7—Mornese Membuat Sejarah


7—Mornese Membuat Sejarah


KOMUNITAS SALESIAN DON BOSCO

TIGARAKSA





PERJALANAN MENUJU SURGA

(Riwayat Hidup Santa Maria Mazzarello)














Diterjemahkan dari buku:

Halfway to Heaven

By. Peter Lappin


Oleh Para Postulan angkatan 2003—2004








Copyright: SDB Tigaraksa



Kata Pengantar



Berkat di dalam Tindakan



Kami telah menghancurkan kepausan!” mereka berteriak.

Kami telah menghancurkan Gereja Katholik Roma!” kata mereka dengan lebih bersemangat.

Marilah kita jadikan setiap jahitan yang kita buat, ”bisiknya kepada temannya, “sebagai bentuk persembahkan cinta kita kepada Tuhan.”

Pernyataan-pernyataan di atas terjadi pada saat dan tempat yang sama tetapi dilakukan oleh orang-orang yang sangat berbeda dengan maksud dan tujuan yang berbeda pula.

Pada tahun 1855, Parlemen Kerajaan Piedmont sedang mengalami luapan kegembiraan. Penyebabnya adalah adanya perdebatan tentang masalah: Apakah pemerintah harus mengesahkan undang-undang yang akan memaksa tempat-tempat pertapaan dan biara-biara dan mengambil alih bangunan-bangunan dan barang-barang milik mereka, ataukah menolaknya? Perdebatan itu muncul karena di antara para anggota parlement sendiri terpecah antara yang masih setia dengan gereja dan pemerintah. Benso Camillo dari Cavour dan Urban Rattazzi, yang telah mempersiapkan dan mendorong rancangan undang-undang sejauh ini, mendengarkan dengan puas ketika ujung tombak mereka, Joseph Siccardi, membual dengan menentang “pelecehan-pelecehan dan kebohongan-kebohongan, tetapi lebih dari itu borok dari lembaga religius yang terjadi pada saat itu ketika negara sedang berjuang hidup-mati demi kebebasan.” Tuduhan yang terakhir ini ditujukan kepada para pendukung Bapa Suci, yang oleh kelompok antiklerik telah dituduh sebagai musuh kemerdekaan.

Ketika usulan itu benar-benar disahkan maka hal itu mempunyai arti yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda pula. Bagi beberapa orang hal itu berarti berakhirnya pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh kelompok religius; bagi yang lainnya hal itu berati satu langkah lagi terhadap penghacuran Kepausan dan terutama kepada Gereja.

Akibat dari usulan itu adalah dibubarkannya 34 tarekan religius, ditutupnya 334 rumah para religius dan tercerai berainya 5456 religius.

Meskipun demikian di sebuah sudut yang kurang terkenal di provinsi itu, di sebuah desa yang sangat kecil yang bahkan sangat sedikit dari para anggota parlement yang pernah mendengarnya, yang tidak pernah tersentuh sejarah, tidak pernah melahirkan pahlawan seorang-pun, yang tidak pernah memberikan perubahan. Tetapi kita bisa mencatat bahwa ada seorang gadis petani yang bergabung dengan empat gadis petani yang lainnya yang membentuk sebuah kelompok yang kecil yang mempunyai tujuan tidak lebih dari pada keinginan mereka untuk tidak terikat pada kehidupan dunia tetapi berusaha untuk sedapat mungkin terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan.

Marilah kita meyakinkan bahwa setiap jahitan yang kita buat akan kita lakukan demi cinta kita kepada Tuhan.” Hal ini, dan juga keinginannya untuk membantu anak-anak, merupakan keinginannya yang terbesar.

Tetapi gadis inilah yang terpilih untuk memainkan suatu peranan yang penting dalam meruntuhkan kecongkakkan-kecongkakkan yang diakibatkan oleh Undang-undang Siccardi.

Dengan bertambahnya waktu, kelompok kecilnya itu terus berkembang sampai akhirnya sang gadis petani ini menjadi seorang pemimpin dari sebuah kelompok yang sayapnya terbentang hampir ke seluruh penjuru dunia. Di bawab sayapnya itu; ribuan orang miskin, anak-anak perempuan yang terlantar dan tidak mempunyai rumah akan menemukan tempat untuk berteduh, tidak hanya mendapatkan tempat yang nyaman, tetapi juga kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup mereka sebagai seorang wanita yang bermartabat.

Dia bisa menjadikan dirinya sebagai wahana di mana Tuhan bisa mencurahkan rahmatnya, dengan cara berusaha untuk memenuhi rahmat itu. Oleh karena itu dia selalu menyediakan seluruh waktunya kepada wahyu Ilahi dan dia akan merasa sangat sedih jika menghabiskan waktu limabelas menit tanpa berpikir tentang kehadiran Tuhan. Meskipun tidak memiliki pendidikan yang tinggi ataupun pengetahuan yang luas, tetapi melalui kerendahan hatiannya, dia dapat dipercayakan untuk memikul tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sekarang dia telah berdiri dalam sebuah tradisi yang kuat di antara “orang-orang yang kecil” berkat penyelenggaran Ilahi yang selalu muncul di sepanjang kehidupan gereja di mana “yang terkecil di antara semuanya” bisa mengemban tugas-tugas yang terhormat dan karya-karya yang mengagumkan.

Bunga kecil itu menunjukkan keindahannya yang luar biasa ketika dia berkata, “Tuhan tidak membutuhkan bantuan manusia, terlebih orang seperti saya ini.”

Hal yang membuat Maria tidak begitu terkenal bukanlah karena ia tidak mempunyai pengaruh baik kepada kaum muda maupun orang tua di seluruh dunia, tetapi seperti yang dikatakan oleh Paus Pius XI, bahwa ciri khas dari seluruh hidupnya adalah keinginan untuk tetap berada di balik panggung atau seperti yang ia sendiri katakan, ”untuk tetap tidak dikenal kecuali oleh Tuhan.”

Bagimanakah kita bisa meneladani Maria Mazzarello supaya bisa membantu dalam kehidupan kita sehari-hari?

Santo Agustinus meninggalkan kepada kita pendapat yang patut kita ingat yang menyangkut kekuatan dari rahmat. Si iste et ille, cur non ego? Katanya. “Jika orang ini atau itu bisa menjadi seorang santo, mengapa saya tidak?” Atau, mengutip kata-kata dari Santo Thomas More, “Dengan rahmat Tuhan, saya bisa terus maju.”

Rahmat telah membantu membentuk seorang gadis petani yang tidak terkenal menjadi seorang santa yang terkenal dan mempunyai pengaruh di seluruh dunia. Apakah ada batasan-batasan yang bisa Ia lakukan untuk kita?

Kehidupan Maria mungkin telah mempengaruhi orang-orang yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Kepeduliannya kepada kaum muda—kecintaannya kepada kemiskinan dan juga pada orang-orang yang miskin—pencariannya untuk menemukan jiwa-jiwa yang bermurah hati mau melayani Tuhan melalui agamanya—penyerahan diri yang total kepada orang lain.....satu atau bahkan mungkin lebih dari sikap-sikapnya itu mungkin telah mempengaruhi beberapa orang di antara kita. Tetapi apa yang seharusnya mempengaruhi kita semua adalah kepercayaan totalnya kepada penyelengaraan Ilahi.

Hidupnya merupakan salah satu bukti lagi—jika bukti seperti ini dibutuhkan—Tuhan selalu siap dengan berkatnya untuk selalu membantu kita mengatasi rintangan-rintangan yang ada, bersama atau tanpa kita, yang akan menganggu jalan kekudusan dalam kehidupan kita. Dia tidak akan pernah mentulikan telinganya bagi setiap orang memanggilnya, tidak akan bernah menghianati setiap orang yang percaya kepada-Nya.














BAGIAN PERTAMA

Semangat Dari Mornese

























1—Tidak Ada Sesuatu Yang Pernah Terjadi Di Mornese



Pada usia yang masih sangat muda, Maria Mazzarello sangat menyukai telur mentah, keju buatan sendiri dan krim susu segar.

Karena tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan itu dengan cara yang wajar, dia terpaksa mencari cara di luar kebiasaan mereka untuk memuaskan keinginannya itu. Dia akan berkeliling kebun dan memungut telur-telur dari bawah induk-induk ayam, menaruhnya ke dalam sebuah keranjang dan membawanya kepada ibunya.

“Lihat apa yang telah saya temukan di kebun!” katanya kepada ibunya. Mengira bahwa puterinya telah menemukan telur-telur yang berceceran di kebun, ibunya biasanya akan segera menyalahkan induk-induk ayam itu. “Meninggalkan telur-telur di sembarang tempat!” omelnya. “Mengapa ayam-ayam itu tidak bertelur di sarangnya?” Dia memuji puterinya yang pintar dan yang telah mengumpulkan telur-telur yang berserakan itu.

Namun, Maria tetap berdiri di sana, sampai ibunya menyadari hal itu.

“Apa yang masih kamu tunggu?” tanyanya.

Tidakkah Ibu akan memberikan sesuatu karena saya telah memungut telur-telur itu?”

Tentu saja!” ibunya menanggapi. “Ambillah telur ini sebagai hadiah karena engkau telah menjadi seorang anak yang baik.”

Pada suatu kesempatan, ibunya menyiapkan beberapa bola-bola kecil dari keju, kemudian menaruhnya di atas meja untuk dikeraskan. Lalu, Maria menggoyang meja itu dan menarik kain penutupnya, sehingga mengakibatkan beberapa bola-bola keju tersebut jatuh ke lantai. Sebelum ibunya kembali untuk membereskan segala sesuatu yang ada di atas meja itu, Maria telah memuaskan dirinya dengan memakannya. Hal ini seringkali terjadi dan si kucinglah yang biasanya disalahkan.

Pemuasan akan kegemarannya pada krim susu segar merupakan hal yang paling gampang untuk dipenuhinya. Yang harus dia lakukan hanyalah berjalan melalui bak penampungan susu dan kemudian menggunakan sebuah sendok kayu atau kalau perlu hanya mengunakan dua jarinya, dan dia sudah bisa mencicipi barang yang lezat itu. Bagaimana cara memuaskan keinginannya terhadap barang-barang itu bukanlah merupakan suatu hal yang menjadi masalah bagi Maria.

Walaupun harus menanggung beban tambahan untuk menjaga anak-anaknya, Maddalena Mazzarello memastikan bahwa anak perempuan sulungnya mendapatkan pelajaran katekismus dan bagaimana cara mengaku dosa—sesuatu hal yang sangat menjengkelkan bagi Maria. Namun, sebelumnya dia harus yakin bahwa Maria benar-benar memahami apa yang telah pastor katakan dalam kotbahnya dan saat itulah Maria mengalami kesulitan yang serius dalam menghayati agamanya.

Ibu mengajak saya ke gereja setiap Hari Minggu dan memastikan bahwa saya mendengarkan kotbah itu. Ketika kami kembali ke rumah atau pada saat kami berdua saja, dia selalu mengejar saya dengan pertanyaan-pertanyaan. “Apakah engkau ingat apa yang telah dikatakan oleh pastor tadi?” “Apakah engkau mengerti apa yang dikatakannya?” dan seterusnya. Jika saya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pastor itu maka dia akan menjelaskannya kepada saya. Bukan hanya sekali. Saya harus mengakui bahwa mendengarkan kotbah adalah sesuatu yang sangat membosankan – mungkin karena saya tidak mengerti apa yang mereka katakan – maka ketika lonceng berbunyi pada malam hari sebelum hari Minggu atau pada malam hari sebelum hari-hari pesta Gereja, hal itu menjengkelkan saya karena mengingatkan saya akan kotbah-kotbah itu ... Kadang-kadang saya tidak mau pergi ke gereja tetapi Mama tidak akan membiarkan saya melakukan hal itu.

Kotbah-kotbah pada masa itu merupakan sebuah tantangan bukan hanya untuk anak-anak saja tetapi juga untuk orang yang lebih tua. Kotbah-kotbah itu seperti sesuatu hal yang tidak akan pernah berakhir dan hanya mendatangkan kebosanan dan selalu dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang sulit dipahami. Para pengkotbah itu juga sering mengutip kata-kata dari bahasa Latin, walaupun hanya dimengerti oleh pengkotbah itu sendiri, dan hanya supaya bisa menaikkan gengsi dan wibawa mereka.

Kotbah-kotbah itu selalu diulang kembali ketika Maria ingin pergi bersama teman-temannya.

“Tidak. Kamu tidak boleh pergi dari sisiku.”

“Tetapi mengapa, Mama?”

Apakah engkau tidak ingat apa yang dikatakan oleh pastor minggu yang lalu dalam kotbahnya? Di dalam kotbahnya itu, Pastor mengatakan bahwa orangtua mempunyai tugas untuk mengawasi anak-anaknya dan menjadi tugas bagi anak untuk patuh pada orang tuanya.”

Mengapa engkau selalu mengulangi kotbah itu kepada saya, Mama?”

Supaya kamu tidak melupakannya. Seorang anak perempuan yang ingin tumbuh menjadi gadis yang baik supaya disenangi Tuhan, harus mau mendengarkan kotbah-kotbah. Dari kotbah-kotbah itu dia akan belajar untuk menjadi patuh dan tidak akan pernah pergi meninggalkan orang tuanya.”

Maria segera menemukan cara agar bisa mempertahankan diri dari pertanyaan-pertanyaan ibunya. Selama kotbah, dia memaksa dirinya untuk tidak mendengarkan dan membiarkan dirinya sendiri tertidur! Bagaimana dia diharapkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kotbah itu, sedangkan dia sendiri tidak mendengarkannya?

Hal lain yang tidak Maria sukai pada praktek hidup beragama adalah tentang sikap pamer. Karena ada suatu kebiasaan bahwa anak-anak dari suatu keluarga dapat tinggal untuk beberapa waktu dengan keluarga lain, maka Maria pun pergi dan tinggal dengan keluarga Bodrato yang tidak mempunyai anak. Ketika dia pergi, ayahnya segera merindukannya dan atas desakannya, Maria segera kembali ke rumah. Dia bercerita kepada orang tuanya bahwa praktek agama keluarga Katharina Bodrato tidak menarik baginya. Katharina berdoa dengan kata-kata yang panjang dengan mengunakan doa-doa resmi di gereja dan agak memamerkan hal tersebut. Maria mengakui bahwa dia lebih menyukai kesalehan beragama yang hangat dan sederhana seperti yang ia temukan di rumahnya.

Kemudian ibunya membawanya untuk mengikuti pelajaran katekismus yang diberikan kepada anak-anak setelah misa, pada saat yang pertama dia duduk di bangku yang paling sudut sambil mendengarkan dengan mata dan mulut terbuka lebar. Tetapi pada saat pertama kali dia ditanyai, pastor itu terkejut atas jawaban yang jelas yang dia berikan dan juga pemahamannya akan apa yang telah dikatakan.

Suatu pertanyaan yang seringkali dia lontarkan adalah “Siapakah Tuhan itu?” Jawaban-jawaban yang diberikan tidak pernah memuaskan dia. Pada suatu saat dia mendekati ayahnya dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang Tuhan kerjakan?“

Dia menciptakan seluruh bumi, saya serta kamu termasuk di dalamnya.”

Dan sebelum Dia menciptakan seluruh bumi apa yang Ia lakukan?”

Dia merenungkan diri-Nya, Dia mencintai diri-Nya dan Dia memuja diri-Nya.” Masih merasa bingung, Maria menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika dia ingin tahu lebih banyak lagi, ayahnya tidak bisa menjawabnya lagi. Semua jawaban yang diberikannya itu merupakan hasil dari apa yang telah diterimanya pada saat belajar katekismus dan merupakan batas pemahamannya.

Walaupun demikian, Maria tetap mempertahankan pertanyaan-pertanyaan ini di dalam pikirannya dan hal ini menimbulkan semangat untuk berusaha mencari jawabannya dan semakin menumbuhkan cintanya kepada imannya.

Pada kelas katekismus inilah dia dengan perlahan-lahan membuang rasa malunya dan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pastor dengan begitu cepat sehingga pastor itu menyuruhnya mengikuti lomba untuk mendapatkan hadiah-hadiah kecil yang diberikan kepada mereka yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Dia berhasil menjawab dengan sangat baik dan sering memenangkan hadiah-hadiah tersebut sehingga sejak saat itu pastor itu mulai menjadikannya sebagai teladan.

“Bagaimana caranya”, pastor itu bertanya, “seorang gadis kecil yang tinggal di desa dan tidak selalu hadir dalam pelajaran, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih baik daripada kalian? Kalian bahkan tidak bisa mengulang doa-doa itu, sementara dia malahan bisa menyanyikannya seperti burung.”

Keberhasilan Maria ini membuatnya menaikkan sasarannya. Dia mencoba meraih “penghargaan” pada saat perlombaan antara anak laki-laki dan perempuan yang terpandai yang diadakan pada setiap hari minggu. Dia menjuarainya pada usaha pertamanya dan mulai saat itu ia selalu menjadi juara. “Saya harus menang atas siapapun juga!” katanya. “Meskipun mereka anak laki-laki, saya tidak takut pada mereka. Saya akan mengalahkan mereka!”

Suatu saat, dia dan sahabatnya Petronilla bersama-sama memenangkan hadiah dan “penghargaan” itu. Hadiahnya adalah sebuah buku yang pastor berikan kepada Maria.

Bagilah buku ini di antara kalian” katanya.

Namun, karena begitu bersemangat untuk menang dan untuk mempelajari buku itu, Maria tidak membagi hadiah itu dengan kawannya. Dia menyimpan buku itu untuk dirinya sendiri.

Keinginan-keinginan Maria begitu kuat, sehingga memerlukan kehendak yang kuat untuk mengendalikannya.

Maria sebenarnya tidak dIlahirkan di desa Mornese. Untuk bisa sampai ke daerah kelahirannya seseorang harus melalui sebuah jalan kecil, berliku-liku di sebelah timur sepanjang pinggiran lembah yang dikenal dengan nama ‘tiga frazioni’, atau dusun Mornese. Ketiga dusun kecil itu diberi nama Mazzarelli di quá, Mazzarelli di lá, dan Mazzarelli di mezzo: yang berarti Mazzarelli di sini, Mazzarelli di sana dan Mazzarelli di tengah. Pada Mazzarelli di sini, terdapat sebuah jalan kecil yang mengarahkan ke sebuah rumah yang tinggi dan berwarna putih, berbentuk bujur sangkar dan bertingkat tiga.

Di rumah inilah pada tanggal 9 Mei 1837, satu tahun setelah wabah pes, Maria Domenica Mazzarello lahir dan pada hari yang sama dia dibaptis di gereja paroki Santo Nicolas dan Silvester.

Di sini Joseph Mazzarello, ayahnya, tinggal bersama isterinya dan dua orang saudaranya. Ketika salah satu saudara laki-lakinya beserta isterinya meninggal akibat wabah pes, dia mengadopsi salah satu dari dua anak-anak perempuannya, yaitu Domenica, yang pada saat itu berusia 12 tahun, sementara saudara laki-lakinya yang lain mengadopsi adiknya.

Orang tua Maria tinggal di bagian tengah bukit yang memiliki jalan yang menuju ke barat. Maria bisa melihat di belakang empat pohon pir yang besar, gereja kampung tersebut, dan di bagian timur kira-kira dua ratus meter, sebuah kapel yang dipersembahkan kepada Bunda Maria Penolong Umat Kristiani dan St. Laurensius sebagai ucapan syukur karena telah terhindar dari keganasan wabah penyakit pes.

Ayah Maria adalah seorang Piedmontese, kuat dan kurus karena harus bekerja keras di ladang. Penghayatan keagamaan yang mendalam, yang tidak mau berkompromi dengan perbuatan yang menyebabkan dosa baik melalui tindakan maupun kata-kata. Seperti halnya setiap orang dari Piedmontese dia juga mempunyai bakat untuk berbisnis.

Ibunya, Maddalena Calcagno berasal dari tempat yang tidak jauh dari situ yaitu Tramontana. Kehidupan keagamaaan orang-orang di Tramontana sama baiknya, mempunyai sifat menuruti suasana hati, emosinya yang meledak-ledak, dan cerdas dalam berpikir. Kedua orang itu sangat dihargai oleh penduduk di Mornese.

Dua tahun kemudian anak yang lain lahir dari pasangan Joseph dan Maria, namanya Maria Felicina. Hubungan antara Maria dan Felicina terjalin akrab semenjak dia dIlahirkan, Felicina selamanya ada di dalam hati Maria sebagai, la piccina, “si kecil,” seperti Maria yang bagi ibunya akan selalu menjadi Main atau “Maria kecil.”

Karena keluarganya sedang berkembang dan karena dia mampu melakukannya, maka Joseph memutuskan untuk membangun sebuah rumah yang lebih besar. Setelah pembagian yang adil dari warisan keluarga pada tahun 1843, dia menyewa satu dari rumah-rumah milik Marquis Doria, di mana dia juga telah menyewa kebun anggurnya.

Rumah baru mereka terletak di tepi lembah yang berlawanan dengan tiga Mazzarelli. Tempat itu dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam dari desa itu, tetapi dengan cara memotong jalan melewati hutan dan ladang, jarak itu dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.

Karena rumah itu memiliki nama La Valponasca, sejak saat itu Joseph dikenal dengan sebutan Joseph dari La Valponasca dan Maria dikenal sebagai Maria dari La Valponasca, hal ini dapat membantu dia untuk membedakan dari Maria-Maria yang lainnya dan juga dari Mazzarello-Mazzarello lainnya yang ada di desa itu.

Antara tahun 1845 dan 1859 sebanyak lima anak lagi lahir dalam keluarga Mazzarello: Dominic pada tahun 1846, Maria Phillomena pada tahun 1848, Yoseph pada tahun 1850, Assunta pada tahun 1852 dan Nicola pada tahun 1859.

Di antara penduduk desa keluarga Mazzarello terkenal karena semangat kesalehannya dan ketaatan mereka dalam melaksanakan tugas-tugas keagamaan mereka. Mereka juga menunjukkan kedekatan di antara para anggota keluarga, karena mereka tinggal di luar desa dan mereka juga harus mencari hiburan di rumah mereka sendiri. Selain itu, setiap orang yang dapat bekerja harus bekerja. Maria sendiri mempunyai cukup banyak pekerjaan selain masih harus membantu ibunya yang harus mengurus anak-anak di rumah atau di tempat lainnya, atau membantu ayahnya di ladang.

Keadaan lingkungan yang seperti itu membuat Maria bisa tumbuh menjadi seorang gadis desa yang sehat yang mempunyai kaki yang cukup kuat bahkan untuk berjalan tanpa alas kaki menelusuri ladang dan kebun anggur. Matanya coklat, tajam dan penuh kehidupan, yang terpancar pada saat dia bergembira, dan hal itu sering kali terjadi. Di samping sifat-sifatnya yang rajin dan jujur itu wajahnya juga mudah memerah ketika dia merasa malu atau kapanpun dia berusaha untuk mencegah watak aslinya itu muncul. Kekerasan sifat yang ada di dalam dirinya, ditutupi dengan sifat-sifat yang lembut, sering tersentum dan murah hati.

Walaupun Maria merupakan bantuan yang sangat besar bagi ibunya di rumahnya dan untuk mengurus adik-adiknya, ketika Fellicina sudah cukup dewasa untuk mulai mengambil alih tugasnya di rumah, Maria lebih suka bekerja dengan ayahnya di ladang.

Ayahnya tidak pernah membiarkan Maria pergi keluar seorang diri, namun dia selalu bahagia melihatnya berada sampingnya dan ketika Maria bekerja dengan ayahnya, tidak ada seorang pun yang berani menyindirnya. Kadang-kadang dia mendengar para pekerja berbicara dan tertawa tentang suatu hal, tetapi ayahnya akan berseru dan para laki-laki itu akan segera diam. Dia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa walaupun dia hanyalah seorang gadis kecil tetapi dia dapat berguna bagi ayahnya. Dia menunjukkannya dengan cara membantunya pada saat hitung menghitung karena ia ternyata mempunyai kemampuan menghitung cepat dengan mengunakan jari-jarinya. Lebih dari sekali, dengan menghitung dengan benar, ia telah menyelamatkan ayahnya dari perasaan malu pada saat membayar para pekerja, pada saat jual-beli hasil ladangnya atau pada saat membayar pajak. Ayahnya membalas jasanya itu dengan mengajarkannya beberapa bagian dari katekismus yang tidak bisa diajarkan oleh ibunya, dan sedapat mungkin mengajarkannya membaca.

Ketika ia tumbuh dewasa, dia dikenal sebagai seorang gadis pekerja keras, mampu mengatur hal-hal di rumah maupun di ladang.

Hal ini memang benar. Di ladang, dia dapat melampaui pekerjaan kaum laki-laki upahan ayahnya. Pada awalnya hal itu membuat ayahnya begitu gembira karena sejak saat itu para pegawainya bekerja dengan lebih keras supaya tidak dikalahkan oleh gadis kecil itu! Namun pada akhirnya, bagaimana pun juga ayahnya menyarankan untuk bekerja lebih pelan.

Masih ada hari esok.” Kata ayahnya. “Selain itu saya sedikit kuatir bahwa para pekerja itu tidak akan mau bekerja kepadaku lagi karena mereka akan dipermalukan oleh anak gadisku!”

Maria mencintai ayahnya dan sebaliknya. Ayahnya sering mengajaknya pergi ke pasar biasa atau pasar malam. Dengan kepercayaan seorang anak, dia memegang tangan ayahnya dan tidak mau melepaskansupaya dia tidak terpisah dari ayahnya di tengah keramaian. Ketika dia melihat dan mendengar apa saja yang ada di sekelilingnya, terpesona oleh beberapa gambar dan suara, ayahnya selalu berhati-hati untuk selalu menjaga kemurnian pikirannya dan berusaha memastikan bahwa Maria bertindak selayaknya seorang gadis muda.

Kapanpun mama menyuruh kami untuk melakukan sesuatu,” kata Maria mengingatnya, “dia selalu memberikan alasan-alasan untuk mendukung apa yang dia inginkan. Papa mempunyai pendekatan yang berbeda. Dia hanya mengatakannya sekali dan mengharapkan kami mematuhinya.”

Meskipun ayah mempunyai sifat yang keras tetapi pada dasarnya ia sangat mencintainya, kadang-kadang bahkan sampai berlaku boros. Pada suatu kesempatan pada saat mereka sedang berada di pasar malam, mereka melewati sebuah kios yang menjual sepatu. Sepasang sepatu berwarna hitam yang baik, dengan kancing yang bagus sangat menarik perhatian Maria dan dia mengoyang tangan ayahnya, meminta untuk dibelikan sepatu itu. Diam-diam, ayahnya merasa sangat bahagia melihat anak perempuannya itu memperlihatkan sepatu yang mahal tersebut kepada teman-temannya.

Keinginan Maria yang kuat untuk mendapatkan sepatu itu menunjukkan keinginannya supaya mendapatkan pengakuan dari teman-temannya.

Dia suka memakai baju sebaik mungkin dan hal itu berarti selalu sedikit lebih baik daripada anak-anak lainnya. Akhirnya dia mendapatkan julukan bula, atau seseorang yang membuat orang lain terkesan melalui tindak-tanduknya, penampilannya dan sikapnya.

Berapa banyak aku berhutang perhatian ayah kepadaku!” belakangan Maria mengatakannya. “Jika ada sesuatu yang baik dapat ditemukan di dalam diri saya, hal itu berkat ayahku! Melalui kejujurannya, lewat caranya berbicara kepada saya, lewat perbuatannya setiap saat, dia dapat dibandingkan dengan orang kudus. Setelah masa-masa berikutnya barulah saya mengerti dan hal itu menyebabkan saya lebih bersyukur lagi kepadanya.”


Di bagian selatan dari daerah yang sangat luas, di suatu tempat yang sangat subur karena terdapat sungai Po, terletak daerah yang bernama Monferrato atau Bukit-Bukit Besi yang terkenal dengan udaranya yang sangat dingin. Tempat ini terletak di kaki Pegunungan Appeninnes yang menghadap ke pantai Liguorian. Bukit yang naik-turun itu seperti sebuah gelombang samudera yang sedang dilanda badai dengan ketinggian mencapai 5.000 kaki di Gunung Elisa. Pada salah satu puncak dari suatu gelombang pegunungan itu, terdapatlah sebuah puncak dengan ketinggian seribu kaki di atas permukaan laut dan di situlah terletak desa Mornese. “Di atas permukaan laut” adalah ungkapan yang pantas. Jikalau dilihat dari suatu jarak tertentu, desa itu memberi kesan seperti sebuah perahu di atas suatu puncak gelombang yang besar, dengan puncak menara gerejanya seperti sebuah jembatan dan hijaunya tanah berumput seperti gelombang yang mengalir, memberi kesan surutnya lautan. Satu-satunya jalan yang menghubungkannya dengan dunia luar adalah jalan yang sempit dan memutar dari Ovada, stasiun kereta api terdekat, yang memotong desa itu menjadi dua dari utara ke selatan. Jalan ini juga terpotong oleh satu-satunya jalan milik penduduk desa itu. Karena Mornese dibangun di atas bukit, maka tanah yang datar berharga sangat mahal. Mornese sangat kacau karena penuh lekukan, tikungan-tikungan, sudut-sudut, jalan-jalan setapak dan lereng-lereng, di mana air akan langsung mengalir ke jalan-jalan. Di Mornese, seseorang akan berjalan naik bukit atau turun bukit.

Tidak ada tempat umum untuk hiburan dan hanya ada rumah-rumah kecil dan beberapa toko-toko kecil yang menjadi ciri khas Mornese dan sebagai sumber berita bagi seribu dua ratus penduduknya perihal dunia luar adalah apa saja yang mereka dengar di pasar dekat Casalegno, Lerma dan Reccagrimaldi, atau dari para pengumpul pajak dari Ovada, yang berjarak 11 atau 12 km ke arah barat, yang biasanya datang untuk mengumpulkan pajak dari para pembuat ubin, penjual tembakau, pembuat kertas, perusahaan bubuk mesiu, dan pembuat kaca. Sedangkan berita-berita yang berhubungan dengan Gereja biasanya datang dari Acqui, 23 km ke arah timur laut di mana terdapat Istana Keuskupan Diosesan Acqui.

Jalan pintas di desa mendaki ke arah kanan sampai mencapai kaki dinding-dinding yang kokoh, gelap dan suram dari Benteng Dorio yang melindungi para penghuninya. Ke arah kanan akan memotong Via Chiesa yang dapat dilewati dengan pendakian melintasi sebuah lapangan kecil dan di tepinya berdirilah gereja paroki.

Bagian muka gereja itu memiliki keindahan gaya romawi dengan satu pintu tengah dan dua pintu samping serta sebuah menara lonceng yang tinggi di sebelah kirinya. Sebuah batu langka menutupi baik gereja atau lapangannya. Dari ketinggian lapangan itu, pada setiap Hari Minggu dan Hari-hari pesta orang-orang biasanya akan saling menukar berita sambil mengagumi keindahan latar belakang gereja itu yaitu sebuah jalan berbukit, kebun anggur dan kebun-kebun sayuran. Keretakan-keretakan yang dalam telah mengancam bukit-bukit itu, hal ini disebabkan baik oleh cuaca maupun oleh gempa bumi pada masa lalu. Bagian dalam gereja, mengikuti gaya pada saat itu, dipenuhi dengan dekorasi-dekorasi yang terpasang secara teratur. Sebuah kayu dari pohon Oak dipelitur dan ditegakkan di atas mimbar sebagai salib.

Mornese biasanya digambarkan sebagai terra arse e ferto, aperta al sole e al vento yang berarti “sebuah tanah yang terbakar dan kuat dan sangat terbuka terhadap sinar matahari dan hembusan angin,” dan keterbukaan inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya perubahan angin yang mendadak yang datang menyilang dari arah utara dan selatan.

Angin dari arah utara turun dengan panas dari letusan-letusan Gunung Alpine selama musim panas, sedangkan yang berasal dari selatan membawa kabut dari laut dan hujan. Musim dingin yang panjang dan tidak nyaman diiringi dengan turunnya salju yang sangat lebat. Tanah yang ada berasal dari endapan tipis lahar di mana tanaman bisa tumbuh, tetapi tidak cocok untuk tanaman-tanaman pertanian. Meskipun demikian tanah itu sangat cocok untuk sejenis anggur yang sangat bermutu yang dikenal dengan nama dulcetto, sebuah nama yang berarti sedikit manis meskipun anggur ini termasuk jenis yang tumbuh di daerah yang kering, dan merupakan sumber pendapatan utama penduduk di sana.

Para ahli sejarah menemukan kesulitan untuk mengetahui asal mula keberadaan daerah ini. Beberapa ahli mengadakan penyelidikan sampai pada zaman Romawi bahkan pada masa sebelum zaman Romawi. Beberapa ahli yang lainnya memperkirakan bahwa daerah itu berasal dari jaman Feodal pada abad pertengahan ketika para budak memberontak dari Tuan-tuan mereka, melarikan diri dari istana dan membangun rumah-rumah di sekitar daerah itu. Hal itu tidak pernah dicatat dalam sejarah karena daerah itu terletak di luar pusat kota dan hanya mendapat sedikit pengaruh dari beberapa kejadian-kejadian penting yang telah terjadi selama beberapa abad. Sejarah telah berlalu tanpa menyentuh daerah itu kecuali catatan naik turunnya harga anggur, kemarahan yang besar akibat naiknya pajak dan kejadian-kejadian yang lain yang muncul secara sporadis. Meskipun demikian kehadiran orang-orang Perancis di Piedmont memberikan suatu pengaruh yang penting untuk daerah terpencil itu, yaitu masuknya pengaruh Jansenisme. Orang-orang di daerah itu mempunyai kebiasaan menghayati kehidupan keagamaannya dengan keras, dan pengaruh Jansenisme yang paling mencolok adalah adanya perubahan pemahaman akan cinta mereka kepada Tuhan menjadi suatu ketakutan kepada-Nya.

Pada saat Maria sedang mengalami masa pertumbuhan ada beberapa perubahan yang terjadi di Piedmont. Dia tidak pernah mendengar adanya perubahan-perubahan itu dan andaikata mengetahuinya, ia pun pasti tidak akan memahaminya. Karena Perjanjian Vienna, perbatasan Piedmont telah bertambah besar dan luas. Pemerintahan yang terdahulu di mana kehendak raja adalah hukum diganti menjadi sebuah pemerintahan yang didasarkan pada pemilihan. Pada tahun 1848, Raja Charles II mengizinkan diberlakukannya sebuah Undang-Undang Dasar untuk Piedmont beserta dengan parlemennya. Inilah satu-satunya parlemen di Italia yang tidak pernah dibubarkan sampai akhirnya diganti pada tahun 1870 dengan Parlemen Italia bersatu yang berkedudukan di Roma.

