan-jalan sebentar ke tempat di mana kita tidak dilihat orang,” kata Maria kepada temannya. “Saya punya sesuatu yang penting untuk disampaikan kepadamu.”

Ya, Tuhan! Apakah itu?” Petronilla menahan nafas dalam ketidaksabarannya. ”Tolong katakan kepadaku!”

Mari kita pergi ke belakang sebuah pohon buah yang besar dengan menuruni jalan kecil itu.”

Hanya di sanalah tempat tersembunyi dari mata para pengunjung gereja di mana Maria merasa cukup aman menyampaikan rahasianya.

Sebab dia tidak dapat bekerja lagi di ladang karena ibunya tidak ingin melelahkan dia, Maria sekarang mempunyai lebih banyak waktu lagi. Sebagai akibatnya, dia bisa berhubungan dengan Petronilla Mazzarello, temannya tetapi bukan keluarga, lebih sering lagi daripada sebelumnya.

Kedua gadis itu mempunyai banyak kesamaan. Mereka memakai pakaian sehari-hari yang sederhana yaitu pakaian yang biasanya dipakai oleh para gadis desa. Kaki mereka bila perlu dilindungi sabot dan kaus kaki tebal, tubuh mereka dibalut dengan pakaian yang panjang sampai mata kaki yang warnanya tidak mudah memperlihatkan noda dan jumlah pakaiannya diatur sesuai dengan musimnya. Ketika mereka bekerja, mereka biasanya memakai juga celemek kerja dan untuk melidungi kepala dan menjaga rambut mereka, mereka biasanya memakai kain penutup kepala.

Mempunyai tubuh yang kuat dan tidak cantik, mempunyai kulit yang kasar dan berwarna coklat muda dengan sosok tubuh orang desa, Maria juga memiliki sebuah daya pikat yang nyata yang berasal dari kehangatan dan gaya keramahannya. Rambut coklat kemerah-merahan menutupi keningnya yang lebar. Hidung yang lebar dan mata coklat yang mencerminkan kecerdasan dan keriangan. Mulutnya juga lebar, dengan bibir yang penuh dan dua gigi terlihat menonjol daripada lainnya, hal ini terjadi akibat kebiasaan mendorong gigi-gigi itu dengan lidahnya. Tulang pipinya yang menonjol cukup memberikan sebuah kesan tentang kekuatan dan keteguhannya, sifatnya juga terlihat dari wajahnya yang tenang dan dari senyumannya.

Petronilla Mazzarello adalah anak kedua dari lima bersaudara dan merupakan anak perempuan dari pasangan guru paroh waktu dan petani yang memiliki sebuah rumah yang terletak di pusat desa. Karena tidak ada pendidikan untuk para gadis, ayahnya mengajarinya sendiri untuk membaca dan menulis. Dia juga memberi beberapa pelajaran kepada Maria.

Petronilla berbadan ramping dengan tinggi di bawah rata-rata para gadis biasa dan tidak terlalu kuat. Mempunyai kemauan yang cukup kuat ketika hal itu dituntut darinya, dia biasanya selalu mengikuti kemauan orang-orang yang dihormatinya. Dia diberkati dengan watak yang menyenangkan, seorang yang penuh humor, berhati halus dan menghayati agamanya dengan mendalam. Pernyataan yang disenanginya ketika mengatakan sesuatu yang baik adalah Oh bonta! (“Oh, Tuhanku!”) dan ketika mengatakan sesuatu yang tidak baik, Oh pieta! (“Kasihan sekali!”)

Maria setahun lebih tua dari Petronilla dan juga lebih kuat, sedangkan Petronilla memiliki sikap yang baik dan santai. Sementara semangat kesalehan yang dimiliki Maria lebih tampak di dalam hatinya daripada yang terlihat di luar, Petronilla adalah kebalikannya. Oleh sebab inilah, Petronilla awalnya ditolak untuk masuk ke dalam kelompok Puteri-Puteri Immaculata, tetapi Maria menolongnya untuk mengatasi kekurangannya itu dan akhirnya Petronilla diterima masuk. Pada saat Maria bertindak sebagai seorang pemimpin, Petronilla adalah seorang pengikut. Akibatnya, Marialah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk menjalin sebuah persahabatan.

Suatu pagi, sebelum doa Malaikat Tuhan—Petronilla bercerita kepada kami— bahwa ia melihat Maria berada di depan pintu gereja, menunggunya untuk dibuka. Dia memanggilku. “Beberapa kali,” katanya “kita berdua harus menunggu sampai pintu gereja dibuka. Mengapa kamu tidak pernah memintaku untuk berdoa bersamamu? Kita seharusnya melakukan hal itu karena berdoa secara bersama bernilai lebih tinggi daripada berdoa sendiri.”

Petronilla setuju dan semenjak itu keduanya sering terlihat berlutut bersebelahan di dalam gereja. Ketika waktu terus berlalu, semakin kelihatan bahwa mereka tampak tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mereka seperti sebuah buku yang terbuka, saling percaya bahkan untuk rahasia-rahasia kecil pun dan membuka hati tentang keinginan pribadi mereka.

Gosip-gosip beredar di desa karena melihat mereka menghabiskan banyak waktu bersama-sama, ingin tahu apa yang mereka berdua ingin lakukan. Sebenarnya, mereka hanya saling membuka diri dalam kepercayaan sampai pada suatu hari di musim panas tahun 1861, dimana Maria bertemu lagi dengan temannya itu di lapangan dekat gereja.

Kamu pasti sudah mengerti sekarang, Petronilla,” kata Maria, ”bahwa baik saya maupun kamu tidak akan dapat melakukan berbagai pekerjaan yang berat di ladang. Jadi apa yang masih bisa kita lakukan? Membersihkan rumah, menghambat kerja orang lain sehingga disebut pemalas? Apakah kamu ingin hal itu terjadi?” Petronilla mengeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh semangat. “Tentu saja tidak.”

Oleh karena itu, kita harus mencari cara untuk membuat diri kita tidak hanya lebih berguna, tetapi juga dibutuhkan.”

Bagaimana kita dapat melakukan hal itu?”

Saya menemukan bahwa ketika saya sedang sakit, masih ada sesuatu yang dapat saya lakukan dengan sangat baik.”

Oh, apakah itu?”

Menjahit”

Menjahit?” wajah Petronilla ragu-ragu. “Itukah rahasia yang besar itu? Bagaimana hal itu …?”

Oh, Petronilla!” seru Maria tidak sabar. “Tidakkah kamu lihat? Jika kita belajar menjahit dengan baik untuk membuat berbagai macam pakaian …”

Dan setelah kita melakukan hal itu?” potong Petronilla.

Kita akan mencari tempat untuk melakukan kerja kita, membuat pakaian-pakaian, menjualnya dengan memperoleh keuntungan dan mencari nafkah hidup sendiri. Tidak hanya itu, tetapi kita dapat juga mengajar anak-anak bagaimana cara menjahit dan pada saat bersamaan mengajari mereka bagaimana mencintai Tuhan yang baik dan bagaimana menghindar dari bahaya. Kita bahkan dapat …” Lalu Maria menyadari bahwa khayalannya telah pergi terlalu jauh. Tiba-tiba dia menghentikannya dan berpaling kepada temannya. “Jadi, bagaimana menurutmu?”

Petronilla pertama-tama ternganga karena terkesima, lalu ia senang dan akhirnya bersemangat tentang ide itu, “Tetapi…….” Ribuan protes muncul dalam pikirannya.

Demi surga!” seru Maria. “Lekaslah pergi ke ayahmu untuk meminta izinnya … Tetapi tunggu dulu! Pertama-tama kita harus minta berkat Allah untuk pekerjaan kita ini.”

Kedua gadis itu berlutut dan memohon berkat, lalu Petronilla mengunjungi ayahnya.

Ayahku segera memberikan izinnya,” katanya kemudian, dengan sedikit terkejut. “Saudara laki-laki dan perempuanku menentangnya tapi Papa melawan mereka. Dia mengatakan kepada mereka bahwa selama dia masih hidup, dialah yang memutuskan. “Teruskan usahamu, Petronilla,” katanya. “Kau mendapat restu dariku!’ ”

Langkah berikutnya adalah bertemu Pastor Pestarino karena mereka takkan berbuat suatu apapun tanpa izinnya. Dia juga memberikan berkatnya.

Sekarang tinggal Tuan Campi,” kata Maria.

Tapi dia penjahit pria!” protes Petronilla. “Kenapa harus dia?”

Karena dia dapat mengajar kita bagaimana cara memotong kain-kain itu, karena dia sendiri yang membelinya sehingga dia tahu harganya, banyak juga wanita yang memesan baju mereka kepadanya, oleh karena itu dia dapat memberi pekerjaan kepada kita dan bisa dikerjakan di rumah …… Oh, Petronilla! Kenapa engkau banyak bertanya? Apakah engkau tidak percaya kepadaku?”

“Tentu saja aku percaya. Hanya ….” Petronilla masih dalam keadaan bingung.

“Kalau begitu, mari kita pergi ke Tuan Campi.”

Terpesona oleh semangat mereka, Valentino Campi menerima mereka sebagai murid untuk musim gugur itu.

Ketika mereka kembali, Petronilla dengan sangat tergesa-gesa hendak memberitahukan ayahnya kabar baik itu ketika Maria menangkap lengannya. “Tunggu...” katanya.

“Apa ada yang salah, Maria?”

Tidak ada yang salah,” kata Maria. “Tapi sebelum kita melakukan hal-hal yang lainnya, marilah kita memutuskan sejak sekarang bahwa setiap jahitan yang akan kita jahit adalah untuk cinta Allah.”

Berita tentang hal ini dengan cepat menyebar ke seluruh desa, menyebabkan gejolak yang ringan. Kritik tajam ditujukan kepada mereka, kebanyakan kepada Maria, yang sebelum sakit, telah membuat mereka iri akan kecakapannya di ladang. “Dia tidak dapat menahan dirinya lebih lama lagi. Dia akan segera mengetahui bahwa itu adalah pekerjaan laki-laki.”

Mengabaikan kritik-kritik itu dan dengan tekun belajar, kedua sahabat itu segera belajar bagaimana membentuk bagian-bagian dari pakaian dan setelah memperoleh sedikit kepercayaan diri lagi, mengambil langkah berikutnya. Mereka bertanya kepada para wanita yang mereka lihat membeli kain untuk membiarkan mereka yang menjahit. Jika permintaan mereka diterima, kedua gadis itu lalu bekerja sampai malam dan sejauh mungkin dalam kerahasiaan sampai mereka menyelesaikan pakaian itu. Orang-orang tidak pernah mempertanyakan ongkos kerja mereka.

Di tengah seluruh aktivitas ini, ayah Petronilla meninggal dan Pastor Pestarino menasihatinya untuk tinggal bersama Theresa Pampuro, seorang anggota dari putri-putri immaculata, yang menurut peraturan mereka, tidak seharusnya hidup sendiri. Ia sakit-sakitan, berumur 40 tahun dan membutuhkan teman. Rumah Theresa lalu menjadi tempat kursus pertama mereka. Alasan lainnya dari Pastor Pestarino adalah untuk memindahkan Petronilla dari gangguan terus-menerus dari beberapa kakak laki-lakinya dan kakak iparnya yang menginginkan Petronilla bekerja bersama mereka di ladang. Mereka juga menuduhnya menghindari bagian kerjanya di ladang. Mereka ingin Petronilla bekerja di ladang jika saja ayah mereka bertindak tegas dan mengatakan bahwa Petronilla bebas untuk melakukan apapun yang ia suka. Sementara itu, Josef, kakak Petronilla menolong saudara perempuannya itu dengan diam-diam memberikannya 5 lira setiap bulan yang dapat Petronilla gunakan untuk membayar makanannya. Ini memungkinkan kedua gadis itu untuk melanjutkan kerja mereka dengan tenang.

Masih dipenuhi rencana dan belum juga puas, Maria pergi ke Antonietta Barco, satu-satunya penjahit wanita di desa itu, yang langsung setuju untuk mengajar mereka seni yang lebiih sulit dari memotong pakaian wanita. Ia baru saja selesai mengajar mereka ketika suaminya dipanggil untuk pindah kerja di kota lain dan ia harus mengikutinya. Hal Ini menyebabkan kedua gadis tersebut menjadi satu-satunya penjahit wanita di desa itu. Perlu beberapa waktu sebelum mereka menjadi cakap di bidang ini, tapi mereka hanya berurusan dengan penduduk desa yang berselera sederhana dan cepat puas. Bagaimanapun juga, mereka sukses dalam melayani setidaknya satu ibu dengan baik, sehingga ibu itu memohon kepada mereka untuk menerima anak perempuannya dalam tempat kursus mereka dan mengajarnya ketrampilan itu.

Karena hal ini adalah langkah yang sangat serius, kedua gadis tersebut duduk untuk membicarakan apakah mereka harus menerima anak itu atau tidak. Tapi karena Maria memang hendak mencoba hal tersebut dan Pastor Pestarino memberikan persetujuannya, anak itu diterima.

Gadis kecil ini dengan cepatnya diikuti dengan gadis yang lain, lalu gadis yang ketiga dan keempat… Tempat kursus kecil itu menjadi terlalu sempit untuk menampung mereka. Untuk mengatasi kesulitan ini, pertama-tama mereka berpikir untuk pindah ke rumah mereka, tetapi Pastor Pestarino malah menganjurkan mereka mencari tempat mereka sendiri. Setelah beberapa pencarian, mereka menemukan sebuah tempat tapi segera diketahui bahwa tempat itu terlalu lembab dan terlalu gelap untuk tujuan mereka. Kakak laki-laki dari Angela Macagno sekarang datang menolong mereka, menawarkan mereka sebuah ruangan dengan biaya sewa lima lira per bulan. Ruangan itu berbentuk persegi, mempunyai dua jendela yang menghadap ke Timur ke sebuah halaman yang seluas 12 kaki kali 12 kaki, dan dapat dicapai dengan mendaki sebuah jalur kecil landai dan melewati sebuah koridor. Maria sangat senang dengan hal ini karena berarti, di samping keuntungan-keuntungan lain, tempat itu hanya terletak beberapa langkah dari gereja. Ia dapat dengan mudah membawa murid-muridnya setiap hari untuk mengunjungi Sakramen Maha Kudus.

Tempat yang tersisa di ruangan itu memungkinkan mereka untuk menerima lebih banyak anak-anak yang membayar 1 lira setiap bulan. Ibu-ibu kini mulai menyadari kelakuan dari murid-murid Maria dan segera mereka juga mengirim anak-anak perempuan mereka ke tempat kursus tersebut. Di balik tindakan mereka, mereka menaruh harapan bahwa anak mereka akan bertemu Maria yang tidak akan pernah mengirim mereka pergi tanpa senyum dan kata-kata yang baik. Sebaliknya, anak-anak itu selalu menantikan untuk bertemu dengan Maria.

Karena kedua sahabat itu sekarang menikmati penghargaan yang mengagumkan di desa, langkah berikut sudah dapat diperkirakan. Seorang pedagang setempat yang istrinya baru saja meninggal dan meninggalkan dua gadis kecil, memohon agar Maria merawat mereka ketika dia bekerja. Setelah banyak diskusi dengan temannya dan bertanya kepada Pastor Pestarino, Maria setuju dan menyewa kamar yang lain pada sisi yang berlawanan di koridor dimana ditempatkan dua buah tempat tidur yang kecil. Petronilla sekarang membiarkan Theresa Pampuro tinggal bersama kedua anak itu. Berikutnya adalah Pastor Pestarino sendiri yang meminta mereka untuk menerima seorang gadis kecil yang ibunya meninggal dan ayahnya seorang peminum. Lagi-lagi masalahnya adalah tentang tempat, jadi mereka menyewa dua kamar lagi-lagi pada sisi lain jalan. Masing-masing kamar itu mampu menampung 4 atau 5 tempat tidur. Dengan segera, mereka menerima lebih banyak lagi anak-anak. Karena penghargaan kepada mereka meningkat, anak-anak yang datang tidak hanya berasal dari desa itu tetapi juga dari luar desa! Singkatnya, Maria dan Petronilla telah berhasil membuka sebuah rumah yatim piatu kecil untuk anak-anak yang membutuhkan pertolongan mereka.

Petronilla tidur di dormitori dengan anak-anak, tapi Maria, karena masih lemah dari sakitnya, kembali ke rumah pada sore hari. Keduanya akan bertemu kembali di gereja keesokan harinya dan menghabiskan beberapa waktu dalam keheningan doa. Sesampainya di tempat kursus, mereka akan membagi jatah kerja hari itu. Di antara keduanya terdapat saling pengertian yang begitu lengkap sehingga tidak ada yang menganggap dirinya sendiri superior dan mereka bertukar tanggung jawab ketika situasi menuntutnya.

Maria memiliki pikiran yang cerdas dan kemampuan yang hebat dengan tangannya. Petronilla lebih mudah menyesuaikan diri dengan tugas-tugas panjang yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Setiap anak-anak yang masuk akan Maria sapa dengan, ”Selamat pagi! Terpujilah Tuhan Yesus Kristus!” membuat tanda salib dan mengucapkan Salam Maria di depan patung Bunda Maria Ratu kita dan mengakhirinya dengan doa ”Saya memberikan kepadamu hatiku dan jiwaku”.

Anak-anak bekerja dalam ketenangan yang hanya dapat diganggu ketika dibutuhkan dan setelah itu seseorang harus berbicara dengan keras agar yang lain dapat mendengar. ”Apapun yang patut dikatakan harus dikatakan dengan keras”. Adalah alasan Maria untuk hal ini. ”Jika tidak, perkataan itu tidak perlu dikatakan sama sekali”. Pada pukul 10.00, satu kelompok pulang ke rumah untuk makan siang sementara para orang tua membawakan makanan bagi kelompok yang lainnya. Lalu salah satu di antara Maria dan Petronilla pulang ke rumah, salah seorangnya tinggal untuk mengatur anak-anak itu.

Pada pukul 12.00 anak-anak itu kembali untuk bermain di lapangan yang kecil. Kadang-kadang Maria dan Petronilla akan bergabung dengan mereka. Kadang-kadang mereka duduk bersama, menonton anak-anak itu bermain melalui jendela.

Suatu pagi Maria keluar ke lapangan kecil itu untuk mengawasi anak-anak itu. Ketika ia melihat mereka sedang tertawa dan bermain dan bertepuk tangan, ia berhenti sejenak. Suara dan pemandangan dari begitu banyak anak yang gembira yang sekarang berada di bawah asuhannya sekarang tiba-tiba memaksanya untuk mengingat sesuatu yang telah ia usahakan untuk melupakan. Untuk beberapa saat, ia berdiri di sana dan tak dapat bernafas, hatinya berdecak kencang dan seluruh tubuhnya bergetar sampai suara seseorang yang memanggil namanya membuatnya sadar kembali. Ia mengoncang-goncangkan dirinya sendiri untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu itu. ”Aku segera datang!” serunya sambil berjalan ke tempat kursus.

Selagi bekerja, anak-anak mengucapkan doa rosario dan mendengarkan bacaan dari The Maxims of St. Alphonsus Liguori. Maria memiliki bakat untuk mendramatisasi bacaan ini sehingga suatu kali ia membuat takut beberapa anak, sehingga mereka berharap tidak dIlahirkan agar tidak memiliki resiko pergi ke neraka.

Kerja terus berlanjut hingga pukul 4 sore. Setelah itu mereka diizinkan berekreasi ringan di koridor, melanjutkan pekerjaan atau mengunjungi gereja, setelah itu kembali bekerja sampai matahari terbenam. Lalu kedua gadis itu mengurusi anak-anak yang tinggal bersama mereka. Setelah hal itu selesai, Maria pulang ke rumah dan Petronilla menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya dan akhirnya pergi tidur.

Kedua sahabat itu menjalankan rutinitas ini setiap hari kecuali hari Sabtu, dimana sebuah perubahan dilakukan untuk memberikan mereka waktu untuk menyapu gereja. Hal itu adalah rutinitas yang begitu sederhana dan menyenangkan dan Maria akan dapat tenang menjalaninya sampai akhir hidupnya.

Tapi, Maria dapat mengatakan dalam bahasa daerahnya, il diavolo ci mettera la coda, setan pasti akan mengganggu. Meskipun ia tidak begitu menyadari hal itu, awan badai sudah berkumpul di atas kepalanya.

6­­—Orang-Orang Yang Terbuang Di Dalam Masyarakat



Untuk sementara waktu, Maria dapat menjalani seluruh hidupnya dengan baik dan masalah yang muncul hanyalah yang berhubungan dengan tugasnya dalam mendampingi anak-anak.

Dia tidak akan pernah membiarkan anak-anak berkata bohong. Memahami dan bahkan mengampuni kesalahan yang telah diperbuat oleh anak-anak itu, dia melakukannya dengan kesabaran tetapi juga dengan ketegasan. Pada suatu hari dia menyuruh seorang gadis kecil untuk memetik buah anggur.

“Apakah kamu berusaha untuk bermatiraga?” dia bertanya kepada anak itu setelah dia kembali. “Ataukah memakan beberapa buah anggur yang baru saja kamu petik?”

“Saya tidak memakan sebuah pun.” Anak itu menjawabnya selagi dia mulai tersipu malu.

“Bagaimana mungkin kamu dapat berkata seperti itu?” reaksi Maria. “Saya melihat pada waktu kamu mengambil anggur dan kemudian memakannya! Beraninya kamu berbohong! Hal yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika kamu berkata bohong!”

Pada kesempatan yang lain dia memberitahu salah seorang siswa yang mengikuti kursus bahwa anak mereka belum sampai di tempat kursus. Orang tua mereka menjawab bahwa telah melihat anaknya pergi ke tempat kursus tadi pagi. Kenyataannya, setelah agak lama anak itu baru muncul.

“Darimana saja engkau?”

Ketika ia mulai membuat-buat alasan, Maria segera memotongnya.

“Tidak usah berbicara lagi,” katanya. ”Saya dapat melihat kebohongan di wajahmu. Kamu pergi ke rumah itu yang mana saya telah melarangmu karena anak-anak laki-laki di sana adalah pembuat masalah. Tetapi bukan hanya itu melainkan karena kamu masih berusaha untuk menipu saya! Jika kamu masih pergi ke rumah itu, saya mengingatkan kamu, kamu akan menyesal!”

Ketika kemarahannya telah telah sirna atau ketika dia telah memberikan koreksi, dia akan segera melupakannya. Maria tidak pernah menyimpan perasaan terhadap anak yang melanggar peraturan dan anak-anak menyukai caranya bertindak karena mereka merasa bahwa Maria melakukannya demi kebaikan mereka.

“Maria akan memarahi kami jika kami memang pantas untuk menerimanya,” kata salah seorang muridnya. “Tetapi setelah dia menunjukkan kesalahan yang telah kami perbuat, dia akan tetap mencintai kami seperti sebelumnya seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang pernah terjadi. Dia selalu berbelas kasih. Saya tidak pernah melihatnya dalam keadaan murung. Ataupun nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang yang lebih tua. Ketika orang tua atau pelanggan mau bertemu dengannya, dia biasanya akan berkata kepada mereka, “Pergilah sebentar untuk bertemu dengan Tuan kalian.”

“Tetapi kami tidak mempunyai seorang tuan,” kata mereka berkeberatan. “Kami bekerja demi diri kami sendiri.”

“Oh, saya tetap yakin bahwa anda mempunyai seorang Tuan.”

“Tuan mana yang engkau bicarakan? Kami tinggal di rumah kami sendiri dan bekerja di kebun anggur milik kami sendiri.”

“Tapi saya tetap yakin bahwa anda memiliki seorang Tuan.”

Demi Surga! Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?”
“Jika kamu tidak percaya kepada saya, pergilah ke gereja dan di sana anda akan menemui Tuan atas rumah dan kebun anggurmu itu.”

Seadainya pun hanya mau menanggapi leluconnya itu, para wanita itu biasanya akan pergi ke gereja dan kemudian kembali untuk berterima kasih kepadanya. Dia tidak pernah membiarkan setiap orang yang berkunjung meninggalkan tempat itu tanpa pernah menawarkan kepada mereka sebuah pemikiran yang semakin mendekatkan mereka kepada sang “Tuan.”

Satu alasan yang membuatnya mau menerima tawaran untuk mengunakan kamar-kamar milik Maccagno adalah karena ia mempunyai rencana untuk menggunakan halaman kecil yang ada di sana bagi anak-anak yang mengikuti kursus di sana. Maksudnya ketika mereka sedang tidak mengunakannya maka tempat ini menjadi bebas. Dia berpikir bahwa saat itu bisa digunakan bagi anak-anak yang ada di desa itu. Seperti biasanya, pertama-tama, dia akan membicarakan hal itu kepada Petronilla dan kemudian kepada Pastor Pestarino. Mengetahui bahwa mereka sangat setuju dengan rencana itu, dia segera mengumumkan bahwa setiap hari Minggu dia akan mengundang tidak hanya anak-anak yang kursus di tempat itu tetapi juga bagi siapa saja yang ingin datang untuk bergembira dan membuat permainan-permainan. Mereka menanggapi undangan itu dengan bersemangat sehingga dalam waktu yang singkat saja halaman itu telah penuh dengan tawa, permainan, loncatan dan teriakan banyak anak. Maria selalu bisa ditemukan berada di tengah-tengah mereka, entah sedang bermain atau sedang menyemangati seorang anak yang malu untuk bergabung dengan yang lainnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka yang baru pertama kalinya bertemu dengannya untuk menjadi segembira seperti anak-anak yang mengikuti kursus di sana.

Pada awalnya belum ada peraturan yang tetap. Setiap orang bisa datang dan pergi setiap saat. Maria merasa sangat senang melihat mereka bisa bergembira di dalam sebuah lingkungan yang baik. Tetapi jumlah mereka segera membengkak sehingga tempat itu tidak bisa menampungnya lagi. Lalu apa yang harus dilakukannya? Dia tidak pernah perpikir untuk mengusir mereka maupun menutup pintu bagi mereka. Setelah memikirkan dan mendiskusikan hal itu dengan dua temannya, dia akhirnya menyimpulkan jika di dalam hanya tersedia halaman yang sempit maka yang lainnya bisa bermain di luar. Maria sekarang mulai mengatur mereka yang akan mencari tempat di luar rumah itu dan biasanya dia akan menemukannya di gereja setempat atau tempat-tempat berdoa yang lainnya. Hal ini menjadikan mereka secara teratur bertemu di gereja itu, berdoa bersama dan kemudia berkunjung ke tempat ziarah St. Silvester dekat Montaldo.

Acara untuk hari-hari itu terdiri dari sebuah cerita dari Maria, bermain, pelajaran katekismus dan kemudian kembali ke Mornese untuk membantu penduduk desa mendaraskan doa sore mereka. Pada saat musim dingin mereka akan segera pulang ke rumah tetapi saat musim panas yang panjang mereka pergi ke tempat peziarahan St. Silvester untuk bersenang-senang dan bermain-main lagi.

Walau percobaan yang dia lakukan itu ternyata berhasil dan dia mendapat izin dari ibu-ibu mereka karena mereka bisa melihat bahwa Maria bisa menjadi seperti Malaikat pelindung bagi anak-anak mereka, ada juga beberapa orang yang tidak menyukainya. Orang-orang ini adalah anak-anak muda yang merasa terganggu karena dia berhasil menarik hati anak-anak gadis dan merasa cemas pada nasehat-nasehat yang ia sering berikan kepada anak-anak itu. Pada saat itu adalah waktu menjelang karnival dan cara yang mereka gunakan adalah pesta tari. Karena Maria dan para ibu merasa tidak suka dengan gaya tarian-tarian itu, maka Maria mengusulkan suatu pilihan lain. Dia berhasil menemukan seorang gadis yang bersedia untuk membawa organ tabung dan jika hanya mau mengadakan tarian maka dia bisa menyediakan sebuah halaman yang kecil yang bisa dipakai oleh gadis-gadis itu untuk menyenangkan teman-temannya. Dan selain itu, ibu-ibu mereka juga mendukung rencananya ini.

Tetapi orang-orang yang mengorganisasi tarian karnaval itu tetap berusaha untuk menarik gadis-gadis itu dengan hadiah ataupun penghargaan, tetapi ketika usaha itu gagal, mereka mulai memaksa dengan kekerasan. Ketika gadis-gadis itu muncul di depan umum, anak laki-laki suka mengejek mereka. Maria melawan mereka dengan mengadakan piknik, dan makanan yang mereka butuhkan disediakan oleh Pastor Pestarino. Ketika anak laki-laki itu berusaha untuk menakut-nakuti mereka ketika mereka pulang, maka Maria berusaha membagi mereka dalam kelompok yang terdiri dari empat atau lima gadis sehingga dengan jumlah itu mereka bisa lebih berani dan jika mungkin dia akan menyuruh seorang gadis yang lebih dewasa untuk menemani mereka.

Para musuh itu telah melakukan hal yang lebih jauh lagi, bahkan mengarah kepada kekerasan. Gadis-gadis yang lebih tua menanggapinya dengan kebaikan dan seorang gadis kecil sempat mendapat pukulan yang cukup keras di kepalanya sehingga harus diperiksakan ke dokter. Meskipun yakin bahwa dia memenangkan pertempuran ini, tetapi dia tetap yakin bahwa para penentangnya itu akan tetap melakukan gangguan yang terakhir untuk menentang keberhasilannya itu.

Hal itu muncul dengan cara dan kesempatan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ketika gadis-gadis itu menari, pintunya dibuka secara paksa, dan dua orang laki-laki masuk ke tengah-tengah tarian itu dan mulai menari dengan para gadis itu. Maria kemudian mematikan musiknya, memerintahkan para gadis itu mundur dan dalam kesunyian itu dia dan orang-orang yang lainnya memelototi kedua anak muda itu. Tidak membutuhkan waktu yang lama setelah dimatikannya musik itu dan adanya banyak tatapan mata membuat para pengacau itu tidak merasa enak untuk terus menari, mereka menjadi malu dan kemudian berlari meninggalkan halaman itu. Kemenangan Maria sekarang telah menjadi sempurna.

Ketika pengaruh yang diberikan kepada gadis-gadis itu semakin berkembang, sekarang dia tidak hanya berkewajiban untuk mendampingi anak-anak yang menjadi tugasnya saja ataupun anak-anak yang ikut kursus tetapi juga bagi setiap anak di desa itu yang membutuhkan bantuannya. Dia memberikan perhatian khusus kepada mereka yang berada dalam bahaya moral. Dia biasanya akan memanggil mereka dan karena pengaruhnya di lingkungan itu, mereka biasanya datang dan mendengarkannya. Bagi mereka yang membutuhkan pendampingan yang khusus biasanya dia akan melibatkan salah seorang temannya untuk mengawasi mereka. Atau memberitahukan kepada orang tua mereka ketika dia merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan dan berusaha untuk membujuk mereka menuaikan tugas yang baik sebagai orang tua. Bahwa pengaruhnya terhadap gadis-gadis itu cukup besar diperkuat oleh kesaksian salah seorang di antara mereka.

Kami adalah dua orang kakak beradik.” Seorang gadis mengingat setelah beberapa tahun kemudian. “Saya berumur delapan tahun dan adik saya berumur tiga tahun. Dia mengajar kami cara berdoa dan pelajaran katekismus, mempersiapkan kami untuk pengakuan dosa dan untuk menerima komuni pertama dan ia juga mengajar saya bagaimana cara menjaga adik saya yang masih kecil. Suatu hari, saya membuat suatu kesalahan—karena rasa ingin tahu—pergi ke tempat dansa. Ketika Maria mendengar hal itu dia meneriaki saya seakan-akan dunia kiamat! “Paskah akan segera tiba” dia berkata kepada saya, “Tetapi karena kamu telah melakukan sesuatu yang salah maka kamu tidak akan diperbolehkan untuk menerima Komuni Suci bersama dengan teman-temanmu.” Saya kemudian menangis dan berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi tetapi dia tetap tidak mengizinkannya. “Sekarang kamu menangis,” katanya. “Tetapi kelak kamu akan tertawa atas apa yang saya lakukan kepadamu ini.” Saya tetap mempersiapkan diri untuk menerima Komuni Suci dan diperbolehkan menerima-Nya sehari setelah Minggu Paskah. Maria tetap baik dengan saya seperti sebelumnya. Dan hal itu memang benar. Hal itu memberikan sebuah pelajaran bagi saya sehingga saya tidak akan pernah lagi pergi ke tempat dansa seperti itu.

Dua orang sahabat itu akhirnya menyadari bahwa karena mereka tinggal cukup jauh dari tempat kursus itu, mereka telah kehilangan banyak waktu yang berharga untuk pulang pada jam-jam makan. Setelah mengadakan beberapa diskusi akhirnya Maria membuat sebuah keputusan.

Petronilla,” katanya, “Pergilah ke rumah Pastor Pestarino dan katakan kepadanya bahwa karena kita tidak mau kehilangan waktu yang berharga untuk pulang ke rumah maka kami akan membeli sedikit pasta dan akan membuat makan malam bagi kami sendiri.”

Meskipun dia sebenarnya merasa segan untuk berhadapan dengan Pastor Pestarino untuk membicarakan hal itu, tetapi untuk hal ini dia mencoba untuk memberanikan diri. “Baiklah,” jawabnya. “Jika kamu menginginkan saya pergi, maka saya akan melakukannya.”

Pastor Pestarino mendengarkan permohonannya, menimbangnya lalu menyetujuinya. “Lakukanlah apa yang kamu pikir baik,” dia berkata kepadanya.

Petronilla segera memberitahukan hal itu kepada Maria.

Melakukan apa yang kita pikir benar?” Maria mengulanginya. “Saya pikir yang terbaik adalah membuat makanan kita sendiri di sini! Langkah kita selanjutnya adalah mencari panci yang bisa dipakai untuk memasak pasta ini. Petronilla segera pergi ke rumah Theresa Pampuro dan meminjam salah satu panci miliknya.

Usaha Petronilla yang kedua juga berhasil sebagaimana usahanya yang pertama dan dia kembali dengan membawa sebuah panci yang besar yang bisa untuk memasak pasta untuk mengenyangkan mereka berdua. Dan sejak saat ini bagi Petronilla, kecuali bila saudaranya menuntutnya untuk makan bersama mereka, akan selalu makan di tempat kursus, sementara Maria, tergantung perasaannya—dia masih belum pulih betul dari penyakitnya—akan makan baik bersama keluarganya maupun bersama dengan temannya itu.

Makanan yang mereka sediakan sangatlah sederhana, terdiri dari pasta, nasi, tomat atau buah-buahan. Kadang-kadang Petronilla akan merebus sebuah telur untuk Maria jika dia melihat temannya itu tampak kurang sehat. Bagi Maria, supaya tidak ada perlakuan khusus baginya akan membagi telur itu dengan Petronilla.

Maria selalu ingin hidup bermati raga,“ kata Petronilla. “Bahkan jika mungkin, ia ingin hidup dengan menghirup udara saja!”

Karena desa itu hanya dapat menyediakan beberapa pekerjaan saja, dan para gadis itu membutuhkan lebih banyak pekerjaan supaya mereka tetap sibuk, Petronilla ditemani oleh salah seorang gadis, mulai mengadakan perjalanan di berbagai tempat untuk meminta pekerjaan dari orang-orang.

Sementara waktu terus berlanjut dan dia sudah merasa cukup kuat, Maria mulai membuat rencana untuk memisahkan diri sepenuhnya dari keluarganya dan hidup bersama Petronilla dan gadis-gadis yang lain dalam kelompok Putri-Putri Immaculata yang ingin bergabung dengan mereka. Dengan cara ini dia berharap dapat mempersembahkan seluruh tenaganya bagi anak-anak itu. Meskipun rencana ini kelihatan sangat tergesa-gesa bagi keluarganya untuk mengabulkannya, dia tetap memintanya lagi. Pertama-tama orang tuanya menolak rencana itu, terutama ayahnya yang selalu ingin dekat dengannya. Meskipun demikian, dengan setengah hati akhirnya dia mengizinkannya juga, tetapi bukan sepanjang waktu melainkan untuk beberapa kesempatan khususnya pada malam hari.

Theresa Pampuro ingin melakukan hal yang sama tetapi kesehatannya tidak mendukung. Meskipun demikian dia tetap membantu baik tempat kursus mereka ataupun tempat yang menjadi pusat berkumpulnya anak-anak yang ada di desa itu. Ketika Pastor Pestarino sudah menyetujuinya, langkah berikutnya adalah mengusahakan andaikata mungkin untuk tinggal dan bekerja bersama-sama. Tidak membutuhkan waktu yang lama ketika beberapa anggota muda dari Putri-Putri Maria Immaculata meminta izin untuk bergabung dengan mereka.

Sekarang baik tempat kursus maupun tempat berkumpulnya anak-anak muda telah berfungsi dengan baik dan Maria berhasil mengumpulkan beberapa orang temannya dari Putri-Putri Maria Immaculata untuk bisa mendampingi mereka. Dia sedang berada pada puncak kesuksesan ketika sebuah badai mulai menerjangnya.

Masalah itu berawal dari beberapa teman Angela yang menunjukkan kepada Maria bahwa aturan dari Putri-Putri Maria Immaculata dengan jelas menyebutkan bahwa para anggota hendaknya tidak tinggal di tempat lain selain di rumah mereka masing-masing. Untuk menjawabnya Maria meniru apa yang telah dikatakan oleh Pastor Pestarino. “Kamu harus menganggap hidupmu itu sepenuhnya di bawah pengawasan saya,” dia pernah berkata kepada Maria. “Dan saya dapat berkata bahwa kehidupan yang engkau alami selama ini sesuai dengan aturan itu.”

Sekarang bagi para anggota yang lebih tua mulai menuduh Pastor Pestarino telah memberikan perhatian khusus kepada Maria, tetapi para anggota yang lebih muda menyangkalnya dengan keras.

Sayangnya, semua peristiwa itu terjadi ketika jabatan Angela sebagai ketua hampir habis dan harus segera dicari pengantinya. Dua calon segera muncul untuk mengisi posisi itu. Ketika anggota-anggota yang lebih muda melihat Maria sebagai seseorang yang selain mempunyai kemampuan untuk mengorganisasi, juga mempunyai jiwa keibuan dan telah membantu perkembangan kelompok itu, tetapi bagi para anggota yang lebih tua menganggapnya sebagai seseorang yang berusaha merebut tempat Angela dan sepertinya mau menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemimpin yang cakap dan berbakti. Semua ini menyimpulkan bahwa Maria merupakan seseorang yang tidak tahu berterima kasih. Semua protes Maria bahwa yang diinginkannya hanyalah diperbolehkan mendampingi anak-anak di tempat latihan kursus dan pusat anak-anak, atau juga desakannya agar namanya tidak disebut-sebut, tidak dapat membantu menyelesaikan masalah itu.

Tetapi akibat dari itu adalah Maria mendapati dirinya berada dalam posisi yang bertentangan dengan seseorang yang sangat dikaguminya.

Bagi Angela sendiri, apapun yang telah ia pikirkan atau rasakan, dia sendiri tidak mengambil bagian dari tindakan yang memecah belah itu. Dia adalah seorang yang terlalu berpegang teguh pada agama dan juga seseorang yang sangat baik hati. Satu-satunya perhatian yang ia curahkan adalah usahanya untuk keselamatan dan kemajuan rohani dari kelompok itu.

Pastor Pestarino sediri merasa berada dalam sebuah dilema. Dia sangat mengenal betapa baik tingkah laku kedua orang itu, dia juga sadar seandainya dia mengambil suatu tindakan yang salah maka akan segera mempergaruhi kelompok itu. Setelah memberikan beberapa masukan dan setelah berdoa memohon bimbingan Tuhan, akhirnya dia mengumumkan bahwa Angela Maccagno tetap menjadi pemimpin Putri-putri Maria Immaculata.

Keputusan ini tidak memuaskan bagi anggota-anggota yang lebih muda. Mengetahui bahwa suara mereka sama sekali tidak diperhitungkan, mereka kemudian memanggil Maria untuk memprotes hal itu.

Apa pendapatmu tentang hasil pemilihan ini yang tidak lebih daripada sebuah sandiwara?” mereka bertanya kepadanya.

Keputusan itu sudah yang terbaik.”

Kami tidak berpikir demikian. Kami menginginkan anda yang terpilih.”

Mungkin kalian melihat hal ini dengan cara pandang yang benar.”

Apakah itu pendapat anda yang sebenarnya?”

Dengar, saya tahu kalian tidak puas,” Maria berkata kepada mereka. ”Biarlah hal itu berlalu. Sekarang waktunya untuk berterima kasih kepada Tuhan dan menaati kehendak suci-Nya.”

Dengan memberikan jawaban ini dia berharap jika tidak bisa menghentikan badai yang sedang bergejolak itu, paling tidak bisa mencegah mereka untuk berusaha memisahkan diri dari kelompok itu yang akhirnya bisa menghancurkannya.

Para anggota yang lebih tua telah menuduhnya sebagai motor pengerak untuk berkomplot mengantikan Angela dan kemudian menempatkan dirinya sebagai ketua kelompok Putri-putri itu. Maria tidak terlalu terpengaruh dengan hal-hal itu. Tetapi jika dia menemukan bahwa hal itu mempengaruhi hubungannya baik dengan para ibu ataupun dengan anak-anak, maka dia angkat bicara dan menjelaskan masalah itu sebaik-baiknya. Setelah masalah itu perlahan-lahan mulai tenang tetapi ketika muncul lagi, Pastor Pestarino berusaha setenang mungkin, mulai mencoba untuk mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak, mulai berdoa memohon perlindungan dan memanggil kembali para anggota untuk mengadakan pertemuan.

Supaya bisa menyingkirkan masalah, meskipun seandainya dia sendiri tidak bersalah dalam menimbulkan perselisihan ini,” katanya, “dan pada saat yang sama melindungi pribadi ini dari tuduhan-tuduhan, dan sejauh hal itu saya anggap penting, Maria Mazzarella akan meninggalkan desa ini dan tinggal bersama dua adik laki-lakinya, Dominikus dan Josef, di La Valponasca. Dia diizinkan untuk bisa datang ke desa hanya pada hari-hari pesta dan hari Minggu untuk mengikuti misa. Selama itu juga, dia tidak diperkenankan untuk berhubungan dengan Putri-putri Maria Immaculata.”

Apa tujuan Pastor Pestarino memberikan pernyataan yang begitu keras itu?

Pertama-tama ia ingin memindahkan orang yang menjadi penyebab perselisihan itu. Dengan demikian dia berharap kedua belah pihak bisa merenungkannya dan setelah itu, dia merasa bahwa mereka yang telah menuduhnya akan menemukan bahwa mereka telah bersalah sehingga menyesal dan memintanya untuk kembali. Dia telah menyelidiki sebelumnya, pada saat mereka bekerja di tempat kursus dan pusat untuk anak muda, mereka akan merasa menderita dengan ketidakhadiran Maria di sisi mereka. Akibatnya, mereka akan memintanya untuk segera kembali. Terakhir, karena telah mengetahui kebaikan hati dan juga cara berpikir Maria, dia menjadi yakin bahwa Maria akan menerima keputusan itu tanpa mengeluh.

Meskipun demikian, para anggota kelompok itu tidak merasa demikian, dan reaksi keterkejutan muncul di dalam ruang rapat itu. Bagi teman-temannya keputusan itu benar-benar merupakan sesuatu yang sama sekali tidak adil dan tidak beralasan sementara bagi kelompok yang lainnya keputusan itu merupakan sesuatu yang terlalu berlebihan. Kedua belah pihak paham betul bahwa Maria mempunyai sifat yang cepat marah dan kalau hal itu sudah terjadi maka dia akan menjelaskan kepada semua orang apa yang selama ini dia pikirkan, mereka segera menunggu reaksinya.

Meskipun sebenarnya Maria tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah tentang hal ini, dan sejauh yang ia ketahui bahwa hukuman yang telah diberikan kepadanya benar-benar tidak adil, tetapi dia menganggap hal ini sebagai sebuah percobaan yang paling berat untuk menguji kebajikannya.

Setelah beberapa saat merenung, ketika wajahnya mulai memerah dan bibirnya gemetar, dia menundukkan kepalanya dan dengan berbisik dia mentaati keputusan itu. Dia akan tinggal di La Valponasca sampai Pastor Pestarino memutuskan bahwa dia bisa kembali ke tempat kursus dan Pusat perkumpulan anak muda itu.

Karena larangan Pastor Pestarino tidak menyangkut kerja mereka sehari-hari, Petronila seringkali mengirimi Maria bahan-bahan pakaian untuk dijahit. Pada saat para gadis ini membawakan bahan-bahan yang akan dijahit ini, Maria dapat bertanya kepada mereka apa yang terjadi dengan tempat kursus mereka dan juga pusat berkumpulnya anak muda ketika dia tidak ada di sana dan pada saat-saat tertentu dapat memberikan nasehat-nasehat kepada teman-temannya itu dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul. Pada gilirannya para gadis itu sangat senang bisa bertemu dengannya sehingga mereka berlomba untuk bisa pergi ke La Valponasca.

Sementara itu sambil terus berdoa berharap bahwa keputusan itu segera dicabut, dia tetap menunggunya dengan taat. Setelah lebih dari satu bulan setelah pengusirannya itu, seperti yang telah Pastor Pestarino perkirakan sebelumnya, mereka mulai merasa menyesal terhadap segala sesuatu yang telah mereka lakukan kepadanya dan hal itu terutama yang berkaitan dengan tempat kursus dan pusat anak muda yang mulai menderita karena ketidakhadirannya. Pastor Pestarino merasa bahwa dia sudah cukup menderita untuk menebus dosa teman-temannya itu. Dia segera mengumumkan bahwa masa pengasingannya telah selesai dan dia bisa segera kembali ke Mornese.

Bagi Maria, masa pengasingan itu memberikan kesempatan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermatiraga, berdoa dan meditasi, yang bisa menjadi persiapan untuk karya-karyanya pada masa datang. Setelah mencobai kerendahatiannya dan telah menemukan bahwa ia layak, maka sekarang Tuhan telah siap untuk mengutusnya untuk memajukan karya-karya-Nya.




“Don Bosco adalah seorang kudus! Saya bisa merasakannya! Don Bosco adalah seorang yang kudus!”

Inilah reaksi pertama Maria ketika dia telah berhadapan langsung dengan seseorang yang telah diceritakan oleh Pastor Pestarino secara mengesankan.

Pertemuan ini diadakan ketika Don Bosco untuk pertama kalinya mengunjungi Mornese dengan beberapa maksud tersembunyi di balik kunjungannya itu.

Pada tahun 1862, dia diundang untuk menghadiri sebuah perayaan di Acqui, sebuah kota yang terletak sekitar 160 km di sebelah utara Mornese, kemudian oleh sang uskup diperkenalkan dengan Pastor Pestarino. Pastor Pestarino merasa sangat gembira karena bisa bertemu dengan seseorang yang begitu menarik baik bagi kalangan para imam maupun penduduk biasa di Piedmont. Ketika pertemuan itu telah selesai kedua pastor itu secara tidak sengaja bertemu di dalam sebuah kereta dari Acqui menuju Alesandria dan Don Bosco mendengarnya dengan sabar ketika Pastor Pestarino bercerita tentang keajaiban jemaatnya di Mornese. Mornese pada dasarnya bukanlah suatu tempat yang penting di dunia ini. Tetapi ketika Pastor Pestarino mulai membicarakan tentang perkumpulan Putri-putri Maria Immaculata, Don Bosco mulai memberikan perhatian yang lebih serius. Ketika Pastor Pestarino telah selesai bercerita, Don Bosco mengaku bahwa beberapa uskup telah mendesaknya untuk segera memulai bekerja bagi anak-anak perempuan seperti yang telah ia lakukan bagi anak laki-laki, dan ia merasa sangat tersanjung dengan usulan-usulan itu.

Don Bosco sekarang menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan seseorang yang mempunyai jiwa pelayanan yang sejati, oleh karena itu dia segera mengundang Pastor Pestarino berkunjung ke oratorinya, supaya bisa membicarakan lebih jelas lagi tentang gadis-gadis bimbingannya itu dan juga tentang rencana-rencana pribadinya. Pastor Pestarino memenuhi undangan itu tetapi sebelumnya dia terlebih dahulu mengunjungi tempat ziarah Madonna della Rocchetta di mana dia memutuskan akan mempersembahkan seluruh hidupnya dan mempersembahkan seluruh harta kekayaan duniawi yang ia punyai kepada Don Bosco.

Ketika ia membuat usulan yang baik ini kepada Don Bosco, jawaban yang ia terima sesuai dengan apa yang ia harapkan. Don Bosco menerima permohonan yang dia usulkan itu, akan tetapi karena dia tidak mau merampas wewenangnya dalam membimbing para gadisnya, maka untuk sementara waktu, dia harus kembali ke Mornese dan melanjutkan membimbing mereka. Setelah mendapat tugas itu, kegembiraan yang Pastor Pestarino rasakan, dibagikan kepada kelompok itu khususnya untuk Maria dan Petronilla, Don Bosco memberinya dua medali Bunda Maria untuk mereka atas karya-karya yang telah mereka lakukan untuk anak-anak di Mornese. Don Bosco juga memberinya sebuah jadwal harian sederhana untuk mereka supaya bisa membantu karya-karya mereka. Ini adalah salah satu cara yang dia gunakan untuk memperkenalkan kehidupan religius kepada mereka .

Setelah ia kembali ke Mornese, Pastor Pestarino memberikan medali-medali itu kepada Maria dan Petronilla, kemudian menjelaskan kepada gadis-gadis yang lainnya bahwa Don Bosco menginginkan mereka mengikuti Maria dan Petronilla.

“Siapakah Don Bosco? Sebagian besar di antara kami bahkan belum pernah mendengarnya.”

“Siapakah Don Bosco?” ulang Pastor Pestarino. “Jika kalian mau duduk sebentar, saya akan memberitahukannya kepada kalian.”

Ketika mereka sudah duduk, Pastor Pestarino menceritakan kehidupan dan karya-karya Don Bosco dengan terperinci. Dia bercerita dengan antusiasme yang sangat besar karena dia sangat menggagumi kerasulan Don Bosco untuk kaum muda.

Johanes Melchior Bosco lahir pada tanggal 16 Agustus 1815 di Becchi, sebuah desa kecil dekat Turin, karena terlalu kecil sehingga tidak tampak di dalam peta. Setelah melewati banyak kesulitan akhirnya ia berhasil menjadi seorang pastor di bawah bimbingan seorang santo yaitu Pastor Josep Cafasso. Setelah mendapat ilham dari surga, dia membangun tempat berkumpul untuk anak-anak yang miskin dan terlantar di Turin yang diberi nama Oratori. Selah berhasil mengatasi halangan-halangan dan rintangan-rintangan baik dari pihak pemerintah maupun gereja sendiri, akhirnya dia diakui sebagai salah seorang pendamping anak muda yang terbesar. Oratori itu menjadi terkenal karena keberhasilannya dalam merangkul kaum muda—khususnya yang nakal—bahkan beberapa anak di antaranya berubah menjadi orang kudus. Oratori itu kemudian mengembangkan sayapnya ke dua daerah yang paling miskin di kota itu. Supaya dia mempunyai cukup orang untuk menjalankan pusat-pusat anak muda itu dan bisa terus bekerja di dalamnya, dia mendirikan sebuah kongregasi yang kemudian disebut Salesian. Dia sudah membuka rumah baru di Mirabello dan Lanzo dan sudah diminta untuk membuka rumah-rumah yang baru di seluruh negeri.

“Oh!” dan “Ah!” adalah ungkapan kekaguman mereka, tapi alis Pastor Pestarino yang berkerut membuat mereka terdiam.

“Dengan anugerah khusus yang ia miliki, dia dapat mengubah seorang musuh menjadi teman.” Dia melanjutkan, “banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang terhormat, para kardinal di Roma ataupun para tokoh pemerintahan yang antiklerik di Turin. Dia telah sukses menulis beberapa buku tentang anak muda dan terkenal karena bisa mengetahui masa depan dan bahkan membaca pikiran seseorang. Dia mempunyai karunia yang luar biasa dan kemampuan untuk menyembuhkan. Dia adalah seseorang yang sangat baik, sangat pintar dan sangat kudus yang bisa kamu harapkan untuk bertemu. Terlebih lagi, dia berkata bahwa dia ingin bertemu dengan kalian.”

“Dan kami juga sangat ingin bertemu dengannya!” ulang gadis-gadis itu.

Pada kunjungan berikutnya ke Oratori, Pastor Pestarino meminta sekali lagi kepada Don Bosco untuk mengunjungi Mornese dan dia mendapat suatu jaminan bahwa permintaannya itu akan dikabulkan yaitu ketika sebuah surat datang dari Turin yang memberitahukan bahwa Don Bosco akan berkunjung pada awal bulan Oktober. Dia tidak akan datang sendirian dan kunjungannya itu bukan sekedar mampir saja. Dia akan ditemani oleh satu kelompok anak yang terdiri dari lima puluh anak laki-laki setelah mereka mengunjungi Genoa di mana mereka sedang mengadakan kunjungan untuk mengisi liburan musim gugur mereka, dan akan tinggal di Mornese selama empat atau lima hari.

Don Bosco mempunyai kebiasaan untuk mengajak sekelompok anak-anak oratori mengadakan kunjungan-kunjungan setiap tahun. Kunjungan-kunjungan ini pelan-pelan berkembang menjadi kesempatan untuk berlatih memberikan pelayanan bagi daerah-daerah pedesaan dan juga sebagai sarana untuk memperkenalkan oratorinya. Dia juga mendapatkan anak-anak yang luar biasa selama kunjungan-kunjungannya ini.

Saat ini adalah masa yang sangat membahagiakan Don Bosco. Dua tahun yang lalu, dia bisa menyaksikan pengikraran kaul pertigatahunan untuk yang pertama kali yang diucapkan oleh dua puluh dua anggota kongregasi yang baru didirikannya. Pada tahun ini, khususnya pada tanggal 23 Juli, enam puluh orang dari anggota kongregasinya telah menerima Dekrit Persetujuan dari Roma dan juga pada tahun itu, pembangunan Basilika Maria Bunda Penolong Umat Kristiani di Turin dimulai. Akibat dari semua hal itu adalah kegembiraan yang dialami oleh Don Bosco selama dia mengadakan kunjungan dan berhenti untuk beberapa hari di Mornese.

Ketika diumumkan bahwa Mornese akan dikunjungi oleh pastor yang terkenal itu, yang tentangnya seluruh Piedmont selalu membicarakan baik tentang Oratorinya ataupun anugerah-anugerahnya yang luar biasa, seluruh penduduk desa tidak tahan untuk menantinya. Karena kecintaan dan rasa hormat mereka kepada Don Bosco dan keinginan mereka untuk bisa menyaksikan anak-anaknya bernyanyi, main drama, dan musik, menjadikan desa itu kebanjiran pengunjung. Pastor Pestarino adalah seorang yang menyadari bahwa jika komunitas kecilnya mempunyai tugas untuk menampung, memberi makan dan menjamu sebuah kelompok yang terdiri dari lima puluh anak, maka perlu banyak hal yang harus dipersiapkan.

Pertemuan-pertemuan diadakan, rencana-rencana dibicarakan dan tugas-tugas dibagikan. Untuk memimpin acara itu ditunjuklah Francis Bodrato, seseorang yang berpengalaman dalam hal-hal seperti itu. Untuk Maria dan teman-temannya, mereka mendapat tugas mempersipkan rumah peristirahatan musim panas milik Pastor Pestarino yang berada di belakang Kastil yang bisa dipakai oleh anak-anak untuk menginap dan mempersiapkan makanan.

Maria merasa sangat gembira. Dia segera berkeliling desa untuk meminjam kasur, seprei dan selimut; kemudian dia juga harus meminjam piring, pisau dan garpu, panci dan wajan dan semua hal yang dibutuhkan untuk memasak daging bagi begitu banyak orang itu; kemudian dia masih harus mengumpulkan telur, anggur, roti, salami, tepung, tomat dan bahkan ikan, karena Don Bosco dan kelompoknya akan tiba di sana pada hari Jumat pada saat snack sore.

Pada hari yang dijadwalkan untuk kedatangan Don Bosco, Pastor Pestarino telah menugaskan beberapa orang untuk berjaga di luar desa supaya mereka tidak usah tegang menunggu kedatangan Don Bosco, tetapi bisa memiliki cukup waktu.

Untunglah ia melakukan semua karena Don Bosco, seperti yang sudah menjadi kebiasaan sekarang ketika dia muncul di depan umum, begitu terlambat karena banyaknya permintaan orang-orang yang mengharapkan berkatnya, nasehat-nasehatnya, dan meminta penyembuhan darinya.

Ketika kereta api mendekat ke Serravalle Scrivia, stasiun yang terdekat dengan Mornese, dia dijemput oleh Pastor Pestarino yang kemudian meminjamkan kuda putihnya untuk ditungganginya menuju Mornese. Don Bosco ditemani oleh seorang pastor yang masih muda yaitu Johanes Cagliero dan kelompok anak-anaknya. Mereka meninggalkan Becchi setelah mereka merayakan pesta Rosario pada tanggal 2 Oktober, dan kemudian berhenti di Genoa dan beberapa tempat yang lainnya selama dalam perjalanan itu. Di Serravalle mereka menghadiri misa dan sarapan di biara Fransiskan dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Gavi di mana mereka ditawari makanan-makanan dengan ramah oleh seorang teman dekat Don Bosco, yaitu Canon Gaetano Alimonda yang kemudian menjadi Uskup di Turin.

Kira-kira satu kilometer di luar Mornese, Don Bosco dijemput oleh pastor paroki bersama dengan Pastor Pestarino yang pada saat itu telah pergi terlebih dahulu untuk memberitahukan tentang kedatangannya kepada para penduduk. Meskipun kedatangannya terlambat tetapi semuanya bisa berjalan dengan baik. Pada saat Don Bosco dengan menunggang kuda putih milik Pastor Pestarino memasuki daerah itu kesunyian menyelinap mengiringinya, dan dengan membuka kedua tangannya dia memberikan salam bagi mereka. Dan saat itu semua bel yang ada di desa itu berbunyi, kembang api dinyalakan, api-api penerangan dinyalakan dan anak-anak mulai berteriak dengan gembira dan penduduk mulai memenuhi tempat itu dengan teriakan Hidup Don Bosco ! dengan lilin dan obor yang menyala, para penduduk mengelilingi Don Bosco.

Ketika dia berjalan menuju desa, seluruh penduduk berlutut untuk menerima berkatnya. Setibanya di gereja, mereka segera mendaraskan doa sore dan setelah itu makan malam. Kemudian baik penduduk desa maupun anak-anak segera pergi untuk beristirahat.

Pada pagi harinya Don Bosco memimpin misa dan mendengarkan pengakuan dosa. Pada saat sarapan Pastor Pestarino memperkenalkan kepadanya Putri-putri Maria Immaculata, yang untuk acara ini telah menyelesaikan perbedaan mereka dan bekerja sama.

Don Bosco berbicara dengan singkat kepada mereka, berbicara tentang kesempurnaan hidup kristiani, tentang keindahan akan kemurnian, kekuatan dari contoh-contoh yang baik dan tentang cinta Tuhan dan Bunda Maria. Kata-kata yang ia ucapkan keluar dari lubuk hatinya yang terdalam dan gadis-gadis itu sangat terkesan. Kemudian dia memberkati mereka dan kemudian mereka menyertai kepergiannya. Setelah itu Don Bosco memberitahu Pastor Cagliero tentang “kegembiraannya yang besar karena bisa menemukan di dalam diri para gadis desa yang sederhana itu ketidakterikatan akan barang-barang di dunia ini dan keinginan untuk mencari kebahagiaan yang ada di surga.” Pertemuan yang pendek itu menjadi awal mula hubungan yang istimewa di antara gadis-gadis itu dengan Don Bosco.


Mungkin tidak ada orang yang pernah mempunyai pandangan yang lebih jelas tentang karya dalam hidupnya yang harus dilakukannya. Tentulah tidak ada orang yang pernah mempunyai lebih banyak kelebihan-kelebihan yang bisa digunakan untuk melengkapinya dan tidak pernah ada orang yang berusaha untuk melengkapinya dengan tujuan yang lebih besar dan mulia. Seluruh karya dalam kehidupan Don Bosco dipersembahkan untuk keselamatan jiwa-jiwa anak muda. Namun, anehnya, ketika ada kesempatan untuk berkarya untuk jiwa-jiwa gadis-gadis muda, dia kelihatannya tidak mampu memutuskan tentang hal itu. Pada kenyataannya, dia menghindari untuk membuat suatu keputusan untuk waktu yang cukup lama.

Untuk bisa mengerti sifatnya itu, seseorang harus memahami keyakinan Don Bosco bahwa tubuhnya adalah Bait Roh Kudus dan dia harus menjaganya dengan kesucian dan kemurnian. Kemurnian adalah sesutu hal yang sangat penting baginya sehingga dia bahkan bersedia untuk menumbahkan darah untuk mempertahankannya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi mereka yang berada di bawah bimbingannya. Dalam hal ini dia berusaha untuk mengikuti contoh dari seseorang yang karena kemurnian-Nya bisa mendapatkan anugerah untuk menjadi Bunda Allah.

Sifatnya dalam menghadapi wanita menunjukkan kepercayaannya, khususnya yang menunjukkan hasil pendidikan yang keras yang diterimanya dari ibunya, dan terlebih dari norma-norma masyarakat yang berlaku saat itu. Kenyataannya, dari sejak awal karyanya dia menunjukkan bahwa ketertarikannya bukan pada mereka. Sebagai contoh, dia tidak akan memperbolehkan anak-anak perempuan ikut serta dalam permainan-permainan yang ia atur untuk anak laki-laki di desanya; pada mimpinya yang pertama di mana dia ditunjukkan misinya pada masa depan, tidak tampak seorang anak perempuan pun di sana. Meskipun setelah ia menginjak tua, dia tidak pernah baik memeluk ataupun mencium seorang wanita atau membiarkan seorang gadis kecil menyentuhnya; terlebih lagi untuk mencium mereka. Pada saat akhir hidupnya, dia hampir menaiki beberapa anak tangga ketika tiba-tiba seorang wanita, dengan segera membantunya, mencoba untuk memegang lengannya. Dia menolak pertolongan itu dengan mengucapkan sebuah lelucon bahwa seorang prajurit yang sudah tua tidak memerlukan bantuan seperti itu. Selain itu, sikapnya kepada para wanita, khususnya yang menjadi sahabat dan pendermanya, selalu penuh hormat dan kebaikan hati. Selain itu, pada saat melakukan kerasulannya dia sering menginap untuk beberapa saat di rumah-rumah wanita-wanita yang kaya dan tidak ada seorangpun di antara mereka pernah merasa malu karena ia tinggal di rumah mereka. Bahkan ketika ia bersikeras untuk menjaga jarak dengan mereka, ia bersikap alami dan tenang dalam semua urusannya dengan para wanita. Karena hal inilah, orang-orang sangat menghormatinya karena mereka mengerti alasan dari tingkah lakunya adalah supernatural.

Karya perdananya sebagai pastor di Rifugio, sebuah rumah untuk gadis-gadis yang terlantar, dia terima sebagai bentuk ketaatannya kepada bapa pengakuannya, Pastor Cafasso. Tetapi dia lebih memilih untuk menerima tantangan meninggalkan tempat itu supaya bisa mendampingi sebuah kelompok yang terdiri dari “anak muda laki-laki yang nakal.” Dia sadar dan yakin bahwa jalan terbaik utuk mempertahankan kemurnian adalah menghindari setiap kemungkinan yang ada dan membangun benteng pertahanan diri melalui penyangkalan diri dan matiraga.

Meskipun demikian, ketika banyak orang mengetahui keberhasilan karyanya dengan anak laki-laki, mereka menyarankan kepadanya untuk berkarya juga bagi anak-anak wanita yang sama malangnya dengan para anak laki-laki itu. Salah satu orang yang menyarankannya adalah ibunya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya bertemu dengan gadis-gadis muda itu, nampaklah bahwa mereka sangat memerlukan bantuan.

Dua tanda awal yang mulai menunjukkan kesadarannya akan kebutuhan ini dan kemauannya untuk berkarya bagi mereka berasal dari dua mimpinya.

Pada mimpinya yang pertama ketika ia sedang menyeberang Piazza Vittorio di Turin, tiba-tiba sekelompok gadis muda berlari ke arahnya. “Lindungilah kami juga Don Bosco !” mereka berteriak. “Lindungilah kami!” Pada mimpinya itu Wanita yang sering muncul di mimpi-mimpinya yang lain muncul juga kepadanya. “Mereka ini juga merupakan anak-anak-Ku,” kata-Nya. “Saya percayakan mereka kepadamu. ”Dengan kata lain mimpinya ini sejajar dengan mimpinya pada saat berusia sembilan tahun ketika Wanita itu menyuruhnya untuk memperhatikan sekelompok anak laki-laki yang sedang berkelahi.

Pada mimpinya yang kedua, dia sedang bersama Marchioness Barolo yang telah melakukan sesuatu hal yang sangat besar bagi gadis-gadis yang miskin. Ketika dia menyarankan kepadanya bahwa Don Bosco hendaknya memperhatikan anak laki-laki saja sementara dia yang memperhatikan gadis-gadis, Don Bosco memprotesnya, ”Darah Kristus tidak boleh disia-siakan,“ katanya kepada Marchioness Barolo, menunjukkan bahwa ia harus diperbolehkan untuk berbagi kerasulan bagi gadis-gadis itu.

Pada waktu-waktu tertentu, dia telah memberitahu beberapa teman dekatnya bahwa dia mempunyai rencana untuk mendirikan kongregasi religius bagi para wanita sama dengan pada saat dia mendirikan Kongregasi Salesian. Seperti hal-hal yang sudah berlalu, jika Don Bosco menghadapi suatu hal yang serius, dia akan selalu menunggu tanda persetujuan yang lebih meyakinkan dari surga.

Ketika dia harus menunggu petunjuk yang lebih jelas kepadanya, model kongregasi suster seperti apa yang akan didirikannya; bentuknya, cara hidupnya dan lain sebagainya. Kenyataannya, di dalam kerasulan Suster Clarac, dia telah menemukan apa yang dia cari-cari.

Pada tahun 1865, Suster Maria Louisa Angelica Clarac dari tarekat suster-suster Karitas mendirikan sebuah Institusi amal di dekat rumah oratori Don Bosco St. Aloysius di Porta Nuova di daerah Turin. Institusi ini berhasil berkembang dengan baik dan sudah mulai membuka beberapa cabang, dia sangat setuju ketika Don Bosco memintanya untuk membuka oratori bagi anak-anak wanita. Dan dia sangat berhasil pula dalam bidang ini.

Karena situasi yang kurang menentu, superior Suster Clarac berpikir bahwa akan lebih bijaksana baginya untuk menyerahkan seluruh kekayaan yang dimilikinya kepada kongregasi. Pada saat itu juga keadaan yang tidak menentu terjadi di Perancis ketika hak-hak para religius memprihatinkan, Suster Clarac berpikir, untuk beberapa waktu lebih baik seluruh kekayaan itu terdaftar atas namanya. Kesalahpahaman itu mengakibatkan Suster Clarac meninggalkan kongregasinya dan berkarya di bawah naungan Keuskupan Iivrea, sebuah perpindahan yang menghilangkan kesempatan bagi Don Bosco untuk bisa memiliki karya-karya Suster Clarac—dan juga komunitasnya –untuk dijadikan pondasi bagi kongregasi wanitanya.

Setelah berbicara akrab dengan Don Bosco, Pastor Lemoyne, penulis Biografinya, suatu ketika bertanya kepadanya, “Dan untuk para gadis, tidakkah anda ingin melakukan sesuatu bagi mereka? Tidakkah anda berpikir bahwa sebuah institut bagi para suster, yang berada di bawah naungan Salesian yang bisa anda dirikan, akan menjadi mahkota bagi karya anda? Tuhan selalu bersabar dengan para wanita yang mengikuti dan berkarya bersama-Nya..... Apakah mereka tidak bisa melakukan sesuatu kepada para gadis itu seperti yang telah kita lakukan bagi para anak laki-laki?”

“Saya dulu ragu-ragu mengutarakan pendapat saya,” lanjut Pastor Lemoyne, “karena saya pikir Don Bosco akan menentang pendapat saya itu.”

“Don Bosco berpikir untuk beberapa saat. Kemudian, yang membuat saya terkejut, dia menjawab, “Ya, kita akan memiliki suster. Mungkin tidak segera, tetapi nanti.’“

Pertanyaan dari Pastor Lemoyne didasarkan pada kenyataan bahwa para Salesian sudah menjadi bapa rohani di oratori milik Suster Clarac. Sudah terbiasa dengan karya-karya yang berhubungan dengan anak-anak perempuan, mereka melihat bahwa ada kebutuhan yang lebih banyak lagi untuk karya seperti ini.