Perubahan-perubahan penting yang lain juga terjadi di sana dan hal itu mempengaruhi seluruh semenanjung itu. Daerah Italia menjadi impian untuk dikuasai oleh orang-orang Jerman, Polandia dan bahkan Rusia. Keinginan untuk membebaskan diri dari kehadiran mereka dan keinginan untuk mempersatukan Italia di bawah satu bendera segera berkobar. Piedmont menjadi pusat pergerakan ini dan bahkan bisa dikatakan sebagai otak seluruh pergerakan.

Sayangnya, karena Paus juga memiliki kekuasaan di Kerajaan Kepausan, dia mulai mempertanyakan persatuan ini. Meskipun dia tidak menentang persatuan seluruh Italia, dia masih berusaha untuk mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dan meminta beberapa jaminan dari kaum revolusioner. Akan tetapi karena para revolusioner berkeyakinan bahwa pemberian beberapa jaminan itu merupakan sebuah penghianatan dari kepercayaan mereka, maka mereka menolaknya.

Para pejuang Katholik dihadapkan pada sebuah masalah yang serius: berada di pihak kaum revolusioner berarti melawan Paus, sedangkan berada di pihak Paus maka akan dianggap menentang persatuan. Masalah ini harus mereka hadapi selama hampir lima puluh tahun.

Sebagai puncak dari semua ini, Revolusi Industri yang tertunda menimbulkan masalah-masalah lain dalam bentuk yang berbeda. Kebutuhan akan para pekerja menciptakan perpindahan yang mendadak kaum muda yang mau mencari kerja ke kota-kota. Akibat langsung dari kejadian ini adalah sulitnya mendapat kesempatan untuk bisa berkumpul bahkan untuk waktu yang singkat baik di rumah, sekolahan, gereja dan tempat-tempat sosial dan di tempat-tempat lainnya.

Di bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat persoalan-persoalan baru bermunculan, keputusan-keputusan penting diambil, pertempuran-pertempuran besar yang mengakibatkan kemenangan atau kekalahan, meskipun demikian tidak ada sesuatu pun yang pernah terjadi di Mornese.


2—Kegemparan Di Mornese!



Mornese sedang mengalami kegemparan? Ya. Penduduk di daerah itu sebelumnya tidak pernah merasa begitu terganggu seperti yang mereka alami sekarang ini kecuali dahulu saat ada pengumuman bahwa anak-anak mereka diharuskan mengikuti wajib militer dan pergi berperang. Tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan kecuali hal itu. Rencana-rencana telah dibuat supaya sebanyak mungkin anggota keluarga-keluarga tersebut bisa menyaksikan peristiwa itu. Bahkan ada beberapa orang yang membicarakan usaha untuk mencegahnya, akan tetapi orang-orang yang lebih bijaksana akhirnya menang. ”Biarlah kita memastikan bahwa hal itu memang benar-benar terjadi. Kemudian kita akan berusaha untuk mencegah kejadian yang sama terjadi lagi.” Ini hanyalah salah satu pendapat saja. Masih ada yang lainnya. ”Itu hanyalah sebuah rencana yang gila dan pasti akan segera lenyap. Lagipula, kitalah yang harus melakukannya. Dan apakah kita seperti orang-orang semacam itu? Tentu saja bukan. Biarlah semua hal itu lenyap karena kurangnya dukungan.”

Selain itu, orang-orang melihat hal ini sebagai sebuah serangan langsung kepada salah satu kepercayaan yang sangat mereka hargai. Bahkan hal itu digunakan untuk menyerang keberadaan Gereja. Kata-kata seperti “profanisasi” dan “sacrilege” telah diucapkan. Tetapi pendapat umum mengatakan bahwa jika tindakan yang nyata harus diambil, harus menunggu sampai peristiwa itu terjadi.

Kejadian apakah yang telah menganggu hati para penduduk desa yang biasanya tenang ? Apakah “profanisasi,” ataukah “sacrilege” itu?

Apapun itu, semuanya disebabkan oleh semangat dari seorang imam muda yang datang untuk berkarya di antara orang-orang di desa asalnya.

Dominikus Pestarino dIlahirkan di Mornese pada tanggal 5 Januari 1817, dari pasangan Johanes Pembaptis Pestarino dan Rose Gastaldi dan merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara yang terdiri dari lima anak laki-laki dan enam anak perempuan. Salah seorang saudara laki-lakinya menjadi dokter, yang lain menjadi ahli kimia, tiga orang saudari perempuannya menjadi biarawati dan tiga lainnya sudah menikah. Keluarga tersebut tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas, tetapi juga sangat tekun dalam menjalankan kewajiban keagamaannya. Paman Dominikus adalah juga seorang pastor dan tinggal di rumah keluarga tersebut, yang mana pasti mempengaruhi keadaan rumah tersebut.

Awalnya Dominikus bersekolah di Ovada bersama dengan pastor-pastor Scalopian. Lalu ia pergi ke Acqui untuk pendidikan yang lebih tinggi, kemudian ke Genoa di mana ia menyelesaikan pendidikan imamatnya. Karena kesalehan dan selalu menjadi juara satu di kelas, dia diterima dengan baik oleh guru-guru maupun teman-temannya. Meskipun tingginya kurang dari rata-rata tetapi ia gesit dan ia berhasil membuat hidup menjadi menyenangkan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya dengan kemurahan hati, cerita-cerita lucu dan rasa humornya.

Sesudah ditahbiskan tanggal 21 September 1839, dia ditunjuk sebagai prefek atau kepala asrama bagi seminaris-seminaris muda, sebuah jabatan yang berhasil ia emban dengan sangat baik. Pada saat itu orang-orang menyebutkan sebagai “kecil tetapi kokoh” dan dalam kehidupan selanjutnya banyak sifat-sifat yang dia miliki itu membantunya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ia hadapi.

Andaikata daerah itu dalam keadaan yang normal, dia lebih suka tinggal di seminari, akan tetapi Vincenzo Giorberti telah menyerang keras para Jesuit, kongregasi-kongregasi religius yang lainnya dan juga para imam, dan sementara itu masyarakat umum dibakar oleh sentimen antiklerik dan adanya upaya penyerangan secara fisik yang diarahkan kepada kaum Jesuit, anggota-anggota dari kongregasi-kongregasi yang lain dan juga para imam dan bahkan mereka menjadi target penganiayaan secara terbuka. Selama masa itu, perlindungan hukum terhadap mereka sangat diabaikan. Pastor Pestarino sendiri dituduh sebagai tersangka pelaku revolusi.

Masih ada alasan yang lain kenapa Dominikus memilih untuk meninggalkan Genoa dan kembali ke Mornese, yaitu ayahnya yang sudah lanjut usia. Pada tahun 1846, ayahnya genap berumur 65 tahun dan menginginkan anaknya tinggal bersamanya sehingga dapat merayakan misa di kapel pribadi yang akan dibangun di dalam rumahnya. Pada masa itu adalah sesuatu yang biasa bagi sebuah keluarga memiliki pastor keluarga yang bertindak sebagai imam di rumah dan sekaligus guru bagi anak-anak mereka.

Gereja melihat bahwa pastor-pastor yang mempunyai kerasulan di dalam rumah orang-orang kaya itu semakin banyak dan hal itu merupakan suatu penyalahgunaan. Mereka telah melakukan suatu pemborosan tenaga yang sebenarnya bisa digunakan untuk memimpin dan membina kelompok beriman. Kelompok antiklerik menuduh para pastor ini telah melupakan orang miskin dan mementingkan orang kaya.

Menanggapi masalah ini, Pastor Pestarino berpikir bahwa karena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok antiklerik yang ada di Genoa, tidak ada banyak kesempatan baginya untuk menjalankan kerasulannya di sana.

Pada kenyataannya, ayahnya telah mengizinkannya membangun oratori dan kemudian diberkati pada tanggal 22 Juli 1846. Pada waktu itu, Pastor Pestarino telah memohon ke Tahta Suci untuk ditugaskan di desanya. Sebelum mengajukan permohonannya itu, ia merasa lebih baik meminta nasehat kepada mereka yang bertugas sebagai prefek di seminari dan dari beberapa temannya yang merupakan imam-imam yang berpengaruh misalnya Pastor Cajetan Alimonda, lalu Uskup Agung Turin, dan Pastor Joseph Frassinetti, seorang teolog yang terkenal.

Apapun alasannya, pada tahun 1847 Pastor Pestarino telah tiba di Mornese dan kata-kata pertama yang diucapkannya di mimbar adalah, ”Berilah saya pekerjaan. Bukan pekerjaan di lapangan tapi pekerjaan rohani, pekerjaan yang Tuhan inginkan dari saya. Banyak tawaran yang diberikan kepada saya tetapi saya lebih memilih untuk datang kepada kalian.”

Mengenai Pastor Lawrence Ghio; Pastor Paroki di daerah itu, dia tidak bisa lebih senang lagi. Karena kesehatannya yang menurun dan umurnya yang terlalu tua untuk memenuhi semua tugasnya sebagai seorang pastor, dia merasa lebih dari sekedar bahagia mendapatkan seorang pastor pembantu yang sangat giat. Seiring berjalannya waktu, ia merasa lebih percaya kepada pastor ini dan memberikan kebebasan yang lebih besar untuk mewujudkan rencana-rencananya. Apapun yang dilakukan oleh Pastor Pestarino, kita bisa yakin bahwa semua itu dilakukannya demi keselamatan jiwa-jiwa.

Ajaran Katholik adalah sebuah jalan hidup dan seorang pastor merupakan seseorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan penduduk di desa itu. Pastor biasanya adalah satu-satunya orang yang terpelajar dalam masyarakat dan harus selalu ada ketika diperlukan, dan jika diperlukan kadang-kadang membingungkan lawan-lawannya dengan kutipan-kutipan dari Bahasa Latin! Dia juga biasanya agak terisolasi dan diharapkan untuk tidak bergaul terlalu bebas dengan orang-orang.

Pastor Pestarino baru saja memulai karya pembaharuan kehidupan spiritual di desa tersebut, ketika dia berhadapan dengan rintangan yang kelihatannya tak bisa diatasi. Dengan kecewa, ia menemukan bahwa para penduduk desa itu sangat tidak peduli dalam bidang agama. Tidak peduli berapa lama atau betapa tekunnya ia berkotbah, ia hanya mampu menyentuh beberapa hati saja. Apa yang salah dengan orang-orang ini? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Setan manakah yang telah merusak dengan begitu mendalam orang-orang di desa ini?

Meskipun Jansenisme telah lama dikutuk oleh Gereja, walaupun tidak lagi kelihatan pengaruhnya tetapi masih tetap mengakar di desa itu, dan akibatnya yang sangat berbahaya terlihat dalam kebulatan tekad mereka untuk tidak menerima Komuni Kudus lebih dari sekali setahun. Selain itu, sakramen ini hanya bisa diterima pada saat pernikahan ataupun pada saat seseorang hampir meninggal. Untuk melakukan hal yang berlawanan dari ketentuan itu merupakan perbuatan dosa karena tidak mempunyai rasa hormat kepada sakramen itu.

Mengetahui bahwa akan ada perjuangan yang panjang, Pastor Pestarino menjalankan rencananya. Sebagai langkah pertama, dia harus meyakinkan beberapa orang dari kalangan terbaik anggota jemaatnya, tanpa bermaksud melanggar penghormatan kepada KeIlahian Kristus dan hanya demi keuntungan jiwa mereka, untuk menyambut komuni kudus lebih dari sekali setahun. Hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Dia tidak hanya harus meyakinkan mereka tentang hal ini, tetapi juga harus menanamkan pada diri mereka keberanian yang cukup untuk menghadapi tantangan dari beberapa orang di dalam masyarakat. Ketekunannya membuahkan hasil ketika akhirnya dia berhasil membujuk seorang jiwa pemberani—seorang wanita—untuk menyambut Komuni Kudus di luar masa Paskah.

Ketika Maria mendengar hal ini untuk pertama kalinya, dia mendekati ayahnya yang diharapkan dapat memberikan bimbingan kepadanya.

Papa,” katanya, “Bagaimana pendapat anda tentang menyambut Komuni Kudus lebih dari setahun sekali sebagaimana yang dianjurkan oleh Pastor Pestarino ?”

Belum pernah ada yang melakukan hal itu sebelumnya”,

Tetapi jika Pastor Pestarino mengatakan begitu, itu pasti benar, bukan?”

Janganlah menjadi yang pertama untuk mencobanya; atau juga janganlah menjadi orang yang terakhir untuk meninggalkan hal-hal yang lama.”

Tetapi ayah, saya ingin sekali menyambut Komuni Kudus lebih sering!”

Masih ada waktu untuk itu.”

Ayah, dapatkah saya melihat wanita ini menyambut Komuni Kudus?”

Saya tidak ingin kamu ke sana sendirian. Mungkin akan berbahaya.”

Apakah ayah mau menemani saya?”

Kita akan pergi bersama.”

Meskipun sudah menjadi kebiasaan untuk datang lebih awal pada saat misa, pada hari Minggu yang istimewa itu, Maria dan ayahnya kesulitan mencari tempat ketika tiba di gereja tersebut. Orang-orang berduyun-duyun datang ke gereja, jika bukan karena devosi, pastilah karena keinginan tahu mereka tentang sebuah peristiwa penyambutan komuni di luar Paskah yang telah meluas seperti api yang melebar. Maria menemukan bahwa ada suasana yang bersemangat dan ketika kejadian yang luar biasa itu terjadi yaitu ketika dia melihat wanita tersebut mendekati altar untuk menyambut komuni, dia sendiri merasa tegang. Dia melihat sekelilingnya, orang-orang berdiri bertumpu pada ujung jari kaki mereka masing-masing dan mereka yang di bagian belakang naik ke atas bangku, supaya jangan sampai ketinggalan menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka menunggu sampai wanita itu selesai menyambut dan kembali ke tempat duduknya. Lalu suara gaduh mulai memenuhi gereja yang kemudian dengan cepat hening kembali ketika Pastor Pestarino menoleh ke belakang dan menatap mereka sampai mereka semua diam sampai misa itu selesai.

Ketika sudah berada di luar gereja, bagaimanapun juga, mereka yang mengagumi wanita itu memberikan selamat atas keberaniannya, sementara mereka yang tidak, mengejeknya. Ketika ia sedang berjalan ke rumahnya, beberapa di antara mereka mengikutinya, mengejeknya “biarawati” dan menghindarinya layaknya penderita kusta.

Namun, kebekuan telah mencair, dan pada akhirnya Pastor Pestarino lebih mudah membujuk yang lainnya untuk mengikuti perbuatan wanita itu, walaupun untuk beberapa waktu yang cukup lama ada beberapa orang yang dengan gigih telah menuduh mereka ”sebagai orang yang mencemari sakramen.” Akhirnya, contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh mereka dan karena petunjuk-petunjuk dari Pastor Pestarino, ia berhasil memberikan sakramen ekaristi lebih sering lagi bagi umatnya. Pertama-tama secara mingguan—Ayah Maria mulai menyambut komuni itu setiap minggu—lalu komuni harian menjadi suatu kebiasaan, yang membawa manfaat rohani bagi masyarakat.

Meskipun ia sangat menghormati wanita—dia tidak akan pernah mengizinkan mereka memasuki rumahnya—Pastor Pestarino yakin bahwa merekalah yang memegang kunci keberhasilan terhadap perubahan di desa tersebut. Merekalah yang lebih dulu mendidik anak-anak dan dapat mengendalikan suasana di dalam rumah. Mereka juga dapat memberikan nasihat atau peringatan dimana hal itu tidak bisa diberikan bahkan oleh seorang pastor. Dia memulai karyanya dengan mereka dengan mendirikan sebuah kelompok untuk ibu-ibu.

Kalian begitu perhatian kepada kebun anggur kalian,” Pastor Pestarino berkata kepada mereka, “namun begitu kurang dalam memperhatikan anak-anak kalian!”

Ketika kaum pria dari desa tersebut melihat bagaimana berhasilnya Pastor Pestarino dengan perempuan-perempuan itu, mereka mulai mengeluh, “Bagaimana dengan kami?” mereka ingin mengetahui. “Bukankah kami juga bagian dari jemaat anda?” keluh mereka dengan sungguh-sungguh. Pastor meyakinkan mereka, dan bagi mereka dia mengorganisasikan sebuah cabang dari perkumpulan St. Vincentius de Paul di mana ayah Mazzarello menjadi anggota.

Karena keberhasilannya berhubungan dengan mereka, dia pernah menyuruh mereka untuk datang ke pertemuan pada pukul lima pagi di mana mereka bisa mendengarkan konferensi, mengikuti misa dan menyambut Komuni Kudus. Di bawah bimbingan dan dorongannya, mereka menyewa dua ruangan di desa tersebut untuk tempat tinggal para wanita yang kurang beruntung yang ketika mereka jatuh sakit tidak mempunyai tempat untuk tinggal atau berlindung.

Keberhasilan terbesarnya tampak ketika suatu rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang datang ke tempat pengakuan, menghadiri misa dan menyambut Komuni Kudus, dan seluruh penduduk desa yang lainnya melihat dengan takjub. Yang menyebabkan ketakjuban itu adalah kenyataan bahwa selama beberapa tahun sebelumnya tidak ada satupun dari mereka mau menerima sakramen. Pastor Pestarino telah berbicara secara terpisah kepada setiap orang dan meyakinkan mereka bahwa mereka harus mengubah kebiasaan mereka. Untuk memudahkan mereka, dia memanggil pastor lain untuk menolongnya dan berjanji kepada mereka bahwa jika mereka melakukan apa yang dia minta; dia akan menyediakan makan malam yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan. Tetapi dia juga berusaha membantu mereka untuk mengerti bahwa dia menginginkan mereka untuk melakukan tindakan keagamaan ini secara utuh sebagai silih untuk memperbaiki skandal hidup mereka di waktu yang lampau. Ternyata, ia tidak perlu memanggil imam dari luar desa karena mereka semua hendak mengaku dosa kepadanya saja, dan ketika semuanya sudah selesai ia memenuhi janjinya tentang makan malam itu.

Orang muda dari desa tersebut terbukti lebih sulit. Dia mulai dengan berkunjung ke rumah mereka dan berbicara dengan mereka, memastikan untuk memberi mereka sesekali sebuah pesta di rumahnya atau piknik di suatu tempat. Dia tidak peduli berapa besar kegaduhan yang dibuat oleh mereka, dia tidak pernah merasa terganggu. Pada waktu sore di musim dingin yang panjang dia membuat rencana permainan kartu bagi mereka dengan sejumlah taruhan uang yang kecil dan berlangsung sampai mendapatkan uang yang cukup untuk sebuah makan malam bersama.

Seperti yang dapat diduga, dia harus menutup mata lebih dari sekali.

Saya ingat ketika ia memainkan sebuah permainan yang bernama “Putra dari Perang Salib,” salah satu dari mereka menceritakan kepada kami. “Ketika kami sedang berlatih di rumahnya, saya menemukan sebuah kunci ruangan di mana ia menyimpan anggurnya dan mengambil beberapa botol. Sore berikutnya, saya dan seorang teman pergi ke tempat itu lagi dan kali ini mengambil 15 sampai 20 botol. Meskipun kami mempunyai banyak anggur yang lebih bagus di rumah, bagi teman-teman kami ini terlihat sebagai suatu tindakan berani yang harus dilakukan dan di samping itu anggur milik orang lain selalu terasa lebih nikmat daripada anggur di rumah. Tetapi ketika kami semua pergi untuk mengaku dosa kepada Pastor Pestarino; saya pergi juga dan mengatakan kepadanya apa yang telah saya lakukan. Yang dilakukannya adalah meminta saya membuat suatu janji untuk tidak mengulanginya lagi dan memperingatkan saya jika saya mengulanginya lagi selalu ada hukuman jika saya tertangkap. Saya tentu saja berjanji. Tetapi, saya yakin jika dia menangkap saya sedang mencuri anggur dia pasti tidak akan menghukum kami dan akan memberikan apa saja agar kami mengunjunginya.”

Perlahan-lahan tetapi pasti, Pastor Pestarino juga berhasil mengubah desa di sekitarnya. Untuk berbuat seperti itu dia tidak terlalu memperhatikan dirinya sendiri. Jam tidurnya begitu sedikit, bangun pukul lima pagi pada musim dingin dan pukul tiga pada musim panas, dan selalu memikirkan keadaan orang-orang lain. Begitu suksesnya dia dengan orang-orang itu maka selama musim panas, taman di depan gerejanya akan penuh dengan peralatan pertanian karena para petani itu mengikuti misa sebelum mereka pergi ke ladang mereka.

Betapapun besarnya perhatiannya kepada kelompok-kelompok ini, perhatian terbesarnya ditunjukkan kepada para gadis dan para wanita muda. Ia menanamkan kepada mereka disiplin dalam hal kesederhanaan, karena dia tahu bahwa di dalam diri mereka terdapat masa depan kehidupan keagamaan dari masyarakat. Sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap kelompok lain, dia juga mengusulkan untuk membentuk suatu perkumpulan, memilih di antara mereka yang memiliki keutamaan dalam hal keagamaan dan berharap bahwa melalui mereka para gadis-gadis di desa akan ikut juga. Perhatiannya secara khusus tertuju kepada satu orang—Angela Maccagno, seorang gadis muda yang cerdas berumur 20 tahun yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda dan seorang saudara laki-lakinya.

Mendapat pendidikan yang lebih baik daripada gadis-gadis yang lain membuatnya lebih menonjol daripada yang lain dan menjadikannya sebagai pemimpin. Dia juga memiliki keutamaan yang mendalam dalam hal keagamaan dan hal ini membuatnya menjadi pilihan untuk memimpin suatu pekerjaan seperti yang ada di dalam pikiran Pastor Pestarino. Sesudah diumumkannya Dogma Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda pada tahun 1854, perkumpulan Maria mulai berkembang, dan hal ini merupakan keharusan bagi Pastor Pestarino untuk membentuknya juga di Mornese.

Sebagai hasil dari usaha-usahanya ini, beberapa perempuan telah mengungkapkan ketertarikan mereka untuk mempersembahkan diri mereka kepada suatu kehidupan yang saleh dan pelayanan terhadap sesama. Pastor Pestarino memanggil Angela dan meminta bantuannya dalam mendirikan kelompok Maria yang dibentuk dari gadis-gadis yang merasa mempunyai panggilan tetapi tidak menghendaki untuk masuk biara, atau karena mereka tak ingin kegiatannya dibatasi, atau karena mereka tidak diizinkan untuk masuk biara oleh orang tua mereka, atau karena mereka tidak dapat menyediakan mas kawin untuk masuk biara.

Ketika Pastor Pestarino menganjurkan agar Angela menyiapkan sebuah peraturan sederhana yang bisa mereka ikuti, dia lalu mulai mengerjakannya dan pada tahun 1852 dihasilkan sebuah peraturan yang dengan sedikit perubahan diterima oleh Pastor Pestarino dan dijadikan contoh untuk karya-karya mereka. Peraturan ini didasarkan pada peraturan dari Perkumpulan St. Ursula, yang didirikan di Brescia pada tahun 1536 oleh Santa Angela Merici. Sekalipun demikian, Pastor Pestarino memutuskan untuk mengirim peraturan itu supaya mendapatkan persetujuan dari temannya, Pastor Joseph Frassinetti, seorang ahli teologi. Ia membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan tugas itu. Dia sempat kehilangan salinan yang pertama, sehingga membuatnya terlambat 1 tahun, kemudian sempat juga kehilangan salinan yang kedua tapi akhirnya ditemukan dan mengirimkannya kembali ke Pastor Pestarino pada bulan November 1855. Pada waktu itu, bagian terakhir dari peraturan itu sudah dikonsultasikan ke beberapa pihak dan kemudian terciptalah Peraturan untuk Kelompok Putri-Putri Maria Immaculata. Empat tahun kemudian, Peraturan ini diterbitkan di Genoa dan mendapatkan dukungan yang hebat di seluruh Italia.

Pada waktu itu, kelompok itu langsung mempraktekkan peraturan tersebut. Pada awalnya kelompok ini hanya beranggotakan lima orang saja termasuk Maria yang pada saat itu baru berumur tujuh belas tahun dan merupakan anggota termuda, tetapi jumlah itu terus bertambah hingga mencapai jumlah lima belas orang. Jumlah keanggotaannya sebenarnya bisa bertambah dengan pesat seandainya tidak dibatasi oleh Pastor Pestarino dengan syarat-syarat khusus dalam penerimaan anggota baru. Dalam melaksanakan karya-karyanya, mereka melakukannya dengan agak rahasia sampai pada tahun 1857 ketika Uskup Acqui, dalam kunjungan pastoralnya, berhenti di Mornese. Dia menghadiri salah satu dari pertemuan-pertemuan mereka dan pada hari Minggu, 31 Mei, di hadapan seluruh jemaat di gereja, melantik seluruh anggota dengan memberikan medali Maria Immaculata. Setelah peristiwa itu Pastor Pestarino dengan tegas mengatakan bahwa mereka harus memperkenalkan dan juga membicarakan tujuan-tujuan mereka itu dengan pihak-pihak luar. Mereka mengucapkan kaul satu tahun mempraktekkan kemurnian, ketaatan kepada Pastor Pestarino yang sesuai dengan hati nurani mereka, dan mematuhi Angela dalam segala hal khususnya yang menyangkut peraturan; mereka harus menjauhi dosa meskipun dosa ringan sekalipun, menjaga hati mereka untuk tidak memihak pada keinginan duniawi, menggunakan keutamaan mereka untuk kebaikan sesama dan melakukan perbuatan-perbuatan kasih. Mereka dapat tinggal di rumah tetapi mereka harus berpakaian sederhana, menjauhi mode yang sedang berkembang pada saat itu dan berusaha untuk maju dalam hal keagamaan. Setiap hari Minggu mereka bertemu di rumah Angela dan biasanya mereka akan membaca sebuah buku rohani seperti Kesempurnaan Kristiani karangan Rodriguez.

Di dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan pada hari Minggu berikutnya. Hal ini termasuk juga menanamkan dalam diri para gadis desa tersebut rasa cinta kepada agama mereka, mendorong orang tua untuk mengawasi apakah anak-anak mereka mengikuti misa dan mengikuti kelas katekismus, merawat yang sakit dan menolong mereka yang membutuhkan. Pastor Pestarino menanamkan dalam diri mereka perasaan cinta dan kesungguhan sehingga meskipun harus menembus lautan api maka hal itu akan mereka lakukan andaikata Pastor Pestarino memintanya. Selain itu ia juga meminta dengan tegas bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang boleh menganggap dirinya sebagai “superior“, meskipun demikian Angela diperbolehkan bertindak sebagai tangan kanannya dalam mengatur kelompok itu.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mengetahui bahwa salah satu anggota kelompok itu bukanlah orang yang biasa. Maria Mazzarello, Pastor Pestarino menjelaskan, datang dari sebuah keluarga yang sangat taat beribadat dan Maria sendiri telah mulai memperlihatkan kesukaannya terhadap hal-hal yang menyangkut Tuhan. Contohnya, cara dia belajar katekismus dan keinginannya supaya bisa menerima komuni kudus sesering mungkin. Tentu saja, karena hal inilah maka Pastor Pestarino memperbolehkannya menerima pada tanggal 19 April 1848, satu tahun sebelum umur yang diperbolehkan. Kemudian Pastor Pestarino mengizinkannya untuk menerima lebih sering dan akhirnya mengizinkannya menerima setiap hari. Sejauh yang Pastor Pestarino lihat, Maria menerima semua nasihat yang diberikan olehnya untuk memperkuat kehendaknya, dan mengenai masalah bimbingan rohani Pastor Pestarino membuktikan bahwa dia bisa menjadi pembimbing rohani yang baik. Penyangkalan diri yang dia lakukan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana-rencananya untuk kemajuan rohani, seperti halnya ketaatan yang sukarela dan menerima kekurangan orang lain.

Betapa kerasnya bimbingan yang diberikan oleh Pastor Pestarino dipelajari oleh Maria dari pengalaman. Pada suatu pagi ayahnya menyuruh dia untuk mengikat secara bersama-sama tunas-tunas anggur yang kecil. Ketika hari terus belanjut pekerjaan menjadi bertambah berat dan dengan tidak sabar dia meraih tunas-tunas pohon dan dengan sebuah sabit memotongnya dengan cepat. Pada hari berikutnya dia datang mengaku dosa kepada Pastor Pestarino. Setelah dia selesai mengaku dosa wajahnya berubah kemerahan.

Astaga!” dia berseru. “Saya tidak berpikir bahwa saya telah melakukan sesuatu hal yang begitu buruk! Setelah semuanya, kami memiliki beratus-ratus tanaman anggur. Tapi ketika mendengarkan Pastor Pestarino! Omelan yang begitu hebat! Kau dapat berpikir bahwa ini adalah akhir dunia! Sekarang saya lebih menyesal daripada yang pernah saya alami sebelumnya!”

Apa yang dikehendaki oleh Pastor Pestarino, bukan saja untuk menyelamatkan tanaman anggur tuan Mazzarello tetapi juga mengajarkan kepada Maria bahwa dia harus mengendalikan dorongan-dorongan hatinya, mengurangi ketidaksabarannya terhadap sesama dan juga terhadap benda atau barang.

Sebuah sepatu bot dengan kancing yang tinggi menjadi sebuah peristiwa yang memberikan sebuah pelajaran yang berharga baginya.

Dia ragu-ragu untuk memakainya padahal pada saat membeli perasaan itu tidak ada. Sebagian besar teman-temannya hanya memakai sabot (sandal kayu) dan tidak ada yang lainnya. Sekarang telah menjadi kebiasaannya jika dia sedang mengalami kecemasan, ia akan segera datang kepada Pastor Pestarino dan mengatakan kepadanya tentang perasaannya terhadap sepatu bot itu.

Apa yang harus saya lakukan terhadap sepatu itu?” dia bertanya kepada Pastor Pestarino.

Kau telah membelinya?” Pastor Pestarino berkata dengan keras. “Pakai sepatu itu!”

Tapi sepatu itu terlihat begitu ... mencolok.”

Olesi dengan minyak!”

Pastor Pestarino lalu menggunakan peristiwa ini untuk menanamkan padanya bahwa dia juga harus berpakaian yang bersih dan rapi, tetapi jangan untuk berlagak dan tentu saja bukan untuk bermewah-mewah.

Pastor Pestarino dapat melihat bahwa dalam usahanya untuk mengatasi kesalahan-kesalahannya, Maria Mazzarello telah bersikap keras kepada dirinya sendiri. Setiap saat dia mencoba untuk memeriksa suara hatinya, dibutuhkan usaha yang keras sehingga bibirnya mulai gemetar, mukanya perlahan-lahan mulai memerah dan ketika kawannya mengatakan hal ini kepadanya, justru wajahnya akan tambah memerah.

Ketika Maria Mazzarello mulai bisa mengatasi kelemahannya, Pastor Pestarino mengatakan kepadanya, bahwa kemajuan yang ia peroleh semakin mantap dan meyakinkan.

Pastor Pestarino, kalau dilihat dari luar, gayanya tampak santai meskipun dia adalah seorang ahli dalam hidup rohani. Dia mengetahui dengan baik bahwa gadis muda ini, meskipun mempunyai potensi besar untuk kemajuan spiritual, masih harus menempuh perjalanan panjang menuju jalan kekudusan. Meskipun demikian, Pastor Pestarino juga mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki Maria Mazzarello; kerajinannya, sifatnya yang suka menuruti dorongan hatinya sendiri, ambisinya, keinginannya yang kuat untuk diakui oleh orang-orang di sekitarnya, dan lain sebagainya, namun dengan bantuan rahmat Tuhan, dapat mengubahnya untuk kemajuan hidup. Tetapi dia masih membutuhkan waktu yang panjang dengan segala kehati-hatian dan kesabaran dan andaikata ia dibimbing ke arah yang salah, hal itu akan dengan mudah menjauhkannya dari kerajaan surga.

Maria juga mengalami kemajuan dalam hal kepedulian untuk menolong sesamanya. Dimulai dengan anak-anak yang berada di rumah, kemudian kepada anak-anak di desanya, mendorong mereka untuk belajar katekismus, menemani mereka saat misa dan mendorong mereka untuk setia dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.

Pada saat kegiatan-kegiatan luar tersebut terus berjalan, ada sesuatu hal lain juga yang terjadi di dalam dirinya. Dia baru saja berumur 15 tahun ketika mendengar bahwa beberapa orang gadis telah meminta kepada Pastor Pestarino untuk membuat kaul kemurnian untuk beberapa waktu yang telah ditentukan. Pastor Pestarino mengatakan bahwa beberapa orang di antara mereka bisa melakukan hal itu tetapi beberapa orang yang lainnya tidak bisa.

Maria begitu terkejut akan hal ini. “Saya tidak mengerti,” dia berkata, ”mengapa mereka harus meminta persetujuan untuk melakukan hal itu padahal hanya untuk beberapa saat saja. Saya tidak pernah meminta izin dari orang lain ketika saya membuat janji itu untuk sepanjang hidup saya. Apakah yang saya lakukan ini salah ”

Dalam suatu peristiwa yang lain, ketika para gadis sedang memimpin sebuah pertemuan di mana setiap orang di antara mereka menyalahkan dirinya masing-masing atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Ketika tiba pada gilirannya Maria berdiri. “Saya harus menyalahkan diri saya,” katanya, ”karena telah melewatkan lima belas menit tanpa sekalipun memikirkan kehadiran Allah.”

Ketika Maria dan teman-temannya sedang membicarakan masalah rohani, salah satu dari mereka menganjurkan bahwa mereka harus membuat sebuah pengakuan dosa. Lalu Maria nampak sedih. Pengakuan dosa baginya bukan sesuatu yang mudah.

Jika kalian semua setuju,” katanya dengan berat hati, ”saya terpaksa ikut dengan kalian.”

Dan mengapa tidak?” Mereka ingin mengetahui.

Daripada menjawab pertanyaan itu, muka Maria menjadi memerah. Karena pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi dari teman-temannya yang lain, ia setuju untuk membicarakan hal ini dengan Pastor Pestarino. Setelah melakukannya, dia memberitahu kepada Pastor Pestarino bahwa betapa sulitnya membuat sebuah pengakuan dosa baginya.

Dia enggan untuk pergi mengaku dosa, hal itu disebabkan karena adanya kenyataan bahwa di satu sisi kehidupannya, tingkah lakunya yang tampak dari luar merupakan suatu yang dibuat-buat; di sisi yang lainnya, sebuah pengakuan dosa menuntut suatu keikhlasan yang penuh, dan kedua hal ini membawa kepada pertentangan yang menyakitkan dalam dirinya.

Pastor Pestarino sadar tentang apa yang terjadi dan ia takut jika pengakuan dosa itu ditunda, ada sebuah penghalang yang muncul di dalam pikiran Maria dan hal itu bisa melawan sakramen yang terpenting ini yang harus dia terima. Untuk beberapa saat Pastor Pestarino merenungkannya sambil menundukkan kepala.

Saya tetap berpikir bahwa akan berguna bagimu untuk membuat pengakuan dosa.” katanya menyimpulkan.

Kapan?”

Saat ini juga.”

Tetapi saya tidak siap.”

Saya akan membantumu dalam mempersiapkan diri.” Pastor Pestarino mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya dan sedikit demi sedikit Maria Mazzarello membuat pengakuan dosanya.



































3—Merpati Baja


Dari kamar tidur kecil yang gelap terdengarlah sebuah suara yang pelan ketika Maria perlahan-lahan turun dari tempat tidur. Maria menggigil ketika menjejakkan kakinya di lantai yang dingin, dengan cepat dia mengenakan sepasang kaus kaki katun yang tebal dan menyelipkan kakinya ke dalam sabot (sandal kayu). Kemudian dia juga mengenakan sepasang causotti atau kaus kaki yang terbuat dari bulu domba yang banyak disenangi oleh para gembala. Sesudah itu dia bangun dan buru-buru mandi dengan sebaskom air dingin, membuka satu persatu pakaiannya, lalu membersihkan rambutnya, mengikat kepalanya dengan sebuah sapu tangan tebal dan sebuah selendang abu-abu melingkar di bahunya. Sebelum meninggalkan kamar, dia mengatur selimut-selimut yang ada di tempat tidur di sekitar tubuh la picina (si kecil) yang masih tergolek.

Ketika ia turun ke ruangan bawah, dia begitu hati-hati sehingga tidak membuat kegaduhan. Orang tuanya tidak mau melihatnya meninggalkan rumah terlalu pagi di musim dingin seperti ini.

Di luar dia melindungi dirinya dengan mantel salju. Musim dingin kali ini menjadi bagian yang panjang dan sangat berat. Salju menutupi semua jalan-jalan kecil tetapi dia tahu jalan pintas di belakang rumahnya yang menuju ke lembah.

Seperti burung gagak yang terbang melintasi jarak antara rumahnya dan gereja yang hanya beberapa kilometer. Tetapi bila ditempuh dengan berjalan kaki jaraknya cukup jauh. Dia memulai perjalanannya ke gereja dengan menuruni sebuah bukit curam berbatu-batu, dengan jalan yang berlubang, batang-batang pohon, rumput yang tinggi, semak belukar dan tanah yang berlumpur. Bukit ini berakhir di lembah yang pertama di mana dia sudah dihadapkan dengan suatu tebing yang curam, yang mempunyai tanah yang lapang di puncaknya, dari situ dia untuk kedua kalinya terhalang lagi untuk menuruni bukit yang kecuramannya sedikit berkurang dibanding dengan yang pertama. Sesudah itu dia harus menempuh perjalanan yang lebih susah dengan melintasi rumput yang tinggi hingga mencapai bukit yang kedua. Semua ini hanyalah rintangan-rintangan dan kesulitan-kesulitannya yang pertama dan dia masih harus berusaha naik terus mencapai bukit lain di mana terdapat gereja yang terletak di tepi tanah datar yang berada di atas bukit itu.

Sekitar empat puluh lima menit kemudian dia mendaki bukit yang terakhir dan melangkah terus ke tanah lapang. Di tempat ini salju sudah menutupi seluruh jejak kaki yang ada. Kehidupan di Mornase dimulai sejak pagi dini hari.

Tak seorang pun yang berjalan melalui rute yang sama bahkan pada saat cuaca yang baik dan menyenangkan sekalipun. Untuk berpikir ada seorang gadis muda antara tahun 1852 hingga tahun 1858 yang berjalan melalui rute ini dua kali sehari bahkan di musim yang paling buruk sekalipun adalah suatu hal yang sulit dipercaya. Namun, begitu banyak orang yang mau mengungkapkan sumpah dan kesaksian termasuk teman-temannya yang menyaksikan sendiri kebenaran ini dan tak seorang pun dapat meragukan hal ini.

Dengan sekali dorongan Maria membuka pintu gereja, lalu memasuki gereja yang masih sedikit gelap dengan satu atau dua kelap kelip lampu minyak yang menimbulkan cahaya dan bayangan. Hanya ada sedikit orang yang berkumpul di dekat pintu pengakuan, meskipun Pastor Pestarino selalu siap melayani umat, teristimewa bagi mereka yang merasa tentram hidup di dunia ini dan tidak pernah mau pergi untuk mengaku dosa.

Maria memilih tidak duduk di dekat ruangan pengakuan dosa, karena dia tidak merasa yakin bagaimana reaksi Pastor Pestarino ketika melihatnya. Dia tetap berdiri di belakang tiang yang paling ujung di dalam gereja, dan menunggu, sambil menggigil hingga misa dimulai.

Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang gatal di dalam kerongkongannya dan merasa ngeri sekali akan hal itu! Dia ingin batuk. Dia mencoba untuk terus bertahan, namun tidak berhasil. Dia batuk, tidak hanya sekali tetapi beberapa kali. Serta merta semua mata memperhatikan dirinya. Keadaan bertambah buruk, ketika dia mendengar suara gaduh dari tempat pengakuan, Pastor Pestarino menarik tirai dan menengok ke luar.

Siapa itu?” dia ingin tahu.

Maria Mazzarello,” kata orang-orang kepadanya.

Dia menarik kembali kepalanya dan sesaat kemudian dia keluar dan berjalan ke arah Maria. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pastor.

Ya Pastor,” kata Maria. “Ada sedikit rasa gatal di dalam tenggorokan saya.”

Dia berdiri melihat kepadanya untuk beberapa saat tanpa sepatah kata pun, dia memperhatikan bagaimana air mulai menetes ke lantai dari pakaian Maria yang basah. “Kamu harus melakukan sesuatu untuk pakaianmu yang basah itu.” kata Pastor kepada Maria. “Pergilah ke rumah terdekat dan katakan kepada mereka bahwa saya yang mengutus kamu untuk mengeringkan pakaianmu.

Tetapi saya tidak ingin terlambat misa, Pastor.”

Kamu tidak akan terlambat, masih ada waktu setengah jam. Kamu datang terlalu cepat seperti biasanya.”

Baik, Pastor.” Maria sedikit membungkuk untuk memberi hormat dan kemudian pergi. Tetapi pada saat dia sedang berbicara dengan Pastor Pestarino, air terus menerus menetes dari pakaiannya ke lantai gereja yang sedikit dingin dan air tersebut membeku dan juga turut membekukan sepatu yang dia pakai! Ketika dia mencoba mengangkat kakinya dari lantai itu ternyata dia tidak bisa. Sepatu itu melekat di lantai! Sementara Maria sedang berusaha membebaskan sepatunya itu, hanya wajah tegang pastor itu yang membuatnya mampu menahan tawa menghadapi situasi yang aneh itu.

Setelah misa selesai dia kembali ke rumah melalui jalan yang sama, perbedaannya adalah hari telah siang dan hal itu membuat perjalanannya lebih mudah. Ketika dia sampai di rumah, seluruh penghuni rumah sudah memulai kegiatan mereka. Anak-anak telah bangun dan mandi.

Apakah itu kamu, Main ?” ibunya memanggil dari tingkat atas, sesaat kemudian Maria muncul memperlihatkan bungkusan pakaian pada tangannya.

Maria bergegas maju mencium ibunya dan mengambil bungkusan darinya.

Kamu bisa sakit bila pergi pagi-pagi sekali dengan cuaca yang seperti itu.” keluh ibunya. “Jangan terlalu berharap banyak dari ibumu untuk selalu memperhatikanmu. Aku telah cukup repot dengan mengurus rumah dan juga harus menjaga adik-adikmu.”

Jangan kuatir, Mama, saya yakin tidak akan sakit karena hal ini.”

Aku ingin mengetahui apa yang membuat kamu begitu yakin. Bagaimana pun juga banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan. Satu hari akan berlalu sebelum kita bisa menyelesaikan separoh dari pekerjaan-pekerjaan itu.”

Kita akan bisa mengerjakan semua. Mama akan melihatnya. Saya akan segera memulainya.”

Pekerjaan ini termasuk mencuci, membersihkan rumah, mempertajam perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk pertanian, mempersiapkan bibit-bibit untuk persedian anggur berikutnya . . . Sekali memulainya, Maria tidak pernah berhenti, bahkan untuk makan, malahan melahap makanannya sambil terus bekerja. Akhirnya ketika hari berakhir bersamaan dengan terbenamnya matahari, pekerjaan itu selesai juga seperti yang Maria janjikan, dan dia bebas. Tetapi itu bukan berarti bahwa dia bisa segera pergi tidur. Dia pergi ke jendela dan dari sana dia dapat melihat gereja. Bahkan dia mengawasinya di waktu malam dengan devosi-devosinya yang dimulai dengan rosario dan diakhiri dengan berkat ekaristi. Apa yang tidak dapat dia lihat, dia dapat membayangkannya dan ketika devosi-devosi itu selesai dia bersujud memanjatkan doa-doa malamnya.

Main,” kata Felicina dari balik selimut, ”mengapa kamu tidak tidur?”

Tidurlah, piccina, kata Maria. “Kamu masih muda dan kamu membutuhkan lebih banyak tidur daripada saya.”

Main!” seru Mama yang mendengar percakapan itu.

Ya, Mama?”

Tidurlah.”

Tidak dapatkah saya tetap berjaga sebentar saja?”

Tidak, kamu akan menghabiskan semua minyak”

Baiklah, Mama.”

Maria berganti dengan pakaian tidur lalu membaringkan diri di samping saudara perempuannya. Dia menempatkan lengannya sekeliling Felicina dan dalam waktu sekejap hanya terdengar suara nafas yang halus dari ruangan kecil yang gelap itu.


Semenjak Pastor Pestarino membolehkan Maria menerima Komuni Pertamanya satu tahun lebih awal dari kebiasaan, Maria mulai berubah. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu satu malam saja. Mengingat sifat-sifatnya yang keras, keras kepala dan didorong perasaan hati, hal itu melebihi yang dapat diharapkan darinya. Meskipun demikian Pastor Pestarino adalah seorang pendamping yang berpengalaman dan selalu mau memberikan nasehat, teguran atau bahkan hardikan bila diperlukan dan di bawah bimbingannya sedikit demi sedikit Maria mengalami perubahan.

Dia telah lama menghentikan kebiasaan tidur pada saat mendengarkan kotbah-kotbah. Barangkali karena kotbah-kotbah Pastor Pestarino lebih baik bila dibandingkan dengan pastor-pastor yang lain dan diucapkan dengan suara yang sangat jelas.

Perubahan-perubahan yang dialami Maria telah menjadi semakin lebih jelas setelah dia untuk pertama kali melakukan pengakuan dosanya. Dia mulai berpakaian lebih sederhana bahkan mengenakan pakaian-pakaian yang lama, mulai bisa mengontrol kehendaknya untuk menonjol di antara teman-temannya; cara dia berhubungan dengan orang lain, bahkan kesederhanaannya pada saat berjalan di desa menarik perhatian para ibu yang mulai berkomentar tentang kedalaman penghayatan kehidupan keagamaannya. Dia juga mengalami perkembangan untuk menghargai waktu, dan ketika tidak sedang bekerja di rumah ataupun di ladang, atau bahkan pada saat jam istirahat, dia akan memilih tempat yang tenang untuk berdoa atau belajar katekismus.

Perubahan-perubahan secara jelas tampak pada kecintaannya kepada Sakramen Maha Kudus dan khususnya pada perayaan ekaristi. Semenjak pastor mengizinkannya untuk menghadiri misa harian, dan ketika orang tuanya memperbolehkannya maka dia akan segera pergi. Jika melihat kebiasaanya untuk mau meninggalkan kehangatan tempat tidurnya pada pagi hari pada musim dingin yang mengigit, dengan berjalan kaki menembus hujan dan lumpur, salju dan es, supaya bisa menghadiri misa kudus, tampaknya terlalu berlebihan untuk seorang gadis muda seperti dia, tetapi hal itu tidak akan mengejutkan bagi mereka yang telah mengetahui sifat-sifatnya.

Rosa Mazzarello yang tinggal di bukit yang lebih bawah mengatakan bahwa Maria sering memintanya untuk menghadiri misa dan mereka biasa berjalan bersama-sama sampai di lembah. Ketika ada seseorang yang terkejut menyaksikan hal itu, Rosa biasa akan berkata,” Kamu harus tahu Maria, mekipun dia masih muda, tetapi sangat berani! Sangat kuat!

Supaya tidak terlambat menghadiri misa kudus, kadang-kadang dia akan mengikat dengan melilitkan seutas tali di pinggangnya dengan keras supaya istirahatnya terganggu sehingga dia tidak tidur terlalu lelap. Pada saat musim dingin dia dilarang tidur di lantai dengan hanya mengenakan baju, karena bisa terkena radang paru-paru (pneumonia). Karena tidak memiliki jam dan takut terlambat, kadang-kadang dia datang lebih dahulu sebelum gereja dibuka. Kemudian dia akan duduk dengan tenang di atas tangga sambil menunggu kedatangan Pastor Pestarino. Pada suatu pagi di musim panas dia membangunkan saudarinya Felicina dan kemudian mereka ke gereja. Mendapatkan pintu yang masih terkunci mereka duduk seperti biasa untuk menunggu kedatangan pastor. Ketika pagi hari mulai terang mereka melihat ada seseorang yang datang mendekati mereka.

Bagi anak-anak perempuan pada awalnya mereka merasa terganggu hingga Maria mempunyai suatu ide.

Mari kita bertanya jam berapa sekarang dan pasti dia kemudian tidak akan menakuti kita.”

Felicina berpikir ini adalah sebuah ide yang baik.

“Tuan,” panggil Maria, ”dapatkah anda memberitahukan kepada kami jam berapa sekarang ?”

Sedikit terkejut sendiri ketika tiba-tiba mendapat sapaan dari dua anak perempuan muda, laki-laki itu—seorang buruh tani yang sedang lewat untuk berkerja—menjawab, ”Jam dua lewat sedikit.” Laki-laki itu memandangi mereka bergantian. ”Anak-anak, apa yang kalian lakukan di luar pada jam seperti sekarang ini?”

Kami akan mengikuti Misa”

“Pada jam dua dini hari?”

“Ya tuan, kami tidak tahu jam berapa sekarang dan kami tidak ingin terlambat.”

Kebiasaannya untuk pergi pada pagi dini hari ini sempat memberinya suatu peristiwa menakutkan yang tak terduga.

Pada suatu pagi dengan ditemani oleh sepupunya Domenica, tidak lama lagi mereka akan mencapai pelataran gereja tiba-tiab bermunculan dua makhluk putih. Anak-anak perempuan itu segera lari. Ketika mereka telah sampai pada jarak yang dirasa aman dan mendapat kesempatan untuk berpikir, Maria berpikir untuk kedua kalinya mengenai hantu-hantu itu.

Mari kita kembali lagi ke sana.” katanya pada Domenica. ”Saya merasa bahwa hantu-hantu ini tidak membahayakan kita.”

Ketika dia dan Dominica kembali, kedua hantu itu melambaikan kedua tangan mereka disertai beberapa teriakan-teriakan yang keras, lalu menghilang di balik pepohonan. Ketika dia menceritakan peristiwa itu kepada Pastor Pestarino, Pastor mendapati bahwa mereka adalah dua orang muda setempat yang hanya mau bercanda saja dengan mereka, dan meyakinkan bahwa mereka tidak akan muncul lagi.

Semuanya menjadi lebih baik pada saat musim semi dan musim panas tetapi ketika awal musim dingin tiba dan tidak mungkin mendapatkan seseorang pun untuk menemaninya. Maria tetap pergi sendirian.

Kadang-kadang, ketika ada cahaya bulan yang membantunya melihat jalanan, dia akan bangun sekitar jam satu, kemudian mengerjakan tugas-tugasnya di kebun anggur dan kemudian baru pergi ke misa.

Ketika dia harus bangun terlalu pagi maka dia berhati-hati supaya jangan sampai membangunkan orang tuanya. Suatu ketika dia pernah membuat kegaduhan, kemudian ayahnya datang untuk menyelidiki. Ketika menemukan siapa yang membuat kegaduhan itu, dia menyuruhnya untuk tidur kembali. Agar supaya tidak melanggar larangan itu, maka Maria merencanakan sedikit tipuan. Pada kesempatan yang lain ketika dia membuat kegaduhan, dia bergegas ke gudang dan dengan cepat melepaskan rantai yang mengikat sapi keluarga di kandang. Ketika ayahnya muncul, dia hanya memperlihatkan rantai itu.

Rantai sapi itu terlepas.” katanya. ”Saya sedang mengikatnya.”

Ayahnya melihat kepadanya untuk beberapa saat, kemudian mengerti. ”Kembalilah tidur,” kata ayahnya.

Ketika musim panas tiba maka biasanya dibutuhkan lebih banyak air daripada biasanya dan diambil dari sumur terdekat, dia biasanya membangunkan Felicina dan mereka akan mengambil air yang diperlukan untuk pagi hari. Ini berarti membawa dua puluh lima galon ember berisi air dan harus berjalan kaki mendaki selama sepuluh menit.

Kini kita dapat pergi ke misa” Maria berkata kepada saudari perempuannya itu, ”dan jika kita terlambat pulang, mereka tidak akan mengeluh bahwa kita tidak mengerjakan tugas kita.”

Bagi Maria hal yang paling menyenangkan sebagai selingan dari seluruh kegiatan rutin itu adalah ketika dia disuruh pergi ke desa. Ketika dia diminta pergi ke sana, dia akan mengunjungi Sakramen Kudus dan mengajak temannya pergi bersamanya.

Hal ini bukanlah satu-satunya kesempatan di mana dia berusaha mengajak orang lain supaya lebih dekat dengan Tuhan. Ketika para biarawan dari Gavi melakukan kunjungan yang merupakan kebiasaan mereka yaitu quaestua, atau kunjungan untuk meminta sedekah. Maria menunjukkan hal itu kepada saudara-saudara laki-lakinya. “Mengapa kalian tidak menjadi biarawan?” katanya. ”Kalian dapat berbuat banyak kebajikan dan dengan cara itu bisa menyelamatkan jiwa kalian.”

Mengapa kamu tidak menjadi biarawati?” balas mereka.

Jika saja saya bisa!” keluh Maria. “Tetapi jika saya melakukannya kalian akan melihat kebaikan-kebaikan yang akan saya lakukan .”

Pendapat umum pada waktu itu menganggap bahwa biara-biara adalah tempat khusus yang hanya bisa dibiayai oleh golongan atas yang kaya, dan para pemimpin biara adalah seseorang yang berasal dari kaum bangsawan. Kadang-kadang orang yang tidak begitu kaya diterima dan diberi tugas yang kurang berarti.

Mungkin satu-satunya gadis di Mornese yang dapat dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh selain Maria, adalah Angela Maccagno. Dua orang ini saling berbeda. Angela lebih tua, lebih dewasa dan berpendidikan lebih baik, sedangkan Maria lebih muda, lebih bersemangat, sedikit berpendidikan sehingga dia sulit membaca tetapi sungguh-sungguh bersemangat dan memiliki kualitas khusus yang tersembunyi. Meskipun demikian Maria berpandangan lain dan tidak mau melakukan apapun tanpa meminta nasihat darinya. Jika dia telah membeli sebuah pakaian atau benda-benda lainnya, untuk membuatnya yakin bahwa dia tidak bertentangan dengan semangat kelompoknya maka pertama-tama dia akan meminta nasihat dari Angela. Apapun anggapan orang lain, bagi Maria hal itu menunjukkan sebuah bentuk penyangkalan diri dalam mengambil keputusan-keputusannya dan juga terhadap kehendak-kehendaknya, yang mengurangi ketakutan atas tanggapan orang dan merupakan bentuk pengendalian terhadap kebanggaan dirinya.

Kepekaan hati nuraninya berkembang dengan cepat dan kesempurnaan religius menjadi tujuan hidupnya, dan dia rela mengorbankan kesenangan dan bahkan kesehatannya demi hal itu. Mempunyai sedikit noda dosa pada jiwanya atau bahkan mempunyai kecurigaan akan adanya sebuah noda dosa pada jiwanya merupakan sesuatu yang tidak dapat ditahannya.

Pada suatu kesempatan dia merasa begitu yakin bahwa dia sungguh-sungguh telah menodai jiwanya dan tidak dapat beristirahat sampai dia melepaskan noda itu. Jika tidak, dia akan mengikuti misa tanpa menerima komuni suci dan hal itu tidak bisa ia terima! Ketika dia pergi untuk mengaku dosa kepada pastor Pestarino, ia menemukan bahwa pastor itu sedang tidak ada. Jika tidak ada Pastor Pestarino maka ia harus mengaku kepada pastor yang lainnya. Dia berlari sampai gereja Santo Stefano, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada pastor di sana. Lalu bagaimana selanjutnya? Di desa yang lain ketika dia mengetuk pintu rumah seorang pastor. Beberapa saat kemudian muncullah pelayannya.

Apakah pastor ada di rumah?” tanya Maria terengah-engah.

Beliau baru saja menyelesaikan makan malamnya”.

Maukah ada memberitahukan bahwa saya mau berbicara kepadanya saat ini juga.”

Saat ini juga? Tetapi dia masih bersama dengan beberapa tamu.”

Hanya sebentar saja. Tolonglah! Saya mempunyai sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan beliau.”

Mengapa tidak kau katakan hal itu pada saya dan saya akan sampaikan padanya.”

Oh, tidak! Ini sebuah rahasia.”

Rahasia? Hah!” Sesudah memandangi Maria beberapa saat, pelayan itu menyampaikan persoalannya kepada pastor itu. Beberapa menit kemudian pastor itu muncul tetapi sebelum dia dapat membuka mulutnya, Maria sudah menerangkan kesulitannya kepada dia. ”Apakah saya telah berbuat dosa?” Maria ingin tahu.

Mula-mula pastor itu enggan menemui gadis itu, yang telah memaksanya untuk meninggalkan sahabat-sahabatnya karena hal yang sepele. Tetapi sesudah dia mengerti bagaimana kesungguhan Maria datang kepadanya, sikapnya luluh.

Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, nak.”

Lalu saya dapat menerima komuni?”

Tentu saja! Begini, apa yang kamu rasakan ... Tunggu sampai saya memberi penjelasan!”

Tetapi, Maria sudah berlari ke jalan.

Mulai saat ini dia tak pernah berusaha untuk menonjolkan dirinya, dia berbicara sedikit dan bahkan lebih sedikit lagi berbicara tentang dirinya sendiri. Dia menjadi terkenal karena kegembiraannya dan kerelaannya untuk menolong. Inilah hal-hal yang teman-temannya sampaikan kepada Pastor Pestarino. ”Kami benar-benar suka bersama dengan dia.” Dia memulai semua hal itu dari dalam lingkungan keluarganya lalu keluar lingkungan keluarganya, dia memilih untuk bekerja di antara anak-anak yang lebih muda di desa dan terbukti menjadi seorang rasul yang bersemangat yang mempunyai cara tersendiri dalam menangani anak muda yang sulit.

Salah seorang di antaranya adalah seorang gadis yang menolak untuk pergi ke pengakuan dosa. Berbekal pengalaman dalam mengatasi beberapa kesulitan masalah pengakuan dosa yang dialaminya sendiri, maka Maria merasa dapat menolong. Setelah memberikan pendapat-pendapatnya tentang karunia yang ada di dalam sakramen itu, Maria mulai menyadari bahwa penolakan yang dilakukan oleh gadis itu ternyata hanya pada soal perasaan saja bukan pada keyakinan dasarnya. Maria memutuskan memancing gadis itu.

Jika kamu berjanji untuk pergi ke pengakuan.” kata Maria kepada gadis itu, ”saya menjanjikan kepadamu sebuah kejutan yang menyenangkan.”

Kejutan menyenangkan yang seperti apa?” tanya gadis itu dengan curiga.

Seekor ayam yang besar dan gemuk.”

Seekor ayam yang besar dan gemuk?” Segera saja kecurigaan itu berubah menjadi ketertarikan.

Dan jika kamu bersikap baik, kita dapat pergi bertamasya dan memasaknya serta makan ayam itu bersama-sama!”

Bertamasya dan seekor ayam yang besar dan gemuk? Mari kita pergi, Maria!”

4—Satu Langkah Menuju Surga


Jiwa-jiwa yang malang! Marilah kita mengampuni mereka dan berdoa semoga Tuhan mengasihi dan mengarahkan mereka ke jalan-Nya.”

Maria sedang mengingat satu dari dua peristiwa kemalangan yang terjadi di antara tahun 1858 dan 1860, yang mengacaukan ketenangan kehidupan di La Valponasca.

Suatu pagi pada tahun 1858 Mama Mazzarello bersama anak-anaknya pergi ke Mornese. Pada saat yang sama, Papa dan Maria pergi ke kebun anggur untuk menyiapkan kebun anggur untuk musim semi yang akan tiba. Ketika mereka kembali ke rumah pada malam hari mereka terkejut; segerombolan perampok telah masuk ke dalam rumah dan mencuri uang keluarga sebanyak 700 lira, suatu jumlah yang besar pada saat itu.

Untuk beberapa hari keluarga itu hidup dalam kesedihan dan keputusasaan. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa mengembalikan uang itu, tidak ada kesempatan untuk membawa masalah itu ke pengadilan dan menghukum para penjahat itu. Jika perasaan optimis Maria mampu meredam peristiwa itu, adalah keberanian dan penyerahan diri sang ayah terhadap kehendak Tuhan yang memungkinkan keluarga itu bisa menghilangkan kesedihan yang telah mereka derita. Dia semakin mengerti bahwa dibalik hilangnya uang itu muncul kesadaran baru adanya peringatan bahwa pada saat para perampok sedang mengintai daerah itu, tempat itu tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk melindungi keluarganya.

Itulah saat di mana pasukan-pasukan revolusioner terbentuk di dalam masyarakat atau pemerintahan, dan mereka berkeliaran sebagai sebuah kelompok-kelompok rahasia. Tidak semua pasukan yang terbentuk itu mempunyai tujuan yang mulia seperti membebaskan bangsa mereka dari kaum penjajah. Banyak di atara mereka tidak lebih dari sekumpulan pencuri dan penjahat yang mencoba mengambil keuntungan dari goyahnya hukum yang berlaku dan merampas harta dari para penduduk desa. Mereka memilih markas di tempat-tempat yang berhutan untuk mewujudkan niat mereka itu.

Menyadari bahwa posisi rumah La Valponasca yang terisolasi memundahkan bagi para bandit untuk menjadikannya sebagai sasaran mereka, Papa memutuskan bahwa hal yang paling bijaksana adalah pindah rumah. Kemudian dia membeli sebuah rumah di Via Valgelata, di bawah sebuah kastil yang ada di desa itu.

Rumah keluarga Mazzarello yang baru itu, yang sama besarnya dengan rumah-rumah yang lainnya, lebih kecil dari yang rumah mereka yang pertama. Rumah di La Valponasca mempunyai tiga buah loteng, sedangkan rumah yang baru ini hanya mempunyai dua buah loteng dengan dua buah jendela yang sempit, sebuah serambi dan halaman yang sempit. Sebuah tangga kecil menghubungkan sebuah kamar di mana Maria biasanya tidur. Maria mendapat keuntungan dengan adanya perpindahan ini. Kalau sebelumnya, supaya bisa mengunjungi Sakramen Maha Kudus dia harus menunggu ibunya menyuruhnya pergi ke desa, sekarang dia bisa mengunjungi-Nya kapan saja ia mau pada saat dia mempunyai waktu bebas.

Peristiwa sedih yang kedua terjadi pada tahun 1960 ketika wabah penyakit typus menyerang desa itu. Seluruh anggota keluarganya terserang penyakit itu dan beberapa orang bahkan hampir meninggal.

Penyakit itu pada umumnya menyebar melalui kotoran manusia yang terserang penyakit dan kemudian kuman-kumannya berpindah ke dalam air minum. Malangnya saat itu fasilitas-fasilitas kesehatan tidaklah terlalu baik sehingga memudahkan berkembangnya wabah penyakit itu. Setelah masa pengeraman selama sepuluh hari, kuman-kuman itu segera bereaksi dengan sangat mematikan, penderita akan mengalami demam yang tinggi, pusing, mengantuk, batuk, perut sakit, sembelit yang disertai dengan diare. Yang beruntung hal itu dapat berarti sebuah masa mengalami demam pilek—seperti sebuah infeksi; bagi yang tidak beruntung berarti kematian dalam waktu satu atau dua minggu.

Ketika Pastor Pestarino meminta kepada orang tua Maria supaya mengizinkan Maria untuk menolong para penderita itu, mereka berkeberatan, dengan mengatakan bahwa Maria sangat dibutuhkan di rumah, khususnya di kebun anggur. Hal itu terjadi karena adanya ketakutan dari orang tuanya karena ia bisa tertular penyakit itu dari anak-anak yang lain. Tetapi karena Pastor Pestarino terus memintanya, akhirnya ayahnya mengizinkannya dengan syarat dia sendiri yang menghendakinya.

Itulah yang Pastor Pestarino inginkan. Karena mengetahui sifat-sifat Maria, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan menolak permintaanya.

Tetapi yang membuat dia terkejut adalah karena Maria enggan menerima permintaannya itu. Hal ini bukan disebabkan karena rasa jijik kepada para penderita itu, dia mencoba menjelaskan, tetapi karena beberapa alasan lain yaitu keyakinannya bahwa jika dia merawat orang-orang sakit itu dia sendiri pasti akan tertular.

Saya akan pergi jika engkau memang menginginkannya,” dia memperingatkan, ”Tetapi saya tahu jika saya berbuat itu maka saya pasti akan tertular typus.”

Dia mengulang kata-kata itu berulang kali kepadanya dan meskipun demikian Pastor Pestarino tetap memintanya untuk bisa membantunya. Maria akhirnya meninggalkan rumah untuk membantu saudara-saudaranya yang menderita itu.

Kami semua hanya bisa berbaring di tempat tidur saja,” kata seseorang. ”Saya hampir satu bulan hanya berbaring saja dan rambut saya mulai rontok. Kami pergi ke pengakuan dosa dan Mama bahkan harus menerima Sakramen Perminyakan. Maria berlari dari satu kamar ke kamar yang lain untuk memperhatikan kami. Dia melakukan semua hal ini dengan ketekunan dan kesabaran, sehingga mengingatkan kami pada Suster-suster Caritas.”

Dalam waktu satu bulan atau lebih seluruh penderita telah melewati masa kritis mereka. Meskipun demikian, seperti yang Maria kuatirkan, dia tertular penyakit itu dan dalam waktu yang singkat nyawanya terancam. Pastor Pestarino segera bergegas menuju tempat tidurnya dan mendengarkan pengakuan dosanya, meskipun demikian dia menemukan bahwa Maria sangat berpasrah kepada kehendak Tuhan. Dia juga harus bisa menghibur orang tuanya.

Mengapa kalian menangis?” Maria bertanya kepada mereka. ”Apakah kalian berpikir bahwa saya terkena penyakit ini karena saya menolong para penderita itu? Jika memang demikian, saya dapat dianggap seorang martir cinta kasih! Bayangkan, seorang martir! Betapa seharusnya saya bahagia!”

Dia meminta untuk bisa menerima komuni suci sesering mungkin dan ketika Pastor Pestarino membawakannya, dia akan selalu ditemani oleh beberapa anggota Putri-putri Maria Immaculata. Meskipun demikian, dari tempat tidurnya Maria tetap melanjutkan kerasulan pribadinya kepada anak-anak di desa itu, mendorong mereka untuk menghindari perbuatan-perbuatan dosa sehingga mereka akan perlindungan dari Tuhan terhadap bahaya penyakit itu.

Jika dia begitu bersemangat mempersembahkan diri kepada Tuhan sebelum dia jatuh sakit,” kata seseorang, ”anda dapat membayangkan seperti apa dia ketika dia sakit.”

Maria mempunyai lebih banyak waktu untuk berhubungan dengan Tuhan dan selama sakitnya itu, dia bahkan dapat mengubah jalan hidup seorang tetangganya yang datang mengunjunginya.

Laki-laki ini mempunyai kelakuan yang kurang baik sehingga ketika salah seorang saudara Maria melihatnya berusaha untuk mendekati rumah mereka, dia curiga bahwa kedatangannya akan menganggu Maria dan oleh karena itu dia segera memasuki rumah lewat pintu belakang untuk melindungi Maria! Oleh karena itu, dia bisa menjadi saksi dari sebuah pengakuan yang sangat berarti.

Menyenangkan sekali melihat kamu mengunjungi saya,” Maria memberi salam kepada tamunya itu.

Dengan topi di tangan, pemuda itu menggumamkan sesuatu yang tidak dapat dimengerti.

Saya tahu kamu menyukai saya, dan saya juga menyukaimu.” Maria menunggu reaksinya, tetapi tidak ada. Dia mengerti bahwa kesunyian itu telah membuatnya malu.

Ketika kamu melihat saya terbaring di sini kamu juga dapat melihat ketidakpastian dari kehidupan manusia,” dia melanjutkan. ”Kamu tahu bahwa kamu belum siap untuk menerima kematian. Tetapi kamu seharus siap menghadapinya. Kamu harus berusaha untuk menjadi laki-laki yang baik. Kamu harus mencobanya. Maukah kamu berjanji kepada saya bahwa kamu akan berusaha untuk menjadi laki-laki yang baik?”

Kehangatan dalam suara yang penuh cinta kasih yang keluar dari mulut Maria dan juga kebenaran yang sederhana yang telah diungkapkannya begitu menyentuh laki-laki itu. Satu-satunya jawaban dari pemuda itu hanyalah dengan membenamkan wajahnya ke topinya. Beberapa saat kemudian, dia sudah merasa cukup kuat untuk mengungkapkan janji kepada Maria bahwa mulai saat itu dia akan mengubah jalan hidupnya.

Meskipun dia telah melewati masa kritisnya selama beberapa minggu tetapi kelihatannya penyakitnya itu belum juga menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Meskipun dia selalu mengikuti nasehat dari dokter yang merawatnya, suatu hari dia berkata kepada dokter bahwa dia merasa pengobatan itu telah cukup baginya.

Jangan berbicara tentang obat-obatan lagi kepada saya!” katanya kepada sang dokter. ”Saya tidak menginginkannya lagi. Saya ingin pergi ke surga. Kematian akan membawa saya lebih dekat kepada Tuhan.”

Untungnya dalam waktu yang singkat, segala sesuatunya berangsur membaik sampai pada suatu hari dia telah berhasil melewati bahaya itu.