Ketika salah seorang pastornya—yang tidak mendukung rencana ini—bertanya kepadanya dengan terus terang, “Apakah anda benar-benar ingin mendirikan kongregasi suster?” Jawabannya adalah, ”Revolusi telah menggunakan para wanita untuk membuat banyak kekacauan. Kita akan menggunakan mereka untuk melakukan banyak hal baik.” Dia kemudian berkata bahwa karena dia ingin mendirikan sebuah kongregasi yang baru yang akan menjadi monumen penghargaannya kepada Bunda Maria, maka kongregasi itu akan disebut Putri-putri Maria Bunda Penolong.

Meskipun demikian, ia enggan untuk segera memulai melakukan dobrakan seperti itu karena dia tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan penting kecuali dia telah yakin bahwa hal itu merupakan kehendak Tuhan. Itulah mengapa, setelah mimpi-mimpinya itu, dia masih bersikap hati-hati dengan jalan berkonsultasi dengan beberapa orang yang mempunyai wewenang, dengan dewannya sendiri dan dengan Bapa Suci. Akhirnya, ketika dia mengenang kembali penderitaan yang telah dia lalui sebelum usulan pendirian kongregasi Salesian disetujui, dia dipermalukan, ditolak dan dihina ... Ketika dia menyadari bahwa mendirikan sebuah kongregasi untuk para suster pasti membutuhkan banyak perjuangan, keberanian yang lebih besar, pengorbanan diri yang lebih berat dan semuanya itu harus ditanggungnya! Dia sendiri mengakui, “Jika harus mengikuti keinginan saya sendiri, maka saya tidak akan melakukannya.”

Tetapi seluruh tanda-tanda yang muncul nampaknya memberikan tanda bahwa gadis-gadis muda ini, dan satu orang di antaranya, telah dipilih untuk menjadi batu pondasi di mana penyelengaraan Ilahi bekerja melaluinya, mendorongnya untuk segera mendirikan kongregasi itu.

Pada Hari Minggu setelah makan malam, anak-anak keluar untuk menampilkan pertunjukan mereka di Desa Parodi. Meskipun demikian, Don Bosco tidak ikut pergi bersama mereka agar dapat mendiskusikan beberapa hal penting dengan Pastor Pestarino. Selama percakapan itu Pastor Pestarino mengingatkan kembali keinginannya untuk bergabung dengan para Salesian dan Don Bosco secara resmi menerimanya tetapi sekali lagi memintanya untuk tetap tinggal di Mornese sampai dia menyelesaikan pekerjaan yang sekarang diberikan kepadanya. Untuk menghormati keinginan Pastor Pestarino yang mempunyai keinginan untuk bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat ini, disetujui bahwa pendirian sebuah gedung sekolah untuk anak laki-laki di desa itu merupakan sesuatu yang diutamakan. Pastor Pestarino memberikan jaminan kepada Don Bosco bahwa seluruh anggota masyarakat akan bekerja sama untuk mewujudkannya. Pada gilirannya, Don Bosco berjanji bahwa dia akan kembali ke tempat itu untuk peresmiannya. Kemudian percakapan itu berhenti, kedua pastor itu segera pergi mendengarkan pengakuan dosa. Pada akhir kunjungannya itu Don Bosco memberikan kepada anak-anaknya dan juga kepada para penduduk desa tradisi Salesian Selamat Malam yaitu perkataan singkat yang berisi sesuatu nasehat yang bisa direnungkan sebelum mereka pergi tidur.

Pada hari berikutnya, Minggu 9 Oktober, Pastor Pestarino mengundang Don Bosco setelah memimpin misa untuk minum kopi sejenak dengannya. Dengan cepat mereka segera dikerubuti oleh penduduk desa yang ingin mendengar kata-katanya dan mereka juga membawakan hadiah berupa telur, gandum, buah anggur, minuman anggur, ayam, buah-buahan dan keju. Don Bosco sangat berterima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka berikan meskipun baru pertama kali bertemu dengannya. Sebagai balasannya, dia memberkati mereka beserta dengan keluarga mereka masing-masing.

Dia merasa sangat terkesan dengan sambutan para penduduk itu dan hal itu tampak di dalam suratnya yang ia tulis untuk salah seorang pendermanya. “Saya sedang berada di sini, di Mornese,” katanya, “Di Keuskupan Acqui ketika saya menemukan sebuah desa yang penuh dengan kesalehan, kebaikan hati dan antusiasme, suatu kelompok manusia yang dengan nyata berusaha untuk mempersembahkan diri mereka untuk Tuhan. Pagi ini... pada saat saya memimpin misa, lebih dari seribu orang menerima Komuni.

Setelah mengunjungi Learna, Don Bosco bersama dengan kelompoknya kembali lagi ke Mornese dan pada pagi berikutnya dengan sedih mengucapkan selamat tinggal kepada Pastor Paroki, Pastor Pestarino, Putri-putri Bunda Maria Immaculata dan seluruh penduduk Mornese.

Bagi Maria sendiri, dia sangat tertarik dengan Don Bosco dan masih ingin bertemu atau berbicara lagi dengannya. Ketika dia tahu bahwa Don Bosco akan memberikan Selamat Malam kepada anak-anak laki-lakinya dan juga kepada penduduk desa, dia sangat senang mengetahuinya maka setelah menyelesaikan tugasnya, dengan segera dia pergi, dan dengan kasar mengunakan sikutnya untuk menerobos kerumunan orang-orang itu sampai ia berdiri di depan Don Bosco.

Orang-orang yang lain menoleh kepadanya. “Gadis yang kasar!” adalah ungkapan yang mereka berikan. “Betapa beraninya dia mendorong-dorong seperti itu supaya ada di depan?”

“Don Bosco adalah orang kudus!” Adalah alasan yang dia berikan. “Saya bisa merasakannya! Don Bosco adalah orang kudus!”


8—Melarikan Diri



“Saya ingin melihat seluruh buku-buku perhitunganmu, apa yang engkau beli dan engkau bayar; berapa banyak yang engkau terima dan berapa banyak yang telah engkau keluarkan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan.........” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Pastor Pestarino pada saat dia memberikan petunjuk-petunjuk kepada Maria.

Rumah yang telah dia bangun sendiri di sebelah kiri lapangan di dekat gereja memungkinkannya untuk lebih cepat bergerak dari tempat tinggalnya di Jalan Roma untuk melayani umat pada misa pagi dan pengakuan dosa selama musim dingin, adalah sebuah rumah yang luas dan dibangun dengan baik yang memiliki lima kamar di lantai dasar, empat kamar dan sebuah ruang pertemuan di lantai petama, dan masih banyak ruangan yang kosong untuk bermain bagi anak-anak. Semenjak Maria dan teman-temannya telah mengungkapkan keinginan mereka untuk tinggal sendiri, dia mulai berpikir untuk mempercayakan rumah ini kepada gadis-gadis itu yang tidak tahu harus mencari tempat di mana, tidak mempunyai orang tua untuk bisa tinggal bersama, atau yang lebih memilih untuk tinggal di sana. Sebelum melakukan semuanya, dia terlebih dahulu berkonsultasi dengan Don Bosco yang menunjukkan ketertarikannya tetapi terlebih dahulu menasehatinya bahwa pertama-tama dia harus melihat dahulu apakah mereka bisa berhasil di dalam karya-karya mereka sendiri dan tidak mengharapkannya untuk mencukupi seluruh kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dia mulai memeriksa segala sesuatu yang Maria dan gadis-gadis itu telah lakukan di tempat kursus, harga yang mereka kelurkan untuk membeli baju, pembayaran hal-hal yang telah mereka keluarkan untuk karya mereka, uang yang telah mereka terima dari murid-murid mereka...... Dia juga ingin tahu bagaimana mereka menghayati semangat kemiskinan.

Di antara hal-hal yang lain, dia mengetahui bahwa Petronilla dan Theresa Pampuro masing-masing menerima satu lira lima puluh sen setiap harinya, sementara itu Maria yang kerjanya lebih cepat menerima dua lira lima puluh sen—gaji yang cukup baik pada saat itu. Kemudian dia mengetahui bahwa Petronilla juga menerima uang dari saudara-saudaranya yang telah menyewakan kamarnya dan dari hasil kebun yang diwariskan oleh ayahnya. Dengan bijaksana, dia juga mengajak anggota-anggota dari kelompok itu untuk pindah ke rumah itu. Tetapi komunitas yang kecil itu, tetap berada dalam suasana yang rahasia, tetapi seperti yang ia sendiri sadari hal itu kelihatannya mustahil. Saat berita itu bocor, masalah segera menghadang dari anggota-anggota Putri-Putri Maria Immaculata, dan Maria, karena posisinya, kembali harus berhadapan dengan badai yang berbahaya.

Karena Pastor Pestarino yang memberi tawaran rumah itu, maka sekarang adalah giliran para anggota kelompok untuk mengambil keputusan andaikata mau tinggal di sana.

Walaupun Angela Maccagno dan teman-temannya menyatakan bahwa mereka lebih suka untuk tetap tinggal di rumah itu, beberapa gadis yang lain menerimanya. Maria merasa sangat senang karena dengan demikian dia dapat memberikan seluruh waktunya untuk memperhatikan anak-anak itu dan mendukung yang lainnya supaya bergabung dengannya.

Di samping adanya keberatan dari beberapa anggotanya, muncul juga perasaan keberatan dari orang tua mereka. Ibu dari Maria, secara khusus, menganggap maksud dari anaknya itu sebagai “melarikan diri dari rumah.” Dia menginginkan Maria untuk segera menikah dan tinggal seperti gadis-gadis yang lainnya.

“Kami tidak ingin kehilangan kamu untuk selama-lamanya dan semua saudaramu akan segera menikah,” dia mengingatkan. “Lalu apakah yang akan kamu lakukan?”

“Tuhan akan menyediakan.”

“Dia telah menyediakan suami-suami yang baik untuk teman-temanmu.”

“Mengapa engkau kuatir tentang hal ini, Mama?”

“Saya mengkuatirkan hal ini karena kamu tidak kuatir. Saya tidak ingin melihat kamu, ketika kami semua sudah tiada, tercampak ke jalanan.”

“Tetapi engkau tidak seharusnya kuatir, Mama. Tuhan Yang Maha Baik akan menjaga saya dan juga yang lainnya,” Maria mencoba untuk meyakinkannya.

Alasan dari keberatan yang diajukan oleh ibunya didasarkan pada suatu kenyataan bahwa anak-anak gadis biasanya memberikan masalah bagi orang tua kalau sudah menyangkut perihal perkawinan. Bagi kaum laki-laki tidak menjadi masalah untuk hidup membujang tetapi untuk kaum wanita andaikata tetap tidak mau menikah sampai tua maka desa itu akan menganggapnya aneh. Sementara dari pihak laki-laki hanya dituntut kehadirannya saja pada saat pernikahan tetapi bagi pihak wanita mereka harus membawa mas kawin juga. Ibunda Mazzarello mempunyai lima orang anak perempuan dan jika yang tertua telah memberikan contoh yang tidak baik maka hal itu akan mempengaruhi kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Papa Mazzarello di lain pihak adalah seorang yang optimis dan seseorang yang beriman kuat dan tidak begitu takut akan keadaan anaknya itu. Selain itu, mungkin dia memiliki kepercayaan kepada Maria dan pada penyelenggaraan Ilahi.

Kita harus membiarkan anak-anak hidup menurut kehendak mereka sendiri,” dia menambahkan. “Kita hendaknya jangan terlalu ikut campur kecuali kalau mereka berada di jalan yang salah. Maria telah melakukan hal yang benar. Marilah kita menerimanya: dia tidak akan pernah selamanya bisa bekerja di ladang. Tetapi dia adalah seorang penjahit yang baik dan jikalau dia ingin tinggal dan menghabiskan hidupnya dengan beberapa temannya itu, saya tidak melihat sesuatu yang salah dengan hal itu. Selain itu Pastor Pestarino telah mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja.” Pada saat dia tidak cukup berhasil meyakinkan istrinya, tetapi paling tidak dia masih berhasil mengizinkan Maria untuk tetap mengikuti hidupnya itu. Tidak hanya itu, dia juga mengirimkan uang dua ratus lira “untuk bisa melewati masa-masa sulit” – suatu tindakan yang menunjukkan kasih sayangnya kepada Maria.

Meskipun merasa sangat berterima kasih, Maria yang dapat memperkirakan tentang hal-hal apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, masih juga kurang puas.

Papa,” katanya, “Saya sangat berterima kasih atas semuanya ini. Tetapi saja juga minta agar engkau selalu ingat bahwa saya akan selalu menjadi anakmu dan ini akan selalu menjadi rumahku. Jika saya perlu sesuatu maka engkau akan memberikannya, bukan?”

Tentu saja!” jawab ayahnya. “ini akan selalu menjadi rumahmu dan saya selalu akan menjadi ayah dari seorang anak wanita yang terkasih.” Diikuti dengan salam, pelukan dan keduanya kemudian menangis.

Pada bulan Oktober 1867, Maria dan teman-temannya pindah ke rumah yang baru yang diberi nama Rumah bagi Kelompok Immaculata (The house of the Immaculate). Pada permulaan mereka berjumlah tujuh orang, empat orang di antaranya merupakan anggota dari kelompok Immaculata dan tiga orang yang lainnya adalah gadis-gadis yang berumur antara empat belas dan lima belas tahun. Beberapa gadis meyakinkannya bahwa mereka akan segera bergabung setelah menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka mengharapkan bahwa tidak semua yang datang akan tinggal di sana karena keadaan di sana akan segera menjadi keras bagi beberapa orang di antara mereka. Selain itu, Angela dan teman-temannya mulai menunjukkan sikap mereka mengenai kelompok itu.

Mulai sekarang,” jelas Angela, “Kelompok kita tidak akan lagi disebut Putri-putri Maria Immaculata tetapi sebagai Ursulin baru.” Kemudian dengan sedih dia memberikan sedikit tambahan. “Hal ini berarti kita harus memisahkan kelompok ini menjadi dua dan mulai sekarang kita akan bejalan secara terpisah.”

Karena rumah yang Maria dan teman-temannya tempati mempunyai lebih banyak kamar maka Maria bisa menerima lebih banyak gadis sebagai calon. Dia juga mulai menerima mereka yang berasal dari luar Mornese; seorang dari Acqui yang telah disetujui oleh Pastor Pestarino, yang lainnya dari Fontanile, masih dari bagian utara, dan dua orang lainnya dari Turin, yang diusulkan oleh Don Bosco.

Kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, penambahan-penambahan anggota, orang-orang asing yang berasal dari luar desa—semua hal ini pada kenyataannya telah membentuk ketegangan dalam sebuah komunitas yang baru ini. Ketika sebelumnya Maria dan Petronilla yang memimpin, sekarang mulai muncul perbedaan pendapat karena keadaannya berubah, khususnya ketika para gadis itu ingin bertindak lebih bebas. Satu-satunya hal yang bisa memecahkan masalah itu adalah, walau dengan terpaksa menerimanya tetapi harus menunjuk seseorang yang akan mengatur dan memimpin semua kegiatan-kegiatan itu. Masalah yang muncul, seperti biasanya terletak pada Pastor Pestarino. Tidak seperti pada saat-saat sebelumnya, pada kesempatan ini dia memberitahukan bahwa dia tidak akan turut campur dalam urusan intern dalam menjalankan rumah itu. Hal ini sesuai dengan permintaan Don Bosco sendiri, supaya mereka bisa memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Pada pertemuan berikutnya, masalah itu segera dibicarakan dan sebagai pemecahannya maka dipilihnya Maria sebagai superior mereka.

Meskipun hal ini bisa memulihkan keadaan di dalam komunitas baru ini, tetapi masalah yang menyangkut keuangan belum juga terselesaikan. Karena sudah hidup di dalam komunitas dan jarang bergaul dengan dunia luar, gadis-gadis itu menemukan kesulitan dan bahkan lebih buruk daripada saat mereka belum bergabung dengan kelompok itu. Ketika dahulu mereka mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka dan mendapatkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan mereka, sekarang mereka harus mulai mandiri. Hal yang merupakan berkat yang besar bagi mereka adalah karena mereka hidup dalam kemiskinan maka kebutuhan hidup yang harus mereka keluarkan tidaklah telalu besar.

Saya adalah seorang siswa di tempat kursus itu, “kata salah seorang yang sedang mengikuti kursus menjahit, “dan ketika saat makan siang tiba, saya melihat mereka pergi ke dapur kecil mereka yang tidak ada cukup meja dan kursi untuk mereka semua. Putri-Putri itu, sebutan yang mereka pakai, akan segera mengambil makanan mereka masing-masing, ada beberapa orang yang duduk dan yang lainnya berdiri. Dengan mengintip dari jendela maka saya bisa melihat makanan jenis apa yang sedang mereka santap. Biasanya tidak lebih dari sepotong polenta dengan salad, atau roti dengan sup. Tetapi yang membuat saya terkejut adalah bahwa mereka selalu gembira dengan apa yang mereka makan itu. Kesederhanaan dalam hal makanan dan semangat bermatiraga telah diusahakan untuk ditanamkan ke dalam hati mereka sehingga mereka tidak merasa menderita dan malu terhadap kehidupan mereka yang baru itu.”

Meskipun demikian, mereka tidak merasa sepenuhnya ditinggalkan. Beberapa penduduk desa setelah melihat kehidupan dan karya mereka memberikan bantuan yang berupa; makanan, kayu bakar dan barang-barang yang lainnya. Maria mengingatkan ibunya supaya keluarga besar Mazzarello jangan meminta bayaran atas kayu bakar yang dibutuhkan oleh para gadis itu, Ibunya hanya tersenyum sebagai ungkapan persetujuannya. Ketika ayah dari salah seorang gadis memberitahukan mereka bahwa dia mempunyai banyak persediaan kayu-kayu kering, mereka berusaha untuk bisa membawa dahan-dahan itu sebanyak yang mereka mampu untuk persiapan musim dingin yang akan datang. Maria sering kali memberikan contoh-contoh kerja yang berguna untuk komunitas, di luar kesibukannya yang biasa, dia berusaha untuk memintal wool, membuat pakaian musim dingin, menjahit celana dan juga berternak ulat sutra dan hal-hal itu bisa menjadi sumber pendapatan.

Contoh yang ditunjukkan Maria itu telah mempengaruhi gadis-gadis yang lain sehingga mereka bisa berbagi lebih banyak lagi pengalaman mereka dalam kehidupan di desa.

Seorang wanita datang kepada Maria meminta seandainya Maria bisa mengunjungi ibunya yang sudah tua dan sedang sakit. Pertama-tama Maria berkonsultasi dengan Pastor Pestarino kemudian memberikan tugas itu kepada seorang gadis yang bernama Giovanna Ferrettino yang dirasa paling sehat dan mampu melakukan tugas itu. Ada seorang perawan tua yang sudah buta di desa itu yang sebelumnya ada seorang wanita yang biasanya membawakan sup atau makanan yang lain kepadanya, tetapi ketika musim panen tiba wanita itu tidak bisa mengunjunginya lagi. Sekarang kelompok para gadis pimpinan Marialah yang menanggung tugas itu, mengunjunginya, memberikan sedikit hiburan yang berupa nyanyian, dan akhirnya mempersiapkan kematiannya. Dengan kelompok kaum laki-laki dari perkumpulan St. Vincent de Paul, dia mempersiapkan dua ruangan khusus untuk menampung beberapa wanita sakit yang ditelantarkan oleh keluarga mereka. Gadis-gadis itu setuju untuk memperhatikan kamar-kamar itu. Dari kegiatan ini memudahkan mereka untuk bergerak di seluruh desa untuk bisa membantu orang-orang yang sakit dan mempersiapkan yang hampir meninggal.

Seluruh kegiatan ini, yang sangat membantu dan berguna bagi penduduk desa, hanyalah tugas kedua mereka selain mendidik dan memperhatikan gadis-gadis di tempat kursus yang mereka selenggarakan.

Pada saat kunjungan Don Bosco yang pertama, Pastor Pestarino mengakui bahwa dia sangat ingin melakukan sesuatu hal bagi penduduk desa di Mornese dan dia merasa bahwa hal yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah membangun sekolah untuk anak-anak mereka di dekat rumah musim panasnya.

Rencana itu akan kelihatan ambisius bahkan untuk sebuah komunitas yang empat kali lebih besar dari Mornese sekalipun. Dan memang, rencana itu sempat membuat para pamong di desa itu hanya bisa menghela nafas. Hal itu menunjukkan bukan hanya tentang kebaikan hati dari Pastor Pestarino dan kecintaannya terhadap penduduk desa tetapi juga keberaniannya. Bangunan dengan empat lantai, dan masing-masing lantai berjajar empat belas jendela, hal itu berarti bahwa bangunan itu akan mengalahkan seluruh bangunan yang ada di sana kecuali kastil. Pada mulanya para pamong sangat berhati-hati untuk menerima tanggung jawab untuk membangun sekolahan itu, tetapi Pastor Pestarino menyatakan bahwa jika penduduk desa mau dengan sukarela bekerja pada hari Minggu dan pada hari-hari libur, dia akan berusaha untuk membayar biaya untuk bahan-bahan yang diperlukan dan juga kebutuhan-kebutuhan yang lain. Lebih dari itu, ketika dia menyampaikan maksudnya yang tidak lain daripada keinginannya untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak mereka, karena sekolah itu akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempersiapkan diri menuju ke kehidupan yang lebih baik, maka seluruh keberatan yang ada segera hilang dan rencana itu segera dilaksanakan.

Dewan itu, dimana dia menjadi anggotanya, kemudian mengeluarkan keputusan bahwa “Pembangunan untuk keperluan umum dari sebuah bangunan yang akan digunakan untuk sekolah bagi anak-anak merupakan sebuah keinginan dari penduduk di sana.” Penduduk desa setuju untuk membantu dalam pembangunannya di luar jam kerja harian mereka. Sementara itu, Pastor Pestarino setuju untuk mempersiapkan para sukarelawan lengkap dengan gerobak dan juga keledai dan sapi-sapinya. Sementara itu Don Bosco telah berjanji akan datang pada saat peresmian gedung sekolahan itu.

Pembangunan gedung itu segera dimulai dan hal itu memerlukan banyak tenaga maupun kemauan dan setelah itu seluruh proses pengalian telah selesai dilakukan. Sayangnya, pecahnya perang telah merenggut begitu banyak orang muda, akan tetapi masih ada para wanita dan gadis-gadis muda—dan dalam hal ini termasuk juga anggota yang mengadakan kursus di tempat yang dikelola oleh Maria dan teman-temannya dan juga anak-anak oratori—sehingga bisa menutupi kekurangan tenaga itu. Pengerjaan bangunan itu terus berlangsung sampai pada permulaan musim dingin di mana biasanya seluruh kegiatan dihentikan.

Pekerjaan itu dilanjutkan pada permulaan musim semi sampai dengan terselesaikannya pembangunan gedung kapel. Pastor Pestarino berusaha untuk mengatur jika ada kemungkinan mengundang Don Bosco untuk memimpin upacara perberkatannya. Merasa tidak yakin bisa hadir dalam upacara pemberkatan ini, Don Bosco mewakilkan Pastor Valle, seorang pastor baru untuk menerima kehormatan ini. Tetapi kemudian, dengan mengejutkan semua orang, Don Bosco menyatakan bahwa ia bisa hadir dalam upacara itu, dan hal ini merupakan suatu pengumuman yang sangat mengembirakan bagi mereka.

Hari yang ditentukan adalah 9 Desember 1867, saat ketika jalan-jalan sedang dalam keadaan yang paling jelek. Sebagai akibatnya, Don Bosco harus melakukan perjalanan terakhir dengan menaiki kereta kuda sehingga menundanya untuk sampai di Mornese tepat waktu karena ia sampai di tempat tujuan itu pada jam 01.00 dini hari. Meskipun demikian dia masih sempat bertemu dengan kedua pastor di sana dan juga bapak bupati yang dengan setia menunggunya.

Ketika kereta yang dinaiki Don Bosco berhenti, dan karena jalanan berlumpur maka orang-orang tidak memperbolehkannya turun tetapi kedua pastor dan bapak bupatilah yang masuk ke kereta itu untuk menemuinya. Untuk menjaga supaya mereka tetap hangat dan untuk menerangi jalanan, mereka menyalakan sebuah obor yang sangat besar di atas jembatan sehingga bisa menerangi hampir seluruh desa itu.

Begitu banyak orang yang meminta berkat dari Don Bosco sehingga memperlambatnya untuk segera sampai di bangunan sekolahan yang telah dihias untuk penyelengaraan acara itu. Di depan kapel dipasang sebuah mahkota dan Don Bosco diundang untuk duduk dan mendengarkan puisi yang disusun untuk menghormatinya. Ketika puisi itu sedang dibacakan, Don Bosco menyarankan karena waktu yang sudah larut dan malam itu sangat dingin, maka sisa dari perayaan itu bisa lanjutkan keesokan harinya.

Pada hari berikutnya, pastor paroki memberkati kapel itu dan mempersembahkan kapel itu untuk Bunda Maria Yang Menderita, sementara itu Don Bosco membantu sang pastor dan mempersembahkan misa yang pertama di kapel itu. Sebuah batu pualam ditempelkan di dinding dekat dengan pintu kapel sebagai tanda perayaan itu. Sebuah upacara penyambutan bagi Don Bosco segera dibuat di serambi gedung sekolahan yang belum selesai itu dan seseorang memberi kata sambutan mewakili semua orang yang hadir di situ. Dia menjelaskan bahwa dalam banyak cara, orang-orang Mornese telah mendapat perlindungan dan bantuan dari Bunda Maria Penolong Umat Kristiani; bagi mereka yang pergi berperang masing-masing mengalungkan mendali Bunda Maria dan dapat kembali ke rumah dengan selamat. Bunda Maria juga telah melindungi mereka dari bahaya penyakit typhus dan telah menjauhkan mereka dari bahaya badai yang telah menghancurkan desa-desa yang lain...... Sebagai ungkapan syukur ini penduduk desa Mornese telah berjanji untuk memberikan sepersepuluh dari hasil panen mereka untuk membantu pembangunan gereja yang dipimpin oleh Don Bosco yang dipersembahkan bagi Bunda Maria Penolong Umat Kristiani di Turin. Diikuti oleh sebuah kebiasaan jika ada kunjungan dari para pastor atau tamu yang lain. Berkeranjang-keranjang buah-buahan, sayuran, telur, keju dan gandum, berbotol-botol anggur dan hewan ternak.... ditaruh di bawah kaki Don Bosco. Pada akhir acara itu, Don Bosco mengucapkan terima kasih yang melimpah bagi semua orang di dalam nama Bunda Maria Penolong dan berjanji bahwa kebaikan hati mereka tidak akan pernah ia lupakan.

Dia kembali lagi ke Mornese pada tanggal 19 April 1869, dan tinggal di sana selama tiga hari sambil menunjukkan kepada Pastor Pestarino sebuah program bagi para gadis-gadis itu. Rencana itu berisikan petunjuk-petunjuk bagi mereka tentang kesempatan yang baik untuk membuat latihan-latihan rohani dan juga prosedur untuk bisa masuk ke tempat-tempat pelatihan. Rencana itu juga menunjukkan cara yang paling umum dalam menjalankan seluruh kegiatan sepanjang hari. Dalam hal ini Don Bosco menambahkan beberapa usulan tetang bagaimana cara membangun kehidupan rohani dalam hal keramahan dan cinta kasih dan menawarkan beberapa nasehat praktis bagaimana menghadapi anggota-anggota yang masih muda.

Pada saat yang bersamaan, dia terus mendorong Pastor Pestarino untuk segera menyelesaikan bangunan sekolahan itu. Dia ingin segera membangun pondasi bagi komunitas itu. Dia juga memperoleh indulgensi penuh bagi mereka yang mengunjungi gereja paroki dengan intensi itu. Hal ini merupakan peristiwa yang diabadikan juga dengan sebuah batu pualam, yang dimasukkan ke dinding gereja.

Dia kembali lagi pada tanggal 8 Mei 1870 untuk membantu pentahbisan Pastor Joseph Pestarino, keponakan Pastor Dominikus Pestarino. Pada kesempatan ini, dia ditemani oleh Pastor Joseph Costamagna, salah seorang pastor mudanya. Ketika berada di sana, dia memberikan penghargaan terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di rumah Putri-putri Bunda Maria Immaculata. Kemudian dia mengundang Pastor Pestarino untuk datang ke oratori sehingga mereka bisa membicarakan masalah-masalah mereka dengan lebih baik.

Ketika Pastor Pestarino tiba di Oratori pada pertengahan bulan Juni pada tahun berikutnya, dia juga memberikan seluruh pengaturan keuangan yang menyangkut semua kegiatannya di Mornese kepada pemimpin Serikat Salesian. Hal itu menunjukkan bahwa dia telah diterima sebagai anggota dari Serikat Salesian dan merupakan bagian dari mereka. Dia juga menghabiskan waktu yang panjang berbicara dengan Don Bosco menyangkut hal sekolah dan para Putri-Putri Maria Immaculata.

Don Bosco bisa melihat bahwa Pastor Pestarino adalah seorang pendamping yang menyenangkan dan berpengalaman, meskipun banyak rintangan yang harus mereka hadapi baik yang berasal dari keluarga mereka, dari beberapa anggota masyarakat tertentu, atau karena kondisi kehidupan yang keras di mana mereka sangat kekurangan bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar, meskipun demikian mereka tidak hanya bisa bertahan bahkan anggotanya justru bertambah banyak. Setelah dia memberikan penilaian itu kemudian dia mengadakan pertemuan dengan dewannya untuk membicarakan sebuah rencana yang sangat penting. Setelah dia membicarakan rencana itu ke dewannya, dia segera akan mengadakan kunjungan lagi ke Mornese.

Maria merasa sangat senang berada di antara para Putri-putri Maria Immaculata dan sangat antusias menyambut setiap kedatangan Don Bosco ke Mornese. Baginya kunjungannya itu seperti kedatangan seorang malaikat dari surga, dan setiap nasehat yang dia berikan selalu menyemangatinya. Tetapi dia menemukan bahwa di dalam semua hal ini tidak ada yang bisa lebih mendalam demi kekayaan rohani mereka dan demi perkembangannya. Untuk sekolah itu, dia hanya mendapatkan tantangan dalam hal material saja baik yang berasal dari para penduduk desa maupun dari komunitasnya sendiri.

“Marilah kita berharap agar semuanya bisa segera selesai,” katanya kepada yang lainnya. “Kemudian Pastor Pestarino dan Don Bosco akan mengisinya dengan anak laki-laki. Semakin banyak anak berarti banyak pekerjaan untuk kita. Yang harus kita lakukan adalah meyakinkan mereka bahwa kita dapat mengurus pakaian mereka, memperbaiki baju-baju tua mereka dan kalau bisa membuat yang baru bagi mereka. Hore...! Kita tidak perlu lagi harus berkeliling desa untuk mencari pekerjaan!”

Maria tidak tahu bahwa gedung sekolahan itu akan memainkan peranan yang lebih penting untuk masa depannya.

9—Berkhianat !



Kita dapat menyimpulkan sekarang,” kata Don Bosco kepada para anggota dewannya tanggal 24 mei 1871, “adalah kehendak Tuhan agar kita memperhatikan para gadis itu. Sebagai langkah yang nyata saya menyarankan untuk menyerahkan pekerjaan ini pada sekolah yang sekarang sedang dibangun oleh Pastor Pestarino di Mornese.”

Pada saat mengadakan perjalanan pulang ke Turin, Don Bosco membuat keputusan penting untuk mendirikan sebuah kongregasi bagi para suster. Pada beberapa kesempatan, dia telah beberapa kali membuat penilaian secara langsung terhadap Puteri-Puteri Maria Immaculata, dan telah menerima laporan yang lebih jelas tidak hanya menyangkut spritualitas mereka tetapi juga menyangkut kemampuan mereka untuk menjalankan sesuatu yang telah mendekati sebuah komunitas religius yang selama ini telah mereka lakukan.

Setelah mengumpulkan semua anggota dewannya, dia membuka keinginan hatinya itu kepada mereka. Dan apa yang dia ungkapkan itu cukup membuat mereka terkejut.

Banyak orang-orang di pemerintahan,” katanya kepada mereka, “telah berulang kali menyampaikan kepada saya untuk bisa berbuat sesuatu untuk gadis-gadis itu seperti yang telah kita lakukan untuk anak laki-laki. Jika hal itu hanya terserah pada kecenderungan hati saya maka saya akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa saya tidak akan memulai karya kerasulan ini. Tetapi semenjak seruan-seruan itu terus diulang-ulang oleh orang-orang yang sangat saya hormati, maka saya akan menentang harapan-harapan dari Penyelenggaraan Ilahi jika saya tidak mempertimbangkan usulan itu dengan serius.

Kata-kata Don Bosco ini membawa pengaruh yang besar kepada anggota-anggota dewannya dan mereka berdoa dengan sungguh-sungguh memohon bimbingan sebelum membuat keputusan. Pada akhir bulan, Ia memanggil mereka untuk mendengar apa yang telah mereka putuskan. Sebagian besar anggota dewannya mendukung rencana tersebut.

“Tentu saja kalian tahu,” katanya kepada mereka, “Bahwa sekolahan itu aslinya diperuntukan untuk anak laki-laki. Sayangnya, dewan Keuskupan Acqui telah menasehati kita bahwa mereka tidak setuju karena hal itu akan merusak rencana mereka untuk membuka sebuah seminari kecil di sana. Oleh karena itu kita harus bertanya kepada Pastor Pestarino yang merupakan anggota Kongregasi kita untuk mempersiapkan gedung itu bagi Putri-putri Bunda Maria Immaculata. Mereka yang mempunyai keinginan agar bangunan itu diatur oleh institut yang baru itu akan menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah kelompok religius yang akan membuka oratori dan lembaga pendidikan untuk para gadis.”

Sekarang menjadi jelas bagi para anggota dewan ketika dia dengan semangat berusaha untuk memanfaatkan kelompok yang ada di desa itu sebagai batu pondasi untuk kongregasi barunya itu, dia juga bersungguh-sungguh—dan hal ini yang mengejutkan—memanfaatkan bangunan sekolahan itu untuk sebuah rencana yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan baik oleh Pastor Pestarino maupun oleh para penduduk desa.

Pada saat yang sama Don Bosco mengadakan kunjungan ke tempat tinggal Muder Enrichetta Dominici, superior dari Suster-suster St. Anna, sebuah tarekat yang didirikan oleh teman dan sekaligus pendermanya, dan meminta kepadanya untuk memberikan kritik dan saran terhadap peraturan yang sedang ia susun untuk kongregasinya yang baru. Muder Enrichetta segera menerimanya. Tetapi walaupun Don Bosco mengambil beberapa aturan dari para suster itu yang ia rasa berguna, dia juga memperlembut beberapa bagian yang ia rasa terlalu keras. Hal kehidupan religius dia mengunakan pendekatan yang lebih tidak kaku, memberikan sesuatu yang agak berbeda; lebih terbuka, lebih ringan dan lebih allegria atau gembira. Dia juga memasukkan beberapa aturan dari Kongregasi Salesian, merubah beberapa bagian sehingga bisa lebih sesuai dan lebih bisa diterima bagi keadaan psikologi para wanita. Dia rasa, semua hal ini lebih sesuai dengan semangat pada zaman itu.

Don Bosco mengadakan kunjungannya yang lain pada akhir bulan April untuk melihat bangunan yang telah dibeli oleh Pastor Pestarino atas namanya. Karena bangunan itu menjadi satu dengan sekolahan, Don Bosco telah memberitahukannya supaya membelinya juga sehingga sekolahan itu mempunyai tempat yang lebih luas.

Pada kunjungannya kali ini terjadilah suatu peristiwa yang sangat khusus, yaitu adanya sebuah kejadian yang membuat seluruh masyarakat membicarakannya dan menjadikan Don Bosco semakin dikagumi dan disegani.

Seorang bayi dari keluarga Jerome Bianchi yang baru berumur enam bulan menderita karena lengannya menekuk semenjak dIlahirkan. Lengannya segera membengkak dan mulai bernanah di sukunya. Mula-mula dokter menyarankan untuk mengoperasi sikut tersebut tetapi akibatnya adalah lengan itu menjadi cacat, oleh karena itu lebih baik diamputasi saja. Ibunya sangat menentang rencana itu. Dia tidak menginginkan anaknya menderita.

Mendengar bahwa Don Bosco telah datang ke Mornese, dia dengan segera membawa dan memintanya untuk memberkati bayi tersebut. Dia memohon memohon supaya bayinya itu disembuhkan dan bersamaan dengan perminataan itu, dia mempersembahkan seluruh emas yang dia terima pada saat pernikahannya. Don Bosco memberkati bayi itu tetapi yang mengejutkannya bahwa ibu itu tidak puas hanya dengan berkat saja. Dia bersikeras menanyakan kepada Don Bosco kapan anaknya itu akan sembuh.

“Karena kamu telah begitu bermurah hati kepada Bunda Maria,” dia menjawab, “Saya yakin bahwa doamu akan didengar dan bayimu akan disembuhkan pada akhir bulan Mei. Tetapi kamu juga harus berdoa.”

Meskipun demikian lengannya bayi itu tetap menyakitkannya dan bahkan terus bernanah sepanjang bulan Mei. Pada hari terakhir bulan itu, lengannya masih bernanah dan tidak menunjukkan tanda adanya kemajuan, apalagi kesembuhan. Pada hari itu seluruh kelurga kecuali kakek dan ibu bayi itu pergi untuk mengikuti misa. Ibunya untuk beberapa saat meninggalkan bayi itu dibawah pengawasan kakeknya, pada saat dia pergi lonceng-lonceng mulai berbunyi memberi tanda untuk berdoa Angelus. Sementara itu anak itu terus menangis karena kesakitan. Tiba-tiba dia berhenti menangis dan mulai berguling di dalam ayunannya. Kemudian dia berusaha menarik korden yang menutupi tempat tidur kecilnya. Dan dia melakukannya dengan lengannya yang sedang sakit itu!

Kakeknya terkejut menyaksikan kejadian itu dan dengan gembira segera berlari memanggil ibu bayi itu. Mereka sangat bergembira karena ternyata lengan dari anak itu benar-benar telah sembuh dan tidak meninggalkan bekas pada luka-lukanya atau cacat.


Pada tanggal 23 Juni, Don Bosco menghadap Paus Pius IX dan selama audensi itu dia memberitahukan Bapa Suci rencananya untuk mendirikan kongregasi bagi para wanita. Ketika Don Bosco meminta nasehatnya, Bapa Suci berkata bahwa dia akan mencoba merefleksikannya untuk beberapa hari dan kemudian baru akan memberikan pendapatnya.

Ketika bertemu lagi dengan Don Bosco, dia berkata, “Bagi saya rencanamu itu nampaknya demi kemuliaan Tuhan dan juga demi kebaikan jiwa-jiwa. Menurut pendapat saya para suster itu harus bekerja bagi para gadis sebagaimana yang para Salesian lakukan bagi anak laki-laki. Mudah-mudahan mereka bisa dibimbing oleh engkau dan juga oleh para Salesian seperti Suster-suster Karitas dibimbing oleh para Vincensian. Tulislah konstitusi untuk mereka dan coba dipraktekkan untuk mereka. Maka yang lainnya akan mengikuti.”

Merasa sangat gembira atas kata-kata yang diucapkan oleh Bapa Suci, dan karena merasa lebih yakin bahwa rencananya itu merupakan kehendak Tuhan, Don Bosco segera memanggil Pastor Pestarino ke pergi ke Oratori. Dia menunjukkan kepadanya rencananya yang berkaitan dengan Putri-Putri itu dan memberitahukannya juga tentang ide untuk pemanfaatan yang baru terhadap gedung sekolahan itu dan ia juga memberikan alasan atas rencananya itu, dan juga adanya keberatan-keberatan dari Dewan Keuskupan. Sekolahan itu hendaknya tidak bersaing dengan seminari yang juga akan menerima anak laki-laki yang tidak dipersiapkan menjadi pastor, tetapi hendaknya diberikan kepada para suster. Mengingat kelompok antiklerikal yang ada pada saat itu, dia juga menyarankan bahwa tidak ada untungnya bagi Gereja untuk mengumumkan alasan pergantian rencana itu kepada penduduk desa.

Demi mempertahankan nama baik gereja maka dengan senang hati ia melakukan hal itu. Don Bosco juga ikut serta dalam menjaga rahasia itu.

Mengatakan bahwa Pastor Pestarino terkejut adalah suatu hal yang kurang tepat. Pertama-tama, ia sangat terkejut; dia bahkan menyangsikan apakah yang telah didengarnya itu benar. Tetapi kemudian dia mengerti dengan sangat jelas apa yang Don Bosco katakan melalui setiap kata yang diucapkannya adalah sesuatu yang sangat penting bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kelompok kecil itu, untuk sekolahan itu dan bagi seluruh anggota masyarakat.

Meskipun ia menaruh kepercayaan yang sangat mendalam kepada Don Bosco dan meskipun pada kenyataannya dia selalu yakin bahwa Don Bosco sedang melakukan kehendak Tuhan, tetapi dia juga masih mempunyai beberapa keberatan di dalah hatinya. Di antaranya adalah dua hal yang utama: Siapa yang pernah mengungkapkan bahwa Para Putri-Putri Maria Immaculata itu mau menjadi religius? Bahkan Maria yang saleh dan juga temannya Petronilla belum pernah mengungkapkan perasaan seperti itu kepadanya. Dan kenyataannya, dia sendiri pernah menyarankan mereka supaya tidak menjadi seorang religius tetapi tetap seperti mereka sendiri apa adanya. Rencana untuk menjadikan mereka sebagai religius kelihatannya terlalu berlebihan.

Andaikata masalah ini dapat diselesaikan karena ada hal yang bisa dipakai untuk menjelaskan kepada mereka dan membiarkan mereka menentukan sikapnya sendiri, tetapi menganti tujuan pemanfaatan sekolahan itu merupakan suatu masalah yang lain. Tidakkah semua orang tahu bahwa sebelumnya sekolahan ini diperuntukkan bagi anak laki-laki? Bukankah para penduduk desa begitu bersemangat dengan rencana itu karena mereka tahu bahwa bangunan itu adalah sekolah untuk anak laki-laki? Dia lebih suka melihat siapapun juga termasuk Don Bosco meyakinkan penduduk desa bahwa mereka harus melepas sekolah tersebut untuk para gadis-gadis itu! Lalu apa yang harus ia katakan? Apa yang akan mereka lakukan terhadap orang yang berani melakukan perubahan seperti itu?

Don Bosco mendengarkan dengan sabar seluruh keberatan-keberatan itu dengan terperinci. Setelah Pastor Pestarino selesai mengungkapkan seluruh keberatannya, kemudian dengan rendah hati dia menunggu yang lainnya menanggapinya.

“Pastor Pestarino yang terkasih,” kata Don Bosco kepada, “Saya secara jurur percaya bahwa semua ini merupakan kehendak Tuhan.”

Setelah itu, yang bisa dilakukan oleh Pastor Pestarino hanyalah menerima semua usulan-usulan itu. “Tetapi bagaimana saya harus melakukannya?” dia bertanya. “Untuk memulainya, bagaimana saya mengetahui gadis-gadis yang mempunyai panggila untuk menjalani suatu kehidupan religius?”

“Mereka yang selalu setia bahkan dalam hal-hal yang kecil.” Kata Don Bosco kepadanya, “Mereka yang tidak merasa terhina pada saat dikoreksi dan mereka yang menunjukkan bahwa mereka mempunyai jiwa matiraga—mereka itulah yang mempunyai panggilan. Nama dari Institut baru itu adalah, “Putri-putri Bunda Maria Penolong Umat Kristiani.”

“Sesuatu yang sulit untuk disampaikan,” kata Pastor Pestarino dalam hati ketika dia pergi, “dan siapa yang dapat mendengarkannya?”

Don Bosco benar-benar seorang santo. Oleh karena itu maka dia percaya. Meskipun dia berkeinginan untuk menjalankan semangat yang diikuti oleh Don Bosco, dia tahu bahwa bukanlah sebuah tugas yang mudah yang sekarang harus dia hadapi dan ketika kembali ke Mornese kegelisahan itu tampak jelas di wajahnya. Orang pertama yang ia beritahu adalah para gadis yang berada di rumah.

“Biasanya ketika dia pulang sehabis mengunjungi Don Bosco,” Maria berkomentar, “dia akan kelihatan gembira dan bersemangat. Tetapi kali ini dia kelihatan sedih dan sangat tertekan.”

Ketika Maria bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, pertama-tama dia menolak memberitahukannya tetapi kemudian dia memberitahukannya juga.

“Don Bosco tidak menginginkan kita menggunakan gedung ini untuk anak laki-laki,” akhirnya dia memberitahukan juga. “Dia ingin menyerahkan gedung itu kepada kalian!”

Ketika para gadis itu mendengar hal ini, mereka lebih terkejut dibandingkan yang dialami oleh Pastor Pestarino. Mengingat kedudukan mereka yang bukan bangsawan, latar belakang mereka sebagai petani dan kenyataan bahwa sebagian besar di antara mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, berpikir bahwa mereka akan mengambil alih sebuah bangunan yang baru dan penting membuat mereka seakan tidak bisa bernafas. “Don Bosco menginginkan kami untuk tinggal di sana?” merupakan ungkapan mereka secara umum. Mereka juga mengerti sebaik Pastor Pestarino bahwa perpindahan itu bisa menimbulkan suatu keributan bagi penduduk desa dan mengetahui bencana yang akan mereka hadapi.

Selama sekolahan itu belum selesai maka permasalahan yang menyangkut tentangnya masih bisa ditunda, akan tetapi Pastor Pestarino segera berhadapan dengan masalah baru yaitu bagaimana dia harus memilih para calon untuk kongregasi yang rencananya akan didirikan oleh Don Bosco. Dia memulainya dengan sesuatu yang baginya kurang menyenangkan yaitu memberi penilaian kepada sifat-sifat dan sikap-sikap para gadis yang berbeda-beda. Dia yakin bahwa dua orang di antara mereka, Maria dan Petronilla bisa menjadi anggota. Dia telah lama menjadi bapa pengakuannya sehingga ia sangat mengenal mereka secara mendalam. Untuk memulainya, dia memberi Maria buku salinan di mana Don Bosco menulis di dalamnya aturan-aturan yang nantinya akan mereka ikuti.

“Kita harus mempelajarinya dengan baik,” kata Petronilla, “untuk memastikan bahwa kita menyukainya. Pastor Pestarino telah memberitahu bahwa kita semua harus memasuki tahap percobaan dan setelah itu masing-masing akan dipanggil dan kemudian akan ditanya apakah kita akan mengikuti mereka sesuai dengan rencana Don Bosco atau tidak. Oleh karena itu kita harus mulai mempelajarinya atau mulai menanyakan sesuatu tentangnya, karena di antara kita tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan yang baik. “

“Aturan-aturan ini, mungkin dengan sedikit perubahan, adalah Konstitusi yang yang nantinya akan diberikan oleh Don Bosco kepada kita. Tetapi saya mengingat bahwa mereka pernah berkata bahwa kita akan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sama dan akan mendaraskan Tujuh Kedukaan Bunda Maria pada saat-saat khusus. Ada pertanyaan yang menyangkut hal disiplin. Pertama-tama kita tidak tahu tentang hal ini, tetapi setelah dijelaskannya kita akan mengetahuinya!”

Sejauh yang menyangkut pilihan tentang panggilan mereka itu benar-benar dihayati, hal-hal lain bisa berjalan dengan lebih lancar daripada yang dibayangkan oleh Pastor Pestarino sebelumnya. Tetapi meskipun berapa kali dia mencoba untuk menenangkan pikirannya mengenai masalah sekolahan itu, dan biarpun dia telah berdoa banyak dan meminta para Putri-putri itu juga berdoa, tidak ada jalan keluar yang bisa mereka temukan.

Sementara itu sebuah masalah baru di desa itu membantu menghancurkan masalah yang dihadapi oleh sang pastor. Tempat tinggal pastor, yang berdekatan dengan Rumah yang dihuni oleh Putri-Putri Maria Immaculata, sudah terlalu usang sehingga dewan desa mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan itu khususnya upaya untuk memperbaikinya. Berdasarkan hukum, hal itu merupakan tanggung jawab mereka.

Para pekerja bangunan memberitahukannya bahwa banyak bagian yang harus diperbaiki oleh karena itu lebih baik jika gedung itu dirobohkan dan kemudian dibangun gedung yang baru di atasnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah ketika gedung itu sedang dibangun, di manakah pastor akan tinggal? Seseorang memberikan usul karena rumah yang dihuni oleh Putri-putri Immaculata merupakan yang terdekat dengan gereja maka lebih baik dia tinggal untuk sementara di sana. Anggota dewan itu kemudian bertanya kepada Pastor Pestarino andaikata dia mau tinggal di tempat itu selama gedung pastoran sedang diperbaiki. Pastor Pestarino menyetujuinya tetapi kalau dia tinggal di sana lalu dimanakah para Putri-putri itu akan tinggal?

Ketika seseorang menyarankan bahwa mereka untuk sementara waktu bisa tinggal di gedung sekolahan, Pastor Pestarino tidak bisa menutupi kegembiraannya yang luar biasa mendengar hal itu. Dalam usulan itu ia melihat —oh, dengan begitu jelas!—penyelengaraan Ilahi berkarya di sini. Hal itu meyakinkannya bahwa Don Bosco telah mengetahui sebelumnya akan perpindahan yang akan terjadi di sekolahan itu yang sebelumnya menjadi sumber pertanyaannya. Segera setelah pertemuan itu selesai, dia segera pergi ke Rumah Putri-putri Maria Immaculata dan memberitahukan gadis-gadis itu apa yang baru saja terjadi. Mulai saat itu satu-satunya hal yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara mereka akan pindah ke sekolahan itu. Semua hal ini mereka lakukan pada malam hari tanggal 23 Mei 1872, satu hari menjelang pesta Bunda Maria Penolong Umat Kristiani.

Sebelumnya mereka berusah untuk sediam mungkin dan serahasia mungkin menyangkut semua rencana itu, tetapi tidak membutuhkan waktu yang lama semua hal itu diketahui dan akibat perpindahan itu dengan jelas diketahui oleh penduduk desa.

“Sekali perubahan rencana terhadap rencana sekolahan itu diketahui oleh para penduduk desa,” kata salah seorang yang hidup pada masa itu. “reaksi yang keras muncul dan hanya karena rasa hormat mereka kepada Don Bosco lah yang bisa menghindarkan Pastor Pestarino dari kekerasan fisik terhadapnya.”

Penduduk desa sangat berkeberatan terhadap apa yang telah mereka lihat khususnya yang berkaitan dengan pengantian fungsi sekolahan yang baru saja dibangun. Mereka telah banyak memberikan tenaga dan juga barang-barang untuk sekolahan itu karena mereka tahu bahwa sekolahan itu akan memberikan keuntungan bagi anak-anak mereka. Sekarang sekolahan itu akan digunakan untuk tujuan yang berbeda.

Karena Pastor Pestarinolah yang mempunyai rencana terdapat bangunan sekolahan itu, yang telah berusah meyakinkan dewan desa untuk mendukungnya dan menumbuhkan semangat penduduk desa untuk memulainya, mereka memutuskan bahwa dialah yang paling bertanggung jawab. Menurut pandangan mereka, dia juga memegang peranan penting dalam penghianatan ini. Pada gilirannya, Pastor Pestarino merasa siap untuk memperhatikan kembali janji kerahasiaan yang dia buat dengan Don Bosco, demi menjaga nama baik gereja. Karena keadaan yang begitu membahayakan maka ada beberapa orang yang berusaha untuk memindahkannya demi menjaga keselamatannya. Lalu penduduk itu marah kepada anak buah Pastor Pestarino yaitu para Putri-putri itu. Sebelumnya mereka melayani komunitas itu, tetapi sekarang masyarakat berniat menjauhi mereka maupun orang tua mereka. “Balas budi macam apa yang kalian lakukan?” mereka berkata. Hanya untuk menyenangkan mereka, Pastor Pestarino kelihatannya siap mengorbankan apapun dan siapapun juga, meskipun harus menelantarkan tanggung jawabnya kepada umatnya yang lain..... saat itu bukanlah waktu yang menyenangkan bagi Pastor Pestarino tetapi dia menghadapi semuanya dengan diam dan tenang.

Putri-putri itu juga sangat menderita. Beberapa orang dari keluarga mereka, merasa ketakutan bahwa anak gadis mereka akan menolak untuk menikah dan menetap di suatu daerah tertentu, oleh karena itu sekarang mereka bersikeras untuk memaksa mereka pulang ke rumah, yang lainnya mengambil begitu saja anak-anak mereka dari tempat kursus dan yang lainnya menolak memberikan anak gadisnya kepada mereka. Yang paling menyakitkan bagi kelompok kecil itu adalah kenyataan bahwa beberapa orang yang dulunya selalu memberikan hadiah berupa makanan sekarang telah menghentikannya, meninggalkan mereka bahkan kadang-kadang tanpa makanan sedikitpun. Hanya tinggal satu penghibur kecil saja yang bisa menjamin mereka: ulat sutra yang memberikan bantuan yang sangat berarti bagi mereka dan tidak menderita sedikitpun akibat peristiwa itu tetapi justru terus berkembang dan meningkat. Akhirnya Pastor Pestarino dan Pastor Valle-lah yang berusaha untuk membantu mereka dengan memberikan bantuan makanan dan sedikit uang yang bisa digunakan untuk mengisi gedung sekolahan itu dan membersihkannya sehingga layak menjadi tempat tinggal.

Kamar yang dihuni oleh Maria hanya dihiasi dengan sebuah salib, sebuah peti tua yang panjang, sebuah tempat tidur besi, sebuah kursi dan satu tempat untuk berlutut. Kamar yang tidak pernah tersentuh dengan perabotan yang mewah.

Ketika semua hal itu sedang terjadi di Mornese, sesuatu hal telah terjadi pada Don Bosco, yang meskipun menuntut penderitaan yang besar tetapi paling tidak mereka yang dahulu menentang, menerima pengambilalihan sekolahan itu.

Ia ikut serta dalam upacara pelantikan Canon Lawrence Gastaldi sebagai Uskup Agung Turin, dan meskipun ia menderita sakit di bahu kanannya dan sesak nafas yang mempersulitnya bergerak, dia tetap memutuskan untuk mengunjungi sekolahan di Varazze dan tiba pada tanggal 2 Desember. Karena pada saat itu cuaca sangat buruk maka dia mempunyai rencana untuk mampir di rumah salah seorang pendermanya dalam perjalanannya ke stasiun. Penundaan penjalanan itu menyebabkan ia tertinggal kereta untuk kembali ke Turin, sehingga dia harus kembali ke rumah itu dan menunggu sampai hari esok. Hal itu memperburuk penyakit reumatiknya sehingga pada saat dia akan pergi ke stasiun badannya sangat lemah dan harus dibawa kembali ke sekolahan dan beristirahat di tempat tidur. Seorang dokter muda yang memeriksa penyakitnya menyatakan bahwa dia terserang penyakit ayan dan memerintahkan untuk mengeluarkan darah berulang kali—dua kali kesalahan di mana Don Bosco harus membayarnya dengan mahal. Pemeriksaan ini menambah sakit pada bahu kanannya dan suhu badannya semakin tinggi sehingga dia tidak bisa bergerak dan pada saat dia merasa posisi tidurnya tidak enak, dia terpaksa harus meminta bantuan orang lain untuk memindahkannya. Rasa sakit pada bahu kirinya itu membuat dia semakin lemah.

Meskipun sakit yang dideritanya sangat serius, tetapi para dokter yang memeriksanya tidak menyatakan bahwa kondisinya kritis. Meskipun demikian beberapa temannya mau untuk mempersembahkan hidup mereka demi kesembuhannya, doa-doa yang diucapkan demi kesembuhannya datang dari seluruh Italia dan Bapa Suci meminta berita tentang keadaannya diberitahukan kepadanya melalui telegram.

Dua minggu kemudian keadaannya mulai membaik dan setelah melewati masa kritisnya, dokter memberitahukan bahwa dia sedang dalam proses pemulihan. Tidak membutuhkan waktu yang lama, dia segera kembali ke Oratorinya.

Ternyata harapan kesembuhan itu hanya sebentar saja. Demamnya muncul lagi, dia bermandikan keringat, lengannya lumpuh lagi dan kulitnya mulai mengelupas. Luka-luka kecilnya berubah menjadi borok dan meningkatkan suhu badannya. Ketika borok-borok itu mengering, mereka membuat seluruh tubuhnya menjadi kulit baru. Satu-satunya kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah harapan bahwa kulit yang baru akan menjadi lebih baik daripada kulitnya yang lama.

Pada tanggal 2 Januari, ketika kondisinya sudah lebih baik, dia menerima kunjungan dari Pastor Pestarino yang datang menemuinya untuk membicarakan masalah sekolahan dan para Putri-putri itu. Sebelum pergi, Pastor Pestarino memberitahukannya bahwa sekelompok orang laki-laki dari Mornese akan berkunjung kepadanya. Don Bosco menyetujuinya, karena dia melihat kesempatan untuk menyelesaikan kedua masalah yang ada. Jika dia dapat meyakinkan orang-orang ini tentang kebenaran tujuan yang ia miliki maka dia berhadap mereka bisa mempengaruhi yang lainnya, karena dia tahu bahwa banyak di antara mereka bahkan mau mempersembahkan hidup mereka demi kesembuhannya.

Pada tanggal 6 Januari, jauh sebelum dini hari, dua belas orang mengikuti misa yang dipimpin oleh Pastor Pestarino kemudian di bawah musim dingin yang buruk berjalan kaki melewati jalanan yang bersalju sejauh enam mil pergi ke Stasiun di Ovada. Mereka tidak hanya membawa bekal bagi perjalanan mereka sendiri tetapi juga membawa hadiah yang akan diberikan kepada Don Bosco atas nama seluruh penduduk Mornese. Dari Ovada mereka melanjutkan perjalanan dengan mengunakan kereta api. Meskipun letak Varazze cukup jauh yaitu 72 km, tetapi bagi orang-orang itu perjalanan itu terasa pendek karena mereka baru pertama kali melakukannya. Dengan membawa hadiah-hadiah dan keperluan-keperluan mereka yang cukup banyak, berpakaian gaya orang pegunungan dan berbicara dengan logat daerah, membuat mereka menarik perhatian bagi orang-orang ningrat dari Inggris yang sedang berlibur menikmati suasana yang sejuk di Liguori Liviera.

Don Bosco sangat gembira bisa bertemu mereka. Dia sangat menghargai kesederhanaan dan kejujuran mereka. Ketika Pastor Pestarino memperkenalkan mereka, dia memberikan kepada mereka masing-masing kata-kata yang khusus dan penuh cinta. Diikuti oleh pemberian hadiah-hadiah yang berupa; ayam, burung merpati, madu, mentega, telur, anggur, buah-buahan.....dan setelah itu semua maka Don Bosco segera bertanya tentang kabar terbaru tentang desa mereka.

Pada waktu yang tepat dan dengan mengunakan kata-kata yang tepat, Don Bosco mengungkapkan persoalan menyangkut sekolahan dan para Putri-putri itu. Meskipun dia mencoba menjelaskannya selangkah demi selangkah tetapi ternyata ada beberapa keberatan dari mereka. Meskipun demikian dia sudah berpengalaman berhadapan dengan orang-orang yang berseberangan dengannya. Jika yang menjadi perhatian mereka adalah hal pendidikan bagi anak-anak mereka, dia menjamin bahwa sekolahan-sekolahan yang dimiliki oleh Don Bosco akan selalu dengan terbuka bagi anak-anak laki-laki dari Mornese.

Setelah mereka berdiskusi sebentar, salah seorang di antara mereka maju untuk berbicara atas nama mereka semua. “Kami yakin bahwa segala sesuatu yang anda lakukan,” katanya, “akan berjalan dengan baik.”

Memperoleh tanda persetujuan seperti itu, Don Bosco kemudian mengundang mereka untuk makan malam dengan ditemani oleh hidangan anggur terbaik yang ada di rumah itu.

Walaupun mengetahui bahwa pada umumnya penduduk desa sangat menentangnya, Pastor Pestarino merasa lebih tenang menghadapi masa depannya. Dia telah membuktikan bahwa Don Bosco mempunyai inspirasi Ilahi tentang hal itu. Dia tahu bahwa dia sekarang berjalan di jalan yang aman dan tidak peduli betapa suramnya keadaan pada saat itu, suatu hari mendung itu akan sirna dan semuanya akan kembali berjalan dengan baik. Untuk urusan sekolahan ini bukanlah satu-satunya hal yang membuat Pastor Pestarino yakin bahwa Don Bosco memiliki kekuatan yang luar biasa dan ajaib. Usahanya sekarang adalah bertahan sampai suasananya bisa lebih tenang, di mana nantinya para penduduk desa akan bisa melihat sama seperti cara Don Bosco melihat. Beberapa orang di antara mereka, dia paham sekali, tidak akan pernah bisa melupakan, tidak pernah bisa memaafkan apa yang mereka pikir sebagai penghianatan itu. Menghadapai semua hal ini, dia berusaha untuk memberitahukan para gadis-gadis itu. Dia menyemangati mereka supaya selalu berani dan tidak takut, menunjukkan kepada mereka bahwa kongregasi Don Bosco yang lainnya, Salesian, pada awal berdirinya jauh lebih menderita, menghadapi cobaan yang lebih berat, dan sekarang mereka bisa berjaya. Gadis-gadis itu bisa melihat peristiwa-peristiwa itu dan hal itu juga memberikan keberanian bagi mereka untuk semakin memperteguh semangat mereka dalam menghadapi situasi yang sulit.

Apakah mereka berdua, Maria dan Pastor Pestarino sudah lupa bahwa sekolahan itu didirikan di tempat di mana dia mendapatkan sebuah “penglihatan” dari sebuah gedung yang megah yang penuh dengan canda tawa anak-anak yang sedang bermain dan dia sendiri berada di tengah-tengahnya?


Ketika menghadapi masalah yang berat, Maria tidak merasa malu untuk pulang ke rumahnya untuk meminta bantuan dari keluarganya.

Andaikata saya sudah menikah,” dia berkata kepada mereka, “dan datang untuk meminta bantuan dan apakah keluargaku akan mengolaknya? Tentu saja tidak! Lalu bangaimana mungkin sekarang engkau akan menolak saya ketika saya datang untuk meminta bantuan untuk sebuah keluarga yang sedikit berbeda dari keluarga pada umumnya?”

Ayah Maria, tidak pernah mampu menolak segala permintaannya, hanya tersenyum menghadapi pendapat anaknya yang sederhana itu. “Ambillah segala yang kamu butuhkan dari persediaan kami yang tidak banyak ini,” katanya kepada anaknya. “selama kamu tetap bahagia.”

Di tengah-tengah semua peristiwa ini, ada satu pertanyaan yang selalu berkecambuk di benaknya: “Kapankan mereka akan mengirimkan seorang superior?”

Pastor Pestarino menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, ”Don Bosco berkata bahwa dia akan mengirimkan seseorang kemari. Untuk sementara waktu engkau bertindak sebagai wakil.”

“Kemudian tulislah surat dan katakan kepadanya supaya mengirim orang itu dengan segera .”

“Teruskan segala sesuatu yang engkau lakukan. Tuhan akan selalu menyediakan.”

Untuk sementara waktu diskusi itu berakhir dan Maria bertindak sebagai superior seperti sebelumnya. Jumlah anggota komunitas itu terus bertambah, dan mereka semakin bisa menyesuaikan diri mereka dengan cara hidup yang baru itu.

Mereka biasanya bangun pada pagi dini hari dan kemudian mengikuti misa yang di pimpin oleh Pastor Pestarino untuk komunitas mereka. Kesunyian adalah sesuatu yang suci sehingga mereka tidak boleh melanggarnya meskipun pada saat mereka mau mengatakan bahwa mereka mau menerima Komuni Suci. Mereka akan mendorong sebuah batang pendek ke dalam sebuah jam tua untuk memberitahu Pastor Pestarino berapa banyak orang yang mau menerima Komuni. Setelah mengikuti misa masing-masing pergi ke tempat kerjanya sendiri, untuk memulai menjahit, pergi ke tempat cuci baju atau kebun anggur. Untuk sarapan mereka biasanya memakan sepotong polenta, sejenis jagung yang dihancurkan dan sedikit cair, yang telah disiapkan sehari sebelumnya; untuk makan malam, mereka biasanya makan roti dengan sup, atau polenta dengan salad, atau tomat dan kubis dan ketika mendapat sumbangan dengan susu, telur, keju atau ikan. Makanan mereka tidak mewah pada saat-saat yang khusus bahkan untuk hari-hari tertentu makanan itu hampir tidak mengandung gizi yang cukup bagi mereka yang harus bekerja sepanjang hari. Pada saat itulah biasanya Maria akan mengadakan kunjungan untuk minta bantuan ke rumah.

Pada kesempatan yang lain dia tidak perlu untuk pulang ke rumah. Melihat kebutuhan yang dialami oleh putrinya itu, ibunya akan segera mengirim adiknya yang lebih kecil yang akan datang membawakan makanan bagi mereka.

Kadang-kadang apa yang ia bawa tidak cukup untuk mereka.

Lakukan sesuatu untuk saya.” Maria akan berkata kepadanya. “Katakan kepada ibu untuk memberikan sesuatu yang lebih banyak. Kami benar-benar membutuhkannya.”

Meskipun ibunya akan selalu memenuhinya, tetapi dia tetap tidak mengerti mengapa anak gadisnya itu mau tinggal di dalam suasana yang serba kekurangan itu meskipun sebenarnya dia bisa pulang dan dapat hidup dengan nyaman.

Di samping semua hal ini, kuasa kegelapan selalu bekerja keras. Ramalan yang paling buruk menyatakan bahwa dalam waktu satu atau dua minggu para gadis itu pasti akan pulang ke rumah karena kelaparan ataupun kedinginan. Tetapi ketika para gadis itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah, mereka mengatakan waktu yang lebih lama. Di dalam wajah mereka yang kelihatan keras, akhirnya para peramal itu menyimpulkan bahwa mereka akan menyerah sejauh Pastor Pestarino menghentikan bantuannya kepada mereka. Ketika dia pergi, merekapun akan ikut pergi. Para penduduk desa yang baik, di lain pihak sangat terkejut melihat kegembiraan dan keceriaan yang nampak di wajah gadis-gadis itu. Bagaimana kebahagiaan seperti itu bisa ada pada saat mereka harus menghadapi situasi yang sulit itu?

Menanggapi pertanyaan seperti itu, Maria hanya mempunyai satu jawaban. “Kami memang hanya wanita tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami akan membiarkan orang lain meremehkan kami. Kami telah menyerahkan diri kami kepada Tuhan. Biarlah dunia berkata apa yang mereka suka tetapi biarkan kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk bisa menjadi kudus.”


10—Sebuah Monumen Ungkapan Rasa Syukur



Gadis-gadis itu sudah lebih dari dari dua bulan tinggal di sekolahan itu dan telah memberikan suatu kesan yang baik tentang diri mereka sendiri—dan semua hal ini disampaikan Pastor Pestarino kepada Don Bosco—ia berpikir saatnya sudah tepat untuk mulai membentuk sebuah kongregasi yang resmi. Dia memberitahu bahwa mereka harus segera mempersiapkan diri untuk menerima jubah—suatu tindakan yang akan menandakan masuknya tahap baru dalam kehidupan mereka—dengan membuat retret yang dimulai pada tanggal 31 Juli 1872. Mgr. Joseph Mary Sciandra, Uskup Acqui, yang tinggal bersama Pastor Pestarino selama musim panas, berjanji untuk hadir pada kesempatan itu karena hal itu merupakan suatu langkah yang penting dalam kehidupan mereka.

Don Bosco memiliki gagasan bahwa mereka akan memiliki suatu jubah yang tidak terlalu berbeda dengan kelompok religius wanita yang lain. Dengan cara ini, Don Bosco berharap agar mereka dapat melakukan kegiatan harian mereka tanpa menarik perhatian orang lain. Dia menginginkan anggota-anggota yang sudah berkaul memakai sebuah salib dan para novis memakai sebuah medali “Maria Bunda Penolong Umat Kristiani”.

Sementara itu Pastor Pestarino memesan dari Genoa suatu jenis bahan pakaian yang dibutuhkan untuk membuat jubah para suster tersebut. Ketika bahan itu tiba, dia menyerahkannya kepada Maria. “Buatlah sebuah jubah dari bahan ini sesuai keinginan Don Bosco,” dia berkata kepadanya, “dan kita akan segera melihat bagaimana hasilnya.”