Meskipun masa krisis itu telah selesai, penderitaan masih harus dijalani oleh Maria, sesuatu yang tidak biasa dan begitu membingungkan bagi dokter yang merawatnya, sehingga ia menyerah. Meskipun demikian dalam menghadapi penderitaan itu, Maria melaluinya dengan penuh ketenangan yang tidak seperti kebanyakan orang, sehingga teman-temannya menyangka bahwa dia akan mati, dan mereka memesan karangan bunga mawar dari Genoa untuk diletakkan di atas kuburnya. Menjelang pesta Bunda Maria Rosario, penyakitnya mulai hilang dan pada perayaan pesta itu sendiri, dia bisa menemani teman-temannya ke gereja untuk berterima kasih kepada Bunda Maria. Karangan bunga itu, katanya kepada teman-temannya, bisa digunakan untuk kesempatan yang lain.

Ketika dia untuk pertama kali diperbolehkan pergi ke gereja, dia segera berlutut di depan Sakramen Ekaristi. ”Tuhan Yang Maha Kasih,” dia mulai berdoa.”Jika karena kasih-Mu, Engkau telah menganugerahkan kehidupan yang lebih lama lagi, biarlah saya tidak dikenal dan dilupakan oleh orang lain kecuali oleh Engkau seorang.”

Ketika orang lain menyampaikan selamat atas kesembuhannya itu, dia tampak begitu sedih.

Kenapa engkau begitu sedih, Maria?” kata mereka.

Saya merasa bahwa saya sudah berada di jalan menuju surga.” jawabnya. ”Sekarang saya harus menunggu lebih lama lagi.”

Setelah itu, dia masih membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan kesehatannya sampai musim gugur dan dingin berikutnya dan meskipun penyakit typus itu telah hilang dari tubuhnya tetapi dia masih merasa tidak mempunyai kekuatan untuk dapat melakukan sesuatupun. Hari-hari yang membosankan ini hanya dapat diceriakan oleh kunjungan-kunjungan dari beberapa temanya.

Setelah merasa begitu lama tinggal di tempat persembunyiannya, sekarang dia mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan seluruh kehidupannya lagi sama seperti dahulu sebelum dia terserang penyakit itu.

Pagi-pagi benar Maria telah meninggalkan rumahnya, berusaha untuk mengetahui apakah ia masih bisa melakukan hal-hal yang dulu sering dia lakukan dengan mudah dan begitu memuaskan. Jika dia bisa melakukannya maka dia juga bisa kembali bekerja di sisi ayahnya dan juga di antara orang-orang upahan mereka.

Pertama-tama dia mencoba sendirian untuk menarik bajak dengan sapi milik keluarga, tetapi dia tidak bisa mengendalikan laju bajak tersebut, dan ketika dia berusaha untuk tetap menjaga agar mata bajak ganda tetap di jalurnya, mencegahnya memotong jalur lurusnya tetapi dia tidak berhasil karena mata bajak itu berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri tak terkendali sehingga dia harus menghentikannya. Ketika dia berusaha untuk mengayunkan sabit untuk memotong sesuatu, rasa sakit terasa sekali di punggungnya sehingga menghentikan usahanya itu. Ia lalu beralih ke hal lain. Dia menguji kekuatannya dengan mengangkat salah satu ember kayu yang berisi air yang berat. Meskipun musim dingin telah berlalu namun ia masih merasakan dingin yang menembus tulangnya. Akhirnya, dia harus menerima kenyataan: dia tidak akan bisa lagi bekerja bersama-sama dengan ayahnya di ladang.

Meninggalkan pekerjaan di ladang, dia mengalihkan perhatiannya ke gereja dan selama perjalanannya itu dia selalu berpikir tentang keadaannya dan hal itu membuatnya merasa kehilangan, merasa kehidupannya seakan sia-sia saja, kehidupan yang tidak memiliki tujuan. Dia tidak bisa bekerja di kebun dan dia tidak dibutuhkan di rumah untuk menjaga adik-adiknya karena mereka dengan cepat bisa belajar untuk menjaga diri mereka sendiri. Selain itu, pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh Felicina.

Merapatkan pakaiannya ke tubuhnya, dan kesusahan untuk bernafas, dia berhasil mencapai undakan yang terakhir, melewati lapangan kecil dan masuk ke gereja. Meskipun tidak ada orang yang mau datang ke gereja pada jam-jam seperti itu, dia tetap memilih tempat duduk yang lebih jauh dari pintu. Dia kemudian duduk, menghela nafas dan kemudian memejamkan matanya. Sebelumnya dia tidak pernah meresa seperti ini, sangat tidak berguna, sangat tidak dibutuhkan, dan dia harus mengakuinya, merasa sendirian. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dia bicarakan dengan orang lain. Bagaimana mereka bisa mengerti segala yang ia rasakan? Dan saat ini merupakan saat yang paling menyedihkan dan merasa paling kesepian di sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu kepada siapa dia harus mengungkapkan masalahnya itu dan bagaimana caranya. Sekarang dia telah berumur dua puluh tiga, tidak melakukan sesuatu pun dan sekarang berhadapan dengan masa depan yang suram dan hampa.

Ya, Tuhan!” dia meletakkan tangannya di atas kepalanya. ”Akan menjadi apa aku ini? Apa yang harus aku lakukan?” Dia tidak ingin menangis tetapi ternyata air mata itu tak tertahankan untuk tertumpah dari kedua matanya. Akhirnya dia menutup wajahnya dengan celemek kerjanya sambil mengeringkan airmatanya.

Dia tidak tahu berapa lama dia telah menangis. Namun tiba-tiba dia mendengar suatu keributan dari luar gereja. Keributan itu berbaur dengan jeritan dan tawa anak-anak yang girang. Puntu gereja itu segera terbuka dan sebuah sinar yang terang menerobos masuk ke lantai yang gelap itu. Diikuti oleh beberapa orang yang mencelupkan jarinya ke air suci, dan tergesa-gesa membuat tanda salib dan berlutut untuk menghormati Sakramen Mahakudus.

Maria dengan segera mengusap matanya dan berusaha untuk menguasai dirinya sendiri. Sementara itu tiga anak berjinjit mendekatinya.

Nona Maria”

Ya?” Maria tetap tidak menoleh kepada mereka. ”Anak-anak, apa yang kalian lakukan sehingga membuat suasana yang gaduh di dalam gereja?”

Nona Maria, apakah anda sedang menangis?”

Kami tidak suka melihat anda sedih.”

Kami semua mencinatai anda, Nona Maria.”

Maria menjadi gembira. ”Ya, saya sedang sedih,” katanya, ”tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang saya sedang tersenyum.” Dia berbalik menatap mereka. ”Apa yang kalian inginkan dari saya?”

Kami ingin tahu kapan anda akan kembali bersama-sama dengan kami lagi.”

Untuk mengajarkan kami bagaimana menjadi anak yang baik.”

Untuk mengajarkan bagaimana mencintai Yesus.”

Mengajar kepada anak-anak bagaimana mencintai Yesus,” ulangnya pada dirinya sendiri, ”Bagaimana mencegah anak-anak supaya tidak jatuh dalam dosa dan pada saat yang sama bagaimana harus...... Ya! Ya! Itu dia! Anak-anak tinggalkanlah saya untuk beberapa saat. Oh, tidak, lebih baik tetap tinggal di sini, berlututlah dan bedoalah bagi intensi-intensi saya.”

Dengan taat, anak-anak itu segera berlutut di belakang Maria, memejamkan mata mereka dan bibir mereka mengucapkan doa dengan cepat.

Sekarang Maria telah mendapatkan kembali ketenangannya. Menengok kembali ke belakang, dia merasa yakin bahwa suatu perubahan telah terjadi dengan begitu cepat. Memang tidak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi. Hal itu mirip secercah sinar menyala di dalam kegelapan. Tetapi dia tahu bahwa akhirnya semuanya itu akan menjadi semakin jelas. Sambil berlutut, dia berdoa untuk kekuatan dan bimbingan dan ketika dia bangkit matanya telah penuh dengan harapan yang baru.

Ayo, pergi, anak-anak!” ajaknya sambil berbisik.

Dia sangat bergembira ketika melewati bukit di belakang gereja di mana Pastor Pestarino membangun rumah untuk musim panasnya. Tiba-tiba dia berhenti, tidak bisa mengerti tentang sesuatu hal yang sedang dilihatnya. Dia melihat, atau paling tidak mengira bahwa dia melihat, sebuah bangunan besar seperti sebuah sekolah yang penuh dengan anak-anak yang sedang tertawa dan bermain dan sementara itu dia sendiri berdiri di antara mereka.

Bangunan itu tidak ada di sana sebelumnya,” dia berkata sendiri. ”Saya ingin tahu, apakah arti dari semuanya ini?” Kemudian dia mendengar suara dari seseorang, ”Aku mempercayakan mereka kepadamu.” Merasa tidak yakin apakah dia sedang bermimpi, ataukah hal ini merupakan pesan khusus kepadanya, dia kemudian menceritakan semua hal ini secara terperinci kepada Pastor Pestarino.

Omong kosong!” adalah jawabannya. ”Jangan pernah kamu memikirkan hal itu lagi, buang jauh semua pikiran yang menyangkut hal itu!”

Karena dia baru saja sembuh dari penyakit yang begitu lama dia derita, Pastor Pestarino menyangka bahwa hal ini hanyalah khayalannya saja. Dia sendiri berharap bahwa mimpinya itu mudah-mudahan dapat terwujud. Maria sendiri mulai berpikir bahwa mungkin apa yang telah Pastor Pestarino katakan, benar adanya. Di dalam beberapa kesempatan, Pastor Pestarino sendiri memintanya untuk melupakannya. Merasa bingung dan sedikit sedih, dia berusaha untuk melupakan semua hal itu. Meskipun demikian, berulang kali dia tidak bisa mencegah dirinya untuk mengingat kejadian itu dan ia akan merenungkannya.


5 - Rahasia Besar



Sebelum kita masuk ke gereja marilah kita berjalan-jalan sebentar ke tempat di mana kita tidak dilihat orang,” kata Maria kepada temannya. “Saya punya sesuatu yang penting untuk disampaikan kepadamu.”

Ya, Tuhan! Apakah itu?” Petronilla menahan nafas dalam ketidaksabarannya. ”Tolong katakan kepadaku!”

Mari kita pergi ke belakang sebuah pohon buah yang besar dengan menuruni jalan kecil itu.”

Hanya di sanalah tempat tersembunyi dari mata para pengunjung gereja di mana Maria merasa cukup aman menyampaikan rahasianya.

Sebab dia tidak dapat bekerja lagi di ladang karena ibunya tidak ingin melelahkan dia, Maria sekarang mempunyai lebih banyak waktu lagi. Sebagai akibatnya, dia bisa berhubungan dengan Petronilla Mazzarello, temannya tetapi bukan keluarga, lebih sering lagi daripada sebelumnya.

Kedua gadis itu mempunyai banyak kesamaan. Mereka memakai pakaian sehari-hari yang sederhana yaitu pakaian yang biasanya dipakai oleh para gadis desa. Kaki mereka bila perlu dilindungi sabot dan kaus kaki tebal, tubuh mereka dibalut dengan pakaian yang panjang sampai mata kaki yang warnanya tidak mudah memperlihatkan noda dan jumlah pakaiannya diatur sesuai dengan musimnya. Ketika mereka bekerja, mereka biasanya memakai juga celemek kerja dan untuk melidungi kepala dan menjaga rambut mereka, mereka biasanya memakai kain penutup kepala.

Mempunyai tubuh yang kuat dan tidak cantik, mempunyai kulit yang kasar dan berwarna coklat muda dengan sosok tubuh orang desa, Maria juga memiliki sebuah daya pikat yang nyata yang berasal dari kehangatan dan gaya keramahannya. Rambut coklat kemerah-merahan menutupi keningnya yang lebar. Hidung yang lebar dan mata coklat yang mencerminkan kecerdasan dan keriangan. Mulutnya juga lebar, dengan bibir yang penuh dan dua gigi terlihat menonjol daripada lainnya, hal ini terjadi akibat kebiasaan mendorong gigi-gigi itu dengan lidahnya. Tulang pipinya yang menonjol cukup memberikan sebuah kesan tentang kekuatan dan keteguhannya, sifatnya juga terlihat dari wajahnya yang tenang dan dari senyumannya.

Petronilla Mazzarello adalah anak kedua dari lima bersaudara dan merupakan anak perempuan dari pasangan guru paroh waktu dan petani yang memiliki sebuah rumah yang terletak di pusat desa. Karena tidak ada pendidikan untuk para gadis, ayahnya mengajarinya sendiri untuk membaca dan menulis. Dia juga memberi beberapa pelajaran kepada Maria.

Petronilla berbadan ramping dengan tinggi di bawah rata-rata para gadis biasa dan tidak terlalu kuat. Mempunyai kemauan yang cukup kuat ketika hal itu dituntut darinya, dia biasanya selalu mengikuti kemauan orang-orang yang dihormatinya. Dia diberkati dengan watak yang menyenangkan, seorang yang penuh humor, berhati halus dan menghayati agamanya dengan mendalam. Pernyataan yang disenanginya ketika mengatakan sesuatu yang baik adalah Oh bonta! (“Oh, Tuhanku!”) dan ketika mengatakan sesuatu yang tidak baik, Oh pieta! (“Kasihan sekali!”)

Maria setahun lebih tua dari Petronilla dan juga lebih kuat, sedangkan Petronilla memiliki sikap yang baik dan santai. Sementara semangat kesalehan yang dimiliki Maria lebih tampak di dalam hatinya daripada yang terlihat di luar, Petronilla adalah kebalikannya. Oleh sebab inilah, Petronilla awalnya ditolak untuk masuk ke dalam kelompok Puteri-Puteri Immaculata, tetapi Maria menolongnya untuk mengatasi kekurangannya itu dan akhirnya Petronilla diterima masuk. Pada saat Maria bertindak sebagai seorang pemimpin, Petronilla adalah seorang pengikut. Akibatnya, Marialah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk menjalin sebuah persahabatan.

Suatu pagi, sebelum doa Malaikat Tuhan—Petronilla bercerita kepada kami— bahwa ia melihat Maria berada di depan pintu gereja, menunggunya untuk dibuka. Dia memanggilku. “Beberapa kali,” katanya “kita berdua harus menunggu sampai pintu gereja dibuka. Mengapa kamu tidak pernah memintaku untuk berdoa bersamamu? Kita seharusnya melakukan hal itu karena berdoa secara bersama bernilai lebih tinggi daripada berdoa sendiri.”

Petronilla setuju dan semenjak itu keduanya sering terlihat berlutut bersebelahan di dalam gereja. Ketika waktu terus berlalu, semakin kelihatan bahwa mereka tampak tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mereka seperti sebuah buku yang terbuka, saling percaya bahkan untuk rahasia-rahasia kecil pun dan membuka hati tentang keinginan pribadi mereka.

Gosip-gosip beredar di desa karena melihat mereka menghabiskan banyak waktu bersama-sama, ingin tahu apa yang mereka berdua ingin lakukan. Sebenarnya, mereka hanya saling membuka diri dalam kepercayaan sampai pada suatu hari di musim panas tahun 1861, dimana Maria bertemu lagi dengan temannya itu di lapangan dekat gereja.

Kamu pasti sudah mengerti sekarang, Petronilla,” kata Maria, ”bahwa baik saya maupun kamu tidak akan dapat melakukan berbagai pekerjaan yang berat di ladang. Jadi apa yang masih bisa kita lakukan? Membersihkan rumah, menghambat kerja orang lain sehingga disebut pemalas? Apakah kamu ingin hal itu terjadi?” Petronilla mengeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh semangat. “Tentu saja tidak.”

Oleh karena itu, kita harus mencari cara untuk membuat diri kita tidak hanya lebih berguna, tetapi juga dibutuhkan.”

Bagaimana kita dapat melakukan hal itu?”

Saya menemukan bahwa ketika saya sedang sakit, masih ada sesuatu yang dapat saya lakukan dengan sangat baik.”

Oh, apakah itu?”

Menjahit”

Menjahit?” wajah Petronilla ragu-ragu. “Itukah rahasia yang besar itu? Bagaimana hal itu …?”

Oh, Petronilla!” seru Maria tidak sabar. “Tidakkah kamu lihat? Jika kita belajar menjahit dengan baik untuk membuat berbagai macam pakaian …”

Dan setelah kita melakukan hal itu?” potong Petronilla.

Kita akan mencari tempat untuk melakukan kerja kita, membuat pakaian-pakaian, menjualnya dengan memperoleh keuntungan dan mencari nafkah hidup sendiri. Tidak hanya itu, tetapi kita dapat juga mengajar anak-anak bagaimana cara menjahit dan pada saat bersamaan mengajari mereka bagaimana mencintai Tuhan yang baik dan bagaimana menghindar dari bahaya. Kita bahkan dapat …” Lalu Maria menyadari bahwa khayalannya telah pergi terlalu jauh. Tiba-tiba dia menghentikannya dan berpaling kepada temannya. “Jadi, bagaimana menurutmu?”

Petronilla pertama-tama ternganga karena terkesima, lalu ia senang dan akhirnya bersemangat tentang ide itu, “Tetapi…….” Ribuan protes muncul dalam pikirannya.

Demi surga!” seru Maria. “Lekaslah pergi ke ayahmu untuk meminta izinnya … Tetapi tunggu dulu! Pertama-tama kita harus minta berkat Allah untuk pekerjaan kita ini.”

Kedua gadis itu berlutut dan memohon berkat, lalu Petronilla mengunjungi ayahnya.

Ayahku segera memberikan izinnya,” katanya kemudian, dengan sedikit terkejut. “Saudara laki-laki dan perempuanku menentangnya tapi Papa melawan mereka. Dia mengatakan kepada mereka bahwa selama dia masih hidup, dialah yang memutuskan. “Teruskan usahamu, Petronilla,” katanya. “Kau mendapat restu dariku!’ ”

Langkah berikutnya adalah bertemu Pastor Pestarino karena mereka takkan berbuat suatu apapun tanpa izinnya. Dia juga memberikan berkatnya.

Sekarang tinggal Tuan Campi,” kata Maria.

Tapi dia penjahit pria!” protes Petronilla. “Kenapa harus dia?”

Karena dia dapat mengajar kita bagaimana cara memotong kain-kain itu, karena dia sendiri yang membelinya sehingga dia tahu harganya, banyak juga wanita yang memesan baju mereka kepadanya, oleh karena itu dia dapat memberi pekerjaan kepada kita dan bisa dikerjakan di rumah …… Oh, Petronilla! Kenapa engkau banyak bertanya? Apakah engkau tidak percaya kepadaku?”

“Tentu saja aku percaya. Hanya ….” Petronilla masih dalam keadaan bingung.

“Kalau begitu, mari kita pergi ke Tuan Campi.”

Terpesona oleh semangat mereka, Valentino Campi menerima mereka sebagai murid untuk musim gugur itu.

Ketika mereka kembali, Petronilla dengan sangat tergesa-gesa hendak memberitahukan ayahnya kabar baik itu ketika Maria menangkap lengannya. “Tunggu...” katanya.

“Apa ada yang salah, Maria?”

Tidak ada yang salah,” kata Maria. “Tapi sebelum kita melakukan hal-hal yang lainnya, marilah kita memutuskan sejak sekarang bahwa setiap jahitan yang akan kita jahit adalah untuk cinta Allah.”

Berita tentang hal ini dengan cepat menyebar ke seluruh desa, menyebabkan gejolak yang ringan. Kritik tajam ditujukan kepada mereka, kebanyakan kepada Maria, yang sebelum sakit, telah membuat mereka iri akan kecakapannya di ladang. “Dia tidak dapat menahan dirinya lebih lama lagi. Dia akan segera mengetahui bahwa itu adalah pekerjaan laki-laki.”

Mengabaikan kritik-kritik itu dan dengan tekun belajar, kedua sahabat itu segera belajar bagaimana membentuk bagian-bagian dari pakaian dan setelah memperoleh sedikit kepercayaan diri lagi, mengambil langkah berikutnya. Mereka bertanya kepada para wanita yang mereka lihat membeli kain untuk membiarkan mereka yang menjahit. Jika permintaan mereka diterima, kedua gadis itu lalu bekerja sampai malam dan sejauh mungkin dalam kerahasiaan sampai mereka menyelesaikan pakaian itu. Orang-orang tidak pernah mempertanyakan ongkos kerja mereka.

Di tengah seluruh aktivitas ini, ayah Petronilla meninggal dan Pastor Pestarino menasihatinya untuk tinggal bersama Theresa Pampuro, seorang anggota dari putri-putri immaculata, yang menurut peraturan mereka, tidak seharusnya hidup sendiri. Ia sakit-sakitan, berumur 40 tahun dan membutuhkan teman. Rumah Theresa lalu menjadi tempat kursus pertama mereka. Alasan lainnya dari Pastor Pestarino adalah untuk memindahkan Petronilla dari gangguan terus-menerus dari beberapa kakak laki-lakinya dan kakak iparnya yang menginginkan Petronilla bekerja bersama mereka di ladang. Mereka juga menuduhnya menghindari bagian kerjanya di ladang. Mereka ingin Petronilla bekerja di ladang jika saja ayah mereka bertindak tegas dan mengatakan bahwa Petronilla bebas untuk melakukan apapun yang ia suka. Sementara itu, Josef, kakak Petronilla menolong saudara perempuannya itu dengan diam-diam memberikannya 5 lira setiap bulan yang dapat Petronilla gunakan untuk membayar makanannya. Ini memungkinkan kedua gadis itu untuk melanjutkan kerja mereka dengan tenang.

Masih dipenuhi rencana dan belum juga puas, Maria pergi ke Antonietta Barco, satu-satunya penjahit wanita di desa itu, yang langsung setuju untuk mengajar mereka seni yang lebiih sulit dari memotong pakaian wanita. Ia baru saja selesai mengajar mereka ketika suaminya dipanggil untuk pindah kerja di kota lain dan ia harus mengikutinya. Hal Ini menyebabkan kedua gadis tersebut menjadi satu-satunya penjahit wanita di desa itu. Perlu beberapa waktu sebelum mereka menjadi cakap di bidang ini, tapi mereka hanya berurusan dengan penduduk desa yang berselera sederhana dan cepat puas. Bagaimanapun juga, mereka sukses dalam melayani setidaknya satu ibu dengan baik, sehingga ibu itu memohon kepada mereka untuk menerima anak perempuannya dalam tempat kursus mereka dan mengajarnya ketrampilan itu.

Karena hal ini adalah langkah yang sangat serius, kedua gadis tersebut duduk untuk membicarakan apakah mereka harus menerima anak itu atau tidak. Tapi karena Maria memang hendak mencoba hal tersebut dan Pastor Pestarino memberikan persetujuannya, anak itu diterima.

Gadis kecil ini dengan cepatnya diikuti dengan gadis yang lain, lalu gadis yang ketiga dan keempat… Tempat kursus kecil itu menjadi terlalu sempit untuk menampung mereka. Untuk mengatasi kesulitan ini, pertama-tama mereka berpikir untuk pindah ke rumah mereka, tetapi Pastor Pestarino malah menganjurkan mereka mencari tempat mereka sendiri. Setelah beberapa pencarian, mereka menemukan sebuah tempat tapi segera diketahui bahwa tempat itu terlalu lembab dan terlalu gelap untuk tujuan mereka. Kakak laki-laki dari Angela Macagno sekarang datang menolong mereka, menawarkan mereka sebuah ruangan dengan biaya sewa lima lira per bulan. Ruangan itu berbentuk persegi, mempunyai dua jendela yang menghadap ke Timur ke sebuah halaman yang seluas 12 kaki kali 12 kaki, dan dapat dicapai dengan mendaki sebuah jalur kecil landai dan melewati sebuah koridor. Maria sangat senang dengan hal ini karena berarti, di samping keuntungan-keuntungan lain, tempat itu hanya terletak beberapa langkah dari gereja. Ia dapat dengan mudah membawa murid-muridnya setiap hari untuk mengunjungi Sakramen Maha Kudus.

Tempat yang tersisa di ruangan itu memungkinkan mereka untuk menerima lebih banyak anak-anak yang membayar 1 lira setiap bulan. Ibu-ibu kini mulai menyadari kelakuan dari murid-murid Maria dan segera mereka juga mengirim anak-anak perempuan mereka ke tempat kursus tersebut. Di balik tindakan mereka, mereka menaruh harapan bahwa anak mereka akan bertemu Maria yang tidak akan pernah mengirim mereka pergi tanpa senyum dan kata-kata yang baik. Sebaliknya, anak-anak itu selalu menantikan untuk bertemu dengan Maria.

Karena kedua sahabat itu sekarang menikmati penghargaan yang mengagumkan di desa, langkah berikut sudah dapat diperkirakan. Seorang pedagang setempat yang istrinya baru saja meninggal dan meninggalkan dua gadis kecil, memohon agar Maria merawat mereka ketika dia bekerja. Setelah banyak diskusi dengan temannya dan bertanya kepada Pastor Pestarino, Maria setuju dan menyewa kamar yang lain pada sisi yang berlawanan di koridor dimana ditempatkan dua buah tempat tidur yang kecil. Petronilla sekarang membiarkan Theresa Pampuro tinggal bersama kedua anak itu. Berikutnya adalah Pastor Pestarino sendiri yang meminta mereka untuk menerima seorang gadis kecil yang ibunya meninggal dan ayahnya seorang peminum. Lagi-lagi masalahnya adalah tentang tempat, jadi mereka menyewa dua kamar lagi-lagi pada sisi lain jalan. Masing-masing kamar itu mampu menampung 4 atau 5 tempat tidur. Dengan segera, mereka menerima lebih banyak lagi anak-anak. Karena penghargaan kepada mereka meningkat, anak-anak yang datang tidak hanya berasal dari desa itu tetapi juga dari luar desa! Singkatnya, Maria dan Petronilla telah berhasil membuka sebuah rumah yatim piatu kecil untuk anak-anak yang membutuhkan pertolongan mereka.

Petronilla tidur di dormitori dengan anak-anak, tapi Maria, karena masih lemah dari sakitnya, kembali ke rumah pada sore hari. Keduanya akan bertemu kembali di gereja keesokan harinya dan menghabiskan beberapa waktu dalam keheningan doa. Sesampainya di tempat kursus, mereka akan membagi jatah kerja hari itu. Di antara keduanya terdapat saling pengertian yang begitu lengkap sehingga tidak ada yang menganggap dirinya sendiri superior dan mereka bertukar tanggung jawab ketika situasi menuntutnya.

Maria memiliki pikiran yang cerdas dan kemampuan yang hebat dengan tangannya. Petronilla lebih mudah menyesuaikan diri dengan tugas-tugas panjang yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Setiap anak-anak yang masuk akan Maria sapa dengan, ”Selamat pagi! Terpujilah Tuhan Yesus Kristus!” membuat tanda salib dan mengucapkan Salam Maria di depan patung Bunda Maria Ratu kita dan mengakhirinya dengan doa ”Saya memberikan kepadamu hatiku dan jiwaku”.

Anak-anak bekerja dalam ketenangan yang hanya dapat diganggu ketika dibutuhkan dan setelah itu seseorang harus berbicara dengan keras agar yang lain dapat mendengar. ”Apapun yang patut dikatakan harus dikatakan dengan keras”. Adalah alasan Maria untuk hal ini. ”Jika tidak, perkataan itu tidak perlu dikatakan sama sekali”. Pada pukul 10.00, satu kelompok pulang ke rumah untuk makan siang sementara para orang tua membawakan makanan bagi kelompok yang lainnya. Lalu salah satu di antara Maria dan Petronilla pulang ke rumah, salah seorangnya tinggal untuk mengatur anak-anak itu.

Pada pukul 12.00 anak-anak itu kembali untuk bermain di lapangan yang kecil. Kadang-kadang Maria dan Petronilla akan bergabung dengan mereka. Kadang-kadang mereka duduk bersama, menonton anak-anak itu bermain melalui jendela.

Suatu pagi Maria keluar ke lapangan kecil itu untuk mengawasi anak-anak itu. Ketika ia melihat mereka sedang tertawa dan bermain dan bertepuk tangan, ia berhenti sejenak. Suara dan pemandangan dari begitu banyak anak yang gembira yang sekarang berada di bawah asuhannya sekarang tiba-tiba memaksanya untuk mengingat sesuatu yang telah ia usahakan untuk melupakan. Untuk beberapa saat, ia berdiri di sana dan tak dapat bernafas, hatinya berdecak kencang dan seluruh tubuhnya bergetar sampai suara seseorang yang memanggil namanya membuatnya sadar kembali. Ia mengoncang-goncangkan dirinya sendiri untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu itu. ”Aku segera datang!” serunya sambil berjalan ke tempat kursus.

Selagi bekerja, anak-anak mengucapkan doa rosario dan mendengarkan bacaan dari The Maxims of St. Alphonsus Liguori. Maria memiliki bakat untuk mendramatisasi bacaan ini sehingga suatu kali ia membuat takut beberapa anak, sehingga mereka berharap tidak dIlahirkan agar tidak memiliki resiko pergi ke neraka.

Kerja terus berlanjut hingga pukul 4 sore. Setelah itu mereka diizinkan berekreasi ringan di koridor, melanjutkan pekerjaan atau mengunjungi gereja, setelah itu kembali bekerja sampai matahari terbenam. Lalu kedua gadis itu mengurusi anak-anak yang tinggal bersama mereka. Setelah hal itu selesai, Maria pulang ke rumah dan Petronilla menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya dan akhirnya pergi tidur.

Kedua sahabat itu menjalankan rutinitas ini setiap hari kecuali hari Sabtu, dimana sebuah perubahan dilakukan untuk memberikan mereka waktu untuk menyapu gereja. Hal itu adalah rutinitas yang begitu sederhana dan menyenangkan dan Maria akan dapat tenang menjalaninya sampai akhir hidupnya.

Tapi, Maria dapat mengatakan dalam bahasa daerahnya, il diavolo ci mettera la coda, setan pasti akan mengganggu. Meskipun ia tidak begitu menyadari hal itu, awan badai sudah berkumpul di atas kepalanya.

6­­—Orang-Orang Yang Terbuang Di Dalam Masyarakat



Untuk sementara waktu, Maria dapat menjalani seluruh hidupnya dengan baik dan masalah yang muncul hanyalah yang berhubungan dengan tugasnya dalam mendampingi anak-anak.

Dia tidak akan pernah membiarkan anak-anak berkata bohong. Memahami dan bahkan mengampuni kesalahan yang telah diperbuat oleh anak-anak itu, dia melakukannya dengan kesabaran tetapi juga dengan ketegasan. Pada suatu hari dia menyuruh seorang gadis kecil untuk memetik buah anggur.

“Apakah kamu berusaha untuk bermatiraga?” dia bertanya kepada anak itu setelah dia kembali. “Ataukah memakan beberapa buah anggur yang baru saja kamu petik?”

“Saya tidak memakan sebuah pun.” Anak itu menjawabnya selagi dia mulai tersipu malu.

“Bagaimana mungkin kamu dapat berkata seperti itu?” reaksi Maria. “Saya melihat pada waktu kamu mengambil anggur dan kemudian memakannya! Beraninya kamu berbohong! Hal yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika kamu berkata bohong!”

Pada kesempatan yang lain dia memberitahu salah seorang siswa yang mengikuti kursus bahwa anak mereka belum sampai di tempat kursus. Orang tua mereka menjawab bahwa telah melihat anaknya pergi ke tempat kursus tadi pagi. Kenyataannya, setelah agak lama anak itu baru muncul.

“Darimana saja engkau?”

Ketika ia mulai membuat-buat alasan, Maria segera memotongnya.

“Tidak usah berbicara lagi,” katanya. ”Saya dapat melihat kebohongan di wajahmu. Kamu pergi ke rumah itu yang mana saya telah melarangmu karena anak-anak laki-laki di sana adalah pembuat masalah. Tetapi bukan hanya itu melainkan karena kamu masih berusaha untuk menipu saya! Jika kamu masih pergi ke rumah itu, saya mengingatkan kamu, kamu akan menyesal!”

Ketika kemarahannya telah telah sirna atau ketika dia telah memberikan koreksi, dia akan segera melupakannya. Maria tidak pernah menyimpan perasaan terhadap anak yang melanggar peraturan dan anak-anak menyukai caranya bertindak karena mereka merasa bahwa Maria melakukannya demi kebaikan mereka.

“Maria akan memarahi kami jika kami memang pantas untuk menerimanya,” kata salah seorang muridnya. “Tetapi setelah dia menunjukkan kesalahan yang telah kami perbuat, dia akan tetap mencintai kami seperti sebelumnya seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang pernah terjadi. Dia selalu berbelas kasih. Saya tidak pernah melihatnya dalam keadaan murung. Ataupun nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang yang lebih tua. Ketika orang tua atau pelanggan mau bertemu dengannya, dia biasanya akan berkata kepada mereka, “Pergilah sebentar untuk bertemu dengan Tuan kalian.”

“Tetapi kami tidak mempunyai seorang tuan,” kata mereka berkeberatan. “Kami bekerja demi diri kami sendiri.”

“Oh, saya tetap yakin bahwa anda mempunyai seorang Tuan.”

“Tuan mana yang engkau bicarakan? Kami tinggal di rumah kami sendiri dan bekerja di kebun anggur milik kami sendiri.”

“Tapi saya tetap yakin bahwa anda memiliki seorang Tuan.”

Demi Surga! Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?”
“Jika kamu tidak percaya kepada saya, pergilah ke gereja dan di sana anda akan menemui Tuan atas rumah dan kebun anggurmu itu.”

Seadainya pun hanya mau menanggapi leluconnya itu, para wanita itu biasanya akan pergi ke gereja dan kemudian kembali untuk berterima kasih kepadanya. Dia tidak pernah membiarkan setiap orang yang berkunjung meninggalkan tempat itu tanpa pernah menawarkan kepada mereka sebuah pemikiran yang semakin mendekatkan mereka kepada sang “Tuan.”

Satu alasan yang membuatnya mau menerima tawaran untuk mengunakan kamar-kamar milik Maccagno adalah karena ia mempunyai rencana untuk menggunakan halaman kecil yang ada di sana bagi anak-anak yang mengikuti kursus di sana. Maksudnya ketika mereka sedang tidak mengunakannya maka tempat ini menjadi bebas. Dia berpikir bahwa saat itu bisa digunakan bagi anak-anak yang ada di desa itu. Seperti biasanya, pertama-tama, dia akan membicarakan hal itu kepada Petronilla dan kemudian kepada Pastor Pestarino. Mengetahui bahwa mereka sangat setuju dengan rencana itu, dia segera mengumumkan bahwa setiap hari Minggu dia akan mengundang tidak hanya anak-anak yang kursus di tempat itu tetapi juga bagi siapa saja yang ingin datang untuk bergembira dan membuat permainan-permainan. Mereka menanggapi undangan itu dengan bersemangat sehingga dalam waktu yang singkat saja halaman itu telah penuh dengan tawa, permainan, loncatan dan teriakan banyak anak. Maria selalu bisa ditemukan berada di tengah-tengah mereka, entah sedang bermain atau sedang menyemangati seorang anak yang malu untuk bergabung dengan yang lainnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka yang baru pertama kalinya bertemu dengannya untuk menjadi segembira seperti anak-anak yang mengikuti kursus di sana.