Maria menghilang dari pandangan mereka dan mulai bekerja dengan bahan pakaian itu hingga selesai. Menjelang siang ia muncul lagi. Dia mengangkat jubah yang sudah lengkap itu supaya bisa diamati oleh Petronilla. “Inilah,” dia mengumumkan “jubah yang akan kita pakai.”

Jubah yang pertama ini, terdiri dari jubah panjang berwarna coklat yang panjangnya sampai ke mata kaki dan sebuah mantol tanpa lengan yang panjangnya sampai ke siku tangan. Sebuah kerudung biru digunakan untuk menutup kepala ketika berada di luar rumah dan satunya lagi berwarna abu-abu untuk digunakan di dalam rumah. Segera diketahui bahwa warna cokelat itu cepat luntur maka diganti dengan warna hitam, demikian pula dengan kerudungnya. Hal ini ternyata lebih praktis dan pada saat yang sama lebih sesuai dengan pakaian para wanita di sana. Rancangan jubah yang pertama ini akan mengalami beberapa perubahan untuk tahun-tahun mendatang.

Pastor Pestarino memutuskan untuk menunjukkan jubah ini kepada Don Bosco untuk memperoleh persetujuannya. Karena hal ini dilakukannya selagi Don Bosco berada di Varazze ketika dia sedang berjuang melawan penderitaan akibat sakit yang serius, peristiwa ini membuat Don Bosco merasa sangat bergembira. Pastor Pestarino tiba di sana bersama dengan rombongan orang-orang dari Mornese yang datang untuk menjenguk orang yang sakit itu. Pada saat yang tepat, Pastor Pestarino membawa bungkusan itu ke ruangan Don Bosco dan menunjukkan jubah tersebut kepada Don Bosco untuk dilihat. Di dalam ruangan itu bersama Don Bosco, ada Bruder Peter Enria yang telah mengurus Don Bosco sejak awal sakitnya. Baik dia maupun Pastor Pestarino menunggu dengan hening ketika Don Bosco menelitinya dengan jeli jubah itu. Don Bosco berkomentar bahwa ia lebih suka warna yang lebih gelap.

Sejauh ini cukup baik,” komentarnya. “Tetapi untuk membuat suatu keputusan saya harus melihat seseorang memakainya.”

Hal itu tidak akan mudah,” kata Pastor Pestarino, karena ia berpikir bahwa tidak ada seorang biarawati pun yang ada di dekat tempat itu.

Pandangan Don Bosco lalu tertuju pada Bruder Enria dan sebelum ia mengucapkan sepatah kata, Bruder itu sudah menebak arti pandangan itu dan mulai memerah mukanya.

Bagaimana kalau engkau memakainya, Enria?” dia bertanya. “Mengapa engkau tidak memakainya? Mari kita lihat bagaimana kau terlihat ketika memakai jubah itu.”

Pertama-tama dia menolak tetapi dengan semangat ketaatannya, Bruder Enria, dibantu oleh Pastor Pestarino, memakai jubah itu dan Don Bosco menyuruhnya berjalan mondar-mandir supaya dia bisa memberi usulan-usulan terhadap jubah itu. Pastor Pestarino terus tertawa-tawa kecil dan berpura-pura menyesuaikan kerudung hitamnya yang kecil itu untuk menyembunyikan tawanya itu selagi Don Bosco tertawa lepas ketika melihat Bruder Enria berjalan bolak-balik dengan pakaian biarawati di dalam ruangan itu.


Para gadis itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Mereka yang datang dari kelompok Puteri-Puteri Maria Immaculata atau teman-teman Angela Maccagno, Ursulin Baru dipertimbangkan sebagai seorang religius; yang datang dari luar kelompok-kelompok ini menjadi novis, sementara itu masih ada beberapa gadis yang dianggap terlalu muda untuk bisa diterima sebagai postulan.

Walaupun Don Bosco sudah lebih dari sekali berjanji kepada Pastor Pestarino bahwa dia akan hadir pada upacara pelantikan untuk yang pertama kali ini, tetapi ketika saat itu semakin dekat dia menyampaikan bahwa dia tidak bisa hadir. Apakah hal ini disebabkan oleh kesehatannya, atau untuk menghormati kehadiran Uskup, tidak ada yang tahu secara pasti. Pastor Pestarino meminta dengan sangat, tapi gagal. Sang uskup, yakin bahwa suatu upacara yang begitu penting bagi suster-suster baru ini seharusnya tidak diadakan tanpa Pendirinya, mencoba campur tangan dalam masalah ini. Dia mengutus sekretarisnya ke Turin dengan perintah, “Jangan kembali tanpa Don Bosco!” Karena rasa hormat Don Bosco kepada hirarki Gereja, hanya ada satu reaksi terhadap hal itu dan pada larut malam tanggal 4 Agustus, sekretaris itu tiba bersama Don Bosco. Karena baru pulih dari sakit yang serius, dia sakit lagi karena terkena udara malam.

Karena sakitnya ini, acara yang semula ditetapkan pada tanggal 8 Agustus dimajukan pada tanggal 5 Agustus, Pesta Bunda Maria Salju. Pada pagi itu dia berkata kepada yang akan berkaul bahwa mulai sekarang mereka harus bertingkah laku yang layak sesuai jubah yang mereka kenakan. Don Bosco begitu peduli dengan mereka bahkan tentang bagaimana mereka akan tampil di depan umum, ia berkata kepada mereka betapa dia ingin melihat mereka berjalan, karena sebagian besar dari mereka adalah gadis-gadis desa yang lebih terbiasa berjalan di ladang dengan kaki tak bersepatu. Ketika apa yang Don Bosco katakan tidak terlalu jelas bagi mereka, ia bangkit dari kursinya dan berjalan bolak-balik di dalam gereja untuk menunjukkan kepada mereka apa yang ia kehendaki. Melalui kata-kata dan tindakan-tindakan yang dilakukannya kepada Maria dan teman-temannya menunjukkan bagaimana ia begitu perhatian kepada mereka. Sambil memegang jubah baru mereka, mereka mendekati altar, hendak mengulangi kaul mereka secara serempak, lalu Don Bosco menghentikan mereka, meminta mereka mengucapkan kaul itu secara terpisah. Di antara kelompok yang terdiri dari 15 orang, 11 orang mengucapkan kaul untuk tiga tahun. Maria, yang sekarang berumur 35 tahun, ada di antara mereka. Hanya ada satu dari mereka yang ditolak permohonannya untuk menerima jubah. Dia ini adalah gadis yang dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk mengikuti kehendaknya sendiri. Akhirnya, seperti yang Don Bosco sudah ramalkan, dia meninggalkan kongregasi.

Sadar akan cobaan-cobaan yang sedang mereka alami dan akan terus mereka alami, Don Bosco berbicara kepada mereka dengan sikap yang memberi semangat dan membantu mereka menghadapi bermacam-macam cobaan yang akan mereka hadapi untuk masa yang akan datang.

Saya dapat melihat bagaimana kalian harus menderita,” dia berkata kepada mereka, “Saya melihat bagaimana kawan-kawan kalian sendiri menghina dan mencemooh kalian. Janganlah hal ini mengherankan kalian. Apa yang seharusnya mengherankan kalian adalah bahwa mereka tidak melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi pada kalian. Ayah dari St. Fransiskus Assisi misalnya, berlaku lebih keras kepada anak kandungnya. Lalu apa yang dapat engkau harapkan dari kenalan kalian? Tetapi jika kalian rendah hati, kalian akan menjadi kudus dan kalian akan berbuat lebih banyak kebaikan. Di antara pekerja-pekerja yang paling kecil dan salah satu yang sering Injil bicarakan adalah spikenard. Kalian membaca hal itu dari Ibadat Bunda Maria. Spikenard-ku menghasilkan wewangian yang harum. Tetapi apakah kalian tahu kapan hal itu terjadi? Hanya jika tanaman itu ditekan sampai hancur! Maka janganlah menjadi sedih putri-putriku tersayang ketika kalian dianiaya oleh dunia. Hiburlah dirimu dengan mengetahui bahwa hanya dengan jalan ini kalian dapat sukses pada panggilan yang baru ini. Walaupun di dunia ini banyak kepalsuan sehingga seseorang tak dapat mengambil satu langkah pun tanpa menghadapi bahaya, tetapi jika kalian hidup sesuai keadaan kalian yang baru, kalian akan memperoleh hidup sejati, tidak bercela dan berbuat baik terhadap jiwamu dan jiwa-jiwa orang lain.”

Dia berkata kepada mereka bahwa dia ingin mereka disebut sebagai Puteri-Puteri Maria Penolong Orang Kristiani. Apakah alasan untuk nama itu? “Saya ingin Institut Maria Penolong Orang Kristiani”, dia mengakui, dengan terharu, “untuk menjadi sebuah monumen syukur abadi atas kebaikan-kebaikan yang telah kita peroleh dari seorang Bunda.”

Sebelum pergi, Don Bosco ingin tahu tentang para suster itu lebih banyak lagi dari Pastor Pestarino, baik sebagai satu komunitas maupun secara pribadi, dan menyampaikan kepada Pastor Pestarino bahwa dia sekarang bisa menganggap dirinya sebagai pemimpin spiritual mereka. Tetapi dia harus membiarkan mereka menangani masalah-masalah pribadi mereka sendiri. Ketika bertanya kepada Pastor Pestarino siapa yang dia nilai paling baik untuk dipilih sebagai superior, dia tidak dapat mengajukan nama lain selain Maria. Di tangannya ada sebuah catatan yang telah dia tulis tentang pengamatannya.

Maria Mazzarello selalu menampilkan semangat yang baik dan hati yang mengarah pada kesalehan,” tulisnya. “Dia sering melakukan pengakuan dosa dan komuni serta berdevosi kepada Maria yang terkudus. Sifatnya yang penuh semangat dikendalikan oleh semangat ketaatannya. Dia selalu menghindari kenyamanannya sendiri dan jika dia tidak terikat ketaatan, dia sudah melakukan banyak matiraga dan penebusan dosa. Seperti setangkai bunga bakung yang murni, dia sederhana dan terbuka. Dia akan memperbaiki kesalahan ketika dia melihatnya dan dia tidak akan berkompromi dengan siapapun juga ketika hal itu menyangkut Kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa. Sekalipun dia hampir tidak mengetahui bagaimana menulis dan hanya dapat membaca walau sedikit, dia dapat berbicara dengan halus, jelas dan membujuk sehingga seseorang dapat berpikir bahwa dia terilhami oleh Roh Kudus! Berkeinginan kuat untuk bergabung dengan institut, dia termasuk di antara mereka yang peduli akan perkembangan institut. Dia telah menunjukkan bahwa dirinya siap untuk menerima perintah-perintah apa saja yang mungkin datang dari superior-superiornya, dan kapan saja dia harus bertindak sebagai superior, dia selalu setuju dengan keputusan saya. Dia telah menyatakan bahwa dia siap meninggalkan segalanya yang berharga baginya dan bahkan untuk mengorbankan hidupnya untuk mematuhi saya dan untuk melakukan hal-hal baik. Sebagai superior, selagi tetap waspada dalam mempertahankan dan membela pihak yang dia pikir benar, dia tak pernah berhenti meminta teman-temannya untuk menasehati dia ketika dia salah.”

Setelah rekomendasi demikian, Don Bosco hampir tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain menegaskan Maria sebagai superior meskipun masih dengan jabatan Vicar. Tapi dia sekali lagi mendengar Maria meminta kepadanya untuk mengirim dengan segera superior baru.

Pada kesempatan yang lain, pertentangan untuk perpindahan gedung sekolah masih begitu kuat dan bahwa beberapa orang berpikir adalah bijaksana untuk tetap melanjutkan penjagaan di rumah Pastor Pestarino, dan dipihak yang lain kemajuan besar dibuat oleh suster-suster di rumah baru mereka.

Adanya kemajuan ini mendorong Pastor Pestarino untuk memberitahu suster-suster itu bahwa mulai sekarang mereka akan berbicara dalam bahasa Italia. “Bicara dalam bahasa Italia?” mereka terkejut. Sejauh ini, mereka berbicara dalam bahasa daerah setempat yang hanya dimengerti oleh orang yang dari tempat itu, sedangkan bahasa Italia dimengerti oleh mereka semua yang mempunyai pendidikan. Namun, suster-suster ingin tahu mengapa mereka harus berbicara bahasa Italia ketika mereka tinggal dan bekerja di dalam batas-batas desa mereka.

Jika Don Bosco mengirim wanita-wanita dan gadis-gadis dari Turin dan tempat lain,” dia berkata, “bagaimana mereka dapat memahami kalian?”

Karena berbicara bahasa Italia pada wilayah ini seperti bersikap sok berpendidikan, suster-suster pertama-tama merasa sangat malu untuk berbicara bahasa Italia pada lingkungan orang-orang luar. Ketika mereka mencoba melakukannya dengan orang-orang desa, mereka akan membelakangi mereka atau mentertawakan mereka. “Apakah ini salah satu hal khas milik mereka?” mereka ingin tahu.

Salah satu hal lain yang memalukan adalah harus tampil di muka umum dengan jubah mereka yang baru.

Untungnya, Maria, yang mau menghadapi seekor singa ketika situasi memintanya, mempelopori usaha untuk membuat orang-orang terbiasa baik dengan jubah mereka maupun kehidupan baru mereka. Karena hal itu dikerjakan demi sikap ketaatan dan untuk keselamatan jiwa-jiwa, dia siap untuk memulainya. Suster-suster lainnya mengikuti dan secara berangsur-angsur jubah tersebut menjadi biasa sehingga akhirnya bisa diterima secara umum sebagai pakaian yang layak bagi mereka.

Pendirian kongregasi itu membawa perubahan penting yang lain: Suster-suster harus bersekolah. Suster Angela Jandet yang dulu pernah memperoleh pendidikan yang baik, diberi tugas mengajar para suster. Adalah di kelasnya, Maria pertama-tama belajar bagaimana menulis. Dia sudah berusia 35 tahun dan untuk dapat mengendalikan alat tulisnya maupun berada di antara gadis-gadis muda yang lainnya membuatnya kurang nyaman. Namun demikian dia tetap menghadapi situasi itu dengan kerendahan hati dan keberanian.

Don Bosco mengirim beberapa gadis sebagai postulan dan sebagai murid. Mengingat keuangannya yang juga sulit, dia tidak dapat mengirim mereka dengan sesuatu selain sebuah rekomendasi, menyerahkan masalah itu kepada Maria untuk memberi mereka makan, pakaian, dan mendidik mereka. Kemudian dia mengirim dua guru lagi dimana Maria memberi mereka sedikit gaji dan mereka ini tinggal hingga suster-suster bisa mandiri. Pakaian anak-anak laki-laki sebanyak satu gerobak penuh yang perlu diperbaiki tiba dari oratori dan bersama dengan ini datang juga bahan-bahan untuk membuat seprei, tempat tidur dan barang-barang yang lain. Semua ini membuat Maria begitu tertekan sehingga dia mengirim Petronilla kepada Don Bosco untuk meminta bantuan dana. Don Bosco menyambut Petronilla dengan salam hangat dan dengan sabar mendengar ceritanya. Ketika sudah selesai, Don Bosco memberi kepadanya kata-kata yang memberikan semangat untuk percaya kepada pemeliharahaan Ilahi—tetapi bukan uang! Don Bosco tidak punya uang untuk diberikan.

Walaupun Don Bosco mengatakan dengan tegas pada para Salesiannya untuk membantu para suster dengan segala cara yang mungkin, ada di antara Salesian-Salesian, mereka yang sekurang-kurangnya pada mulanya, merasa enggan untuk berurusan dengan mereka. Mereka berpikir bahwa para Salesian hanya memperhatikan anak-anak laki-laki saja.

Apakah kita tidak termasuk dalam satu keluarga?” Don Bosco bertanya kepada mereka. “Tentu saja kita satu keluarga! Oleh karena itu semunya tergantung dari kita untuk membantu para suster itu agar mereka dapat bekerja dengan lebih baik.”

Dia sendiri memulainya dengan mengirim kepada suster-suster banyak postulan. Mengikuti teladannya, banyak Salesian lain juga mengirimkan ke Mornese saudari-saudari mereka, saudara-saudara sepupu atau keluarga dekat yang lain.

Don Bosco mendatangkan tidak hanya postulan-postulan dan pelajar,” pembimping rohani mereka menulis; “Dia juga mendatangkan pengkotbah-pengkotbah yang sangat baik dan pembimbing-pembimbing dalam kehidupan rohani … Dia tidak pernah gagal untuk datang sendiri sekurang-kurangnya sekali dalam setahun … Suster-suster dan murid-murid ada kesempatan untuk berbicara kepadanya di dalam dan di luar pengakuan dosa… Ketika dia tidak dapat mengunjungi kita secara pribadi dia akan mengirim surat kepada Suster-suster atau kepada saya…”

Don Bosco masih begitu prihatin mengenai perkembangan suster-suster sehingga sekali lagi dia meminta bantuan dari suster-suster St.Anna. Dia datang kepada Rumah Induk mereka dan meminta mereka untuk mengirim satu atau dua orang suster yang berpengalaman untuk mengajar di Mornese bagaimana hidup berkomunitas secara teratur. Mereka setuju untuk mendatangkan dua orang dari anggota mereka untuk sebuah kunjungan penyesuaian .Mereka ini tinggal beberapa hari dan ketika mereka kembali ke Turin, seorang suster lain digantikan oleh suster lain dan mereka tiba pada awal masa Puasa, kali ini untuk tinggal lebih lama.

Sampai sekarang kehidupan di Mornese lebih seperti kehidupan keluarga. Kebanyakan para suster telah mengenal satu sama lain sejak masa kecil dan kebanyakan dari mereka belum bersekolah dan tentu tidak mengenal kehidupan religius. Devosi dan kedekatan mereka pada hal-hal rohani sangatlah sederhana.

Kemenakan perempuan dari Petronilla masuk sebagai postulan pada tanggal 10 Maret 1847, dan riwayat panggilannya membantu menjelaskan bagaimana keadaan waktu itu.

Pastor Cagliero, dalam perjalanannya ke tempat para suster, melewati rumah Petronilla Mazzarello. Di sana dia menjumpai Stephen, kakak Petronilla, yang sedang bekerja dengan puterinya Theresa.

Stephen,” dia berkata sambil bergurau, “mengapa engkau tidak memberikan puterimu itu kepada Bunda kita?”

Kalau Bunda kita menginginkannya,” kata Stephen, “dia dapat memilikinya.”

Ketika Pastor Cagliero tiba di Mornese, dia segera menemui Suster Petronilla. “Pergilah kepada saudaramu Stephen,” kata Pastor Cagliero kepada Suster Petronilla, “dan bawalah puterinya Theresa kemari.”

Theresa kecil? Apa gerangan yang kau inginkan darinya?”

Saya ingin menjadikannya seorang Puteri dari Maria Penolong Orang Kristiani.”

Tetapi dia belum berumur 15 tahun!”

Tidak jadi masalah,” dengan tegas Pastor Cagliero meminta, “dan bawalah dia ke sini secepat yang kau bisa.”

Ketika Suster Petronilla pergi ke rumah saudaranya dia menemukan Theresa sedang memberi air kepada lembu-lembu.

Tinggalkanlah itu di situ,” dia berkata kepadanya. “Dan kembalilah bersamaku ke sekolah.”

Siapa yang mengatakan demikian?”

Pastor Cagliero yang mengatakannya.”

Untuk selama-lamanya?”

Untuk selama-lamanya.”

Theresa meletakkan ember itu dan dengan segera pergi mengumpulkan barang-barangnya. Suster Petronilla masuk ke rumah terlebih dahulu untuk meminta izin dari orang tua gadis itu, kemudian mengambil beberapa barang keluarga untuk Theresa. Setelah hal itu selesai dilakukan, dia dan gadis itu meninggalkan semuanya dan pergi ke biara. Sepanjang perjalanan, Theresa hanya mengutarakan satu keberatan.

Saya datang dengan rela,” katanya, “tetapi saya malu. Di sana engkau tahu begitu banyak dan saya bahkan tidak tahu bagaimana bersikap di meja makan!”

Itulah saatnya untuk memperkenalkan satu unsur keteraturan dan disiplin religius ke dalam komunitas.

Syukur kepada Tuhan! Sekarang kita akan belajar bagaimana menjadi suster yang sejati!” Ini adalah reaksi pertama Maria ketika dia mengetahui bahwa Don Bosco telah meminta agar Suster-suster St. Anna datang untuk membina mereka tentang bagaimana hidup sebagai religius yang baik.

Bila kita tidak begitu tertinggal dalam kehidupan religius, kita pasti sudah sampai pada cita-cita itu,” reaksi Maria selanjutnya. “Itu semua adalah kesalahan saya sebab saya begitu bodoh!”

Ketika mereka tiba, Maria siap untuk menerima mereka sebagai superiornya, tetapi suster-suster itu dengan sopan tetapi dengan sungguh-sungguh memberitahu bahwa mereka tidak di sana sebagai pemimpin melainkan untuk menolong dia dan suster-suster lain untuk menyesuaikan diri dengan hidup religius. Adalah Maria, bukan mereka, yang merupakan superior. Satu suster tinggal bersama para postulan, dan yang lain dengan para suster berkaul. Sementara itu, mereka mendidik suster-suster bagaimana cara bersikap dengan orang tua anak didik dan dengan orang-orang dari luar; bagaimana menyiapkan makanan, bagaimana mengatur keuangan, bagaimana mengucapkan doa Ibadat Harian, dan bagaimana membuat meditasi harian … Secara umum, bagaimana hidup sebagai seorang religius yang baik.

Mengenai makanan, para suster tersebut ragu-ragu apa yang harus mereka anjurkan. Terbiasa dengan gaya hidup yang berbeda, karena mereka tidak ingin memaksakan cara hidup mereka kepada siapapun, mereka merasa bahwa Maria sedikit berlebihan dalam hal praktek matiraga. Maria kelihatannya mau hidup hanya dengan udara saja!

Selama masa Puasa,” Maria mengakui, “saya hanya memuaskan rasa lapar saya pada hari Minggu.”

Suatu malam sewaktu rekreasi, Maria dan beberapa yang lain berjalan-jalan bersama dua orang suster St. Anna, ketika percakapan beralih kepada asal usul keluarga. Tanpa berkeinginan untuk melakukan hal-hal demikian, suster-suster St. Anna secara perlahan-lahan mengungkapkan bagaimana mereka berasal dari keluarga orang-orang kaya.

Maria mendengar semuanya ini tanpa berbicara satu kata pun. Hanya ketika suster-suster sudah selesai, dia duduk pada sebuah tempat yang begitu rendah sehingga dia kelihatan berada di bawah setiap orang.

Malangnya aku!” dia berkata. “Ayahku tidaklah lebih dari seorang buruh biasa dan kami begitu miskin sehingga dia dan ibu saya hampir tidak bisa menjaga kelangsungan hidup kami.”

Dia mengatakan semuanya itu,” komentar seseorang saksi, “dengan begitu sederhananya sehingga dia tidak menyinggung siapa pun, tetapi bahkan memperoleh simpati kami.”

Karena keduanya mempunyai tujuan yang serasi—yang seorang mengajar sebaik mungkin, yang lain belajar sebanyak yang ia bisa—hal itu menimbulkan suatu pengaturan yang menggembirakan dan menguntungkan.

Suster-suster St. Anna tinggal di sana sampai akhir September. Pada waktu itu mereka merasa bahwa komunitas sudah belajar sebanyak yang dapat mereka ajarkan kepada mereka. “Lagipula,” mereka berbicara kepada yang lain, “dengan seorang superior seperti Suster Maria, engkau tidak lagi membutuhkan kami.” Dengan komentar yang menyenangkan ini, mereka lalu pergi. Mereka telah memberikan kepada Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani sebuah arah, di mana selama mereka ada, akan memberi tanda pada kehidupannya.

Sekembalinya ke Turin, mereka melaporkan kepada Don Bosco hasil yang didapat setelah mereka tinggal di sana. “Suster Maria dapat melanjutkannya sendiri,” mereka mengakhiri. “Dengan segala kerendahan hatinya! … Wanita itu adalah orang kudus.”

11—Kisah Keluarga Sarbone



Suatu kisah yang dapat disebut “kisah keluarga Sorbone”, mirip dengan sejarah panggilan Theresa Mazzarello, yang dapat membantu menunjukkan iklim dan kondisi yang istimewa yang ada pada masa-masa awal, ketika segala hal dilakukan dengan kesederhanaan dan keterbukaan serta keintiman seperti yang dialami oleh para anggota komunitas.

Konstantinus Sorbone, sang ayah, adalah seorang tukang kayu dan sang ibu Louise seorang penjahit. Mereka mempunyai sembilan anak, dua orang meninggal saat masih kecil. Dari dua anak laki-lakinya, satu anak ketika masih muda sudah mengajar olahraga anggar di Sekolah Salesian, dan yang satu lagi menjadi Pastor di Gereja Bunda Maria Penyembuh di Genoa. Lima anak perempuannya semuanya menjadi suster Salesian!

Sejarah panggilan Enrichetta Sorbone, anak perempuan tertua mempunyai awal yang mengherankan.

Pada bulan Mei tahun 1873, ia mengingat—saya dan teman saya sedang berada di rumah bersama dengan dua orang saudari dari keluarga Rossi, yang mempunyai kakak seorang Salesian. Setelah kakak laki-lakinya datang, dia kemudian bercerita kepada kami tentang Don Bosco yang sangat terkenal; betapa kudusnya dia, bagaimana dia melakukan mukjizat-mukjizat dan lain-lain. Karena saya telah mendengar sesuatu tentang dia, saya berkata kepada diriku sendiri, betapa menyenangkannya untuk hidup begitu dekat dengan seorang santo yang hidup! Untuk bisa melihatnya saja sudah begitu senang.

Tiba-tiba Bruder Rossi memberitahukan, “Don Bosco akan datang ke Borgo San Martino. Datanglah dan saya akan memastikan bahwa kalian akan bertemu dengan dia.” Lalu dia berpaling kepadaku. “Engkau datang juga Enrichetta. Borgo tidaklah terlalu jauh dari sini !”

“Saya akan pergi ke Borgo? Ayah saya bahkan tidak mengizinkan saya pergi mengunjungi kakek saya!” Tetapi keinginan saya untuk melihat seorang santo terlalu kuat dan saya terus mendesak ayah saya sampai akhirnya dia mengizinkan.

Kami bertiga berangkat pada jam 3 pagi dan berjalan kaki ke Borgo di mana kami bisa menerima Komuni Kudus dan sarapan pagi. Kemudian kami pergi ke sekolah Salesian, kami tiba di sana hampir jam sebelas. Bruder Rossi mengajak kami berkeliling lalu membawa kami ke tempat di mana beberapa wanita tua sedang bekerja di ruangan kain linen. Saya mengira mereka semua adalah suster-suster dan sedikitpun mereka tidak menarik bagi saya.

Jam 11 ketika kami dibawa ke koridor, kami mendengar suara iringan pemain musik yang diikuti dengan kegaduhan besar. “Kau dapat melihat dia ketika dia lewat di sini,” kata bruder itu.

Dari tempat saya berdiri saya dapat melihat lapangan dipenuhi dengan orang-orang, beberapa berteriak, beberapa bersorak dan yang lainnya melemparkan topi ke udara. Hidup Don Bosco! Mereka berteriak berulang-ulang.

Don Bosco mendekati kami begitu pelan, karena ia tertahan oleh orang-orang yang mau melihatnya, berbicara dengannya, dan meminta berkatnya … Aku merasa terbawa emosi sesaat, dan bahkan sebelum dia sampai kepadaku aku sudah termangu-mangu. Tetapi saya tetap mengamati segalanya karena ingin melihat bagaimana tindakan seorang santo, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berjalan....

Setelah itu Don Bosco menatap langsung kepada saya. Ia bahkan menunjukkan jarinya kepada saya.

“Kamu akan pergi ke Mornerse,” ia berkata.

“Mornese?” saya gugup. “Apa itu Mornese?”

“Tempat yang indah.” Dengan merendahkan suaranya ia melanjutkan. “Kita akan makan malam sekarang, tetapi kita akan bertemu lagi kemudian.”

Pada siang harinya ia berkata kepada saya. “Siapa namamu?” ia bertanya kepada saya.

“Enrichetta Sorbone dari Monferrato.”

“Berapa umurmu?”

“Delapan belas tahun!”

“Apakah kamu ingin belajar?”

“Mau bilang apa? Mama menginginkan saya menjadi seorang guru. Tetapi ia meninggal, dan saya harus mengurus saudari-saudari saya yang masih kecil.”

“Engkau mempunyai berapa saudari kecil?”

“Empat saudari perempuan dan dua saudara laki-laki.”

“Dan engkau tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang biarawati?”

“Tidak, tetapi ibu memang telah menawarkan hidupnya, sehingga kami semua dapat membaktikan diri bagi Tuhan.”

“Bagus, bagus! Kita lihat nanti.” Ketika ia melihat saya seolah-olah mau mengatakan bahwa ia akan mengurus segalanya, saya menangis.”

“Don Bosco,” saya berkata, “pastor kami mengatakan pada saya, jika saya terus berkelakuan baik dan mengasuh saudari-saudari saya yang masih kecil, dia akan mengurus kami dan saya ... saya tidak ingin seperti ikan yang mengikuti dua arus.”

“Tidak apa-apa. Saya akan berbicara dengan pastormu.”

“Dan saudari-saudari kecil saya? Dan pastor saya?”

“Penyelenggaraan Ilahi akan mengurus mereka. Di Mornese kami mempunyai Institut Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani. Kamu dapat belajar dengan mereka.”

“Siapa mereka? Apakah mereka biarawati?” Saya langsung mengingat para wanita tua yang bekerja di ruangan linen. “Saya lebih suka ditemani suster-suster yang seperti saya lihat di dalam gambar-gambar kudus.”

Don Bosco tersenyum. “Suster-suster dari Mornese berdandan persis seperti itu. Ketika kau tiba di sana kau dapat belajar. Jika kau berhasil kau dapat bergabung dengan para suster dan melakukan banyak hal-hal baik.”

Dia mengambil sebuah kartu kecil berwarna biru di dalam kantungnya dan ia menulis sesuatu di atasnya lalu memberikannya pada saya.

Yang bertanda tangan di bawah ini—tertulis di sana—menyatakan menyetujui untuk menerima Enrichetta Sorbone dari Rosigno di antara Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani di Mornese. Mas kawin sebesar 1000 Frank Perancis dibebaskan, begitu juga biaya 30 Frank tiap bulan, asalkan dia membayar untuk tiga bulan pertama dan membawa sedikit pakaian-pakaiannya yang dia perlukan. Dia akan melapor kepada Pastor Dominik Pestarino, direktur institut di Mornese.

Borgo Sanmartino, 12 Mei 1873,

Pastor Johanes Bosco.

Enrichetta benar ketika ia berkata bahwa pastornya tidak akan suka bahwa Don Bosco akan mengurusnya. Ketika dia kembali ke rumah dan mengatakan hal itu kepada pastor itu segala sesuatu yang telah terjadi antara dia dan Don Bosco, pastor itu bereaksi keras.

“Jadi kamu mau melakukan hal-hal lain menurut kehendakmu sendiri,” katanya. “Ya sudah kalau begitu.”

Untuk menghindari supaya pastor itu tidak begitu kesal, ia mengundurkan jadwal keberangkatannya.

Ketika ia tidak muncul di Mornese, Pastor Pestarino, yang telah diberitahu tentang kedatangannya oleh Don Bosco, mengirim telegram untuk bertanya alasannya. Ketika menerima telegram itu, pastor itu mengalah dan memberikan berkatnya kepadanya.

Ketika Enrichetta dikirim dari Mornese ke Turin untuk belajar, dia sangat berhasil dalam belajarnya tetapi sekembalinya dari Turin, dia merasa telah kehilangan kesempatan untuk mengurus dan bekerja bagi saudari-saudari kecilnya. Maria melihat ada satu alasan lain yang membuat dia tidak bahagia. Ia mengatakan hal itu kepada pastor Cagliero, yang selalu bersikap hangat terhadap suster-suster, dan berkata bahwa dia akan mencari tahu. Ketika ia bertanya pada Enrichetta, dia mengaku bahwa ia rindu untuk berada dekat dengan adik-adiknya.

“Apakah kamu ingin membawa mereka ke Mornese?”

“O, ya, tentu saja pastor!”

“Jika saya membawa mereka kesini untuk tinggal bersama dengan kamu apakah kamu berjanji untuk menjadi seorang yang kudus?”

“Ya, ya pastor!”

“Benar-benar menjadi seorang kudus?”

“Ya nyata dan benar-benar kudus!”

Pastor Cagliero menepati janjinya dan berkata kepada Don Bosco yang menyetujui semua proposal itu. Dua bersaudari dari Enrichetta yaitu Marietta dan Angelica, segera membentuk sebuah kelompok yang akan mengadakan perjalanan panjang ke Mornese. Agar membuat perjalanan itu lebih mudah bagi anak-anaknya, sang ayah menyewa seekor keledai dan menempatkan mereka di atas punggungnya, satunya di atas sadel, dan yang lainya di dalam keranjang yang ditempatkan di samping sadel. Yang lainnya berjalan mengikuti di belakang keledai itu.

Ketika kedua saudari kecilnya itu melihat Enrichetta, mereka tidak dapat berkata-kata, karena alasan yang sederhana yaitu karena ia memakai jubah, sehingga mereka tidak mengenalinya. Semua hal itu menghibur semua orang sampai akhirnya mereka berlari menghampiri satu sama lain dengan banyak pelukan, ciuman dan air mata.

Anak-anak baru saja tiba ketika Enrichetta mulai merasakan was-was. Ia takut jika ia harus merawat saudarinya, mungkin ia menjadi terlalu terikat dengan mereka dan murid-muridnya yang lain mungkin merasa bahwa ia mengabaikan mereka.

Pada saat menghadapi masalah itu, dia berpaling kepada Maria. “Maukah Muder merawat mereka?”

“Tentu saja. Serahkan mereka kepada saya.”

Maria benar-benar merawat mereka dan sebagai pendahuluan ia memutuskan bahwa Angelica kecil itu terlalu lincah sehingga mungkin dia jatuh dari tempat tidur biasa. Ia menyiapkan sebuah tempat tidur dari bak kayu tua yang ia lapisi sekitarnya sehingga anak itu tidak akan jatuh dari tempat tidur.

Enrichetta memohon kepada Maria untuk mengasuh kedua saudari kecilnya. sebab dia sendiri benar-benar mengabdikan diri pada anak-anak yang menjadi tugasnya. Di dalam sekolah dan di luar sekolah, dia selalu ditemukan bersama anak-anak perempuan. Ketika harus memperkenalkan para postulan kepada cara hidup mereka, Maria akan dengan mudah menunjuk kepada Enrichetta dan berkata, “Lihat saja bagaimana Enricheta melakukannya.”

Anak-anak keluarga Sorbone memberikan lebih dari satu kejadian lucu bagi para penderma.

Selama masa natal, Suster Enrichetta telah mengizinkan anak-anak muridnya untuk menaruh sebagian permen-permen mereka di kaki kanak-kanak Yesus di palungan. Para malaikat yang akan membawa permen-permen itu ke surga untuk dipersembahkan kepada Yesus. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah salah seorang suster akan datang malam hari untuk mengambil hadiah-hadiah itu dan membagikannya ke anak-anak yang miskin di Oratori.

Suatu kali Angelica bertingkah laku yang kurang baik dan sebagai hukuman ia tidak diperbolehkan menaruh hadiahnya di kaki Kanak Yesus. Kemudian ia menangis, menghentak-hentakkan air mata, bertobat dan berjanji untuk memperbaiki diri dan akhirnya Angelica diperbolehkan untuk menaruh hadiahnya. Namun hal itu terjadi setelah anak-anak yang lain telah meletakkan hadiah mereka. Begitu terlambatnya, sehingga ia melihat seorang suster masuk dan dengan diam-diam mengambil hadiah yang dipersembahkan oleh anak-anak itu.

Angelica begitu terkejut. Jadi bukanlah seorang malaikat yang turun dari surga dan mengambil hadiah-hadiah itu! Itu hanya suster! Penemuan hal yang mengerikan itu menyebabkan air matanya mengalir dengan deras. Lalu dijelaskan kepadanya bahwa malaikat turun dan mengambil hadiah dari mereka yang baik dan bukan yang tidak baik. Hal ini membuatnya lega, berjanji untuk memperbaiki diri dan kembali tidur dengan suasana hati yang bahagia.

Angelica segera dikenal sebagai “si kecil tukang gosip” dari Mornese. Dia selalu siap menceritakan cerita yang menyenangkan bahkan jika hal itu tentang dirinya sendiri.

Ketika saya berumur tujuh tahun—ia bercerita kepada kami—Muder Maria bersikap seolah-olah dia menginginkan saya bertingkah laku dua kali umur saya. Suatu kali dia bertemu dengan saya setelah saya pergi ke pengakuan dosa.

“Apa penitensi imam yang diberikan kepadamu?” dia bertanya pada saya.

Saya baru saja hendak memberitahukan kepadanya ketika ia menaruh jarinya pada mulutnya. “Aha!” dia berkata. “Apa yang dikatakan saat pengakuan dosa haruslah tetap rahasia. Ingat itu!”

Pada kesempatan lain ia menemui saya saat keluar dari ruang makan.

“Makanan apa yang kamu makan?” dia bertanya pada saya.

“Kentang goreng!” saya segera menjawab. Kami semua suka kentang goreng!

“Anak yang rakus!” ia berkata. “Tidaklah baik untuk berbicara tentang apa yang kita makan di meja makan. Tidaklah baik juga untuk terus memikirkan apa yang akan kita makan.”

Lalu, ketika saya membantu memegang wool yang sedang dia rajut dan untuk membuat dia bekerja lebih cepat aku berusaha mengerakkan lenganku lebih cepat.

Muder menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu sudah berumur 7 tahun,” omelnya, “tetapi kamu masih belum mampu berpikir panjang.”

Bulan Juni 1875, si kecil Caesar Sorbone datang dengan ayahnya untuk mengunjungi keempat kakak perempuannya di Mornese. Dia adalah seorang anak yang begitu gembira sehingga dengan segera ia bisa merebut hati semua orang dan menghabiskan satu hari yang menyenangkan di Mornese.

Namun, pada akhirnya semuanya harus berakhir, dan ketika kunjungan itu selesai dan Papa Sorbone mulai mencari Caesar, tetapi dia tidak menemukannya. Tidak juga kakak-kakak perempuannya; begitu juga semua orang lain. Hari mulai malam dan masalah itu mulai menjadi serius. Lalu seorang suster datang dengan berita bahwa ia telah menemukan tempat Caesar berada.

“Bawa dia segera. Dia harus pergi pulang.”

Dia tidak akan datang. Dia ingin tinggal.”

Biar aku menjemputnya,” kata suster Enrichetta. Dia dan beberapa orang lain mengikuti suster yang telah menemukannya, hanya untuk menemukan dia yang menyembunyikan diri di kandang anjing!

“Keluar segera!” perintah suster Enricehtta.

“Tidak, saya ingin tinggal di sini.”

“Untuk apa?”

“Saya mau menjadi biarawati.”

Diperlukan sebuah bujukan dari semua suster untuk meyakinkan dia bahwa hanya anak perempuan yang dapat menjadi biarawati. Namun, mereka menghibur dia dengan berjanji bahwa bilamana dia besar, mereka akan mengirimnya ke oratori di Turin di mana dia dapat menjadi seorang imam.

Ketika akhirnya Papa Sorbone membawa Caesar ke oratori, ia sangat senang dengan sambutan yang ia terima dari para superior dan dari Don Bosco sendiri yang mengundang mereka makan bersama. Ketika Caesar diperkenalkan di meja, tingkah lakunya terus membuat Don Bosco dan para superior senang.

“Ayo kita lihat,” kata seseorang, “jika dia dapat menerka yang mana Don Bosco itu. Jika ia bisa, kita akan membiarkannya tinggal di sini.” Karena tertantang, Caesar memandang kepada setiap superior secara bergantian meskipun demikian pandangannya tidak berhenti pada Don Bosco, tetapi pada wajah tenang yang tersenyum dari Pastor Rua, Wakil Don Bosco.

“Itu dia,” dia berkata. Lalu mereka semua yang ada di situ tertawa keras.

Sementara itu, Don Bosco menyenderkan badannya pada Pastor Rua. “Ambil anak itu! Ia berbisik, “Ambil anak itu!” Dengan cara inilah seorang Sorborne yang lain masuk ke pangkuan Salesian.

Cerita tentang hubungan antara kuarga Sorbone dengan Mornese tidak berakhir sampai di sini. Angelina Sorbone adalah yang terakhir dari keluarga Sorbone yang mau tetap berada di luar lingkaran Salesian. Ketika kakak-kakak perempuan Angelina telah pergi ke Mornese mereka tidak hanya menaruh semua beban di atas pundaknya untuk mengurus rumah, tapi juga mengharuskannya untuk mengorbankan kesempatannya untuk belajar—suatu hal yang sangat ingin dia lakukan. Walaupun betapa kuatnya perasaan-perasaan yang timbul menyangkut hal itu, dia tidak pernah membiarkan orang lain mengetahui perasaannya, atau rasa ketertarikan untuk pergi ke Mornese. Bahkan sebuah undangan dari Maria pun tidak juga berhasil membuatnya pergi ke Mornese.

Akhirnya, pastor parokinya berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendorongnya mengunjungi kakak-kakaknya di Mornese.

Sesampainya di sana, ia menemukan bahwa ia dapat menikmati kehadiran kakak-kakaknya selama yang ia mau. Bahkan, karena Maria telah mengatur agar dia dan Enrichetta berbagi kamar yang sama, dia bisa tinggal lebih lama dari yang direncanakan. Hal ini memberi Enrichetta sebuah kesempatan untuk menunjukkan bahwa menjadi seorang suster tidak berarti kehilangan cinta untuk keluarga. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa ia semakin bisa mencintai Angelina.”

Angelina juga melihat bahwa kakaknya yang lain Suster Carolina mengalami kemajuan yang sangat baik dalam studinya di Mornese. Ketika dia diberitahu bahwa jika ia masih tetap ingin menjadi guru, dia juga dapat belajar di sana, dan akhirnya dia yakin bahwa, berlawanan dari apa yang telah dia dengar, Kongregasi justru mendorong para anggotanya untuk giat belajar. Harinya segera tiba ketika dia, seperti kakak-kakaknya yang lain, meminta untuk diizinkan bergabung.

Sementara itu, Papa Sorbone telah bergabung dengan Salesian dan hidup dengan mereka sampai dia mati pada umur 84 tahun.


Dua buah kejadian menunjukkan betapa baiknya Maria memahami karakter Enrichetta pada tahap-tahap pembinaan yang berbeda.

Ketika keluar dari Misa—cerita suster Enrichetta—adalah benar-benar godaan untuk bisa mencium polenta, pap atau chesnuts. Seseorang harus memutar jauh dari dapur supaya tidak kalah pada sedikit kerakusan! Dan ketika chesnuts disediakan di meja ruang makan ada juga dorongan cinta kepada matiraga untuk tidak makan satupun. Suatu kali ketika aku meninggalkan ruang makan sama seperti ketika aku masuk, yaitu tanpa memakan chestnuts itu, Muder, yang selalu jeli melihat segala sesuatu, melihat hal itu.

“Richetta, apakah chestnuts itu sangat enak?” dia bertanya kepada saya.

“Sangat enak!” saya menjawab.

“Apakah kau memakannya?”

“Mereka benar-benar hadiah yang begitu menyenangkan bagi anak-anak didik kita,” kataku.

“Saya bertanya kepadamu apakah kamu memakannya.”

“Sebenarnya, tidak ...”

“Baiklah; karena kamu adalah yang terkecil dibandingkan anak-anak didikmu, aku ingin kamu kembali ke ruang makan dan ... buon appetito!”

Ketika Maria kembali dari kunjungannya ke Rumah-Rumah, ia melihat bahwa suster Enrichetta belum juga sembuh dari sakitnya yang terakhir. Ketika ia memberitahunya untuk menyiapkan para siswa untuk pindah rumah ia ingin tahu bagaimana kondisi kesehatannya. “Apakah tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menyembuhkan sakit perutmu itu?”

“Jika aku menemukan obatnya,” adalah jawaban suster Enrichetta, “apakah kau akan mengizinkanku pergi ke Amerika?”

“Aku rasa tidak. Kau akan tinggal di sini bersamaku. Sementara itu, carilah apa yang dapat menyembuhkanku dan beritahukanlah aku.”

Keesokan paginya, ketika suster Enrichetta melewati dapur, ia langsung diserang oleh aroma yang mengiurkan dari kentang goreng. Mereka seolah-olah telah dipersiapkan secara khusus bagi dirinya dan bagi penyakitnya. Pada saat itu ia tidak bisa memikirkan obat yang lebih baik dan segera ketika ia bertemu Maria, ia memberitahukan hal itu. Maria memandangnya sebentar. Lalu ia tertawa terbahak-bahak. “Apa maksudmu, “makanan itu baik untukmu?” Itu hanyalah godaan kerakusan! Makanan itu tidak akan membantu perutmu. Kamu hanya akan makan apa yang mereka bawakan kepadamu dan tidak yang lainnya.”

Suster Enrichetta lalu ikut tertawa bersamanya. Maria telah memergokinya, ia sekarang tahu, pada saat ia lemah maka pelajaran itu akan terus diingatnya.


Pada saat kematian Maria Mazzarello, Enrichetta terpilih menjadi Wakil dari Muder General yang baru. Hal ini terjadi tanggal 12 Agustus 1881, dan dia tetap berada pada posisi itu selama 60 tahun! Tahun 1883, sambil menjabat Wakil, ia juga diberi tugas sebagai Mistres Novis. Kebijakannya adalah untuk selalu siap bagi siapapun dan ia telah menempelkan pada pintunya sebuah label yang mempunyai pesan, Venite a placebo, yang jika diterjemahkan berarti, “datanglah kapanpun yang engkau suka.” Ia menyamakan tugasnya sebagai Wakil dengan Simon dari Kirene; ia harus membantu Muder General membawa salibnya.

Ia banyak berkeliling atas nama Muder General dan seperti yang telah diramalkan Maria, ia dipilih sebagai Visitor-Extraordinary ke Amerika Selatan. Hal ini berarti menjelajahi benua yang luas itu pada saat kondisi perjalanan begitu sulit sehingga lebih dari satu kali nyawanya berada dalam bahaya.

Pada perjalanan pulang ia terus melintasi Italia dan melewati Eropa. Perjalanannya yang terakhir adalah ke Inggris pada bulan Juni 1925. Tahun 1937 ia mengusulkan sebuah petisi pada rektor Mayor Salesian untuk memilih seseorang lain untuk menggantikan posisinya sebagai Wakil, tapi suatu keputusan khusus dari Tahta Suci tertanggal 9 November 1938, memutuskan bahwa ia harus meneruskan jabatan itu dengan bantuan seorang asisten. Muder Enrichetta meninggal dunia di Nizza Monferrato pada tanggal 14 juli 1942.

Ketika Angelica mencapai usia 16 tahun, ia meminta untuk diterima di dalam kongregasi di mana ketiga kakak perempuannya telah diterima. Ia membuat kaulnya tanggal 22 Agustus 1886, dan pergi ke Argentina pada tanggal 28 Desember 1889. “Si tukang gosip kecil” menjadi superior di Bahia Blanca tahun 1910, dan setelah menjadi pimpinan di beberapa rumah, dia diangkat menjadi Mistress Novis, lalu menjadi provinsial Chile. Setelah menjadi provinsial di wilayah Patagonia yang sulit, ia pensiun dari kehidupan Salesian yang aktif di Buenos Aires dan meninggal di Italia tanggal 23 Oktober 1954.

12—Kerugian Dan Keuntungan



Muder Maria,” tulis seorang anggota di masa awal berdirinya kongregasi, “dikaruniai bakat yang istimewa untuk dapat memimpin dengan kekuatan dan kelemah-lembutan dan pada saat yang sama dengan keteguhan dan kebaikan.”

Dia memerintah melalui perbuatan bukan dengan perkataan,” yang lain mengatakan. “Dia mampu menarik para suster, tanpa sedikitpun memaksa, untuk mempraktekkan kebajikan-kebajikan dengan cara yang luar biasa.”

Tampaknya Maria tetap menganggap rendah dirinya sendiri karena ia masih menunggu dengan cemas seorang superior yang dijanjikan Don Bosco sehingga kapanpun ada seorang postulan yang datang dengan bekal pendidikan yang baik, ia menganggap bahwa inilah orang itu dan memberinya begitu banyak perhatian dan rasa hormat.

Aku ingin kalian semua siap sedia menyambut superior baru kita ketika dia datang,” ulangnya seringkali. “Kalian butuh seseorang yang berpendidikan, seseorang yang tahu bagaimana berurusan dengan orang-orang, dan saya memang benar-benar tidak dapat melakukannya!”

Kecemasan yang terus berlanjut dalam menunggu kedatangan superior baru memberikan beberapa kejadian yang menghibur atau yang tidak menghibur bagi komunitas.

Apa yang membuat semua ini mungkin adalah kenyataan bahwa Pastor Pestarino, seturut kehendak Don Bosco menghindari campur tangan dalam urusan internal mereka.

Beberapa kejadian ini terjadi setelah kedatangan Signora Maria Blengini ke dalam komunitas.

Signora Blengini merupakan seorang janda dari salah seorang penderma Don Bosco, yang menawarkan diri untuk membantu Don Bosco lewat cara apapun yang ia bisa. Karena ia telah dididik di salah satu sekolah biara terbaik di Turin, Don Bosco mengusulkan bahwa ia mungkin mampu memberi saran dan bimbingan kepada Maria dan komunitasnya.

Dengan tujuan baik, Beligni menerima undangan ini sebagai suatu tantangan. Menimbang pendidikannya dan pengalamannya selama dalam biara, ia yakin bahwa ia mampu memberi bantuan kepada para suster secara umum dan secara khusus pada superior mereka yang tidak berpengalaman.

Maria adalah orang pertama yang meletakkan dirinya di bawah ketaatan kepada superior yang baru dan tidak dikenal ini,” kata Suster Emelia Mosca. “Dia menerima posisi terendah, tidak mencari apapun kecuali kemuliaan Tuhan, kebaikan institusi dan keselamatan jiwa-jiwa.” Menurutnya, ketika Beligni tiba, kemiskinan di komunitas itu adalah sesuatu yang lebih mudah dibayangkan daripada dilukiskan.

Makanan sedikit dan gizinya rendah,” tulis seorang yang lain. tapi kerjanya berat karena kami harus mencari nafkah sehari-hari dan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lainnya. Terlebih lagi, para suster telah didorong untuk mempraktikkan kemiskinan seperti ini oleh Don Bosco dan telah meyakinkan kami bahwa kami akan dapat melakukan hal-hal yang besar jika kami tetap miskin, sederhana dan bermatiraga. Hal ini, ditambah dengan teladan dari suster Maria yang tampaknya tidak merasakan kebutuhan untuk makan, membantu kami untuk tidak begitu merasakan perihnya perut akibat rasa lapar. Di saat sarapan pagi kami tidak makan apa-apa kecuali sepotong roti dan pada saat malam semangkuk sup dan sedikit buah. Daging disingkirkan dari meja dan hanya dihidangkan pada saat pesta-pesta besar sehingga memberikan kami bahan untuk dibicarakan. Anggur tidak pernah ada sehingga tidak pernah terpikirkan oleh kami. Namun tidak seorangpun pernah mengeluh dan tidak seorangpun pernah jatuh sakit, walaupun ada beberapa di antara kami yang tubuhnya lemah dan terbiasa dengan makanan yang lebih baik. Kami semua menikmati kesehatan yang baik dan tidak seorang pun dari kami mau menukar gaya hidup kami dengan kehidupan seorang ratu!”

Betapa seringnya Suster Maria akan mengkuatirkan apa yang akan kami makan saat sarapan pagi!” tulis orang yang ketiga. “Kami hampir tidak memiliki apa-apa di rumah. Pada masa itu kami hanya mengambil sepotong roti dan mencelupkannya di air sehingga roti itu bengkak dan menjadi lebih besar. Pernah suatu kali kami sarapan pagi hanya dengan bawang yang digoreng. Kemiskinan kami hampir mendekati kesengsaraan total tapi tidak pernah ada yang mengeluh.”

Blengini datang ke komunitas ini bersama seorang wanita pembantu dari Turin. Sebagai awal, ia meminta kamar pribadi dan makanan spesial yang dihidangkan di kamarnya. Segera setelah ia dapat melihat keadaan hidup para suster dan terutama tentang makanannya yang kurang bergizi, ia dengan segera menulis surat kepada Don Bosco agar dia membeli sapi agar dapat menyediakan susu untuk mereka.

Para Suster St. Anna juga merasakan bahwa diet makanan di Mornese terlalu keras dan praktik matiraganya terlalu parah, tapi tidak mempertimbangkannya sebagai kewajiban mereka untuk memberitahukan Don Bosco tentang pendapat mereka itu.

Kematian suster Maria Poggio yang belum waktunya, memaksa Maria mempertimbangkan apakah pengamatan Blengini akan makanan yang tidak cukup itu memang benar. Setelah berkonsultasi dengan Pastor Pestarino, susu yang sedikit disediakan bagi mereka yang sedang merasa kurang sehat atau mereka yang tidak terbiasa terhadap cuaca yang cukup dingin atau terhadap cara hidup yang keras seperti itu. Karena hal ini belum benar-benar menghilangkan rasa takutnya, dia berpikir bahwa barangkali kopi susu saat sarapan pagi, bisa menjadi solusi yang terbaik. Pada waktu itu, kopi susu, dianggap sebagai minuman yang sangat bergizi.

Beberapa minggu yang lalu,” kata Pastor Pestarino menulis, “Suster Maria menanyakan saya jika kopi susu dapat ditambahkan untuk sarapan pagi karena beberapa orang yang sudah terbiasa dengan hal ini mungkin menderita jika hal ini tidak ada.” Dia menerima usulan ini. Suster akan menghidangkan kopi susu saat sarapan pagi. Dengan keputusan itu sepertinya hal itu selesai, tetapi para suster yang mengajar dan kemudian beberapa suster yang lain mengatakan bahwa mereka tidak membutuhkan kopi susu, bahwa mereka cukup sehat, dan sebaiknya Suster Maria menyediakan polenta dan chestnuts untuk sarapan pagi, karena lebih bergizi dan lebih murah dan baik untuk semua orang. Oleh karena keberatan-keberatan itu, hal kopi susu itu pun berakhir.

Ketika Don Bosco menerima surat dari suster yang berisi bahwa mereka tidak terlalu berkeinginan sarapan pagi dengan kopi susu, karena merasa sudah cukup tanpanya, Don Bosco mengirim jawabannya yang dibacakan oleh Maria kepada Komunitas. Selagi Don Bosco merasa senang melihat komunitas yang begitu bersemangat hidup bermatiraga, tetapi dia masih ingin melihat lagi bahwa mereka sarapan pagi dengan kopi susu.

Kalau begitu kita akan tetap minum kopi susu!” Maria memutuskan. “Dan keputusan ini mengharuskan semua orang. Bahkan, jika Don Bosco ingin kita sarapan pagi dengan makan ayam, kita akan melakukannya. Kita memang miskin namun Penyelenggaraan Ilahi akan mengurus segala-galanya.”

Sekarang para suster mulai bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menggabungkan dan menyatukan cinta mereka terhadap kemiskinan dan matiraga dengan semangat ketaatan. Untuk memecahkan dilema itu, mereka mengambil susu dari sapi, mengaduknya untuk membuat mentega dan memberikan mentega tersebut kepada suster-suster yang memerlukan gizi tambahan.

Namun, Blengini masih belum puas. Sekarang, setelah ia yakin bahwa ia diilhami Tuhan, yakin juga bahwa Don Bosco mendirikan kongregasi dengan dasar yang terlalu sederhana, dia memutuskan untuk memperkenalkan perubahan-perubahan lain mengenai cara hidup para suster.

Saran-saran perubahan ini menimbulkan gangguan-gangguan. Selagi para suster tidak mau terlihat tidak taat, mereka berpikir bahwa apa yang disarankan Blengini tidak sesuai dengan apa yang Don Bosco inginkan. Sebaliknya, Maria merasa bahwa mereka harus taat. Dia sudah berkeberatan akan perubahan pada jubah dan banyaknya doa-doa yang disuruhkan oleh Blengini, tapi ketika Blengini memaksa akhirnya Maria menaatinya.

Beberapa bulan kemudian, Blengini pergi ke Turin dan setelah memberikan gambaran kepada Don Bosco tentang perubahan yang telah dilakukannya, mengusulkan beberapa perubahan lain. Don bosco menunjukkan bahwa ia menginginkan para suster dapat berkarya untuk anak-anak muda, untuk memiliki semangat kesalehan yang sederhana dan wajar tapi berbeda jauh dari konsep kebiaraan yang Blengini pikirkan. Setelah mendengarkan keberatan Blengini dan menyimpulkan bahwa dia tidak akan menuruti sarannya, Don Bosco meminta Pastor Cagliero untuk mengunjungi Blengini dan mengucapkan terima kasih atas pelayanannya selama ini.

Hal ini begitu mengejutkan dan mengesalkan Blengini sehingga ia kembali menemui Don Bosco untuk memaksakan perubahan-perubahan yang telah ia usulkan. Ketika Don Bosco tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurut, dia mengancam Don Bosco bahwa mungkin dia tidak akan kembali ke Mornese. Ketika tidak ada satu usaha dari seorangpun untuk menghalangi maksudnya ini, dia merasa kesal.

Tetapi apa yang akan terjadi dengan komunitas itu?” dia bertanya kepada Pastor Cagliero. “Siapa yang akan jadi pemimpin mereka? Siapa yang akan membentuk mereka supaya bisa mengikuti semangat religius yang benar?”

Don Bosco berpendapat bahwa Mazzrello mampu melakukan hal itu.”

Mazzarello,” kata Blengini dengan nada menghina. ”Dia seorang wanita yang baik dan kudus tetapi ia tidak pernah mendapat pelatihan apapun! Ia benar-benar tidak pernah mengenyam pendidikan!”

Tepat dengan yang diinginkan Don Bosco,” jawab Pastor Cagliero. “Dia merupakan sebuah alat yang sempurna di tangan Penyelenggaraan Ilahi dan akan melakukan hal-hal besar …”

Kemudian Pastor Cagliero menulis surat kepada Maria atas nama Don Bosco bahwa Blengini tidak akan kembali lagi dan menunjuk Maria menjadi pemimpin. Karena sangat gembira atas perubahan peristiwa ini, para suster mulai memanggil Maria sebagai Muder untuk pertama kali!

Namun, hal ini tidak begitu menyenangkan untuk Maria, dan dia menulis surat kepada Pastor Cagliero: “Surat ini saya tulis kepadamu karena saya tidak berani untuk menulis kepada Don Bosco karena surat ini penuh dengan kesalahan. Di dalam surat yang terdiri dari banyak kata-kata ini, saya mau memberitahukan bahwa saya tidak mampu bertindak sebagai pemimpin seperti yang diinginan Don Bosco. Kamu dapat menilai hal itu dari surat ini di mana saya ragu untuk mengirimkannya padamu. Pendidikanku, tulisan tanganku, tulisan cakar ayam, kesalahan dalam tata bahasa … hal-hal ini menunjukkan kebodohan seorang wanita petani. Saya bahkan tidak mampu menyusun pikiran saya untuk dilaporkan kepada Superior! Beritahukanlah Don Bosco bahwa saya tidak mampu mengarahkan diriku sendiri apalagi mengarahkan orang lain…”

Walaupun ada protes dari Maria ini, Pastor Cagliero menulis kembali atas nama Don Bosco bahwa Maria harus melanjutkan tugasnya, dengan menaruh iman yang besar kepada Tuhan, karena jiwa-jiwa yang paling rendah hatilah yang pasti memperoleh rahmat dan berkat Tuhan untuk mempermalukan orang-orang yang bijak.

Masih berharap untuk dibebaskan dari tugasnya, Maria memohon kepada semua orang mulai dari Don Bosco sampai Pastor Pestarino, mencoba meyakinkan mereka bahwa dia bukanlah orang yang cocok untuk posisi tersebut. Satu-satunya cara untuk menenangkan Maria adalah dengan meyakinkannya, seperti yang dilakukan Don Bosco, bahwa ia mencari seseorang yang mampu menjadi, bukan lebih bijaksana, tapi yang lebih taat dan lebih rendah hati. Masalahnya adalah dengan para superior yang lebih berpendidikan tapi tidak begitu taat, Don Bosco merasa kesulitan untuk menanamkan semangat yang ia inginkan ke dalam kongregasi muda ini.

Setidaknya dengan gelar Muder, Maria bisa melakukan sesuaatu sesuai dengan kehendaknya. Ia memprotes bahwa ia tidak ingin dipanggil Muder, dan ia juga tidak bisa memanggil yang lain sebagai Puteriku.

Karena ia terus mendesak Pastor Pestarino agar membujuk Don Bosco untuk menemukan pemimpin yang lebih mampu, dia berjanji bahwa dia akan menulis surat lagi kepada Don Bosco. Ketika dia akhirnya menulis sebuah surat, hal itu hanya untuk memberitahukan kepada Don Bosco betapa kerja keras, sederhana, dan taatnya Maria dan betapa ia dicintai oleh para Suster.

Sebagai balasannya, Don Bosco mengirim kepada Pastor Pestarino sebuah catatan singkat untuk diteruskan kepada komunitas. “Bapa Suci sendiri yang memberikannya kepadaku untuk mereka,” ucap Don Bosco. “Dan Dia meyakinkan saya bahwa jika komunitas mematuhi petunjuk-petunjuk ini maka kongregasi akan berkembang.”

Catatan singkat itu terdiri atas 5 hal:

1. Keseragaman dalam makanan

2. Keseragaman dalam pakaian

3. Keseragaman dalam izin

4. Menghindari pengecualian

5. Ketaatan pada peraturan

Ketika Don Bosco menjelaskan kepada Bapa Suci bahwa mungkin tidak semua orang dapat mematuhi keseragaman, Bapa Suci menjawab, “Ketika ada keperluan dan situasi yang menuntut hal itu, biarlah superior memberikan dispensasi, selalu dengan cinta kasih dan kebijaksanaan.” Para suster begitu gembira dengan pesan singkat itu, sehingga supaya mereka mudah mengingatnya maka dipakunya ke pintu rumah.

Pada Bulan Maret 1874, Don Bosco mengirim Pastor Cagliero untuk memberikan retret selama 3 hari untuk para suster dan para murid mereka—sebuah praktek yang akan menjadi tradisi di masa depan 3 hari menjelang libur Paskah.

Sebelum Pastor Cagliero meninggalkan mereka, Maria memohon lagi kepada dia sambil berlutut untuk mempertimbangkan lagi kedudukannya, memohon kepadanya untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membujuk Don Bosco agar mencari seseorang yang lain untuk memimpin komunitas dan membebaskannya dari tugas itu.

Mengetahui sekarang betapa sia-sialah meyakinkan Maria bahwa dia adalah orang yang tepat untuk posisi itu, Pastor Cagliero akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri permohonan Maria.

Kamu terus memberitahuku bahwa kau tidak mengetahui apa-apa,” katanya. “Mari kita lihat, apakah kamu tahu misteri Iman kita yang suci?”

Siapa yang tidak tahu?”

Baik, sejauh yang Don Bosco pedulikan, untuk menjadi seorang superior hanya itulah yang cukup kamu ketahui—hanya hal itu dan ditambah dengan kepastian bahwa kau akan tetap taat.”


Setelah kunjungan para Suster St. Anna dan setelah menyelesaikan masalah Blengini, hidup di Mornese menjadi lebih lancar. Tibalah saatnya Pesta Kebangkitan pada tahun 1874, dimana mereka semua terlihat menikmati musik yang disusun oleh Pastor Cagliero dan untuk pertama kalinya mereka menyanyikan Misa. Sayang sekali, tiba-tiba duka cita meliputi mereka.

Pada pagi hari selanjutnya, Pastor Pestarino memulai novena untuk menghormati Pentakosta dan Maria Penolong Umat Kristiani. Setelah misa, seperti kebiasaannya, dia membaca meditasi yang kali ini bertema kematian, dan membacanya dengan perasaan yang begitu mendalam sehingga para suster terharu. Da mengucapkan Benediction, mendengar pengakuan dosa dan menghadiri sebuah rapat dewan desa, lalu dari sana dia pergi berkunjung ke tukang kayu setempat. Saat mendiskusikan masalah bisnis dengan dia, dia mengeluh bahwa dia tidak merasa begitu sehat dan segera dibawa pulang dan beristirahat di tempat tidur. Keponakan laki-lakinya mengirim surat kepada suster, dan kepada bapaknya yang adalah seorang doktor untuk datang secepatnya. Ketika dokter itu datang, ia segera mendiagnosa penyakit itu sebagai apoplexy (ayan) dan memberi pengobatan yang umum: lintah ditaruh di belakang kuping kiri, es di kepala dan kompresan mustard di kakinya. Kemudian, dokter kedua tiba dan ia menyetujui cara pengobatan ini.

Kondisinya begitu cepat memburuk, sehingga ketika Maria sampai, dia hampir tidak dapat mengenalinya.

Dimana para suster yang lain dan anak-anak?” dia ingin tahu. Dia sudah mulai kehilangan tenaga untuk berbicara.

Mereka berdoa di gereja untukmu”.

Bagus! Teruskan hal itu! Percayalah kepada Tuhan!” itulah kata-kata terakhirnya.

Dia dengan segera dikelilingi oleh orang-orang yang perhatian terhadap dia, termasuk pastor, notaris umum dan beberapa imam yang lain dari daerah itu. Pada tanggal 16 Agustus 1874 darahnya dikeluarkan lagi dan ketika hal ini selesai, pada jam 3 sore dia menarik nafas panjang yang berat kemudian memberikan jiwanya kepada Tuhan. Meskipun kematiannya terjadi secara tiba-tiba, tetapi dia sudah siap untuk hal itu. Mengenai barang-barang miliknya, dia telah membuat surat warisan dua minggu sebelumnya, memberikan semua yang ia miliki kepada Don Bosco; jiwanya selalu siap untuk bertemu dengan sang Penciptanya.

Sewaktu kedatangannya di Mornese tahun 1847, dia telah meminta kepada kawanan umatnya yang kecil “kerja-kerja yang merupakan tugasnya,” ia tidak mungkin tahu kerja apa yang direncanakan Tuhan untuknya. Selalu dilukiskan dengan hal-hal kecil—mereka memanggil dia previn atau pastor kecil—kerjanya dibatasi oleh batasan desa yang tersembunyi oleh bukit-bukit. Adalah kebiasaannya untuk mempersembahkan dirinya kepada Tuhan, dan membuka dirinya sebagai saluran untuk rahmat yang telah memberinya perbedaan. Tidak membutuhkan alat yang hebat untuk melakukan kehendaknya, Tuhan mencari seseorang yang mau bekerjasama dengan rahmat-Nya dan Ia menemukan Pastor Pestarino.

Walaupun pastor Pestarino tidak mencari kehormatan, ia tidak bisa tidak bergembira atas kesuksesan yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Ia telah datang kepada komunitas yang terdiri dari jiwa-jiwa yang imannya telah dihimpit oleh Jansenisme, namun ia mendengar uskup Aqcui menggambarkan Mornese sebagai “kebun keuskupanku”. Don Bosco sendiri pada satu kesempatan menyebut Mornese “sebuah desa yang menyerupai sebuah komunitas orang-orang yang dikuduskan untuk Tuhan dalam Kesalehan, Kemurahan hati, dan Semangat,” dan pada kesempatan lain Don Bosco berkata, “surga di dunia dari Provinsi Acqui”. “Untuk mengubah desa ini menjadi biara, yang harus mereka lakukan hanyalah membangun tembok di sekelilingnya!”

Para ahli sejarah di masa depan belum memberikan banyak informasi tentang Pastor Pestarino dan bagian penting yang dia mainkan dalam persiapan dan penembangan institut yang nanti menjadi Kongregasi Maria Penolong Umat Kristiani di kemudian hari. Jika Don Bosco memang memberi sentuhan akhir kepada karya seni yang hebat ini, mungkin hal itu tidak terlalu banyak karena Pastor Pestarino telah melakukan persiapannya dengan baik.