Pada awalnya belum ada peraturan yang tetap. Setiap orang bisa datang dan pergi setiap saat. Maria merasa sangat senang melihat mereka bisa bergembira di dalam sebuah lingkungan yang baik. Tetapi jumlah mereka segera membengkak sehingga tempat itu tidak bisa menampungnya lagi. Lalu apa yang harus dilakukannya? Dia tidak pernah perpikir untuk mengusir mereka maupun menutup pintu bagi mereka. Setelah memikirkan dan mendiskusikan hal itu dengan dua temannya, dia akhirnya menyimpulkan jika di dalam hanya tersedia halaman yang sempit maka yang lainnya bisa bermain di luar. Maria sekarang mulai mengatur mereka yang akan mencari tempat di luar rumah itu dan biasanya dia akan menemukannya di gereja setempat atau tempat-tempat berdoa yang lainnya. Hal ini menjadikan mereka secara teratur bertemu di gereja itu, berdoa bersama dan kemudia berkunjung ke tempat ziarah St. Silvester dekat Montaldo.

Acara untuk hari-hari itu terdiri dari sebuah cerita dari Maria, bermain, pelajaran katekismus dan kemudian kembali ke Mornese untuk membantu penduduk desa mendaraskan doa sore mereka. Pada saat musim dingin mereka akan segera pulang ke rumah tetapi saat musim panas yang panjang mereka pergi ke tempat peziarahan St. Silvester untuk bersenang-senang dan bermain-main lagi.

Walau percobaan yang dia lakukan itu ternyata berhasil dan dia mendapat izin dari ibu-ibu mereka karena mereka bisa melihat bahwa Maria bisa menjadi seperti Malaikat pelindung bagi anak-anak mereka, ada juga beberapa orang yang tidak menyukainya. Orang-orang ini adalah anak-anak muda yang merasa terganggu karena dia berhasil menarik hati anak-anak gadis dan merasa cemas pada nasehat-nasehat yang ia sering berikan kepada anak-anak itu. Pada saat itu adalah waktu menjelang karnival dan cara yang mereka gunakan adalah pesta tari. Karena Maria dan para ibu merasa tidak suka dengan gaya tarian-tarian itu, maka Maria mengusulkan suatu pilihan lain. Dia berhasil menemukan seorang gadis yang bersedia untuk membawa organ tabung dan jika hanya mau mengadakan tarian maka dia bisa menyediakan sebuah halaman yang kecil yang bisa dipakai oleh gadis-gadis itu untuk menyenangkan teman-temannya. Dan selain itu, ibu-ibu mereka juga mendukung rencananya ini.

Tetapi orang-orang yang mengorganisasi tarian karnaval itu tetap berusaha untuk menarik gadis-gadis itu dengan hadiah ataupun penghargaan, tetapi ketika usaha itu gagal, mereka mulai memaksa dengan kekerasan. Ketika gadis-gadis itu muncul di depan umum, anak laki-laki suka mengejek mereka. Maria melawan mereka dengan mengadakan piknik, dan makanan yang mereka butuhkan disediakan oleh Pastor Pestarino. Ketika anak laki-laki itu berusaha untuk menakut-nakuti mereka ketika mereka pulang, maka Maria berusaha membagi mereka dalam kelompok yang terdiri dari empat atau lima gadis sehingga dengan jumlah itu mereka bisa lebih berani dan jika mungkin dia akan menyuruh seorang gadis yang lebih dewasa untuk menemani mereka.

Para musuh itu telah melakukan hal yang lebih jauh lagi, bahkan mengarah kepada kekerasan. Gadis-gadis yang lebih tua menanggapinya dengan kebaikan dan seorang gadis kecil sempat mendapat pukulan yang cukup keras di kepalanya sehingga harus diperiksakan ke dokter. Meskipun yakin bahwa dia memenangkan pertempuran ini, tetapi dia tetap yakin bahwa para penentangnya itu akan tetap melakukan gangguan yang terakhir untuk menentang keberhasilannya itu.

Hal itu muncul dengan cara dan kesempatan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ketika gadis-gadis itu menari, pintunya dibuka secara paksa, dan dua orang laki-laki masuk ke tengah-tengah tarian itu dan mulai menari dengan para gadis itu. Maria kemudian mematikan musiknya, memerintahkan para gadis itu mundur dan dalam kesunyian itu dia dan orang-orang yang lainnya memelototi kedua anak muda itu. Tidak membutuhkan waktu yang lama setelah dimatikannya musik itu dan adanya banyak tatapan mata membuat para pengacau itu tidak merasa enak untuk terus menari, mereka menjadi malu dan kemudian berlari meninggalkan halaman itu. Kemenangan Maria sekarang telah menjadi sempurna.

Ketika pengaruh yang diberikan kepada gadis-gadis itu semakin berkembang, sekarang dia tidak hanya berkewajiban untuk mendampingi anak-anak yang menjadi tugasnya saja ataupun anak-anak yang ikut kursus tetapi juga bagi setiap anak di desa itu yang membutuhkan bantuannya. Dia memberikan perhatian khusus kepada mereka yang berada dalam bahaya moral. Dia biasanya akan memanggil mereka dan karena pengaruhnya di lingkungan itu, mereka biasanya datang dan mendengarkannya. Bagi mereka yang membutuhkan pendampingan yang khusus biasanya dia akan melibatkan salah seorang temannya untuk mengawasi mereka. Atau memberitahukan kepada orang tua mereka ketika dia merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan dan berusaha untuk membujuk mereka menuaikan tugas yang baik sebagai orang tua. Bahwa pengaruhnya terhadap gadis-gadis itu cukup besar diperkuat oleh kesaksian salah seorang di antara mereka.

Kami adalah dua orang kakak beradik.” Seorang gadis mengingat setelah beberapa tahun kemudian. “Saya berumur delapan tahun dan adik saya berumur tiga tahun. Dia mengajar kami cara berdoa dan pelajaran katekismus, mempersiapkan kami untuk pengakuan dosa dan untuk menerima komuni pertama dan ia juga mengajar saya bagaimana cara menjaga adik saya yang masih kecil. Suatu hari, saya membuat suatu kesalahan—karena rasa ingin tahu—pergi ke tempat dansa. Ketika Maria mendengar hal itu dia meneriaki saya seakan-akan dunia kiamat! “Paskah akan segera tiba” dia berkata kepada saya, “Tetapi karena kamu telah melakukan sesuatu yang salah maka kamu tidak akan diperbolehkan untuk menerima Komuni Suci bersama dengan teman-temanmu.” Saya kemudian menangis dan berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi tetapi dia tetap tidak mengizinkannya. “Sekarang kamu menangis,” katanya. “Tetapi kelak kamu akan tertawa atas apa yang saya lakukan kepadamu ini.” Saya tetap mempersiapkan diri untuk menerima Komuni Suci dan diperbolehkan menerima-Nya sehari setelah Minggu Paskah. Maria tetap baik dengan saya seperti sebelumnya. Dan hal itu memang benar. Hal itu memberikan sebuah pelajaran bagi saya sehingga saya tidak akan pernah lagi pergi ke tempat dansa seperti itu.

Dua orang sahabat itu akhirnya menyadari bahwa karena mereka tinggal cukup jauh dari tempat kursus itu, mereka telah kehilangan banyak waktu yang berharga untuk pulang pada jam-jam makan. Setelah mengadakan beberapa diskusi akhirnya Maria membuat sebuah keputusan.

Petronilla,” katanya, “Pergilah ke rumah Pastor Pestarino dan katakan kepadanya bahwa karena kita tidak mau kehilangan waktu yang berharga untuk pulang ke rumah maka kami akan membeli sedikit pasta dan akan membuat makan malam bagi kami sendiri.”

Meskipun dia sebenarnya merasa segan untuk berhadapan dengan Pastor Pestarino untuk membicarakan hal itu, tetapi untuk hal ini dia mencoba untuk memberanikan diri. “Baiklah,” jawabnya. “Jika kamu menginginkan saya pergi, maka saya akan melakukannya.”

Pastor Pestarino mendengarkan permohonannya, menimbangnya lalu menyetujuinya. “Lakukanlah apa yang kamu pikir baik,” dia berkata kepadanya.

Petronilla segera memberitahukan hal itu kepada Maria.

Melakukan apa yang kita pikir benar?” Maria mengulanginya. “Saya pikir yang terbaik adalah membuat makanan kita sendiri di sini! Langkah kita selanjutnya adalah mencari panci yang bisa dipakai untuk memasak pasta ini. Petronilla segera pergi ke rumah Theresa Pampuro dan meminjam salah satu panci miliknya.

Usaha Petronilla yang kedua juga berhasil sebagaimana usahanya yang pertama dan dia kembali dengan membawa sebuah panci yang besar yang bisa untuk memasak pasta untuk mengenyangkan mereka berdua. Dan sejak saat ini bagi Petronilla, kecuali bila saudaranya menuntutnya untuk makan bersama mereka, akan selalu makan di tempat kursus, sementara Maria, tergantung perasaannya—dia masih belum pulih betul dari penyakitnya—akan makan baik bersama keluarganya maupun bersama dengan temannya itu.

Makanan yang mereka sediakan sangatlah sederhana, terdiri dari pasta, nasi, tomat atau buah-buahan. Kadang-kadang Petronilla akan merebus sebuah telur untuk Maria jika dia melihat temannya itu tampak kurang sehat. Bagi Maria, supaya tidak ada perlakuan khusus baginya akan membagi telur itu dengan Petronilla.

Maria selalu ingin hidup bermati raga,“ kata Petronilla. “Bahkan jika mungkin, ia ingin hidup dengan menghirup udara saja!”

Karena desa itu hanya dapat menyediakan beberapa pekerjaan saja, dan para gadis itu membutuhkan lebih banyak pekerjaan supaya mereka tetap sibuk, Petronilla ditemani oleh salah seorang gadis, mulai mengadakan perjalanan di berbagai tempat untuk meminta pekerjaan dari orang-orang.

Sementara waktu terus berlanjut dan dia sudah merasa cukup kuat, Maria mulai membuat rencana untuk memisahkan diri sepenuhnya dari keluarganya dan hidup bersama Petronilla dan gadis-gadis yang lain dalam kelompok Putri-Putri Immaculata yang ingin bergabung dengan mereka. Dengan cara ini dia berharap dapat mempersembahkan seluruh tenaganya bagi anak-anak itu. Meskipun rencana ini kelihatan sangat tergesa-gesa bagi keluarganya untuk mengabulkannya, dia tetap memintanya lagi. Pertama-tama orang tuanya menolak rencana itu, terutama ayahnya yang selalu ingin dekat dengannya. Meskipun demikian, dengan setengah hati akhirnya dia mengizinkannya juga, tetapi bukan sepanjang waktu melainkan untuk beberapa kesempatan khususnya pada malam hari.

Theresa Pampuro ingin melakukan hal yang sama tetapi kesehatannya tidak mendukung. Meskipun demikian dia tetap membantu baik tempat kursus mereka ataupun tempat yang menjadi pusat berkumpulnya anak-anak yang ada di desa itu. Ketika Pastor Pestarino sudah menyetujuinya, langkah berikutnya adalah mengusahakan andaikata mungkin untuk tinggal dan bekerja bersama-sama. Tidak membutuhkan waktu yang lama ketika beberapa anggota muda dari Putri-Putri Maria Immaculata meminta izin untuk bergabung dengan mereka.

Sekarang baik tempat kursus maupun tempat berkumpulnya anak-anak muda telah berfungsi dengan baik dan Maria berhasil mengumpulkan beberapa orang temannya dari Putri-Putri Maria Immaculata untuk bisa mendampingi mereka. Dia sedang berada pada puncak kesuksesan ketika sebuah badai mulai menerjangnya.

Masalah itu berawal dari beberapa teman Angela yang menunjukkan kepada Maria bahwa aturan dari Putri-Putri Maria Immaculata dengan jelas menyebutkan bahwa para anggota hendaknya tidak tinggal di tempat lain selain di rumah mereka masing-masing. Untuk menjawabnya Maria meniru apa yang telah dikatakan oleh Pastor Pestarino. “Kamu harus menganggap hidupmu itu sepenuhnya di bawah pengawasan saya,” dia pernah berkata kepada Maria. “Dan saya dapat berkata bahwa kehidupan yang engkau alami selama ini sesuai dengan aturan itu.”

Sekarang bagi para anggota yang lebih tua mulai menuduh Pastor Pestarino telah memberikan perhatian khusus kepada Maria, tetapi para anggota yang lebih muda menyangkalnya dengan keras.

Sayangnya, semua peristiwa itu terjadi ketika jabatan Angela sebagai ketua hampir habis dan harus segera dicari pengantinya. Dua calon segera muncul untuk mengisi posisi itu. Ketika anggota-anggota yang lebih muda melihat Maria sebagai seseorang yang selain mempunyai kemampuan untuk mengorganisasi, juga mempunyai jiwa keibuan dan telah membantu perkembangan kelompok itu, tetapi bagi para anggota yang lebih tua menganggapnya sebagai seseorang yang berusaha merebut tempat Angela dan sepertinya mau menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemimpin yang cakap dan berbakti. Semua ini menyimpulkan bahwa Maria merupakan seseorang yang tidak tahu berterima kasih. Semua protes Maria bahwa yang diinginkannya hanyalah diperbolehkan mendampingi anak-anak di tempat latihan kursus dan pusat anak-anak, atau juga desakannya agar namanya tidak disebut-sebut, tidak dapat membantu menyelesaikan masalah itu.

Tetapi akibat dari itu adalah Maria mendapati dirinya berada dalam posisi yang bertentangan dengan seseorang yang sangat dikaguminya.

Bagi Angela sendiri, apapun yang telah ia pikirkan atau rasakan, dia sendiri tidak mengambil bagian dari tindakan yang memecah belah itu. Dia adalah seorang yang terlalu berpegang teguh pada agama dan juga seseorang yang sangat baik hati. Satu-satunya perhatian yang ia curahkan adalah usahanya untuk keselamatan dan kemajuan rohani dari kelompok itu.

Pastor Pestarino sediri merasa berada dalam sebuah dilema. Dia sangat mengenal betapa baik tingkah laku kedua orang itu, dia juga sadar seandainya dia mengambil suatu tindakan yang salah maka akan segera mempergaruhi kelompok itu. Setelah memberikan beberapa masukan dan setelah berdoa memohon bimbingan Tuhan, akhirnya dia mengumumkan bahwa Angela Maccagno tetap menjadi pemimpin Putri-putri Maria Immaculata.

Keputusan ini tidak memuaskan bagi anggota-anggota yang lebih muda. Mengetahui bahwa suara mereka sama sekali tidak diperhitungkan, mereka kemudian memanggil Maria untuk memprotes hal itu.

Apa pendapatmu tentang hasil pemilihan ini yang tidak lebih daripada sebuah sandiwara?” mereka bertanya kepadanya.

Keputusan itu sudah yang terbaik.”

Kami tidak berpikir demikian. Kami menginginkan anda yang terpilih.”

Mungkin kalian melihat hal ini dengan cara pandang yang benar.”

Apakah itu pendapat anda yang sebenarnya?”

Dengar, saya tahu kalian tidak puas,” Maria berkata kepada mereka. ”Biarlah hal itu berlalu. Sekarang waktunya untuk berterima kasih kepada Tuhan dan menaati kehendak suci-Nya.”

Dengan memberikan jawaban ini dia berharap jika tidak bisa menghentikan badai yang sedang bergejolak itu, paling tidak bisa mencegah mereka untuk berusaha memisahkan diri dari kelompok itu yang akhirnya bisa menghancurkannya.

Para anggota yang lebih tua telah menuduhnya sebagai motor pengerak untuk berkomplot mengantikan Angela dan kemudian menempatkan dirinya sebagai ketua kelompok Putri-putri itu. Maria tidak terlalu terpengaruh dengan hal-hal itu. Tetapi jika dia menemukan bahwa hal itu mempengaruhi hubungannya baik dengan para ibu ataupun dengan anak-anak, maka dia angkat bicara dan menjelaskan masalah itu sebaik-baiknya. Setelah masalah itu perlahan-lahan mulai tenang tetapi ketika muncul lagi, Pastor Pestarino berusaha setenang mungkin, mulai mencoba untuk mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak, mulai berdoa memohon perlindungan dan memanggil kembali para anggota untuk mengadakan pertemuan.

Supaya bisa menyingkirkan masalah, meskipun seandainya dia sendiri tidak bersalah dalam menimbulkan perselisihan ini,” katanya, “dan pada saat yang sama melindungi pribadi ini dari tuduhan-tuduhan, dan sejauh hal itu saya anggap penting, Maria Mazzarella akan meninggalkan desa ini dan tinggal bersama dua adik laki-lakinya, Dominikus dan Josef, di La Valponasca. Dia diizinkan untuk bisa datang ke desa hanya pada hari-hari pesta dan hari Minggu untuk mengikuti misa. Selama itu juga, dia tidak diperkenankan untuk berhubungan dengan Putri-putri Maria Immaculata.”

Apa tujuan Pastor Pestarino memberikan pernyataan yang begitu keras itu?

Pertama-tama ia ingin memindahkan orang yang menjadi penyebab perselisihan itu. Dengan demikian dia berharap kedua belah pihak bisa merenungkannya dan setelah itu, dia merasa bahwa mereka yang telah menuduhnya akan menemukan bahwa mereka telah bersalah sehingga menyesal dan memintanya untuk kembali. Dia telah menyelidiki sebelumnya, pada saat mereka bekerja di tempat kursus dan pusat untuk anak muda, mereka akan merasa menderita dengan ketidakhadiran Maria di sisi mereka. Akibatnya, mereka akan memintanya untuk segera kembali. Terakhir, karena telah mengetahui kebaikan hati dan juga cara berpikir Maria, dia menjadi yakin bahwa Maria akan menerima keputusan itu tanpa mengeluh.

Meskipun demikian, para anggota kelompok itu tidak merasa demikian, dan reaksi keterkejutan muncul di dalam ruang rapat itu. Bagi teman-temannya keputusan itu benar-benar merupakan sesuatu yang sama sekali tidak adil dan tidak beralasan sementara bagi kelompok yang lainnya keputusan itu merupakan sesuatu yang terlalu berlebihan. Kedua belah pihak paham betul bahwa Maria mempunyai sifat yang cepat marah dan kalau hal itu sudah terjadi maka dia akan menjelaskan kepada semua orang apa yang selama ini dia pikirkan, mereka segera menunggu reaksinya.

Meskipun sebenarnya Maria tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah tentang hal ini, dan sejauh yang ia ketahui bahwa hukuman yang telah diberikan kepadanya benar-benar tidak adil, tetapi dia menganggap hal ini sebagai sebuah percobaan yang paling berat untuk menguji kebajikannya.

Setelah beberapa saat merenung, ketika wajahnya mulai memerah dan bibirnya gemetar, dia menundukkan kepalanya dan dengan berbisik dia mentaati keputusan itu. Dia akan tinggal di La Valponasca sampai Pastor Pestarino memutuskan bahwa dia bisa kembali ke tempat kursus dan Pusat perkumpulan anak muda itu.

Karena larangan Pastor Pestarino tidak menyangkut kerja mereka sehari-hari, Petronila seringkali mengirimi Maria bahan-bahan pakaian untuk dijahit. Pada saat para gadis ini membawakan bahan-bahan yang akan dijahit ini, Maria dapat bertanya kepada mereka apa yang terjadi dengan tempat kursus mereka dan juga pusat berkumpulnya anak muda ketika dia tidak ada di sana dan pada saat-saat tertentu dapat memberikan nasehat-nasehat kepada teman-temannya itu dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul. Pada gilirannya para gadis itu sangat senang bisa bertemu dengannya sehingga mereka berlomba untuk bisa pergi ke La Valponasca.

Sementara itu sambil terus berdoa berharap bahwa keputusan itu segera dicabut, dia tetap menunggunya dengan taat. Setelah lebih dari satu bulan setelah pengusirannya itu, seperti yang telah Pastor Pestarino perkirakan sebelumnya, mereka mulai merasa menyesal terhadap segala sesuatu yang telah mereka lakukan kepadanya dan hal itu terutama yang berkaitan dengan tempat kursus dan pusat anak muda yang mulai menderita karena ketidakhadirannya. Pastor Pestarino merasa bahwa dia sudah cukup menderita untuk menebus dosa teman-temannya itu. Dia segera mengumumkan bahwa masa pengasingannya telah selesai dan dia bisa segera kembali ke Mornese.

Bagi Maria, masa pengasingan itu memberikan kesempatan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermatiraga, berdoa dan meditasi, yang bisa menjadi persiapan untuk karya-karyanya pada masa datang. Setelah mencobai kerendahatiannya dan telah menemukan bahwa ia layak, maka sekarang Tuhan telah siap untuk mengutusnya untuk memajukan karya-karya-Nya.




“Don Bosco adalah seorang kudus! Saya bisa merasakannya! Don Bosco adalah seorang yang kudus!”

Inilah reaksi pertama Maria ketika dia telah berhadapan langsung dengan seseorang yang telah diceritakan oleh Pastor Pestarino secara mengesankan.

Pertemuan ini diadakan ketika Don Bosco untuk pertama kalinya mengunjungi Mornese dengan beberapa maksud tersembunyi di balik kunjungannya itu.

Pada tahun 1862, dia diundang untuk menghadiri sebuah perayaan di Acqui, sebuah kota yang terletak sekitar 160 km di sebelah utara Mornese, kemudian oleh sang uskup diperkenalkan dengan Pastor Pestarino. Pastor Pestarino merasa sangat gembira karena bisa bertemu dengan seseorang yang begitu menarik baik bagi kalangan para imam maupun penduduk biasa di Piedmont. Ketika pertemuan itu telah selesai kedua pastor itu secara tidak sengaja bertemu di dalam sebuah kereta dari Acqui menuju Alesandria dan Don Bosco mendengarnya dengan sabar ketika Pastor Pestarino bercerita tentang keajaiban jemaatnya di Mornese. Mornese pada dasarnya bukanlah suatu tempat yang penting di dunia ini. Tetapi ketika Pastor Pestarino mulai membicarakan tentang perkumpulan Putri-putri Maria Immaculata, Don Bosco mulai memberikan perhatian yang lebih serius. Ketika Pastor Pestarino telah selesai bercerita, Don Bosco mengaku bahwa beberapa uskup telah mendesaknya untuk segera memulai bekerja bagi anak-anak perempuan seperti yang telah ia lakukan bagi anak laki-laki, dan ia merasa sangat tersanjung dengan usulan-usulan itu.

Don Bosco sekarang menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan seseorang yang mempunyai jiwa pelayanan yang sejati, oleh karena itu dia segera mengundang Pastor Pestarino berkunjung ke oratorinya, supaya bisa membicarakan lebih jelas lagi tentang gadis-gadis bimbingannya itu dan juga tentang rencana-rencana pribadinya. Pastor Pestarino memenuhi undangan itu tetapi sebelumnya dia terlebih dahulu mengunjungi tempat ziarah Madonna della Rocchetta di mana dia memutuskan akan mempersembahkan seluruh hidupnya dan mempersembahkan seluruh harta kekayaan duniawi yang ia punyai kepada Don Bosco.

Ketika ia membuat usulan yang baik ini kepada Don Bosco, jawaban yang ia terima sesuai dengan apa yang ia harapkan. Don Bosco menerima permohonan yang dia usulkan itu, akan tetapi karena dia tidak mau merampas wewenangnya dalam membimbing para gadisnya, maka untuk sementara waktu, dia harus kembali ke Mornese dan melanjutkan membimbing mereka. Setelah mendapat tugas itu, kegembiraan yang Pastor Pestarino rasakan, dibagikan kepada kelompok itu khususnya untuk Maria dan Petronilla, Don Bosco memberinya dua medali Bunda Maria untuk mereka atas karya-karya yang telah mereka lakukan untuk anak-anak di Mornese. Don Bosco juga memberinya sebuah jadwal harian sederhana untuk mereka supaya bisa membantu karya-karya mereka. Ini adalah salah satu cara yang dia gunakan untuk memperkenalkan kehidupan religius kepada mereka .

Setelah ia kembali ke Mornese, Pastor Pestarino memberikan medali-medali itu kepada Maria dan Petronilla, kemudian menjelaskan kepada gadis-gadis yang lainnya bahwa Don Bosco menginginkan mereka mengikuti Maria dan Petronilla.

“Siapakah Don Bosco? Sebagian besar di antara kami bahkan belum pernah mendengarnya.”

“Siapakah Don Bosco?” ulang Pastor Pestarino. “Jika kalian mau duduk sebentar, saya akan memberitahukannya kepada kalian.”

Ketika mereka sudah duduk, Pastor Pestarino menceritakan kehidupan dan karya-karya Don Bosco dengan terperinci. Dia bercerita dengan antusiasme yang sangat besar karena dia sangat menggagumi kerasulan Don Bosco untuk kaum muda.

Johanes Melchior Bosco lahir pada tanggal 16 Agustus 1815 di Becchi, sebuah desa kecil dekat Turin, karena terlalu kecil sehingga tidak tampak di dalam peta. Setelah melewati banyak kesulitan akhirnya ia berhasil menjadi seorang pastor di bawah bimbingan seorang santo yaitu Pastor Josep Cafasso. Setelah mendapat ilham dari surga, dia membangun tempat berkumpul untuk anak-anak yang miskin dan terlantar di Turin yang diberi nama Oratori. Selah berhasil mengatasi halangan-halangan dan rintangan-rintangan baik dari pihak pemerintah maupun gereja sendiri, akhirnya dia diakui sebagai salah seorang pendamping anak muda yang terbesar. Oratori itu menjadi terkenal karena keberhasilannya dalam merangkul kaum muda—khususnya yang nakal—bahkan beberapa anak di antaranya berubah menjadi orang kudus. Oratori itu kemudian mengembangkan sayapnya ke dua daerah yang paling miskin di kota itu. Supaya dia mempunyai cukup orang untuk menjalankan pusat-pusat anak muda itu dan bisa terus bekerja di dalamnya, dia mendirikan sebuah kongregasi yang kemudian disebut Salesian. Dia sudah membuka rumah baru di Mirabello dan Lanzo dan sudah diminta untuk membuka rumah-rumah yang baru di seluruh negeri.

“Oh!” dan “Ah!” adalah ungkapan kekaguman mereka, tapi alis Pastor Pestarino yang berkerut membuat mereka terdiam.

“Dengan anugerah khusus yang ia miliki, dia dapat mengubah seorang musuh menjadi teman.” Dia melanjutkan, “banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang terhormat, para kardinal di Roma ataupun para tokoh pemerintahan yang antiklerik di Turin. Dia telah sukses menulis beberapa buku tentang anak muda dan terkenal karena bisa mengetahui masa depan dan bahkan membaca pikiran seseorang. Dia mempunyai karunia yang luar biasa dan kemampuan untuk menyembuhkan. Dia adalah seseorang yang sangat baik, sangat pintar dan sangat kudus yang bisa kamu harapkan untuk bertemu. Terlebih lagi, dia berkata bahwa dia ingin bertemu dengan kalian.”

“Dan kami juga sangat ingin bertemu dengannya!” ulang gadis-gadis itu.

Pada kunjungan berikutnya ke Oratori, Pastor Pestarino meminta sekali lagi kepada Don Bosco untuk mengunjungi Mornese dan dia mendapat suatu jaminan bahwa permintaannya itu akan dikabulkan yaitu ketika sebuah surat datang dari Turin yang memberitahukan bahwa Don Bosco akan berkunjung pada awal bulan Oktober. Dia tidak akan datang sendirian dan kunjungannya itu bukan sekedar mampir saja. Dia akan ditemani oleh satu kelompok anak yang terdiri dari lima puluh anak laki-laki setelah mereka mengunjungi Genoa di mana mereka sedang mengadakan kunjungan untuk mengisi liburan musim gugur mereka, dan akan tinggal di Mornese selama empat atau lima hari.

Don Bosco mempunyai kebiasaan untuk mengajak sekelompok anak-anak oratori mengadakan kunjungan-kunjungan setiap tahun. Kunjungan-kunjungan ini pelan-pelan berkembang menjadi kesempatan untuk berlatih memberikan pelayanan bagi daerah-daerah pedesaan dan juga sebagai sarana untuk memperkenalkan oratorinya. Dia juga mendapatkan anak-anak yang luar biasa selama kunjungan-kunjungannya ini.

Saat ini adalah masa yang sangat membahagiakan Don Bosco. Dua tahun yang lalu, dia bisa menyaksikan pengikraran kaul pertigatahunan untuk yang pertama kali yang diucapkan oleh dua puluh dua anggota kongregasi yang baru didirikannya. Pada tahun ini, khususnya pada tanggal 23 Juli, enam puluh orang dari anggota kongregasinya telah menerima Dekrit Persetujuan dari Roma dan juga pada tahun itu, pembangunan Basilika Maria Bunda Penolong Umat Kristiani di Turin dimulai. Akibat dari semua hal itu adalah kegembiraan yang dialami oleh Don Bosco selama dia mengadakan kunjungan dan berhenti untuk beberapa hari di Mornese.

Ketika diumumkan bahwa Mornese akan dikunjungi oleh pastor yang terkenal itu, yang tentangnya seluruh Piedmont selalu membicarakan baik tentang Oratorinya ataupun anugerah-anugerahnya yang luar biasa, seluruh penduduk desa tidak tahan untuk menantinya. Karena kecintaan dan rasa hormat mereka kepada Don Bosco dan keinginan mereka untuk bisa menyaksikan anak-anaknya bernyanyi, main drama, dan musik, menjadikan desa itu kebanjiran pengunjung. Pastor Pestarino adalah seorang yang menyadari bahwa jika komunitas kecilnya mempunyai tugas untuk menampung, memberi makan dan menjamu sebuah kelompok yang terdiri dari lima puluh anak, maka perlu banyak hal yang harus dipersiapkan.

Pertemuan-pertemuan diadakan, rencana-rencana dibicarakan dan tugas-tugas dibagikan. Untuk memimpin acara itu ditunjuklah Francis Bodrato, seseorang yang berpengalaman dalam hal-hal seperti itu. Untuk Maria dan teman-temannya, mereka mendapat tugas mempersipkan rumah peristirahatan musim panas milik Pastor Pestarino yang berada di belakang Kastil yang bisa dipakai oleh anak-anak untuk menginap dan mempersiapkan makanan.

Maria merasa sangat gembira. Dia segera berkeliling desa untuk meminjam kasur, seprei dan selimut; kemudian dia juga harus meminjam piring, pisau dan garpu, panci dan wajan dan semua hal yang dibutuhkan untuk memasak daging bagi begitu banyak orang itu; kemudian dia masih harus mengumpulkan telur, anggur, roti, salami, tepung, tomat dan bahkan ikan, karena Don Bosco dan kelompoknya akan tiba di sana pada hari Jumat pada saat snack sore.

Pada hari yang dijadwalkan untuk kedatangan Don Bosco, Pastor Pestarino telah menugaskan beberapa orang untuk berjaga di luar desa supaya mereka tidak usah tegang menunggu kedatangan Don Bosco, tetapi bisa memiliki cukup waktu.

Untunglah ia melakukan semua karena Don Bosco, seperti yang sudah menjadi kebiasaan sekarang ketika dia muncul di depan umum, begitu terlambat karena banyaknya permintaan orang-orang yang mengharapkan berkatnya, nasehat-nasehatnya, dan meminta penyembuhan darinya.

Ketika kereta api mendekat ke Serravalle Scrivia, stasiun yang terdekat dengan Mornese, dia dijemput oleh Pastor Pestarino yang kemudian meminjamkan kuda putihnya untuk ditungganginya menuju Mornese. Don Bosco ditemani oleh seorang pastor yang masih muda yaitu Johanes Cagliero dan kelompok anak-anaknya. Mereka meninggalkan Becchi setelah mereka merayakan pesta Rosario pada tanggal 2 Oktober, dan kemudian berhenti di Genoa dan beberapa tempat yang lainnya selama dalam perjalanan itu. Di Serravalle mereka menghadiri misa dan sarapan di biara Fransiskan dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Gavi di mana mereka ditawari makanan-makanan dengan ramah oleh seorang teman dekat Don Bosco, yaitu Canon Gaetano Alimonda yang kemudian menjadi Uskup di Turin.

Kira-kira satu kilometer di luar Mornese, Don Bosco dijemput oleh pastor paroki bersama dengan Pastor Pestarino yang pada saat itu telah pergi terlebih dahulu untuk memberitahukan tentang kedatangannya kepada para penduduk. Meskipun kedatangannya terlambat tetapi semuanya bisa berjalan dengan baik. Pada saat Don Bosco dengan menunggang kuda putih milik Pastor Pestarino memasuki daerah itu kesunyian menyelinap mengiringinya, dan dengan membuka kedua tangannya dia memberikan salam bagi mereka. Dan saat itu semua bel yang ada di desa itu berbunyi, kembang api dinyalakan, api-api penerangan dinyalakan dan anak-anak mulai berteriak dengan gembira dan penduduk mulai memenuhi tempat itu dengan teriakan Hidup Don Bosco ! dengan lilin dan obor yang menyala, para penduduk mengelilingi Don Bosco.

Ketika dia berjalan menuju desa, seluruh penduduk berlutut untuk menerima berkatnya. Setibanya di gereja, mereka segera mendaraskan doa sore dan setelah itu makan malam. Kemudian baik penduduk desa maupun anak-anak segera pergi untuk beristirahat.

Pada pagi harinya Don Bosco memimpin misa dan mendengarkan pengakuan dosa. Pada saat sarapan Pastor Pestarino memperkenalkan kepadanya Putri-putri Maria Immaculata, yang untuk acara ini telah menyelesaikan perbedaan mereka dan bekerja sama.

Don Bosco berbicara dengan singkat kepada mereka, berbicara tentang kesempurnaan hidup kristiani, tentang keindahan akan kemurnian, kekuatan dari contoh-contoh yang baik dan tentang cinta Tuhan dan Bunda Maria. Kata-kata yang ia ucapkan keluar dari lubuk hatinya yang terdalam dan gadis-gadis itu sangat terkesan. Kemudian dia memberkati mereka dan kemudian mereka menyertai kepergiannya. Setelah itu Don Bosco memberitahu Pastor Cagliero tentang “kegembiraannya yang besar karena bisa menemukan di dalam diri para gadis desa yang sederhana itu ketidakterikatan akan barang-barang di dunia ini dan keinginan untuk mencari kebahagiaan yang ada di surga.” Pertemuan yang pendek itu menjadi awal mula hubungan yang istimewa di antara gadis-gadis itu dengan Don Bosco.