Ketika Pastor Pestarino telah tiba di Mornese, dia menemukan banyak gadis muda setempat yang tidak bercita-cita lebih besar daripada memiliki masa depan yang lebih baik dalam batasan-batasan desa kecil mereka. Selama seperempat abad dia telah bekerja dengan gadis-gadis ini, dengan sabar dan tekun, membimbing mereka, membentuk mereka dan menyemangati mereka. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak kali mereka mengecewakan dia, membuatnya frustasi dan bahkan menyakitinya. Tetapi dia berdoa, bermatiraga dan mengorbankan dirinya dan memperoleh penghiburan—yang jarang Tuhan berikan kepada para santo-Nya—dengan melihat bahwa karya-Nya telah diserahkan ke tangan seorang ahli, didirikan dengan kuat dan yang selalu siap melakukan banyak hal besar demi kemuliaan Tuhan.

Jika kematiannya menutup sebuah periode dalam kehidupan kongregasi yang muda ini, ingatan akan dia akan selalu ada di antara mereka sejauh mereka menghayati “semangat dari Mornese”.

Para suster memang sungguh sedih atas kematian Pastor Pestarino. Tidaklah mungkin melupakan ramalan-ramalan lokal akan kehancuran hubungan antara kematian Pastor Pestarino dan masa depan kongregasi: Bahwa para suster hanya akan mampu tetap ada jika Pastor Pestarino ada di sana membantu mereka dengan membayar tagihan-tagihan. Beberapa suster memang merasakan bahwa kelanjutan keberadaan mereka dapat diragukan. Hal ini terjadi walaupun ketika Don Bosco tiba dan merayakan Misa bulanan, dia mengaku heran melihat bagaimana jumlah mereka meningkat setelah kunjungan terakhirnya.

Pastor Costamagna, apakah engkau mau pergi ke Mornese?”

Untuk apa? Untuk mati?”

Jika hal itu akan menyenangkan Tuhan. Untuk saat ini kau masih punya banyak pertempuran untuk dijalani untuk-Nya. Apa yang kamu pikirkan jika saya mengirimkan kamu ke sana sebagai Pembimbing Rohani?”

Jika kamu berpikir saya harus pergi, maka saya pun berpikir demikian.”

Pembicaran ini terjadi antara Don Bosco dengan Pastor Costamagna dan ucapan Pastor Costamagna mengenai kematian bukanlah hanya ucapan yang sembarangan. Jumlah kematian yang terjadi baru-baru ini di Mornese cukup besar.

Setelah kematian Pastor Pestarino, Don Bosco, karena tidak ingin membiarkan para suster tanpa seseorang yang dapat menghibur mereka atas kehilangan Pastor Pestarino dan untuk terus mengatur mereka, segera mengirimkan Pastor Joseph Cagliero. Sayang sekali, dia juga, menjadi sakit dan meninggal setelah 2 bulan di sana, dan untuk sementara waktu digantikan oleh Pastor Yohanes Garino. Pilihan akhir Don Bosco untuk posisi yang penting ini adalah Pastor James Costamagna, seorang guru di sekolah Salesian di Lanzo, yang tiba di Mornese pada 6 November 1874.

James Costamagna masuk ke oratori Don Bosco tahun 1858 dan kemudian dikirim sebagai frater bukan Salesian beserta dengan beberapa orang yang lainnya untuk membuka sekolah di Lanzo tahun 1859. Tahun 1868 dia ditahbiskan. Lebih suka mengikuti suara hatinya, dermawan, setia, penuh semangat, kurang pengalaman, namun pada saat yang sama penuh kerendahan hati, dia selalu memperoleh kepercayaan dari Don Bosco yang telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dia akan menjadi uskup. Don Bosco sering mengajaknya untuk mengikutinya dalam beberapa perjalanan dan ini memungkinkan Costamagna untuk menyaksikan lebih dari satu mukjizat yang telah dilakukan Don Bosco.

Ini bukan yang pertama kali Pastor Costamagna harus ke Mornese, sebelumnya sebagai seorang frater dia pernah mendampingi kelompoknya berkunjung ke sana tahun 1864 dan bersama Pastor Josep Fagnano, Don Bosco telah memintanya pergi ke Mornese untuk merayakan Misa Pertama mereka. Mereka tiba hari Minggu pagi tanggal 20 September 1868, atau jika tidak, mereka tiba sebelum tengah malam dengan berjalan kaki! Tetapi karena mereka masih muda mereka tidak merasa terlalu lelah dan pada keesokan harinya berhasil membuat semua orang bahagia. Pastor Fagnano merayakan misanya di gereja paroki dan Pastor Costamagna merayakan misanya di kapel sekolahan. Karena sifat keterbukaan dan semangatnya, Pastor Costamagna segera menjadi terkenal baik di antara para pastor maupun juga orang-orang yang lain. Dia juga menjadi sasaran beberapa lelucon yang ia terima dengan baik.

Kunjungannya yang selanjutnya ke Mornese adalah untuk membantu Misa Pertama Pastor Joseph Pestarino, keponakan laki-laki Pastor Pestarino, pada 8 Mei 1870. Pada kesempatan itu ia bermain organ sewaktu misa dan pada saat makan malam dia menyanyikan lagu gubahannya sendiri, juga menjadi sasaran beberapa lelucon. Lelucon yang terakhir ia terima terjadi saat ia pergi berangkat naik kereta kuda dengan Don Bosco. Rosalia Pestarino, keponakan perempuan Pastor Pestarino, memberikan kepadanya satu paket karamel untuk perjalanan. Hanya setelah ia membuka salah satu karamel tersebut, barulah ia sadar bahwa itu bukan karamel melainkan potongan batubara!

Meskipun demikian, pilihan Don Bosco terhadap Pastor Costamagna untuk posisi Pembimbing Rohani bagi para suster ini menimbulkan beberapa pertanyaan muncul. Sampai saat ini mereka telah terbiasa dengan cara-cara Pastor Pestarino. Dia memang tegas dan tidak main-main jika menyangkut ketaatan religius, namun dia adalah seorang yang lemah lembut dan selalu berhati-hati agar tidak melukai hati seseorang atau pun memperlakukan mereka dengan buruk. Pastor Costamagna, untuk tidak berkata kasar, tidak terlihat sebagai seseorang yang mampu berhubungan dengan pengarahan sebuah komunitas biarawati. Walaupun dia sangat religius, dia adalah manusia yang suka beraksi, kasar dan berterus terang, tidak menyerah kalau hal itu menyangkut mempertahankan prinsip atau perkataan yang dia pikir harus dikatakan walaupun hal itu dapat mengakibatkan rasa sakit hati.

Apakah maksud Don Bosco adalah untuk mengetes kerendahan hati dan ketaatan mereka? Atau apakah hanya karena dia tahu bahwa hanya seseorang dengan sifat-sifat seperti Pastor Costamagna-lah yang dapat menanggung hidup yang menuntut, bermatiraga dan penuh pengorbanan diri seperti yang dijalani oleh komunitas di Mornese?

Apapun tujuannya, ketika Pastor Costamagna baru tiba, ia mulai mengatur jam pelajaran yang tetap bagi para suster. Ia juga tidak puas hanya dengan mengatakan kepada suster bahwa mereka akan mengajar. Untuk menunjukkan kepada mereka caranya, ia sendiri banyak mengambil jam mengajar. Ia juga tidak membatasi dirinya di dalam ruangan kelas atau altar tetapi ketika dibutuhkan dia akan bekerja dengan para suster dalam kerja harian, mengangkat adukan semen dan batu ketika sedang membangun sebuah gedung. Karena ia juga seorang pemusik dan pembuat puisi, ia meminta siapa saja dari para suster yang memiliki bakat untuk menggunakannya sehingga menjadikan oratori menjadi sebuah tempat yang lebih menarik bagi mereka sendiri dan untuk anak-anak.

Dengan Pastor Costamagna, Maria taat terhadap dia seperti terhadap para pendahulunya, dan tidak pernah lelah berterima kasih kepadanya akan apa yang telah ia lakukan untuk komunitas itu.

Ketaatan terhadapnya juga didorong oleh kenyataan bahwa dia mewakili Don Bosco, dan untuk Don Bosco, Maria menghormatinya tanpa batas. Ia senang menarik perhatian para suster yang lain kepada kualitas-kualitasnya yang jarang, memberitahu mereka bahwa mereka harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa mereka pantas untuk dipimpin oleh seorang pemimpin seperti dia.

Lihatlah dia!”dia sering berkata. “Betapa kudusnya dia! Dan lihatlah diri kita sendiri, penuh dengan kekurangan! Celakalah kita jika kita tidak berusaha menjadi seperti dia!”

Kadang-kadang,” kata Suster Pacotto, “saya menemani dia mengunjungi Pastor Costamagna.” “Suster macam apakah kita ini?” dia berseru ketika sedang berjalan “Kita bahkan tidak tahu bagaimana cara bertemu dengan orang lain!” Ketika dia telah mengatakan hal ini, wajahnya memerah kemudian ia menertawakan dirinya sendiri.

Sikap Maria terhadap kepribadian yang kuat itu menjadi seimbang antara rasa hormat terhadap kekuasaan Pastor Costamagna dan rasa hormat terhadap kekuasaanya sendiri. Ada saat di mana dia akan berlutut di depan Pastor Costamagna dan ada saat di mana dia akan secara hormat menentangnya dan akhirnya ada saat di mana dia akan menggunakan tipu daya yang sederhana agar menghindari konfrontasi yang tidak perlu.

Sadar bahwa kadang-kadang Pastor Costamagna bersikap terlalu keras kepada para suster, kadang-kadang ia berusaha melindungi mereka dari koreksinya. Seorang suster muda memiliki watak yang begitu riang sehingga Maria mengizinkan dia untuk sesekali meninggalkan tempat kursus dan bermain ayunan. Sayangnya, hal itu terjadi sewaktu Pastor Costamagna datang untuk memanggil suster muda tersebut untuk latihan paduan suara.

Menyadari hal ini, Maria pergi ke luar dan diam-diam memanggil suster tersebut, memperingatinya bahwa Pastor Costamagna datang mencarinya dan jika dia menemukannya meninggalkan tempat kursus untuk main ayunan, dia pasti berkomentar tentang hal itu.

Tetap di belakangku supaya dia tidak melihatmu,” kata Maria. “Ketika kita masuk ke tempat kursus berjalanlah dekat denganku sehingga kau tidak akan diperhatikan untuk beberapa saat. Dengan cara ini mereka masuk ke dalam tempat kursus tanpa menarik perhatian siapapun.

Pastor Costamagna sekarang muncul. “Di mana setan kecil itu?” dia berseru.

Dia ada di sini semenit yang lalu,” kata Maria. Sementara itu, suster tersebut menunduk cukup rendah di belakang Maria, sehingga Pastor Costamagna tidak melihatnya.

Sekarang, lompatlah dan kejutkan dia,” kata Maria.

Suster tersebut melakukannya dan melambaikan tangannya untuk menarik perhatian Pastor Costamagna.”Saya di sini!” dia berseru. “Tidakkah kamu dapat melihatku?”

Ketika Suster Louise meninggal, Maria dan beberapa suster lainnya mempersiapkan pemakamannya. Bahkan ketika mereka harus bekerja, Maria dan para suster berusaha mematuhi sebaik-baiknya keharusan untuk berdiam/hening.

Karena masih terlihat adanya cahaya, Pastor Costamagna menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan ia segera turun ke bawah untuk melihat apakah itu. Ketika para suster mendengar dia datang, mereka mulai kuatir karena mereka sangat menyadari betapa tegasnya dia mengenai peraturan jam-jam hening.

Sekali waktu pernah terjadi bahwa mereka perlu untuk bekerja di kebun anggur dan para suster mengorbankan waktu rekreasi sore mereka, dan Maria memutuskan untuk menebus hilangnya waktu itu dengan memberikan sedikit waktu bebas pada malam hari. Sayangnya, ia lupa memberitahukan perubahan itu kepada Pastor Costamagna. Ketika Pastor Costamagana mendengar suara pada jam untuk hening, ia segera turun ke lapangan, dan di depan para suster, memarahi Maria dengan keras. Tanggapan Maria satu-satunya adalah berlutut dan memohon ampun darinya.

Menghadapi masalah-masalah yang sering muncul itu, Maria sekarang memutuskan untuk melindungi para suster dari kemarahan dan mencegah Pastor Costamagna memberikan koreksi kepada mereka. Ia meletakkan jarinya di bibir sebagai tanda menyuruh diam dan segera meniup lilin itu. Lalu ia dan para suster menunggu sambil mendengarkan langkah kaki Pastor mendekat, berhenti sebentar, melangkah lagi, dan kemudian suaranya berangsur-angsur menghilang. “Pastor Costamagna yang malang!” Maria berseru. “Dia kerepotan dalam usahanya membentuk kita menjadi religius yang baik!” Mendengar hal ini, mereka semua tertawa bersama-sama.

Karena mereka dapat melihat bagaimana Pastor Costamagna membaktikan diri dan memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan mereka khususnya mengenai hal semangat, mereka dapat mengabaikan kekurangan-kekurangannya. Hal ini jelas merupakan akibat dari semangat yang berlebihan.

Ketika di kemudian hari para suster itu diminta untuk memberi contoh dari kebajikan-kebajikan Maria yang heroik dan bagaimana Maria bersikap di bawah tekanan, karena mereka tidak ingin mencela Pastor Costamagna, mereka hanya melukiskan bagaimana Maria menanggapi semangat yang berlebihan dari “seorang imam yang muda dan kurang berpengalaman.”























13—Orang-Orang Kudus Dan Para Pendosa



“Apa yang akan terjadi pada komunitas di Mornesse? Siapa yang akan menjadi Superior mereka? Siapa yang akan memimpin mereka? Siapa yang akan membentuk mereka menjadi seorang religius dengan semangat yang benar?”

“Don Bosco pikir bahwa Suster Maria Mazzarello bisa melakukannya.”

“Maria Mazzarello? Anda sungguh-sungguh? Oh, dia memang baik dan suci. Tetapi dia tidak mempunyai pendidikan sedikitpun! Dia benar-benar tidak pernah bersekolah!”

Itu adalah pendapat Signora Maria Blengini yang telah Don Bosco kirim untuk membantu para suster mengembangkan kehidupan religius yang teratur.


“Suster-suster itu memiliki terlalu sedikit pendidikan. Mereka begitu ... begitu... maafkan kata-kataku... bodoh! Mereka tidak akan berhasil. Saya berpikir bahwa anda tidak usah menghabiskan lebih banyak waktu lagi untuk mereka.”

“Kita akan lihat, kita akan lihat.”

“Bahkan di sana tidak ada satu pintu pun! Jika ada para tukang bangunan, pedagang, pelanggan-pelanggan, klien-klien dan orang-orang lain dapat keluar dan masuk, datang dan pergi sesuka mereka ... benar-benar berantakan!”

Itu adalah pendapat Monsignor Andrew Scotton yang baru saja memberikan sebuah retret kepada Suster-suster.

“Akan cukupkah niat baik dari Suster-Suster ini,” Suster-Suster St. Anna ingin mengetahui, “yang begitu bersemangat ingin meneladani semangat pendiri mereka, dan sikap alami Suster Maria dalam meneruskan semangat ini kepada Institut yang muda ini? Kami berpendapat bahwa hal itu tidaklah mungkin bagi para postulan, terutama yang berasal dari keluarga kaya, untuk menyesuaikan diri dengan suatu kehidupan desa yang begitu sederhana, kerja keras dan berkorban.”


Melihat komentar-komentar di atas yang datang dari orang-orang yang hanya berusaha membantu, jelaslah bahwa jika Maria dan para suster yang lain pernah mendengarkan hal ini, mereka akan segera meminta Don Bosco untuk membebaskan mereka dari kaul-kaul mereka, melepas jubah mereka dan kembali ke kehidupan yang biasa di dunia. Masalahnya adalah mereka tidak pernah mendengar komentar-komentar ini. Oleh karena itu, satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah melanjutkan apa yang Don Bosco dan Tuhan minta dari mereka.

Sejauh yang Don Bosco pedulikan, setelah dia mendengar pendapat-pendapat, dia menyandarkan punggung di kursinya dan tersenyum. Apa yang dia sekarang dengar tentang suster-suster itu telah dia dengar sebelumnya!—bahkan dengan kata-kata yang jauh lebih keras!—tentang dirinya dan usaha-usahanya sendiri dalam membuka sebuah pusat bagi anak-anak miskin dan kemudian saat hendak mendirikan Kongregasi Salesiannya. Itulah sebabnya, sesudah dia mendengarkan mereka, dia tetap meneruskan program-programnya untuk para suster itu.

Dalam pelaksanaan program-program ini, beberapa kejadian dapat diperhitungkan sebagai tonggak awal sejarah Kongregasi. Salah satunya adalah pemilihan Maria sebagai superior kongregasi pada tahun 1872. Mengenai pemilihan ini, Don Bosco telah mengatakan pada Pastor Cagliero bahwa, “Dia memiliki karunia-karunia khusus. Pendidikannya yang terbatas ditutupi dengan melimpah oleh kebijaksanaannya, kebaikan hatinya, dan kecakapannya dalam memimpin. Semua hal itu dia dasarkan pada Iman yang tak tergoyahkan kepada Tuhan.”

Salah satu peristiwa yang lain adalah penyatuan Kongregasi ini dengan Kongregasi Salesian sehingga mereka dapat menjadi anggota Keluarga Salesian yang terdiri dari Para Salesian, Para Puteri Maria Penolong Umat Kristiani dan para Kooperator.

Melalui salah satu surat edarannya dari Roma, Don Bosco menambahkan suatu catatan di mana dia menyebut para Puteri Maria Penolong Umat Kristiani sebagai “Suster-Suster kita.” Inilah pertama kalinya ia memanggil mereka dengan cara itu. Dia sedang berada di Roma untuk meminta persetujuan resmi atas Konstitusinya dan di dalamnya dia telah memasukkan “Puteri-Puteri Bunda Maria Penolong Umat Kristiani” sebagai bagian dari Kongregasi Salesian. Sejak Konstitusi para suster ini disetujui, Don Bosco-lah yang menjadi Superior bagi Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani. Inilah sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh Paus Pius IX dalam percakapannya dengan Don Bosco tahun 1871.

Pertanyaan tentang superior para suster—yang sangat merisaukan Maria—segera bisa dipecahkan untuk selama-lamanya ketika Don Bosco datang ke Mornese untuk menerimakan sumpah delapan novis dan memberikan jubah kepada tiga belas postulan. Pada 15 Juni 1874, pada hari terakhir menjelang pengikraran kaul, dia memberi Suster-suster sebuah konferensi, di mana dia menekankan bahwa tiada kongregasi yang dapat bertahan lama tanpa seorang yang menjabat Superior-Jenderal, dan inilah saatnya untuk memilih seorang Superior-Jenderal. Ia berkata bahwa tiap-tiap suster harus mempertimbangkan dengan baik apa yang akan dilakukan, dan setelah memilih orang yang menurutnya paling berkualitas untuk menjadi Superior-Jenderal mereka yang pertama, harus maju ke depan dan memberitahukannya nama calon itu secara rahasia.

Sebuah salib ditempatkan di atas meja di antara dua lilin yang menyala dan tiap-tiap suster mendekat ke Don Bosco memberikan nama seseorang yang menjadi pilihannya. Ketika pemungutan suara selesai, seorang suster telah memperoleh semua suara kecuali satu suara dari Maria. Satu suara yang tidak diperolehnya adalah suaranya sendiri. Selagi Don Bosco menyatakan kesenangannya atas hasil pemilihan itu, Maria yang duduk di suatu sudut ruangan benar-benar bingung melihat hasil pemungutan suara yang dia dahulu harapkan akan membebaskan dirinya dari tugas sebagai seorang pemimpin.

Mereka melanjutkan ke pemilihan seorang Wakil dan para staf kongregasi lainnya sebagai asisten bagi Superior Jenderal. Petronilla terpilih sebagai Wakil, Giovanna Ferrettino sebagai ekonomer, Felicina, saudari perempuan Maria sebagai Mistress Novis. Sesudah memberi mereka beberapa nasihat bagaimana mengatur diri mereka sebagai sebuah komunitas, Don Bosco memberitahu mereka bahwa karena dia tidak dapat menangani urusan mereka secara langsung, dia menunjuk Pastor Yohanes Cagliero sebagai wakilnya dengan gelar Direktur Jenderal bagi seluruh rumah para Suster yang akan dibuka. Meskipun kali ini Pastor Cagliero menyebut dirinya sebagai “seorang Jenderal tanpa tentara”, hal itu tidak berlangsung lama dan Don Bosco mengetahuinya. Itulah sebabnya mengapa dia memilih tidak hanya seorang Pastor yang begitu luar biasa dalam berbagai hal tetapi juga pastor yang memiliki julukan “putra favoritnya” dan yang mengetahui dengan intim cara berpikir Don Bosco.

Kau mengetahui semangat Oratori,” kata Don Bosko kepadanya. “Kau mengetahui Sistem Pencegahan dan cara membuat diri kita dicintai, didengarkan dan dipatuhi oleh anak-anak kita. Kita mencintai satu sama lain, kita tidak merendahkan seorang pun dan kita membantu mereka siang dan malam dengan ketekunan seorang ayah, kasih kesabaran dan kelemah-lembutan terus menerus. Karena Suster Maria mampu melakukan semua ini, saya berpikir kita dapat mempercayakannya untuk memimpin kongregasi. Tidak ada sesuatu yang lain yang harus dia kerjakan selain hidup dalam semangat, pada sistem dan pada sifat dari oratori kita, mematuhi Konstitusi kita dan keputusan-keputusan para superior. Kongregasi mereka sebanding dengan kita. Kongregasi mereka memiliki tujuan yang sama dan cara-cara yang sama. Dengan mengikuti contoh yang Suster Maria tunjukkan kepada mereka; dengan menjadi seorang ibu daripada seorang superior, direktur atau guru, mereka pada gilirannya akan menjadi seorang ibu bagi anak-anak yang mereka tangani.”

Don Bosco tidak pernah membiarkan suster-suster melupakan tujuan awal mereka, yaitu, bekerja untuk anak-anak perempuan seperti para Salesian bekerja untuk anak laki-laki. Mereka harus mengajar dan untuk dapat melakukan hal itu mereka memerlukan ijazah pemerintah. Karena tiga orang dari mereka telah memperoleh ijazah itu—Suster Arrigottio, Mosca dan Pestarino—Don Bosco meminta mereka untuk mengajar para suster yang akan diarahkan untuk memperoleh ijazah yang sama. Para novis dan postulan harus mengikuti kelas ini dan juga ditemani oleh beberapa gadis dari desa.

Sebelum pergi, Don Bosco memanggil para suster yang terpilih dan memberikan pada mereka kata-kata nasehat ini sebagai salam perpisahan.

Mengenai tugas para novis,” katanya kepada mereka, “cobalah memberi mereka pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kecakapan yang mereka miliki. Jika tidak mereka akan mematahkan semangat para suster dan para novis lain. Hal itu hanya akan merusak martabat orang itu dan komunitas. Sebaliknya, adalah tugas kita untuk mengajar mereka bagaimana menguduskan kecenderungan-kecenderungan ini dan hanya memikirkan Tuhan ketika mereka menggunakan bakat-bakat mereka.”

Sekarang Maria adalah seorang Superior Jenderal, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk turut melakukan tugas-tugas harian dan bahkan memilih yang paling sulit dan paling tidak menyenangkan.

Dia memberi teladan akan kerja keras yang terus menerus,” kata seorang suster, “dengan duduk di tempat kerja dan dalam satu hari kerja dapat menyelesaikan satu potong pakaian yang lengkap. Dan pada masa itu belum ada mesin jahit di sana!”

Karena kekurangan air di daerah itu, untuk mencuci banyak pakaian, komunitas itu mengadakan dua kali perjalanan tiap bulan ke sungai Roverno. Karena perjalanan itu membutuhkan waktu satu jam perjalanan, hal itu mungkin hanya akan menjadi sebuah rutinitas yang lain saja. Namun, Maria berhasil menggubahnya menjadi sebuah acara piknik pada saat cuaca cerah.

Pagi-pagi benar, suster-suster mengumpulkan cucian ke dalam sebuah pedati yang panjang yang ditarik oleh seekor keledai dan dituntun oleh seorang anak laki-laki yatim piatu yang telah mereka adopsi. Mereka berangkat melalui jalan yang berliku-liku, jalur kecil yang tidak umum yang membawa mereka menyeberangi jalur yang sulit, mendaki dan menuruni bukit. Sang keledai itu, seperti semua keledai lain, terutama di bagian-bagian yang mendaki bukit, mulai tidak mau bergerak. Pada saat ini, giliran para suster beraksi untuk membujuk keledai, berteriak, berdoa, mendorong dan menarik agar keledai mau bergerak.

Tiba di Roverno, cucian dikumpulkan dalam air yang jernih, kemudian direndam, diberi sabun dan dibentur-benturkannya ke batu-batu besar yang banyak terdapat di aliran sungai. Semua ini dikerjakan di bawah kaki bukit yang hijau, yang membuat para suster terlihat kecil. Sementara itu, burung-burung hutan mengiringi nyanyian suster-suster dan kadang-kadang seekor burung hutan akan keluar dari sarangnya yang tersembunyi dan mengeluarkan suaranya.

Pada saat-saat tertentu, Maria akan menghentikan kegiatan mencuci dan para suster akan berkumpul mengelilingi dia untuk menikmati sebuah piknik dengan bekal buah chestnut goreng, polenta atau buah apa saja yang sedang mengalami musim pada saat itu. Itu terjadi bila cuaca sedang baik. Tetapi ketika musim dingin tiba, ketika tanah tertutup salju dan air di Roverno dingin membeku dan menyakitkan untuk disentuh, Maria tetap pergi dengan para suster bekerja bersama dalam mencuci dan selalu menyemangati mereka untuk mempersembahkan pekerjaan dan penderitaan mereka demi jiwa-jiwa di api pencucian. Ketika mereka kembali di waktu malam, badan mereka menjadi kaku karena dingin dan pakaian mereka basah kuyup, dia tidak akan memperhatikan dirinya sendiri, tetapi akan mempersiapkan sesuatu yang hangat sebagai hidangan makan bagi mereka. Lebih dari sekali dia bangun pada pukul dua dini hari untuk mencuci pakaian dan dia selalu memilih bagian yang paling berat dan kotor.

Kapan pun ada panggilan, dia siap pergi ke kebun anggur atau ke dapur. Ia juga tidak menghindar dari tugas membersihkan penampungan kotoran. Satu-satunya hal berbeda yang ia lakukan adalah dalam melakukan praktek matiraga atau melakukan lebih banyak kerja daripada bagiannya yang sebenarnya.

Dia selalu menjadi yang pertama untuk menyapu lantai dan melakukan tugas-tugas yang rendah,” kata seseorang suster menceritakan kembali. “Dan ketika keadaan cuacanya sangat dingin, dia akan keluar mencuci pakaian di kolam dekat lapangan bermain… Di sekitar kolam yang sama di musim dingin, para suster akan sarapan pagi berupa chestnut dan ketika Muder Maria datang, kami akan mencoba membujuknya untuk makan lebih banyak, tapi dia selalu menolaknya.”

Apa yang paling ia perhatikan adalah diperkenalkannya beberapa petunjuk tentang perubahan-perubahan yang tidak dapat dielakkan dalam sebuah komunitas yang sedang berkembang. Pada mulanya kebanyakan anggota datang dari keluarga-keluarga miskin dan hanya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Tetapi para postulan yang masuk kemudian telah menikmati keuntungan-keuntungan dari baiknya pendidikan, atau bahkan ada yang sedang belajar di Mornese. Dia takut komunitas akan terbagi dalam kelompok yang berpendidikan dan yang tidak. Untuk mencegah hal ini dia memastikan bahwa tidak ada pembedaan yang diberlakukan di antara mereka, di dalam pembagian kerja atau dalam hal memperlakuan dirinya atau superior lain terhadap mereka. Untuk menghindari masalah ini, dan masih tetap mengikuti contoh Don Bosco, dia menyuruh doa-doa diucapkan setiap sore demi “kedamaian dalam rumah ini.”

Dia menerima setiap orang dengan perlakuan yang sama. Dia juga tidak pilih kasih dalam hal mengoreksi mereka. Tetapi koreksinya selalu diberikan dengan begitu ramah sehingga tidak ada seorang pun yang pernah merasa sakit hati atau direndahkan. Kapan pun dia harus memberikan perintah, hal itu selalu diiringi dengan kata-kata yang mengingatkan bahwa, “Don Bosco menginginkan hal ini” atau “Inilah yang Don Bosco katakan kepadaku untuk dikerjakan.” Baginya, kata-kata Don Bosco hampir memiliki kekuatan sama seperti Kitab Suci.

Dia bersikeras bahwa tidak ada seorang suster pun boleh membanding-bandingkan pekerjaannya sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang mungkin dianggap kurang penting atau kurang terhormat. Tuhan akan meminta tanggung jawab, dia menegaskan, bukan tentang apa yang telah dilakukan oleh seseorang tetapi apakah dia telah menggunakan talentanya sebaik mungkin. Kapan pun dia mendengar ada seseorang yang memuji pekerjaannya sendiri, dia akan berkata, “Puteriku, kamu membutuhkan lebih banyak daripada hal yang kamu kerjakan ini untuk dipersembahkan ke depan tahta Allah!” Tidak pernah dia lelah mengingatkan para suster dan juga murid-muridnya bahwa Tuhan melihat niat seseorang. Tidak peduli apakah hal itu penting atau tidak penting, pekerjaan itu sendiri tidaklah diperhatikan.

Ia sangat tidak suka ketika menemukan bahwa ada suster-suster yang berbicara tentang diri mereka sendiri atau menyombongkan jasa-jasa mereka. Pada suatu hari ia memberi pelajaran kepada seorang suster yang sombong atas hasil sulaman yang telah diselesaikannya. Suster itu disuruhnya untuk pergi ke tempat kursus dan mulai menjahit pakaian-pakaian termurah yang sedang mereka kerjakan. Ia meminta suster itu bekerja di sana selama dua bulan sebelum memanggilnya untuk mencari tahu sudahkah suster itu menyesali kesombongannya. Karena suster itu sudah menyesal, Maria mengizinkan suster itu kembali ke sulamannya.

Kemiskinan terus menerus menjadi ciri khas komunitas itu. Dalam kenyataannya, kemiskinannya sering mencapai tahap kepahlawanan.

Sangat sering,” catat seseorang suster pada saat menghadapi masa-masa itu, “kami bahkan tidak mempunyai satu potong roti pun di dalam rumah. Kami tentu saja berdoa untuk Penyelenggaraan Ilahi, tetapi doa-doa kami tidak selalu dikabulkan. Kadang-kadang kami hanya makan semangkuk sup yang tidak jelas bahannya. Kami dapat melihat bahwa Muder Maria merasakan derita tambahan karena tidak mampu menghilangkan rasa lapar kami.

Pada masa-masa yang sulit seperti itu tidak ada pertanyaan mengenai memakan sesuatu ketika jam snack sore. Namun, kadang-kadang Muder muncul di ruang cuci atau di tempat lain dengan baju kerjanya yang penuh dengan buah atau beberapa potong roti untuk mengurangi rasa lapar kami!”

Namun, kemiskinan tidak pernah digunakan sebagai sebuah alasan untuk melakukan hal yang tidak adil. Seorang postulan sekali waktu pernah bertanya kepada Maria jika dia dapat menyimpan bahan-bahan pakaian yang lebih sesudah pakaian itu selesai. Dia telah diberitahu oleh orang luar bahwa dia dapat menyimpannya.

Tentu saja tidak!” sahut Maria berang. “Saya tidak peduli apa yang pihak luar katakan. Terlebih lagi, saya memperingatkan orang luar yang memberitahumu itu untuk tidak melakukan hal itu lagi!”

Kemiskinan di rumah itu juga tidak pernah menghentikan praktek cinta kasihnya kepada pihak luar, memberikan makanan kepada mereka walaupun makanan mereka juga sedikit. Jika seorang pengemis datang ke pintu, tidak masalah betapapun sedikit nya makanan yang tersisa di dalam rumah, dia akan menyuruh sebagian makanan diberikan kepada pengemis itu. Suatu kali, ketika tidak ada makanan yang dapat diberikan, dia meminta suster untuk berlari ke ruang makan dan membawakan bagian makanan miliknya untuk diberikan.

Yang lain tidak akan menyadari hal itu,” dia meyakinkan suster yang ragu-ragu itu, “mereka akan berpikir bahwa saya telah makan di dapur.”

Suatu malam, ketika suster-suster hendak makan malam, dia muncul di antara mereka dengan terlihat sangat sedih.

Ada apa, Muder?” mereka ingin tahu.

Ada suatu hal yang tidak menyenangkan untuk saya sampaikan tetapi saya tidak tahu bagaimana menyatakannya.”

Sampaikanlah kepada kami!”

Di rumah ini kita tidak memiliki sepotong roti pun.”

Kalau begitu, marilah kita meneladani Santa Theresa,” saran seseorang. “Dia juga ingin makan malam tanpa sepotong roti pun.”

Ketika menyaksikan bagaimana semangat kerjasama dan penyangkalan diri ada di dalam diri suster-susternya itu, Maria langsung menangis.

Hasrat untuk penyangkalan diri dan matiraga ini, kadang-kadang kelihatan di luar batas dan bahkan kurang bijaksana. Bahkan sebenarnya, banyak suster yang sakit dan bahkan juga mati dapat dianggap disebabkan oleh kekurangan makanan dan kurang mengurus diri sendiri. Tetapi kongregasi muda itu berada dalam tahap yang penuh semangat, dan lagipula Don Bosco telah menekankan kepada mereka. “Matiraga adalah a-b-c dari kesempurnaan hidup religius.” Don Bosco telah berulangkali meyakinkan mereka bahwa jika mereka terus hidup miskin, rendah hati dan bermatiraga, pekerjaan mereka akan dilimpahi berkat.

Mereka telah melihat hal itu terjadi. Semakin miskin cara mereka hidup, semakin menderitanya mereka dalam tubuh dan roh, lebih banyak janji Don Bosco terpenuhi. Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa praktek kerendahan hati dan penyangkalan diri mereka kadang-kadang kelihatan melebihi batas yang bijaksana.

Sementara kebanyakan anggota komunitas bahagia dengan kehidupan ini, beberapa suster yang tidak puas berpikir bahwa ada sesuatu yang berjalan dengan kurang baik. Barangkali karena praktek-praktek penyangkalan diri yang keras, kondisi hidup yang secara umum keras di Mornese, dan juga disiplin keras dari Pastor Costamagna, terlalu berlebihan untuk mereka. Mereka ini begitu tidak puas sehingga mulai terlihat bersungut-sungut, menunjukan kritik mereka kepada Maria. Meskipun Maria berusaha sebaik mungkin untuk membatasi kerugian-kerugian yang dapat terjadi, dia tetap tidak mampu mencegah hal ini menjalar ke para postulan. Sebagai akibatnya beberapa orang memutuskan untuk keluar, sementara yang tinggal memutuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa sehingga Maria tidak punya pilihan lain selain untuk meminta mereka keluar.

Sejauh dia mampu, dia berusaha untuk meniru Don Bosco bahkan cara untuk menanggani para pendatang baru. Khususnya kepada para postulan, dia mencoba membuat perpisahan mereka dari rumah mereka semudah mungkin dengan cara menunjukkan bahwa mereka datang kepada sebuah institusi yang seperti rumah kedua di mana mereka akan diterima dengan hangat dan penuh pengertian. Meskipun dia biasanya sangat tegas dalam hal silentium, kapanpun ada seorang postulan yang baru saja datang, dia akan meniadakan dua hal, yaitu silentium dan pembacaan di meja makan untuk membuat postulan baru itu merasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

Sebuah usulan yang kuat dari Don Bosco adalah bahwa Maria jangan pernah menyuruh pergi seorang postulan karena dia miskin, tapi Maria harus percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi yang akan mengirimkan apa yang diperlukan untuk membiayai postulan itu. Nasehat itu sebenarnya tidak diperlukan. Maria selalu melihat dalam diri setiap postulan baru, seseorang yang di kemudian hari akan bekerja untuk keselamatan jiwa-jiwa dan melanjutkan misi Don Bosco. Hal ini membuatnya begitu ingin membentuk mereka sesuai semangat Don Bosco, sehingga ia akan berusaha semampu yang ia bisa untuk membantu mereka mengoreksi kekurangan-kekurangan mereka dan menguatkan karakter mereka.

Muder melakukan segala hal yang bisa ia lakukan,” kata salah satu postulan pada masa-masa awal itu, “untuk menolong kami mengalahkan kesulitan-kesulitan, untuk memberi semangat kepada kami dan memberi kepada kami kekuatan yang kami perlukan untuk dapat mengatasi kesulitan di saat-saat awal itu, menunjukkan kepada kami bagaimana kami suatu hari kelak akan sangat berguna bagi mereka yang membutuhkan kami. Dia memberi kami kekuatan mengatasi serangan-serangan setan yaitu saat kami merasa ragu-ragu menemukan diri kami untuk pertama kalinya jauh dari keluarga yang kami cintai.”

Seorang suster mengaku bahwa setelah beberapa waktu dia merasa bahwa belajar dan cara hidup seperti itu terlalu sulit untuk dirinya, dan dengan patah semangat, dia pergi kepada Maria. Tidak lama setelah Maria menunjukkan perhatiannya kepadanya, dia berubah pikiran dan bertekad untuk lebih bertekun dan untuk mengabdikan hidupnya kepada Misi.

Kesukaran apa yang kamu temui di sini?” Maria bertanya pada seorang postulan lain yang merasa begitu terbebani oleh kehidupan di Mornese.

Ketika postulan itu dengan terus terang mengutarakan kesulitan-kesulitannya, Maria menanggapi hal-hal itu satu persatu. “Tetapi kenapa kamu ingin pergi?” dia bertanya pada akhirnya, “kenapa tidak berpikir bahwa kamu tinggal di sini tidak untuk selama-lamanya tetapi lebih sebagai seseorang yang berlibur di desa? Sesudah satu bulan atau lebih, jika kamu memutuskan untuk kembali ke rumah, tidak seorang pun akan berpikir buruk tentang dirimu. Lagipula, dengan cara itu kamu dapat yakin akan apa yang menjadi kehendak Tuhan.

Ada saat di mana—cerita Suster Delfina Guida—ketika dia benar-benar bertekad untuk pulang, dan jika terpaksa dia akan melakukannya dengan berjalan kaki! Suatu hari saya mengakukan hal itu kepada Muder.

Sedikit terlambat untuk pergi hari ini,” dia berkata kepadaku dengan sebuah senyuman, dan saya tidak mempunyai seorang pun untuk mengantarmu pulang. Kenapa kamu tidak menunggu sekitar satu atau dua hari. Lalu kamu tidak hanya bebas untuk pergi tetapi saya sendiri yang mengantarmu pulang. Tidakkah kamu suka hal itu?” Suster itu senang dengan usulan itu, tetapi ketika harinya tiba untuk pergi dia telah berubah pikirannya.

Begitu bersemangatnya Maria untuk memelihara panggilan-panggilan, dia tidak menurunkan kewaspadaannya untuk memastikan bahwa tidak seorang pun masuk ke dalam kongregasi tanpa mengerti apa yang sedang mereka buat. “Jika kamu merasa tidak dapat mempraktekkan kebajikan seturut semangat kami, saya nasehati kamu supaya tidak menerima jubah. Kamu masih mempunyai waktu.”

Dia mempunyai devosi yang besar kepada Maria Penolong Umat Kristiani. Bahkan, devosinya kepada Bunda Maria dengan gelar yang begitu dicintai oleh Don Bosco, tidak mengenal batas. Dia terus menerus meminta Bunda Maria melindungi komunitas, supaya Dia menjaga mereka dari noda dosa terkecil pun. Di hutan kecil dekat rumah itu, nenek moyang Pastor Pestarino telah mendirikan sebuah kapel yang kecil. Di dalamnya Maria menempatkan sebuah patung Maria Penolong Umat Kristiani dan pada bulan Mei, Pastor Costamagna menyampaikan sebuah kotbah pendek di depan patung itu dan sesudah doa Benedictus suster-suster menyanyikan hymne sebagai pujian untuk Bunda Maria.

Sekalipun demikian, Maria tidak selalu sukses dengan postulan-postulannya. Beberapa di antaranya terbukti mempunyai sifat yang sulit dan bahkan aneh.

Seseorang dari mereka mengaku memperoleh penglihatan-penglihatan dan mencoba menarik beberapa anggota untuk keluar dari komunitas dengan alasan bahwa dia telah menerima dari surga sebuah perintah khusus untuk mendirikan sebuah kongregasi di bawah perlindungan Darah Yesus yang Berharga. Maria segera menyuruhnya berkemas-kemas. Dia melakukan hal yang sama dengan seorang postulan lain yang menerima perintah dari Kanak-Kanak Yesus untuk menjelaskan doa Bapa Kami kepada suster-suster saat rekreasi dan tidak pernah berhenti bercerita kepada mereka tentang penglihatan-penglihatan yang dia terima pada saat Misa.

Seorang wanita muda yang lain datang dari Roma untuk bergabung dengan kongregasi. Sesudah beberapa hari dia mulai melakukan aksi-aksi khusus silih dosa dan hal-hal lain di luar kebiasaan komunitas. Pada saat Misa, dia tidak menerima komuni tapi dia akan mencoba meyakinkan yang lainnya bahwa dia bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Suatu pagi, dia keluar dari gereja dan segera mengumumkan bahwa dia telah memperoleh sebuah penglihatan.

Ketika Maria berusaha mendiskusikan hal ini dengan dia, dia merasa tersinggung dan menemui para suster satu persatu untuk memberitahu mereka bahwa Maria kurang terdidik.

Dari cara dia berbicara tentang hal-hal rohani,” dia berkata tentang Maria, “saya dapat melihat bahwa dia bahkan tidak mengerti arti kata-kata yang dia gunakan.”

Ketika hal ini disampaikan kepada Maria, Maria hanya berkomentar, “Dia memang benar! Setidaknya dia tahu kebenaran tentang diriku.”

Para suster tidak melihatnya dengan cara demikian. Suster Madeline, yang mempunyai sikap yang tidak plin-plan dan terus terang dalam bicaranya, suatu hari mendekati postulan ini. “Begini,” katanya memulai pembicaraan, “kami ingin kamu tahu bahwa Muder adalah superior yang kami inginkan. Jika kamu tidak setuju dan jika kamu berpikir bahwa kamu tidak dapat bertoleransi dengan dia, yang terbaik yang dapat kamu lakukan adalah membereskan pakaianmu dan pergi! Saya akan mengantarmu ke stasiun dan membayar tiket perjalanan pulangmu ke Roma.”

Apakah kamu sadar?” jawabnya, “bahwa kamu berbicara dengan seseorang yang mempunyai gelar?”

Kalau begitu,” kata Suster Madeline, “kami hanya akan membayar separuh harga tiket dan pemerintah akan membayar sisanya!”

Hari berikutnya Suster Madeline mengantar postulan itu ke stasiun dan membelikannya selembar tiket satu arah ke Roma—kelas satu sesuai dengan martabat seorang pemegang gelar!

Namun, Agostina Simbeni adalah seorang postulan yang membuat sejarah di Mornese. Dia juga datang dari Roma dan orang-orang penting yang telah merekomendasikannya menganggapnya sebagai seorang yang suci dan memiliki panggilan khusus. Agostina segera menarik perhatian suster-suster dengan kesopanannya, sikapnya yang lembut, dan kesalehannya yang luar biasa. Dia dapat hidup beberapa hari tanpa makanan dan menurut beberapa suster yang melihatnya, dia pernah terangkat dari tanah dalam ekstasi. Dia juga memprediksikan masa depan, menggambarkan peristiwa yang sedang terjadi di tempat jauh dan ketika dia membaca pikiran suster-suster dan anak-anak perempuan, mereka akan mengaku bahwa dia benar. Ia mengatakan bahwa semua keajaiban ini disebabkan oleh bambina-nya (bayi perempuan). Siapa bambina itu, dia tidak pernah menceritakannya. Banyak dari suster-suster, karena tertarik pada akibat anugerah-anugerahnya yang luar biasa, melihat dia seperti seorang santa sehingga dia memiliki banyak pengaruh pada mereka.

Di pihak lain, Maria dan beberapa superior berpikir dengan cara yang berbeda. Maria dididik Don Bosco untuk menjauhkan diri dari perwujudan kesalehan yang eksterior, karena hal ini sering mengarah kepada kesombongan, dan berusaha menekan hal itu. Dia sudah memperhatikan bahwa gadis itu menunjukkan karunia-karunianya, tetapi di waktu yang sama memperlihatkan kurang memiliki sikap kerendahan hati, ketaatan, doa-doa dan mortifikasi. Dia kurang sederhana, kesederhanaan merupakan tanda dari anak-anak Tuhan yang memperoleh sesuatu rahmat istimewa, dan sebaliknya malah berbicara dengan sok kuasa dan sangat berbangga akan hal-hal yang telah dibuatnya.

Maria membawa semua hal itu untuk diperhatikan oleh pendampingnya dan ketika waktunya tiba untuk menerima secara resmi para postulan, dengan melawan kehendak pihak mayoritas, dia menentang penerimaan Agostina. Karena sang direktur sendiri ingin menerimanya, Maria menulis surat kepada Don Bosco, menggambarkan situasi itu dan menanyakan nasihatnya.

Ujilah ketaatan dan kerendahan hatinya,” Don Bosco balas menulis, “Jika dia lulus test ini, anda dapat percaya padanya.”

Itulah jawaban yang tepat seperti yang diinginkan Maria.

Karena postulan itu telah bersikap begitu berkuasa sehingga hampir tidak ada keputusan-keputusan yang dapat diambil tanpa melalui persetujuannya, Maria memutuskan sendiri untuk mengirim Suster Enrichetta Sorbone ke rumah baru yang akan dibuka di Sestri Levante. Ketika tiada satu kata pun disampaikan kepada Agostina, dia menganggap hal tersebut sebagai sebuah penghinaan dan memberitahukan kepada semua orang bahwa keputusan yang diambil Maria tidaklah benar; informasi ini dia terima dari bambina.

Keputusan itu telah disetujui oleh dewan rumah,” tanggap Maria, “dan hal itu tetap berlaku.”

Langkah berikutnya adalah menguji ketaatan Agostina. Ketika dia gagal dalam hal ini, Maria mengatakan kepadanya bahwa dia ditolak menjadi anggota Puteri-puteri dari Maria Penolong Umat Kristiani.

Jika saya pergi,” Agostina bereaksi, “banyak yang akan pergi bersama aku.”

Sejak saat itu, dia melakukan sebanyak mungkin hal untuk mengacaukan komunitas dan membuat sebanyak mungkin orang merasa tidak bahagia akan kondisi hidup mereka. Dia akan menjatuhkan dirinya ke lantai, rambutnya kusut, matanya terbeliak, membungkuk dan menggoyang-goyangkan kepalanya seperti seorang yang kerasukan. Seluruh badannya menjadi kaku dan dia berbaring dan berpura-pura mati, lalu dengan tiba-tiba dia melompat dan mengutuk serta menyumpahi semua orang dengan cara yang tidak pantas sebagai seorang yang ingin menjadi religius. Sepanjang waktu itu, menurut beberapa orang, bel-bel pada malam hari berdentang tanpa seseorang pun menyentuhnya, kucing-kucing mengeong dan dormitori bergema dengan suara-suara asing.

Karena hal-hal tersebut sangat mengganggu komunitas sampai tahap di mana banyak murid dan beberapa postulan hendak bersiap-siap pergi, Maria memanggil pastor untuk memberkati rumah itu. Dia kemudian membawa Agostina bertemu Don Bosco dan apapun yang Don Bosco katakan pada pertemuan itu tetap menjadi rahasia mereka. Dalam perjalanan mereka pulang di Borgo San Martino, sewaktu ada diskusi di meja, Agostina dalam kemarahannya melemparkan sebuah pisau pada salah seorang suster-suster itu!

Singkirkanlah dia,” Don Bosco akhirnya berkata pada Maria. “Dia memang seorang setan!”

Ketika Maria mencoba menyingkirkannya, dia mendapati bahwa hal itu tidaklah mudah. Tidak saja dia membuat tidak senang beberapa suster yang masih percaya pada Agostina, tetapi juga setiap kali Maria mengirimkan Agostina pulang, dia dapat menemukan jalan untuk kembali. Dia benar-benar pergi hanya ketika dia diambil paksa oleh dua orang pekerja di rumah itu dan dimasukkan ke kereta yang menuju ke Roma. Dan ketika dia telah pergi, begitu juga dengan suara-suara aneh, gangguan-gangguan dan perlawanan dari suster-suster yang menentang Maria. Pada akhirnya, mereka melihat betapa benarnya tindakan yang telah diambil Maria.

Jika ada kebaikan yang dapat diambil dari kejadian-kejadian aneh tersebut, hal itu terletak pada kenyataan bahwa peristiwa tersebut mengajarkan Maria untuk berhati-hati dalam hal mengizinkan orang-orang yang dia sendiri tidak yakin untuk masuk ke komunitas, jika dia berharap untuk memelihara di dalam komunitas itu semangat Mornese.













1

▲back to top

1.1 BAGIAN KE DUA

▲back to top


Merpati-Merpati yang Berterbangan







































14—Cakrawala Yang Luas



Maria sekarang telah menjadi seorang wanita dewasa sepenuhnya, dengan segala pengalamannya baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Tubuhnya tinggi ramping melebihi ukuran kebanyakan wanita pada saat itu, selain itu ia juga memiliki badan yang kuat. Akan tetapi kekuatan fisik itu tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin karena ia memiliki gejala penyakit tifus. Gadis muda bertubuh kecil berparas cantik itu telah kehilangan suatu tahap kehidupannya dengan keras. Sekarang rambutnya yang kemerah-merahan telah menutupi dahinya yang lebar, dengan dua bola mata yang berwarna merah tua yang cerah, hidung agak lebar dan berkulit pucat kemerahan. Kulit yang pucat kemerah-merahan itu sekarang jarang muncul tetapi seandainya muncul membuatnya merasa kesakitan, meskipun demikian ia masih bisa mengatasinya. Akhir-akhir ini wajah yang kemerah-merahan ini juga disebabkan oleh serangan sakit kepala yang parah. Bibir bagian atas selalu ditekan oleh deretan gigi-gigi depan, dan mulai saat itu gigi-gigi dan gusinya menjadi sumber kegelisahan dan rasa sakit baginya.

Perubahan-perubahan itu telah mempengaruhi sikapnya. Monsinyur Scotton, yang pernah menyampaikan ungkapan kasar mengenai dia dan juga para suster, sangat terkejut menyaksikan perubahan itu. Dia hampir tidak percaya bahwa Maria yang sekarang adalah sama dengan Maria yang dulu ia kenal. Bahkan seorang nyonya dari Genoa pernah menanyakan asal usul Maria. Dia menyatakan bahwa Maria pastilah berasal dari salah satu keluarga terhormat di Peninsula !

Akan tetapi tangan dan gaya bicaranya masih menunjukkan sifat aslinya. Tangannya masih tetap kasar sebagaimana tangan seorang petani dan gaya bicaranya juga tetap gaya bicara seorang petani.

Di depan kalayak umum, ia selalu tampil dengan rendah hati dan apa adanya. Pada saat berbicara, dengan kedua tangannya dia akan mengenggam salib yang ada di dadanya untuk menguatkan pembicaraanya. Walaupun ia dapat bergembira pada saat tertentu, namun pada umumnya, tindakannya sederhana dan berwibawa, gaya bicaranya apa adanya dan sederhana. Terlebih lagi kalau ia sedang berbicara tentang agama atau cinta Tuhan kepada manusia. Pada saat itu hatinya begitu berkobar dan seluruh badannya akan memberikan reaksi pada pembicaraan itu. Kecondongan hati dan ketegangan diri sudah bisa dihilangkan dengan praktek-praktek penyangkalan diri dan bermati raga yang terus menerus.

Pengalaman hidup yang panjang, kecenderungan yang tersembunyi untuk mencari pengakuan dari orang lain di sekitarnya telah mengujinya, begitu juga kecenderungannya untuk menjadi marah pada setiap kritik yang ditujukan kepadanya. Dia belajar kebajikan untuk bersikap terbuka bagi siapa saja dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sikap keras kepalanya telah lama dihilangkannya dan sekarang menjadi sebuah alat untuk memajukan kongregasi dan demi kemuliaan Tuhan. Dia telah tumbuh menjadi seseorang yang cukup bijaksana untuk menyadari proses perubahan yang dibutuhkan bagi seseorang yang memungkinkan mengalami perubahan. Hanya ada dua sifat pada dirinya yang tidak berubah: keyakinannya bahwa ia tidak mampu untuk memimpin kongregasi dan harapannya untuk segera bisa bebas dari tanggung jawab memimpin kongregasi itu.

Pada saat anggota komunitas telah berjumlah tigapuluh delapan orang, baik suster maupun postulan, Don Bosco menyarankan untuk segera membuka komunitas baru. Pastor Johanes Bonetti yang pada saat itu menjadi rektor di komunitas Borgo San Martino, diberi tugas oleh Don Bosco untuk mempersiapkan rumah baru bagi para suster. Don Bosco mengandaikan bahwa komunitas yang lama seperti sarang lebah yang telah kelebihan penghuni oleh karena itu sudah saatnya beberapa ekor lebah mencari dan membangun sarang yang baru. Mereka harus memperhatikan ruang cuci; harus mengajar gadis-gadis desa cara menjaga dan membersihkan rumah; juga harus membuka oratori dan mengajar katekese bagi anak-anak.

Pemberitahuan itu membuat para suster bergembira. Meskipun demikian ada beberapa orang yang kaget. Sebagian besar suster yang berasal dari desa dan tidak pernah meninggalkan desanya dan kemudian bergabung dalam kongregasi, lebih cenderung untuk memilih tetap tinggal di Mornese sampai mati.

Suster Feliciana, adik Suster Maria terpilih sebagai superior untuk rumah yang baru itu disertai oleh tiga orang suster yang lainnya. Pada tanggal 8 Oktober 1874, dengan kabut yang tebal, ditemani oleh Pastor Cagliero, mereka membuat suatu perjalanan yang bersejarah ke Borgo San Martino.

Pada saat para suster yang menempati komunitas baru menghadapi banyak masalah, Suster Maria tidak henti-hentinya menasehati mereka untuk tetap setiap pada aturan kongregasi; yaitu selalu setia pada kemiskinan, dan selalu menghormati orang lain.... nasehat-nasehat itu tidak pernah berhenti. Mereka merasakan begitu besar kasih sayang dan perhatian suster Maria yang sangat menguatkan hati mereka.

Para Salesian berusaha dengan sekuat tenaga membantu agar para suster tidak merasa seakan-akan telah meninggalkan rumah mereka satu-satuanya dan pindah ke rumah yang lainnya. Mulai pada saat itulah para Salesian dan para suster mulai bekerja sama, dan hal itu akan menjadi contoh pada masa yang akan datang. Ketika Pastor Bonetti, sebagai contoh melihat bahwa ada suster yang sakit dia menasehatkan mereka untuk mengikuti para Salesian dan makan dua menu pada saat makan malam. Bagi para suster, bagaimanapun juga cara ini bertentangan dengan ide matiraga mereka, melawan “semangat dari Mornese (the spirit of Mornese)”.

Pada suatu hari ketika Don Bosco mengadakan kunjungan, suster-suster itu bertanya kepadanya tentang apa yang harus mereka lakukan tentang usulan dua menu makanan itu. Don Bosco merenung untuk beberapa saat. “Karena kalian harus bekerja keras,” Dia menambahkan “dan bekerja untuk waktu yang lama, mungkin lebih baik bagi kamu untuk mengikuti nasehat pemimpin kalian.” Don Bosco terkenal dengan nasehat-nasehatnya yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan, sementara dia sendiri melakukan yang sebaliknya.

Ketika para suster menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan semangat mereka, dia meminta untuk menyampaikan kedua menu itu kepadanya. Ia kemudian mengambil sebuah piring, menghabiskan seluruh isi yang ada di dalamnya sebagai jawaban kepada para suster. “Sekarang ini menjadi satu menu saja,” jawabnya dengan tersenyum.

Pada akhir bulan Oktober Maria ditemani oleh sekelompok orang yang terdiri dari Pastor Costamagna, Novis Agnes Ricci, Suster Emilia Mosca dan Suster Rosalia Pestarino, pertama-tama pergi ke Borgo San Marino untuk mengantar Novis Agnes dan Pastor Costamagna yang akan tinggal di sana untuk beberapa hari. Kemudian Maria ditemai oleh kedua suster itu melanjutkan perjalanan ke Turin karena kedua suster itu harus mengikuti ujian negara.

Maria tiba di Turin dengan perasaan gembira yang luar biasa karena dia dapat begitu banyak kemudahan di ibu kota Italia itu. Ketika Roma takluk pada saat revolusi 1870, kota Turinlah yang kemudian menjadi ibu kota. Dia belum pernah berkunjung ke suatu kota yang sungguh megah dan sangat berbeda seperti kota Turin sebelumnya, yang mengingatkan kejayaan bangsa Romawi dengan segala aturannya. Jalan Utama, lapangan dan jalan-jalan yang lainnya sangat bersih dan hal itu sudah terkenal di dunia internasional.

Dia berdoa ketika melewati Gereja Consolata, “ Bunda Kota Turin”, dengan tiang yang tinggi menjulang menyangga patung Bunda Maria, yang didirikan sebagai ungkapan tanda terima kasih karena telah selamat dari bencana pada tahun 1834. Ketika ia semakin dekat dengan Valdocco di mana ada oratori, langkahnya semakin pelan karena banyaknya orang yang berkerumun di toko-toko, pasar-pasar, di antara para pemain akrobat, penyanyi dan pemusik....... segala sesuatu yang merupakan tanda nafas kehidupan sebuah kota besar.

Di sini dapat dilihat dengan jelas alasan Don Bosco membuka oratorinya dan mencurahkan seluruh tenaganya untuk memperhatikan anak-anak yang terlantar. Jalanan penuh dengan anak-anak laki-laki dari berbagai jenis umur yang datang dari desa-desa. Mereka datang ke kota dengan mimpi mendapatkan pekerjaaan dan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang tidak mendapat pekerjaan akan menjadi gelandangan dan tinggal di jalan-jalan. Dia merasa senang bahwa kongregasi yang dipimpinnya mempunyai kepedulian untuk meringankan beban bagi anak-anak itu khususnya bagi anak-anak perempuan seperti yang Salesian lakukan untuk anak laki-laki.

Sebuah Basilika yang didirikan oleh Don Bosco, sebagai bentuk penghargaannya terhadap Bunda Maria Penolong Umat Kristiani yang berada di jantung kota Valdocco membuat nafasnya seakan berhenti. Dibangun pada tahun 1853, dengan modal awal tidak lebih dari 80 sen, pada tahun 1868 Basilika itu secara resmi di buka untuk umum. Menurut Don Bosco, “setiap batu yang ada merupakan anugerah dan mukzizat dari penyelenggaraan Bunda Maria Penolong Umat Kristiani.” Basilika itu dibangun dengan gaya Renaisanse, memiliki sebuah kubah yang tingginya 180 kaki dari atas tanah dan di puncaknya berdiri sebuah patung Bunda Maria.

Maria tidak terlalu lama tinggal di Turin. Ia sempat bertemu dan bercakap-cakap dengan Don Bosco sambil melihat-lihat oratori, selain itu Don Bosco juga memberikan petunjuk bagaimana cara terjun dalam bidang kerasulan seperti itu. Ketika kedua suster yang ia dampingi telah selesai mengikuti ujian negaranya maka sesegera mungkin mereka kembali ke Mornese.

Pada tanggal 14 Agustus 1875 ada sebuah kunjungan penting di Mornese. Pastor Mikael Rua, wakil dari Don Bosco berkunjung. Dia berkunjung ke Mornese untuk mengetahui bagaimana kehidupan spiritual dan jasmaniah bisa dihayati. Don Bosco memberi tugas kepada Pastor Rua untuk menjadi pendamping baru bagi para suster karena pendamping suster yang terdahulu Pastor Johanes Cagliero harus memimpin para misionaris pertama ke Amerika Selatan.

Pastor Mikael Rua, adalah seorang yang mempunyai penghayatan iman yang sangat mendalam dan juga dapat memahami kehidupan biasa sehari-hari dengan baik. Pastor Rua memberikan banyak saran dan petunjuk dalam mengatur dan memperhatikan kehidupan komunitas. Karena ia juga merupakan pembimbing rohani, sebelum dia pergi dia memberikan sebuah renungan yang sangat berarti bagi para suster. Salah satu pesan yang paling penting dari renungan itu adalah ajakan dari Pastor Rua,” Jangan berkata,” dia menambahkan, “Saya menjadi suster karena mau menyelamatkan jiwa saya,” Tetapi katakanlah, ”Saya mau menjadi suster karena ingin menjadi orang kudus.”

Dengan datangnya bulan Agustus, memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah Don Bosco akan mengizinkan bagi para suster yang kaul pertigatahunannya sudah habis untuk memperbaharuinya lagi? Peraturan yang ia berikan kepada mereka masih dalam bentuk coret-coretan dan tidak membahas sedikitpun tentang hal itu. Sementara itu ia sendiri telah menyuruh mereka mempersiapkan diri untuk mengikuti retret. Bertanyaan itu terjawab setelah Don Bosco memberitahunan bahwa suster yang telah habis kaulnya untuk masa pertama atau kedua dari periode pertigatahunannya diizinkan untuk mengikrarkan kaul kekalnya.

Pada akhir retret 28 Agustus, lima belas postulan menerima jubah mereka, empat belas novis mengikrarkan kaul pertigatahunan dan Maria bersama dengan sebelas suster yang lainnya diperkenankan untuk mengikrarkan kaul kekal.

Ketika Don Bosco menerima kaul kekal para suster tersebut, Maria dengan hati terbuka menerima pemberitahuan dari Don Bosco bahwa ada beberapa suster yang tidak merasa bahagia dengan kehidupan di komunitas itu, dan Don Bosco selalu bersedia untuk membantu dan membimbingnya. Don Bosco juga melakukan pembicaraan pribadi dengan setiap suster. Meskipun yang merasa kecewa cukup banyak tetapi hal itu tidak menjadikan kehidupan kelompok itu menjadi tidak harmonis dan mundur. Seperti biasanya Marialah yang memegang tanggung jawab terhadap kelompok itu. Semua masalah-masalah yang ada itu katanya, dikarenakan pendidikan formalnya yang kurang dan karena ketidakmampuannya dalam menanggung seluruh tugasnya sebagai seorang superior. Pada saat yang sama sambil berusaha mengurangi kecenderungan yang negatif, dia berusaha untuk mengoreksi segala macam bentuk kesalahan yang dia temukan di dalam kehidupan berkomunitas.

Meskipun menghadapi banyak masalah, yang mungkin berasal dari mereka sendiri tetapi pada saat itu benih panggilan begitu melimpah di Mornese. Pada tanggal 12 Desember, Pastor Rua harus berkunjung ke Mornese untuk menyaksikan dua belas novis mengikrarkan kaul pertiga tahunan dan memberitahukan peraturan-peraturan untuk lima belas postulan baru.

Sebelum suster-suster itu kembali ke komunitasnya masing-masing, Don Bosco mengingatkan mereka untuk segera membuat peraturan-peratuan kongregasi yang disetujui oleh Gereja yang diwakili oleh uskup setempat. Ia mempunyai kebiasaan melakukan rekoleksi dan berdoa untuk beberapa hari sebelum membuat suatu keputusan yang sangat penting. Pada saat itu ia pergi ke tempat ziarah Ovada dengan ditemani oleh Pastor Costamagna. Mulai tanggal 28 Agustus sampai 31 Agustus, Don Bosco terus berdoa dan mempunyai harapan yang besar terhadap peraturan-peraturan itu. Setelah menyelesaikannya ia segera menghadap Uskup Acqui dan dengan rendah hati meminta beliau untuk menyetujui peraturan-peraturan itu supaya bisa dipergunakan oleh para suster.

Setelah mempelajarinya, Bapa Uskup menyetujuinya dan mengembalikannya pada 23 Januari 1876. Dengan menyebut kongregasi itu sebagai “sangat berguna”, ia merekomendasikan kepada para uskup lainnya untuk membuka tangan bagi para suster untuk berkarya di keuskupannya. Sekarang jalan yang lebar telah terbuka maka Don Bosco memutuskan untuk mengirim para suster ke Alassio dan Lu Monferrato. Uskup Biale dari Ventimiglia, dengan sangat meminta dia supaya membuka rumah baru di Bordighera karena di daerah itu Sekte Waldensian telah banyak menyesatkan anak-anak muda dan rakyat kecil. Don Bosco sudah lama menentang mereka di Turin maka ia sangat memperhatikan permintaan itu.

Don Bosco menulis surat kepada Maria dan memberitahunya bahwa ia telah mengirim tiga orang Salesian untuk membuka rumah baru di Bodighera. Para suster diharapkan dapat membuka sebuah sekolah yang terbuka untuk anak-anak perempuan dan Maria harus segera memilih suster-suster yang akan dikirim.

Maria menghabiskan banyak waktu untuk berdoa sebelum dia memilih tiga orang suster yang akan dikirim dengan superior Suster Orsola Camisassa. Suster Orsola hanyalah seorang novis ketika ia menyuruhnya untuk mengikrarkan kaul pertigatahunan dan menempatkan dia sebagai superior di Bordighera—suatu pilihan yang aneh untuk sebuah keputusan yang sangat penting. Mereka tidak mempunyai sesuatu apapun untuk memulai sekolah itu, mereka hanya mempunyai pengalaman sedikit bagaimana cara mengelola sebuah sekolah. Tetapi Don Bosco menginginkannya dan dia harus ditaati.

Maria berusaha untuk menghibur mereka agar tidak merasa terpisahkan dengan begitu dalam. Dia selalu memberikan nasehat-nasehat yang berguna bagi mereka. Dia menemani mereka melewati jalan yang ditutupi salju pada saat musim dingin yang sangat buruk dan terus mengingatkan mereka supaya tetap setia pada peraturan kongregasi sampai akhirnnya ia melepaskan mereka melanjutkan perjalanan. Pada saat itu hal yang paling berat adalah menguasai perasaan mereka untuk tidak merasa terpisahkan dan hal itu terutama dialami oleh Suster Rosalia Pestarino.

Setelah tiba di Bordighera, mereka segera menempati sebuah rumah yang berada di gedung yang disewa oleh uskup untuk mereka, tempat itu berseberangan dengan rumah para Salesian. Kedua komunitas itu segera bekerja sama untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak yang miskin. Mereka bisa bekerja di sana tanpa adanya rintangan yang berarti. Meskipun demikian pihak Waldensian tiba-tiba menentangnya dengan tuduhan bahwa mereka berupaya merebut anak-anak di wilayah itu dari tangan mereka. Meskipun ada hambatan itu tapi rencana-rencana yang telah disusun dapat berjalan dengan baik bahkan dalam waktu yang singkat para suster terpaksa harus menambah bangunan lagi. Pada saat itu banyak orang yang membantu mereka termasuk anak-anak, dengan mambawa martir, batu ataupun barang-barang yang lain. Ketika orang-orang Waldensian menyaksikan bahwa anak-anak juga ikut bekerja, mereka mulai mencibirnya.

“Jika hanya mengandalkan bantuan dari orang-orang di sana,” sindir mereka, “mereka membutuhkan waktu yang lama untuk memiliki sebuah sekolahan!”

Ketika penduduk menyaksikan betapa giat dan bersemangatnya para suster dalam bekerja, mereka memutuskan untuk membantunya. Mereka berharap agar bangunan itu bisa lebih cepat selesai dari perkiraan semula termasuk perkiraan kelompok Waldensian sekalipun. Setelah bangunan sekolah selesai mereka meneruskan membangun gereja, gedung paroki, tempat oratori dan akhirnya semuanya selesai dibangun.

Langkah berikutnya yang merupakan rencana Don Bosco adalah mengantar para suster bekerja di Turin. Hal ini merupakan jawaban dari para ibu yang memintanya untuk memperhatikan anak-anak perempuan sebagaimana ia memperhatikan anak laki-laki.

Pada tanggal 29 Maret 1876, sebelas orang suster yang dipimpin oleh Suster Elisa Roncalla meninggalkan Mornese menuju Turin. Seperti biasanya Maria selalu menyertai mereka dengan doa dan berkatnya. Don Bosco bersama dengan beberapa orang wanita menyambut mereka di Turin. Meskipun rumah yang harus mereka tempati dalam keadaan yang begitu sederhana tetapi mereka tidak merasa kesulitan karena mereka sudah terbiasa dengan kesederhanaan seperti yang ada di Mornese.

Pekerjaan mereka di Turin sama dengan pekerjan di rumah lainnya yaitu memperhatikan ruang cuci di tempat oratori, membuka oratori untuk anak-anak perempuan dan mengajar katekismus bagi anak-anak yang miskin. Don Bosco mengharapkan mereka untuk mengambil ujian negara supaya mereka bisa mendapatkan ijazah sarjana pendidikan. Kebahagiaan yang terbesar yang mereka rasakan adalah adanya perubahan yang cepat yang terjadi di daerah itu. Sebelumnya kita hanya akan mendengar umpatan dan penghinaan terhadap agama, tetapi sekarang kita dapat mendengar lagu-lagu pujian kepada Tuhan dinyanyikan oleh orang-orang di daerah itu.

15—Kasih Mengalahkan Segalanya



Pada saat musim dingin sebelum anak-anak bangun, ketika Maria sedang mengelilingi ruang tidur, ia berhenti untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang tidak beres. Bagi seseorang yang telah lama mendampingi anak-anak jika ada sesuatu yang tidak beres meskipun kecil pada mereka dia akan segera mengetahuinya. Dengan langkah yang menyelidik dia mencoba memperhatikan segalanya dengan lebih teliti. Ya, ada sesuatu yang tidak beres, atau kalau tidak ada sesuatu yang hilang. Dan, ya ! Dia menemukannya. Ketika semua sepatu anak-anak berjajar dengan rapi di samping tempat tidurnya, ternyata ada seorang gadis yang tidak melakukannya. Pada saat yang sama ada segumpal kain yang berada di tempat tidur yang menyelimuti kakinya.

Dengan lemah lembut Maria membangunkan anak itu kemudian dia menunjuk pada segumpal kain itu. “Jangan takut sayang,” Ia membisik.”Tunjukanlah pada saya.”

Pandangan matanya tertuju pada Maria, kemudian anak itu membuka kain tempat tidurnya dengan pelan sehingga masing-masing kakinya kelihatan masih memakai sepatu boot yang sudah usang.

Dengan tersenyum meskipun pada situasi yang kurang cocok, Maria mulai menentramkan hati anak itu untuk tidak perlu takut. “Apa yang terjadi?” Ia bertanya. “Tidak dapatkah kamu menceritakannya kepada saya ?”

Dengan berlinang air mata anak itu berkata kepadanya bahwa sudah beberapa hari ia menderita gatal-gatal dikakinya tetapi ia takut untuk menceritakannya kepada suster. Sementara itu gatal-gatalnya telah membengkak dan pecah sehingga menyebabkan kaus kakinya melekat pada kulitnya dan menyebabkan rasa sakit pada saat membuka sepatunya. Karena dia takut menceritakan kepada orang lain, dia tetap memakainya pada saat tidur dan menahan sakit sambil menangis.

Maria tidak bisa berbicara sepatah katapun kecuali air matanya yang jatuh berlinang tanpa ia sadari, mengetahui bahwa ada salah satu anaknya yang begitu menderita tanpa ia ketahui. Ia mengambil satu baskom air hangat kemudian dengan hati-hati dicopotnya sepatu beserta kaos kakinya. Kemudian ia mengelap kaki anak itu dan membalut lukanya. Setelah itu ia mengendong anak itu dan membawanya ke gereja bergabung dengan teman-teman yang lainnya

“Duduklah dengan tenang dan tidak usah bergerak,” Maria mengingatkannya. “Yesus akan tetap mencintaimu.”

Mengikuti semangat Don Bosco dan juga kecenderungannya, keinginan Maria sebenarnya bukan menjadi superior tetapi menjadi seorang ibu, bersikap dan bertindak sebagaimana seorang ibu meskipun ia harus menanggung resiko yang memalukan sekalipun. Sebagai contoh dalam mengikuti semangat Don Bosco adalah kebiasaan memberikan “selamat malam” yang merupakan kebiasaan Don Bosco kepada anak-anaknya, juga ia berikan kepada anak-anak perempuannya. Tradisi “selamat malam”, merupakan sebuah kebiasaan yang Don Bosco berikan kepada anak-anaknya yang berupa nasehat-nasehat singkat sebelum mereka tidur malam. Karena pendidikan formalnya kurang, dia seringkali mengunakan kata-kata yang kurang mengenakkan pendengar dan juga sering mempergunakan perumpamaan dengan logat daerah asalnya yang kadang-kadang memusingkan kepala untuk dimengerti. Hal-hal itulah yang antara lain mengkawatirkan suster-suster yang lain untuk memberikan tanggung jawab yang lebih banyak kepadanya. Daripada menyampaikan larangan-larangannya yang berkaitan dengan hubungan dengan suster yang lain, dia lebih suka memberikan nasehat-nasehat yang lebih sederhana dan bahkan mempunyai kesan tak berarti. Akan tetapi dari hal-hal yang sederhana itu, dia berusaha untuk menanamkan semangat bermatiraga kepada mereka karena mereka harus bekerja untuk jiwa-jiwa.

Kemudian ia akan selalu menyisihkan waktu jika ada suster yang mau bertemu atau berkonsultasi dengannya. Dia dengan serius akan mendengar segala keluh kesah atau kesulitan yang mereka hadapi, menghibur kalau ada suster yang baru mendapat kabar yang kurang menyenangkan dari rumah, atau mengoreksi beberapa kesalahan yang ia temui atau lihat.

“Hari ini kamu telah memperolok suster A. Saya tahu dia adalah seorang suster yang sederhana tetapi kita harus menghormati perasaannya!”

“Seharian ini saya tidak mendengar suaramu. Apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja ?

Suster yang berusia tua maupun muda dapat dengan mudah menghubunginya, tidak ada yang merasa berberat hati untuk bertemu dan bercakap-cakap dengannya. Mereka hanya dituntut untuk mau mengungkapkan masalahnya maka Maria akan berusaha dengan segala kemampuaanya membantu mereka. Dia akan membantu mencari penyelesaian suatu masalah dan meringankan yang berbeban berat. Jika pada suatu saat merupakan sebuah hari yang panjang dan melelahkan sementara ia sendiri sudah terlalu letih tetapi masih ada seseorang yang ingin berbicara dengan dia, maka dialah yang pertama berniat menyapa mereka. “Kemarilah suster. Adakah sesuatu yang mau disampaikan kepada saya?”

“Apakah hari ini kamu melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hadapan Tuhan ?”

“Apakah kamu masih ingat resolusi-resolusi yang kamu ambil pada saat meditasi tadi pagi ?”

Dia mempunyai cara tersendiri agar para suster selalu mengingat nasehat-nasehatnya:

Bekerjalah sepanjang hari ini dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir hari ini Tuhan dapat berkata, ”Anakku, Aku sangat berkenan dengan karyamu!” Berpikirlah juga pada saat kematianmu dan kemudian bertanyalah pada dirimu sendiri: “Apa yang harus aku lakukan?” Ketika kamu sedang bekerja ingat selalu: ”Apakah hal-hal yang saya lakukan hari ini akan berguna untuk hidup kekal saya ?”

Kata-kata yang terakhir ini merupakan keinginan yang selalu ia pegang teguh terutama pada tahun-tahun berikutnya. Suatu ketika setelah memberikan konferensi tutup tahun bagi para suster, dia diikuti oleh suster Pacotto yang mau bertanya suatu hal yang baru ia berikan. Dengan kesederhanaan dan kesabaran yang besar, Maria menjawab semua pertanyaannya, salah satu pertanyaanya menyangkut pengadilan setelah kematian.

“Tepatlah mempunyai pemikiran bahwa kita harus mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan kita di hadapan Tuhan.” Dia menjawab, ”Keyakinan seperti itulah yang membuat saya berdoa setiap hari atas anugerah sehingga diperbolehkan menyesali kesalahan-kesalahan yang telah saya lakukan dan berusaha untuk menghindarinya. “Kamu berkata bahwa pernah melihat saya berdoa dengan devosi yang tinggi,” Dia melanjutkan. “Dan ketahuilah saya tidak pernah merasa puas di dalam doa saya. Maka saya tidak mengerti devosi yang tinggi macam apa yang kamu lihat pada saya.” Hal-hal yang ia cari bukanlah dorongan hasrat yang kadang-kadang ditunjukkan oleh beberapa suster atau tetesan air mata pada saat berdoa di gereja, melainkan usaha untuk bisa hidup dengan rendah hati dan hidup bermati raga.

“Kalau kita melihat suster-suster yang sekali atau dua kali meneteskan air mata pada saat berdoa, kadang kala kita iri. Tetapi kalau ternyata suster-suster itu tidak bisa bermati raga dan hidup dengan rendah hati maka saya tidak akan memuji mereka.....”

Suster-suster harus mampu bertindak dan bersikap lebih baik daripada orang kebanyakan. Mereka harus rajin dan bersemangat dalam kerja dan tidak membuang-buang waktu. Mereka harus mampu mengatur dan mengontrol hidupnya sendiri sehingga mampu memberi contoh kepada orang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan jiwanya.

“Jadilah suster yang baik hati, “ Dia meneguhkan. “ Kita bekerja untuk tuan yang kaya raya yang menjanjikan hadiah yang sangat melimpah kepada kita .”

“Suster-susterku yang terkasih,” Dia memohon, “ Bertekunlah selalu. Marilah kita berjanji untuk menjadi seorang kudus secepat mungkin. Untuk dapat mewujukannya, kita harus keras terhadap diri kita sendiri tetapi berbaik hati kepada orang lain.... Kita sangat beruntung bisa menjadi seorang suster oleh karena itu janganlah kita sia-siakan panggilan mulia itu. Janganlah menjadikan tugas-tugas kita sebagai sesuatu yang memberatkan atau membuat kita malu, karena hal itu merupakan suatu pelanggaran yang serius dan membuat kita tidak layak menerima anugerah Tuhan.”

“Ada beberapa orang yang terlalu banyak berbicara tentang dirinya dan orang-orang tertentu, tetapi tidak memberitahu sepatah katapun hal yang seharusnya kamu ketahui; dan adapula beberapa orang yang tidak terlalu banyak bercerita tentang dirinya dan memberitahukan semua hal yang seharusnya kamu ketahui. Berhati-hatilah dengan orang-orang yang selalu harus diawasi—hal itu adalah sebuah tanda yang menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan maksud yang benar.”

“Meskipun dia adalah seorang yang baik hati dan ramah,” kata seorang suster, ”penuh kehalusan dan kelemahlembutan, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi tegas dan berterus terang dalam mengoreksi kesalahan-kesalahan kami, memperbaiki sesuatu yang perlu diperbaiki. Kami tidak mengharapkan mempunyai suster-suster yang tidak mempunyai kekurangan,” ia memberitahu kami. ”Tetapi kami akan tetap memaksa mereka untuk berusaha melakukannya.”

“Meskipun ia adalah seorang pribadi yang baik hati,” tulis Pastor Cagliero, ”Akan tetapi, pada saat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam komunitas, dia bertindak pada waktu dan tempat yang tepat dan dia bisa bertindak keras dan tegas. Ia tidak pernah gagal pada saat memperbaiki seseorang sekalipun seseorang itu tidak mau mendengar apa yang ia katakan .”

Ketika diperkenalkan suatu kebiasaan untuk mengemukakan kesalahan-kesalahan seseorang kepada superiornya, Maria berniat untuk mempertahankan kebiasaan itu dan ketika ia mendengarkannya dia akan selalu memberikan nasehat dan kata-kata yang meneguhkan. Jika ada seseorang yang mengaku selalu melakukan kesalahan-kesalahan yang sama, Maria akan selalu menasehatinya untuk tetap melawan kelemahan itu dan jangan pernah menyerah dengannya. “Saya sendiri sering kali jatuh pada kesalahan-kesalahan yang sama,” Dia seringkali mengakuinya. “ Tetapi saya dan kamu harus yakin bahwa hal itu jangan terulang lagi, ”Atau, saya sesekali melakukan kesalahan ini tetapi ternyata Tuhan mau memaafkan kita.” Nasehat-nasehat itu akan disampaikannya dengan baik bahkan kadang-kadang disertai humor sehingga membuat para suster merasa bahagia.

Saya telah melakukan dua kesalahan yang serius menurut saya,” Suster Ernesta Farina menambahkan. “Suatu saat ketika saya pergi mengambil air di sumur untuk ruang cuci, saya memutuskan tali sehingga menyebabkan embernya jatuh. Kemudian saya memberitahukan kepada ibu dan saya menunggu omelannya karena kecerobohan saya itu. Tetapi ia hanya tersenyum dan berkata, ”Janganlah hal itu merisaukanmu. Biarkanlah ember itu kami nanti yang akan mengambilnya.” Pada saat yang lain, saya telah ceroboh karena menjatuhkan sebuah lampu yang paling indah yang kami miliki di rumah. Karena kami adalah orang miskin, maka saya mulai menangis membayangkan omelan yang akan segera diberikan kepada saya. Tetapi sekali lagi ia telah mengejutkan saya. “Gadis perkasa macam apa kamu, yang menangis karena hal kecil seperti itu ?” Ia berkata lagi, ”Kamu meminta saya untuk mengirimmu ke tanah misi, tetapi hanya memecahkan lampu saja kamu sudah menangis! Ingatlah bahwa kamu adalah seorang misionaris yang hebat!” Dengan cara ini, daripada membuat saya merasa bersalah, ia telah memberikan bimbingan rohani yang luar biasa.

Ketika para suster sedang berpraktek membaca di depan umum, Maria akan bergabung dengan mereka dan meminta mereka untuk mengoreksinya atau jika dia sedang membaca pada suatu pertemuan dan kemudian menemukan sebuah kata atau sebuah frasa yang tidak dimengerti, maka dia akan minta penjelasan dari orang terdekat, apakah dia seorang postulan, novis ataupun suster.

Pada saat ia mendapatan giliran untuk membaca pada saat makan, ia akan membacanya dari tempat duduknya. Dia berkata bahwa dia akan memberikan kesempatan kepada yang lain mendengarkan kemampuannya yang kurang dalam membaca dan mengetahui betapa rendah tingkat pendidikannya.

Ketika ia harus menulis sebuah surat, dia biasanya akan mendiktekannya kepada orang lain tetapi tak akan pernah membiarkan orang itu menggunakan kata-kata yang yang berkesan sombong dan ketika ia menyadari telah membuat suatu kesalahan dia tidak akan memperbolehkan suster itu langsung memperbaikinya tetapi membiarkan hal itu diketahui oleh yang lain dahulu. Pada suatu kesempatan, dia pernah menulis surat dengan tangannya sendiri. Ternyata di dalam surat tersebut ada beberapa bagian tanpa paragraf dan huruf besar, ditulis dengan tulisan tangan dan dalam bentuk yang memprihatinkan. Kenapa ia melakukan hal itu ? “Supaya orang-orang tahu betapa bodohnya superior kalian!”

Pator Costamagna, ketika menjadi pembimbing rohani di Mornese, memperkenalkan suatu kebiasaan yang kurang bijaksana yaitu mencium tanah dan berlutut sebagai bentuk penebusan dosa kalau melanggar aturan. Maria mengikuti contoh itu, dia membuat hal yang sama jika ada novis yang melakukan pelanggaran. Untuk dirinya sendiri, ia membuat sesuatu hal yang lebih berat. Dia seringkali mencium kaki dari para suster terutama suster yang dianggap paling rendah hati di antara mereka. Kaki dari suster Assunta Gaino, sebagai contoh, diciumnya ketika dia baru saja pulang dari kandang ayam. Bagi mereka yang tidak dapat mengerti kebajikan yang terkandung di dalam tindakan itu, ia akan menjawab; “ Mereka ini adalah seseorang yang mempunyai jiwa yang paling dekat dengan Tuhan, kebajikan merekalah yang membuat rahmat Tuhan turun atas kita.”

Dia mempunyai keyakinan akan ketidaklayakannya menjadi anggota suatu konggregasi yang di antara anggota-anggotanya banyak terdapat orang-orang yang suci, tetapi tidak ada yang memintanya pergi, maka dia akan berlutut dan berkata,” Sayalah yang terkecil di antara kamu, yang paling tidak pantas, tidak layak untuk tinggal di sini, suster, tolong selalu doakan saya !”

Ia paling membenci dosa. Kuatir kalau roh jahat akan menyusup ke dalam komunitasnya maka ia selalu siap siaga setiap saat. Ketika ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada orang tertentu, dia akan berusaha membantunya sebaik mungkin, melindunginya dari sesutau yang jahat yang mau mengusainya. Akan tetapi kalau dia merasa sudah tidak mampu lagi maka dia akan menyerahkan jiwa-jiwa tersebut kepada Tuhan Yesus melalui Sakramen Maha Kudus atau kepada Santo Yosef, dengan keyakinan bahwa merekalah yang akan mengubahnya.

Dia mempunyai kemampuan untuk melihat tanda-tanda kedalaman rohani seseorang. Hal itu sering membantunya dalam waktu yang pendek; seseorang yang mempunyai panggilan, seseorang yang sedang mengalami krisis panggilan atau yang tidak memiliki panggilannya.

Karena sekarang kamu telah menceritakan semuanya kepada saya,” dia menjamin, “ Kamu tidak perlu kuatir. Sekarang sayalah yang akan menanggung semua kekuatiranmu itu dan akan mengawasinya. Kamu tidak perlu lagi memikirkannya.” Kemudian dia akan memberikan sebuah senyuman yang ramah dan hal itu juga akan menimbulkan senyuman balasan dari dari seseorang itu dan semuanya akan berakhir dengan baik.

Dia tidak pernah menunjukkan keletihan atau ketidaksabaran meskipun mengikuti wawancara yang panjang, tidak pernah berkeberatan meskipun orang lain itu berkali-kali mengulangnya. Suatu ketika Maria menjumpai seorang suster yang sangat menderita akibat perasaan bersalah yang berlebihan dan kemudian bersembunyi di sudut gereja untuk memeriksa suara hatinya.

Di manakah kamu, Suster ?” Maria bertanya kepadanya. “ Kamu telah membuat saya kuatir. ”Perasaan bersalah yang berlebihan merupakan suatu penyakit, saya berkata demikian karena pernah merasakannya. Saya dapat disembuhkan hanya dengan sebuah metode yang tepat.”

Metode apakah itu?”

Ketaatan yang tinggi dan tak tergoyahkan kepada pembimbing rohani saya.“ Ternyata hal yang sama dapat menyembuhkan suster itu. Sementara itu suster yang lain mengalami hal yang berbeda. Suster ini merasakan bahwa ia selalu kekurangan waktu pada saat melakukan pemeriksaan batin. Dia sudah menghabiskan waktu satu jam, satu hari, bahkan satu minggu tetap masih juga tidak merasa puas. Hal itu tentu saja sangat mengganggunya.

Maria berusaha menyakinkan bahwa dia telah menjadi korban dari perasaan bersalah yang berlebihan itu tetapi ia tidak percaya. Hal itu terus berlangsung terus sampai suatu saat Maria memanggilnya.

Pergunakanlah waktu sebanyak yang kamu perlukan,” Dia menasehatinya. “Tetapi kamu harus melakukannya di kamarmu kemudian tuliskanlah seluruh dosamu pada secarik kertas. Yang saya maksud adalah dosa-dosa berat yang kamu lakukan, bukan yang kamu pikirkan. Ketika kamu sudah selesai melakukannya, tunjukkan kertas itu kepada saya, tetapi kamu harus menunjukkannya dalam jarak yang cukup jauh sehingga saya tidak dapat membacanya. Hal itu saya lakukan hanya untuk memastikan saya bahwa kamu telah melakukan dosa-dosa yang kamu kira telah kamu lakukan.”

Kemudian suster itu pergi ke kamarnya, dia menghabiskan waktu yang lama di kamarnya dan ketika ia datang menunjukkan kertasnya, ternyata kertas itu kosong.

Saya tidak menemukan dosa-dosa berat yang telah saya lakukan,” katanya, “hanya hal-hal kecil yang.......”

.............. tidak apa-apa,” potongnya, “tetapi kamu harus tetap waspada. Janganlah kamu membuang-buang waktu untuk memikirkannya. Lebih baik kamu mulai bekerja dan....... selalu tersenyum.”

Rosalia Pestarino, keponakan dari Pastor Pestarino, pada tahun 1874 meninggalkan sekolahnya di Ovada untuk bisa hadir pada kunjungan Don Bosco di Mornese. Setelah beberapa teman-temannya pergi mengaku dosa kepada Don Bosco, dia membantu mempersiapkan makan malam. Dia mendengar bahwa Don Bosco mau memberikan nasehat tentang panggilan seseorang, sementara ia sendiri belum berani memutuskan panggilan yang akan dipilihnya. Dia ingin mengetahui apa yang Don Bosco katakan tentang panggilannya. Tetapi ia enggan menghadapnya karena ia kuatir kalau Don Bosco mengenalnya.

Kenakanlah tudung di kepalamu maka dia pasti tidak akan mengenalmu,” nasehat teman-temanya. “Ide yang bagus!” Dengan tudung yang lebar yang menutupi kepada dan pundaknya ia masuk ke ruang pengakuan dosa. Dia membuat pengakuan dosa yang umum dan dia hampir keluar pada saat Don Bosco dengan suaranya yang dalam berkata kepadanya, “Jadilah seorang suster!”

Setelah berkonsultasi dengan Pastor Cagliero, dia memutuskan bergabung dengan Putri-putri Maria Bunda Penolong (FMA). Hal itu membuat pamannya, Pastor Pestarino sangat gembira tetapi tidak bagi kakak laki-lakinya, Pastor Josef Pestarino. “Mengapa kamu mau bergabung dengan mereka?” Dia bertanya. “ Tidak tahukah kamu bahwa mereka itu bukanlah suster yang benar ?”

Saya ingin bergabung dengan mereka sebab mereka adalah suster-suster yang sungguh-sungguh dalam panggilannya,” jawabnya.

Satu hal yang tidak akan pernah ia lakukan meskipun sesudah menjadi suster adalah pergi mengaku dosa kepada pamannya. Walaupun Maria sudah berusaha keras untuk membujuknya tetapi ia tetap pada keputusannya.

Berapa lama kamu akan berbuat seperti itu?” Maria bertanya kepadanya. “Ingatlah bahwa dalam diri bapa pengakuan, Tuhan sendiri hadir. Paling tidak tunjukkan dirimu seperti suster-suster yang lainnya. Jika kamu memerlukan pastor yang lain, kami akan mencoba mencarikan.”

Ketika datang saat pengakuan dosa bagi para suster, novis, postulan dan umat yang lainnya, dia tidak melakukannya. Ia duduk menyendiri di pojok gereja. Maria mendekatinya. “Pergilah segera!” Suruhnya. “ Paling tidak pergilah meminta berkat dari pastor. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau mengaku dosa. Pada saat itu kita akan memenangkan jiwa kita.”

Rosalia bangkit dan kemudian pergi ke tempat pengakuan dosa tetapi ia berusaha berada dalam jarak yang cukup jauh darinya, ketika tiba gilirannya untuk mengaku dosa ia melompat dan lari.

Setengah Kemenangan,” kata Maria, “Tetapi belum cukup. Saya akan memanggil pastor kembali dan kamu harus pergi kepadanya.” Rosalia menundukkan kepalanya dan kemudian pergi mengaku dosa, pada saat ia mengakukan dosanya ia sama sekali lupa siapa yang mendengar pengakuannya.

Saya benar, bukan?“ kata Maria kepada Rosalia yang sekarang sedang menangis karena telah mendapat penghiburan. Tuhan sendirilah yang hadir pada diri bapa pengkuan dosa.

Meskipun ia sangat keras dalam melaksanakan peraturan kongregasi kepada siapa saya tetapi ia juga bisa memberikan beberapa pengecualian pada saat tertentu.

Suatu kali dia mendapatkan seorang postulan yang tidak melakukan gilirannya membaca pada saat makan. “Kenapa kamu tidak membacanya?” Dia menanyakannya. “Sebab ketika saya pergi untuk membaca, seseorang akan memakan roti yang suster berikan kepada saya.”

“ Anakku yang malang!” Sambungnya dengan penuh perhatian. “ Itu merupakan sebuah masalah yang serius. Kalau tiba giliran berikutnya kamu harus membaca, berikan rotimu kepada saya. Saya akan memastikan bahwa rotimu itu masih utuh sampai kamu selesai dengan bacaan itu.

Suatu saat saya mengalami diri saya sangat rapuh—kata suster Pacotto—saya mempunyai keinginan yang kuat untuk makan melebihi yang diizinkan atau yang disediakan oleh komunitas. Saya memberitahu ibu bahwa saya harus makan sesuatu ketika saya bangun meskipun bangun jam sebelas ataupun duabelas malam, kalau tidak maka saya tidak akan bisa tidur lagi.

“ Malam ini ketika kamu bangun,” Jawabnya, “ pergilah ke dapur dan ambillah yang kamu perlukan.”

“ Tetapi kalau saya berhenti berpuasa bagaimanakah saya dapat menerima komuni?”

“ Tidak usah dipikirkan hal itu”.

Malam itu setelah jam sebelas, saya tetap tidak pergi ke dapur. Seorang suster yang sedang mendapat giliran tugas malam datang ke kamar tidur orang sakit sambil membawa sebuah lampu di salah satu tangannya dan sebuah mangkuk besar yang berisi susu dan roti di tangan yang lainnya.

“ Ibu berkata bahwa kamu harus memakannya,” dia berkata kepada saya. Hal itu membuat badan saya menjadi nyaman. Tetapi lebih daripada itu, ibu menyuruh saya melakukannya setiap malam sampai saya sembuh.

Ketika beberapa orang suster yang sakit lebih memilih tinggal di kamar khusus orang sakit, Maria memberikan sebuah contoh yang sangat baik. Ketika dia sendiri sakit, ia tidak hanya pindah ke kamar khusus orang sakit saja tetapi juga membawa tempat tidurnya ke sana. Petugas kamar orang-orang sakit, ketika mengetahui bahwa ia sakit, telah mencarinya ke seluruh rumah tanpa menemukannya, tetapi ketika dia kembali ke kamar khusus untuk orang sakit, ia menemukan bahwa Maria telah terbaring di sana di pada tempat tidurnya sendiri. Dia menyarankan kepada Maria untuk tidak melakukan hal itu karena dia adalah pemimpin di sana.

“Siapakah aku ini sehingga harus diperlakukan berbeda dengan yang lain?” dia menjawab. “Dan bukankah saya memberikan contoh yang baik?”

Sebuah kejadian aneh mampu menunjukkan betapa dalam cinta dan kepedulian Maria kepada anak-anaknya yang miskin dan yang membutuhkan perlindungan seorang ibu.

Agar tidak melewatkan tanggal dua puluh empat pada bulan Bunda Maria tanpa adanya suatu perayaan, Maria merencanakan untuk bertamasya dengan mengunjungi tempat ziarah Santa Maria dari Rochetta yang berada dekat dengan Lerma. Kunjungan itu juga sangat bermanfaat bagi para suster untuk belajar beberapa hal yang penting.

Dalam perjalanan mereka, ia menghentikan rombongan itu untuk beberapa saat, kemudian suster-suster yang lain duduk mengelilinginya sambil bernyanyi, tertawa dan menikmati penikmati pemandangan yang terbentang di sekitar mereka, tiba-tiba muncul di depan mereka seorang gadis yang berumur kurang lebih lima atau enam tahun. Gadis itu kotor dan tampak kelaparan dengan bajunya yang sudah jelek. Untuk beberapa saat mata sang gadis itu bertatapan dengan kelompok Maria. Mereka hening sejenak dan hal itu sudah cukup membuat mata Maria berlinang.

“Anakku yang malang,” sambungnya. “ Apakah kamu ingin makan sesuatu?” Gadis itu menjadi malu dengan begitu banyak perhatian itu, hampir tidak bisa mengangguk. Maria kemudian menoleh kepada para suster. “ Apakah kalian mau membuat sebuah pelayanan kasih ?” ia bertanya kepada mereka.

“Ya!” jawab mereka, bagaikan sebuah koor.

“Kalau begitu bawalah anak ini ke sungai dan mandikanlah dia.” Kemudian dia melihat andaikata ada kemungkinan menguji para suster. “Kita akan lihat,“ Dia merenungkannya. “Siapakah yang mempunyai baju yang paling baik?”

Setelah mencari ia memilih baju salah seorang novis. Ia berharap hal itu sebagai sebuah bentuk matiraga bagi novis tadi. Kemudian ia meminjam gunting, jarum dan benang dan mulai memotong baju tadi menjadi beberapa bagian yang akan dibuat sebuah baju untuk anak kecil.

Para suster hanya dapat menatapnya dengan perasaan bangga yang bercampur dengan kagum ketika melihat dia sedang memotong baju novis tadi. Dengan kemampuannya dia melakukan hal itu dengan cepat kemudian dibantu oleh suster-suster yang lain untuk menjahit bagian-bagian itu. Kemudian tidak begitu lama anak tadi kembali dengan kondisi yang lebih segar dan bersih setelah dimandikan. Maria memberinya sebuah pelukan yang hangat dan kemudian menyuruhnya duduk di sampingnya, sambil terus menjahit dia bertanya beberapa pertanyaan yang singkat yang menyangkut agama, menyuruhnya mengulangi beberapa doa baru dan tetap membuatnya sibuk sampai Maria selesai menjahitkan bajunya. Setelah baju itu selesai ia segera mengenakannya kepada anak itu dan memberikan sisa kain kepadanya supaya diberikan kepada ibunya agar bisa digunakan kalau baju itu sudah mulai rusak. Dia juga memberinya sekotak roti dan keju, menyalaminya dan kemudian menyuruhnya pulang dengan riang sambil mengulang-ulang doa yang baru saja diajarkan kepadanya.

16—Diutus Ke Tanah Misi


Kami akan pergi ke tanah misi ! Kami akan pergi ke Amerika Selatan!”

Dengan menggunakan segala kewibawaanya Maria berusaha untuk menenangkan para suster, yang sedang mengungkapkan perasaanya seperti yang ia rasakan juga ketika mendengar berita itu.

Pada tahun 1874 Don Bosco telah memberitahukan kepada para suster jikalau mereka telah mempunyai anggota yang cukup banyak sudah saatnya bagi mereka memekarkan sayap yang baru. Dia menyarankan untuk membuka sayap baru yang pertama yaitu Borgo San Martino. Pemberitahuan itu telah menciptakan gelombang ketakutan dalam komunitas. Bagaimana mungkin meninggalkan Mornese karena di sana mereka telah merasa bersatu dengan Tuhan dan juga dengan suster-suster yang lain? Lalu bagaimana mungkin mereka akan pergi tanpa merasa kehilangan beberapa anggota di dalam komunitasnya ? Borgo San Martino, terletak 55 km dari Mornese.

Maria hanya memerlukan tiga tahun yang pendek untuk mempersiapkan permohonan para suster yang mau diutus ke tanah misi di Amerika Selatan, suatu tempat yang terletak ribuan kilometer jauhnya, sebuah tanah yang tidak dikenal, berbicara dalam bahasa asing, dan juga kehidupan yang sangat berbeda dan juga penuh bahaya.... jawaban yang muncul sangat antusias dan nyaris kompak dari para suster yang memohon untuk diperbolekan pergi.

Mengapa kali ini mereka memberikan tanggapan yang sangat berbeda ?

Pada tanggal 8 September, datanglah sebuah surat dari Don Bosco dan kemudian dibacakan oleh Maria untuk seluruh anggota komunitas. Penyelengaraan Ilahi, katanya, akhirnya tibalah kesempatan bagi para suster untuk bisa melayani Tuhan di tanah misi. Bagi para suster yang mau meninggalkan kampung halamannya, orang tuanya, sanak saudaranya dan juga teman-temannya, demi pewartaan Kristus di Amerika, harus menulis sebuah lamaran. Kemudian superiorlah yang akan menentukan siapa yang terpilih untuk melaksanakan tugas yang sangat mulia itu.

Kalau kita mengenang kembali khususnya pada tahun 1848, Don Bosco pernah merasakah gejolak hati ynag mengelora untuk pergi ke tanah misi akan tetapi oleh pastor pengakuannya, Pastor Joseph Cafasso, dia diyakinkan bahwa itu bukanlah perutusannya.

Pada tahun-tahun berikutnya, dia telah berhasil membangun dan mengembangkan sebuah kongregasi yang baru ia dirikan. Pada tahun 1875, sebagian besar rencana-rencana pokok yang ia laksanakan dapat berhasil dengan baik dan tibalah saatnya dia memutuskan untuk berbuat sesuatu bagi jiwa-jiwa di tempat-tempat yang masih belum mengenal kabar gembira Kristus.

Pengakuan tahta suci kepada kongregasi telah menghasilkan buah-buah tersendiri. Ketika ia sedang menanamkan rasa percaya diri bagi para Salesian, pada saat yang sama datanglah banyak lamaran untuk menjadi anggota. Pengakuan itu, menjadikan nama Don Bosco semakin terkenal bahkan sampai di luar Italia. Hal itu membuat para superior di daerah misi bersemangat untuk mengajak para Salesian bekerja di daerahnya. Don Bosco telah menerima lebih dari limapuluh undangan dari berbagai penjuru dunia.

Hal itu terjadi karena pada saat itu seluruh Eropa sedang dilanda demam untuk menjadi misionaris.

Konsili Vatikan I di Roma pada tahun 1870, telah dihadiri oleh uskup-uskup dari seluruh dunia. Hal itu telah membangkitkan dan memacu semangat yang baru bagi karya-karya mereka. Mereka juga meminta untuk dikirimi lebih banyak misionaris ke tempat-tempat mereka yang masih memerlukan banyak perhatian. Salah satu dari mereka adalah seorang Piedmont, yang bernama Dominikus Barbero, Uskup dari Hyderabad, India yang telah meminta Don Bosco untuk mengirimkan beberapa orang suster.

Karena Don Bosco belum mempunyai banyak suster yang bisa dikirim, maka ia menyarankan kepada bapa uskup untuk meminta kepada suster-suster dari Santa Anna.

Setelah jumlah anggota kongregasinya meningkat dengan pesat, maka pada tahun 1875, dia merasa sudah saatnya untuk mengirim sepuluh orang di bawah pimpinan Pastor Johanes Cagliero, menjadi misionaris Salesian pertama ke Amerika Selatan. Keputusannya untuk mengirimkan misionaris yang pertama ke Amerika Selatan di dasarkan pada peristiwa-peristiwa yang kebetulan terjadi, penglihatan-penglihatan yang ia alami serta mimpi-mimpi yang berkaitan dengan tanah misi.

Karena Don Bosco menganggap para suster FMA merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keluarga Salesian, maka normallah jika ia kemudian menawarkan kepada mereka untuk ikut ambil bagian dalam di tanah misi. Maka datanglah kesempatan itu tepatnya pada tahun 1877, ketika Don Bosco akan mengirim misionaris Salesian untuk yang ketiga kalinya. Di tanah misi, mereka akan bekerja untuk anak-anak wanita seperti yang dilakukan oleh Salesian untuk anak laki-laki. Dia menyarankan kepada Maria untuk memilih calon-calon suster yang ia anggap mempunyai kemampuan yang terbaik untuk kerja seperti itu. Salah satu syarat yang diusulkan Don Bosco adalah kemampuan untuk belajar bahasa asing, hal itu menunjukkan bukti bahwa Don Bosco juga bermaksud mengirimkan para misionarisnya tidak hanya ke Amerika Selatan saja.

Cara pendekatan yang ia anjurkan kepada para misionarisnya berbeda dengan kebanyakan cara yang digunakan oleh para para misionaris yang lain. Dia tidak menyuruh mereka agar langsung bekerja dengan orang-orang Indian. Mereka harus menahan diri dahulu, pertama-tama, mereka akan membangun tempat oratori, pusat katekismus dan sekolah-sekolah untuk kaum miskin di pusat kota. Kemudian melalui tempat-tempat itu akan mengirim orang-orang dan juga kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk pusat-pusat misi. Kedatangan Salesian diterima dengan sangat baik. Salesian diterima bekerja untuk kegiatan-kegiatan yang dapat membantu anak-anak mereka. Apakah mereka dapat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang di sana, dengan iklim dan terlebih dengan kesulitan-kesulitan yang muncul? Waktulah yang akan menjawab.

Ketika berita itu sampai di Mornese, terjadilah kegembiraan yang luar biasa. Mereka berpikir bahwa komunitas kecil mereka akan turut serta menyeberangi lautan dalam karya misionaris, berharap bahwa beberapa orang di antara mereka akan mengadakan perjalanan yang sangat jauh demi pewartaan Injil. Pada saat kegembiraan mereka mereda karena hampir semua orang telah mengajukan lamarannya, maka penyebab kegembiraan yang berikutnya adalah menunggu jawaban atas lamaran mereka. Lalu siapakah yang akan dikirimkan untuk yang pertama kali?

Maria sendiri berusaha untuk menjadikan segala sesuatunya dalam keadaan tenang dengan cara mengingatkan mereka bahwa seluruh anggota komunitas terutama bagi para suster yang nantinya akan terpilih pergi ke tanah misi, supaya bisa mendapatkan berkat Tuhan dengan cara memeriksa batin terhadap peraturan kongregasi dan semakin menumbuhkan semangat bermatiraga. Dia juga mengingatkan bahwa para suster juga harus membuka rumah baru yang lebih dekat yaitu di Lanso, dan di negara lain yang bukan Amerika Selatan tetapi Perancis, di mana mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengambil alih sebuah rumah di Santo Cyr dan di Toulon.

Ketika dia sedang memberikan nasehat kepada para suster itu, dapatkah ia lupa bahwa ia telah mengirimkan namanya sendiri bersama dengan mereka? Dengan bercanda karena keberatan Pastor Costamagna mengatakan bahwa ia masih terlalu muda untuk pergi ke daerah misi, dia menanggapinya dengan berkata, “Dia sudah ompong kecuali kedua giginya yang telah lama menyusahkannya, dan dia sudah mempunyai banyak uban di kepalanya; “dan jika ada ancaman dari orang-orang liar yang akan memakan daging orang kristen, dagingnya sudah terlalu keras dan kering”.

Dia mendapatkan banyak penghiburan karena telah memilih para suster yang akan pergi. “Saya telah memilih Salesian untuk misi yang pertama, “ kata Don Bosco. “Biarkanlah dia memilih para suster untuk misi pertama mereka”.

Harapan-harapan dari suster yang lainnya segera berubah karena hanya enam suster saja yang terpilih. Meskipun demikian, semuanya tahu jika misi yang pertama itu sukses maka akan diikuti oleh misi berikutnya. Sementara itu Pastor Costamagna yang terpilih sebagai pemimpin kelompok itu ke Amerika Selatan, mulai mengajar dasar-dasar bahasa Spanyol kepada suster-suster yang beruntung itu yang ia ambil dari perbendaharan kata yang ia kuasai. Ia juga bertanggung jawab untuk meyakinkan para orang tua suster yang terpilih untuk tidak menghambat mereka. Mereka sebaliknya harus bergembira karena anak-anak mereka telah terpilih untuk tugas yang sangat mulia itu. Don Bosco selalu menyatakan bahwa para orang tua hendaknya sadar akan peran mereka dalam karya penting ini yang berguna demi keselamatan jiwa-jiwa. Don Bosco juga menyadari bahwa para orang tua Salesian adalah penderma yang paling besar bagi kongregasi.

Muncullah saat yang mengembirakan, Don Bosco menginginkan paling tidak dua orang suster di antara mereka, suster Angela Vallese dan Suster Joan Borgna, untuk bergabung dengan para Salesian yang akan berkunjung ke Roma untuk bertemu dengan Paus dan menerima berkatnya. Mekipun Maria sedang mengalami sakit kepala, tetapi dia tetap mempersiapkan untuk perjalanan ke Roma. Ketika kelompoknya tiba di Sekolahan Salesian di Sampierdarena, sebuah kota di pinggiran Genoa, dia mulai berpikir mungkin lebih baik dia tidak perlu datang. Bukan karena sakit kepalanyalah yang membuat dia menjadi ragu-ragu.

“Apakah bijaksana bagi saya untuk pergi bersama yang lainnya bertemu dengan Bapa Suci?” Ia bertanya kepada Pastor Cagliero yang pada saat itu menemani mereka.

“ Memangnya kenapa?”

“Jika saya pergi bersama mereka,” dia berkata dengan ragu-ragu, “Bapa Suci berharap dapat bertemu dengan pemimpin kongregasi yang terdidik dan terlatih. Tetapi ketika Beliau melihat saya – seseorang yang tidak berpendidikan dan terlatih, kecuali seorang perempuan yang malang – mungkin beliau akan kehilangan kepercayaan terhadap kongregasi kami.”

Meskipun Pastor Cagliero telah memberi jaminan kepadanya bahwa Bapa Suci tidak akan pernah berpikir seperti itu, ia tidak tahan untuk berkata kepada yang lain. Katanya: “Saya harap kalian telah mendapatkan sebuah pelajaran dari kejadian ini!”

Selama perjalanan, Maria berusaha untuk tetap kuat seperti suster yang lainnya, yang tetap merasa nyaman, dan tidak dalam keadaan kelaparan. Meskipun demikian dia mulai merasakan akibat kesehatannya yang kurang baik. Dia berusaha mengurangi hawa dingin yang dirasakan oleh kepalanya yang telah mengurangi sedikit pendengarannya.

Setelah tiba di Roma, baik para Salesian maupun para suster segera mencari pondokan bagi para peziarah, tetapi karena pondokan itu hanya menyediakan makanan setiap jam dua sore, maka pada pagi berikutnya mereka tidak mempunyai sesuatu pun yang bisa dimakan. Sekali lagi, Maria dengan segala keberanian pergi ke jalan di Roma yang belum ia ketahui sebelumnya untuk mencari kemungkinan bisa membeli buah-buahan, roti, keju dan anggur supaya mereka bisa makan.

Pada tanggal 9 November pagi mereka pergi ke Vatikan dan pada jam sebelas, didahului oleh pasukan pengawal, para kardinal dan para uskup, Bapa Suci, Pius IX memasuki tempat audiensi. Pada saat itu beliau tidak sedang dalam keadaan sehat. Setelah menyampaikan selamat datang dan juga beberapa pujian tentang karya Don Bosco, kini giliran bagi para suster untuk menyampaikan sedikit kata sambutan. Maria begitu tertegun berada di depan Bapa Suci sehingga ia tidak bisa mengucapkan lebih dari satu atau dua kata saja. Dia hanya bisa berkata-kata melalui semangatnya saja, dan Pastor Cagliero akhirnya memperkenalkan dia, yang dia ungkapkan sebagai “seseorang yang terpesona karena ketidakberdayaanya” di depan Bapa Suci. Dia hanya bisa memperhatikan Bapa Suci yang sedang mendengarkan penjelasan Pastor Cagliero tentang karya-karyanya di Mornese.

“Tetapi dari mana Don Bosco mendapatkan semua panggilan itu?” dia bertanya.

“Dari penyelengaraan Ilahi,” jawab Pastor Cagliero.

Bapa Suci mengatupkan kedua tangannya dan matanya memandang ke atas, “Oh, Penyelengaraan Ilahi!” dia berseru. ”Jadilah seperti mata air di pengunungan yang besar,” dia kemudian berkata kepada mereka. “Mereka telah menerima air dan mencurahkan kepada yang lainnya, mata air yang penuh dengan kebajikan dan kebijaksanaan demi kebaikan orang lain.”

Bapa Suci kemudian memberkati mereka, meminta mereka untuk tetap setia pada semangat dan konstitusi kongregasi mereka. Kemudian Bapa Suci berkata kepada Pastor Cagliero setelah dia mengamati dan melihat perilaku para suster, dia menjadi yakin bahwa mereka akan diberkati oleh Tuhan dan akan membuat sesuatu kebaikan yang besar.

Pada siang harinya, setelah kunjungan ke Roma, kelompok itu berencana mengunjungi katakombe Santo Callistus. Di tempat itu, Maria memperhatikan ada seorang Salesian muda yang mengigil karena demam kemudian ia menawarkan sebuah selendang kepadanya, ia sempat ragu-ragu untuk beberapa saat karena benda itu biasanya menampilkan sesuatu yang bersifat feminim.

Maria dengan dua orang suster pergi ke Sampierdarena dan mendapatkan bahwa keempat suster yang di tugaskan di Genoa ternyata belum datang. Tidak lama kemudian mereka datang, ditemani oleh Suster Emilia Mosca dan Suster Enrichetta Sorbone.

“Kenapa kalian begitu terlambat ?” Dia bertanya kepada mereka.

Suster Enrichetta dengan bersemangat menjelaskan hambatan-hambatan yang harus mereka hadapi selama perjalanan, secara mendetail dan bersemangat yang memang merupakan ciri khasnya. Beberapa penjelasan menunjukkan bahwa perjalanan itu dapat menjadikan sebuah persiapan yang paling baik untuk kegiatan misi.

Kami akan sudah berada di sini sebelumnya—dia berkata kepada mereka—andaikata kami tidak menunda perjalanan karena kabut yang tebal dan hujan yang sangat deras disertai oleh angin yang kencang sehingga Ibu Petronilla tidak mengizinkan kami pergi.

Suster ekonomer menyelesaikan masalah dengan cara meminjam sebuah kereta beserta dua lembu penarik. Atap kereta itu kami tutupi dengan sebuah selimut tua yang kami jahit bersama-sama. Dengan beberapa sandaran untuk duduk, semuanya sudah siap.

Meskipun demikian Suster Petronilla masih juga belum memperbolehkan kami pergi dengan alat transportasi itu, karena alat itu tidak cukup kuat untuk bisa bertahan dari hujan yang deras atau angin yang sangat kencang yang akan dapat membalikkannya, atau alasan yang lebih sederhana, karena alat itu terlalu pelan sehingga kami bisa ketinggalan kereta. Untunglah, Pak Traverso, sekretaris dewan kota, menawarkan tumpangan bagi suster-suster yang tidak kuat untuk berjalan kaki.

Kami bangun tengah malam dan kemudian menerima komuni suci. Pada saat itu masih hujan tetapi tidak separah sebelumnya. Setelah mendapat berkat dari ibu pimpinan dan ucapan selamat tinggal kepada komunitas di Mornese kami bermaksud meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba secara beruntung kami bertemu dengan salah seorang penderma.

Tidak usah kuatir,” katanya, “ Saya tahu jalan yang lebih baik dan kita pasti tidak akan dapat banyak masalah.” Dan memang benar ia tahu jalan yang lebih baik itu.

Don Bosco yang sedang menunggu mereka, memberikan kesempatan kepada tiap-tiap misionaris itu kesempatan untuk bercakap-cakap dengannya sendiri-sendiri dan memastikan bahwa mereka telah menerima pesan khusus itu darinya.

Pada suatu pagi, hari ke empat belas hujan turun dengan lebatnya, angin yang dingin dan kencang bertiup dari lautan. Ketika kapal Savoie sedang berlabuh di pelabuhan, Maria bermaksud melihatnya. Ia naik kapal itu setelah diombang-ambingkan dalam kapal yang lebih kecil untuk mencapainya. Sesampainya di kapal, tidak ada satu halpun yang memuaskannya meskipun demikian Maria tetap memeriksa setiap kabin untuk memastikan bahwa semuanya dalam keadaan yang baik. Kemudian ia memberikan kata-kata perpisahan yang berisi nasehat-nasehat. Sebelum kapal berlayar dia dan suster-suster yang lainnya berlutut untuk menerima berkat dari Don Bosco. Pada saat itu banyak di antara mereka yang meneteskan air mata sampai akhirnya terdengarlah pengumuman bagi penumpang untuk meninggalkan kapal.

Bagi Pastor Costamagna keberangkatan itu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Betapa dalamnya kesedihan itu, tidak ada orang yang dapat mengukurnya, sementara ia sendiri tidak menunjukkannya secara berlebihan. Meskipun demikian ia tidak akan pernah melupakan peristiwa itu. Pada tahun-tahun berikutnya ia masih sering mengingat peristiwa itu, hal itu terutama yang berkaitan dengan Mornese di mana ia telah menghabiskan beberapa tahun yang indah di sana.

Mornese benar-benar merupakan sebuah rumah yang kudus,” katanya. “Rumah itu kudus karena……… mempunyai superior seorang yang kudus.”

Nasehat-nasehat yang Don Bosco berikan kepada para misionaris pertama tidak bisa ia ulangi untuk gadis-gadis pemberani itu, yang akan pergi ke tanah yang tidak dikenal dengan masa depan yang belum pasti.

Carilah jiwa-jiwa bukan kekayaan atau kehormatan. Berkaryalah untuk orang-orang yang sakit, anak muda, orang yang tua dan orang-orang yang miskin maka kamu mendapat berkat baik dari Tuhan maupun sesama. Biarlah dunia tahu bahwa kamu itu miskin dalam hal berpakaian, makanan dan tempat tinggal. Hal itu akan membuatmu kaya di mata Tuhan dan membuahkan kebaikan di depan manusia.”

Sebuah kolompok yang sedang bersedih dan diam sedang dalam perjalanan pulang ke Sampierdarena dan ketika Don Bosco memecahkan kesunyian itu, Maria yang sedang asyik dengan pikirannya sendiri, menoleh ke arahnya.

Don Bosco,” katanya,” mungkinkah saya dapat pergi ke Amerika Selatan ?”

Kamu mau pergi ke Amerika Selatan?” Don Bosco mengulanginya sambil tersenyum. “Ya, kamu akan pergi pada saat saya pergi ke sana.”

Hal itu bukanlah yang pertama atau terakhir baginya yang selalu menawarkan diri menjadi sukarelawati untuk pergi ke daerah misi. Jawabannya bagaimanapun juga selalu mengecewakan dia.

Semangat untuk menjadi misionaris semakin berkobar karena dipacu oleh keberangkatan para misionaris yang pertama. Hal itu masih diperkuat dengan adanya informasi-informasi mengenai keadaan daerah misi yang berasal dari berbagai sumber. Salah satu sumber itu adalah sebuah surat yang baru saja diterima dari daerah misi di Amerika Selatan yang menceritakan tentang hidup mereka, perjuangan-perjuangan yang harus dilalui dan keberhasilan-keberhasilan yang bisa diraih. “Teriring banyak salam dari para suster,” tulis Pastor Costamagna, “ Saya sebelumnya tidak pernah mengira bahwa mereka akan menjadi begitu berguna di tanah misi….”. Sumber yang lainnya muncul dari Pastor Cagliero yang menunjukkan semangat yang membara ketika datang dari Amerika Selatan. Dengan bersemangat ia mengajak bukan hanya bagi para Salesian tetapi juga imam-imam yang lain untuk pergi ke tanah misi.

Ketika Don Bosco memberitahukan bahwa ia sedang mempersiapkan untuk pengiriman misionaris yang keempat, ia mengajak Maria untuk mempersiapkan para suster yang akan dikirim untuk kedua kalinya. Permintaan untuk mengirim lebih banyak orang disebabkan oleh keberhasilan karya-karya misionaris dengan bertambahnya bidang kerasulan yang harus diperhatikan. Untuk memenuhi permintaan itu Maria memilih sepuluh orang suster yang akan dikirim. Ini merupakan sebuah jumlah yang sangat berarti karena pada saat itu kongregasi Suster hanya mempunyai 186 anggota yang sudah berkaul. Untuk saat ini tidak diperlukan lagi mengirim surat lamaran. Alasan untuk menjadi seorang misionaris telah tertanam dalam hati dan pikiran para suster. Panggilan Tuhan untuk mewartakan kasih-Nya, keinginan untuk bekerja di suatu tempat yang terdengar sangat mempesona yaitu Patagonia dan Tierra del Fuego, keberhasilan dari para pendahulunya, kemungkinan untuk bisa menderita atau bahkan menyerahkan hidupnya demi Kristus dan keselamatan jiwa-jiwa…itulah motivasi-motivasi yang telah mengukuhkan hati mereka.

Suster-suster yang telah dipilih kemudian pergi ke Turin. Di bawah bimbingan Pastor Cagliero mereka belajar bahasa Spanyol dan mendapatkan pemberitahuan-pemberitahuan tentang kehidupan di tanah misi.

Di antara para suster yang terpilih, ada dua orang yang sangat istimewa. Pertama, suster Emilia Borgna. Ia adalah adik suster Joan Borgna yang menjadi misionaris pada kelompok pertama ke Amerika Selatan; dia juga adalah kakak dari Postulan Hyacintha Borgna. Yang kedua, Suster Madeline Martini. Suster Medeline adalah wakil dari Maria dan ia merupakan provinsial pertama di dalam kongregasi. Terpilihnya Suster Madeline telah mengejutkan beberapa orang, karena dia adalah seorang yang sedikit pemalu dan tidak mudah menerima begitu saja tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dan memang, selama beberapa bulan yang pertama tinggal di Amerika Selatan, dia mengalami beberapa kesulitan dan memimpin komunitasnya. Tetapi setelah ia menerima beberapa nasehat dari Maria dan setelah Maria mengingatkan anggota-anggota yang lain, masalah-masalah itu segera hilang dan Suster Madeline segera bisa membuktikan bahwa pilihan itu telah membuatnya menjadi orang yang bijaksana.

Upacara pemberangkatan misionaris pertama di adakan di Turin dan mengunakan tempat di kapel komunitas. Pastor Johanes Pembaptis Lemoyne, yang telah berhasil sebagai penganti Pator Costamagna sebagai pimpinan, memimpin misa perpisahannya. Pastor Costamagna menunjukkan perasaan yang mendalam baik kepada mereka yang mau pergi maupun bagi mereka yang akan ditinggal pergi.

Pada waktu keberangkatan yang semakin dekat pada pagi berikutnya mereka sudah terbangun dari tidur mereka, tetapi Maria memaksa mereka untuk kembali tidur karena mereka perlu beristirahat untuk mempersiapkan diri dalam perjalanan. Sementara dia sendiri terjaga sampai pagi karena harus menulis dua buah surat, satu untuk Suster Angela Vallese dan lainnya untuk Suster Laura Rodriques, anggota kongregasi pertama yang berasal dari Amerika Selatan.

Selepas tengah malam mereka terjaga dan kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan. Keberangkatan mereka ditemani oleh Suster Petronilla dan Postulan Hyacintha Borgna. Maria menyuruh Hyacintha untuk menemani mereka supaya ia bisa terpampang juga dalam foto para misionaris, sehingga dia dapat mengirimkan photo copinya kepada ibunya. Disertai oleh kabut yang tebal, ditemani dengan obor mereka memulai perjalanan itu. Untuk mencapai stasiun di Serravalle mereka menggunakan sebuah kereta kuda yang ditarik oleh beberapa ekor kuda dan keledai. Ini hanyalah sebuah rencana yang sederhana karena hanya beberapa orang saja yang bisa naik di dalam kereta itu sementara yang lain tetap berjalan di samping kereta kuda itu. Bagi yang berada di dalam kereta kuda, mereka merasakan bahwa perjalanan yang harus melewati jalan-jalan kampung itu terasa kurang mengenakkan, karena es yang menutupi permukaan jalan membuat kereta kuda mereka terancam terperosok. Bagi yang berjalan kaki, mereka harus berhati-hati untuk melangkah di atas tanah yang tertutup oleh es. Mekipun demikian mereka terus berjalan menghadapi segala rintangan itu. Semua orang mencoba menjadikan perjalanan itu sebagai sebuah persiapan yang menyenangkan bagi perjalanan misi mereka.

Sesampainya di stasiun, sebuah kejutan telah menanti mereka. Meskipun Maria meninggalkan Mornese setelah mereka pergi, tetapi ia telah sampai terlebih dahulu dan bahkan sudah membelikan tiket untuk mereka. Dia lebih berpengalaman untuk mencari jalan pintas melalui jalan-jalan yang lebih sulit.

Mereka bertemu Pastor Cagliero yang telah berusaha mempersiapkan segala sesuatunya supaya perjalanan yang akan ditempuh dapat lebih menyenangkan. Di rumah Salesian di Sampierdarena mereka di sambut oleh Don Bosco beserta tiga orang suster yang akan bersama mereka. Kelompok yang lain yang terdiri dari sebelas Salesian sudah pergi dengan mengunakan jalan yang berbeda. Sekali lagi, ketika mereka sedang beristirahat pada suatu malam, Maria menulis sebuah surat untuk Suster Joan Borgna.

Pada pagi berikutnya Don Bosco mengadakan misa untuk mereka dan membacakan sebuah telegram dari Bapa Suci yang disertai dengan berkat Apostoliknya. Mereka juga akan menerima peratuaran-peraturan baru kongregasi tetapi sayang gagal karena pada saat itu masih berada di percetakan. Akhirnya Maria berjanji bahwa salinan yang pertama akan segera di kirimkan kepada mereka. Karena kesehatan Don Bosco yang tidak memperbolehkan dia naik ke kapal, maka ia hanya memberkati mereka dan kemudian mengucapkan selamat tinggal. Sebagai balasannya, mereka meminta supaya ia mendoakan mereka supaya tidak ada di antara mereka yang hilang di lautan. Don Bosco menjamin bahwa tidak ada di antara mereka yang akan hilang, andaipun ada mereka pasti akan langsung masuk surga. Seperti yang ia ucapkan ia menjadi sangat tersentuh kemudian mengatakan bahwa selanjutnya ia harus mengucapkan selamat jalan kepada misionaris-misionarisnya dua minggu sebelumnya supaya terhindar dari perasaan sulit berpisah seperti yang ia alami .

Maria naik di atas kapal untuk memastikan bahwa segala sesuatunya dalam keadaan yang baik. Dia ingin lebih lama berada di atas kapal itu tetapi bunyi meriam yang menandakan seluruh pengantar harus meninggalkan kapal tersebut, memaksa dia untuk mengikuinya. Sebelum meninggalkan kapal, ia menyalami para suster satu persatu ketika ia sedang menyalami suster Borgna, ia menjadi begitu tersentuh dan Suster Borgna bahkan terjatuh dalam pelukan Maria seolah-olah ia akan meninggalkannya untuk selama-lamanya. Akan tetapi ia segera bisa mengontrol diri, dan ketika ia melihat kepada suster-suster yang lainnya, mereka semua juga mengalami hal yang sama dengan sapu tangan putihnya masing-masing yang melambai-lambai seperti kapal yang akan segera menghantarkan mereka ke dunia baru.

Sekembalinya di Sampierdarena, Don Bosco menemui mereka untuk menanyakan keberangkatan mereka. Ketika melihat ekspresi yang terpancar pada wajah mereka, ia tersenyum dan kemudian merentangkan tangannya. “Bergembiralah!” Katanya. “Bergembiralah! Kongregasi telah melebarkan sayapnya!”


17—Malaikat Dari TIERRE DEL FUEGO



Suster-suster Salesian telah mampu menorehkan tinta emas dalam sejarah misionaris di dunia. Mereka mulai membuat sejarah pada saat kongregasi masih seperti burung yang baru mulai bisa terbang. Orang yang bijaksana mungkin akan menasehati mereka untuk menunggu hingga anggota mereka sudah mencapai jumlah yang memadai akan tetapi Penyelenggaran Ilahi justru berkata yang sebaliknya. Sejak mereka mulai menyebar dengan bantuan dan dorongan Maria di Mornesse, tidak ada satupun sejarah baik yang menyangkut Maria maupun Mornese yang lebih lengkap tanpa menyebutkan seorang wanita yang meninggalkan Mornese untuk menjadi seorang misionaris yang bersemangat dalam mewartakan kabar keselamatan.

Wanita ini adalah Angela Vallase. Angela adalah seorang yang rendah hati, pekerja keras dan sederhana. Dia tidak pernah menonjolkan diri pada saat di Mornese bahwa tidak terlalu dikenal pada saat awal tinggal di sana. Tetapi Maria dapat melihat segala kebajikan-kebajikan dan kemampuan-kemampuannya yang tersembunyi itu, Angela hanya mencurahkan seluruh kekuatannya demi Tuhan. Oleh karena itulah Maria memilih dia sebagai salah seorang misionaris dari Mornese yang harus menempuh perjalanan yang jauh, penuh rintangan dan berbahaya.

Angela lahir dalam keluarga yang besar dan miskin pada tanggal 8 Januari 1854 di Lu Montferrato. Lu adalah sebuah daerah yang bisa diibaratkan sebagai “daerah yang subur akan panggilan-panggilan seperti sebuah pohon anggur.’’ Dia mulai tertarik untuk menjadi seorang misionaris ketika masih berumur tujuh tahun. Pada saat itu ia menjadi anggota suatu kelompok yang bernama Holy Childhood yang para anggotanya berdiri di luar pintu gereja untuk mengumpulkan uang pecahan yang akan diberikan kepada anak-anak kulit hitam. Pada suatu saat, ia pernah berhasil mengumpulkan uang lebih banyak dari teman-temannya.

Saya berharap Tuhan akan mengizinkan saya,” Katanya, “untuk menyelamatkan jiwa sebanyak uang yang saya peroleh ini!”

Kemudian ia sering juga mengulangi bagian-bagian dari kotbah yang ia dengar kepada anak-anak yang lainnya, karena ia dianugerahi kemampuan yang membuat orang tertarik pada kata-katanya, maka ia menerima tugas menjadi guru katekismus untuk anak-anak yang lebih muda di parokinya.

Dalam perjalanan waktu, Angela belajar menjadi seorang penjahit dan juga bergabung dengan sebuah kelompok lokal “Anak-anak Bunda Maria”, dan mengucapkan janji untuk tetap mempertahankan kesucian.

Pada tahun 1874 Don Bosco mengunjungi Lu dan hal itu membawa berkah yang luar biasa baginya. Don Bosco berbicara dengan bersemangat tentang kongregasi bagi wanita yang baru ia dirikan.

Tuhan menginginkan saya di sana !” Teriaknya. “Saya sangat yakin tentang hal ini! Tuhan menginginkan saya di sana!”

Akhirnya dia tiba di Mornese tanggal 18 Agustus 1875, dan disambut oleh Maria sendiri yang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan seorang postulan baru yang memberikan harapan yang besar. Angela mendapatkan kesempatan yang istimewa saat memulai hidup religiusnya yaitu dengan mendapat berkat khusus dari Don Bosco yang pada saat itu sedang berada di Mornese untuk menutup retret para suster yang akan mengikrarkan kaul kekal untuk yang pertama kali dan sekaligus menerima pengikraran kaul kekal suster-suster tersebut. Kemudian pada 24 Mei satu tahun berikutnya, ia menerima tudung dan tiga bulan kemudian mengucapkan kaul pertamannya.

Hanya satu tahun setelahnya, para suster bersukacita karena undangan Don Bosco untuk mengirim juga para suster ke Amerika Selatan bersama para Salesian pada saat pengiriman misonaris Salesian yang ketiga. Misionaris yang pertama pergi pada tahun 1875 dan dipimpin oleh pendamping para suster yang pertama, Pastor Johanes Cagliero. Dia menulis surat-surat yang menceritakan tentang kehidupan di tanah misi sebagai sesuatu gelora yang telah membakar seluruh komunitas dengan kemauan dan harapan untuk mengorbankan seluruh hidup mereka untuk berkarya demi jiwa-jiwa orang-orang pribumi.

Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Angela juga merasakan gelora yang sama dan seperti yang Don Bosco tentukan, ia pun menulis surat lamaran untuk menjadi seorang misionaris. Dia menanti dengan cemas sebab tidak semua jawaban akan memuaskan. Dia merasa bahwa banyak suster yang lainnya yang lebih pantas untuk menjalani tugas mulia ini. Tetapi yang justru mengagetkan dia adalah bukan hanya karena terpilih untuk pergi ke Amerika Selatan tetapi juga karena ia harus memimpin keenam suster yang lainnya yang akan pergi ke Amerika Selatan sebagai suster-suster Salesian yang akan menjadi misionaris yang pertama. Padahal dia baru berusia dua puluh tiga tahun. Inilah sekali lagi bukti Maria yang telah menunjukkan kemampuannya untuk menemukan dan mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan para susternya.

Don Bosco memberitahukan Maria bahwa ia ingin agar para misionaris yang baru itu menemani para Salesian ke Roma untuk mendapat berkat dari Bapa Suci. Tetapi Maria hanya bisa membawa dua orang suster dari kelompok itu yaitu: Suster Angela dan suster Joan Borgna yang merupakan anak kelahiran Buenos Aires.

Pada tanggal 14 November 1877, keenam suster itu bergabung dengan para misionaris yang lain yang dipimpin oleh Pastor James Costamagna dan di dukung oleh berkat dari Don Bosco dan Maria, berlayar dari Genoa ke Amerika Selatan.

Kalian tidak akan segera bekerja dengan orang Indian,” Don Bosco mengingatkan mereka. “Tetapi, pertama-tama kalian harus membangun kerajaan Allah di pusat kota di antara orang-orang yang sudah beriman, bawalah kembali mereka yang telah melepaskan imannya atau yang lemah dalam iman. Kemudian kalian baru akan bekerja di antara orang-orang yang belum mengenal Allah itu.”

Para suster di bawah pimpinan Angela bukanlah yang pertama pergi ke Pampas atau Patagonia tetapi ke Villa Colon, Uruguay, di mana mereka kemudian membuka sekolahan di sana.

Kerja mereka sepertinya mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan ketika seorang gadis daerah itu yang bernama Laura Todriguez mengajukan diri untuk bergabung dengan mereka. Sukses berikutnya adalah pembukaan tempat yang kedua di Las Piedras.

Selain kesuksesan-kesuksesan itu, dan meskipun dia sudah tinggal di tanah asing dan di antara orang-orang asing, tetapi hal itu tetaplah bukan hal yang dicita-citakan Angela pada saat mau menjadi seorang misionaris. Dia menantikan dengan cemas permintaan untuk segera mengirimnya ke daerah misterius Patagonia. Dan kesempatan itu datang pada bulan Januari 1880, ketika mereka memintanya untuk datang ke daerah itu dan pada saat itu tidak ada suster yang berani ke sana sebelumnya. Kejadian itu menjadi peristiwa yang penting sehingga menarik perhatian koran nasional untuk menuliskan seluruh ceritanya.

“ …… Menjadi hal yang pertama dalam sejarah bahwa ada beberapa suster yang akan bekerja di daerah yang paling selatan Amerika.” Demikianlah yang ditulis America del Sur pada tanggal 13 Januari 1880. Angela sekali lagi yang menjadi pemimpin para suster yang akan menemani para Salesian bekerja di daerah itu.

Selama masa-masa itu, Maria tidak menginginkan Angela merasa ditinggalkan. Dalam rentangan waktu di antara keberangkatannya dari Mornese sampai dengan kematiannya, Maria telah mengirimkan enam surat kepada Angela dan tiga surat kepada komunitasnya. Surat-surat itu ditulis dengan gayanya sendiri yang sederhana, yang berisikan dorongan dan peneguhan rohani. Dia juga menunjukkan penyesalannya karena tidak bisa menemani mereka ke Amerika Selatan. Oleh karena itu penting baginya untuk bisa mengirim semua surat itu. Salah satu surat isinya secara khusus menunjukkan perhatiaan pada dasar-dasar pemikiran dan pengajarannya:





Suster Angelina yang tercinta,

Kamu tidak perlu takut bahwa surat-surat yang kamu kirim akan mengganggu saya, tetapi justru sebaliknya, saya sangat senang karena kamu memberitahukan semua keadaanmu dan semua suster yang lainya. Tulislah surat yang panjang……. Suratmu akan selalu menyenangkan aku.

Saya juga menyesal karena komunitas yang berada di Las Piedras tidak bisa berjalan dengan baik. Suster Giovanna masih terlalu muda dan belum terlalu siap untuk menjadi seorang superior. Meskipun demikian kamu tidak perlu kuatir.

Kamu harus sadar bahwa kekurangan itu akan selalu ada, oleh karena itu kamu harus berani mengoreksi dan menolong mereka sejauh yang kamu bisa, tetapi harus selalu dengan ketenangan dan kemudian serahkanlah ke dalam tangan Tuhan. Janganlah terlalu memperhatikan hal-hal yang kecil karena kadang-kadang jika terlalu banyak memperhatikan hal-hal yang kecil maka kita akan kehilangan hal yang besar. Tetapi bukan berarti kamu tidak perlu memperhatikan hal-hal yang kecil, bukan itu yang saya maksudkan. Koreksi, selalu menasehati, tetapi dengan hati yang lembut dan penuh cinta kasih kepada setiap suster. Kita harus belajar tentang kecenderungan-kecenderungan dan bangaimana memanfaatkannya, kamu harus selalu percaya diri!