Mungkin tidak ada orang yang pernah mempunyai pandangan yang lebih jelas tentang karya dalam hidupnya yang harus dilakukannya. Tentulah tidak ada orang yang pernah mempunyai lebih banyak kelebihan-kelebihan yang bisa digunakan untuk melengkapinya dan tidak pernah ada orang yang berusaha untuk melengkapinya dengan tujuan yang lebih besar dan mulia. Seluruh karya dalam kehidupan Don Bosco dipersembahkan untuk keselamatan jiwa-jiwa anak muda. Namun, anehnya, ketika ada kesempatan untuk berkarya untuk jiwa-jiwa gadis-gadis muda, dia kelihatannya tidak mampu memutuskan tentang hal itu. Pada kenyataannya, dia menghindari untuk membuat suatu keputusan untuk waktu yang cukup lama.

Untuk bisa mengerti sifatnya itu, seseorang harus memahami keyakinan Don Bosco bahwa tubuhnya adalah Bait Roh Kudus dan dia harus menjaganya dengan kesucian dan kemurnian. Kemurnian adalah sesutu hal yang sangat penting baginya sehingga dia bahkan bersedia untuk menumbahkan darah untuk mempertahankannya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi mereka yang berada di bawah bimbingannya. Dalam hal ini dia berusaha untuk mengikuti contoh dari seseorang yang karena kemurnian-Nya bisa mendapatkan anugerah untuk menjadi Bunda Allah.

Sifatnya dalam menghadapi wanita menunjukkan kepercayaannya, khususnya yang menunjukkan hasil pendidikan yang keras yang diterimanya dari ibunya, dan terlebih dari norma-norma masyarakat yang berlaku saat itu. Kenyataannya, dari sejak awal karyanya dia menunjukkan bahwa ketertarikannya bukan pada mereka. Sebagai contoh, dia tidak akan memperbolehkan anak-anak perempuan ikut serta dalam permainan-permainan yang ia atur untuk anak laki-laki di desanya; pada mimpinya yang pertama di mana dia ditunjukkan misinya pada masa depan, tidak tampak seorang anak perempuan pun di sana. Meskipun setelah ia menginjak tua, dia tidak pernah baik memeluk ataupun mencium seorang wanita atau membiarkan seorang gadis kecil menyentuhnya; terlebih lagi untuk mencium mereka. Pada saat akhir hidupnya, dia hampir menaiki beberapa anak tangga ketika tiba-tiba seorang wanita, dengan segera membantunya, mencoba untuk memegang lengannya. Dia menolak pertolongan itu dengan mengucapkan sebuah lelucon bahwa seorang prajurit yang sudah tua tidak memerlukan bantuan seperti itu. Selain itu, sikapnya kepada para wanita, khususnya yang menjadi sahabat dan pendermanya, selalu penuh hormat dan kebaikan hati. Selain itu, pada saat melakukan kerasulannya dia sering menginap untuk beberapa saat di rumah-rumah wanita-wanita yang kaya dan tidak ada seorangpun di antara mereka pernah merasa malu karena ia tinggal di rumah mereka. Bahkan ketika ia bersikeras untuk menjaga jarak dengan mereka, ia bersikap alami dan tenang dalam semua urusannya dengan para wanita. Karena hal inilah, orang-orang sangat menghormatinya karena mereka mengerti alasan dari tingkah lakunya adalah supernatural.

Karya perdananya sebagai pastor di Rifugio, sebuah rumah untuk gadis-gadis yang terlantar, dia terima sebagai bentuk ketaatannya kepada bapa pengakuannya, Pastor Cafasso. Tetapi dia lebih memilih untuk menerima tantangan meninggalkan tempat itu supaya bisa mendampingi sebuah kelompok yang terdiri dari “anak muda laki-laki yang nakal.” Dia sadar dan yakin bahwa jalan terbaik utuk mempertahankan kemurnian adalah menghindari setiap kemungkinan yang ada dan membangun benteng pertahanan diri melalui penyangkalan diri dan matiraga.

Meskipun demikian, ketika banyak orang mengetahui keberhasilan karyanya dengan anak laki-laki, mereka menyarankan kepadanya untuk berkarya juga bagi anak-anak wanita yang sama malangnya dengan para anak laki-laki itu. Salah satu orang yang menyarankannya adalah ibunya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya bertemu dengan gadis-gadis muda itu, nampaklah bahwa mereka sangat memerlukan bantuan.

Dua tanda awal yang mulai menunjukkan kesadarannya akan kebutuhan ini dan kemauannya untuk berkarya bagi mereka berasal dari dua mimpinya.

Pada mimpinya yang pertama ketika ia sedang menyeberang Piazza Vittorio di Turin, tiba-tiba sekelompok gadis muda berlari ke arahnya. “Lindungilah kami juga Don Bosco !” mereka berteriak. “Lindungilah kami!” Pada mimpinya itu Wanita yang sering muncul di mimpi-mimpinya yang lain muncul juga kepadanya. “Mereka ini juga merupakan anak-anak-Ku,” kata-Nya. “Saya percayakan mereka kepadamu. ”Dengan kata lain mimpinya ini sejajar dengan mimpinya pada saat berusia sembilan tahun ketika Wanita itu menyuruhnya untuk memperhatikan sekelompok anak laki-laki yang sedang berkelahi.

Pada mimpinya yang kedua, dia sedang bersama Marchioness Barolo yang telah melakukan sesuatu hal yang sangat besar bagi gadis-gadis yang miskin. Ketika dia menyarankan kepadanya bahwa Don Bosco hendaknya memperhatikan anak laki-laki saja sementara dia yang memperhatikan gadis-gadis, Don Bosco memprotesnya, ”Darah Kristus tidak boleh disia-siakan,“ katanya kepada Marchioness Barolo, menunjukkan bahwa ia harus diperbolehkan untuk berbagi kerasulan bagi gadis-gadis itu.

Pada waktu-waktu tertentu, dia telah memberitahu beberapa teman dekatnya bahwa dia mempunyai rencana untuk mendirikan kongregasi religius bagi para wanita sama dengan pada saat dia mendirikan Kongregasi Salesian. Seperti hal-hal yang sudah berlalu, jika Don Bosco menghadapi suatu hal yang serius, dia akan selalu menunggu tanda persetujuan yang lebih meyakinkan dari surga.

Ketika dia harus menunggu petunjuk yang lebih jelas kepadanya, model kongregasi suster seperti apa yang akan didirikannya; bentuknya, cara hidupnya dan lain sebagainya. Kenyataannya, di dalam kerasulan Suster Clarac, dia telah menemukan apa yang dia cari-cari.

Pada tahun 1865, Suster Maria Louisa Angelica Clarac dari tarekat suster-suster Karitas mendirikan sebuah Institusi amal di dekat rumah oratori Don Bosco St. Aloysius di Porta Nuova di daerah Turin. Institusi ini berhasil berkembang dengan baik dan sudah mulai membuka beberapa cabang, dia sangat setuju ketika Don Bosco memintanya untuk membuka oratori bagi anak-anak wanita. Dan dia sangat berhasil pula dalam bidang ini.

Karena situasi yang kurang menentu, superior Suster Clarac berpikir bahwa akan lebih bijaksana baginya untuk menyerahkan seluruh kekayaan yang dimilikinya kepada kongregasi. Pada saat itu juga keadaan yang tidak menentu terjadi di Perancis ketika hak-hak para religius memprihatinkan, Suster Clarac berpikir, untuk beberapa waktu lebih baik seluruh kekayaan itu terdaftar atas namanya. Kesalahpahaman itu mengakibatkan Suster Clarac meninggalkan kongregasinya dan berkarya di bawah naungan Keuskupan Iivrea, sebuah perpindahan yang menghilangkan kesempatan bagi Don Bosco untuk bisa memiliki karya-karya Suster Clarac—dan juga komunitasnya –untuk dijadikan pondasi bagi kongregasi wanitanya.

Setelah berbicara akrab dengan Don Bosco, Pastor Lemoyne, penulis Biografinya, suatu ketika bertanya kepadanya, “Dan untuk para gadis, tidakkah anda ingin melakukan sesuatu bagi mereka? Tidakkah anda berpikir bahwa sebuah institut bagi para suster, yang berada di bawah naungan Salesian yang bisa anda dirikan, akan menjadi mahkota bagi karya anda? Tuhan selalu bersabar dengan para wanita yang mengikuti dan berkarya bersama-Nya..... Apakah mereka tidak bisa melakukan sesuatu kepada para gadis itu seperti yang telah kita lakukan bagi para anak laki-laki?”

“Saya dulu ragu-ragu mengutarakan pendapat saya,” lanjut Pastor Lemoyne, “karena saya pikir Don Bosco akan menentang pendapat saya itu.”

“Don Bosco berpikir untuk beberapa saat. Kemudian, yang membuat saya terkejut, dia menjawab, “Ya, kita akan memiliki suster. Mungkin tidak segera, tetapi nanti.’“

Pertanyaan dari Pastor Lemoyne didasarkan pada kenyataan bahwa para Salesian sudah menjadi bapa rohani di oratori milik Suster Clarac. Sudah terbiasa dengan karya-karya yang berhubungan dengan anak-anak perempuan, mereka melihat bahwa ada kebutuhan yang lebih banyak lagi untuk karya seperti ini.

Ketika salah seorang pastornya—yang tidak mendukung rencana ini—bertanya kepadanya dengan terus terang, “Apakah anda benar-benar ingin mendirikan kongregasi suster?” Jawabannya adalah, ”Revolusi telah menggunakan para wanita untuk membuat banyak kekacauan. Kita akan menggunakan mereka untuk melakukan banyak hal baik.” Dia kemudian berkata bahwa karena dia ingin mendirikan sebuah kongregasi yang baru yang akan menjadi monumen penghargaannya kepada Bunda Maria, maka kongregasi itu akan disebut Putri-putri Maria Bunda Penolong.

Meskipun demikian, ia enggan untuk segera memulai melakukan dobrakan seperti itu karena dia tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan penting kecuali dia telah yakin bahwa hal itu merupakan kehendak Tuhan. Itulah mengapa, setelah mimpi-mimpinya itu, dia masih bersikap hati-hati dengan jalan berkonsultasi dengan beberapa orang yang mempunyai wewenang, dengan dewannya sendiri dan dengan Bapa Suci. Akhirnya, ketika dia mengenang kembali penderitaan yang telah dia lalui sebelum usulan pendirian kongregasi Salesian disetujui, dia dipermalukan, ditolak dan dihina ... Ketika dia menyadari bahwa mendirikan sebuah kongregasi untuk para suster pasti membutuhkan banyak perjuangan, keberanian yang lebih besar, pengorbanan diri yang lebih berat dan semuanya itu harus ditanggungnya! Dia sendiri mengakui, “Jika harus mengikuti keinginan saya sendiri, maka saya tidak akan melakukannya.”

Tetapi seluruh tanda-tanda yang muncul nampaknya memberikan tanda bahwa gadis-gadis muda ini, dan satu orang di antaranya, telah dipilih untuk menjadi batu pondasi di mana penyelengaraan Ilahi bekerja melaluinya, mendorongnya untuk segera mendirikan kongregasi itu.

Pada Hari Minggu setelah makan malam, anak-anak keluar untuk menampilkan pertunjukan mereka di Desa Parodi. Meskipun demikian, Don Bosco tidak ikut pergi bersama mereka agar dapat mendiskusikan beberapa hal penting dengan Pastor Pestarino. Selama percakapan itu Pastor Pestarino mengingatkan kembali keinginannya untuk bergabung dengan para Salesian dan Don Bosco secara resmi menerimanya tetapi sekali lagi memintanya untuk tetap tinggal di Mornese sampai dia menyelesaikan pekerjaan yang sekarang diberikan kepadanya. Untuk menghormati keinginan Pastor Pestarino yang mempunyai keinginan untuk bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat ini, disetujui bahwa pendirian sebuah gedung sekolah untuk anak laki-laki di desa itu merupakan sesuatu yang diutamakan. Pastor Pestarino memberikan jaminan kepada Don Bosco bahwa seluruh anggota masyarakat akan bekerja sama untuk mewujudkannya. Pada gilirannya, Don Bosco berjanji bahwa dia akan kembali ke tempat itu untuk peresmiannya. Kemudian percakapan itu berhenti, kedua pastor itu segera pergi mendengarkan pengakuan dosa. Pada akhir kunjungannya itu Don Bosco memberikan kepada anak-anaknya dan juga kepada para penduduk desa tradisi Salesian Selamat Malam yaitu perkataan singkat yang berisi sesuatu nasehat yang bisa direnungkan sebelum mereka pergi tidur.

Pada hari berikutnya, Minggu 9 Oktober, Pastor Pestarino mengundang Don Bosco setelah memimpin misa untuk minum kopi sejenak dengannya. Dengan cepat mereka segera dikerubuti oleh penduduk desa yang ingin mendengar kata-katanya dan mereka juga membawakan hadiah berupa telur, gandum, buah anggur, minuman anggur, ayam, buah-buahan dan keju. Don Bosco sangat berterima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka berikan meskipun baru pertama kali bertemu dengannya. Sebagai balasannya, dia memberkati mereka beserta dengan keluarga mereka masing-masing.

Dia merasa sangat terkesan dengan sambutan para penduduk itu dan hal itu tampak di dalam suratnya yang ia tulis untuk salah seorang pendermanya. “Saya sedang berada di sini, di Mornese,” katanya, “Di Keuskupan Acqui ketika saya menemukan sebuah desa yang penuh dengan kesalehan, kebaikan hati dan antusiasme, suatu kelompok manusia yang dengan nyata berusaha untuk mempersembahkan diri mereka untuk Tuhan. Pagi ini... pada saat saya memimpin misa, lebih dari seribu orang menerima Komuni.

Setelah mengunjungi Learna, Don Bosco bersama dengan kelompoknya kembali lagi ke Mornese dan pada pagi berikutnya dengan sedih mengucapkan selamat tinggal kepada Pastor Paroki, Pastor Pestarino, Putri-putri Bunda Maria Immaculata dan seluruh penduduk Mornese.

Bagi Maria sendiri, dia sangat tertarik dengan Don Bosco dan masih ingin bertemu atau berbicara lagi dengannya. Ketika dia tahu bahwa Don Bosco akan memberikan Selamat Malam kepada anak-anak laki-lakinya dan juga kepada penduduk desa, dia sangat senang mengetahuinya maka setelah menyelesaikan tugasnya, dengan segera dia pergi, dan dengan kasar mengunakan sikutnya untuk menerobos kerumunan orang-orang itu sampai ia berdiri di depan Don Bosco.

Orang-orang yang lain menoleh kepadanya. “Gadis yang kasar!” adalah ungkapan yang mereka berikan. “Betapa beraninya dia mendorong-dorong seperti itu supaya ada di depan?”

“Don Bosco adalah orang kudus!” Adalah alasan yang dia berikan. “Saya bisa merasakannya! Don Bosco adalah orang kudus!”


8—Melarikan Diri



“Saya ingin melihat seluruh buku-buku perhitunganmu, apa yang engkau beli dan engkau bayar; berapa banyak yang engkau terima dan berapa banyak yang telah engkau keluarkan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan.........” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Pastor Pestarino pada saat dia memberikan petunjuk-petunjuk kepada Maria.

Rumah yang telah dia bangun sendiri di sebelah kiri lapangan di dekat gereja memungkinkannya untuk lebih cepat bergerak dari tempat tinggalnya di Jalan Roma untuk melayani umat pada misa pagi dan pengakuan dosa selama musim dingin, adalah sebuah rumah yang luas dan dibangun dengan baik yang memiliki lima kamar di lantai dasar, empat kamar dan sebuah ruang pertemuan di lantai petama, dan masih banyak ruangan yang kosong untuk bermain bagi anak-anak. Semenjak Maria dan teman-temannya telah mengungkapkan keinginan mereka untuk tinggal sendiri, dia mulai berpikir untuk mempercayakan rumah ini kepada gadis-gadis itu yang tidak tahu harus mencari tempat di mana, tidak mempunyai orang tua untuk bisa tinggal bersama, atau yang lebih memilih untuk tinggal di sana. Sebelum melakukan semuanya, dia terlebih dahulu berkonsultasi dengan Don Bosco yang menunjukkan ketertarikannya tetapi terlebih dahulu menasehatinya bahwa pertama-tama dia harus melihat dahulu apakah mereka bisa berhasil di dalam karya-karya mereka sendiri dan tidak mengharapkannya untuk mencukupi seluruh kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dia mulai memeriksa segala sesuatu yang Maria dan gadis-gadis itu telah lakukan di tempat kursus, harga yang mereka kelurkan untuk membeli baju, pembayaran hal-hal yang telah mereka keluarkan untuk karya mereka, uang yang telah mereka terima dari murid-murid mereka...... Dia juga ingin tahu bagaimana mereka menghayati semangat kemiskinan.

Di antara hal-hal yang lain, dia mengetahui bahwa Petronilla dan Theresa Pampuro masing-masing menerima satu lira lima puluh sen setiap harinya, sementara itu Maria yang kerjanya lebih cepat menerima dua lira lima puluh sen—gaji yang cukup baik pada saat itu. Kemudian dia mengetahui bahwa Petronilla juga menerima uang dari saudara-saudaranya yang telah menyewakan kamarnya dan dari hasil kebun yang diwariskan oleh ayahnya. Dengan bijaksana, dia juga mengajak anggota-anggota dari kelompok itu untuk pindah ke rumah itu. Tetapi komunitas yang kecil itu, tetap berada dalam suasana yang rahasia, tetapi seperti yang ia sendiri sadari hal itu kelihatannya mustahil. Saat berita itu bocor, masalah segera menghadang dari anggota-anggota Putri-Putri Maria Immaculata, dan Maria, karena posisinya, kembali harus berhadapan dengan badai yang berbahaya.

Karena Pastor Pestarino yang memberi tawaran rumah itu, maka sekarang adalah giliran para anggota kelompok untuk mengambil keputusan andaikata mau tinggal di sana.

Walaupun Angela Maccagno dan teman-temannya menyatakan bahwa mereka lebih suka untuk tetap tinggal di rumah itu, beberapa gadis yang lain menerimanya. Maria merasa sangat senang karena dengan demikian dia dapat memberikan seluruh waktunya untuk memperhatikan anak-anak itu dan mendukung yang lainnya supaya bergabung dengannya.

Di samping adanya keberatan dari beberapa anggotanya, muncul juga perasaan keberatan dari orang tua mereka. Ibu dari Maria, secara khusus, menganggap maksud dari anaknya itu sebagai “melarikan diri dari rumah.” Dia menginginkan Maria untuk segera menikah dan tinggal seperti gadis-gadis yang lainnya.

“Kami tidak ingin kehilangan kamu untuk selama-lamanya dan semua saudaramu akan segera menikah,” dia mengingatkan. “Lalu apakah yang akan kamu lakukan?”

“Tuhan akan menyediakan.”

“Dia telah menyediakan suami-suami yang baik untuk teman-temanmu.”

“Mengapa engkau kuatir tentang hal ini, Mama?”

“Saya mengkuatirkan hal ini karena kamu tidak kuatir. Saya tidak ingin melihat kamu, ketika kami semua sudah tiada, tercampak ke jalanan.”

“Tetapi engkau tidak seharusnya kuatir, Mama. Tuhan Yang Maha Baik akan menjaga saya dan juga yang lainnya,” Maria mencoba untuk meyakinkannya.

Alasan dari keberatan yang diajukan oleh ibunya didasarkan pada suatu kenyataan bahwa anak-anak gadis biasanya memberikan masalah bagi orang tua kalau sudah menyangkut perihal perkawinan. Bagi kaum laki-laki tidak menjadi masalah untuk hidup membujang tetapi untuk kaum wanita andaikata tetap tidak mau menikah sampai tua maka desa itu akan menganggapnya aneh. Sementara dari pihak laki-laki hanya dituntut kehadirannya saja pada saat pernikahan tetapi bagi pihak wanita mereka harus membawa mas kawin juga. Ibunda Mazzarello mempunyai lima orang anak perempuan dan jika yang tertua telah memberikan contoh yang tidak baik maka hal itu akan mempengaruhi kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Papa Mazzarello di lain pihak adalah seorang yang optimis dan seseorang yang beriman kuat dan tidak begitu takut akan keadaan anaknya itu. Selain itu, mungkin dia memiliki kepercayaan kepada Maria dan pada penyelenggaraan Ilahi.

Kita harus membiarkan anak-anak hidup menurut kehendak mereka sendiri,” dia menambahkan. “Kita hendaknya jangan terlalu ikut campur kecuali kalau mereka berada di jalan yang salah. Maria telah melakukan hal yang benar. Marilah kita menerimanya: dia tidak akan pernah selamanya bisa bekerja di ladang. Tetapi dia adalah seorang penjahit yang baik dan jikalau dia ingin tinggal dan menghabiskan hidupnya dengan beberapa temannya itu, saya tidak melihat sesuatu yang salah dengan hal itu. Selain itu Pastor Pestarino telah mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja.” Pada saat dia tidak cukup berhasil meyakinkan istrinya, tetapi paling tidak dia masih berhasil mengizinkan Maria untuk tetap mengikuti hidupnya itu. Tidak hanya itu, dia juga mengirimkan uang dua ratus lira “untuk bisa melewati masa-masa sulit” – suatu tindakan yang menunjukkan kasih sayangnya kepada Maria.

Meskipun merasa sangat berterima kasih, Maria yang dapat memperkirakan tentang hal-hal apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, masih juga kurang puas.

Papa,” katanya, “Saya sangat berterima kasih atas semuanya ini. Tetapi saja juga minta agar engkau selalu ingat bahwa saya akan selalu menjadi anakmu dan ini akan selalu menjadi rumahku. Jika saya perlu sesuatu maka engkau akan memberikannya, bukan?”

Tentu saja!” jawab ayahnya. “ini akan selalu menjadi rumahmu dan saya selalu akan menjadi ayah dari seorang anak wanita yang terkasih.” Diikuti dengan salam, pelukan dan keduanya kemudian menangis.

Pada bulan Oktober 1867, Maria dan teman-temannya pindah ke rumah yang baru yang diberi nama Rumah bagi Kelompok Immaculata (The house of the Immaculate). Pada permulaan mereka berjumlah tujuh orang, empat orang di antaranya merupakan anggota dari kelompok Immaculata dan tiga orang yang lainnya adalah gadis-gadis yang berumur antara empat belas dan lima belas tahun. Beberapa gadis meyakinkannya bahwa mereka akan segera bergabung setelah menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka mengharapkan bahwa tidak semua yang datang akan tinggal di sana karena keadaan di sana akan segera menjadi keras bagi beberapa orang di antara mereka. Selain itu, Angela dan teman-temannya mulai menunjukkan sikap mereka mengenai kelompok itu.

Mulai sekarang,” jelas Angela, “Kelompok kita tidak akan lagi disebut Putri-putri Maria Immaculata tetapi sebagai Ursulin baru.” Kemudian dengan sedih dia memberikan sedikit tambahan. “Hal ini berarti kita harus memisahkan kelompok ini menjadi dua dan mulai sekarang kita akan bejalan secara terpisah.”

Karena rumah yang Maria dan teman-temannya tempati mempunyai lebih banyak kamar maka Maria bisa menerima lebih banyak gadis sebagai calon. Dia juga mulai menerima mereka yang berasal dari luar Mornese; seorang dari Acqui yang telah disetujui oleh Pastor Pestarino, yang lainnya dari Fontanile, masih dari bagian utara, dan dua orang lainnya dari Turin, yang diusulkan oleh Don Bosco.

Kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, penambahan-penambahan anggota, orang-orang asing yang berasal dari luar desa—semua hal ini pada kenyataannya telah membentuk ketegangan dalam sebuah komunitas yang baru ini. Ketika sebelumnya Maria dan Petronilla yang memimpin, sekarang mulai muncul perbedaan pendapat karena keadaannya berubah, khususnya ketika para gadis itu ingin bertindak lebih bebas. Satu-satunya hal yang bisa memecahkan masalah itu adalah, walau dengan terpaksa menerimanya tetapi harus menunjuk seseorang yang akan mengatur dan memimpin semua kegiatan-kegiatan itu. Masalah yang muncul, seperti biasanya terletak pada Pastor Pestarino. Tidak seperti pada saat-saat sebelumnya, pada kesempatan ini dia memberitahukan bahwa dia tidak akan turut campur dalam urusan intern dalam menjalankan rumah itu. Hal ini sesuai dengan permintaan Don Bosco sendiri, supaya mereka bisa memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Pada pertemuan berikutnya, masalah itu segera dibicarakan dan sebagai pemecahannya maka dipilihnya Maria sebagai superior mereka.

Meskipun hal ini bisa memulihkan keadaan di dalam komunitas baru ini, tetapi masalah yang menyangkut keuangan belum juga terselesaikan. Karena sudah hidup di dalam komunitas dan jarang bergaul dengan dunia luar, gadis-gadis itu menemukan kesulitan dan bahkan lebih buruk daripada saat mereka belum bergabung dengan kelompok itu. Ketika dahulu mereka mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka dan mendapatkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan mereka, sekarang mereka harus mulai mandiri. Hal yang merupakan berkat yang besar bagi mereka adalah karena mereka hidup dalam kemiskinan maka kebutuhan hidup yang harus mereka keluarkan tidaklah telalu besar.

Saya adalah seorang siswa di tempat kursus itu, “kata salah seorang yang sedang mengikuti kursus menjahit, “dan ketika saat makan siang tiba, saya melihat mereka pergi ke dapur kecil mereka yang tidak ada cukup meja dan kursi untuk mereka semua. Putri-Putri itu, sebutan yang mereka pakai, akan segera mengambil makanan mereka masing-masing, ada beberapa orang yang duduk dan yang lainnya berdiri. Dengan mengintip dari jendela maka saya bisa melihat makanan jenis apa yang sedang mereka santap. Biasanya tidak lebih dari sepotong polenta dengan salad, atau roti dengan sup. Tetapi yang membuat saya terkejut adalah bahwa mereka selalu gembira dengan apa yang mereka makan itu. Kesederhanaan dalam hal makanan dan semangat bermatiraga telah diusahakan untuk ditanamkan ke dalam hati mereka sehingga mereka tidak merasa menderita dan malu terhadap kehidupan mereka yang baru itu.”

Meskipun demikian, mereka tidak merasa sepenuhnya ditinggalkan. Beberapa penduduk desa setelah melihat kehidupan dan karya mereka memberikan bantuan yang berupa; makanan, kayu bakar dan barang-barang yang lainnya. Maria mengingatkan ibunya supaya keluarga besar Mazzarello jangan meminta bayaran atas kayu bakar yang dibutuhkan oleh para gadis itu, Ibunya hanya tersenyum sebagai ungkapan persetujuannya. Ketika ayah dari salah seorang gadis memberitahukan mereka bahwa dia mempunyai banyak persediaan kayu-kayu kering, mereka berusaha untuk bisa membawa dahan-dahan itu sebanyak yang mereka mampu untuk persiapan musim dingin yang akan datang. Maria sering kali memberikan contoh-contoh kerja yang berguna untuk komunitas, di luar kesibukannya yang biasa, dia berusaha untuk memintal wool, membuat pakaian musim dingin, menjahit celana dan juga berternak ulat sutra dan hal-hal itu bisa menjadi sumber pendapatan.

Contoh yang ditunjukkan Maria itu telah mempengaruhi gadis-gadis yang lain sehingga mereka bisa berbagi lebih banyak lagi pengalaman mereka dalam kehidupan di desa.

Seorang wanita datang kepada Maria meminta seandainya Maria bisa mengunjungi ibunya yang sudah tua dan sedang sakit. Pertama-tama Maria berkonsultasi dengan Pastor Pestarino kemudian memberikan tugas itu kepada seorang gadis yang bernama Giovanna Ferrettino yang dirasa paling sehat dan mampu melakukan tugas itu. Ada seorang perawan tua yang sudah buta di desa itu yang sebelumnya ada seorang wanita yang biasanya membawakan sup atau makanan yang lain kepadanya, tetapi ketika musim panen tiba wanita itu tidak bisa mengunjunginya lagi. Sekarang kelompok para gadis pimpinan Marialah yang menanggung tugas itu, mengunjunginya, memberikan sedikit hiburan yang berupa nyanyian, dan akhirnya mempersiapkan kematiannya. Dengan kelompok kaum laki-laki dari perkumpulan St. Vincent de Paul, dia mempersiapkan dua ruangan khusus untuk menampung beberapa wanita sakit yang ditelantarkan oleh keluarga mereka. Gadis-gadis itu setuju untuk memperhatikan kamar-kamar itu. Dari kegiatan ini memudahkan mereka untuk bergerak di seluruh desa untuk bisa membantu orang-orang yang sakit dan mempersiapkan yang hampir meninggal.

Seluruh kegiatan ini, yang sangat membantu dan berguna bagi penduduk desa, hanyalah tugas kedua mereka selain mendidik dan memperhatikan gadis-gadis di tempat kursus yang mereka selenggarakan.

Pada saat kunjungan Don Bosco yang pertama, Pastor Pestarino mengakui bahwa dia sangat ingin melakukan sesuatu hal bagi penduduk desa di Mornese dan dia merasa bahwa hal yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah membangun sekolah untuk anak-anak mereka di dekat rumah musim panasnya.

Rencana itu akan kelihatan ambisius bahkan untuk sebuah komunitas yang empat kali lebih besar dari Mornese sekalipun. Dan memang, rencana itu sempat membuat para pamong di desa itu hanya bisa menghela nafas. Hal itu menunjukkan bukan hanya tentang kebaikan hati dari Pastor Pestarino dan kecintaannya terhadap penduduk desa tetapi juga keberaniannya. Bangunan dengan empat lantai, dan masing-masing lantai berjajar empat belas jendela, hal itu berarti bahwa bangunan itu akan mengalahkan seluruh bangunan yang ada di sana kecuali kastil. Pada mulanya para pamong sangat berhati-hati untuk menerima tanggung jawab untuk membangun sekolahan itu, tetapi Pastor Pestarino menyatakan bahwa jika penduduk desa mau dengan sukarela bekerja pada hari Minggu dan pada hari-hari libur, dia akan berusaha untuk membayar biaya untuk bahan-bahan yang diperlukan dan juga kebutuhan-kebutuhan yang lain. Lebih dari itu, ketika dia menyampaikan maksudnya yang tidak lain daripada keinginannya untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak mereka, karena sekolah itu akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempersiapkan diri menuju ke kehidupan yang lebih baik, maka seluruh keberatan yang ada segera hilang dan rencana itu segera dilaksanakan.

Dewan itu, dimana dia menjadi anggotanya, kemudian mengeluarkan keputusan bahwa “Pembangunan untuk keperluan umum dari sebuah bangunan yang akan digunakan untuk sekolah bagi anak-anak merupakan sebuah keinginan dari penduduk di sana.” Penduduk desa setuju untuk membantu dalam pembangunannya di luar jam kerja harian mereka. Sementara itu, Pastor Pestarino setuju untuk mempersiapkan para sukarelawan lengkap dengan gerobak dan juga keledai dan sapi-sapinya. Sementara itu Don Bosco telah berjanji akan datang pada saat peresmian gedung sekolahan itu.

Pembangunan gedung itu segera dimulai dan hal itu memerlukan banyak tenaga maupun kemauan dan setelah itu seluruh proses pengalian telah selesai dilakukan. Sayangnya, pecahnya perang telah merenggut begitu banyak orang muda, akan tetapi masih ada para wanita dan gadis-gadis muda—dan dalam hal ini termasuk juga anggota yang mengadakan kursus di tempat yang dikelola oleh Maria dan teman-temannya dan juga anak-anak oratori—sehingga bisa menutupi kekurangan tenaga itu. Pengerjaan bangunan itu terus berlangsung sampai pada permulaan musim dingin di mana biasanya seluruh kegiatan dihentikan.

Pekerjaan itu dilanjutkan pada permulaan musim semi sampai dengan terselesaikannya pembangunan gedung kapel. Pastor Pestarino berusaha untuk mengatur jika ada kemungkinan mengundang Don Bosco untuk memimpin upacara perberkatannya. Merasa tidak yakin bisa hadir dalam upacara pemberkatan ini, Don Bosco mewakilkan Pastor Valle, seorang pastor baru untuk menerima kehormatan ini. Tetapi kemudian, dengan mengejutkan semua orang, Don Bosco menyatakan bahwa ia bisa hadir dalam upacara itu, dan hal ini merupakan suatu pengumuman yang sangat mengembirakan bagi mereka.

Hari yang ditentukan adalah 9 Desember 1867, saat ketika jalan-jalan sedang dalam keadaan yang paling jelek. Sebagai akibatnya, Don Bosco harus melakukan perjalanan terakhir dengan menaiki kereta kuda sehingga menundanya untuk sampai di Mornese tepat waktu karena ia sampai di tempat tujuan itu pada jam 01.00 dini hari. Meskipun demikian dia masih sempat bertemu dengan kedua pastor di sana dan juga bapak bupati yang dengan setia menunggunya.

Ketika kereta yang dinaiki Don Bosco berhenti, dan karena jalanan berlumpur maka orang-orang tidak memperbolehkannya turun tetapi kedua pastor dan bapak bupatilah yang masuk ke kereta itu untuk menemuinya. Untuk menjaga supaya mereka tetap hangat dan untuk menerangi jalanan, mereka menyalakan sebuah obor yang sangat besar di atas jembatan sehingga bisa menerangi hampir seluruh desa itu.

Begitu banyak orang yang meminta berkat dari Don Bosco sehingga memperlambatnya untuk segera sampai di bangunan sekolahan yang telah dihias untuk penyelengaraan acara itu. Di depan kapel dipasang sebuah mahkota dan Don Bosco diundang untuk duduk dan mendengarkan puisi yang disusun untuk menghormatinya. Ketika puisi itu sedang dibacakan, Don Bosco menyarankan karena waktu yang sudah larut dan malam itu sangat dingin, maka sisa dari perayaan itu bisa lanjutkan keesokan harinya.