Dengan suster Victoria kamu harus selalu bersabar dengan demikian maka sedikit demi sedikit kamu dapat menanamkan semanggat kongregasi kita. Dia tidak begitu tertarik pada hal-hal seperti itu semenjak tinggal di Mornese karena memang waktunya yang sangat singkat. Saya berpikir kalau kamu tahu bagaimana cara mengatasinya maka saya yakin kamu pasti akan berhasil. Hal itu berlaku juga untuk yang lainya. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kamu harus bisa mengoreksi mereka dengan lemah lembut. Jangan pernah beranggapan bahwa mereka tidak mempunyai kesalahan atau beranggapan bahwa kamu dapat mengoreksi semuanya dalam sekali kesempatan, jangan pernah perpikir seperti itu. Tetapi melalui doa, kesabaran, kewaspadaan dan ketekunan, sedikit demi sedikit kamu akan berhasil dalam segala hal. Percayalah kepada Tuhan Yesus, serahkan seluruh kesulitan dan masalah-masalahmu ke dalam hati-Nya, serahkan semuanya kepada-Nya, Dia yang akan menyelesaikannya. Selalulah berbahagia dan penuh kebaikan hati. Jika kamu tidak tahu harus berbuat apa, pergilah kepada Suster Madeline dan lakukanlah apa yang ia anjurkan kepadamu dengan senang hati. Di samping itu kamu juga mempunyai seorang pembimbing yang sangat baik. Pastikan bahwa kamu selalu mentaatinya, bukankah begitu, Suster Angelina?

Kamu menceritakan kepada saya bahwa kamu mempunyai banyak pekerjaan, saya merasa sangat senang karena kerja adalah sumber segala kebajikan. Pada saat kita bekerja perlulah sedikit canda dan kita akan selalu bergembira. Ketika saya memintamu untuk bekerja keras, saya juga meminta kamu untuk selalu menjaga kesehatanmu dan saya juga meminta kamu untuk bekerja bukan karena ambisi pribadimu tetapi semata-mata hanyalah untuk Tuhan kita Yesus. Saya ingin kepadamu memasukkan ke dalam hati para suster selalu mencintai pengorbanan diri, penguasaan diri dan ketidakterikatan pada kehendak pribadi. Kita menjadi suster karena keinginan untuk mendapat jaminan kebahagiaan di surga, tetapi untuk mendapatkan itu semua kita perlu bermatiraga. Marilah kita memanggul salib kita dengan keberanian sehingga suatu saat nanti kita beroleh kebahagiaan yang kekal.

Pada akhir dari surat itu biasanya berisikan kabar dari daerah-daerah tertentu dan salam-salam untuk para suster yang berada di daerah misi.


Mereka membangun pusat kerasulan di dua bagian dari Rio Negro, yang satu berada di Carmen dan lainnya di Viedma, sebuah tempat yang akan menjadi pusat kerasulan. Angela tinggal di sana selama delapan tahun, selama waktu itu ia mengurusi penduduk-penduduk pribumi. Penduduk itu meliputi; orang-orang suku Aruacans, Twelches dan Negritos. Yang terakhir adalah orang-orang keturunan negro yang dibawa ke Amerika Selatan sebagai budak dan dipandang rendah bahkan oleh orang Indian sekalipun.

Meskipun satu-satunya tujuan para suster hadir di sana adalah untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka yang memerlukan, tetapi kehadiran mereka tidak di terima baik oleh semua pihak. Secara khusus mereka tidak dikehendaki oleh pihak-pihak yang mau memanfaatkan orang-orang pribumi tersebut. Selain itu mereka juga ingin memastikan bahwa para suster tidak mengganggu rencana-rencana mereka yang tentunya tidak memberikan tempat bagi orang-orang pribumi tersebut.

Pada tahun 1887, pada saat usia Don Bosco mulai memasuki tahap akhir, Pastor Cagliro, yang menjadi wakilnya di Amerika Selatan merasa perlu mendampinginya pada saat-saat akhir hidupnya. Ia mengajak Angela untuk menemaninya dan dia mempunyai ide yang sangat mengembirakan yaitu dengan membawa seorang gadis Indian yang bernama Louise Peña, yang mereka temukan di Tierra del Fuego. Ketika gadis kecil itu mendekati Don Bosco dan berterima kasih karena telah mengirimkan misionarisnya kepada orang-orangnya, Don Bosco dengan hangat memeluknya sambil berlinang air mata yang menetes di kedua pipinya.

Ketika Angela berada di Italia, pengiriman suster misionaris yang ketiga disiapkan. Dia yang terpilih sebagai pemimpin rombongan itu dan berangkat pada bulan November 1888, dengan empat orang suster. Pada saat itu mereka langsung di tempatkan di Tierra del Fuego dan pada tanggal 3 Desember mereka mendarat di Punta Arenas, pusat dari seluruh kegiatan misi. Selama duapuluh tahun sesudahnya tempat itulah yang menjadi tanah airnya dan selama waktu itu dia ditunjuk sebagai pemimpin komunitas, pendiri komunitas-komunitas, pusat-pusat lembaga dan misi dan berakhir sebagai peninjau yang sekarang dikenal sebagai vice-provinsi Chile.

Ketika daerah itu sudah berkembang dengan pesat maka tiba saatnya untuk dibagi dua, dan Angela ditunjuk sebagai superior di bagian selatan. Di daerah ini juga mula-mula hanya ada satu rumah baru kemudian membuka rumah-rumah yang lainnya. Dari sana terus berkembang ke arah utara melalui Rio Gallegos pada tahun 1901, Santa Crus pada tahun 1904 dan akhirnya di Pulau Falkland di mana sekali lagi, dia menjadi suster yang pertama dengan berjalan kaki merambah daerah itu. Sampai di daerah itu berarti harus selalu menyeberangi air yang berbahaya yang tidak selalu berupa lautan. Akan tetapi hal itu telah biasa baginya yang selalu mengadakan perjalanan yang panjang dan berbahaya baik melintasi lautan maupun daratan. Bahaya itu tidak hanya datang dari binatang-binatang buas, lautan atau daratan tetapi juga dari kebiasaan-kebiasaan dari daerah-daerah yang tidak bersahabat di mana pisau dan senapanlah yang menjadi hukum.

Ia merasa semuanya itu belumlah cukup, maka dalam rangka memperingati dua puluh lima tahun peringatan akan kedatangan misionaris Salesian yang pertama di Amerika Selatan, dia berusaha mendirikan sebuah gereja yang megah di Punta Arenas sebagai penghargaan terhadap Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Ketika ia di beri kehormatan untuk meletakkan batu pertama, ia masih juga merasa belum puas.

Dia kembali ke Italia pada tahun 1913 untuk mengikuti Kapitel Umum (General Chapter) kongregasi yang ke VII. Karena kesehatannya yang begitu buruk maka para superiornya menyarankan dia untuk tetap tinggal di Italia. Meskipun ia lebih suka kembali kelingkungan orang-orang Indian, tetapi ia harus membatalkannya. Dia tinggal di Nizza dan hidup dalam keheningan doa sampai dua kali serangan Pneumonia menyerangnya yang akhirnya mempercepat kematiannya yaitu pada tanggal 17 Agustus 1914.

Setelah kematiaannya beberapa orang memberikan kesaksian bahwa dia telah menampakkan dirinya kepada mereka. Salah satunya adalah Mgr. Joseph Fagnano, Wakil Kepausan untuk daerah misi di Punta Arenas. Ketika ia sedang berada di sebuah kapal pada pertengahan Februari 1916, dalam perjalanan dari Ushuaia, kota yang paling selatan di dunia ke Punta Arenas, dia mendapatkan suatu penglihatan yang memperlihatkan Angela dikelilingi oleh sebuah cahaya yang begitu besar. Dia memberitahukannya beberapa perkiraan tentang misi dan setelah selesai, dia berseru, ”Oh, terberkatilah Tierra del Fuego!”

Ketika Salesian tiba di Tierra del Fuego tempat itu masih merupakan daerah yang terlarang. Beberapa saat sebelum kedatangan mereka, menurut Darwin dan teman-temannya di sana tinggallah manusia-manusia raksasa dan manusia kanibal. Pada saat para suster tiba di sana, ada dua hal yang sedang berlangsung, di satu sisi orang-orang Indian hidup di dalam lingkungan primitif mereka sedangkan di sisi yang lain perkembangan penduduk yang meliputi; pedagang-pedagang kulit putih, para peneliti, petualang, buronan hingga para pencari keadilan dan pembunuh. Pemerintah Chile telah menjadikan Punta Arenas sebagai sebuah tempat hukuman, dengan mengandaikan bahwa jika para tahanan melarikan diri, daerah itu masih sangat liar dan belum ada peradaban di sana. Jika dibandingkan dengan perbatasan yang masih liar di bagian barat Amerika Serikat, di sana lebih mengerikan dan berdarah, dan merupakan suatu rencana pembasmian secara kejam terhadap orang-orang Indian yang banyak terjadi bagian barat.

Kondisi iklim dan lokasi tanah menambah kesulitan yang dihadapi oleh para suster. Perbedaan suhu yang beku di wilayah Chili yang dekat dengan salju abadi, yang sangat keras, angin yang kencang yang membawa awan yang berisikan abu dan kerikil-kerikil kecil yang menganggu telinga, hidung dan mata para pendatang dan bahkan mampu menembus celah di setiap rumah atau bangunan. Hal itu masih ditambah dengan awan yang gelap pada siang hari dan malam yang suram yang mengakibatkan banyak yang mabuk, hilang ingatan bahkan bunuh diri. Perjalanan melalui laut sangatlah berbahaya karena perubahan arus yang mendadak di selat dan sungai yang meluap hingga di bibir pantai. Jumlah kapal dan nyawa manusia yang hilang di Selat Le Maire melampaui jumlah yang hilang di laut Saragossa yang terkenal sangat berbahaya.

Kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi ini masih ditambah dengan cobaan baru yaitu menyaksikan pembakaran bangunan yang telah menelan banyak tenaga dan juga biaya; menyaksikan bagaimana komunitas perlindungan orang Indian dihancurkan oleh penyakit yang dibawa oleh orang kulit putih; harus menanggung penderitaan karena kedinginan, kelaparan dan kehausan; dan juga harus berhadapan dengan orang-orang yang marah dan menentang penyebaran agama.

Bagi para misionaris, keadilan merupakan hal yang sangat penting untuk memajukan peradaban mereka. Tanpa mengenal waktu mereka berani mengambil resiko bahkan rela mengorbankan hidup mereka demi menyelamatkan suatu daerah yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh peradaban manusia. Mereka mencoba untuk memperkenalkan peradaban manusia dan mencoba untuk menumbuhkannya. Meskipun mereka berkeinginan untuk memperkenalkan keyakinan agamanya tetapi yang pertama-tama adalah membantu pertumbuhan dalam hal-hal jasmaniah. Banyak cara yang digunakan dalam membantu orang-orang di wilayan Amazon itu. Sebagai contoh, para Salesian pertama kali bekerja dengan penduduk asli dengan cara membantu membangun sebuah gubuk, rumah, sekolahan, gereja dan akhirnya setelah pesawat udara menjadi sarana transportasi yang penting, mereka membangun bandara. Sekarang ini gubuk itu, rumah itu, sekolahan itu, gereja itu dan bandara itu telah menjadi pusat perkembangan daerah di Amazon. Apa yang terjadi di daerah itu mungkin juga bisa disejajarkan dengan keberhasilan yang ada di daerah-daerah lain.

Jika sekarang ini Patagonia dan Tierra del Fuego tidak lagi menjadi daerah yang berbahaya dan terlantar, tetapi menjadi daerah yang penuh harapan dan janji, hal itu menunjukkan bahwa tidak sedikitlah peranan para suster Salesian dalam mengorbankan tenaga dan bahkan diri mereka. “Tanpa bantuan para suster dalam pewartaan di Pampa dan Patagonia,“ tulis sejarawan Linus del Valle Carbajal, SDB, “para misionaris Salesian akan bernasib sama dengan misionaris sebelumnya.” Dengan kata lain mereka akan gagal di daerah misi itu.

Jika sampai saat ini, suster-suster Salesian yang lain juga masih bekerja tidak hanya di kota-kota besar seperti Buenos Aires, Santiago dan São Paolo tetapi juga di daerah-daerah pedalaman, hal itu disebabkan oleh teladan yang diberikan oleh para misionaris pendahulunya seperti misalnya Angela Vallese.



18—Kenangan Indah Akan Mornese



“Surga yang indah!” Don Bosco kembali melangkahkan kaki dengan kekagetan. Pemandangan sedemikian indah itu sungguh bisa menghilangkan kekalutan, dia baru saja hendak menahan air matanya ketika ia melihat teman-tamanya terdiam.Dia baru saja memasuki salah satu gedung yang merupakan sebuah gereja yang sangat indah, Gereja Bunda Penuh Rahmat di Nizza Monferrato. Baik Gereja maupun Biaranya itu merupakan milik Ordo Capusin. Di samping bisa melihat tempat yang dipakai untuk berdoa dan merayakan misa, dia merasa terkesima, tak berdaya karena ketakutan, melihat hancurnya tembok-tembok dan dinding-dindingnya, membentur jendela dan mematahkan tangga-tanggal yang melingkar di atas lantai yang kotor dengan tong-tong yang kosong dan pecahan-pecahan botol, selain itu berserakan juga ember dan tong-tong besar yang bercampur dengan remukan buah anggur yang buruk dan basi yang menebarkan aroma busuk seperti cuka.

Sejarah dari Gereja dan biara ini berawal dari tahun 1855, ketika pemerintah yang anti klerik mengeluarkan Undang-Undang Siccardi yang memperbolehkan mereka untuk mengambil alih bangunan-bangunan milik para rohaniwan-wati. Salah satu bangunan yang mereka sita adalah Gereja milik Tarekat Kapusin dan Biara Bunda Penuh Rahmat. Kemudian gereja dan biara itu dijual untuk dijadikan pabrik pembuatan anggur yang akhirnya bangkrut, dan sisa-sisa bangunannya kemudian dijual lagi.

Ketika bangunan itu hendak dijual lagi, pihak pertama yang ditawari adalah Don Bosco, akan tetapi pada saat itu Don Bosco tidak mempunyai uang sebanyak yang mereka minta. Ini bukan hal yang pertama bagi Don Bosco untuk membeli sebuah Gereja sitaan yang kemudian dengan pengorbanan yang besar memperbaikinya dan kemudian memberikan kepada pemiliknya yang terdahulu. Ketika ia ditawari kembali dan dia pada saat itu mempunyai penderma yang akan membantu dalam pembayaran, maka ia memutuskan untuk membelinya. Awalnya ia hendak menawarkannya kepada Tarekat Kapusin supaya mereka mengganti seluruh pengeluarannya. Tetapi kemudian ia mempunyai rencana yang lain dalam penggunaan bangunan itu.

Dengan diam-diam dia berhasil mendapatkan sepertiga biara, Gerejanya dan beberapa luas tanah disekitarnya. Surat-surat yang berkaitan dengan jual beli ditandangani pada tanggal 12 Oktober 1877. Dengan diam-diam juga ia memperbaharui bangunan itu seperti sedia kala. Membutuhkan waktu yang lama, berjalan dengan lambat dan memakan biaya yang mahal, dengan kecemasan apakah bisa tetap menjalankannya dengan diam-diam atau lebih tepatnya secara rahasia segala rencananya itu. Don Bosco hanya memberitahukan kepada beberapa orang saja mengenai rencananya ini, salah satunya adalah orang-orang yang menjadi pendermanya. Meskipun demikian ia tetap meminta mereka merahasiakannya.

Pada bulan Februari satu tahun sesudahnya, Don Bosco mengundang Maria untuk datang dan melihat apa yang telah ia lakukan selama ini agar tempat itu cocok digunakan untuk sekolah dan tempat oratori atau pusat perkumpulan bagi anak-anak perempuan. Ketika Maria datang ia mengajak juga Suster Enrichetta Sorbone yang pada saat itu menaruh kepercayaan besar pada tempat itu. Di Nizza dia bertemu dengan Pastor Sala, Ekonomer Jenderal Serikat Salesian dan Pastor Johanes Bonetti, editor Bulletin Salesian, bacaan resmi Salesian. Berdasarkan nasehat dari mereka, Don Bosco mengirimkan Br. Buzzetti, yang merupakan arsiteknya dan Louis Ternano, penderma setempat yang juga seorang ahli dalam bidang akuntansi. Pertama mereka harus menyusun rencana dan kemudian mempersiapkan daftar pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan.

Membersihkan, memperbaiki dan kalau perlu membangun ulang dapat berjalan dengan lancar. Bantuan juga datang dari para sukarelawan. Suster-suster yang bertenaga kuat dikirim untuk membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Tuan Balbao, seorang penderma, mengirimkan dua orang pekerja pria, satu gerobak kayu bakar dan seekor sapi perah. Keluarga Tenzano menyumbangkan tenaga dan wanita-wanita dari kota yang secara sukarela membantu menjahit semua kebutuhan-kebutuhan yang meliputi selimut, sarung bantal dan kain-kain yang lainnya.

Beberapa orang suster bekerja di perkebunan terdekat untuk membantu para petani mengupas jagung dan menerima upah kulit jagung yang akan digunakan sebagai pengisi kasur. Don Bosco sendirilah yang mengirimkan tempat tidur-tempat tidur besi yang kuat dari oratorinya. Pada bulan September, Don Bosco meminta Maria mengirimkan lima orang suster untuk membuka oratori untuk anak-anak perempuan di kota itu. Mereka datang pada tanggal 16 September dan mulai bergabung dengan anak-anak di sekitar mereka. Pada pada hari Minggu, tanggal 27 Oktober, di gereja meskipun masih kosong, sudah cukup layak untuk diadakan misa; empat hari kemudian rombongan pertama anak-anak dari Mornese datang. Perpindahan dari Mornese sudah dimulai.

Rumah-rumah yang baru semakin banyak dibuka, untuk saat ini ada delapan buah rumah dan yang berada di Chieri adalah yang terbaru, banyak suster muda yang baru mengikrarkan kaul dan banyak juga Postulan yang baru saja di terima. Pada saat itu muncul pertanyaan apakah pengaturan kongregasi dari Mornese mencukupi dalam menjawab semua kebutuhan kongregasi yang berkembang sangat pesat. Pertanyaan berikutnya adalah apakah pusat kongregasi tidak sebaiknya dipindahkan ke suatu tempat yang lebih cocok? Ketika alasan-alasan yang menyangkut keadaan tempat ditunjukkan, beberapa hal muncul, meskipun semua anggota sangat mencintai dan monghormati Mornese, tetapi mereka semua mengakui bahwa di sana ada beberapa hal yang kurang menyenangkan dan beberapa kekurangan. Karena komunitas berusaha untuk makan dengan sederhana dan berusaha untuk tetap hidup miskin, ternyata hal itu menjadikan banyak suster jatuh sakit. Para suster yang sakit dalam waktu yang cukup lama menjadikan ruang infermari selalu penuh dengan pasien; terlalu banyak kematian yang disebabkan oleh cuaca dan banyak juga para calon yang mengundurkan diri karena masalah itu juga. Keadaan itu dapat dilambangkan sebagai sebuah aria forte atau angin yang kuat, hal itu hanya mau menunjukkan betapa keras dan sulitnya iklim di sana. Meskipun hal itu mungkin masih bisa diterima dan bahkan cukup sehat bagi orang-orang di daerah pegunungan itu, tetapi hal itu pastilah bukan untuk orang-orang yang berasal dari daerah yang beriklim lebih tenang atau orang-orang dari kota.

Selain itu di Mornese, tidak semua orang menaruh hormat kepada para suster. Sebagian besar penduduk desa pada saat itu adalah antiklerik dan mereka menentang para suster; beberapa keluarga masih menyimpan dendam yang berkaitan dengan masalah sekolahan. Pada tahun itu, khususnya pada saat masa karnaval, sebuah kolompok anak muda yang nakal, membalas dendam dengan cara mengacaukan kelompok gadis-gadis itu dan malam harinya menganggu komunitas dengan cara mengedor-gedor jendela di ruang tidur.

Mornese dengan cepat menjadi sebuah tempat yang sangat kecil untuk dapat menampung para calon yang berdatangan sehingga mengakibatkan banyak calon yang ditolak dengan alasan kekurangan tempat. Andaikata mereka memutuskan untuk memperluas dan membangun Mornese maka biaya angkutan material bangunanya menjadi sangat mahal. Ovada daerah yang paling dekat untuk berhubungan dengan dunia luar melalui Kereta Api terletak tujuh mil di sebelah barat. Untuk bisa sampai di Ovada selain dengan jalan kaki bisa juga dengan mengunakan Carrozzella, kereta dengan satu ekor kuda atau yang lebih cepat dengan mengunakan beberapa ekor kuda atau keledai dengan menawarkan tempat sandaran dan pelindung sinar matahari. Keduanya tidak praktis dan mahal.

Melihat keadaan yang seperti itu, Don Bosco mulai mencari tempat baru yang tidak memiliki resiko terhadap kesehatan komunitas, memungkinkan untuk pertumbuhan dan menguntungkan karena dekat dengan stasiun Kereta Api. Selain bisa memperingan biaya transportasi bahan-bahan bangunan untuk tempat-tempat kursus dan sekolahan-sekolahan juga bisa mempermudah pengiriman barang-barang kebutuhan komunitas dan perjalanan para anggota komunitas. Pilihan itu akhirnya tertuju di Nizza Monferrato.

Dia meminta supaya komutas-komunitas para suster yang lain juga membantu dalam menjalankan komunitas itu. Don Bosco juga menasehatkan bahwa sekarang komunitas yang ada di Nizza sudah siap untuk menerima siapa saja postulan yang tidak tahan dengan aria forte di Mornese. Ketika anggota komunitas secara berkala pindah dari satu rumah ke rumah yang lainnya, satu-satunya orang yang tetap di Mornese yang merasa tetap kuat menghadapi cuaca yang kurang bersahabat dan selalu sanggup untuk berkerja keras, sekarang tergeletak di tempat tidur karena sakit yaitu Maria, Suster yang menjabat sebagai Rektor. Pada tanggal 4 Februari 1879, Don Bosco menasehati Maria untuk meninggalkan Mornese dan tinggal di Nizza yang sekarang menjadi rumah induk kongregasi.

Rumah di Mornese dalam tempo yang singkat mengalami penurunan. Sekarang hanya tinggal lima orang suster yang tinggal di sana dengan tiga di antaranya berada di tempat tidur karena sakit. Ketika di Nizza ada kebutuhan mendadak khususnya yang berkaitan dengan pembayaran gaji para karyawan, Maria berniat menjual bangunan yang ada di Mornese dan berusaha memindahkan para suster yang sedang sakit. Pertanyaannya adalah apakah Suster Ortensia Negrini yang sudah lumpuh dapat mengadakan pejalanan itu dan akan tetap bertahan hidup? Maria yang merasa sangat sedih melihat beberapa anggota komunitasnya menderita, segera memindahkan Suster Ortensia dengan cara dipangku dalam perjalanan ke Nizza.

Bagi suster-suster yang lain kepedihan karena harus meninggalkan Mornese di ungkapkan dengan cara yang berbeda.

Sungguh menyakitkan harus meninggalkan Mornese, rumah di mana kongregasi kita lahir” kata Sr. Emilia Mosca, “rumah di mana pada tahun-tahun pertama kita hidup dalam kesederhanaan, kemurahan hati dan semangat kebersamaan seperti kehidupan biara jaman dahulu.....”

Suster Rosalia Pestarino, yang merupakan penduduk asli Mornese dan salah satu suster yang pertama bergabung dalam kongregasi, mengungkapkan perasaanya: ”suatu hari yang memberikan sebuah kenangan yang kurang menyenangkan sebab penutupan yang mungkin untuk selamanya, terhadap rumah kecil yang tercinta, Mornese akan tetap selalu ada di hati karena tempat itu merupakan tempat kelahiran kongregasi kita dan rumah pertama yang penuh dengan kebajikan dan manisnya kehidupan religius. Betapa banyak mukjizat oleh penyelengaraan Ilahi baik yang spiritual maupaun material yang terjadi di sana. Pemberkatan suster-suster yang pertama, kaul-kaul dan pengikraran janji kudus.

Bagi Maria sendiri, Mornese telah meninggalkan kenangan yang paling manis pada masa kanak-kanaknya, pada masa remajanya, gereja di mana ia dibaptis dan menerima komuni pertama..... Keluarganya yang masih tinggal di sana; begitu juga saudara-saudarinya, teman-temannya..... Sebuah tempat di mana ia mempunyai kenangan-kenangan yang indah baik yang menyangkut hidupnya dan juga hidup orang-orang yang sangat ia cintai.

Sebelum meninggalkan Mornese untuk selama-lamanya, dia ingin menyendiri. Tanpa ia sadari, ia melangkah ke Roverno, sebuah sungai yang kecil yang mempunyai peranan penting dalam kehidupannya dari masa kanak-kanaknya sampai dengan saat mau pergi ke Nizza. Saat seperti itu agaknya merupakan waktu yang tepat untuk sedikit mengenang masa lalunya tentang sungai itu, akan tetapi ia tidak mau terlalu terlarut dalam perasaannya itu.

Ketika ia sedang mengadakan persiapan-persiapan untuk keberangkatannya, perasaannya sering kali muncul. Segala kejadian yang telah berlalu, emosinya, perasaan-perasaannya muncul membentang luas. Kenangan akan begitu banyak nama-nama dan tempat-tempat yang begitu akrap, mendengar suara-suara yang sudah terbiasa—semuanya itu membangkitkan kenangan akan masa lalunya.

Semakin dekat dengan sungai itu maka semakin dipercepat langkahnya. Sesampainya di sana, ia memilih tempat di mana kaum wanita biasanya mencuci baju mereka, seperti kebiasaannya dia akan bersimpuh di atas tanah yang lembek. Kemudian ia besandar dan mengambil sebuah ranting pohon dan melemparkannya ke sungai. Ia menyaksikan ranting itu terapung, berputar-putar, meliuk, akhirnya tenggelam dan hilang dari pandangannya. Ketika ranting itu sudah menghilang dia akan selalu ingat, dulu berapa waktu yang lalu—oh, bertahun-tahun yang lalu! Dia selalu melakukan hal yang sama. Dia juga akan selalu ingat, tentang perjalanan panjang yang akan dilalui oleh ranting kering yang ia lemparkan ke sungai tadi. Ranting kecil itu akan dibawa oleh aliran sungai Roverno menuju Sungai Orba dan kemudian ke Bermida, dan masih berada di wilayah utara, kemudian bersatu dengan aliran dari sungai Po—berjalan berkelok-kelok hampir dua ratus mil—dan akhirnya mencapai Laut Adriatik yang menjadi pintu gerbang menuju dunia luas.

Alangkah banyak air yang sudah mengalir sejak saat itu! Dia sendiri hanya mengalami sedikit perjalanan panjang dan meskipun dia tidak mengalami perjalanan melewati lautan, tetapi ia telah melaluinya dalam diri para suster yang ia utus. Dalam diri para suster inilah semangatnya juga terbawa. Meskipun demikian, ia dengan cara yang lain juga pernah melakukan perjalanan yang panjang. Sekarang jalan hidupnya sangat berbeda dengan jalan hidup sebelum dia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Para suster sering memanggilnya “Ibu Superior!” Sebuah senyum ketidakpercayaan tersungging di bibirnya.

Hal itu bermula pada saat ia bergabung dengan sebuah kelompok kecil yang menamakan diri Putri-Putri Maria Immaculata. Oh, sebuah hari yang kudus dan luar biasa! Sebuah kelompok yang terdiri dari anak-anak kampung yang sederhana yang tidak meminta hal yang lain kecuali diizinkan untuk dipimpin menuju ke sebuah kehidupan suci. Dan kelompok itu semenjak dibentuk telah berjalan dengan semangatnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang pada waktu itu mempunyai maksud ke mana kelompok itu mau di bawa. Dan sekarang mereka telah menjadi sebuah kongregasi !

Dan yang lainnya yang tidak mau mengikuti Don Bosco, menjadi suster Ursulin, di manakah mereka? Dia telah berbicara dengan beberapa orang di antara mereka pada awal tahun lalu ketika ia mengunjungi Mornese.

Sejak Pastor Pestarino meninggal dan Angela Macagno meninggalkannya maka kelompok itu semakin terpuruk,” mereka bercerita kepada Maria. “Kami tidak mempunyai anggota baru dan ketika kami pergi tidak akan ada orang di sana. Ketika para suster meninggalkan tempat itu dan sekolah ditutup, oratori juga akan segera ditutup.

Kami meminta Don Bosco untuk untuk memperhatikan kami seperti yang ia lakukan kepadamu,” yang lain menambahkan. “Tetapi dia tidak menerimanya. Maria, kamu yang selalu bisa memberi nasehat kepada kami, apakah yang harus kami lakukan menurutmu?”

Jika Don Bosco berkata demikian,” jawabnya, “Berarti memang tidak ada lagi yang bisa saya bantu. Yang bisa kalian lakukan hanyalah menyerahkan semuanya pada kehendak Allah sebagai seorang Kristen yang baik.”

Secara khusus, dia merasa sedih dengan Angela yang bersama dengan Pastor Pestarino telah membentuk kelompok itu. Angela adalah seorang wanita yang sangat saleh dalam beragama, baik hati dan tabah. Angela tidak pernah ikut campur dalam percekcokan yang sering muncul tetapi selalu membantu gadis-gadis yang karena satu alasan atau juga alasan yang lain meninggalkan rumah kelompok itu.

Maria juga mendengar keluhan dan perasaan tidak senang dari orang-orang desa di tempat itu. Mereka ingin menunjukkan perasaan mereka tentang para suster yang telah tega meninggalkan keluarga mereka, teman-teman mereka serta anak-anak. “Pembelot” itulah sebutan yang diberikan kepada mereka. Ketika mereka sedang bercerita, ia teringat bagaimana mereka mengeluh ketika para suster sedang membangun sebuah komunitas dan kemarahan mereka karena para suster mengambil alih sebuah sekolahan. Dan sekarang mereka memintannya untuk tinggal di sana!

Dia mengenang kembali akan suster-susternya—bagi mereka yang sedang berada di tanah misi, yang terpisah dari orang-orang yang mencintai mereka, dan dia selalu berdoa semoga Tuhan tidak menambah banyak beban kepada mereka yang telah banyak berkorban untuk-Nya—dalam karya mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Hal itulah yang membuat dia begitu bahagia karena menjadi anggota sebuah komunitas yang sangat baik!—bagi mereka yang telah menghadap Bapa, dia berharap mereka telah menerima imbalan yang sebanding. Mereka pasti sudah begitu bergembira !—untuk Suster Emma Ferrero yang telah berhasil menaklukkan dirinya sendiri dan meninggal sebagaimana kematian seorang santa. Dia juga teringat pada Suster Corinna Arrigotti yang telah berhasil menguasai kehidupan duniawinya yang hampir menyeretnya keluar dari kongregasi, dia juga meninggal dengan cara yang indah di dalam kongregasi.

Dia mengingat akan Suster Emilia Mosca, yang begitu bermartabat, begitu sempurna, begitu mulia dalam segala suasana...... tentang Suster Katharina Daghero, yang begitu pintar, begitu ahli, cakap dalam menyelesaikan seluruh hal yang ia kerjakan.... tentang Suster Enrichetta Sorbone, yang begitu berperasaan, begitu baik hati dan baik dalam segala hal..... Mereka sebenarnya orang-orang yang lebih bisa memimpin daripada dirinya dalam segala hal meskipun demikian mereka masih memanggilnya Ibu Superior! Betapa rendah hatinya mereka!

Kemudian ia teringat akan Suster Angela Jandet, guru mereka yang pertama kali. Dia mempunyai kecenderungan untuk tidak mau diam, terbiasa dan senang akan hal-hal duniawi. Tetapi Maria dapat melihat kemampuan-kemampuannya yang dapat mengubah dia menjadi manusia yang hebat. Akan tetapi ternyata dorongan dunia luar telah mengalahkannya, dan dia mengundurkan diri dari kongregasi bahkan tanpa menunggu dispensasi sekalipun. Maria ngeri memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Begitu banyak yang telah meninggalkan koggregasi dan yang menentang nasehat-nasehatnya. Baik mereka yang tidak mau mendengarkannya lagi ataupun yang tidak bisa diyakinkan atau yang lainnya yang lebih memilih kesenangan yang ada di dunia. Di manakah mereka sekarang? Bagaimanakah perasaan mereka setelah kegagalan mereka dalam menjawab panggilan Tuhan?

Dan sekarang mereka sedang berpindah ke rumah yang baru dengan bangunan yang besar, ruang kelas-ruang kelas yang besar, tempat tidur, perlengkapan dapur yang lengkap dan menyenangkan, lalu apa yang akan terjadi dengan semangat kemiskinan, pengorbanan diri, mati raga dan kerendahan hati kita? Siapakah yang dapat membimbing para suster yang hidup dalam kondisi yang sulit ini? Seseorang harus bisa membimbing mereka tetapi bukan saya. Mereka harus segera memilih seorang superior yang baru! Terlalu berat bagi saya dan saya tidak bisa berjalan terus.

Ketika ia mengingat kembali kegagalan-kegagalan yang ia alami pada masa lampau dan kegagalan yang pasti akan dia alami, perasaan akan ketidakmampuannya, dan juga perasaan bersalah yang selalu mengikutinya dengan sebuah kesuraman yang mendalam.

Mengapa Tuhan masih memperbolehkan saya untuk terus membuat kesalahan-kesalahan ini, terus melakukan banyak kerugian-kerugian ini? Dia bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa Dia tidak membebaskan saya dari tugas yang tidak sanggup saya laksanakan ini? Allah yang Murah Hati,” doanya, “Meskipun andaikata tugas ini berarti pengorbanan hidup saya, maka ambillah tanggung jawab yang sangat besar ini dari saya.”

Beban itu menjadi terlalu berat untuk ia tanggung. Dengan pelan kepalanya mulai tertunduk, matanya menjadi sakit dan akhirnya air matanya mulai jatuh. Dia akan tetap membiarkan dirinya seperti itu sampai perasaanya itu hilang. Kemudian ia akan menghapus air matanya itu sambil menghela nafas yang panjang.

Oh, baiklah,“ dia menghibur dirinya sendiri. “Suatu hari semuanya ini akan berakhir dan kita akan bersama-sama bahagia di surga.”

Kemudian ia bangkit, membersihkan baju biaranya dan setelah menarik nafas panjang ia berjalan ke desa.

Penutupan Mornese berarti penutupan sebuah periode yang penuh perjuangan dari sebuah kongregasi yang masih muda. Meskipun para suster tidak akan pernah kembali menjalani kehidupan di Mornese tetapi kenangan akan tempat itu akan selalu ada di hati mereka.

Tidak menjadi masalah bagi mereka untuk diutus ke ujung dunia sekalipun, mereka akan berusaha tetap menjadi pelita yang memberi sinar bagi mereka yang berada dalam kegelapan, dan sebuah nama akan selalu mereka ingat sebagai model untuk suster Salesian, yaitu “Semangat dari Mornese’’.*














































19—Cabang – Cabang Anggur



Sewaktu menjadi Superior di Mornese, Maria bertanggung jawab atas pembinaan beberapa orang suster yang masih memerlukan pembinaan lebih dalam lagi. Dengan cara ini Maria berusaha selain membina mereka untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam berorganisasi, mengembangkan kekudusan hidup mereka, juga tentang cara kematian yang baik. Adanya perbedaan tingkah laku, sifat dan sikap, motivasi-motivasi bergabung dengan kongregasi dan cara-cara yang digunakan Maria untuk mendukung kecenderungan dan kesetiaan mereka menunjukkan kemampuannya untuk melihat keutamaan-keutamaan yang tersembunyi di antara sifat-sifat yang kasar dan tidak menjanjikan di sisi yang lainnya. Kesuksesannya itu tidak terlepas dari usahanya dalam mengadakan bimbingan, pendampingan dan memberi dorongan dan kalau ia merasa perlu dengan omelan, untuk menunjukkan hal-hal yang terbaik dalam diri mereka. Mereka juga menunjukkan bahwa kesederhanaan, kepercayaan, kerendahan hati dan di atas semuanya itu kebahagiaan, dalam pembentukan diri mereka yang merupakan bagian penting yang oleh Maria disebut “Semangat dari Mornese”.

Katharina Daghero dIlahirkan pada tanggal 7 Mei 1856, anak ketiga dari sebuah keluarga yang sederhana. Dia telah kehilangan ibunya pada usia dua belas tahun dan kemudian kemudian dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun demikian ibunya telah menanamkan nilai-nilai agama kepadanya. Dia sendiri telah menunjukkan kebajikan-kebajikan dan kesiapsediaan untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan yang diberikan kepadanya. Ketika ayahnya menikah lagi, hubungannya dengan ibu tirinya tidak berjalan dengan baik.

Ketika ia berumur delapan belas tahun, dia memutuskan untuk masuk ke sebuah kongregasi yang masih baru di mana keponakannya Rose telah mendahuluinya masuk pada bulan April tahun itu. Dia tiba di Mornese pada hari Minggu, 16 Angustus 1874, Postulan pertama yang diterima oleh Maria setelah ia terpilih menjadi Superior. Bagi Maria, dia merupakan sebuah teka teki. Apakah sifat diamnya itu menunjukkan bahwa ia dengan menghayati panggilannya dengan lebih mendalam ataukah kesederhanaannya itu memang menurapakan sifat bawaanya? Dan semua kerendahatiaannya yang ia tunjukkan bersama-sama dengan semangat hidupnya yang agak tertutup dan keaktifannya……… Lalu bagaimanakah kalau semua hal itu dijumlahkan ?

Katharina sadar bahwa ia merasa berada di antara orang-orang asing dan ingin untuk pergi saja. Merasa tidak kerasan dengan lingkungan dan juga karena begitu sedikit percakapan yang ada, dia merasa tidak terpanggil oleh kongregasi di mana setiap orang dan semua hal berjalan dengan terus menerus sehingga tidak bisa mempunyai kesempatan yang sepi untuk berdoa. Ini bukanlah jenis “biara” yang biasa ia dengar. Dia merasa bisa berdoa dengan lebih baik di rumah. Dia dengan segera menutuskan sikapnya dan berusaha menunjukkan kepada orang lain bahwa ia tidak lagi mempunyai keinginan untuk tinggal di sini, membiarkan barang-barangnya tanpa disentuh sedikitpun kepada penjaga pintu.

Sementara itu, Maria menunggu dengan sabar kesempatan untuk bisa berbicara dari hati ke hati dengannya. Maria merasa bahwa di sini ada panggilan dan dia telah menunjukkannya kepada Katharina lebih dari satu tanda yang juga menyadarkannya bahwa dia merupakan seorang calon yang potensial.

“ Bukankah kamu mau menjadi seorang biarawati ?” Dia bertanya kepadanya suatu hari.

“ Ya, tetapi tidak di tempat ini.”

“Oh, Ya, saya tahu. Tetapi apakah kamu tidak berkeratan saya memberitahu sesuatu kepadamu?”

“Tentu saja”.

“Saya yakin, bahwa Tuhan menginginkan kamu tetap di sini. Jika kamu meninggalkan tempat ini kamu pasti akan kehilangan panggilanmu dan suatu saat kamu akan penyalahkan hal itu pada Tuhan.”

“Tetapi saya benar-benar tidak mau tinggal di sini.”

“ Kenapa tidak?”

“ Ada banyak alasan.”

“Tidak perlu diperhatikan alasan-alasan itu untuk sementara. Jangan terlalu memikirkan kenapa kamu tinggal di sini. Bayangkanlah saja kamu tinggal di sini selama satu bulan saja.”

“Satu bulan ? Lama sekali.”

“Lama ? Kalau begitu tinggallah sampai nanti sore. Sehari akan berlalu dengan cepatnya tanpa kamu sadari. “

Beberapa hari kemudian Maria berbicara lagi dengannya. “Katharina,” Katanya, ”Apakah kamu tidak mau menulis surat kepada ayahmu?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu duduklah dan kemudian katakanlah kepadanya bahwa kamu bahagia di sini.”

“Tetapi hal itu berarti saya telah berbohong.”

“Apa yang kamu maksud, berbohong ? Bukankah kamu senang melakukan kehendak Tuhan? Dan bukankah Tuhan menghendaki kamu tetap tinggal di sini ? Mungkin pada saat ini kamu belum bisa merasakannya dengan jelas karena kamu masih selalu memikirkan rumah. Tulis saja dan katakanlah bahwa kamu senang tinggal di sini.

Setelah beberapa saat Katharina berusaha untuk membiarkan ayahnya tahu bahwa ia sebenarnya ingin segera pulang ke rumah. Suster Rosalia Pestarino, yang bertugas mendampingi para postulan memberikan surat itu kepada Maria.

“Datanglah limabelas hari lagi?” ulang Maria. “Tidak, kurangi menjadi tiga bulan.” Katharina dengan taat menguranginya hingga tiga bulan, tetapi bukan tanpa dorongan untuk mengeluh dan keinginan kuat untuk mengundurkan diri.

Mulai saat itu Katharina sering menderita dalam ketidakpastian. Baik keponakannnya Rose yang sudah menjadi anggota yang berkaul maupun Maria, apakah mereka semua bisa menyakinkannya bahwa meskipun dengan sederhana telah digoda oleh percobaan-percobaan dari setan. Dan ketika hari yang sangat penting semakin dekat, kebingungannya semakin besar dan menyebabkan ia menangis dengan sedih. Hal itulah yang ada dalam pikirannya pada malam sebelum pengikraran kaul pertamanya.

Pada tanggal 13 Desember 1874, Pastor Johanes Cagliero setelah memberikan triduum kemudian memberikan aturan-aturan kehidupan religius kepada tujuh orang postulan dan salah satunya adalah Katharina Daghero. Baik dia, kepala rumah, wakil kepala rumah maupun Suster Magister Novis tidak berkeberatan andaikata ia menolak aturan-aturan itu. Maria sendirilah yang terus mengupayakan agar ia tetap diterima. Ketika pastor menanyai motivasi panggilannya, ia menjawab dengan jawaban yang tidak pasti.

“Katharina harus tinggal di sini,” Maria memutuskannya. “Tuhan ingin dia tetap tinggal di sini. Semakin banyak dia menderita maka semakin besar juga dia akan menemukan bahwa dirinya senang tinggal di sini, dan akan lebih berguna untuk masa yang akan datang. Sekali ia menerima aturan-atuaran itu maka segala masalahnya yang telah ada selama ini akan hilang.

Meskipun demikian pada malam Paskah, Katharina tetap tidak merasa lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Sebetulnya pada saat itu dia hampir memutuskan untuk keluar. Suster yang sekarang bertugas mendampingi para postulan, menyakinkan dia bahwa lebih baik baginya utuk tidak meneruskan keinginannya itu dan ia juga menasehati Maria. Tetapi Maria tetap tidak berubah pada keputusannya.

“Tidak!” Dia menegaskan lagi, “Sudah saya katakan berulang kali bahwa dia menerima peratuan-peratuan ini karena kehendak Tuhan. Postulan ini dipanggil untuk melakukan hal-hal yang indah demi jiwa-jiwa manusia!” Hal itulah yang menjadi akhir dari semua keputusannya.

Pada hari berikutnya Katharina menerima peraturan-peratuaran dan yang membuatnya heran secara luar biasa, sehari setelahnya, seperti yang telah Maria katakan bahwa semua keberatannya, semua keraguannya dan juga semua ketakutannya hilang seperti embun diterpa sinar matahari pagi. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi merasa bimbang dalam segala hal. Setelah ia menerima pembinaan secara memadahi, Maria mengirimkannya ke rumah baru di Turin di mana rumah itu di buka atas anjuran langsung dari Don Bosco. Di Turin dia mengajar di sebuah sekolahan umum dan menjadi pendamping oratori khusus wanita, selain itu dia sendiri belajar untuk mengejar kesarjanaannya dalam bidang pendidikan.

Setelah dia mengikrarkan kaul kekalnya, dia segera ditunjuk menjadi pemimpin rumah di Turin. Dari situ pada tahun 1880, dia ditunjuk untuk memimpin rumah di Santo Cyr di Perancis.

Pada tahun 1880, dia dipilih menjadi Wakil Jenderal mengantikan Ibu Petronilla Mazzarello, dan pada saat kematian Maria, dialah yang memimpin kongregasi untuk sementara sampai dia akhirnya terpilih sebagai Pemimpin Umum, pada tanggal 12 Agustus 1881. Pada saat itu ia baru berumur dua puluh lima tahun dan akan selalu berada di kantornya sampai dengan kematiannya. Meskipun ada ketentuan usia tiga puluh lima tahun bagi calom pemimpin kongregasi, tetapi Don Bosco sendirilah yang memberikan dispensasi.

Selama masa kepemimpinannya sebagai pemimpi umum dia selalu mengikuti dasar-dasar dan rencana-rencana yang telah dibuat oleh Don Bosco kepada para suster-susternya. Dia mengadakan kunjungan-kunjungan secara teratur ke Eropa, Mesir, Afrika, Russia, Polandia, Palestina, dan tentu saja di negara-negara Amerika Selatan. Setelah memimpin kongregasi mengatasi masa-masa sulit dalam Perang Dunia I, dia semakin dapat memimpin kongregasi dengan pertumbuhan yang luar biasa, membuka beratus-ratus rumah yang baru, mendapatkan beribu-ribu calon suster yang baru. Ketika dia baru saja menjadi pemimpin umum, jumlah rumah hanya 28 dengan 200 anggota. Ketika dia meninggal pada 26 Februari 1924, jumlah rumah mencapai 484 dengan 6000 suster.

Rahasia kenabian Maria telah terpenuhi.

Emma Ferrero adalah wanita lain yang mampu merebut hati Maria. Mamanya meninggal ketika ia masih kecil dan kemudian ia disekolahkan di sekolahan yang baik di Turin. Pada saat dia berusia limbelas tahun ayahnya beranggapan bahwa ia perlu untuk mengenal dunia luar maka ia membawanya ke tempat-tempat hiburan, pesta-pesta dansa, dan perkumpulan-perkumpulan sosial….. Maksud ayahnya membawa ke acara-acara seperti itu adalah agar ia belajar bagaimana bertindak dan bertingkah laku di dalam masyarakat sebagai wanita pada umumnya. Emma adalah seorang murid yang cerdas dan mampu belajar banyak hal yang ada di sekitarnya yang dapat berguna bagi masa depannya.

Sayangnya, ayahnya sendiri kalah dengan kecenderungan dunia dan tidak dapat mendukung anak perempuannya itu dengan hal-hal baik yang biasanya dia ajarkan kepadanya. Sebenarnya ia telah lama tertarik pada Don Bosco dan berusaha mencarikan pekerjaan bagi Emma melalui Don Bosco. Don Bosco mengirimnya ke Mornese untuk mengajar dengan disertai oleh dua orang suster muda.

Pada saat itu ada tiga orang suster baru yang akan dibina di Mornese. Salah satunya adalah Emma yang menarik perhatian tidak hanya karena tindakannya yang lues dan wajahnya yang cantik tetapi juga karena nasibnya yang kurang beruntung karena dia seakan telah diperlakukan tidak adil oleh dunia dan telah menjadi korban dari nasibnya yang kurang baik. Tidak ada yang dapat suster-suster lakukan untuk membantunya. Dia tetap sombong, ingin bebas, dan suka mengeluh. Meskipun semua orang dapat menduga bahwa sesuatu hal telah mengganggunya tetapi ia tidak mau terbuka kepada siapapun juga.

Pada suatu hari, Emma menerima sebuah foto yang kemungkinan dikirim oleh bekas gurunya dahulu. Mengetahui kelakuan dan tindakan orang itu, Maria menasehatinya agar lebih baik baginya untuk tidak menyimpan foto itu dan lebih baik membakarnya saja. Yang membuatnya terkejut, pada saat api sedang membakar foto itu muncullah sebuah kertas dari dalamnya yang disembunyikan sedemikian rupa supaya tidak kelihatan. Ada juga yang lain. Panasnya api juga memunculkan kata-kata dalam foto yang ditulis dengan warna kuning lemon. Maria mengambil kertas itu dan mulai membacanya.

“Apa yang dapat kamu lakukan di antara guru-guru baru itu ?” Maria membacanya. “Saya yakin mereka akan membuat kamu kehilangan seluruh gairah hidupmu. Ayolah pergi, Emma !………” sambil memberikan sebuah rencana supaya Emma bisa melarikan diri dari rumah itu !

Maria menyadari bahaya itu, dia berdoa dan mengajak yang lainnya juga berdoa baginya. Sementara itu ia sendiri terbuka kepadanya dan menyatakan selalu siap membantunya dalam segala hal. Maria berhasil mempengaruhi Emma sehingga bisa membawanya pada kesadaran untuk pergi ke pengakuan dosa, susuatu hal yang sudah lama tidak pernah ia lakukan lagi.

Emma setia pada kata-katanya dan mulai saat itu ia menunjukkan tanda-tanda perubahan yang berarti. Suatu hal yang sangat mengejutkan tiba pada suatu hari setelah ia menerima komuni suci dengan devosi yang melebihi hari-hari biasa, dia sendiri mendatangi Maria.

“Ibu,” katanya, “Maukan engkau menerima saya sebagai seorang suster ?”

Hal itu menjadikan dua hal yang mengejutkan Maria: yang pertama adalah permohonannya yang mendadak dan yang kedua adalah itulah saat pertama kali Emma memanggilnya dengan sebuatan Ibu !

Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Maria menyakinkan apakah Emma akan mampu untuk berjanji mengikuti segala peraturan kongregasi.

“Saya berjanji,” jawab Emma dengan mantap. Setelah mengucapkan kata itu, ia bergegas ke ruang tidurnya, mengumpulkan seluruh barang kepunyaannya, kertas-kertasnya, bunga-bunganya, perhiasan-perhiasan kecilnya….. semua yang ia gunakan. Dia membawa semua barang itu ke lapangan bermain dan di depan Maria dan yang lainnya di tumpuk di tengah-tengahnya dan siap untuk membakarnya.

“Sekarang,” Katanya kepada Maria, “Saya dapat berkata bahwa saya adalah milikmu seutuhnya.”

Dia menerima aturan-aturan kongregasi pada tanggal 20 Agustus 1878, pada saat itu ia membuat persembahan atas tangan-tangan dan matanya secara khusus kepada Tuhan. Mengapa kedua hal itu? Dia menjawab bahwa melalui matanya ia mejadi terikat akan keindahan-keindahan dunia, dan ia mau melindunginya demi kekudusan yang akan dipersembahkan kepada Bunda Maria pada saat ia masuk surga; dan tangan-tangannya, yang selalu ia rawat supaya tetap halus dan indah, karena ia ingin mengabdi Bunda Maria dengan kedua tangannya itu dengan pekerjaan-pekerjaan yang kasar dan yang berguna.

Pada suatu kesempatan seorang suster memohon kepadanya, “Emma jangan kamu memperlakukan tanganmu seperti itu!”

“Ah, itu hanyalah sedikit penebusan dosa,” sahut Emma, “untuk semua dosa-dosa ini mereka harus menanggungnya.”

Pada suatu pagi, Ibu mengundang kami semua pergi tamasya ke kebun anggur—seperti yang suster katakan—kami boleh memakan beberapa buah anggur yang sudah masak. Di antara kami hanyalah Suster Emma yang berusaha tetap untuk menyangkal diri dan untuk alasan ini Maria selalu mengawasinya. Dia menemukan bahwa Suster Emma, dari saat permulaan mereka masuk kebun anggur sampai mereka beristirahat tidak sebutir buah anggurpun ia sentuh. Maria menunggu kesempatan yang cocok untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan tentang anggur itu kepada mereka.

“Apakah kamu dapat menikmati anggur-anggur yang lezat yang kita punyai pada hari ini, Suster Emma ?” tanyanya.

“Bayangkan”, sahut salah seorang suster dengan bersemangat. “Siapa yang tidak akan merasa gembira dengan kesempatan seperti ini ?”

“Dan saya tahu ada seorang suster yang tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikannya itu.”

Semua anggota komunitas terdiam.

“Kita akan melihat apakah di antara kita semua telah memanfaatkan kesempatan itu,” Maria melanjutkan kata-katanya dengan mimik yang serius. “ Siapakah di antara kita yang tidak menyentuh sebutir anggurpun silahkan mengangkat tangannya.

Setelah memeriksa sekelilingnya dengan harap-harap cemas, kemudian wajahnya berubah menjadi merah semerah gula bit, Suster Emma mengacungkan tangannya. Hanya tangan itu yang teracung di seluruh penjuru ruangan. Dia menjadi kaget dan mulai gemetar.

“Datanglah ke sini, Suster,” Kata Maria dengan berani. “Saya memetik setangkai anggur ini untukmu. Makanlah dan anggur itu akan membuatmu menjadi lebih baik. Tetapi lain kali apapun anugerah yang diberikan kepadamu, ambillah semuanya tanpa pengecualian.

Selama dua tahun berikutnya Emma hidup dengan kesempurnaan hingga pada suatu hari dia mengelurkan ludah yang penuh darah dalam jumlah yang cukup banyak dan dokter memperingatkan gejala-gejala itu bisa berakibat fatal. Pada malam berikutnya ia kembali memuntahkan darah untuk kedua kalinya dan hal itu membuat kondisinya semakin parah.

“Apakah kamu ingin hidup atau mati? Maria bertanya kepadanya.

“Jika saya ingin hidup, saya ingin hidup untuk Yesus, jika mati, matipun demi Yesus!” Enam hari sesudahnya, dengan tenang dan hati-hati, dia menerima Yesus untuk terakhir kalinya. Berkat anugerah Tuhanlah dia yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung, dibawa masuk kongregasi, dia mempersembahkan seluruh hidupnya untuk jiwa-jiwa yang ada di api penyucian.

“Apakah kamu mau pergi ke surga, Suster Emma ?” Tanya pastor Cagliero.

“Ya ! Ya !” dia menangis. Matanya memandang salib lalu memeluknya dan kemudian kepalanya tertunduk dan meninggal.


Nona Emilia Mosca adalah anak perempuan dari seorang pengikut anti Kristus Tuan Charles Bernardino dari Turin yang telah dihadiahi gelar oleh Raja Charles Arberto karena peranannya dalam bembangun jembatan Mosca yang melintasi Sungai Dora di Turin. Emilia mendapat keturunan bangsawan dari neneknya yang berasal dari Bangsawan Bellegarde dari Santa Lary.

Keluarganya telah kehilangan kedudukannya dalam masyarakat dan ayahnya kemudian meminta bantuan kepada Don Bosco. Ditemani oleh saudaranya yang lebih muda, dia tiba di Mornese pada tanggal 6 Desember 1872, atas persetujuan Don Bosco untuk menjadi seorang guru Bahasa Perancis. Dua orang saudara laki-lakinya sudah lama berada di oratari Turin.

Sebelum pergi ke Mornese, Don Bosco bercanda dengannya dan mengingatkannya bahwa kemungkinan besar ia akan jatuh/terpengaruh oleh para suster.

“Kita akan lihat!” Kata Don Bosco kepadanya. “Kamu mungkin akan dicobai untuk menjadi seorang suster.”

“Seorang suster ? Saya ? Adalah reaksi pertamanya. “Tidak ada dalam pikiran saya sebelumnya.”

Hal itulah yang senyatanya ia rasakan yaitu pada saat mengadakan perjalan yang jauh dari Novi ke Mornese dengan mengunakan kereta kuda sederhana dan ditemani oleh salah seorang pegawai bapaknya. Satu-satunya tujuan yang membuat ia mau menempuh perjalanan yang begitu jauh adalah keinginannya untuk mendapatkan sedikit uang untuk membantu kehidupan keluarganya.

Setelah sampai di Mornese dia mulai mengajar dan mulai saat itu di samping menjalani kehidupannya sendiri, dia juga tetap mengikuti semua peraturan yang ada di dalam komunitas dan hal itulah yang membuat dia dikagumi baik oleh murid-muridnya maupun oleh anggota komunitas yang lain. Selain kehidupan keagamaan yang mendalam ia juga selalu melaksanakan seluruh kewajiaban keagamanya. Apapun yang ia lakukan sangat pantas sebagaimana seorang bangsawan bertindak, dengan segala perilakunya yang anggun dan semua surat yang ia terima selalu beralamatkan kepada “Yang Mulia Tuan Putri.”

Meskipun Emilia adalah seorang yang sangat menyenangkan, tetapi tidaklah mudah bagi para suster yang kebanyakan adalah orang desa biasa untuk bekerja sama dan terbuka dengan seseorang yang berpakaian dan berperilaku begitu agung. Hal itu menarik perhatian Maria untuk bisa mengakui bagaimana seorang gadis bangsawan yang berperilaku sangat agung dapat bertahan untuk hidup dalam kondisi yang keras seperti yang ada di Mornese ini. Dia dapat melihat bahwa di samping sikap luarnya yang begitu agung terdapat juga sikap keteguhan hati dan kejujuran di dalamnya, dan ketika ia menemukan orang seperti itu, pertanyaan pertama yang muncul dalam pikirannya adalah, apakah dia akan mau bergabung dengan kami ? Jawaban untuk pertanyaan yang pertama itu dengan jelas adalah, ya. Sekarang dia berusaha untuk mencari jawaban untuk pertanyaan yang kedua.

Dia memulainya dengan cara membuat dirinya menyenangkan bagi Emilia, sehingga hal itu membuat Emilia bahagia. Pada saat Maria merasa waktunya tepat, dia bertanya kepada Emilia mengapa ia selalu memakai pakaian yang begitu agung pada saat ia berada di antara orang-orang yang berpakaian sederhana atau kalau tidak pakaian petani. “Lagi pula siapa yang akan melihatmu ?” Maria bertanya kepadanya.

Bagi Emilia hal itu merupakan sebuah penilaian yang sederhana. Tetapi bagi Maria tidaklah sesederhana itu. Dia tahu bagaimana pengorbanan yang harus dilakukan oleh gadis muda yang penuh perasaan seperti Emilia yang harus meninggalkan penampilannya. Itulah cara Maria yang berusaha menunjukkan kepadanya siapakah dirinya. Teguran dari Maria itu membuat Emilia berpikir dan membuat ia sadar bahwa di antara semua suster adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama bahkan dalam hal berpakaian. Hal itulah yang membuat dia sadar bahwa tidak semua hal terletak pada cara bagaimana seseorang berpakaian.

Hari berganti hari, hingga pada suatu hari Emilia meminta Maria untuk menerimanya di dalam kongregasi.

“Dapatkan kamu membuat pengorbanan diri ini?”

“Dengan bantuan Tuhan, saya yakin saya bisa.”

“Baiklah, meskipun kamu tidak memakai baju seorang suster tetapi kamu bisa memulai kehidupan seorang suster dan kita akan membicarakan hal-hal yang lainnya nanti.”

Emilia memiliki sifat-sifat yang teguh yang membuat dia mampu melaksanakan seluruh tuntutan dalam kehidupan keagamaannya. Pada tanggal 5 Agustus 1878, pada saat peringatan satu tahun pelantikannya, dia diterima secara resmi menjadi seorang suster.

Meskipun demikian tentu saja ada banyak anggota komunitas yang tidak percaya bahwa seorang gadis muda yang begitu berwibawa dapat melakukan penyangkalan diri yang terus menerus dan hanya mencari pemenuhan kebutuhan rohani dan hidup di dalam suasana penyangkalan diri yang menutup diri tidak hanya pada kemewahan tetapi juga pada hal-hal yang biasa yaitu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi keyakinan Maria benar bahwa di balik sikap luarnya yang berwibawa terdapat watak yang kuat sekuat baja. Emilia hanya butuh keyakinan bahwa jalan yang telah ia pilih adalah jalan yang benar sehingga ia bisa melaluinya untuk selama-lamanya.

Dia melewatkan seluruh masa postulannya dengan mengajar para suster, dan juga orang-orang biasa lainnya dan ketika mempunyai waktu bebas, dia mengerjakan tugas-tugas yang paling sulit bagi komunitas. Dia berusaha mengisi waktu rekreasinya dengan cara bergabung dengan murid-murid yang paling tidak sopan dan yang paling tidak taat dan perhatiannya itu bukan bermaksud supaya ia diberi tugas khusus.

Karena tidak menginginkan kesehatannya memburuk, Maria menawarkan makanan-makanan atau paling tidak sedikir anggur yang dapat menunjang kesehatannya sehingga dia bisa tetap mengajar dengan baik. Akan tetapi Emilia enggan untuk menerimanya. Dia tidak menginginkan adanya perlakuan khusus baginya.

“Tetapi kamu harus melakukannya,” desaknya. Meskipun demikian dia tetap membiarkan Emilia berhenti meminum anggur kalau itu merupakan kemauannya.

Masalah-masalah yang Emilia hadapi tidak hanya berkaitan dengan saat ia masuk menjadi seorang religius. Keluarganya selalu membujuknya, dan ibunya secara khusus dan tajam menuduhnya telah meninggalkan keluarganya justru pada saat mereka membutuhkannya. Ayahnya pun dengan mengunakan kekuasaannya pernah mencoba memaksanya untuk keluar dari kongregasi dan menghadap hakim daerah untuk memberi pembelaan karena posisinya itu. Untunglah, ada Pastor Cagliero yang selalu membelanya.

Dia juga menderita dan berpasrah karena terkejut dan merasa sedih karena menemukan bahwa ayahnya, ibunya dan saudara laki-lakinya meninggal dalam waktu berdekatan dalam tempo delapan hari saja.

Melihat kemampuannya yang begitu besar, Maria meminta dia supaya selalu menemaninya dalam perjalanan-perjalanannya, oleh karena itu menjadi tanggung jawab Emilia untuk menuliskan kejadian-kejadian penting pada awal berkembangnya kongregasi.

Sumbangannya yang terbesar untuk keberhasilan kongregasi adalah pada saat ia terpilih menjadi asisten yang pertama, dia bertanggung jawab mengorganisasi seluruh sistem pendidikan dan ia berhasil meletakkan dasar yang kokoh di dalamnya. Kunci dari keberhasilan ini adalah adanya pembukaan sebuah sekolah guru di Nizza Monferrato bagi para suster, dan setelah melalui beberapa kesulitan akhirnya memperoleh pengakuan resmi dari Roma.

Dia meninggal “dalam tugas” di Alassio pada tanggal 2 Oktober 1900, dalam perjalanan pulang dari Nizza setelah membantu retret para suster di Perancis.

Tentu saja masih banyak hal selain hal-hal di atas yang telah menunjukkan bahwa mereka layak menerima mahkota kemuliaan, masing-masing pribadi menunjukkan permasalahan yang khusus yang meliputi sifat, sikap dan latar belakang. Meskipun demikian Maria berhasil membimbing sifat dan sikap mereka yang berbeda-beda itu. Hal itu menunjukkan anugerah kemurahan hati dan kepeduliaan dan juga kemampuannya dalam membimbing seseorang menuju kekemuliaan yang tertinggi. Jika masing-masing pribadi mampu meraih mahkota kemuliaanya, dan bersama mereka menciptakan suatu mahkota yang baru, hal ini merupakan salah satu penghargaan terhadap kerendahatian Maria Mazzarello.



























20—Hamba-Hamba Kerahiman


Ketika komunitas-komunitas mulai bertambah, Don Bosco berusaha untuk bisa mengunjungi mereka, supaya bisa mendukung dan membimbing mereka, dan kadang-kadang hal itu sangat dibutuhkan terutama pada masa awal berdirinya kongregasi.

Sejak Maria menempatkan dirinya sebagai penghubung semangat Don Bosco kepada para susternya, dia melakukan hal yang sama yaitu dengan menambah jumlah komunitas-komunitas. Meskipun demikian kunjungan-kunjungan yang ia buat merupakan ungkapan kunjungan seorang ibu kepada anak-anak perempuannya dan bukan sebuah pemeriksaan. Dia berusaha untuk dapat menolong, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, dan juga menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang muncul selain itu ia juga memberikan nasehat-nasehat yang dapat membantu mereka. Mereka selalu menatap jauh ke depan dan satu-satunya alasan yang berkaitan dengan hal ini adalah jumlah mereka yang terlalu sedikit. Selain karena kesopanan dan penghormataanya kepada wewenang yang terlah diberikan kepada para suster, dia juga sangat jujur dan tidak pernah meninggalkan seseorang berada dalam keragu-raguan seperti yang ia pikirkan atau apapun yang akan ia lakukan.

Suatu saat ketika ia berada di Allasio, dia menemukan sesuatu yang salah pada rencana jadwal bagi para suster.

Siapa yang membuat rencana ini?” tanyanya. “Jika Don Bosco yang membuatnya maka tidak apa-apa. Tetapi kalau bukan dia maka harus diubah.”

Di rumah yang sama, ia menemukan bahwa suster-suster telah melakukan banyak hal sehingga tidak mempunyai waktu untuk diri mereka sendiri. Mereka seperti sedang terlanda demam semangat penyangkalan diri yang berlebihan dan ia rasa datang dari luar kebijaksanaan kongregasi. Meskipun ia harus mengatakan hal itu tetapi ia tidak tergesa-gesa mengatakannya kepada superior di sana. Kemudian pada sore harinya ketika superior di sana memberitahukannya bahwa ia menderita sakit kepala yang hebat, Maria menganjurkannya untuk beristirahat tetapi superior itu berkeberatan.

Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan,“ katanya. “Lagipula, anda akan memberikan sebuah konferensi kepada kami dan anda menginginkan superior rumah ini tidak hadir ?”

Meskipun demikian ketika Maria memintanya dengan sangat, superior itu akhirnya mematuhinya.

Keesokan harinya Maria berbisik kepadanya. “Kamu pikir kamu harus mengesampingkan sakit kepalamu?” Maria berkata kepadanya. “Secara tidak langsung

kamu telah membuat para suster menderita. Wajahmu yang pucat hanya akan membuat mereka sedih, kamu harus ingat bahwa kamu mempunyai kewajiban untuk membuat mereka tetap bahagia. Mungkin kamu takut karena tidak memberi contoh yang baik. Tidak perlu kuatir, mereka semua sangat diperhatikan dan bahagia bersamamu.”

Di rumah yang lainnya dia menemukan adanya penyangkalan diri terhadap makanan yang sangat ketat. Dia berkeberatan dengan hal ini dan menjelaskan bahwa seorang superior harus makan yang cukup sehingga memungkinkan dia melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu, lanjutnya, jika ada beberapa suster yang merasa malu karena tidak melihat dia makan yang cukup, mungkin mereka berpikir bahwa mereka harus mengikuti contohnya atau mungkin menjadikan mereka tidak makan secara cukup banyak yang dapat mencukupi kesehatannya.

Di rumah yang ketiga, ketika pastor meminta para suster mempersiapkan makan malam di ruang makan karena pada saat itu akan ada tamu dengan makanan yang lebih beragam. Tetapi Maria tidak mengizinkannya, meskipun hal itu diminta sebagai sebuah pengecualian. “Hal itu akan mengarah ke penyalahgunaan,” dia berkeberatan. “Dan sekali penyalahgunaan itu terjadi maka akan sangat sulit untuk menghilangkannya!”

Selama ia mengadakan kunjungan-kunjungan ia akan selalu menolak semua perlakuan khusus kepadanya.

Di salah satu rumah dia dengan sangat meminta untuk bisa tidur di kursi saja karena rumah itu terlalu miskin untuk memberikan tempat tidur tambahan. Dan di luar keadaan itu ia berusaha sendiri untuk membuat penyangkalan diri. Penyangkalan diri ini hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri dan bukan untuk yang lain.

Sebagai contoh, ketika ia menderita sakit gigi yang hebat ia mengatakan bahwa ia harus menemui seorang dokter gigi.

Apakah kita harus pergi ke dokter gigi pada saat kita sedang sakit gigi ?” dia ingin tahu. Kemudian ia mengambi sepasang penjepit dan memasukkan ke dalam mulutnya. Karena ia tidak bisa mencabutnya sendiri maka ia memanggil salah seorang suster yang paling berani untuk membantunya. Ketika suster itupun tidak sanggup melakukan operasi yang begitu kejam terhadap superiornya, Maria mencoba lagi untuk mencabutnya sendiri, “ Segala sesuatu yang kita derita masih terlalu ringan dibanding penderitaan Tuhan,” katanya.

Ketika usaha yang kedua itupun tidak berhasil dia kemudian mencari jalan lain. Dia mengikat giginya yang sakit dengan sehelai benang dan kemudian mengikatkan benang itu pada kaki sebuah kursi.

Kemudian dia menyuruh seorang suster untuk duduk di atasnya dan dengan sekali tarik, copotlah gigi itu. Meskipun rasa sakit yang hebat ia derita tetapi ia masih bisa berkata, “Baiklah bisa menumpahkan sedikit darah untuk Tuhan.”

Suatu sikap yang selalu Maria tunjukkan bagi seorang superior baru adalah kemampuan untuk mengatur dan menumbuhkan semangat bekerja sama dengan para suster yang lain. Seperti yang biasa Don Bosco lakukan pada saat memberikan ketaatan, dia akan mengunakan cara seperti yang Don Bosco gunakan. Dia tidak akan pernah memerintah. Tetapi dia biasanya akan bertanya, “Maukan kamu membuat kebajikan ini untuk saya?” atau “Dapatkan kamu melakukan hal ini demi saya?” Dia juga berhati-hati dalam memilih waktu yang tepat untuk sebuah permintaan supaya hal itu dapat diterima dengan mudah.