Pada hari berikutnya, pastor paroki memberkati kapel itu dan mempersembahkan kapel itu untuk Bunda Maria Yang Menderita, sementara itu Don Bosco membantu sang pastor dan mempersembahkan misa yang pertama di kapel itu. Sebuah batu pualam ditempelkan di dinding dekat dengan pintu kapel sebagai tanda perayaan itu. Sebuah upacara penyambutan bagi Don Bosco segera dibuat di serambi gedung sekolahan yang belum selesai itu dan seseorang memberi kata sambutan mewakili semua orang yang hadir di situ. Dia menjelaskan bahwa dalam banyak cara, orang-orang Mornese telah mendapat perlindungan dan bantuan dari Bunda Maria Penolong Umat Kristiani; bagi mereka yang pergi berperang masing-masing mengalungkan mendali Bunda Maria dan dapat kembali ke rumah dengan selamat. Bunda Maria juga telah melindungi mereka dari bahaya penyakit typhus dan telah menjauhkan mereka dari bahaya badai yang telah menghancurkan desa-desa yang lain...... Sebagai ungkapan syukur ini penduduk desa Mornese telah berjanji untuk memberikan sepersepuluh dari hasil panen mereka untuk membantu pembangunan gereja yang dipimpin oleh Don Bosco yang dipersembahkan bagi Bunda Maria Penolong Umat Kristiani di Turin. Diikuti oleh sebuah kebiasaan jika ada kunjungan dari para pastor atau tamu yang lain. Berkeranjang-keranjang buah-buahan, sayuran, telur, keju dan gandum, berbotol-botol anggur dan hewan ternak.... ditaruh di bawah kaki Don Bosco. Pada akhir acara itu, Don Bosco mengucapkan terima kasih yang melimpah bagi semua orang di dalam nama Bunda Maria Penolong dan berjanji bahwa kebaikan hati mereka tidak akan pernah ia lupakan.

Dia kembali lagi ke Mornese pada tanggal 19 April 1869, dan tinggal di sana selama tiga hari sambil menunjukkan kepada Pastor Pestarino sebuah program bagi para gadis-gadis itu. Rencana itu berisikan petunjuk-petunjuk bagi mereka tentang kesempatan yang baik untuk membuat latihan-latihan rohani dan juga prosedur untuk bisa masuk ke tempat-tempat pelatihan. Rencana itu juga menunjukkan cara yang paling umum dalam menjalankan seluruh kegiatan sepanjang hari. Dalam hal ini Don Bosco menambahkan beberapa usulan tetang bagaimana cara membangun kehidupan rohani dalam hal keramahan dan cinta kasih dan menawarkan beberapa nasehat praktis bagaimana menghadapi anggota-anggota yang masih muda.

Pada saat yang bersamaan, dia terus mendorong Pastor Pestarino untuk segera menyelesaikan bangunan sekolahan itu. Dia ingin segera membangun pondasi bagi komunitas itu. Dia juga memperoleh indulgensi penuh bagi mereka yang mengunjungi gereja paroki dengan intensi itu. Hal ini merupakan peristiwa yang diabadikan juga dengan sebuah batu pualam, yang dimasukkan ke dinding gereja.

Dia kembali lagi pada tanggal 8 Mei 1870 untuk membantu pentahbisan Pastor Joseph Pestarino, keponakan Pastor Dominikus Pestarino. Pada kesempatan ini, dia ditemani oleh Pastor Joseph Costamagna, salah seorang pastor mudanya. Ketika berada di sana, dia memberikan penghargaan terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di rumah Putri-putri Bunda Maria Immaculata. Kemudian dia mengundang Pastor Pestarino untuk datang ke oratori sehingga mereka bisa membicarakan masalah-masalah mereka dengan lebih baik.

Ketika Pastor Pestarino tiba di Oratori pada pertengahan bulan Juni pada tahun berikutnya, dia juga memberikan seluruh pengaturan keuangan yang menyangkut semua kegiatannya di Mornese kepada pemimpin Serikat Salesian. Hal itu menunjukkan bahwa dia telah diterima sebagai anggota dari Serikat Salesian dan merupakan bagian dari mereka. Dia juga menghabiskan waktu yang panjang berbicara dengan Don Bosco menyangkut hal sekolah dan para Putri-Putri Maria Immaculata.

Don Bosco bisa melihat bahwa Pastor Pestarino adalah seorang pendamping yang menyenangkan dan berpengalaman, meskipun banyak rintangan yang harus mereka hadapi baik yang berasal dari keluarga mereka, dari beberapa anggota masyarakat tertentu, atau karena kondisi kehidupan yang keras di mana mereka sangat kekurangan bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar, meskipun demikian mereka tidak hanya bisa bertahan bahkan anggotanya justru bertambah banyak. Setelah dia memberikan penilaian itu kemudian dia mengadakan pertemuan dengan dewannya untuk membicarakan sebuah rencana yang sangat penting. Setelah dia membicarakan rencana itu ke dewannya, dia segera akan mengadakan kunjungan lagi ke Mornese.

Maria merasa sangat senang berada di antara para Putri-putri Maria Immaculata dan sangat antusias menyambut setiap kedatangan Don Bosco ke Mornese. Baginya kunjungannya itu seperti kedatangan seorang malaikat dari surga, dan setiap nasehat yang dia berikan selalu menyemangatinya. Tetapi dia menemukan bahwa di dalam semua hal ini tidak ada yang bisa lebih mendalam demi kekayaan rohani mereka dan demi perkembangannya. Untuk sekolah itu, dia hanya mendapatkan tantangan dalam hal material saja baik yang berasal dari para penduduk desa maupun dari komunitasnya sendiri.

“Marilah kita berharap agar semuanya bisa segera selesai,” katanya kepada yang lainnya. “Kemudian Pastor Pestarino dan Don Bosco akan mengisinya dengan anak laki-laki. Semakin banyak anak berarti banyak pekerjaan untuk kita. Yang harus kita lakukan adalah meyakinkan mereka bahwa kita dapat mengurus pakaian mereka, memperbaiki baju-baju tua mereka dan kalau bisa membuat yang baru bagi mereka. Hore...! Kita tidak perlu lagi harus berkeliling desa untuk mencari pekerjaan!”

Maria tidak tahu bahwa gedung sekolahan itu akan memainkan peranan yang lebih penting untuk masa depannya.

9—Berkhianat !



Kita dapat menyimpulkan sekarang,” kata Don Bosco kepada para anggota dewannya tanggal 24 mei 1871, “adalah kehendak Tuhan agar kita memperhatikan para gadis itu. Sebagai langkah yang nyata saya menyarankan untuk menyerahkan pekerjaan ini pada sekolah yang sekarang sedang dibangun oleh Pastor Pestarino di Mornese.”

Pada saat mengadakan perjalanan pulang ke Turin, Don Bosco membuat keputusan penting untuk mendirikan sebuah kongregasi bagi para suster. Pada beberapa kesempatan, dia telah beberapa kali membuat penilaian secara langsung terhadap Puteri-Puteri Maria Immaculata, dan telah menerima laporan yang lebih jelas tidak hanya menyangkut spritualitas mereka tetapi juga menyangkut kemampuan mereka untuk menjalankan sesuatu yang telah mendekati sebuah komunitas religius yang selama ini telah mereka lakukan.

Setelah mengumpulkan semua anggota dewannya, dia membuka keinginan hatinya itu kepada mereka. Dan apa yang dia ungkapkan itu cukup membuat mereka terkejut.

Banyak orang-orang di pemerintahan,” katanya kepada mereka, “telah berulang kali menyampaikan kepada saya untuk bisa berbuat sesuatu untuk gadis-gadis itu seperti yang telah kita lakukan untuk anak laki-laki. Jika hal itu hanya terserah pada kecenderungan hati saya maka saya akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa saya tidak akan memulai karya kerasulan ini. Tetapi semenjak seruan-seruan itu terus diulang-ulang oleh orang-orang yang sangat saya hormati, maka saya akan menentang harapan-harapan dari Penyelenggaraan Ilahi jika saya tidak mempertimbangkan usulan itu dengan serius.

Kata-kata Don Bosco ini membawa pengaruh yang besar kepada anggota-anggota dewannya dan mereka berdoa dengan sungguh-sungguh memohon bimbingan sebelum membuat keputusan. Pada akhir bulan, Ia memanggil mereka untuk mendengar apa yang telah mereka putuskan. Sebagian besar anggota dewannya mendukung rencana tersebut.

“Tentu saja kalian tahu,” katanya kepada mereka, “Bahwa sekolahan itu aslinya diperuntukan untuk anak laki-laki. Sayangnya, dewan Keuskupan Acqui telah menasehati kita bahwa mereka tidak setuju karena hal itu akan merusak rencana mereka untuk membuka sebuah seminari kecil di sana. Oleh karena itu kita harus bertanya kepada Pastor Pestarino yang merupakan anggota Kongregasi kita untuk mempersiapkan gedung itu bagi Putri-putri Bunda Maria Immaculata. Mereka yang mempunyai keinginan agar bangunan itu diatur oleh institut yang baru itu akan menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah kelompok religius yang akan membuka oratori dan lembaga pendidikan untuk para gadis.”

Sekarang menjadi jelas bagi para anggota dewan ketika dia dengan semangat berusaha untuk memanfaatkan kelompok yang ada di desa itu sebagai batu pondasi untuk kongregasi barunya itu, dia juga bersungguh-sungguh—dan hal ini yang mengejutkan—memanfaatkan bangunan sekolahan itu untuk sebuah rencana yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan baik oleh Pastor Pestarino maupun oleh para penduduk desa.

Pada saat yang sama Don Bosco mengadakan kunjungan ke tempat tinggal Muder Enrichetta Dominici, superior dari Suster-suster St. Anna, sebuah tarekat yang didirikan oleh teman dan sekaligus pendermanya, dan meminta kepadanya untuk memberikan kritik dan saran terhadap peraturan yang sedang ia susun untuk kongregasinya yang baru. Muder Enrichetta segera menerimanya. Tetapi walaupun Don Bosco mengambil beberapa aturan dari para suster itu yang ia rasa berguna, dia juga memperlembut beberapa bagian yang ia rasa terlalu keras. Hal kehidupan religius dia mengunakan pendekatan yang lebih tidak kaku, memberikan sesuatu yang agak berbeda; lebih terbuka, lebih ringan dan lebih allegria atau gembira. Dia juga memasukkan beberapa aturan dari Kongregasi Salesian, merubah beberapa bagian sehingga bisa lebih sesuai dan lebih bisa diterima bagi keadaan psikologi para wanita. Dia rasa, semua hal ini lebih sesuai dengan semangat pada zaman itu.

Don Bosco mengadakan kunjungannya yang lain pada akhir bulan April untuk melihat bangunan yang telah dibeli oleh Pastor Pestarino atas namanya. Karena bangunan itu menjadi satu dengan sekolahan, Don Bosco telah memberitahukannya supaya membelinya juga sehingga sekolahan itu mempunyai tempat yang lebih luas.

Pada kunjungannya kali ini terjadilah suatu peristiwa yang sangat khusus, yaitu adanya sebuah kejadian yang membuat seluruh masyarakat membicarakannya dan menjadikan Don Bosco semakin dikagumi dan disegani.

Seorang bayi dari keluarga Jerome Bianchi yang baru berumur enam bulan menderita karena lengannya menekuk semenjak dIlahirkan. Lengannya segera membengkak dan mulai bernanah di sukunya. Mula-mula dokter menyarankan untuk mengoperasi sikut tersebut tetapi akibatnya adalah lengan itu menjadi cacat, oleh karena itu lebih baik diamputasi saja. Ibunya sangat menentang rencana itu. Dia tidak menginginkan anaknya menderita.

Mendengar bahwa Don Bosco telah datang ke Mornese, dia dengan segera membawa dan memintanya untuk memberkati bayi tersebut. Dia memohon memohon supaya bayinya itu disembuhkan dan bersamaan dengan perminataan itu, dia mempersembahkan seluruh emas yang dia terima pada saat pernikahannya. Don Bosco memberkati bayi itu tetapi yang mengejutkannya bahwa ibu itu tidak puas hanya dengan berkat saja. Dia bersikeras menanyakan kepada Don Bosco kapan anaknya itu akan sembuh.

“Karena kamu telah begitu bermurah hati kepada Bunda Maria,” dia menjawab, “Saya yakin bahwa doamu akan didengar dan bayimu akan disembuhkan pada akhir bulan Mei. Tetapi kamu juga harus berdoa.”

Meskipun demikian lengannya bayi itu tetap menyakitkannya dan bahkan terus bernanah sepanjang bulan Mei. Pada hari terakhir bulan itu, lengannya masih bernanah dan tidak menunjukkan tanda adanya kemajuan, apalagi kesembuhan. Pada hari itu seluruh kelurga kecuali kakek dan ibu bayi itu pergi untuk mengikuti misa. Ibunya untuk beberapa saat meninggalkan bayi itu dibawah pengawasan kakeknya, pada saat dia pergi lonceng-lonceng mulai berbunyi memberi tanda untuk berdoa Angelus. Sementara itu anak itu terus menangis karena kesakitan. Tiba-tiba dia berhenti menangis dan mulai berguling di dalam ayunannya. Kemudian dia berusaha menarik korden yang menutupi tempat tidur kecilnya. Dan dia melakukannya dengan lengannya yang sedang sakit itu!

Kakeknya terkejut menyaksikan kejadian itu dan dengan gembira segera berlari memanggil ibu bayi itu. Mereka sangat bergembira karena ternyata lengan dari anak itu benar-benar telah sembuh dan tidak meninggalkan bekas pada luka-lukanya atau cacat.


Pada tanggal 23 Juni, Don Bosco menghadap Paus Pius IX dan selama audensi itu dia memberitahukan Bapa Suci rencananya untuk mendirikan kongregasi bagi para wanita. Ketika Don Bosco meminta nasehatnya, Bapa Suci berkata bahwa dia akan mencoba merefleksikannya untuk beberapa hari dan kemudian baru akan memberikan pendapatnya.

Ketika bertemu lagi dengan Don Bosco, dia berkata, “Bagi saya rencanamu itu nampaknya demi kemuliaan Tuhan dan juga demi kebaikan jiwa-jiwa. Menurut pendapat saya para suster itu harus bekerja bagi para gadis sebagaimana yang para Salesian lakukan bagi anak laki-laki. Mudah-mudahan mereka bisa dibimbing oleh engkau dan juga oleh para Salesian seperti Suster-suster Karitas dibimbing oleh para Vincensian. Tulislah konstitusi untuk mereka dan coba dipraktekkan untuk mereka. Maka yang lainnya akan mengikuti.”

Merasa sangat gembira atas kata-kata yang diucapkan oleh Bapa Suci, dan karena merasa lebih yakin bahwa rencananya itu merupakan kehendak Tuhan, Don Bosco segera memanggil Pastor Pestarino ke pergi ke Oratori. Dia menunjukkan kepadanya rencananya yang berkaitan dengan Putri-Putri itu dan memberitahukannya juga tentang ide untuk pemanfaatan yang baru terhadap gedung sekolahan itu dan ia juga memberikan alasan atas rencananya itu, dan juga adanya keberatan-keberatan dari Dewan Keuskupan. Sekolahan itu hendaknya tidak bersaing dengan seminari yang juga akan menerima anak laki-laki yang tidak dipersiapkan menjadi pastor, tetapi hendaknya diberikan kepada para suster. Mengingat kelompok antiklerikal yang ada pada saat itu, dia juga menyarankan bahwa tidak ada untungnya bagi Gereja untuk mengumumkan alasan pergantian rencana itu kepada penduduk desa.

Demi mempertahankan nama baik gereja maka dengan senang hati ia melakukan hal itu. Don Bosco juga ikut serta dalam menjaga rahasia itu.

Mengatakan bahwa Pastor Pestarino terkejut adalah suatu hal yang kurang tepat. Pertama-tama, ia sangat terkejut; dia bahkan menyangsikan apakah yang telah didengarnya itu benar. Tetapi kemudian dia mengerti dengan sangat jelas apa yang Don Bosco katakan melalui setiap kata yang diucapkannya adalah sesuatu yang sangat penting bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kelompok kecil itu, untuk sekolahan itu dan bagi seluruh anggota masyarakat.

Meskipun ia menaruh kepercayaan yang sangat mendalam kepada Don Bosco dan meskipun pada kenyataannya dia selalu yakin bahwa Don Bosco sedang melakukan kehendak Tuhan, tetapi dia juga masih mempunyai beberapa keberatan di dalah hatinya. Di antaranya adalah dua hal yang utama: Siapa yang pernah mengungkapkan bahwa Para Putri-Putri Maria Immaculata itu mau menjadi religius? Bahkan Maria yang saleh dan juga temannya Petronilla belum pernah mengungkapkan perasaan seperti itu kepadanya. Dan kenyataannya, dia sendiri pernah menyarankan mereka supaya tidak menjadi seorang religius tetapi tetap seperti mereka sendiri apa adanya. Rencana untuk menjadikan mereka sebagai religius kelihatannya terlalu berlebihan.

Andaikata masalah ini dapat diselesaikan karena ada hal yang bisa dipakai untuk menjelaskan kepada mereka dan membiarkan mereka menentukan sikapnya sendiri, tetapi menganti tujuan pemanfaatan sekolahan itu merupakan suatu masalah yang lain. Tidakkah semua orang tahu bahwa sebelumnya sekolahan ini diperuntukkan bagi anak laki-laki? Bukankah para penduduk desa begitu bersemangat dengan rencana itu karena mereka tahu bahwa bangunan itu adalah sekolah untuk anak laki-laki? Dia lebih suka melihat siapapun juga termasuk Don Bosco meyakinkan penduduk desa bahwa mereka harus melepas sekolah tersebut untuk para gadis-gadis itu! Lalu apa yang harus ia katakan? Apa yang akan mereka lakukan terhadap orang yang berani melakukan perubahan seperti itu?

Don Bosco mendengarkan dengan sabar seluruh keberatan-keberatan itu dengan terperinci. Setelah Pastor Pestarino selesai mengungkapkan seluruh keberatannya, kemudian dengan rendah hati dia menunggu yang lainnya menanggapinya.

“Pastor Pestarino yang terkasih,” kata Don Bosco kepada, “Saya secara jurur percaya bahwa semua ini merupakan kehendak Tuhan.”

Setelah itu, yang bisa dilakukan oleh Pastor Pestarino hanyalah menerima semua usulan-usulan itu. “Tetapi bagaimana saya harus melakukannya?” dia bertanya. “Untuk memulainya, bagaimana saya mengetahui gadis-gadis yang mempunyai panggila untuk menjalani suatu kehidupan religius?”

“Mereka yang selalu setia bahkan dalam hal-hal yang kecil.” Kata Don Bosco kepadanya, “Mereka yang tidak merasa terhina pada saat dikoreksi dan mereka yang menunjukkan bahwa mereka mempunyai jiwa matiraga—mereka itulah yang mempunyai panggilan. Nama dari Institut baru itu adalah, “Putri-putri Bunda Maria Penolong Umat Kristiani.”

“Sesuatu yang sulit untuk disampaikan,” kata Pastor Pestarino dalam hati ketika dia pergi, “dan siapa yang dapat mendengarkannya?”

Don Bosco benar-benar seorang santo. Oleh karena itu maka dia percaya. Meskipun dia berkeinginan untuk menjalankan semangat yang diikuti oleh Don Bosco, dia tahu bahwa bukanlah sebuah tugas yang mudah yang sekarang harus dia hadapi dan ketika kembali ke Mornese kegelisahan itu tampak jelas di wajahnya. Orang pertama yang ia beritahu adalah para gadis yang berada di rumah.

“Biasanya ketika dia pulang sehabis mengunjungi Don Bosco,” Maria berkomentar, “dia akan kelihatan gembira dan bersemangat. Tetapi kali ini dia kelihatan sedih dan sangat tertekan.”

Ketika Maria bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, pertama-tama dia menolak memberitahukannya tetapi kemudian dia memberitahukannya juga.

“Don Bosco tidak menginginkan kita menggunakan gedung ini untuk anak laki-laki,” akhirnya dia memberitahukan juga. “Dia ingin menyerahkan gedung itu kepada kalian!”

Ketika para gadis itu mendengar hal ini, mereka lebih terkejut dibandingkan yang dialami oleh Pastor Pestarino. Mengingat kedudukan mereka yang bukan bangsawan, latar belakang mereka sebagai petani dan kenyataan bahwa sebagian besar di antara mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, berpikir bahwa mereka akan mengambil alih sebuah bangunan yang baru dan penting membuat mereka seakan tidak bisa bernafas. “Don Bosco menginginkan kami untuk tinggal di sana?” merupakan ungkapan mereka secara umum. Mereka juga mengerti sebaik Pastor Pestarino bahwa perpindahan itu bisa menimbulkan suatu keributan bagi penduduk desa dan mengetahui bencana yang akan mereka hadapi.

Selama sekolahan itu belum selesai maka permasalahan yang menyangkut tentangnya masih bisa ditunda, akan tetapi Pastor Pestarino segera berhadapan dengan masalah baru yaitu bagaimana dia harus memilih para calon untuk kongregasi yang rencananya akan didirikan oleh Don Bosco. Dia memulainya dengan sesuatu yang baginya kurang menyenangkan yaitu memberi penilaian kepada sifat-sifat dan sikap-sikap para gadis yang berbeda-beda. Dia yakin bahwa dua orang di antara mereka, Maria dan Petronilla bisa menjadi anggota. Dia telah lama menjadi bapa pengakuannya sehingga ia sangat mengenal mereka secara mendalam. Untuk memulainya, dia memberi Maria buku salinan di mana Don Bosco menulis di dalamnya aturan-aturan yang nantinya akan mereka ikuti.

“Kita harus mempelajarinya dengan baik,” kata Petronilla, “untuk memastikan bahwa kita menyukainya. Pastor Pestarino telah memberitahu bahwa kita semua harus memasuki tahap percobaan dan setelah itu masing-masing akan dipanggil dan kemudian akan ditanya apakah kita akan mengikuti mereka sesuai dengan rencana Don Bosco atau tidak. Oleh karena itu kita harus mulai mempelajarinya atau mulai menanyakan sesuatu tentangnya, karena di antara kita tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan yang baik. “

“Aturan-aturan ini, mungkin dengan sedikit perubahan, adalah Konstitusi yang yang nantinya akan diberikan oleh Don Bosco kepada kita. Tetapi saya mengingat bahwa mereka pernah berkata bahwa kita akan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sama dan akan mendaraskan Tujuh Kedukaan Bunda Maria pada saat-saat khusus. Ada pertanyaan yang menyangkut hal disiplin. Pertama-tama kita tidak tahu tentang hal ini, tetapi setelah dijelaskannya kita akan mengetahuinya!”

Sejauh yang menyangkut pilihan tentang panggilan mereka itu benar-benar dihayati, hal-hal lain bisa berjalan dengan lebih lancar daripada yang dibayangkan oleh Pastor Pestarino sebelumnya. Tetapi meskipun berapa kali dia mencoba untuk menenangkan pikirannya mengenai masalah sekolahan itu, dan biarpun dia telah berdoa banyak dan meminta para Putri-putri itu juga berdoa, tidak ada jalan keluar yang bisa mereka temukan.

Sementara itu sebuah masalah baru di desa itu membantu menghancurkan masalah yang dihadapi oleh sang pastor. Tempat tinggal pastor, yang berdekatan dengan Rumah yang dihuni oleh Putri-Putri Maria Immaculata, sudah terlalu usang sehingga dewan desa mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan itu khususnya upaya untuk memperbaikinya. Berdasarkan hukum, hal itu merupakan tanggung jawab mereka.

Para pekerja bangunan memberitahukannya bahwa banyak bagian yang harus diperbaiki oleh karena itu lebih baik jika gedung itu dirobohkan dan kemudian dibangun gedung yang baru di atasnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah ketika gedung itu sedang dibangun, di manakah pastor akan tinggal? Seseorang memberikan usul karena rumah yang dihuni oleh Putri-putri Immaculata merupakan yang terdekat dengan gereja maka lebih baik dia tinggal untuk sementara di sana. Anggota dewan itu kemudian bertanya kepada Pastor Pestarino andaikata dia mau tinggal di tempat itu selama gedung pastoran sedang diperbaiki. Pastor Pestarino menyetujuinya tetapi kalau dia tinggal di sana lalu dimanakah para Putri-putri itu akan tinggal?

Ketika seseorang menyarankan bahwa mereka untuk sementara waktu bisa tinggal di gedung sekolahan, Pastor Pestarino tidak bisa menutupi kegembiraannya yang luar biasa mendengar hal itu. Dalam usulan itu ia melihat —oh, dengan begitu jelas!—penyelengaraan Ilahi berkarya di sini. Hal itu meyakinkannya bahwa Don Bosco telah mengetahui sebelumnya akan perpindahan yang akan terjadi di sekolahan itu yang sebelumnya menjadi sumber pertanyaannya. Segera setelah pertemuan itu selesai, dia segera pergi ke Rumah Putri-putri Maria Immaculata dan memberitahukan gadis-gadis itu apa yang baru saja terjadi. Mulai saat itu satu-satunya hal yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara mereka akan pindah ke sekolahan itu. Semua hal ini mereka lakukan pada malam hari tanggal 23 Mei 1872, satu hari menjelang pesta Bunda Maria Penolong Umat Kristiani.

Sebelumnya mereka berusah untuk sediam mungkin dan serahasia mungkin menyangkut semua rencana itu, tetapi tidak membutuhkan waktu yang lama semua hal itu diketahui dan akibat perpindahan itu dengan jelas diketahui oleh penduduk desa.

“Sekali perubahan rencana terhadap rencana sekolahan itu diketahui oleh para penduduk desa,” kata salah seorang yang hidup pada masa itu. “reaksi yang keras muncul dan hanya karena rasa hormat mereka kepada Don Bosco lah yang bisa menghindarkan Pastor Pestarino dari kekerasan fisik terhadapnya.”

Penduduk desa sangat berkeberatan terhadap apa yang telah mereka lihat khususnya yang berkaitan dengan pengantian fungsi sekolahan yang baru saja dibangun. Mereka telah banyak memberikan tenaga dan juga barang-barang untuk sekolahan itu karena mereka tahu bahwa sekolahan itu akan memberikan keuntungan bagi anak-anak mereka. Sekarang sekolahan itu akan digunakan untuk tujuan yang berbeda.

Karena Pastor Pestarinolah yang mempunyai rencana terdapat bangunan sekolahan itu, yang telah berusah meyakinkan dewan desa untuk mendukungnya dan menumbuhkan semangat penduduk desa untuk memulainya, mereka memutuskan bahwa dialah yang paling bertanggung jawab. Menurut pandangan mereka, dia juga memegang peranan penting dalam penghianatan ini. Pada gilirannya, Pastor Pestarino merasa siap untuk memperhatikan kembali janji kerahasiaan yang dia buat dengan Don Bosco, demi menjaga nama baik gereja. Karena keadaan yang begitu membahayakan maka ada beberapa orang yang berusaha untuk memindahkannya demi menjaga keselamatannya. Lalu penduduk itu marah kepada anak buah Pastor Pestarino yaitu para Putri-putri itu. Sebelumnya mereka melayani komunitas itu, tetapi sekarang masyarakat berniat menjauhi mereka maupun orang tua mereka. “Balas budi macam apa yang kalian lakukan?” mereka berkata. Hanya untuk menyenangkan mereka, Pastor Pestarino kelihatannya siap mengorbankan apapun dan siapapun juga, meskipun harus menelantarkan tanggung jawabnya kepada umatnya yang lain..... saat itu bukanlah waktu yang menyenangkan bagi Pastor Pestarino tetapi dia menghadapi semuanya dengan diam dan tenang.

Putri-putri itu juga sangat menderita. Beberapa orang dari keluarga mereka, merasa ketakutan bahwa anak gadis mereka akan menolak untuk menikah dan menetap di suatu daerah tertentu, oleh karena itu sekarang mereka bersikeras untuk memaksa mereka pulang ke rumah, yang lainnya mengambil begitu saja anak-anak mereka dari tempat kursus dan yang lainnya menolak memberikan anak gadisnya kepada mereka. Yang paling menyakitkan bagi kelompok kecil itu adalah kenyataan bahwa beberapa orang yang dulunya selalu memberikan hadiah berupa makanan sekarang telah menghentikannya, meninggalkan mereka bahkan kadang-kadang tanpa makanan sedikitpun. Hanya tinggal satu penghibur kecil saja yang bisa menjamin mereka: ulat sutra yang memberikan bantuan yang sangat berarti bagi mereka dan tidak menderita sedikitpun akibat peristiwa itu tetapi justru terus berkembang dan meningkat. Akhirnya Pastor Pestarino dan Pastor Valle-lah yang berusaha untuk membantu mereka dengan memberikan bantuan makanan dan sedikit uang yang bisa digunakan untuk mengisi gedung sekolahan itu dan membersihkannya sehingga layak menjadi tempat tinggal.

Kamar yang dihuni oleh Maria hanya dihiasi dengan sebuah salib, sebuah peti tua yang panjang, sebuah tempat tidur besi, sebuah kursi dan satu tempat untuk berlutut. Kamar yang tidak pernah tersentuh dengan perabotan yang mewah.

Ketika semua hal itu sedang terjadi di Mornese, sesuatu hal telah terjadi pada Don Bosco, yang meskipun menuntut penderitaan yang besar tetapi paling tidak mereka yang dahulu menentang, menerima pengambilalihan sekolahan itu.

Ia ikut serta dalam upacara pelantikan Canon Lawrence Gastaldi sebagai Uskup Agung Turin, dan meskipun ia menderita sakit di bahu kanannya dan sesak nafas yang mempersulitnya bergerak, dia tetap memutuskan untuk mengunjungi sekolahan di Varazze dan tiba pada tanggal 2 Desember. Karena pada saat itu cuaca sangat buruk maka dia mempunyai rencana untuk mampir di rumah salah seorang pendermanya dalam perjalanannya ke stasiun. Penundaan penjalanan itu menyebabkan ia tertinggal kereta untuk kembali ke Turin, sehingga dia harus kembali ke rumah itu dan menunggu sampai hari esok. Hal itu memperburuk penyakit reumatiknya sehingga pada saat dia akan pergi ke stasiun badannya sangat lemah dan harus dibawa kembali ke sekolahan dan beristirahat di tempat tidur. Seorang dokter muda yang memeriksa penyakitnya menyatakan bahwa dia terserang penyakit ayan dan memerintahkan untuk mengeluarkan darah berulang kali—dua kali kesalahan di mana Don Bosco harus membayarnya dengan mahal. Pemeriksaan ini menambah sakit pada bahu kanannya dan suhu badannya semakin tinggi sehingga dia tidak bisa bergerak dan pada saat dia merasa posisi tidurnya tidak enak, dia terpaksa harus meminta bantuan orang lain untuk memindahkannya. Rasa sakit pada bahu kirinya itu membuat dia semakin lemah.

Meskipun sakit yang dideritanya sangat serius, tetapi para dokter yang memeriksanya tidak menyatakan bahwa kondisinya kritis. Meskipun demikian beberapa temannya mau untuk mempersembahkan hidup mereka demi kesembuhannya, doa-doa yang diucapkan demi kesembuhannya datang dari seluruh Italia dan Bapa Suci meminta berita tentang keadaannya diberitahukan kepadanya melalui telegram.

Dua minggu kemudian keadaannya mulai membaik dan setelah melewati masa kritisnya, dokter memberitahukan bahwa dia sedang dalam proses pemulihan. Tidak membutuhkan waktu yang lama, dia segera kembali ke Oratorinya.

Ternyata harapan kesembuhan itu hanya sebentar saja. Demamnya muncul lagi, dia bermandikan keringat, lengannya lumpuh lagi dan kulitnya mulai mengelupas. Luka-luka kecilnya berubah menjadi borok dan meningkatkan suhu badannya. Ketika borok-borok itu mengering, mereka membuat seluruh tubuhnya menjadi kulit baru. Satu-satunya kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah harapan bahwa kulit yang baru akan menjadi lebih baik daripada kulitnya yang lama.

Pada tanggal 2 Januari, ketika kondisinya sudah lebih baik, dia menerima kunjungan dari Pastor Pestarino yang datang menemuinya untuk membicarakan masalah sekolahan dan para Putri-putri itu. Sebelum pergi, Pastor Pestarino memberitahukannya bahwa sekelompok orang laki-laki dari Mornese akan berkunjung kepadanya. Don Bosco menyetujuinya, karena dia melihat kesempatan untuk menyelesaikan kedua masalah yang ada. Jika dia dapat meyakinkan orang-orang ini tentang kebenaran tujuan yang ia miliki maka dia berhadap mereka bisa mempengaruhi yang lainnya, karena dia tahu bahwa banyak di antara mereka bahkan mau mempersembahkan hidup mereka demi kesembuhannya.

Pada tanggal 6 Januari, jauh sebelum dini hari, dua belas orang mengikuti misa yang dipimpin oleh Pastor Pestarino kemudian di bawah musim dingin yang buruk berjalan kaki melewati jalanan yang bersalju sejauh enam mil pergi ke Stasiun di Ovada. Mereka tidak hanya membawa bekal bagi perjalanan mereka sendiri tetapi juga membawa hadiah yang akan diberikan kepada Don Bosco atas nama seluruh penduduk Mornese. Dari Ovada mereka melanjutkan perjalanan dengan mengunakan kereta api. Meskipun letak Varazze cukup jauh yaitu 72 km, tetapi bagi orang-orang itu perjalanan itu terasa pendek karena mereka baru pertama kali melakukannya. Dengan membawa hadiah-hadiah dan keperluan-keperluan mereka yang cukup banyak, berpakaian gaya orang pegunungan dan berbicara dengan logat daerah, membuat mereka menarik perhatian bagi orang-orang ningrat dari Inggris yang sedang berlibur menikmati suasana yang sejuk di Liguori Liviera.

Don Bosco sangat gembira bisa bertemu mereka. Dia sangat menghargai kesederhanaan dan kejujuran mereka. Ketika Pastor Pestarino memperkenalkan mereka, dia memberikan kepada mereka masing-masing kata-kata yang khusus dan penuh cinta. Diikuti oleh pemberian hadiah-hadiah yang berupa; ayam, burung merpati, madu, mentega, telur, anggur, buah-buahan.....dan setelah itu semua maka Don Bosco segera bertanya tentang kabar terbaru tentang desa mereka.

Pada waktu yang tepat dan dengan mengunakan kata-kata yang tepat, Don Bosco mengungkapkan persoalan menyangkut sekolahan dan para Putri-putri itu. Meskipun dia mencoba menjelaskannya selangkah demi selangkah tetapi ternyata ada beberapa keberatan dari mereka. Meskipun demikian dia sudah berpengalaman berhadapan dengan orang-orang yang berseberangan dengannya. Jika yang menjadi perhatian mereka adalah hal pendidikan bagi anak-anak mereka, dia menjamin bahwa sekolahan-sekolahan yang dimiliki oleh Don Bosco akan selalu dengan terbuka bagi anak-anak laki-laki dari Mornese.

Setelah mereka berdiskusi sebentar, salah seorang di antara mereka maju untuk berbicara atas nama mereka semua. “Kami yakin bahwa segala sesuatu yang anda lakukan,” katanya, “akan berjalan dengan baik.”

Memperoleh tanda persetujuan seperti itu, Don Bosco kemudian mengundang mereka untuk makan malam dengan ditemani oleh hidangan anggur terbaik yang ada di rumah itu.