Menyadari betapa sulitnya untuk memindahkan Suster Josephine Pacotto dari Mornese, dia memanggilnya pada suatu sore saat mereka sedang berekreasi dengan anak-anak.

Dalam permainan ini,” katanya, “Kita harus bersembunyi dan saya ingin kamu datang kepada saya.”

Suster Yosephine menyetujui dan pada saat permainan, Maria berbisik kepadanya, ”Maukah kamu berbuat kebaikan bagi saya ?”

Tentu saja, Ibu.”

Saya menginginkan kamu pergi ke Alassio sebagai superior.”

Ketika mendengar permintaan ini, Suster Yosephine sangat terkejut dan untuk beberapa saat dia tidak dapat berbicara.

Sekarang mari bergabung kembali dalam permainan dan kita nikmati,” kata Maria sebelum yang lainnya sadar akan keterkejutannya.

Saya pernah berkeliling Alessandria – cerita Suster Felicina Ravazza – mencari sutera untuk membuat baju pesananan dari pelanggan kami tetapi tidak menemukan yang tepat seperti yang kami inginkan. Melihat saya agak tidak berani, Ibu akhirnya memanggil saya.

Mari kita pergi ke Asti,” katanya, “dan melihat apakah kita dapat menemukannya di sana.”

Kami menggunakan kereta api dan selama perjalanan itu, ia menunjukkan kepada saya beberapa gereja yang dilihatnya dari jendela.

Dengan mata iman,“ ia mengatakan kepada saya, “kita harus mencoba untuk melihat Yesus di dalam Sakramen Maha Kudus yang mengingatkan kita sebuah cinta yang tertawan.”

Sebelum kami turun dari kereta api, ia memberikan jamnya kepada saya. “Pegang ini,” katanya. “Kamu dapat menjaganya dengan lebih baik.”

Tapi, Ibu !………” saya memulai.

Diam !” katanya. “Kau lihat bagaimana kamu ini bukanlah seorang biarawan yang sederhana ? Jika kamu adalah kamu yang mau menerima jam ini tanpa mengeluh sedikitpun. Allah yang Maha Baik dan Banda Maria Penolong umat Kristiani, Don Bosco selalu mengingatkan kita jadilah seorang biarawan yang sederhana, tetapi dalam tahap inipun kamu belum mencapainya.

Kami mencari di seluruh Asti selama berjam-jam lamanya tanpa dapat menemukan apa yang kami inginkan sampai akhirnya Ibu menyerah.

Tampaknya kita tidak akan berhasil,” ia akhirnya berkata kepada saya. “Marilah kita sampaikan kekecewaan kita kepada Allah yang Maha Baik dan kita akan memperoleh kebaikan untuk itu. Setiap langkah dan setiap kata akan menjadi suatu perbuatan cinta yang akan membantu beberapa jiwa yang menderita di api pencucian.”

Hanya beberapa menit dari waktu berangkat kereta api ketika kami menyadari bahwa kami telah bepergian jauh dari stasiun. Meskipun kami sudah bergegas tetapi kami tetap tertinggal kereta.

Meskipun demikian ibu tidak kelihatan susah sedikitpun. “Tuhan yang Maha Baik tahun bahwa hal ini akan terjadi,” katanya. “Ia melihat betapa menyesalnya kita tidak dapat sampai di rumah malam ini. Biarkan Ia cemas akan hal ini. Biarlah Tuhan sendirilah yang akan membimbing langkah kita. Kita seperti Yosep dan Maria ketika mereka mencari tempat untuk menginap pada malam hari.”

Pada saat kami berjalan, ia berhenti di sebuah toko untuk membeli roti, dan di toko yang lainnya untuk membeli apel, sementara itu saya tetap memperhatikannya, kagum karena melihat betapa tenang dan tidak susahnya dia meskipun dalam kesulitan seperti ini.

Tunggu sebentar !” katanya. “Di Asti terdapat tiga atau empat mantan-mantan postulan kita yang keluar karena kesehatan yang kurang baik. Mereka tinggal bersama dengan seorang pria bernama Cerrati yang bekerja untuk orang miskin dan orang-orang yang terbuang dari kota. Semacam rumah sakit. Mari kita mencarinya.”

Setelah mencari untuk beberapa saat akhirnya kami menemukan di mana ketiga orang gadis itu tinggal dan akhirnya mereka berjumpa dengan Ibu! Mereka begitu senang melihatnya sampai tidak dapat mengucapkan kata-kata untuk beberapa saat. “Dapatkah kamu menampung kami malam ini?” tanya Ibu setelah berhasil mengendalikan emosinya.

Gadis-gadis tersebut harus menemui Cerrato untuk meminta izin.

Izin ?” tuan Cerrato berseru. “Syukur kepada Tuhan kalian berpikir untuk datang kesini !”

Ia menuntun kami melalui rumah sakit yang kecil di mana kami menemukan tiga wanita tua, dua anak-anak, dua wanita yang mengidap TBC pada tingkat yang parah dan masih ada yang lain yang wajahnya dimakan oleh kangker dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Ibu duduk di samping wanita ini menghiburnya dan berbicara kepadanya tentang penderitaan Kristus, tentang api penyucian dan tentang hadiah kekal yang menanti mereka yang meninggal dalam kasih-Nya.

Ketika kamu sampai di Surga,” katanya sebelum meninggalkannya, “Pastikan bahwa kamu berdoa untukku dan kepada mereka yang saya cintai.”

Setelah kami sampai di kamar, kami ditawari semangkuk sup. Meskipun andaikata sup tersebut adalah yang terbaik tetapi di tempat itu siapa yang dapat berpikir sedikit pun tentang makanan ? Tetapi bagi saya sup itu bukanlah yang terbaik dan kelihatan menjijikkan baik dalam rasa maupun aromanya. Ibu melihat hal itu dan setelah kami ditinggalkan sendirian, dia mengambil sup saya menuangkannya ke dalam mangkuknya dan kemudian memberikan kepada saya bersamaan dengan roti yang ia beli. “Makan ini,” katanya. “Ini nampak juga seperti roti yang mereka punyai jadi tidak akan ada orang yang menyadari perbedaannya.”

Bagi saya, saya sungguh heran tidak hanya pada kecepatan yang ibu lakukan pada semua hal ini tetapi juga bagaimana ia dapat menebak pikiran saya. Ketika gadis-gadis itu datang; ia membuat salah satu dari mereka sangat bahagia dengan memberitahunya bahwa ia dapat kembali untuk mencoba panggilannya untuk kedua kalinya.

Di sana, kami bermaksud untuk tinggal untuk semalam saja. Di kamar itu hanya tersedia satu tempat tidur saja oleh karena itu saya bersiap-siap untuk tidur di kursi, tetapi ibu menolak ide saya itu. Setelah membuat beberapa penyesuaian dengan sprei, dia mengatur sedemikian rupa sehingga akhirnya kami berdua dapat menggunakan satu tempat tidur itu.Tetapi kelihatannya ia tidak dapat tidur dengan nyenyak dan kemudian saya dapat melihatnya menarik spreinya untuk melindungi saya kedinginan.

Ketika kami naik kereta api keesokan paginya jelas terlihat ia bahagia.

Kita harus melihat jalan kita,” katanya, ”dan kita belum menyelasaikan apa yang kita rencanakan untuk dilakukan. Tetapi Allah yang Baik selalu memperhatikan kita dan kita juga telah membawa misi kemurahan hati yang luar biasa.”


Di Chieri, sebuah kota yang berpenduduk sembilan ribu orang, dan terletak sepuluh mil di sebelah Utara Turin, keluarga bangsawan dari Bertinetti, yang tidak mempunyai anak, mewariskan kepada Don Bosco rumah mereka yang indah. Hal ini berhubungan dengan beberapa hal dalam kehidupan Salesian. Rumah ini dianggap telah menjadi bagian dari Kastil Tana di mana ibu dari St. Aloysius pernah tinggal dan salah satu dari kamar-kamar itu dikatakan telah di jadikan tempat oleh St. Aloysius untuk mengontrol tubuhnya sehingga darahnya terpecik di tembok-tembok. Don Bosco telah menghabiskan sepuluh tahun di Chieri ketika belajar untuk menjadi imam, selama waktu itu dia seringkali mengunjungi bangunan itu dan di tempat itu pulalah ia mengadakan ujian pertamanya untuk dapat mengucapkan janji.

Don Bosco memutuskan untuk membuka sebuah oratori untuk gadis-gadis di sana dan meminta Maria untuk memilih suster yang dapat ditugaskan. Karena Chieri dikenal sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan dan juga mempunyai tradisi yang panjang di baliknya, Maria berpikir untuk mengirimkan suster-suster yang mempunyai pendidikan yang memadahi tetapi ia sendiri belum dapat memastikan siapakah yang akan dikirim. Meskipun banyak suster yang sudah menyelesaikan atau sedang menyelesaikan unjian negaranya demi memperoleh ijazah untuk mengajar, tetapi rata-rata pendidikan mereka tidak terlalu tinggi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim saudarinya sendiri, Suster Felicina, dengan suster yang lainnya yang telah mendapatkan pendidikan yang baik, dan mereka tiba di sana pada tanggal 23 Juni 1878. Hal itu terjadi tidak lama sebelum oratori didirikan dan dapat berkembang dengan baik. Rumah itu merupakan rumah terakhir yang dibuka oleh para suster sebelum rumah induk kongregasi pindah dari Mornese ke Nizza.

Meskipun ia harus mengadakan perjalanan-perjalanan dan kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah yang lain, tetapi ia tetap memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan terhadap rumah induk yang baru itu dengan “semangat dari Mornese.” Dia melakukannya dengan cara memperkenalkannya kepada setiap orang baik itu suster, novis, postulan, siswa ataupun orang tua.

Inilah harinya ketika mereka mendapatkan hadiah itu,” kenang Suster Sofia Cairo, ketika masih menjadi seorang murid, ”dan saya akan menyanyikan sebuah pujian kepada para pemenang tanpa saya sadari bahwa saya sendiri memenangkan sesuatu. Ketika teman-teman saya maju ke depan untuk menerima hadiah-hadiah mereka, saya menghilang dan bersembunyi di salah satu sudut ruangan. Ibu mengetahui hal itu dan ketika semua hadiah telah diberikan, ia memanggil saya dan kemudian menghadiahi saya sebuah buku yang indah dengan pinggiran yang mengkilat. Dia membuat saya sangat gembira sehingga saya mengeluarkan air mata dan dia mulai menghibur saya untuk kedua kalinya !”

Sangatlah mudah untuk mengetahui bahwa ia begitu mencintai kami,” kata salah seorang gadis kecil. “Segala yang kami lakukan selalu diketahuinya. Kemudian dia akan berkata kepada kami bahwa kami dapat pergi berekreasi karena semua kelakuan kami baik di matanya. Dan ketika ia pulang dari sebuah perjalanan yang jauh dan panjang, ia akan selalu membawa kami sesuatu—permen atau gambar-gambar orang-orang kudus. Dia melakukan hal itu karena ia ingin Bunda Maria bahagia memiliki kita di dalam rumahnya.”

Andaikata Ibu tidak mengambil langkah yang tepat pada saat itu pasti saya sudah pulang ke rumah karena lapar.” Ini adalah reaksi yang Caroline Curino dapatkan dari tangan Maria. Dia baru menjadi postulan selama 3 bulan ketika Maria menemuinya.

Bagaimana kabarmu, anakku ?”

Baik-baik saja, Ibu.”

Apakah kamu bahagia di sini?”

Ya, Ibu.”

Kamu berkata demikian,” Lanjut Maria. “Tetapi saya lihat kamu sedikit menderita. Pada saat kamu di rumah kamu biasanya pergi ke kampung dan melakukan sesuatu pada saat istirahat. Kenapa kamu tidak melakukannya hal yang sama di sini?”

Takut kalau ia melakukan apa yang dianjurkan oleh Maria, ia mungkin akan dinilai tidak mempunyai panggilan, atau setidaknya tidak mempunyai panggilan seperti yang diinginkan oleh Maria, Caroline diam saja. Untuk alasan ini juga, dia menahan diri untuk mengatakan kepada Maria bahwa ia sering merasa sangat lapar. Pada saat itu semua yang dapat dikatakannya hanyalah, ”Saya tidak berpikir saya membutuhkannya, Ibu.”

Teruskanlah,” tegas Maria. “Lakukan apa yang yang saya katakan padamu dan jangan khawatir. Kamu pasti tidak akan tertekan.”

Itulah yang sebetulkan diiginkan oleh Caroline. Ia pergi seketika itu juga untuk melakukan apa yang Maria anjurkan.

Ibu mengerti dan menghargai bagaimana usaha saya untuk bisa tinggal di suatu tempat dalam waktu yang lama dengan tetap diam—ini adalah kata-kata dari Suster Felicina Ravazza. Beberapa kali ia mendapatkan saya sedang berbicara selama waktu hening.

Lihat, Felicina,” ia akhirnya berkata kepada saya, “karena kamu termasuk tukang ngobrol yang kecil, sebagai ganjaran saya mau kamu untuk delapan hari ke depan berlari mengelilingi kebun anggur dua kali sehari.”

Saya mengetahui dengan baik ia sebetulnya tidak mau menghukum saya tapi hanya memberikan saya kesempatan untuk menurunkan energi saya. Ia akan sering memanggil saya hanya untuk mengatakan kepada saya hal-hal yang tidak penting.

Apakah kamu bahagia berada disini ?” ia bertanya kepada saya. “Lihat betapa indahnya karena kita bisa tinggal di rumah Tuhan ? Jadilah gadis yang pintar dan usirlah setan kejalannya sendiri ketika ia mencobaimu dengan kebohongannya tentang kehidupan yang saleh.”

Suatu ketika ia mengunjungi tempat kursus, melihat-lihat sebentar lalu pergi. Ia tidak pernah pergi lama ketika ia mengutus saya. Kelihatannya saya telah memberikan kesan bahwa saya sedang tidak berada dalam keadaan yang menyenangkan dan ia ingin mengetahui jika ada sesuatu yang tidak beres dengan saya.

Apakah kau baik-baik saja, Felicina ?” ia bertanya pada saya.

Saya kira begitu, Ibu.”

Saya tahu ada sesuatu yang tidak beres denganmu,” lanjutnya. “Kau kelaparan! Tunggu disini.” Ia meninggalkan saya dan ketika ia kembali ia membawa dari lengan bajunya yang lebar sebuah roti sandwich yang besar dan keju.

Makanlah ini, monyet kecil,” katanya kepadaku. “Dan bersemangatlah !”. Untuk beberapa hari setelah itu ia menyuruh saya makan sesuatu pada saat waktu istirahat.

Bagaimana mungkin saya tidak mencintai ibu seperti itu? Saya bisa berkata seperti itu bukan karena kebaikannya yang telah diberikannya kepada saya saja. Ia melakukan juga hal yang sama kepada yang lainnya, khususnya kepada para postulan baru. Dia akan memberi mereka makanan yang terbaik, roti yang terbaru dan semua ini dilakukannya dengan kehalusan dan perhatian sebagaimana seorang ibu sejati.

Kamu merasa kesulitan untuk bisa tinggal lama di tempat kursusl, bukan? Ia bertanya kepada Vincenza Bossone, seorang postulan muda yang ia temui sedang tidak bersemangat.

Ya, benar, Ibu. Lama sekali!”

Baiklah. Mulai sekarang berkelilinglah kebun anggur dan setelah itu pergilan ke kebun dan mintalah kepada mereka untuk membuatkan jus buah-buahan kepadamu. Setelah kamu melakukan itu, baru kembali lagi ke tempat kursus.”

Vicenza terkejut ketika dimemberitahukannya bahwa dia akan pergi ke Turin. Dia bertanya kepada yang lainnya apa yang dapat ia lakukan untuk mereka dan mereka menginginkan agar ia menyampaikan hallo kepada Don Bosco.

Dan apa yang kamu inginkan saya lakukan untukmu ?” ia bertanya kepada Vincenza.

Dengan kata-katanya sendiri Vincenza mengatakan apa yang terjadi setelah itu :

Ibu,” saya mengatakan kepadanya, dan saya mulai menangis. ”Saya ingin pergi denganmu ke Turin.”

Kenapa kamu ingin melakukan itu ?”

Karena saya ingin bergabung ke kongregasi lainnya.”

Baiklah,” Ibu menjawab tanpa sedikitpun menunjukkan keterkejutannya. “Jika itu yang kamu mau. Ambillah barang-barangmu.”

Setelah itu, saya berlari ke ruangan pertunjukkan, hati saya begitu tersentuh dengan perubahan ini. Tetapi tiba-tiba saya mulai menjadi ragu-ragu. Apakah yang telah saya lakukan itu benar? Ketika saya pergi ke Turin apakah saya akan menyesal terhadap perbuatan saya itu? Jika Tuhan membawa saya kesini bukankah bahwa hal itu berarti Ia………..? Tapi saya menekan semua keragu-raguan ini. “Saya akan pergi, dan terjadilah!” kataku pada diriku sendiri. Kemudian saya menyiapkan barang-barang saya dan menunggu mereka memanggil saya.

Pada saat makan siang suster pendamping para novis datang kepada saya, mengantar saya ke meja dan mendudukkan saya di samping Ibu.

Saya begitu bingung saya tidak dapat menyentuh apapun. Tidak satupun dari superior menyampaikan kata-kata kepada saya dan yang dapat saya lakukan hanyalah menangis akan apa yang terjadi pada diri saya. Selesai makan, Ibu datang kepada saya.

Vincenza,” katanya, “karena kamu tadi tidak makan, saya tidak dapat membawamu bersamaku ke Turin. Jadilah gadis yang baik dan kamu akan merasakan semuanya akan keluar dengan sendirinya.

Setelah itu saya menangis dengan keras. Suster Pacotta lalu menuntun tangan saya dan mengantar saya ke gereja kemudian kami berdua berlutut dan berdoa di depan Sakramen Maha Kudus dan Bunda Maria. Setelah ia memberikan beberapa nasehat, saya bisa tenang kembali dan tidak pernah lagi mencoba untuk pergi. Tanpa kesungguhan dan kebaikan ibu, saya tidak akan pernah menikmati kebahagiaan dalam mengikuti panggilan saya.

Kita juga tidak akan pernah dapat menyebut perhatian yang diberikan oleh Ibu kepada orang tua kita—tulis Suster Nunziata Vespignani—Ayah saya suatu saat datang mengunjungi saya dan pada saat itu sedang turun salju yang begitu hebat sehingga ketika ia tiba di komunitas, seluruh badannya dipenuhi oleh salju. Segera setelah ibu melihatnya, ia menyuruh kami untuk menyalakan api di ruangan sehingga ia menjadi hangat. Lalu ia mengatakan kepadanya supaya menganti kaus kaki dan sepatunya yang basah dan kemudian ia memberikan gantinya yang baru dipinjam dari para Salesian. Ibu sendiri yang mencuci kaus kaki itu dan mengeringkannya sebelum ia memberikan kembali kepada ayah saya supaya dipakai kembali. Dia tidak mampu melakukan hal yang lebih banyak di luar kesanggupannya.

Betapa beruntungnya kalian para suster dan anak-anak,” sebagaimana yang ayah saya simpulkan, “memiliki seorang Ibu yang selalu dapat merawat kalian semua !”


Pada 22 September 1878, Maria pergi ke Mornese untuk memberi bantuan pada suatu peristiwa yang kurang mengenakkan. Ayahnya sakit dan sedang sekarat.

Ia tiba pada saat menerima pastor yang akan memberikan sakramen perminyakan orang sakit ditemani oleh putra altar dengan lilin-lilin yang menyala, bunyi gemerincing dari lonceng mengingatkan akan suasana kematian, bagi sebuah kelurga kematian adalah sebuah kehilangan seorang saudara. Dia juga menyiapkan jenazah itu untuk upacara penguburan dengan kain dan menutup wajahnya dengan sepotong kain putih. Maria mengikuti seluruh proses pemakaman, menghibur kesedihan ibunya dan menemani keluarga-keluarga yang ditinggalkan bersama dengan sedikit sisa dari Putri-Putri Maria Immaculata dan Putri-Putri Keluarga Kudus yang telah membatu seluruh upacara penguburan. Ayahnya dikuburkan di pemakaman yang berada di samping gereja dalam sebuah kuburan yang sederhana dan ditandai dengan sebuah salib besi dan tertulis namanya, tanggal lahirnya dan tanggal kematiannya. Nama Mazzarello dikenal dengan baik di kuburan yang sederhana itu sebagaimana nama keluarga Pestarino dan Macagno.

Selama hidupnya ada ikatan yang kuat antara Maria dengan ayahnya. Ayahnya lebih dari siapapun dalam membimbingnya dalam langkah awal menuju ke jalan kekudusan. Terlalu mudah baginya untuk mengingat banyak hal seperti, sikap ayahnya yang tenang, yang telah menjaganya, telah mendorongnya dalam usahanya meraih cita-citanya, dan telah menolongnya dalam menghadapi rintangan-rintangan yang ditemuinya dalam usahanya untuk hidup dalam kehidupannya sendiri yang khusus. Di sana tidak ada waktu sedikitpun ketika dia tidak dapat meminta bantuan kepada ayahnya atau mempercayakan pada dukungan moralnya.














































21—Berwajah Seperti Seorang Musuh



Nizza, atau Nizza Monferrato sebagai nama lengkapnya, adalah sebuah kota kecil yang menyenangkan yang berpenduduk di bawah sepuluh ribu orang, dihubungkan dengan sebuah jalan menuju pusat kota seperti Aqui, Alba dan Asti. Kota itu juga dihubungkan dengan jalan dan kereta api dengan kota Alessandria. Maka dari itu kota itu tidak menderita karena terpencil seperti Mornese dan terletak di sebuah wilayah yang lebih terlindung, hanya lima ratus kaki di atas permukaan air laut, sebaliknya Mornese dua kali lebih tinggi dan wilayahnya sangat terbuka. Hal itu berarti bahwa kota itu mempunyai iklim yang lebih bersahabat dan tidak mempunyai perbedaan cuaca panas dan dingin secara tajam serta terhindar dari bahaya angin yang kencang. Tanahnya juga jauh lebih subur, di samping menghasilkan anggur yang berkualitas baik juga bermacam-macam tanaman yang lain. Air yang berkelimpahan mudah didapat, dan jika dibutuhkan tinggal mengambil dari Sungai Belbo yang mengalir ke utara dan hanya berjarak beberapa ratus yard dari rumah. Terlepas dari rasa sayang pada rumah mereka yang terdahulu, tempat itu merupakan ucapan selamat datang terhadap perubahan keadaan di Mornese, terutama bagi mereka yang telah lama menderita dari cuaca yang tidak bersahabat dan keletihan perjalanan yang harus di tempuh untuk bisa mencapai Mornese. Akhirnya, tanpa ragu-ragu dapat dikatakan bahwa tempat itu jauh lebih pantas untuk dibangunnya sebuah tempat pendidikan dan untuk rumah induk sebuah kongregasi yang sedang berkembang dengan pesat.

Perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lainnya tidak berarti menyelesaikan semua masalah. Perbaikan-perbaikan bangunan-bangunan di Nizza membutuhkan banyak pengorbanan baik waktu maupun biaya. Para suster melakukan perpindahan yang pertama ke Nizza ketika dua orang dari antara mereka pergi dahulu untuk mempersiapkan tempat supaya layak ditempati. Para suster, novis, postulan dan para murid secara berkala dipindahkan dan perpindahan terakhir terjadi pada tanggal 4 Februari 1879, ketika Maria meninggalkan Mornese dan menjadi superior untuk rumah induk yang baru. Pastor Yohanes Pembabtis Lemoyne mengikutinya supaya bisa tetap menjadi imam untuk komunitas itu.

Karena mengikuti hukum kanon yang mengharapkan adanya pemisahan untuk para novis, maka sebuah rumah baru dibangun di puncak bukit yang kemudian diberi nama La Bruna, kira-kira satu mil dari rumah induk. Dengan demikian rencana untuk perkembangan masa depan kongregasi sudah lengkap.

Tempat-tempat di sana masih bisa disebut kembali sebagai tempat pelayanan yang indah yang biasanya dulu diadakan di Gereja Bunda Rahmat, dan di banyak tempat-tempat yang lainnya, berbahagia menyaksikan gereja dengan bekas-bekas kemegahannya pada masa lampau. Tidak ada gunanya berkata, tidak semua orang bergembira dengan rencana-rencana ini. Ada beberapa orang yang berusaha untuk menghalangi rencana itu dan jumlah mereka cukup banyak.

Ketika para suster yang akan membuka sebuah tempat oratori dan pusat pendidikan untuk anak-anak perempuan tiba, mereka disambut dengan hangat baik oleh penduduk di sana maupun oleh para biarawan dan tidak ada masalah bagi mereka untuk bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Ketika perundingan dimulai berhubungan dengan rencana pembukaan sebuah sekolah, hal itu ternyata tidak dapat berjalan dengan lancar. Izin harus di dapatkan dari pemerintah, dan pada saat itu pemerintahan baik di tingkat provinsi maupun daerah adalah pemerintahan yang anti klerik, dan selalu menentang terhadap setiap rencana untuk mendirikan sekolah-sekolah Katholik. Membutuhkan waktu yang lama dan membosankan disertai dengan lebih dari satu kali penundaan. Namun akhirnya izin itupun diberikan dan sekolahan secara resmi dibuka pada tanggal 28 Oktober.

Pada saat itu kongregasi juga diberkati dengan adanya panggilan dari gadis setempat yang bergabung dengan kongregasi. Gadis itu adalah Maria Terzano di mana sejarah panggilannya sangat menarik baik pada awal mulanya maupun kelanjutannya.

Ketika Maria Terzano mendatangi para suster dia memberi alasan yang sebenarnya bahwa dia ingin belajar bagaimana menjahit. Kebenaran-kebenaran yang sederhanalah yang membuatnya merasa senang berada bersama dengan para suster dan ketika ia mendengar Maria Mazzarello berbicara tentang pentingnya dan indahnya melayani Tuhan melalui agama, semakin membuatnya dekat dengan mereka dan akhirnya membuat dia tertarik untuk bergabung dengan mereka.

Orang tuanya tidak senang dengan rencananya itu dan berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya menjadi seorang suster. Dokter keluarga mereka telah memperingatkannya bahwa kesehatannya tidak akan kuat mengahapi tantangan hidup biarawati, dia masih memerlukan perkembangan dan masih terlalu muda untuk memahami pikirannya sendiri…….

Tuhan menghendaki saya untuk pergi kesana,” adalah jawabannya terhadap semua keberatan itu, “oleh karena itu maka saya akan pergi.”

Pada tanggal 7 Desember, orang tua dan kakak perempuannya, Adeline mengantarkannya ke Mornese, ketika itu Maria sedang mengajar para postulan karena mereka belum pindah ke Nizza. Mereka diterima dengan keramah-tamahan dan mereka memutuskan untuk tinggal beberapa saat untuk merayakan Pesta Maria Dikandung Tanpa Noda bersama para suster. Maria bahkan berusaha juga meyakinkan mereka untuk membiarkan Adeline untuk tinggal lebih lama lagi dan pada waktu itu ia yang akan memperhatikannya. Maria menyuruhnya duduk di meja superior dan ketika ada hidangan yang lebih maka dia akan selalu memberikannya kepada Adeline.

Selama saya tinggal di sana,“ kenang Adeline, “Saya dapat melihat bagaimana ibu selalu belajar untuk mengetahui sifat-sifat dari setiap orang dan bagaimana usahanya untuk menumbuhkan di atara mereka kecintaannya kepada kasih Yesus. Dia selalu dekat dengan mereka sehingga dia dapat langsung menunjukkan jika ada yang memerlukan perhatian khusus.

Sebagai contoh, yang masih dibutuhkan oleh adik saya adalah kesempatan untuk berbicara. Dia baru berumur tujuh belas tahun dan sangat menderita karena aturan biara yang mengharuskan untuk diam. Dia sebetulnya merasa sakit. Ketika Maria mengetahui hal ini, dia memberitahukannya bahwa dia diperbolehkan bicara sedikit pada saat hening itu. Adik saya merasa sangat gembira dan berlari keluar, “Ibu, ini adalah hadiah yang terbaik yang dapat ibu berikan kepada saya!”

Saya juga merasa sangat bahagia tingga di Mornese, sehingga hal itu membuat ayah saya tidak mempunyai harapan lagi untuk membawa saya dan adik saya pulang ke rumah. Ayah saya menyadari bahwa musim dingin di Mornese tidak akan memberikan dampak yang baik untuk kesehatan. Harapan yang terasa mustahil. Bukan juga karena doa-doanya sebagai seorang ayah atau doa saya sebagai seorang kakak perempuan, bukan juga karena jaminan dari ibu bahwa waktu yang telah ia jalani di rumah dihitung sebagai masa postulan, sehingga diterima dengan tangan terbuka—semua itu tidak mempengaruhinya. Apa yang kami bisa dapatkan darinya hanyalah pengulangan kata-katanya, “Tuhan Yang Maha baik menghendaki saya tinggal di sana dan Dia akan mengatur hal yang lainnya.”

Ketulusan hati dan kebulatan tekat dari Maria Terzano muda mengenai panggilannya dengan segera menjadikan keadaan rumah induk kongregasi menjadi lebih kokoh.

Pada bulan Mei, suatu peristiwa yang diketahui oleh seluruh Italia menjadikan para suster menjadi pusat gunjingan. Seorang gadis Yahudi, Annatte Bedarida, berumur 22 tahun, ketika ia bertemu dengan para suster, bercerita bahwa sudah beberapa tahun ingin menjadi orang Kristiani tetapi ia tidak tahu bagaimana ia bisa menjadi orang Kristen tanpa harus memberitahukan keluarganya. Karena mereka pasti akan menentang dengan keras usaha itu. Setelah memberitahukan suster-suster yang lain, Maria memutuskan untuk mengajarnya dan hal itu dilakukannya dengan rahasia. Ketika Annatte sudah cukup banyak menerima pelajaran dan sudah hampir di Pembabtis, orang tuanya menemukannya di mana ia berada. Hal itu membuat orang tuanya, sanak keluarganya dan teman-temannya sangat marah. Bahkan mereka membuat ancaman-ancaman bagi para suster. Karena gadis itu tetap pada pendiriannya untuk dibabtis, Maria membawanya ke Turin dan menyuruhnya tinggal di rumah salah seorang temannya.

Sementara itu, orang tua gadis itu telah mengumpulkan lebih banyak orang dan mulai menyerang rumah para suster bahkan hampir membakarnya. Ketika mereka berhasil dengan paksa memasuki rumah itu, mereka menemukan bahwa anak mereka sudah tidak ada di sana.

Mereka yang pada dasarnya tidak suka dengan para suster dan yang telah terpengaruh oleh hasutan kelompok anti klerik, berkumpul di bawah jendela ruang tidur anak-anak.

Hai, anak-anak miskin!” teriak mereka. “Gadis-gadis miskin! Kenapa kalian datang ke sini hanya untuk mati saja ! Pulanglah ke keluarga kalian. Pulanglah ke orang tua kalian! Mampuslah suster-suster itu!”

Akhirnya Polisi datang dan membubarkan kegaduhan itu dan juga membawa dua orang suster ke kantor polisi untuk dimintai beberapa pertanyaan!

Orang tua gadis itu kemudian mengajukan masalah itu ke pengadilan umum di Turin supaya bisa menemukan di mana kira-kira puteri mereka disembunyikan dan memaksa Maria supaya mengembalikannya. Para suster menunjukkan keberadaan anak itu meskipun demikian demikian mereka tetap yakin bahwa tidaklah beralasan mengapa mereka harus memaksa seseorang yang telah dianggap dewasa secara hukum yang telah melakukan sesuatu yang ia anggap benar. Selain itu, mereka menegaskan bahwa dia berhak mendapat perlindungan hukum sebelum hukum itu dilaksanakan sehingga dia dapat bertindak sesuai dengan hati nuraninya. Ketika pihak peguasa bertemu dengan gadis itu, dia mencoba dengan segala cara untuk mempengaruhinya dari segala keinginannya. Orang tuanya dan orang-orang yang lain menekannya sedemikian rupa sehingga ia akhirnya mengalah pada tanggal 25 Agustus, setuju untuk kembali ke rumah tanpa di babtis.

Semua surat kabar yang antiklerik di seluruh Italia memanfaatkan kesempatan itu untuk melecehkan gereja, menyerang suster-suster dan kaum religius pada umumnya.

Ketika Annatte membaca serangan-serangan itu, ia kemudian muncul di Koran L’Armonia, memberi pertanggunjawaban penuh atas semua hal yang telah terjadi. Dia tidak hanya membebaskan para suster dari tuduhan-tuduhan itu, tetapi juga memberikan pujian yang tinggi kepada mereka karena telah berusaha menolongnya.

Ketika kasus Bedarida masih panas dan nama baik para suster sedang mencapi titik yang paling rendah, sesuatu hal yang telah terjadi itu sempat membingungkan penduduk di Nizza dan menjadikan sebuah tekanan yang cukup berat terhadap para suster, khususnya oleh mereka yang tidak suka kepada para suster.

Sungai Belbo yang mengalir ke arah utara bergabung dengan Tarnaro dan akhirnya dengan Sungai Po yang lebih besar, pada saat yang normal cukup lebar, dangkal dan arusnya cepat. Meskipun demikian sungai itu tidak setenang Roverno dan laju arusnya sangat cepat dengan bunyi riak airnya yang mengalir melewati kota seakan memberikan peringatan ketika hujan lebat datang, sumber airnya akan menjadi sebuah bencana. Hal itulah yang terjadi pada pertengahan bulan Mei. Hujan turun dengan lebatnya selama berhari-hari dan air sungai Belbo makin lama semakin mengancam. Akhirnya pada malam tanggal 26, sungai itu meluap, dengan ketinggian enam kaki dari tepi sungai. Hal itu mengakibatkan daerah disekitarnya kebanjiran, memaksa penduduk untuk meninggalkan rumahnya dan mencari perlindungan di daerah yang lebih tinggi. Karena bangunan yang terdekat dan mempunyai ukuran yang lebih tinggi dari permukaan tanah adalah rumah para suster yang terletak hanya beberapa ratus yard saja, mereka segera mengumpulkan anak-anak mereka, membawa apa saja yang bisa dibawa dan kemudian segera bergegas ke rumah itu.

Maria dengan segera meminta bagi seluruh anggota komunitas untuk melayani mereka yang sedang menderita itu. Bukanlah sesuatu yang mudah untuk memberi mereka makanan yang cukup dalam waktu yang begitu mendadak, memberi baju dan perlengkapan tidur untuk beberapa ratus orang, karena barang-barang yang ada di komunitas sangat terbatas. Pertolongan tidak bisa diberikan bagi kaum laki-laki yang harus tidur di luar dengan selimut seadanya setelah menjaga para wanita dan anak-anak. Memberi makan bagi para pengungsi merupakan masalah yang sangat serius. Pemimpin para suster dalam masa yang paling baikpun tidak pernah menyimpan persediaan makanan yang banyak. Lalu bagaimana mereka akan mengaturnya. Ketika mereka tidak mempunyai sup, mereka menghidangkan Polenta, ketika tidak ada Polenta mereka berusaha untuk menghidangkan makanan yang lain. Kadang-kadang mereka harus memberikan potongan-potongan roti yang sebetulnya menjadi jatah makanan bagi para suster.

Untunglah beberapa hari kemudian air itu menyusut dan mereka bisa kembali kerumahnya masing-masing. Para suster merasa gembira karena bisa melayani mereka dan para orang tua juga merasa berterima kasih atas segala bantuan yang telah mereka berikan untuk mereka dan anak-anak mereka. Ketika semuanya telah selesai, mereka yang dulunya menentang para suster tidak bisa untuk tidak membedakan segala hal yang telah mereka dengar mengenai para suster dengan apa yang mereka alami sendiri. Sekarang mereka bisa membuat penilaian sendiri mengenai pribadi para suster.

Sebagai akibat dari peristiwa itu adalah ketika diadakan upacara peringatan yang pertama pemberian wewenang bagi kongregasi yang di selenggarakan di Nizza di hadiri oleh lebih banyak orang-orang yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan datang.

Bagi mereka yang tidak menyukai keberhasilan yang telah diraih oleh para suster, kini mengalihkan cara mereka dalam menentang para suster dengan usaha-usaha yang lain. Mengikuti nasehat kepada daerah mereka, yang terkenal sangat antiklerik, mereka menuduh bahwa para suster telah memaksa gadis-gadis itu bahwa beberapa di antaranya berusia sangat muda, satu atau dua orang di antaranya berasal dari Nizza, untuk masuk biara. Ketika mereka memanggil petugas untuk melindungi gadis-gadis itu, Germano Magliano, Wakil Penyelidik dari Acqui, Jaksa umum, Kepala Daerah dan dua orang “saksi”, yang merupakan pemimpin anggota kelompok antiklerik, datang untuk mengadakan penyelidikan. Mereka datang pada tanggal 1 Juni, jam sebelas tigapuluh, pada saat para postulan mau menerima tudung mereka.

Untunglah, kedatangan mereka bersamaan dengan kenyataan bahwa Pastor Cagliero baru saja kembali dari Amerika Selatan dan datang ke sana untuk menerima para Postulan itu. Setelah diberitahu oleh seorang utusan, ia sendiri yang menyambut mereka. Mereka berharap dapat mengadakan sebuah perjanjian dengan para suster yang pasti akan ketakutan.

Tuan-tuan,” Pastor Cagliero memulai percakapannya, “Apakah ada yang bisa saya bantu?”

Kami datang untuk mencari tahu,” kata Magliani yang merupakan orang yang terpenting dalam kelompok itu, “bahwa gadis-gadis anda hari ini akan menerima tudung mereka.”

Memang benar.”

Mereka adalah gadis-gadis yang atas kemauan mereka sendiri untuk melakukan hal ini ataukah karena dipaksa untuk melakukan tindakan itu ?”

Di sini tidak ada yang dipaksa untuk melakukan hal itu, dan gadis-gadis itu datang ke sini atas izin dari orang tua mereka masing-masing.

Kami juga ingin mengetahui bahwa….”

Tunggu sebentar tuan !” potong Pastor Cagliero. “Sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lainnya saya ingin bertanya kepada anda sekalian. Siapakah anda ? Dan ada urusan apa anda datang ke sini? Jika anda datang sebagai seorang teman, tentu kami akan menyambut dengan senang hati, tetapi kalau anda datang ke sini sebagai seorang petugas pemerintahan atau sejenisnya, saya ingin memastikan bahwa anda dapat menunjukkan surat kuasa dan apakah wewenang anda sehingga dapat memasuki rumah pribadi seseorang.” Pastor Cagliero berusaha menguatkan kata-katanya sehingga semua orang yang ada di sana bisa mendengarkannya. “Di lain pihak, jika anda tidak mempunyai wewenang, atau jika anda telah melakukan tindakan yang telah melebihi batasan hukum, maka saya akan memperingatkan anda, tuan-tuan, saya akan menyiapkan protes tertulis, yang ditandatangani oleh para saksi dan akan dituntut dari anda ganti rugi di bawah perlindungan hukum !”

Biarlah saya menggunakan cara saya!……” bentak bapak wali kota.

Bapak walikota!” kata Magliani. “Anda tidak bisa menggunakan cara anda! Saya yang akan menyelesaikan. Ini adalah masalah yang serius. Kendalikan diri anda.” Kemudian ia berbalik kepada Pastor Cagliero. “Tidak, kami tidak akan bertindak sebagai seorang petugas. Kami datang hanya untuk menyakinkan bahwa segala sesuatunya dilakukan dengan pantas dan seperti kata anda sesuai dengan hukum.” Laku dia mengengam tangannya. “Nama saya Magliani, Germano Magliani.”

Dan saya Pastor Johanes Cagliero.” Mereka akhirnya berjabat tangan. Mengetahui keadaan yang terjadi, Pastor Cagliero bertindak lebih ramah. “Saya yakin bahwa saya tahu apa yang orang-orang itu inginkan pada akhirnya,” kemudian dia melanjutkan, “tetapi mereka tidak ingin mencarinya di sini. Mereka hanya tertarik supaya saya membawa di hadapan mereka postulan kami yang paling muda. Namanya Maria Tarzo.” Dia mengetahui bahwa di antara para postulan itu dia adalah yang paling bersemangat dalam menjalani hidup panggilannya untu menjadi seorang suster. Ketika ia datang, anda dapat menanyainya sehingga anda puas.”

Terkejut dengan jumlah orang yang ada di situ, Maria muncul, dengan pandangan kaku kepada mereka ia meraih tangan Pastor Cagliero.

Mengetahui bahwa Maria adalah yang pertama menenentang nasehat-nasehat dari orangnya itu, Magliani pertama-tama ingin menanyainya.

Maaf,“ Pastor Cagliero berkeberatan, “sejak dia masih muda dan sekarang saya menjadi pembimbing resminya, saya harus hadir pada saat ia ditanyai.”

Baiklah,” Magliani setuju. Sekarang ia memberi perhatian kepada Maria. “Maria,” dia memulainya, “Apakah kamu mau menjadi seorang suster?”

Tentu saja!”

Apakah kamu benar-benar ingin hidup di dalam biara?”

Saya menyukinya!” Mata Maria dengan bersemangat. “Apakah anda pikir saya mau tinggal di sini jikalau saya tidak suka?”

Saya memberitahu kamu, Maria, kamu bebas jikalau mau meninggalkan tempat ini.”

Meninggalkan tempat ini? Maria kemudian menoleh kepada Pastor Cagliero sambil mengerutkan hidungnya.

Menikmati adegan yang menarik ini, Pastor Cagliero hanya dapat mengangkat bahunya.

Menjadi tugas saya untuk memastikan kamu bahwa kamu dapat pergi bersama saya pada saat ini jika kamu mau.” Pada saat dia berbicara ini, Magliani semakin tidak yakin dengan ajakannya dan wajahnya mulai memerah.

Tetapi……saya…..tidak ……ingin……pergi!” Maria mulai kehilangan kesabaran sehingga bisa membuat mereka mengerti. “Saya ingin tetap di sini. Apakah kalian tidak bisa melihatnya?”

Apakah ayahmu memberikan izin?”

Tentu saja!”

Menyadari bahwa Magliani merasa sangat gelisah, Pastor Cagliero mencoba menghidarkannya dari perasaan malu yang lebih besar dengan menyarankannya berkeliling melihat-lihat di sekitar rumah. Magliani segera menerima tawaran itu dan sebelum kunjungan selesai dia berusaha menyakinkannya bahwa ia telah terpengaruh oleh hasutan kelompok antiklerik.

Seperti yang anda lihat sendiri,” kata Pastor Cagliero pada akhir kunjungan itu, “Tidak ada tekanan dan jebakan bagi setiap orang yang tinggal di sini. Dan saya yakin pada saat anda pergi, anda akan merasa lebih bahagia daripada saat anda datang.”

Ya, benar,“ jawab Magliani. “Tetapi mulai besok andalah yang akan bertanggung jawab di dalam rumah ini dan untuk mencegah seseorang yang akan mengganggu anda, kami akan mengirimkan beberapa petugas untuk melindungi tempat ini.”

Terima kasih atas perhatian anda. Tetapi kami mau menegaskan bahwa kamilah yang akan menjaga rumah kami sendiri.”

Magliani mengakhiri kunjungannya itu dengan meminta maaf kepada Pastor Cagliero karena kedatangannya yang telah merepotkan. Dia telah menunjukkan perubahan sikapnya dan Pastor Cagliero serta para suster hanya hanya bisa tersenyum ketika ia memberi penjelasan kepada para anggota partainya dalam bahasa yang mereka mudah mengerti kesan-kesannya terhadap para suster.

Percobaan terakhir yang harus Maria hadapi sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang superior terjadi di Nizza ketika para suster dan beberapa wanita mengadakan retret pada bulan Agustus di mana Don Bosco sendiri hadir.

Supaya bisa memperbolehkan para wanita itu tidur di kamar, para suster diminta untuk tidur di loteng dengan kasur yang diisi jerami. Seorang suster bahkan membuat lubang di kasur itu dan memasukkan lengannya pada saat ia tidur. Maria menegaskan pula bahwa ada dua orang suster yang harus tidur bersama-sama dalam satu ruangan yang sempit.

Selama retret, Maria mulai menderita serangan penyakit ketulian. Sesutu hal yang sangat merintanginya ketika dia berusaha membantu seseorang yang datang kepadanya untuk meminta pendampingan dan hiburan. Ketika ia mengeluhkannya kepada Tuhan, dia tiba-tiba mengalami suatu kelegaan dari perasaan akan ketulian itu dan merasa meyesal telah mengeluh terhadap masalah kecil itu. Sekali waktu ia pergi ke Pastor Lemoyne dan ia berhasil menyakinkannya bahwa hal itu bukanlah suatu kesalahan.

Maria kemudian menegaskan kepada Don Bosco bahwa hal itu telah menyebabkannya tidak bisa menjadi seorang superior yang baik. “Bukankah anda sendiri tahu, Don Bosco.” Dia menegaskan, “Selain segala kelemahan-kelemahan saya yang merintangi sebagai seorang superior, hal itu merupakan kenyataan bahwa saya telah benar-benar tuli.”

Begitukah?” kata Don Bosco dengan tenang. “Bolehkah saya memberitahukanmu sesuatu. Itulah salah satu alasan yang sederhana mengapa kamu tidak perlu mendengarkan pembicaraan yang tidak berguna.”

Itulah saat terakhir Maria berusaha untuk membebaskan diri dari posisinya sebagai superior jenderal. Dia akhirnya menyadari bahwa akan sia-sia sajalah untuk mencobanya lagi.

Don Bosco akhirnya berbisik kepada suster-suster yang lain. “Dengan semangat ketaatan kalian,” dia berkata kepada mereka, “kalian akan dapat meringankan dia dari beban-beban yang ada di kantornya.

























22—Ziarah Dalam Penderitaan


Maria memulai tahun 1881 dengan sebuah kegiatan yang luar biasa. Dia memulainya dengan mengunjungi rumah-rumah yang lain dan meneruskan kesibukannya dalam surat-menyurat terutama dengan para suster yang berada di tanah misi. Dari dua belas surat yang ia tulis selama masa itu, delapan di antaranya memberikan perhatian bagi para suster yang berada jauh dari kampung halaman, sebuah perhatian yang menunjukkan bahwa mereka akan selalu dekat dengannya.

Salah satu kunjungannya adalah ke Turin, di mana meskipun pada saat itu dia tidak sedang dalam keadaan yang sehat, dia bersikeras untuk tetap hadir, pada tanggal 20 Januari, Don Bosco telah mempersiapkan keberangkatan para misionaris di Basilika Maria Bunda Penolong di Turin. Hal ini merupakan keberangkatan yang ketiga bagi para suster dan yang keenam bagi para Salesian. Dia ditemani oleh Suster Emilia Mosca, Suster Elisa Roncallo dan para suster yang akan dikirim ke Amerika Selatan. Ketika acara itu telah selesai, dia melanjutkan kunjungan ke komunitas para suster di Chieri dan kemudian kembali lagi ke Turin pada tanggal 24 Januari.

Pada sore itu ia tidur di Dormintori bersama Suster Pacotta dan Laurentoni, ketika tiba-tiba ia terbangun, berpaling kepada Suster Pacotto dan mengoyangkan badannya.

Suster Arecco telah meninggal!” dia berbisik. “Saya melihatnya. Kami telah saling berbicara.”

Mengira bahwa Maria sedang bermimpi, Suster Pacotto hanya mengangguk dan kemudian tidur kembali. Tetapi pada pagi berikutnya sebuah telegram datang dan memberitahukan bahwa Suster Arecco telah meninggal pada saat yang sama ketika Maria membangunkannya.

Louise Arecco berasal dari Mornese adalah seorang gadis yang begitu baik, pintar dan bersuara merdu. Ketika ia berusia empat belas tahun, dan pada saat ibunya tidak lagi terlalu memperhatikannya, Maria menjadi kuatir jangan sampai ia jatuh ke tangan para pedagang keliling. Pada masa itu kehidupan para pedagang keliling kurang begitu baik dan tidak layak untuk ditiru. Setelah berkonsultasi dengan Pastor Pestarino dan Uskup dari Acqui, yang kemudian menasehati Maria supaya melindungi gadis itu dan dia yang akan membayar seluruh kebutuhan yang berhubungan dengan pendidikannya. Maria menerima usulan itu. Karena kepintarannya, Louise selalu berhasil dalam semua pekerjaannya dan perkataannya dan di atas semua itu ia adalah seseorang yang mau mendengar orang lain.

Sedikit demi sedikit Maria menunjukkan kepadanya bagaimana cara mengatasi kesalahan-kesalahannya dan bagaimana belajar mencintai hal-hal itu sebagai anugerah Tuhan. Dalam hal inipun Louise berhasil melaluinya dengan baik dan ketika ia meminta izin untuk bisa bergabung dengan Kongregasi maka iapun segera diterima. Selama masa pembinaannya Maria dengan hati-hati selalu berusaha untuk memperbaikinya setiap saat dia mulai terlalu bangga pada kemampuannya itu.

Sebagai contohnya, suatu saat ketika seluruh anggota komunitas bertugas untuk menyanyi di gereja ketika tiba-tiba ada sebuah suara yang bergaung dan melengking di atas yang lainnya. Suara itu begitu merdu, begitu mengalir dan begitu dipenuhi oleh cinta akan Tuhan, dan membuat air mata menetes bagi yang mendengarnya. Setelah itu para suster mengelilinginya dan memuji suaranya yang begitu indah.

Tetapi tidak bagi Maria. “Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan?” dia bertanya kepada Louise. “Teganya engkau menganggu dengan nyanyian seperti itu? Kamu dan suaramu! Jangan lupa bahwa jika yang lain telah kamu latih, mereka akan bisa bernyanyi sebaik kamu atau bahkan lebih baik dari kamu. Kembalilah ke gereja dan meminta ampun kepada Tuhan karena dosa kesombonganmu itu.

Pada kesempatan yang lain ketika suara koor mulai tidak pasti dan hampir berhenti, meskipun ia merasa kurang enak, Louise bangkit dan segera memimpinnya, menyanyikan bagian-bagian yang penting pada contralto atau pada soprano. Sekali lagi, para suster yang lain memberi selamat kepadanya karena telah menyelamatkan mereka pada hari ini.

Ketika Maria muncul dia segera menghentikannya dengan cepat dan memarahi Louise dan menyuruhnya untuk beristirahat. Kali ini yang lain memprotesnya.

Jangan berpikir bahwa hal itu tidak menyakitkan saya memperlakukan Louise seperti itu,” kata Maria. “Tetapi dengan sikap tertentu seseorang harus bertindak sedikit lebih kasar. Selain itu kebanggaan kalian hanya akan menghancurkan kalian sendiri.” Dari peristiwa ini, suster-suster yang lainnya mengerti bahwa dia melakukan hal itu berlandaskan cinta.

Pasto Cagliero mengunakan cara yang sama untuk Louise, dia memberitahukannya bahwa Louise tidak bisa bernyanyi dengan baik, di sana sini dia telah menyanyikan not yang salah. Tetapi dia memberitahukannya dengan lebih halus daripada Maria, terbukti, ketika Louise merasa tidak enak, dia berterima kasih kepadanya atas segala kebaikan yang telah diberikan kepadanya.

Kebaikan apa yang kau maksud ?”

Ayolah, pastor,” kata Louise. “Jangan berfikir bahwa saya tidak melihat semuanya melalui koreksi-koreksi itu. Saya tahu setiap saat kau melakukannya untuk kebaikan saya sendiri. Oh, saya mengakui bahwa hal itu memang menyakitkan pada awalnya tetapi kemudian saya merasa lebih baik. Pada saat itu saya tidak memiliki keberanian untuk berterima kasih padamu. Sekarang saya telah melakukannya.”

Ketika ia mulai sekarat Maria menganjurkannya bahwa ia harus berjanji kepada Tuhan jika ia merasa lebih baik ia akan menjadi sukarelawan untuk daerah misi, tapi jika tidak ia akan membuat pengorbanan dengan kehidupannya. Sebelum Maria berangkat ke Turin ia mampir untuk menyampaikan salam.

Pergi ke Amerika ?” tanyanya.

Tidak ada yang tertinggal untuk saya sekarang, Ibu,” jawab Louise, “Tetapi saya akan tetap mempersiapkan pilihan yang kedua dari janji saya.”

Maka kamu akan memperoleh kebaikan itu tanpa harus membuat pengorbanan diri.”

Ya, Ibu. Apakah anda akan segera kembali?”

Saya akan berusaha sekuat tenaga supaya bisa kembali sebelum.........”

Ibu apakah anda mau memaafkan saya atas segala yang telah saya lakukan?”

Hush, anak.” Maria berusaha untuk mengontrol dirinya sendiri. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tenangkanlah dirimu dan selalulah berpikir bahwa kamu telah bertekun sampai akhir hidupmu.”

Terima kasih atas segala koreksi yang enkau berikan kepada saya, Ibu. Engkau selalu menjaga saya supaya tidak terjatuh ke dalam jurang yang lebih dalam. Pada saat kematian kita dapat melihat segalanya dengan lebih jelas.”

Merasa bahwa kematiannya semakin dekat, Suster Arecco lebih dari sekali menunjukkan keinginannya untuk bertemu dengan Maria sebelum ia meninggal. Ketika ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin, ia menjadi sangat tidak tenang.

Andaikata saya bisa melihat Ibu sebelum saya mati!” katanya berulangkali.

Di tengah-tengah kegelisahannya, yang membuat semua orang terkejut, dia tiba-tiba menjadi tenang dan mengarahkan pandangannya luruh ke depan.

Anda sudah ada di sini?” Dia menangis. “Begitu cepatnya. Oh, Ibu, saya begitu bahagia bisa bertemu denganmu!”

Ketika semua orang mengerumuninya, mereka tidak mengerti apa yang sedang di ucapkannya, bertanya kepadanya jika ia membutuhkan sesuatu, dia menjawab kepada mereka, tidak. Ketika mereka mulai menyanyikan sebuah lagu, ia ikut bernyanyi dengannya meskipun dengan suara yang lemah, kemudian meninggal dunia.

Sementara itu, Maria ditemani oleh Pastor Cagliero dan beberapa suster yang lain, segera pergi ke Nizza. Pada pagi setelah kedatangannya Maria merasa badannya kurang sehat dan meminta izin dari Suster Amelia untuk bisa beristirahat sebentar. Ketika ia sedang berbaring, ia berpikir bahwa ia mendengar seseorang yang sedang merintih. Dia yakin bahwa itu adalah rintihan Suster Emilia karena pada saat itu ia sedang sakit. Merasa yakin bahwa itu adalah rintihan dari suster Emilia, ia kemudian menarik korden di kamarnya. Bukannya Suster Emilia yang ia lihat, tetapi justru ia melihat sosok dari Suster Arecco. “Tidak dalam bentuk jasmaniahnya, “bagaimana ia bisa melukiskannya. “Tetapi benar-benar dia, nyata dan meyakinkan.”

Katakan kepada saya, suster,” katanya. “Jangan menakut-nakuti saya! Apakah kamu diselamatkan?”

Dengan rahmat Tuhan, ya.”

Apakah kamu harus tinggal lama di api penyucian?”

Terima kasih atas doa-doa dari komunitas dan atas kehendak-kehendak saya yang benar, hanya sampai paskah.”

Katakanlah kepada saya dengan terus terang, pekerjaan-pekerjaan saya yang kurang berkenan di hadapan Tuhan.”

Suster Arecco tidak memberitahukannya.

Maria tetap memaksanya. “Katakan kepada saya perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan kepada Tuhan.”

Suster Arecco kemudian memberitahukannya.

Apakah ada sesuatu dalam kehidupan komunitas yang harus di perbaiki?”

Suster Arecco menyatakan kepadanya apa yang ia pikir salah dengan komunitas. Lalu ia menunjukan kepada kelompok Suster yang sedang berada di taman bermain. “Lihat di sana,” katanya. “Sesaat memang tidak terlihat membahayakan. Tapi nanti…..”

Maria begitu terkejut dengan apa yang ia dengar dan lihat lalu ia langsung bangkit dan pergi ke gereja untuk meminta doa-doa dari komunitas untuk jiwa Suster Arecco.

Meskipun kondisi badannya semakin menurun, tetapi ia tetap mau mengunjungi komunitas di Sampierdarena dan dengan maksud bisa menemaninya sampai Marseilles, sebuah pelabuhan keberangkatan bagi para suster yang akan pergi ke Amerika Selatan pada tanggal 8 Februari 1881. Dari sana dia akan pergi ke Santo Cyr di Perancis dan ketika kembali akan mampir di komunitas di wilayah Liguorian.

Selama perjalanannya ke Sampierdarena keadaannya semakin buruk, ia kehilangan pendengarannya dan untuk beberapa saat kelihatan tidak mampu menguasai keadaannya. Wajah bagian kirinya membengkak.

Apakah kau sakit, Ibu ?” tanya Suster Pacotto.

Ya,” jawabnya, “tapi tidak seberat dengan yang dialami oleh jiwa-jiwa di dalam api pencucian.”

Apa yang menyakitkanmu ?”

Saya merasa seperti ada seseorang yang menaruh sebuah pisau di telinga saya.”

Bagaimana kamu mendapatkannya ?”

Saya pikir saya mendapatkannya ketika saya masih kecil,” kata Maria. “Saya terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Kalau saya tidak salah pada jam 04.00 pagi. Tetapi tidak jarang juga saya sudah berada di pintu gereja pada jam 02.00 pagi. Karena tidak mau menganggu Pastor Pestarino dan para suster yang lain, saya biasanya akan berlutut di tangga gereja yang kadang-kadang tertutup salju beberapa kaki. Semua kelembaban itu pasti mempunyai pengaruh.”

Meskipun dia kecapaian, hal itu tidak menghalanginya untuk tetap mampu memberi nasehat-nasehat dan dorongan-dorongan kepada para suster yang akan pergi sebagai misionaris. “Saya telah terlalu banyak bicara,’’ keluhnya, “Tanaga saya habis!”

Ketika suster-suster yang lain menyarankannya untuk lebih bersantai, dia akan selalu setuju dengannya, kemudian bertindak seakan-akan tidak ada yang hal yang menyakitkannya. Hal itu dilakukannya ketika ia merasa bahwa ia tidak akan melihat mereka lagi dan ingin mengatakan kepada mereka bahwa ia akan selalu menyertai mereka.

Di Sampierdarena ia terkena demam yang parah dan ketika para suster yang lain sedang menikmati waktu sore mereka dengan Don Bosco dan para misionaris yang lainnya, dia justru terbaring di tempat tidur. Ketika Don Bosco mengunjunginya dia meminta berkat darinya. Sementara itu Don Bosco menasehati para suster dengan hangat bahwa mereka harus mampu mengatur kehidupan mereka sendiri setelah mereka tiba di Amerika Selatan.

Menjelang hari keberangkatan ke Marseille, para suster berusaha mencegahnya agar ia jangan pergi dengan mereka.

Saya harus pergi,” katanya pada mereka. “Lagipula, suster-suster di St. Cyr akan berpikir saya mencari-cari alasan untuk tidak mengunjungi mereka. Saya merasa lebih baik jika saya pergi.”

Mereka memanggil dokter yang meskipun tidak mampu menemukan hal-hal yang bisa menjadi masalah, tetap memeriksanya dan akhirnya memutuskan bahwa ia bisa pergi. Dia berangkat ke Marseille dengan kelompok itu pada tanggal 3 Februari.

Meskipun demikian ia berusaha membuat segalanya tetap kelihatan gembira dan berusaha membesarkan hati yang lain bahwa ia tetap dalam keadaan yang sehat. Ia melewatkan beberapa malam yang sangat buruk di atas kapal.

Pada perjalanan ke Marseilles—kata Suster Pacotto—meskipun laut sangat tenang, sayang ibu tetap mabuk laut. Terlepas dari segala kesopanan, Maria merasa tidak yakin bahwa ia dapat menggunakan kursi di geladak sampai Pastor Cagliero menenangkannya. Sebagai peneguh dalam perjalananan itu, ia berusaha untuk memelihara semangat misionaris.

Setelah meninggal maukah kau datang mengunjungiku ?” tanyaku setengah bercanda.

Jika Tuhan mengizinkan, ya,” ulangnya. “Lalu saya sanggup melindungimu dan menolongmu lebih dari kesanggupan saya sekarang. Tapi ingat bahwa Suster Catherina Daghero akan selalu menjadi seorang ibu bagimu dan akan selalu dapat membantumu sebaik yang dapat saya lakukan. Kau harus berjanji untuk mengirim surat kepadaku. Meskipun sesungguhnya tulisan tanganmu itu jelek tetapi yang lain tetap dapat membacanya !”

Ketika kapal Umberto 1 mencapai Marseilles tanggal 5 Februari, kapal itu harus pergi ke dok untuk beberapa perbaikan-perbaikan. Hal ini berarti menunda untuk beberapa hari. Karena kejadian yang tak terduga ini para Salesian harus mencari tempat penginapan di Oratori St. Leon dan sebuah tempat yang luas yang bisa digunakan oleh para suster disediakan di sebuah rumah dari salah seorang sahabat. Karena tidak ada alas tidur yang memadahi, Maria mengunakan beberapa karung yang diisinya dengan jerami, dan yang pertama merebahkan diri di atasnya. Hal itu juga merupakan pengalaman bagi para suster untuk bisa merasakan kehidupan di daerah misi meskipun mereka belum mencapai tempatnya. Pada pagi berikutnya ketika suster-suster yang lain membangunkan Maria, ia tidak bisa bangun dan karena suhu badannya yang tinggi memaksa dia untuk tetap tinggal di tempat tidur sepanjang hari itu.

Teluk yang sangat besar terlindung oleh perbukitan yang melingkar membuat Marseille menjadi sebuah pelabuhan alami untuk pelayaran ke Laut Tengah dan hal itu sudah tercatat dalam lembaran sejarah. Orang-orang Phocians telah lama mengunakannya sebelum orang-orang Yunani dan Romawi dan dengan cepat mereka menyadari bahwa tempat itu begitu penting untuk menunjang rencan-rencana mereka untuk menaklukkan dunia. Kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan tidak hanya antara Eropa dan Asia tetapi juga dengan dunia baru. Pengiriman misionaris para suster yang pertama dan kedua di laksanakan di Genoa, tetapi karena adanya tempat yang tersedia untuk para misionaris maka mereka berangkat melalui Merseille. Pada waktu bebas, para suster berkesempatan mengunjungi Gereja Kuno milik Kongregasi Angustinian Santo Ferreol yang dibangun pada awal tahun 1542 dan dibangun di tempat peninggalan Gereja dari Satria-satria Perang Salib. Meskipun andaikata mereka tidak perlu mendaki bukit untuk mengunjungi Gereja Notre Dame de Garde, mereka masih bisa melihatnya pada saat mereka sedang berlayar karena gereja itu berada di tempat yang tinggi dan sangat mencolok di sepanjang bagian daerah itu.

Don Bosco tiba di sana pada sore hari berikutnya, meskipun dihantam dengan kedasyatan mistral atau angin utara, kapal itu tetap berlayar. Di sini mereka bertemu dengan kapten dan pemilik kapal yang menginginkan supaya bisa menjadi anggota dari kelompok kerabat kerja Don Bosco. Pada saat keberangkatan kapal yang bertama berlayar adalah Sud America yang membawa sebelas Salesian dan enam orang suster yang bertolak menuju Buenos Aires, dan dua jam kemudian kapal yang kedua Umberto 1, yang membawa empat orang suster dan dua orang Salesian yang akan bertolak ke Uruguay.

Dengan air mata berlinang Maria melepaskan keberangkatan putri-putrinya dan secara diam-diam ia meneteskan air mata untuk Suster Katharina Lucca.

Suster Katharina Lucca adalah salah satu dari tiga novis yang dikunjunginya di Alassio pada bulan Maret, 1877. Pastor Francis Cerruti, direktur rumah, telah membujuknya untuk tinggal dan menyaksikan pengambilan sumpah dari para novis ini. Walaupun mereka belum sepenuhnya menyelesaikan masa novisiat mereka, ia telah menerima izin dari Don Bosco untuk menerima janji tiga tahunan mereka. Maria tidak dapat menyembunyikan kegembirannya itu. Daripada mencegah pengikraran kaul itu, dia lebih suka menunda mereka, khususnya yang berkaitan dengan Suster Katharina karena ia masih meragukan panggilannya.

Dua tahun kemudian, ketika tiba waktunya untuk memilih para misionaris, Maria jatuh sakit dan menyerahkan kepada yang lain tanggung jawab untuk memilih mereka. Suster Katharina, pada waktu itu, telah berhasil membujuk baik Pastor Costamagna maupun Pastor Cagliero bahwa ia adalah seorang yang layak dan keduanya setuju bahwa ia harus pergi. Karena Maria masih ragu-ragu untuk bertanya tentang keputusan itu maka ia tetap kuatir.

Saya tidak merasa yakin tentang Suster Katharina,” ia mengaku. “Ia kelihatannya tidak pernah serius maupun tulus hati. Ia mencoba untuk membohongi saya dan superior-superior yang lain dan saya yakin tidak akan pernah bertindak yang baik di tanah misi. Suster-suster yang pergi ke Amerika harus bisa memberikan hal-hal yang baik selama perjalanan maupun setelah mereka tinggal. Tetapi kelihatannya dia tak akan mampu melakukannya.”

Sekali lagi ketajaman perasaan Maria terbukti. Meskipun di dalam perjalanan Suster Katharina selalu bertindak keras kepala tetapi ia tetap mampu sampai di Amerika Selatan akan tetapi ia tidak tinggal lama di sana. Belum genap satu tahun ia tinggal di sana, ia sudah menelantarkan tanggung jawabnya di tanah misi, kembali ke Italia dan meninggalkan kongregasi dan kemudian hidup di jalan yang tidak benar.

Meskipun keadaan Maria semakin buruk, ia tetap berkemauan keras untuk bisa sampai ke Santo Cyr, dan ditemani oleh Suster Elisa Roncallo, memulai perjalanan yang panjang, meletihkan melewati tanah yang gersang, bukit-bukit kelabu di mana terdapat banyak tempat-tempat penjagaan di sepanjang pantai.

Itulah tempat-tempat yang dilaluinya sebelum akhirnya ia melalui daerah-daerah yang dipenuhi pohon-pohon sayuran karena iklim yang hangat dan hujan yang teratur. Ia hanya mempu melihat sedikit pemandangan yang indah itu, meskipun demikian hal itu bisa sedikit menutupi penderitaan yang ia alami, pikirannya sedang dalam masalah, dan hal itu bisa ia rasakan setelah ia mencapai Santo Cyr. Santo Cyr adalah sebuah kota kecil yang memiliki dua ribu penduduk yang tempat tinggalnya terpencar-pencar, dan akan berjumlah dua kali lipat selama musim panas. Rumah di Santo Cyr dan Navarre terletak di luar kota, yang pertama terletak satu mil atau lebih dari Santo Cyr dan yang ke dua terletak empat puluh mil dari Santo Cyr.

Pertama kali ia mengunjungi tempat itu pada 1878, ditemani oleh Suster Emilia dan Pastor Joseph Ronchail, ketika mereka baru saja diberi rumah itu untuk menampung anak-anak. Don Bosco mengirimnya untuk melihat-lihat kira-kira apa yang bisa dilakukan dengan rumah itu agar bisa dijadikan pusat pendidikan untuk anak muda.

Kedua-duanya dahulu dibangun oleh Pastor Jacque Vincent yang ingin melakukan sesuatu untuk anak-anak yang miskin dan terlantar karena orang tua mereka telah menjadi korban penyakit Kholera. Untuk bisa membatu berkembang rumah itu, ia kemudian mendirikan kelompok para Suster Ordo ketiga Santo Fransiskus dan juga mendapatkan bantuan dari pastor-pastor yang lain. Selama dua puluh tahun, ia berhasil mengelola rumah itu sampai usia tua dan sakit-sakitan memaksa dia untuk beristirahat di Santo Cyr. Semenjak ia tidak mampu lagi mencari bantuan dari ordo-ordo religius lain, Uskup dari Frejus meminta Don Bosco untuk mengambil alih kedua rumah itu. Pertama-tama Don Bosco menolak tawaran itu dengan alasan kekurangan anggota tetapi kemudian ia menerimanya.

Ketika Maria sampai di tempat itu untuk pertama kalinya, ia sangat terkejut. Agar bisa menjaga keutuhan anggota keluarga mereka masing-masing, anak laki-laki dan perempuan di izinkan untuk tinggal di rumah yang sama dengan keadaan rumah yang sangat mengerikan. Bangunannya dalam keadaan yang rusak berat, dengan atap yang hampir roboh dan jendela yang rusak, sementara itu kondisi kesehatan sangat memprihatinkan. Anak-anak kekurangan makanan dan badan mereka penuh dengan kutu. Keadaan seperti itu dengan mudah dapat mendatangkan penyakit tipes yang telah memakan banyak korban sementara pihak penguasa hanya mampu untuk memberi obat yang tersisa. Sementara itu tanah di sekelilingnya begitu luas tetapi tidak dimanfaatkan sedikitpun.

Don Bosco mengirim Pastor Ronchail untuk bisa melihat dan akhirnya memperbaiki bangunan-bangunan itu dan Maria mengirimkan dua orang suster pada 2 Oktober 1878, untuk mempersiapkan pengambilalihan tempat itu. Dia kembali lagi pada bulan Maret tahun berikutnya dan kemudian dia meminta kepada Don Bosco supaya anak laki-laki dan perempuan hendaknya dipisahkan, anak laki-laki tinggal di Navarre sementara itu anak-anak wanita tinggal di Santo Cyr. Tetapi hal yang membuat Maria sekarang menjadi kuatir adalah menyangkut kesulitan-kesulitan khusus yang akan segera ia hadapi bersama dengan para susternya khususnya yang ada di Santo Cyr. Karena Pastor Vincent dan lima orang susternya tetap ingin tinggal di sana, hal itu membuat mereka seakan tidak mungkin untuk mengabil alih kendali atas rumah itu. Untuk tugas yang sangat sulit ini Maria memilih Suster Katharina Daghero untuk menyelesaikannya. Alasan lain ketertarikannya atas rumah baru itu adalah adanya ramalan dari Don Bosco bahwa rumah itu akan menjadi sumber bermunculnya banyak panggilan.

Ia hampir tiba di Santo Cyr dan bergembira atas sambutan yang hangat dari komunitas ketika dokter dipanggil untuk menolongnya. Dia sakit karena panas yang tinggi dan radang paru-paru yang hebat. Dokter memeriksa keadaannya yang semakin serius dan memintanya untuk beristirahat di tempat tidur. Hal itulah yang akan menjadi sakit dan penderitaannya yang panjang.

Dalam penderitaannya yang panjang itu, pada 17 Maret dia masih sanggup untuk meninggalkan tempat tidurnya dan bergabung dengan para suster dalam sebuah piknik di dekat hutan kayu dan pada tanggal 19 Maret, pesta Santo Yosef, ia memutuskan untuk merayakan pesta itu di rumah Navarre yang dipersembahkan untuk menghormati santo tersebut.

Tanah yang dimiliki oleh komunitas Navarre memiliki luas tujuh ratus are dan hanya seratus are saja yang baru bisa dimanfaatkan. Tanah itu di sumbangkan kepada Pastor Vincent oleh anggota keluarga yang terakhir dari marga Vincent tersebut. Pengelolaan yang kurang baik dan penelantaran menjadikan rumah itu mengalami kemunduran dan bahkan ketika Don Bosco tida di sana pada 1877, rumah itu sendang menyimpan hutang yang besar, dengan dua bangunan yang bobrok dan dihuni oleh sebelas anak yatim piatu. Peternakannya tidak terawat karena tidak ada orang yang dipersiapkan untuk mengelolanya.

Maria mengirimkan para susternya pada bulan Juli 1878, salah satu di antara mereka adalah Suster Maria Gariglio, dia sedang sakit keras dan keinginan satu-satunya adalah kembali ke kampung halamannya dan meninggal di sana.

Pada tangal 28 Februari, ketika Maria masih harus berbaring di tempat tidur, Don Bosco mengunjunginya di Santo Cyr. Meskipun demikian, mereka tetap bisa mengadakan beberapa pertemuan yang panjang bersama, sesudah pertemuan-pertemuan itu, Maria kelihatan sangat gembira. Sebelum Don Bosco pergi, Suster Elisa memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, apakah dia sudah menjadi lebih sehat oleh karena itu bisa kembali ke Nizza. Dia menjawab pertanyaan pertama dengan memutuskan, Ya, tetapi ia mengelak untuk menjawab pertanyaan kedua.

Kehidupan yang sulit yang dialami baik oleh komunitas di Santo Cyr maupun di Navarre dapat dikumpulkan berdasarkan laporan dari pengalaman-pengalaman Suster Alessandrina.

Ketika kami tiba di Santo Cyr,” ia bercerita, “Kami hanya menemukan tiga orang anak yatim piatu dan lima orang suster Ordo ketiga, satu di antaranya bertindak sebagai superior dan juga harus merawat Pastor Vincent..... Kami diterima dengan baik sekali terutama oleh Bunda Kemiskinan! Untuk bisa makan pertama-tama kami harus mencari bahan makanan dan untuk mendapatkannya kami perlu uang dan kebetulan kami tidak punya. Sementara itu suster-suster yang lain mengharapkan dari kami, dan kamipun sebetulnya sebelumnya mengharapkan dari mereka.

Karena superior baru mereka tidak bisa berbicara bahasa Perancis dan hanya mengerti sedikit, salah seorang suster yang mengenal dengan baik orang-orang di sana dan juga sangat baik dengan kami, menemani kami ke kota. Untuk menutup kekurangan yang ada, mereka harus membawa sayur-sayuran dan menjualnya kepada keluarga terdekat.

Ketika mereka tiba di kota, mereka mampir di rumah seorang penderma yang menawari mereka makan malam yang sangat baik. Pada kesempatan itu suster menjadi gelisah dan hal itu terlihat dari wajah mereka. Ditanya apakah dia sakit, dia menjawab,” Tidak, kami hanya belum makan bahkan sarapan sekalipun dan tidak tahu kemana harus minta bantuan ?”

Kemudian mereka makan sesuatu supaya mereka bisa melanjutkan perjalanannya dan pada sore harinya mereka telah berhasil mengumpulkan cukup uang yang bisa dipakai untuk membeli roti selama satu minggu dan beberapa kebutuhan yang lain.

Don Bosco pun sanggup membiasakan diri dengan kemiskinan di dua komunitas itu. Hal itu terjadi pada saat dia dan Pastor Cagliero diundang oleh Pastor Ronchail untuk makan malam dalam rangka memperingati Pesta Santo Fransiskus dari Sales. Mereka memulai dengan sepiring sup lentil dilanjutkan dengan hidangan utama dari lentil pedas dicampur cuka, dan sebagai makanan penutup di sediakan dua buah pipit panggang.

Selama kunjungan itu ia mengungkapkan ramalannya tentang Komunitas Santo Cyr yang begitu menghibur Maria.

Di antara gadis-gadis ini,“ katanya, “akan muncul untuk yang pertama barisan panjang dari Suster-suster Maria Bunda Penolong. Di sini kita hendaknya mempunyai taman kanak-kanak yang dikelola oleh para suster, dan mereka tidak akan berkurang tetapi akan berkembang, dan di atas bukit-bukit ini—oh, begitu banyak suster di sana!”





















23—Pembimbing Bahkan Di Dalam Kematian



Dokter itu benar-benar telah menyiksa Ibu,” begitulah Suster Maria Lampietro mengambarkan perawatan yang dialami oleh Maria. “Mereka telah mengoleskan salep yang panas bertumpuk-tumpukan pada kulitnya sehingga menyebabkan kulit itu mengelupas hampir selebar telapak tangan. Saya mengambilnya beberapa, mengeringkannya dan menyimpannya untuk dijadikan relikui. Hal itu saya lakukan sebagai penghargaan saya kepada kekudusan ibu. Pada saat itu saya sendiri merasa sakit dan yakin bahwa hidup saya tidak akan lama lagi. Tetapi Ibu mempunyai pendapat yang berbeda. “Kamu tidak akan segera meninggal,” dia berkata kepada saya. “Jika kamu melakukan apa yang saya katakan kepadamu, kamu akan hidup sampai usia senja!” Dia benar. Saya segera merasa lebih sehat dan sangat sehat selama lebih dari tiga puluh tahun.”

Selama ia mengalami penderitaan dari penyakitnya ditambah lagi dengan panas akibat salep, Maria tetap tenang. Maria kelihatannya lebih memperhatikan keadaan suster lain dan meminta untuk tetap diberitahu tentang perkembangan panggilannya.

Di Santo Cyr dia memberikan kesaksian kepada para suster bahwa ia akan selalu menjadi ibu mereka. Pada suatu kesempatan dia memperhatikan bahwa ada seorang suster yang rendah hati, ketika dia lewat, kelihatan tidak bahagia.

Seperti biasanya, Maria berusaha mencari tahu, apakah yang telah menyusahkan salah satu dari putrinya itu. “Setiap saat kamu bisa datang kepada saya,” dia menambahkan, “Kamu kelihatan begitu sedih tentang sesuatu. Dapatkan kamu menceritakan kepada saya apakah itu ?”

Suster itu mengeluh, “Suster superior memberitahukan kepada semua suster, bahwa kami bisa secara bergiliran menjagamu tetapi ketika tiba giliran saya, dia tidak mengizinkannya.

Jika itu yang menjadi masalahnya,” kata Maria, “katakan kepadanya bahwa saya yang memintamu untuk menjaga saya!”

Tetapi mungkin,” suster itu berkeberatan, “Saya benar-benar tidak bisa menjaga anda.”

Jangan kuatir, akan aku tunjukkan caranya.”

Dengan gembira, suster itu pergi dan memberitahukannya kepada suster superior yang dengan segera menundukkan kepalanya, dan dengan segera pula ia mendapatkan gilirannya untuk menjaga Maria. Maria akhirnya menemukan alasan mengapa suster superior menolaknya pada saat ia mendapat gilirannya. Suster itu sering kali lalai tentang apa yang harus dilakukannya dan kapan ia harus melakukannya. Maria bukan hanya sekali saja tetapi harus berulang kali mengingatkannya, berkat kemampuan Maria dalam menutupi kesalahan-kesalahan suster itu, dia tidak pernah curiga bahwa telah gagal tidak seperti yang ia pikirkan dalam merawat orang sakit.

Setelah menghabiskan waktu empat puluh hari di tempat tidur, Maria merasa tenaganya telah cukup untuk mengadakan perjalanan yang panjang dan sulit kembali ke Nizza. Merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi dia berdoa kepada Tuhan untuk di perkenankan meninggal di rumah induk kongregasi.

Dokter mengingatkannya kembali bahwa jika ia mendapat perawatan yang baik maka dia dapat bertahan hidup untuk dua atau tiga bulan lagi. Dan hal itu bukanlah untuk pertama kalinya ia diingatkan.

Pada awal tahun ketika ia hanya dapat berbaring di tempat tidur untuk beberapa hari, ia memanggil Suster Pacotto yang sangat menyayanginya. “Suster,” katanya, “Maukah engkau melakukan suatu kebaikan untuk saya?”

Tentu saja, Ibu! Tidak hanya satu tapi dua bahkan tiga!”

Baiklah. Ibu Enrichetta telah menawarkan diri pergi ke Misi mengantikan tempat saya tetapi ia belum siap untuk pergi secepatnya. Nanti, ya, dan ia akan melakukan banyak kebaikan.”

Di mana saya harus memulai?”

Jika kamu mau menggantikannya kamu akan melakukan bagiku suatu kebaikan yang sangat besar. Saya paham dengan pengorbanan yang saya minta itu. Meskipun demikian andai kata kamu tetap tinggal di sini, kamu tetap harus meninggalkan saya karena saya tidak akan bisa menghabiskan tahun ini. Apakah kamu mau saya memberitahu sesuatu yang tidak hanya dapat menghiburmu tetapi merupakan sebuah kebenaran?.... Beberapa saat yang lalu, saya dipanggil ke kamar oleh seorang pemimping rohani yang telah mengajari saya beberapa hal. “Apakah kamu seorang superior jenderal ? dia bertanya kepada saya. Ketika saya menjawab, Ya, di melanjutkannya. “Saya juga seorang superior jenderal. Pada tahun ini ada beberapa superior jenderal yang sudah meninggal dunia, dan masih akan ada lagi, di antara mereka adalah saya dan kamu.... Marilah kita mempersiapkan diri!” Kemudian dia bangkit, memberkati saya dan kemudian pergi.......Bukankah tidak ada alasan lagi untuk tidak meninggalkan saya? Kamu tahu sekarang bahwa saya tidak akan mampu menghabiskan tahun ini!”

Ibu, mengapa kamu selalu mengulang-ulangnya?”

Tuhan yang Maha Baik telah berkenan untuk mendengarkan doa-doa saya. Itulah sebabnya, masih ingatkah kamu pada seorang gadis yang telah mempersiapkan diri untuk dibabtis tetapi tidak jadi menerima sakramen itu? Apakah itu bukan karena salah saya ? Dikarenakan hal itu dan juga hal-hal khusus yang lainnya yang saya lihat terjadi di dalam kongregasi, saya mempersembahkan diri saya sebagai korban kepada Tuhan...... Jika kamu juga mau membuat pengorbanan diri seperti yang saya minta kepadamu, kamu akan mendapat pahalanya.

Pada kesempatan yang lain, ketika Suster Pacotto bertemu dengan Don Bosco, dia menceritakan tentang segala hal yang telah terjadi antara dia dan Maria. Dia meminta kepadanya untuk berdoa agar Tuhan jangan menerima pengorbanan yang seperti itu.

Don Bosco hanya mengelengkan kepalanya. “Pengorbanan itu sangat berkenan kepada Tuhan,” dia melanjutkan, “dan Ia menerima pengorbanan tersebut.”

Dapatkan pengorbanan itu diganti? Dan apakah saya dapat mengantikannya?”

Tidak, sudah sangat terlambat.”

Sementara itu, anggota komunitas mulai menghitung saat-saat antara keberangkatan Maria dari Santo Cyr dan kedatangannya di Nizza.

Ketika ia sedang berada di Nice dalam perjalanannya melewati Perancis , dia sangat gembira mengetahui bahwa Don Bosco ada di sana dan ingin sekali menemuinya untuk meminta berkatnya.

Kamu pikir, Don Bosco,” katanya, “bahwa saya akan sembuh total?”

Biarkanlah saya menceritakan sebuah cerita untukmu,” ulangnya. “Suatu ketika kematian mengetuk pintu sebuah biara dan ketika penjaga pintu menjawab, kematian berkata kepadanya, “Mari ikutlah aku.”

Saya tidak bisa,” kata penjaga pintu itu, “karena saya harus menjaga pintu dan tidak ada yang lain yang bisa menggantikan tempatku.”

Sang Kematian lalu masuk ke dalam biara dan menanyakan kepada para suster, para postulan, para murid dan bahkan juru masak untuk mengikutinya. Meskipun demikian semuanya menjawab bahwa mereka mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan. Akhirnya dia mendatangi suster superior. Dia juga menolak. Tetapi kali ini Sang kematian memaksa. “Superior harus selalu menjadi pemimpin dalam perjalanan,” dia mengingatkannya, “bahkan ketika harus memimpin dalam perjalanan menuju ke kehidupan kekal.” Karena suster superior tadi tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak, maka ia hanya mampu menundukkan kepalanya dan kemudian mengikutinya.

Agar tidak menganggu para suster yang ada di situ, dia pura-pura tidak mengerti. Tetapi dia tetap berkemauan untuk bisa sampai di rumah induk.

Meskipun ia ingin segera tiba di Nizza secepat mungkin, tetapi dia berhenti juga di komunitas Alassio, sebuah tempat peristirahatan di tepi laut di sepanjang rute perjalanan mereka.

Saya merasa begitu lelah!” adalah kata pertama yang diucapkannya ketika ia menyalami suster-suster yang sedang berkumpul di stasiun.

beristirahatlah di sini untuk beberapa hari!” kata mereka dengan serempak

Terima kasih. Meskipun di Nizza mereka terus mengingatkan supaya saya segera pulang.”

Di Alassio tidak tidak tahan lagi untuk membandingkan keadaan di sana dengan apa yang ia temui di Santo Cyr dan Navarre. Dia mengingatkan para suster untuk melawan penyalahgunaan kelimpahan yang mereka nikmati dan mendorong mereka untuk melakukan penyangkalan diri. Dia juga meminta mereka berdoa bagi Suster Louise Arecco. Apapun yang ia ucapkan, kata-katanya mencerminkan kedalaman perasaanya.

Pada akhir kunjungannya, para suster menemaninya ke stasiun. Mereka dapat melihat Maria yang sedang mengalami penderitaan yang sangat berat meskipun demikian, mereka berharap bisa bertemu kembali dengannya.

Dia tiba di Nizza pada tanggal 28 Maret dengan disambut oleh kegembiraan yang begitu besar oleh seluruh anggota komunitas. Setelah penyambutan, hal pertama yang ia lakukan adalah pergi ke gereja dan mengucapkan syukur karena telah menghadiahkan karunia seperti yang ia harapkan. Dia selalu mengingat seluruh anggota komunitas yang telah menunjukkan perasaan mereka dalam menyambutnya, meskipun demikian mereka hendaknya tidak menunjukkan sikap yang seperti itu pada saat menyambut kedatangannya ataukah membiarkan mereka menjadi sangat bahagia atau sangat susah, tetapi semuanya itu diungkapkan dalam bentuk yang biasa-biasa saja.

Keletihan akibat perjalanan, ia menghabiskan dua hari berikutnya di tempat tidur, dan meskipun dia berusaha untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya, dia tidak mampu. Keinginannya begitu besar tetapi tenaganya sangat lemah.

Ketika ia sedang mengadakan pertemuan dengan para suster—kata seorang novis muda—Ketika saya sedang memperkenalkan diri, saya melihatnya sedang memegang sebuah rompi kecil yang dijahitnya untuk salah seorang anak yatim piatu.

Saya sedang berusaha untuk menjahit di jahitan terakhir dan semuanya akan segera selesai,” dia memberitahukannya kepada saya. “Tetapi saya begitu lelah dan tidak merasa seakan-akan sedang menerima beberapa suster lagi. Menurut kamu apa yang harus saya lakukan?

Karena saya hanyalah seorang gadis kecil yang pemalu, saya tidak mempunyai nasehat kepadanya kecuali mengatakannya bahwa ia perlu untuk pergi ke kebun dan menghirup udara segar.—Dia ternyata menerima anjuran dari seorang novis.

Meskipun kondisi badannya menurun dan suhu badannya selalu tinggi, dia tidak mau menerima perlakuan khusus. Ketika di tawari makanan yang khusus atau kain flanel untuk dipakai atau minyak untuk digunakan, dia selalu menolaknya. “Jika seorang superior menerima perlakuan-perlakuan khusus itu, tidakkah kamu berpikir bahwa yang lain akan menerimanya juga? Contoh macam itu? Sedikit istirahat dan obat yang sederhana cukuplah.

Tidak lama setelah kejadian ini, ia terserang sakit yang parah pada bagian tertentu tetapi berakibat pada seluruh keseimbangan badannya. Perawatan yang ia lakukan tidak lebih dari sekedar menekankan sebuah batu bata panas dan juga memberikan salep pada titik yang sakit. Meskipun ia tidak bisa mendapatkan kesempatan beristirahat total, ia tetap menolak tawaran diperbolehkannya untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan rutin komunitas, ketika sedang berada di dalam gereja, dia berusaha untuk tidak bersandar di bangku. Dia juga ingin melakukan pekerjaan di ruang cuci tetapi suster-suster yang lainnya melarangnya dengan keras sehingga ia akhirnya menyerah.

Meskipun demikian, dia mulai mencari pekerjaan yang lain, dia mulai mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan dapur. Pekerjaan itu sangat berat baginya sehingga suster-suster yang lainnya memintanya untuk menghentikannya. Ketika ia dimohon dengan sangat untuk beristirahat, dia pergi ke ruangan orang sakit seperti yang lainnya dan setelah beristirahat untuk beberapa hari dia bisa kembali ke kamarnya.

Ketika para dokter mengatakan bahwa radang selaput dadanya telah kambuh dengan didahului oleh sebuah kesakitan yang hebat, seluruh anggota komunitas menjadi sedih. Serangan yang kedua ini dapat menjadi sebuah tanda bahwa kehidupannya tidak akan lama lagi. Meskipun sangat menderita tetapi ia tidak pernah mengeluh dan biarpun suster-suster yang lainnya menyatakan bahwa ia akan segera menjadi lebih baik, dia tetap yakin bahwa umurnya tidak akan lebih dari satu atau dua bulan lagi. Ketika ditawari daging pada saat makan dia menolaknya dan dengan hati-hati ia memberitahukannya bahwa hal itu dilakukannya karena mengikuti anjuran dokter.

Sebagian besar dari para suster mengetahui bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melihat apakah seseorang itu mempunyai panggilan atau tidak, dan ketika ia melihat bahwa seseorang itu mempunyai panggilan maka ia akan menerima, baik itu novis maupun postulan bahkan bagi mereka yang merasa cemas apakah mereka benar-benar telah berada di jalan yang benar. Dia menjamin panggilan bagi beberapa orang dan menolak yang lainnya. “Tuhan menghendakimu di tempat yang lain,” dia biasa menyatakannya. Dia juga bisa meramal apa yang akan terjadi dengan mereka baik pada waktu yang dekat maupun pada waktu yang lebih lama.

Bersamaan dengan bergulirnya waktu dengan kondisi badannya yang semakin buruk, menjadi tanda bagi setiap orang termasuk Maria sendiri bahwa akhir hidupnya tidak akan lama lagi.

Ketika Suster Emilia bertanya kepadanya apakah ada sesuatu yang mau ia katakan kepada para suster, dia menjawab: “ Berusahalan untuk selalu mencintai satu sama lain. Cobalah untuk selalu bersatu.” Dia mengulangi lagi pesannya bahwa hendaknya mereka jangan terlalu menjadi begitu gembira pada saat mengalami kejadian-kejadian yang menyenangkan, atau menjadi putus ada pada saat mengalami peristiwa-peristiwa yang menyedihkan.

Sebulan yang lalu ketika kalian sedang mengadakan pesta, saya telah mengatakan kepadamu bahwa kalian terlalu........” Ia mengingatkan mereka. “Sekarang kamu tahu di manakan semuanya akan berakhir....... Marilah kita bersatu dalam Tuhan dan jangan membiarkan hal-hal keduniawian merasuki rumah kita.”

Ibu,” kata Pastor Lemoyne, ketika Maria terlihat telah mempunyai kekuatan yang cukup, “apakah ada saran yang lain yang ingin anda berikan kepada kami? Kami semua menunggu untuk mendengarkan semuanya.”

Maria memandang sekilas ke sekeliling ruangan. “Tiga hal yang ingin kukatakan kepada kalian, kepada kamu yang senior....Kepada kalian yang lebih daripada orang lain saya menasihatkan kepada semua Suster yang ada di Rumah-rumah yang lain, khususnya mereka yang berada di tempat yang jauh seperti: di Bronte, Catania, Amerika … Sampaikan salam saya kepada mereka masing-masing terutama pada saat saya tidak ada lagi di sini. Katakan kepada mereka bahwa saya selalu mendoakan mereka …”

Setelah terdiam untuk beberapa saat dia melanjutkan. “Untukmu saya mempunyai nasehat dengan tiga bagian. Pertama: ketika saya telah tiada saya kuatir akan timbulnya sebuah kecemburuan kecil di antara kalian yang disebabkan oleh kebanggan akan tempat-tempat tertentu yang kalian tempati....kecemburuan karena kewenanganmu, ketika menemukan kesempatan yang diberikan kepada seseorang yang lebih muda daripada kalian. Semunya ini akan sangat merugikan persatuan jiwa di mana kemurahan hati seharusnya berkuasa. Selama pengorbanan itu ada di antara kamu maka kesulitan-kesulitan itu tidak akan muncul, tetapi sekarang?........Tunduklah kepada siapa saja yang akan terpilih sebagai superior di antara kamu. Tahanlah dari keinginan untuk berkuasa...... Kedua: Cobalah menolong satu sama lain secara spiritual, ya, tetapi selalu patuh dan tunduk kepada bimbingan dari seseorang yang telah ditunjuk....”

Pada saat sampai pada bagian ini, kekuatannya telah menghentikannya.

Beristirahatlah sebenar, Ibu,” saran suster kepala, dan setelah ia melakukannya kemudian ia memberitahukannya bahwa ia masih mempunyai satu bagian lagi dari nasehatnya yang harus diberikan kepada mereka.

Saya mau mengingatkan sama saudari saya,” katanya, “bahwa sekali mereka telah meninggalkan kehidupan luar, mereka hendaknya jangan mencoba untuk mengembalikannya ke dalam kehidupan membiara. Semua hal itu mungkin tidak menjadi sebuah masalah yang serius tetapi hal-hal tersebut dapat menganggu kesempurnaan kita. Sebagi contohnya munculnya kecemburuan, ketidaktaatan, menunjukkan kebanggan diri dan keterikatan. Hal-hal ini menjadikan orang-orang kehilangan alasan mengapa mereka menjadi seseorang yang beragama.

Pada saat sampai di bagian ini dia mengaku ketakutan bahwa keberaniaannya akan menjatuhkannya.

Kenapa anda harus takut? suster-suster yang lain masih ingin tahu. “Percayalah kepada Tuhan.”

Mudah bagimu untuk mengatakannya, tapi bagiku … Jangan biarkan saya sendirian. Dengan kamu di dekatku saya merasa lebih tenang.”

Ketika kondisinya semakin memburuk ia meminta sakramen terakhir. Ketika ia telah menerima semua dan juga berkat dari Paus, ia melihat kepada mereka yang berada didekatnya.

Sekarang saya telah menandatangani paspor saya,” katanya, “Saya telah siap untuk pergi.”

Sekarang, juga, ia terlihat memasuki sakarat mautnya tapi, malahan, memperoleh kembali dan mulai menyanyikan lagu kepada Bunda Maria dengan suara yang cukup keras sehingga bisa didengar dari koridor. Dan ketika kekuatannya tidak lagi bisa untuk bernyanyi ia hanya membawakan ayat-ayatnya dengan suara yang lebih pelan.

Ketika akhir hidup saya semakin dekat,” katanya sambil menunjuk stola yang dipakai oleh Pastor Lemoyne, “seandainya saya menyentuhnya hal itu berarti bahwa saya menginginkan anda untuk memberikan berkat terakhir kepada saya. Dan tolong jangan tinggalkan saya sendirian.

Merasa yakin bahwa ia tidak akan melakukanny, dia kemudian melanjutkannya, “Seandainya saya diperkenankan masuk surga, dengan izin dari Tuhan, saya berjanji akan memberitahukanmu.”

Karena setiap anggota komunitas ingin melihatnya dan mendengar kata-kata terakhirnya, maka segera diatur supaya semua mendapat kesempatan. Meskipun demikian dia harus tetap dijaga untuk mencegah supaya tidak mengalami kesakitan yang lebih besar akibat ungkapan perasaan mereka yang meluap. Dia menerima mereka semua dengan sebuah senyuman dan kata-kata yang membesarkan hati.

Ketika ia melihat-lihat sekeliling seakan-akan sedang menantikan seseorang, mereka menanyakannya siapakah orang tersebut.

Apakah saya tidak boleh menemui Pastor Cagliero?”

Mereka berkata kepadanya bahwa mereka telah menghubungi seluruh komunitas mencoba untuk mencarinya.

Pada saat itu ia berkata kepada salah seorang Suster yang telah lama sakit dan akan pergi ke Turin untuk menjalani operasi, “Kamu akan pergi bersama Pastor Cagliero pada tanggal tujuh belas.” Padahal Pastor Cagliero belum juga ditemukan pada saat itu!

Sudah begitu lama, sakit yang parah mewarnai seluruh bulan-bulan penderitaannya yang kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun baik yang menyangkut hal-hal yang rohaniah maupun jasmaniah, pada saat gembira maupun pada saat sedih. Hal ini merupakan ujian terbesar untuk ketaatan pada kehendak Tuhan. Meskipun ia menginginkan menderita untuk-Nya tetapi ia tetap merasa tidak akan pernah siap untuk bertemu dengan-Nya dan karena alasan ini maka ia merasa tidak ingin segera meninggal. Bahkan ketika ia semakin dekat dengan kematian yang tidak dapat ditawar lagi, secara mendadak terjadi perubahan yang luar biasa pada dirinya.

Setelah mencium salib yang didekatkan di bibirnya, dia berbalik kepada mereka yang mengelilingnya.

Apa yang kalian semua lakukan disini?” ia menanyakan kepada mereka. “Saya sudah sembuh! Saya tidak merasa sakit lagi. Pergilah, kalian semuanya, kepada pekerjaan kalian masing-masing.”

Ketika ia mengetahui kenyataan bahwa ia mungkin telah sembuh, ia membalikkan pandangannya kepada gambar Ratu Kita. “Tidak, tidak!” ia menangis, “Saya telah siap sekarang. Saya telah mempunyai semua surat-surat perintah saya. Saya tidak ingin kembali sekarang.”

Terimalah ini, juga, sebagai kehendak Tuhan,” kata Pastor Lemoyne.

Ya, ya! Tetapi betapa sedihnya saya tidak akan segera meninggal. Saya begitu berserah, begitu damai. Tidak ada yang menyakitkan saya lagi.”

Meskipun demikian,” lanjut Pastor Lemoyne. “Jika Tuhan menginginkan anda untuk berada di sini untuk bekerja demi kemulian-Nya, bukankah Dialah satu-satunya yang dapat memutuskannya?”

Pastor,” katanya dengan suara yang tegas, “Saya benar-benar sembuh. Saya merasa tidak sakit lagi.” Dia berbalik kepada Suster-suster. “Kalian semua boleh pergi sekarang. Tinggalkan aku. Berikan pakaian-pakaianku. Saya mau pergi ke gereja untuk melihat gambar Bunda Maria.”

Yang lain berusaha untuk menahannya.

Tapi saya telah sembuh!” katanya dengan tegas. “Tidak dapatkah kamu melihat bahwa saya telah sembuh? Saya lemah, tentu saja, tapi saya tidak merasa sakit lagi. Berikan saya sesuatu yang bisa dimakan.”

Mereka memberinya segelas anggur dan beberapa kue. Sebelumnya dia telah begitu lemah bahkan untuk memegang salib, tetapi dia sekarang mampu memegang gelas anggur dengan tangan yang kokoh.

Berita tentang penyembuhan secara total yang tiba-tiba dan tidak diduga ini menyebar dengan cepat ke seluruh Rumah dan disebarkan ke Rumah-rumah yang lain. Ruangan bagi orang sakit ini dengan cepat dipenuhi dengan Suster-suster, tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Setiap orang ingin melihat sendiri perubahan yang luar biasa ini. Suasana kebingungan itu dapat dihentikan ketika mereka semua pergi ke gereja untuk menyanyikan Te Deum sebagai ungkapan terima kasih yang mendalam.

Ditanya apakah hal yang paling ia inginkan pada saat itu, ia mengulangi, “Bertemu sekali lagi dengan Pastor Cagliero dan mendapat kesempatan untuk berbicara kepadanya, dan meninggal pada hari Sabtu.”

Selama beberapa hari setelahnya setiap orang memperhatikannya dengan cemas apakah kesembuhannya itu merupakan hal yang terakhir. Sayangnya, tidak. Maria sendiri akhirnya mengakui bahwa ia menyerahkan semua harapannya kepada Tuhan.

Bagiku,” ia menyimpulkan, “semuanya sudah berakhir.”


Pada tanggal 10 Mei sebuah tangisan yang keras terdengar dari koridor-koridor. “Pastor Cagliero ada di sini! Pastor Cagliero telah tiba!” Pastor Cagliero akhirnya tiba dan diterima dengan kegembiraan karena kehadirannya sudah lama dinantikan. Ketika ia melihat Maria untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa Maria sedang berada dalam kesehatan yang baik dan membuatnya berpikir untuk tidak perlu mengirim telegram atau bahkan menulis surat untuk Don Bosco tentang Maria. Tetapi Suster-suster tidak sependapat dengannya. Mereka telah melihat Maria mendapatkan kesembuhan ini sebelumnya dan mengetahui bahwa hal itu selalu diakhiri dengan keadaannya yang lebih buruk dari sebelumnya. Mereka mencoba membujuknya untuk mengubah pikirannya itu tetapi Pastor Cagliero menolak.

Tidakkah kalian mengerti,” ia menekankan, “bahwa Don Bosco telah mengirim saya untuk mewakilinya?”

Setelah mendengar hal ini Suster-suster tidak memaksanya lagi.

Alasan yang menyebabkan mengapa mereka tidak dapat menghubungi Pastor Cagliero pada saat itu adalah karena pada saat yang bersamaan, Pastor Cagliero sedang mengadakan kunjungan ke Spanyol dan sesudah itu kemudian bertemu dengan Don Bosco. Ketika diberi kabar tentang keadaan Maria, Don Bosco menyuruhnya untuk menemuinya. “Sampaikan berkatku kepadanya,” katanya. “Dan jika keadaanya semakin buruk saya akan pergi sendiri ke sana.”

Pastor Cagliero yakin bahwa keadaan Maria sudah lebih baik sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya beberapa saat lagi. Akan tetapi para suster yang lain berusaha membujuknya untuk tinggal lebih lama lagi. Pada saat dia tinggal di sana, dia mendapatkan dua kali kesempatan bertemu dengan Maria sambil membicarakan tentang tugas-tugas Maria pada kongregasi. Keduanya dapat memahami dan mengerti di antara satu sama lainnya dengan mendalam.

“Saya harus mengakui,” katanya menanggapi pembicaraan itu, “Jika saya menerima nasehat-nasehatnya maka saya dapat menghindari beberapa kesalahan yang sangat merugikan pada masa permulaan. Tetapi jika saya tidak menerimanya maka saya akan mendapatkan keuntungan dalam kehidupan religius.

Pada sore hari tanggal 13 Mei, Suster Maria Besucco, penjaga pintu, membawa obat-obatan, memberikannya kepada Suster Emilia dan kemudian hendak meninggalkannya.

Jangan pergi dulu,” kata Maria. “Kesinilah, Suster. Sudah dua hari kita tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?”

Baik, Ibu. Tidak ada yang menghawatirkan tentang diri saya.Tetapi bagaimana dengan keadaamu sendiri?”

Tidak usah risau tentang hal itu. Inilah jalan yang Tuhan inginkan bagi saya. Tetapi saya senang menemukanmu dalam keadaan yang sehat.”

Sudah cukup, Ibu!” bisik Suster Emilia. “Anda sudah terlalu melelahkan diri anda.” Ia memberikan tanda kepada suster yang lainnya agar pergi.

Tidak, tidak!” Maria menegaskan. “Tinggallah lebih lama lagi. Saya harus mengetahui apa yang baik untukmu … Kamu, Suster Emilia, selalu bersama denganku dan kamu tidak tahu kata-kata apakah dari superior yang sangat berarti bagi suster yang lain. Suster yang malang ini selalu berada di pintu dan tidak pernah bertemu dengan saya kecuali jika saya hendak lewat. Kemarilah, Suster, dan kita akan menyanyikan bersama-sama lagu untuk Bunda Maria .”

Pada hari Sabtu tanggal 14, pada pukul dua pagi, Maria terjaga dan mulai bernyanyi dengan suara yang penuh dengan kegembiraan sebuah lagu pujian kepada Bunda Maria. Kali ini ia bernyanyi begitu keras sehingga membangunkan Suster-suster yang berada di sebelah kamarnya. Setelah dia menyelesaikannya tubuhnya menjadi lumpuh.

Semakin ia dekat dengan kematian, sebuah perjuangan yang berasal dari dalam dirinya sendiri bergabung dengan kekuatan kegelapan. Ia merasa berdiri sendirian, bertempur dalam pertempuran penentuan. Ketika ia melihat dengan jelas untuk pertama kali betapa menjijikkan jiwanya ketika harus berhadapan dengan Tuhan, ternoda, terancam dan sangat menyedihkan, dia mulai tergoda untuk percaya bahwa tidak ada harapan lagi untuk diselamatkan. Hal ini terjadi ketika kekuatan setan mencoba untuk bisa mengendalikannya dalam keputusasan. Di dalam gelombang keputusasaan yang sangat besar yang sedang melandanya, mereka membuang jauh pikiran tentang Tuhan yang baik dan penuh belas kasih, tentang Kristus yang telah rela menjadi saudara, tentang Bunda Maria yang menjadi perantara. Ketika ia berjuang bangkit dari gelombang ini, ia mulai menangis, “Malulah pada dirimu sendiri! Apa yang kamu takutkan? Siapa yang selalu percaya kepada Bunda Maria ketika merasa putus asa? Malulah pada dirimu sendiri! Beranilah! Beranilah! Pecayalah!

Kepada siapa anda berbicara?”

Saya tahu dengan baik kepada siapa saya berbicara,” ulangnya. Pandanglah gambar Bunda Maria, dia melanjutkan, “Mengapa kamu takut? Beranilah!”

Anda seharusnya tidak berbicara terlalu banyak, Ibu. Dokter tidak menginginkan hal itu.”

Saya sedang berpikir tentang jiwa saya,” jawabnya. “Kenapa kamu takut?” Ia ingin berbicara lagi kepada dirinya sendiri. “Apakah kamu bukan anak Bunda Maria? Kapan kamu selalu percaya dengan-Nya dan kapan kamu pernah dikecewakannya? Besok kita akan memulai novena kepada Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Marilah kita bernyanyi sebuah lagu pujian untuk Bunda kita.

Setelah pergolakan ini ia perlahan-lahan mulai tenang dan tertidur. Sekitar jam tiga pagi, dia terbangun dan pada saat itu tanda-tanda kematiannya mulai nampak dengan jelas. Denyut nadinya berkisar antara seratus dan lima puluh, pipinya menjadi keabu-abuan, matanya mulai redup dan wajahnya terlihat berkerut.

Pada saat ini,” kata Pastor Cagliero, “Don Bosco pasti sedang mendoakanmu dan saya berkati kamu atas namanya.”

Disebutnya nama Don Bosco membuatnya tersenyum. Dia meminta agar posisi bantalnya dibetulkan dan kemudian dengan sedikit gerakan tangannya ia melambaikan lambaian selamat tinggal.

Pastor Cagliero mulai membacakan doa untuk jiwa di saat-saat terakhirnya, saat-saat memulai sebuah perjalanan panjang, “Pergilah berlalu, jiwa orang Kristen …”

Kita akan saling bertemu di surga,” dia berbisik.

Pada saat itu adalah hari Sabtu tanggal empat belas, jam tiga lewat empat puluh lima.

Dia menatap ke arah salib. “Yesus, Maria dan Yoseph,” dia berdoa, “Kuserahkan jiwaku kepada-Mu.” Tiga kali dia mengucapkan kata-kata, “Yesus, Maria dan Yoseph ...”













































24—Warisan

Karena berbagai kehidupan sudah dilalui Maria, karena berbagai orang sudah dia kenal dan karena pengaruhnya kepada semua yang telah mengenalnya, kematiannya mempengaruhi kehidupan beberapa orang, baik secara mendalam maupun yang kurang mendalam. Sebagai penghibur bagi mereka yang merasa kehilangan atas kehadirannya, ditinggalkannya masing-masing sebuah warisan.


2 Untuk orang-orang yang terdekat

▲back to top

Sementara itu di Mornese, mereka tidak mengharapkan mendapatkan berita buruk. Berita terakhir tentang keadaan Maria mereka dengar dari dua saudaranya Nicolas dan Yosep yang hadir yang saat Maria seakan–seakan mendapat kesembuhannya yang luar biasa. Berita gembira inilah yang mereka sampaikan kepada ibunya dan juga kepada orang-orang lainnya di Mornese. Karena tidak ada jaringan komunikasi telegram antara Nizza dan Mornese sementara itu komunikasi dengan surat biasanya sangat lambat dan dengan tanggal yang tidak pasti, maka menjadi sebuah kejutan dan kesedihan bagi seluruh kelurganya akan sebuah berita yang diberitahukan oleh seorang pastor tentang kematiaanya. Ketika sang pastor itu menceritakan keadaan yang sebenarnya, ibunya memberikan reaksi yang sangat besar. Dia mencucurkan air matanya karena tidak bisa hadir pada saat anak perempuannya meninggal, sehingga Maria tidak bisa meninggal di atas pangkuannya.

Meskipun ada kesan umum bahwa doa-doa yang disampaikan bukan untuk Maria tetapi untuk dia, ibunya tetap bersikeras bahwa misa requem yang sedang diadakan untuk mendoakan istirahat kekal jiwa Maria dan misa itu diadakan di gereja yang sangat di cintai oleh Maria. Misa itu dihadiri oleh anggota-anggota keluarganya, oleh bekas rekan-rekannya di perkumpulan Ursulin baru, bekas murid-muridnya di tempat kursus dan oratori serta oleh sekelompok besar penduduk yang masih mengingatnya sebagai sebuah bentuk ucapan terimakasih dan kasih sayang mereka.

Semua orang yang berkumpul di sekitar jenasah itu tidak ada yang sungguh-sungguh menderita seperti yang dialami Petronilla. Petronilla adalah teman terdekat dan sahabat Maria semenjak permulaan berkembangnya kongregasi yang pada mulanya tidak lebih daripada hanya sebuah rencana dalam pemikiran Tuhan. Dia merupakan wakil Maria sejak pemilihan tahun 1874 dan, hanya jika ada tugas-tugas yang memaksanya pergi ke tempat-tempat tertentu, dia menghabiskan seluruh waktunya berada di samping Maria. Dia selalu mendampingi Maria baik pada saat dia melaksanakan tugas resminya maupun pada saat tidak melaksanakan tugas resminya, dan selalu memberitahukan kepada yang lain bahwa Maria telah menjanjikan hidup yang panjang baginya. “Kamu akan hidup sampai usia tua/matang.”

Pada tahun 1876 Maria diangkat menjadi pendamping para novis, suatu jabatan yang harus ia pikul untuk memberikan kesaksian kepada para suster yang lain tentang kesabaran, kebaikan dan kemurahan hati. Ketika mereka membuka rumah baru di Nizza, Petronillalah yang diutus oleh Maria untuk menjadi superior yang pertama.

Petronilla tetap menjadi wakil Maria sampai pada saat di selenggarakannya General Chapter pada tahun 1880. Menyadari bahwa jaman sudah berubah, dan kongregasi telah berkembang pesat sehingga membutuhkan seorang pendamping yang berpengalaman, dia mulai berdoa untuk dua permohonan: bahwa Maria bisa terpilih lagi dan seseorang yang lebih cakap daripada dirinya akan terpilih menjadi wakilnya. Dan doanya itu terkabul kedua-duanya. Maria benar terpilih lagi dan terpilih sebagai wakilnya adalah seorang suster muda yang sangat cakap yaitu Katharina Daghero.

Terpilihnya wakil yang baru itu sempat menimbulkan beberapa kebingungan. Setelah bertahun-tahun komunitas terbiasa dengan Petronilla sebagai wakil, menjadi suatu keganjilan memberikan jabatan itu untuk suster yang lain. Untuk mengakhiri kebingungan ini, Maria mengirim Petronilla ke Alassio untuk sementara supaya perubahan itu bisa berjalan dengan baik.

Petronilla menyertai Maria pada saat menghadiri upacara pemberangkatan misionaris yang diselengarakan di oratori di Turin pada tanggal 20 Januari 1881, mereka menyampaikan selamat jalan kepada para suster yang pergi dengan perasaan haru. Setelah peristiwa itu, ia menjadi sangat cemas menyaksikan kesehatan temannya yang turun dengan cepat. Dia menasehatinya untuk menjaga kesehatannya dengan lebih baik lagi dan nasehat itu ia sampaikan dengan sedikit bergurau. Bagi seseorang yang telah lama mengenal Maria, mudahlah mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada diri Maria bahkan pada saat sebelum dia pergi menemani para misionaris ke Marseille.

Ketika Maria hendak pergi ke tempat tidur untuk terakhir kalinya, Petronilla sudah menunggunya, memintanya adaikata ada tugas-tugas yang bisa ia kerjakan. Maria begitu bahagia mendengar hal itu sehingga ia teringat baik masa indah ataupun sedih pada waktu mereka muda.

Jika melihat mereka berdua, orang akan selalu berpikir bahwa jika ada salah seorang dari antara mereka yang sakit, yang lainnya juga ikut merasakan. Pada saat akhir hidup Maria, dia hadir di sisinya tetapi karena kesedihan yang teramat sangat ia tidak bisa hadir pada saat upacara pemakamannya. Pastor Cagliero yang mengerti kesedihannya yang mendalam, menyarankannya untuk tinggal. Setelah semua upacara selesai, Petronilla dapat merasa terhibur karena sebuah janji yang diberikan oleh temannya itu bahwa ia akan mempunyai umur panjang di bawah bimbingannya.

Setelah Petronilla, orang yang paling dekat dengan Maria adalah adiknya sendiri Felicina, la picina atau si kecil pada masa kanak-kanak mereka. Felicina sekarang menjadi superior di komunitas Bronte di Cicilia. Mengetahui kondisi kakaknya yang buruk, dia menunggu dengan cemas kabar tentang kakaknya itu, tetapi ternyata tidak ada kabar yang datang.

Akhirnya pada tanggal 14 Mei malam, Pastor Joseph Pestianni, bapa pengakuan bagi para suster menerima telegram yang memberitahukan bahwa Maria sudah meninggal. Ini merupakan tangung jawab yang menyedihkan untuk memberitahukannya kepada Suster Felicina.

Pada pagi berikutnya setelah ia memimpin misa untuk para suster, dia menghampiri para suster dan berpikir bagaimana cara yang bisa ia gunakan untuk memberitahukan kabar itu kepada Suster Felicina supaya ia tidak terlalu menderita. Dia sangat menyadari hubungan yang begitu mendalam di antara mereka berdua, dan paham akibat yang akan terjadi atas pemberitahuan itu. Tidak begitu lama untuk bisa sampai di tempat suster Felicina tinggal dan bahkah dia sendirilah yang menyambutnya.

Pastor”, Suster Felicina menyambutnya, sebelum dia sempat mengucapkan sepatah katapun. “Tadi malam, saya bermimpi aneh sekali. Tetapi, saya pikir ini bukan sekedar mimpi. Sesuatu yang kelihatan sangat nyata! Saya benar-benar ketemu kakak saya. Dia berpakaian putih terang dan sangat bagus. Dia bersinar. Dia tersenyum kepada saya dan berkata, “Selamat tinggal, Felicina! Selamat tinggal!” Pastor, apa arti semuanya itu ?

Sambil berpikir penuh pertimbangan Pastor Joseph mengangkat bahunya, menepuk dengan penuh kelembutan. “Itu berarti bahwa kakakmu telah pergi untuk mendapatkan upahnya”, dia berkata kepadanya. “Tetapi sebelum dia pergi dia datang untuk memberikan salam selamat tinggal kepadamu.” Sambil memberikan telegram itu kepadanya.

2.1 Kepada suster-susternya

▲back to top

2.2 Ketika Maria meninggal, dia meninggalkan sebuah warisan yang sangat berharga bagi kongregasi. Di dalamnya termasuk juga 139 suster dan 50 novis yang harus memperhatikan hampir lima ribu anak-anak di 27 rumah—18 di Italia, 3 di Prancis dan 6 di Amerika Selatan. Adapun karya-karya kerasulan yang harus diperhatikan meliputi: oratori atau pusat perkumpulan anak muda, rumah yatim piatu, sekolah berasrama, sekolah biasa dan tempat kursus-tempat kursus, taman kanak-kanak dan memperhatikan dapur dan ruang cuci bagi rumah-rumah Salesian.

▲back to top

2.3 Sejak tahun 1874, ketika kongregasi yang masih muda ini sudah benar-benar stabil, dan Marialah yang menjadi Superiornya, tidak ada satu tahunpun dalam masa kepemimpinannya itu yang terlewatkan tanpa adanya pengikraran kaul untuk suster-suster yang baru atau pembangunan-pembangunan rumah yang baru. Hal itu bahkan terjadi bukan hanya sekali tetapi bahkan beberapa kali dalam setahun. Dalam kenyataannya di antara tahun 1876 dan 1880 tidak kurang dari lima perayaan diselengarakan untuk acara-acara seperti itu.

▲back to top

Inilah pondasi dasar yang kokoh yang harus dibangun. Dan dengannya kongregasi dapat berkembang dengan sangat cepat setelah kematiannya. Hal ini lebih dari sekedar bukti.

Bagian yang lain dari warisannya adalah surat-suratnya.

Ketika mempunyai kesempatan, Maria berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam menulis dan tanpa ragu-ragu berusaha untuk mengembangkannya supaya bisa berkomunikasi baik dengan superior-superior Salesian maupun dengan para susternya.

Ketika harus memahami seseorang, surat-suratnya mempunyai kesan dan arti yang khusus. Surat-surat itu biasanya ditulisnya dengan spontan dan hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk mempersiapkannya ataupun menyempurnakannya secara resmi, surat-surat itu mampu memberikan perasaan dan bahkan suasana pada saat penulisannya. Lebih dari itu, apa yang ditulisnya berasal dari lubuk hatinya yang terdalam. Kalau surat-surat itu ditujukan untuk orang-orang biasa, maka surat-surat itu akan dibuat dengan cara yang khusus entah ditulis langsung oleh Maria maupun didektekan kepada orang yang lain. Supaya bisa tetap mempertahankan sentuhannya, dia akan berusaha untuk mencegah seseorang yang mau mengoreksi kesalahannya.

Surat-suratnya yang bertahun antara 1874—1881 ditulisnya pada saat ia menjabat Superior Jenderal, beberapa suratnya yang paling awal dialamatkan kepada Don Bosco dan Pastor Cagliero. Akan tetapi sayangnya tidak semua suratnya dapat di pertahankan, ada beberapa yang sudah rusak ataupun hilang. Kebanyakan surat-surat itu dijaga oleh para suster dan komunitas di mana surat itu dialamatkan, dan menjadi milik komunitas yang sedang mengalami periode awal pertumbuhan terutama ketika mereka membuka untuk pertama kali komunitas di Italia, Perancis dan Amerika Selatan. Bagi para suster dan orang-orang yang mengikutinya, surat-surat itu menjadi sebuah sumber yang sangat penting untuk mempelajari “semangat dari Mornese.”

Enam puluh delapan surat diberikan kepada kami. Enam belas surat dialamatkan kepada para superior Salesian, lima di antaranya kepada Don Bosco dan lima buah lagi kepada Pastor Cagliero; empat puluh tiga di antaranya pesan-pesan singkat dan surat-surat yang dikirimkan kepada suster-suster FMA; dan sembilan surat untuk orang-orang tertentu seperti para pastor, para penderma, murid dan orang tua murid.

Yang paling penting dari surat-surat Maria itu bukan terletak pada kemampuannya dalam menulis surat. Dia sangat terlambat dalam belajar dan masih terlalu kurang berpendidikan dalam gaya penulisan resmi, dan hal itu menjadi bagian yang paling mendasar. Selain itu, sering kali surat-surat itu didektekan; bahkan beberapa surat kadang-kadang dibuat oleh hampir seluruh anggota komunitas, meskipun anak-anak juga terlibat. Gaya bahasanya berbentuk percakapan tanpa diberi daftar literatur, meskipun di dalamnya memuat banyak dialek lokal daerahnya, kesalahan-kesalahan dalam struktur bahkan dalam pengucapan.

Suatu ketika ia hendak menulis sebuah surat kepada seorang penderma yang sangat terhormat, kemudian dia memberikan surat itu kepada Suster Enrichetta dan memintanya untuk mengoreksinya.

Di sini anda harus menambahkan dua n,Ibu,” adalah salah satu nasehat yang diberikannya.

“Semuanya sama saja,” adalah jawabannya. “Tanpa memakai dobel n, saya bisa menulis dengan lebih cepat, hemat waktu, kertas dan tinta.”

“Tetapi hal itu merubah kesannya, Ibu!”

“Bagi saya semuanya sama saja,” Maria mengulanginya. “dan seseorang yang akan membacanya, menjadi pintar, dan akan mengerti sama baiknya dengan yang saya maksudkan. Selain itu, dia akan dengan segera menyebut saya sebagai seorang yang teledor.”

Struktur kata-kata yang ada di dalam surat-suratnya sangat sederhana. Biasanya surat-surat itu dimulai dengan pendahuluan kemudian diikuti dengan hal-hal yang umum, kata-kata yang berisikan nasehat, petunjuk-petunjuk dan dukungan-dukungan yang didasarkan pada hal-hal rohaniah dan diakhiri dengan pemecahannya. Ciri khas dari isinya adalah kesegaran yang ada di dalam imannya dan kepercayaannya kepada Tuhan, cintanya kepada Tuhan dan sesamanya, kerendahatiannya, sikap acuh terhadap dirinya sendiri, kegembiraannya atau allegria dan keteguhannya untuk selalu bergembira. Ketika ia menulis tidak ada hal lain yang ia ungkapkan kecuali yang menyangkut iman. Dengan menghidupkannya, ia dapat belajar bagaimana membagikannya kepada yang lain.

Agar bisa mengerti dengan sungguh-sungguh surat-surat Maria dan juga tentang kehidupannya, kita harus mengerti dengan sungguh-sungguh arti dari sebuah kata yang sering kali ia gunakan. Kata itu adalah allegria atau kegembiraan. Baginya, bagi para susternya, bagi Don Bosco dan bagi para Salesian, allegria mempunyai arti yang sangat khusus. Kata itu selalu muncul pada setiap ucapannya seperti juga di dalam setiap suratnya. Siate allegre, Siate allegre, yang secara sederhana dapat di artikan dengan bergembiralah, selalulah bergembira. Tetapi bagi Maria dan yang lainnya kata-kata itu mempunyai arti yang lebih. Allegria bagi mereka berarti sesuatu yang merupakan akibat perasaan damai yang dialami baik dengan dirinya sendiri maupun dengan Tuhan. Itu bukanlah sesuatu hal yang datang dan pergi begitu saja tetapi merupakan sesuatu yang tetap ada di dalam diri mereka dan muncul dalam tindakan mereka dari hari ke hari, dari masa ke masa yang didasarkan pada kebajikan-kebajikan yaitu cinta kasih, ketaatan, pengorbanan diri, kemurnian dan kesabaran…… seperti sebuah parfum yang terbentuk dari beberapa bahan yang bermanfaat. Allegria, dia menasehatkan, dapat dilakukan “dengan melakukan tugas sehari-hari dengan kesederhanaan, tidak mencari kepuasan kepada seseorang atau pada benda-benda tetapi melakukan demi tugasnya kepada cinta kasih Tuhan. “Hal itu juga menuntut seseorang untuk tidak berkecil hati tetapi mau terus bejuang.” Dalam perjuangan ini kelemahan-kelemahan manusia bukan menjadi hambatan tetapi menjadi sarana untuk bisa mencapai tujuan akhir, yang bagi Maria tidak ada arti lain kecuali menjadi orang kudus.

Dia mengunakan cara-cara yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda pula. Dengan Don Bosco, dia mengunakan cara yang lebih lembut dan berbeda, dengan Pastor Cagliero lebih hangat, terbuka dan bersahabat, karena mempertimbangkan jabatannya; bagi para suster dengan hati yang mengelora, kegembiraan, memberikan dorongan dan jaminan kasih sayangnya. Tidak pernah bersikeras mengenai pendiriannya dalam pertemuan. Ketika menulis surat untuk para suster yang berada di daerah misi dia menempatkan diri sebagai seorang petani yang sedang menulis surat kepada orang lain yang masih terikat secara emosional dengan paese mereka, yaitu rumah dan desa mereka. Surat-surat ini merupakan dokumen yang sangat berharga bagi mereka yang hidup jauh dari rumah dan berada di dalam suasana yang asing dengan orang-orang asing pula. Dalam kenyataannya, beberapa orang suster mempertahankannya sebagai suatu karunia yang luhur sehingga mereka selalu menjaganya. Surat-surat itu selalu bisa memberikan kesadaran di dalam kongregasi semangat khusus yang kemudian disebut, “semangat dari Mornese.”



Untuk Orang-orang yang lainnya

Ketika ia beristirahat selama dua hari di Nizza, mereka selalu dikunjungi oleh sekelompok orang secara teratur. Tulisan-tulisan yang telah ia buat dengan segera dapat dipercaya sebagai sebuah relikui dari seorang santa. Beberapa orang bahkan secara sembunyi-sembunyi memotong rambutnya dan kemudian membagikannya kepada teman-temannya.

Pastor Lemoyne tidak mempunyai kesempatan untuk memberitahukan kepada anggota komunitas mengenai keyakinannya bahwa ia sudah masuk surga. Sebelum Maria meninggal, dia telah menyetujui untuk memintakan suatu rahmat khusus untuknya kepada Tuhan. Jaminan dari rahmat ini merupakan tanda bahwa ia telah masuk ke dalam kebahagiaan surga. Rahmat ini, dia mencoba meyakinkan mereka, telah ia terima.

Jenazahnya pertama kali dibaringkan di kuburan setempat tetapi pada tahun 1895 dipindahkan ke tempat yang lebih layak, milik salah seorang penderma. Meskipun waktu telah merusakkan peti matinya, tetapi tubuhnya masih nampak seperti ujudnya yang asli. Tetapi udara yang masuk melalui peti yang rusak dengan cepat menghancurkan badannya dan tinggal tulang-tulangnya saja. Pada tanggal 4 September 1899, yang masih tertinggal dibawa pertama-tama ke kapel para suster dan kemudian, pada tanggal 13 September 1913, di kapel FMA.

Popularitas dari kekudusannya dengan segera menyebar dengan cepat dan jumlah permohonan melalui perantaraanya meningkat dengan pesat dan hal itu yang menyebabkan proses Beatifikasi dan Canonisasinya segera dilakukan. Untunglah orang-orang yang mengenalnya masih banyak yang hidup sehingga mereka dapat dengan segera memberikan kesaksian mereka mengenai Maria.

Ketika Petonilla yang pada saat itu berusia sekitar tujuh puluh empat tahunan, ditanya mengenai kebajikan-kebajikan temannya itu, dia enggan menjawabnya. Apa alasannya? Dia yakin bahwa memberikan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan spritualnya, tidak pernah akan memuaskannya. “Kita selalu melakukan semuanya,” dia berusaha menjelaskannya. “hanya demi cinta Tuhan.”

Pada tanggal 23 Juni 1911, sebuah penelitian resmi di mulai di keuskupan Acqui dan hasilnya akan segera dikirim ke Roma. Tahta Suci, pada tanggal 19 Mei 1925, secara resmi mengizinkannya. Penelitian yang kedua dilakukana di Acqui pada tanggal 9 Desember 1926, di bawah wewenang Tahta Suci. Hasil-hasil penelitian itu dengan segera dikirim ke Roma yang kemudian mengadakan penyelidikannya sendiri dan memutuskan bahwa Maria benar-benar telah melaksanakan kebajikan-kebajikan yang setara dengan seorang pahlawan. Pada tanggal 3 Mei 1936, sebelum audiensi dengan para iman dan kaum awam yang telah ditunjuk, Paus Pius XI, yang dua tahun sebelumnya telah mengangkat Don Bosco sebagai orang kudus, sekarang mengumumkan Maria sebagai seorang Venerable. Menanggapi pidato yang diberikan oleh Rektor Mayor Serikat Salesian, Bapa Suci menekankan ciri khas yang dimiliki oleh Maria Mazzarello yaitu kerendahatiannya.

Mengenai proses Beatifikasinya sekarang semuanya terletak di tangan Tuhan. Hanya Dialah yang dapat menjamin dua mukjizat yang akan menjadi tanda persetujuan Ilahi-Nya.

Mukjizat yang pertama terjadi pada penyembuhan yang misterius terhadap Ercolina Mazzarello (bukan saudari) yang lahir di Genoa pada tahun 1912. Tiga bulan setelah kelahirannya dia terserang penyakit polio yang parah, sehingga kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Dokter menyatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa disembuhkan lagi. Mengetahui keadaan anaknya itu, ibunya mulai mengadakan novena untuk Venerable yang baru itu pada bulan Agustus 1916, dan selama novena itu anaknya mulai bisa berjalan. Menanggapi kesembuhannya yang sempurna itu, sang dokter tidak dapat menjelaskan secara medis.

Kesembuhan yang kedua terjadi pada Rosa Bellavista Bascape dari Parma. Dia menderita radang selaput perut dan hidup dengan bantuan serum. Ketika serum itu mempengaruhi rambut dan tulangnya, dokter berencana untuk menghentikan penggunaanya. Pada tanggal 18 Maret 1926, ibunya membuat permohonan kepada Maria Mazzarello dengan membuat novena. Dua hari kemudian, anak itu bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke gereja untuk mengaku dosa dan menerima Tubuh Kristus. Ketika novena itu masih berlangsung dia masih merasa sakit tetapi setelah novena itu selesai dia benar-benar telah sembuh dan sangat mengejutkan dokter yang merawatnya.

Kedua penyembuhan itu, setelah diuji dan kemudian diuji lagi oleh para ahli yang ditunjuk oleh Tahta Suci, akhirnya diterima sebagai mukjizat-mukjizat yang nyata. Sekarang yang diperlukan adalah persetujuan dari para Cardinal dan dewannya dan ketika hal itu dibawa ke Bapa Suci pada tanggal 30 November 1938, Maria dinyatakan sebagai Yang Berhagia (Blessed). Jenazahnya sekarang telah dipindahkan dari Nizza ke Basilika Bunda Maria Penolong Umat Kristiani di Turin.

Devosi yang ditujukan kepadanya berkembang dengan pesat. Hal itu menjadi pertimbangan untuk mengusulkan kepada Tahta Suci untuk memulai proses canonisasi. Membutuhkan dua mukjizat lagi melalui permohonan yang ditujukan kepada Maria setelah Beatifikasinya.

Mukjizat yang pertama terjadi pada penyembuhan yang dialami oleh Suster Maggiorina Avalle, salah seorang suster FMA, yang lahir pada tanggal 27 Mei 1916 di Montebone. Dia mulai terserang penyakit pada bulan Maret 1934, dan secara bertahap terjadilah komplikasi pada bagian-bagian yang lain. Keadaannya semakin memburuk mulai tahun 1939 dan 1940 sampai akhirnya tidak ada harapan kesembuhan lagi dan akhirnya menerima Sakramen Pengurapan orang sakit.

Pada malam tanggal 14 Agustus, dia mengalami suatu kesembuhan yang tiba-tiba dan tidak terduga dan mulai saat itu keadaannya mulai membaik dengan cepatnya sehingga pada pagi hari tanggal 16 Agustus, dia bisa bangkit, dan pergi ke gereja dan tidak pernah beristirahat sampai sore hari. Ketika dokter yang merawatnya datang, dialah yang menyambutnya di pintu.

Dia hanya mengungkapkah bahwa pada tanggal 14 Agustus malam, dia meminta suster penjaga Infermaria untuk membawakannya reliqui dari Blessed Maria Mazzarello dan dikenakan di badannya.

Semuanya terserah engkau, Blessed Maria!” katanya, kemudian menambahkan, Tuhan, jika Engkau ingin memuliakan hamba-Mu Blessed Maria, sekaranglah waktunya untuk menunjukkannya!”

Mukjizat penyembuhan yang kedua terjadi pada si kecil Ciancaria Ramponi Castano Primo yang berasal dari Keuskupan Agung Milan. Pada tanggal 19 November 1945, dia mulai menunjukkan gejala kejang uremia, melemahnya fungsi hati dengan komplikasi yang serius dan radang buah pinggang yang parah. Keadaannya semakin memburuk dan pada tanggal 20 November, semua harapan akan kesembuhannya sirna. Pada jam tiga sore superior dari komunitas lokal FMA tiba, menaruh reliqui dari Blessed Maria Mazzarello dan mendoakannya.

Pada jam lima lewat tiga puluh, dokter yang bertugas merawatnya menyatakan bahwa semua hasilnya adalah negatif dan ia hanya hanya dapat bertahan beberapa menit saja. Para suster dan orang-orang yang berada di sekeliling tempat tidurnya terus berdoa.

Pada jam enam, perubahan yang tiba-tiba terjadi pada kondisi anak itu. Kejang-kejangnya telah berhenti, warna kulitnya menjadi normal dan nafasnya mulai teratur. Pada jam sembilan, dokter yang merawatnya datang dan merasa kagum pada perubahan yang terjadi pada anak itu tidak hanya menyangkut keadaan badannya tetapi lebih dari itu detak jantungnyapun telah kembali normal. Dari peristiwa penyembuhan yang terjadi ini sang dokter dan spesialisnya meyakininya sebagai sebuah mukjizat.

Setelah diadakan banyak penyelidikan terhadap penyembuhan itu dengan teliti dan jeli oleh para ahli yang telah ditunjuk oleh Tahta Suci, mereka akhirnya menerimanya sebagai bukti atas persetujuan Ilahi. Pada tanggal 24 Juni 1951, Paus Pius XII, mengumumkan Maria sebagai seorang Santa.


Warisan yang ditinggakan Maria tidak dihabiskan secara sia-sia. Beberapa warisan berada ditangan orang-orang yang cakap dan berpengalaman dalam hal administrasi, hal-hal itu—spiritual, jasmaniah dan jumlah anggota—diatur dengan kesungguhan dan kepercayaan pada penyelengaraan Ilahi yang akan melipatgandakan hingga beratus-ratus kali.

Perkembangan jumlah anggota yang telah mengikrarkan kaul berlangsung sangat cepat pada tahun 1875 baru sekitar 41 orang; tahun 1895 ada 1014 orang; pada tahun 1925 berjumlah 4699; pada tahun 1950 berjumlah 11.645 dan pada tahun 1970 berjumlah 18.088. Dengan peningkatan jumlah anggota ini berarti pula bahwa karya-karya kerasulan yang harus mereka perhatikan juga bertambah, yang meliputi: sekolah-sekolah, rumah yatim piatu, penginapan-penginapan untuk kaum muda, pusat-pusat perkumpulan anak muda dan tempat kursus-tempat kursus dan beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan tindakan amal, semuanya diperhatikan, dan kalau memungkinkan semua hal itu ditujukan demi pelayanan kepada orang-orang yang miskin dan terlantar.

Batas-batas wilayah kerasulan mereka menyebar dengan cepatnya hingga mencakup hampir seluruh Italia dan beberapa negara di Eropa. Daerah kerasulan berikutnya adalah Amerika Selatan dan kemudian Timur Tengah dan Timur Jauh...... Pada saat ini spiritualitas yang dimiliki oleh anak-anak Maria dapat ditemukan:

Di daerah sekitar Andes, yang berusaha mengajar membaca dan menulis bagi para kamu Indian; merawat penderita penyakit kusta di Agua de Dios di Colombia; bekerja di antara suku Onas dan Alaculufes di Tierra del Fuego; mengajar Kathekismus di bawah pohon-pohon pisang di Zaire, atau mengajar jahit di Mozambique; memperhatikan manusia perahu di Hong Kong; mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di Khasi, India Utara atau mengajar Grammar bagi orang-orang pinggiran di Manhattan; memperhatikan anak-anak dari kaum Gypsi di Limerick, Irlandia; mengeluarkan sebuah majalah untuk menunjang kesuksesan bagi wanita di Italia; memperhatikan pusat bimbingan Psikologi bagi anak-anak di Roma; dan memperhatikan ratusan lembaga pendidikan di seluruh dunia.

Tidak ada satu jenis pekerjaan atau bentuk-bentuk pekerjaan yang asing bagi mereka .”—komentar Paus Pius IX.

Bagaimana mereka harus bersusah payah mengembangkan usaha menjahit mereka yang hanya terdiri dari beberapa mesin jahit dengan ruangan yang sempit di daerah yang terpencil dan harus berhadapan dengan dunia yang sudah mempunyai jaringan kerja yang luas dengan sistem operasional yang sangat komplek! Tetapi dengan usaha yang terus menerus akhirnya tercipta juga benang emas keberhasilan—suatu keinginan untuk melakukan semuanya demi cinta kasih Tuhan. Lebih daripada itu, seluruh karya itu dilakukan dengan tujuan yang sama, senyum persahabatan yang sama dan semangat yang sama yaitu mati raga dan cinta kepada sesama seperti yang selalu Maria ungkapkan kepada para susternya yang pertama dan yang kemudian ia sebut dengan kesederhanaan yang khas, “ Semangat dari Mornese.”


* Sebuah cerita sedih pendek ini berakhir dengan kebahagiaan. Pada tanggal 22 Oktober 1951, Ibu Suprior Jenderal, ditemani oleh beberapa orang suster dan beberapa orang terkemuka di sana, kembali ke Mornese untuk membantu membuka kembali dan memberkati sebuah rumah dan kapel yang baru saja diperbaharuhi. Rumah itu akan digunakan untuk menampung anak-anak yatim piatu dari kelompok carabinieri dan Polisi Nasional, yang terbunuh semasa perang. Pada kesempatan itu dipertunjukkan dua buah drama asli yang di susun oleh Bapak Walikota sebagai penghormatan atas karya pertama mereka di Mornese.

162