Walaupun mengetahui bahwa pada umumnya penduduk desa sangat menentangnya, Pastor Pestarino merasa lebih tenang menghadapi masa depannya. Dia telah membuktikan bahwa Don Bosco mempunyai inspirasi Ilahi tentang hal itu. Dia tahu bahwa dia sekarang berjalan di jalan yang aman dan tidak peduli betapa suramnya keadaan pada saat itu, suatu hari mendung itu akan sirna dan semuanya akan kembali berjalan dengan baik. Untuk urusan sekolahan ini bukanlah satu-satunya hal yang membuat Pastor Pestarino yakin bahwa Don Bosco memiliki kekuatan yang luar biasa dan ajaib. Usahanya sekarang adalah bertahan sampai suasananya bisa lebih tenang, di mana nantinya para penduduk desa akan bisa melihat sama seperti cara Don Bosco melihat. Beberapa orang di antara mereka, dia paham sekali, tidak akan pernah bisa melupakan, tidak pernah bisa memaafkan apa yang mereka pikir sebagai penghianatan itu. Menghadapai semua hal ini, dia berusaha untuk memberitahukan para gadis-gadis itu. Dia menyemangati mereka supaya selalu berani dan tidak takut, menunjukkan kepada mereka bahwa kongregasi Don Bosco yang lainnya, Salesian, pada awal berdirinya jauh lebih menderita, menghadapi cobaan yang lebih berat, dan sekarang mereka bisa berjaya. Gadis-gadis itu bisa melihat peristiwa-peristiwa itu dan hal itu juga memberikan keberanian bagi mereka untuk semakin memperteguh semangat mereka dalam menghadapi situasi yang sulit.

Apakah mereka berdua, Maria dan Pastor Pestarino sudah lupa bahwa sekolahan itu didirikan di tempat di mana dia mendapatkan sebuah “penglihatan” dari sebuah gedung yang megah yang penuh dengan canda tawa anak-anak yang sedang bermain dan dia sendiri berada di tengah-tengahnya?


Ketika menghadapi masalah yang berat, Maria tidak merasa malu untuk pulang ke rumahnya untuk meminta bantuan dari keluarganya.

Andaikata saya sudah menikah,” dia berkata kepada mereka, “dan datang untuk meminta bantuan dan apakah keluargaku akan mengolaknya? Tentu saja tidak! Lalu bangaimana mungkin sekarang engkau akan menolak saya ketika saya datang untuk meminta bantuan untuk sebuah keluarga yang sedikit berbeda dari keluarga pada umumnya?”

Ayah Maria, tidak pernah mampu menolak segala permintaannya, hanya tersenyum menghadapi pendapat anaknya yang sederhana itu. “Ambillah segala yang kamu butuhkan dari persediaan kami yang tidak banyak ini,” katanya kepada anaknya. “selama kamu tetap bahagia.”

Di tengah-tengah semua peristiwa ini, ada satu pertanyaan yang selalu berkecambuk di benaknya: “Kapankan mereka akan mengirimkan seorang superior?”

Pastor Pestarino menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, ”Don Bosco berkata bahwa dia akan mengirimkan seseorang kemari. Untuk sementara waktu engkau bertindak sebagai wakil.”

“Kemudian tulislah surat dan katakan kepadanya supaya mengirim orang itu dengan segera .”

“Teruskan segala sesuatu yang engkau lakukan. Tuhan akan selalu menyediakan.”

Untuk sementara waktu diskusi itu berakhir dan Maria bertindak sebagai superior seperti sebelumnya. Jumlah anggota komunitas itu terus bertambah, dan mereka semakin bisa menyesuaikan diri mereka dengan cara hidup yang baru itu.

Mereka biasanya bangun pada pagi dini hari dan kemudian mengikuti misa yang di pimpin oleh Pastor Pestarino untuk komunitas mereka. Kesunyian adalah sesuatu yang suci sehingga mereka tidak boleh melanggarnya meskipun pada saat mereka mau mengatakan bahwa mereka mau menerima Komuni Suci. Mereka akan mendorong sebuah batang pendek ke dalam sebuah jam tua untuk memberitahu Pastor Pestarino berapa banyak orang yang mau menerima Komuni. Setelah mengikuti misa masing-masing pergi ke tempat kerjanya sendiri, untuk memulai menjahit, pergi ke tempat cuci baju atau kebun anggur. Untuk sarapan mereka biasanya memakan sepotong polenta, sejenis jagung yang dihancurkan dan sedikit cair, yang telah disiapkan sehari sebelumnya; untuk makan malam, mereka biasanya makan roti dengan sup, atau polenta dengan salad, atau tomat dan kubis dan ketika mendapat sumbangan dengan susu, telur, keju atau ikan. Makanan mereka tidak mewah pada saat-saat yang khusus bahkan untuk hari-hari tertentu makanan itu hampir tidak mengandung gizi yang cukup bagi mereka yang harus bekerja sepanjang hari. Pada saat itulah biasanya Maria akan mengadakan kunjungan untuk minta bantuan ke rumah.

Pada kesempatan yang lain dia tidak perlu untuk pulang ke rumah. Melihat kebutuhan yang dialami oleh putrinya itu, ibunya akan segera mengirim adiknya yang lebih kecil yang akan datang membawakan makanan bagi mereka.

Kadang-kadang apa yang ia bawa tidak cukup untuk mereka.

Lakukan sesuatu untuk saya.” Maria akan berkata kepadanya. “Katakan kepada ibu untuk memberikan sesuatu yang lebih banyak. Kami benar-benar membutuhkannya.”

Meskipun ibunya akan selalu memenuhinya, tetapi dia tetap tidak mengerti mengapa anak gadisnya itu mau tinggal di dalam suasana yang serba kekurangan itu meskipun sebenarnya dia bisa pulang dan dapat hidup dengan nyaman.

Di samping semua hal ini, kuasa kegelapan selalu bekerja keras. Ramalan yang paling buruk menyatakan bahwa dalam waktu satu atau dua minggu para gadis itu pasti akan pulang ke rumah karena kelaparan ataupun kedinginan. Tetapi ketika para gadis itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah, mereka mengatakan waktu yang lebih lama. Di dalam wajah mereka yang kelihatan keras, akhirnya para peramal itu menyimpulkan bahwa mereka akan menyerah sejauh Pastor Pestarino menghentikan bantuannya kepada mereka. Ketika dia pergi, merekapun akan ikut pergi. Para penduduk desa yang baik, di lain pihak sangat terkejut melihat kegembiraan dan keceriaan yang nampak di wajah gadis-gadis itu. Bagaimana kebahagiaan seperti itu bisa ada pada saat mereka harus menghadapi situasi yang sulit itu?

Menanggapi pertanyaan seperti itu, Maria hanya mempunyai satu jawaban. “Kami memang hanya wanita tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami akan membiarkan orang lain meremehkan kami. Kami telah menyerahkan diri kami kepada Tuhan. Biarlah dunia berkata apa yang mereka suka tetapi biarkan kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk bisa menjadi kudus.”


10—Sebuah Monumen Ungkapan Rasa Syukur



Gadis-gadis itu sudah lebih dari dari dua bulan tinggal di sekolahan itu dan telah memberikan suatu kesan yang baik tentang diri mereka sendiri—dan semua hal ini disampaikan Pastor Pestarino kepada Don Bosco—ia berpikir saatnya sudah tepat untuk mulai membentuk sebuah kongregasi yang resmi. Dia memberitahu bahwa mereka harus segera mempersiapkan diri untuk menerima jubah—suatu tindakan yang akan menandakan masuknya tahap baru dalam kehidupan mereka—dengan membuat retret yang dimulai pada tanggal 31 Juli 1872. Mgr. Joseph Mary Sciandra, Uskup Acqui, yang tinggal bersama Pastor Pestarino selama musim panas, berjanji untuk hadir pada kesempatan itu karena hal itu merupakan suatu langkah yang penting dalam kehidupan mereka.

Don Bosco memiliki gagasan bahwa mereka akan memiliki suatu jubah yang tidak terlalu berbeda dengan kelompok religius wanita yang lain. Dengan cara ini, Don Bosco berharap agar mereka dapat melakukan kegiatan harian mereka tanpa menarik perhatian orang lain. Dia menginginkan anggota-anggota yang sudah berkaul memakai sebuah salib dan para novis memakai sebuah medali “Maria Bunda Penolong Umat Kristiani”.

Sementara itu Pastor Pestarino memesan dari Genoa suatu jenis bahan pakaian yang dibutuhkan untuk membuat jubah para suster tersebut. Ketika bahan itu tiba, dia menyerahkannya kepada Maria. “Buatlah sebuah jubah dari bahan ini sesuai keinginan Don Bosco,” dia berkata kepadanya, “dan kita akan segera melihat bagaimana hasilnya.”

Maria menghilang dari pandangan mereka dan mulai bekerja dengan bahan pakaian itu hingga selesai. Menjelang siang ia muncul lagi. Dia mengangkat jubah yang sudah lengkap itu supaya bisa diamati oleh Petronilla. “Inilah,” dia mengumumkan “jubah yang akan kita pakai.”

Jubah yang pertama ini, terdiri dari jubah panjang berwarna coklat yang panjangnya sampai ke mata kaki dan sebuah mantol tanpa lengan yang panjangnya sampai ke siku tangan. Sebuah kerudung biru digunakan untuk menutup kepala ketika berada di luar rumah dan satunya lagi berwarna abu-abu untuk digunakan di dalam rumah. Segera diketahui bahwa warna cokelat itu cepat luntur maka diganti dengan warna hitam, demikian pula dengan kerudungnya. Hal ini ternyata lebih praktis dan pada saat yang sama lebih sesuai dengan pakaian para wanita di sana. Rancangan jubah yang pertama ini akan mengalami beberapa perubahan untuk tahun-tahun mendatang.

Pastor Pestarino memutuskan untuk menunjukkan jubah ini kepada Don Bosco untuk memperoleh persetujuannya. Karena hal ini dilakukannya selagi Don Bosco berada di Varazze ketika dia sedang berjuang melawan penderitaan akibat sakit yang serius, peristiwa ini membuat Don Bosco merasa sangat bergembira. Pastor Pestarino tiba di sana bersama dengan rombongan orang-orang dari Mornese yang datang untuk menjenguk orang yang sakit itu. Pada saat yang tepat, Pastor Pestarino membawa bungkusan itu ke ruangan Don Bosco dan menunjukkan jubah tersebut kepada Don Bosco untuk dilihat. Di dalam ruangan itu bersama Don Bosco, ada Bruder Peter Enria yang telah mengurus Don Bosco sejak awal sakitnya. Baik dia maupun Pastor Pestarino menunggu dengan hening ketika Don Bosco menelitinya dengan jeli jubah itu. Don Bosco berkomentar bahwa ia lebih suka warna yang lebih gelap.

Sejauh ini cukup baik,” komentarnya. “Tetapi untuk membuat suatu keputusan saya harus melihat seseorang memakainya.”

Hal itu tidak akan mudah,” kata Pastor Pestarino, karena ia berpikir bahwa tidak ada seorang biarawati pun yang ada di dekat tempat itu.

Pandangan Don Bosco lalu tertuju pada Bruder Enria dan sebelum ia mengucapkan sepatah kata, Bruder itu sudah menebak arti pandangan itu dan mulai memerah mukanya.

Bagaimana kalau engkau memakainya, Enria?” dia bertanya. “Mengapa engkau tidak memakainya? Mari kita lihat bagaimana kau terlihat ketika memakai jubah itu.”

Pertama-tama dia menolak tetapi dengan semangat ketaatannya, Bruder Enria, dibantu oleh Pastor Pestarino, memakai jubah itu dan Don Bosco menyuruhnya berjalan mondar-mandir supaya dia bisa memberi usulan-usulan terhadap jubah itu. Pastor Pestarino terus tertawa-tawa kecil dan berpura-pura menyesuaikan kerudung hitamnya yang kecil itu untuk menyembunyikan tawanya itu selagi Don Bosco tertawa lepas ketika melihat Bruder Enria berjalan bolak-balik dengan pakaian biarawati di dalam ruangan itu.


Para gadis itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Mereka yang datang dari kelompok Puteri-Puteri Maria Immaculata atau teman-teman Angela Maccagno, Ursulin Baru dipertimbangkan sebagai seorang religius; yang datang dari luar kelompok-kelompok ini menjadi novis, sementara itu masih ada beberapa gadis yang dianggap terlalu muda untuk bisa diterima sebagai postulan.

Walaupun Don Bosco sudah lebih dari sekali berjanji kepada Pastor Pestarino bahwa dia akan hadir pada upacara pelantikan untuk yang pertama kali ini, tetapi ketika saat itu semakin dekat dia menyampaikan bahwa dia tidak bisa hadir. Apakah hal ini disebabkan oleh kesehatannya, atau untuk menghormati kehadiran Uskup, tidak ada yang tahu secara pasti. Pastor Pestarino meminta dengan sangat, tapi gagal. Sang uskup, yakin bahwa suatu upacara yang begitu penting bagi suster-suster baru ini seharusnya tidak diadakan tanpa Pendirinya, mencoba campur tangan dalam masalah ini. Dia mengutus sekretarisnya ke Turin dengan perintah, “Jangan kembali tanpa Don Bosco!” Karena rasa hormat Don Bosco kepada hirarki Gereja, hanya ada satu reaksi terhadap hal itu dan pada larut malam tanggal 4 Agustus, sekretaris itu tiba bersama Don Bosco. Karena baru pulih dari sakit yang serius, dia sakit lagi karena terkena udara malam.

Karena sakitnya ini, acara yang semula ditetapkan pada tanggal 8 Agustus dimajukan pada tanggal 5 Agustus, Pesta Bunda Maria Salju. Pada pagi itu dia berkata kepada yang akan berkaul bahwa mulai sekarang mereka harus bertingkah laku yang layak sesuai jubah yang mereka kenakan. Don Bosco begitu peduli dengan mereka bahkan tentang bagaimana mereka akan tampil di depan umum, ia berkata kepada mereka betapa dia ingin melihat mereka berjalan, karena sebagian besar dari mereka adalah gadis-gadis desa yang lebih terbiasa berjalan di ladang dengan kaki tak bersepatu. Ketika apa yang Don Bosco katakan tidak terlalu jelas bagi mereka, ia bangkit dari kursinya dan berjalan bolak-balik di dalam gereja untuk menunjukkan kepada mereka apa yang ia kehendaki. Melalui kata-kata dan tindakan-tindakan yang dilakukannya kepada Maria dan teman-temannya menunjukkan bagaimana ia begitu perhatian kepada mereka. Sambil memegang jubah baru mereka, mereka mendekati altar, hendak mengulangi kaul mereka secara serempak, lalu Don Bosco menghentikan mereka, meminta mereka mengucapkan kaul itu secara terpisah. Di antara kelompok yang terdiri dari 15 orang, 11 orang mengucapkan kaul untuk tiga tahun. Maria, yang sekarang berumur 35 tahun, ada di antara mereka. Hanya ada satu dari mereka yang ditolak permohonannya untuk menerima jubah. Dia ini adalah gadis yang dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk mengikuti kehendaknya sendiri. Akhirnya, seperti yang Don Bosco sudah ramalkan, dia meninggalkan kongregasi.

Sadar akan cobaan-cobaan yang sedang mereka alami dan akan terus mereka alami, Don Bosco berbicara kepada mereka dengan sikap yang memberi semangat dan membantu mereka menghadapi bermacam-macam cobaan yang akan mereka hadapi untuk masa yang akan datang.

Saya dapat melihat bagaimana kalian harus menderita,” dia berkata kepada mereka, “Saya melihat bagaimana kawan-kawan kalian sendiri menghina dan mencemooh kalian. Janganlah hal ini mengherankan kalian. Apa yang seharusnya mengherankan kalian adalah bahwa mereka tidak melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi pada kalian. Ayah dari St. Fransiskus Assisi misalnya, berlaku lebih keras kepada anak kandungnya. Lalu apa yang dapat engkau harapkan dari kenalan kalian? Tetapi jika kalian rendah hati, kalian akan menjadi kudus dan kalian akan berbuat lebih banyak kebaikan. Di antara pekerja-pekerja yang paling kecil dan salah satu yang sering Injil bicarakan adalah spikenard. Kalian membaca hal itu dari Ibadat Bunda Maria. Spikenard-ku menghasilkan wewangian yang harum. Tetapi apakah kalian tahu kapan hal itu terjadi? Hanya jika tanaman itu ditekan sampai hancur! Maka janganlah menjadi sedih putri-putriku tersayang ketika kalian dianiaya oleh dunia. Hiburlah dirimu dengan mengetahui bahwa hanya dengan jalan ini kalian dapat sukses pada panggilan yang baru ini. Walaupun di dunia ini banyak kepalsuan sehingga seseorang tak dapat mengambil satu langkah pun tanpa menghadapi bahaya, tetapi jika kalian hidup sesuai keadaan kalian yang baru, kalian akan memperoleh hidup sejati, tidak bercela dan berbuat baik terhadap jiwamu dan jiwa-jiwa orang lain.”

Dia berkata kepada mereka bahwa dia ingin mereka disebut sebagai Puteri-Puteri Maria Penolong Orang Kristiani. Apakah alasan untuk nama itu? “Saya ingin Institut Maria Penolong Orang Kristiani”, dia mengakui, dengan terharu, “untuk menjadi sebuah monumen syukur abadi atas kebaikan-kebaikan yang telah kita peroleh dari seorang Bunda.”

Sebelum pergi, Don Bosco ingin tahu tentang para suster itu lebih banyak lagi dari Pastor Pestarino, baik sebagai satu komunitas maupun secara pribadi, dan menyampaikan kepada Pastor Pestarino bahwa dia sekarang bisa menganggap dirinya sebagai pemimpin spiritual mereka. Tetapi dia harus membiarkan mereka menangani masalah-masalah pribadi mereka sendiri. Ketika bertanya kepada Pastor Pestarino siapa yang dia nilai paling baik untuk dipilih sebagai superior, dia tidak dapat mengajukan nama lain selain Maria. Di tangannya ada sebuah catatan yang telah dia tulis tentang pengamatannya.

Maria Mazzarello selalu menampilkan semangat yang baik dan hati yang mengarah pada kesalehan,” tulisnya. “Dia sering melakukan pengakuan dosa dan komuni serta berdevosi kepada Maria yang terkudus. Sifatnya yang penuh semangat dikendalikan oleh semangat ketaatannya. Dia selalu menghindari kenyamanannya sendiri dan jika dia tidak terikat ketaatan, dia sudah melakukan banyak matiraga dan penebusan dosa. Seperti setangkai bunga bakung yang murni, dia sederhana dan terbuka. Dia akan memperbaiki kesalahan ketika dia melihatnya dan dia tidak akan berkompromi dengan siapapun juga ketika hal itu menyangkut Kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa. Sekalipun dia hampir tidak mengetahui bagaimana menulis dan hanya dapat membaca walau sedikit, dia dapat berbicara dengan halus, jelas dan membujuk sehingga seseorang dapat berpikir bahwa dia terilhami oleh Roh Kudus! Berkeinginan kuat untuk bergabung dengan institut, dia termasuk di antara mereka yang peduli akan perkembangan institut. Dia telah menunjukkan bahwa dirinya siap untuk menerima perintah-perintah apa saja yang mungkin datang dari superior-superiornya, dan kapan saja dia harus bertindak sebagai superior, dia selalu setuju dengan keputusan saya. Dia telah menyatakan bahwa dia siap meninggalkan segalanya yang berharga baginya dan bahkan untuk mengorbankan hidupnya untuk mematuhi saya dan untuk melakukan hal-hal baik. Sebagai superior, selagi tetap waspada dalam mempertahankan dan membela pihak yang dia pikir benar, dia tak pernah berhenti meminta teman-temannya untuk menasehati dia ketika dia salah.”

Setelah rekomendasi demikian, Don Bosco hampir tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain menegaskan Maria sebagai superior meskipun masih dengan jabatan Vicar. Tapi dia sekali lagi mendengar Maria meminta kepadanya untuk mengirim dengan segera superior baru.

Pada kesempatan yang lain, pertentangan untuk perpindahan gedung sekolah masih begitu kuat dan bahwa beberapa orang berpikir adalah bijaksana untuk tetap melanjutkan penjagaan di rumah Pastor Pestarino, dan dipihak yang lain kemajuan besar dibuat oleh suster-suster di rumah baru mereka.

Adanya kemajuan ini mendorong Pastor Pestarino untuk memberitahu suster-suster itu bahwa mulai sekarang mereka akan berbicara dalam bahasa Italia. “Bicara dalam bahasa Italia?” mereka terkejut. Sejauh ini, mereka berbicara dalam bahasa daerah setempat yang hanya dimengerti oleh orang yang dari tempat itu, sedangkan bahasa Italia dimengerti oleh mereka semua yang mempunyai pendidikan. Namun, suster-suster ingin tahu mengapa mereka harus berbicara bahasa Italia ketika mereka tinggal dan bekerja di dalam batas-batas desa mereka.

Jika Don Bosco mengirim wanita-wanita dan gadis-gadis dari Turin dan tempat lain,” dia berkata, “bagaimana mereka dapat memahami kalian?”

Karena berbicara bahasa Italia pada wilayah ini seperti bersikap sok berpendidikan, suster-suster pertama-tama merasa sangat malu untuk berbicara bahasa Italia pada lingkungan orang-orang luar. Ketika mereka mencoba melakukannya dengan orang-orang desa, mereka akan membelakangi mereka atau mentertawakan mereka. “Apakah ini salah satu hal khas milik mereka?” mereka ingin tahu.

Salah satu hal lain yang memalukan adalah harus tampil di muka umum dengan jubah mereka yang baru.

Untungnya, Maria, yang mau menghadapi seekor singa ketika situasi memintanya, mempelopori usaha untuk membuat orang-orang terbiasa baik dengan jubah mereka maupun kehidupan baru mereka. Karena hal itu dikerjakan demi sikap ketaatan dan untuk keselamatan jiwa-jiwa, dia siap untuk memulainya. Suster-suster lainnya mengikuti dan secara berangsur-angsur jubah tersebut menjadi biasa sehingga akhirnya bisa diterima secara umum sebagai pakaian yang layak bagi mereka.

Pendirian kongregasi itu membawa perubahan penting yang lain: Suster-suster harus bersekolah. Suster Angela Jandet yang dulu pernah memperoleh pendidikan yang baik, diberi tugas mengajar para suster. Adalah di kelasnya, Maria pertama-tama belajar bagaimana menulis. Dia sudah berusia 35 tahun dan untuk dapat mengendalikan alat tulisnya maupun berada di antara gadis-gadis muda yang lainnya membuatnya kurang nyaman. Namun demikian dia tetap menghadapi situasi itu dengan kerendahan hati dan keberanian.

Don Bosco mengirim beberapa gadis sebagai postulan dan sebagai murid. Mengingat keuangannya yang juga sulit, dia tidak dapat mengirim mereka dengan sesuatu selain sebuah rekomendasi, menyerahkan masalah itu kepada Maria untuk memberi mereka makan, pakaian, dan mendidik mereka. Kemudian dia mengirim dua guru lagi dimana Maria memberi mereka sedikit gaji dan mereka ini tinggal hingga suster-suster bisa mandiri. Pakaian anak-anak laki-laki sebanyak satu gerobak penuh yang perlu diperbaiki tiba dari oratori dan bersama dengan ini datang juga bahan-bahan untuk membuat seprei, tempat tidur dan barang-barang yang lain. Semua ini membuat Maria begitu tertekan sehingga dia mengirim Petronilla kepada Don Bosco untuk meminta bantuan dana. Don Bosco menyambut Petronilla dengan salam hangat dan dengan sabar mendengar ceritanya. Ketika sudah selesai, Don Bosco memberi kepadanya kata-kata yang memberikan semangat untuk percaya kepada pemeliharahaan Ilahi—tetapi bukan uang! Don Bosco tidak punya uang untuk diberikan.

Walaupun Don Bosco mengatakan dengan tegas pada para Salesiannya untuk membantu para suster dengan segala cara yang mungkin, ada di antara Salesian-Salesian, mereka yang sekurang-kurangnya pada mulanya, merasa enggan untuk berurusan dengan mereka. Mereka berpikir bahwa para Salesian hanya memperhatikan anak-anak laki-laki saja.

Apakah kita tidak termasuk dalam satu keluarga?” Don Bosco bertanya kepada mereka. “Tentu saja kita satu keluarga! Oleh karena itu semunya tergantung dari kita untuk membantu para suster itu agar mereka dapat bekerja dengan lebih baik.”

Dia sendiri memulainya dengan mengirim kepada suster-suster banyak postulan. Mengikuti teladannya, banyak Salesian lain juga mengirimkan ke Mornese saudari-saudari mereka, saudara-saudara sepupu atau keluarga dekat yang lain.

Don Bosco mendatangkan tidak hanya postulan-postulan dan pelajar,” pembimping rohani mereka menulis; “Dia juga mendatangkan pengkotbah-pengkotbah yang sangat baik dan pembimbing-pembimbing dalam kehidupan rohani … Dia tidak pernah gagal untuk datang sendiri sekurang-kurangnya sekali dalam setahun … Suster-suster dan murid-murid ada kesempatan untuk berbicara kepadanya di dalam dan di luar pengakuan dosa… Ketika dia tidak dapat mengunjungi kita secara pribadi dia akan mengirim surat kepada Suster-suster atau kepada saya…”

Don Bosco masih begitu prihatin mengenai perkembangan suster-suster sehingga sekali lagi dia meminta bantuan dari suster-suster St.Anna. Dia datang kepada Rumah Induk mereka dan meminta mereka untuk mengirim satu atau dua orang suster yang berpengalaman untuk mengajar di Mornese bagaimana hidup berkomunitas secara teratur. Mereka setuju untuk mendatangkan dua orang dari anggota mereka untuk sebuah kunjungan penyesuaian .Mereka ini tinggal beberapa hari dan ketika mereka kembali ke Turin, seorang suster lain digantikan oleh suster lain dan mereka tiba pada awal masa Puasa, kali ini untuk tinggal lebih lama.

Sampai sekarang kehidupan di Mornese lebih seperti kehidupan keluarga. Kebanyakan para suster telah mengenal satu sama lain sejak masa kecil dan kebanyakan dari mereka belum bersekolah dan tentu tidak mengenal kehidupan religius. Devosi dan kedekatan mereka pada hal-hal rohani sangatlah sederhana.

Kemenakan perempuan dari Petronilla masuk sebagai postulan pada tanggal 10 Maret 1847, dan riwayat panggilannya membantu menjelaskan bagaimana keadaan waktu itu.

Pastor Cagliero, dalam perjalanannya ke tempat para suster, melewati rumah Petronilla Mazzarello. Di sana dia menjumpai Stephen, kakak Petronilla, yang sedang bekerja dengan puterinya Theresa.

Stephen,” dia berkata sambil bergurau, “mengapa engkau tidak memberikan puterimu itu kepada Bunda kita?”

Kalau Bunda kita menginginkannya,” kata Stephen, “dia dapat memilikinya.”

Ketika Pastor Cagliero tiba di Mornese, dia segera menemui Suster Petronilla. “Pergilah kepada saudaramu Stephen,” kata Pastor Cagliero kepada Suster Petronilla, “dan bawalah puterinya Theresa kemari.”

Theresa kecil? Apa gerangan yang kau inginkan darinya?”

Saya ingin menjadikannya seorang Puteri dari Maria Penolong Orang Kristiani.”

Tetapi dia belum berumur 15 tahun!”

Tidak jadi masalah,” dengan tegas Pastor Cagliero meminta, “dan bawalah dia ke sini secepat yang kau bisa.”

Ketika Suster Petronilla pergi ke rumah saudaranya dia menemukan Theresa sedang memberi air kepada lembu-lembu.

Tinggalkanlah itu di situ,” dia berkata kepadanya. “Dan kembalilah bersamaku ke sekolah.”

Siapa yang mengatakan demikian?”

Pastor Cagliero yang mengatakannya.”

Untuk selama-lamanya?”

Untuk selama-lamanya.”

Theresa meletakkan ember itu dan dengan segera pergi mengumpulkan barang-barangnya. Suster Petronilla masuk ke rumah terlebih dahulu untuk meminta izin dari orang tua gadis itu, kemudian mengambil beberapa barang keluarga untuk Theresa. Setelah hal itu selesai dilakukan, dia dan gadis itu meninggalkan semuanya dan pergi ke biara. Sepanjang perjalanan, Theresa hanya mengutarakan satu keberatan.

Saya datang dengan rela,” katanya, “tetapi saya malu. Di sana engkau tahu begitu banyak dan saya bahkan tidak tahu bagaimana bersikap di meja makan!”

Itulah saatnya untuk memperkenalkan satu unsur keteraturan dan disiplin religius ke dalam komunitas.

Syukur kepada Tuhan! Sekarang kita akan belajar bagaimana menjadi suster yang sejati!” Ini adalah reaksi pertama Maria ketika dia mengetahui bahwa Don Bosco telah meminta agar Suster-suster St. Anna datang untuk membina mereka tentang bagaimana hidup sebagai religius yang baik.

Bila kita tidak begitu tertinggal dalam kehidupan religius, kita pasti sudah sampai pada cita-cita itu,” reaksi Maria selanjutnya. “Itu semua adalah kesalahan saya sebab saya begitu bodoh!”

Ketika mereka tiba, Maria siap untuk menerima mereka sebagai superiornya, tetapi suster-suster itu dengan sopan tetapi dengan sungguh-sungguh memberitahu bahwa mereka tidak di sana sebagai pemimpin melainkan untuk menolong dia dan suster-suster lain untuk menyesuaikan diri dengan hidup religius. Adalah Maria, bukan mereka, yang merupakan superior. Satu suster tinggal bersama para postulan, dan yang lain dengan para suster berkaul. Sementara itu, mereka mendidik suster-suster bagaimana cara bersikap dengan orang tua anak didik dan dengan orang-orang dari luar; bagaimana menyiapkan makanan, bagaimana mengatur keuangan, bagaimana mengucapkan doa Ibadat Harian, dan bagaimana membuat meditasi harian … Secara umum, bagaimana hidup sebagai seorang religius yang baik.

Mengenai makanan, para suster tersebut ragu-ragu apa yang harus mereka anjurkan. Terbiasa dengan gaya hidup yang berbeda, karena mereka tidak ingin memaksakan cara hidup mereka kepada siapapun, mereka merasa bahwa Maria sedikit berlebihan dalam hal praktek matiraga. Maria kelihatannya mau hidup hanya dengan udara saja!

Selama masa Puasa,” Maria mengakui, “saya hanya memuaskan rasa lapar saya pada hari Minggu.”

Suatu malam sewaktu rekreasi, Maria dan beberapa yang lain berjalan-jalan bersama dua orang suster St. Anna, ketika percakapan beralih kepada asal usul keluarga. Tanpa berkeinginan untuk melakukan hal-hal demikian, suster-suster St. Anna secara perlahan-lahan mengungkapkan bagaimana mereka berasal dari keluarga orang-orang kaya.

Maria mendengar semuanya ini tanpa berbicara satu kata pun. Hanya ketika suster-suster sudah selesai, dia duduk pada sebuah tempat yang begitu rendah sehingga dia kelihatan berada di bawah setiap orang.

Malangnya aku!” dia berkata. “Ayahku tidaklah lebih dari seorang buruh biasa dan kami begitu miskin sehingga dia dan ibu saya hampir tidak bisa menjaga kelangsungan hidup kami.”

Dia mengatakan semuanya itu,” komentar seseorang saksi, “dengan begitu sederhananya sehingga dia tidak menyinggung siapa pun, tetapi bahkan memperoleh simpati kami.”

Karena keduanya mempunyai tujuan yang serasi—yang seorang mengajar sebaik mungkin, yang lain belajar sebanyak yang ia bisa—hal itu menimbulkan suatu pengaturan yang menggembirakan dan menguntungkan.

Suster-suster St. Anna tinggal di sana sampai akhir September. Pada waktu itu mereka merasa bahwa komunitas sudah belajar sebanyak yang dapat mereka ajarkan kepada mereka. “Lagipula,” mereka berbicara kepada yang lain, “dengan seorang superior seperti Suster Maria, engkau tidak lagi membutuhkan kami.” Dengan komentar yang menyenangkan ini, mereka lalu pergi. Mereka telah memberikan kepada Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani sebuah arah, di mana selama mereka ada, akan memberi tanda pada kehidupannya.

Sekembalinya ke Turin, mereka melaporkan kepada Don Bosco hasil yang didapat setelah mereka tinggal di sana. “Suster Maria dapat melanjutkannya sendiri,” mereka mengakhiri. “Dengan segala kerendahan hatinya! … Wanita itu adalah orang kudus.”

11—Kisah Keluarga Sarbone



Suatu kisah yang dapat disebut “kisah keluarga Sorbone”, mirip dengan sejarah panggilan Theresa Mazzarello, yang dapat membantu menunjukkan iklim dan kondisi yang istimewa yang ada pada masa-masa awal, ketika segala hal dilakukan dengan kesederhanaan dan keterbukaan serta keintiman seperti yang dialami oleh para anggota komunitas.

Konstantinus Sorbone, sang ayah, adalah seorang tukang kayu dan sang ibu Louise seorang penjahit. Mereka mempunyai sembilan anak, dua orang meninggal saat masih kecil. Dari dua anak laki-lakinya, satu anak ketika masih muda sudah mengajar olahraga anggar di Sekolah Salesian, dan yang satu lagi menjadi Pastor di Gereja Bunda Maria Penyembuh di Genoa. Lima anak perempuannya semuanya menjadi suster Salesian!

Sejarah panggilan Enrichetta Sorbone, anak perempuan tertua mempunyai awal yang mengherankan.

Pada bulan Mei tahun 1873, ia mengingat—saya dan teman saya sedang berada di rumah bersama dengan dua orang saudari dari keluarga Rossi, yang mempunyai kakak seorang Salesian. Setelah kakak laki-lakinya datang, dia kemudian bercerita kepada kami tentang Don Bosco yang sangat terkenal; betapa kudusnya dia, bagaimana dia melakukan mukjizat-mukjizat dan lain-lain. Karena saya telah mendengar sesuatu tentang dia, saya berkata kepada diriku sendiri, betapa menyenangkannya untuk hidup begitu dekat dengan seorang santo yang hidup! Untuk bisa melihatnya saja sudah begitu senang.

Tiba-tiba Bruder Rossi memberitahukan, “Don Bosco akan datang ke Borgo San Martino. Datanglah dan saya akan memastikan bahwa kalian akan bertemu dengan dia.” Lalu dia berpaling kepadaku. “Engkau datang juga Enrichetta. Borgo tidaklah terlalu jauh dari sini !”

“Saya akan pergi ke Borgo? Ayah saya bahkan tidak mengizinkan saya pergi mengunjungi kakek saya!” Tetapi keinginan saya untuk melihat seorang santo terlalu kuat dan saya terus mendesak ayah saya sampai akhirnya dia mengizinkan.

Kami bertiga berangkat pada jam 3 pagi dan berjalan kaki ke Borgo di mana kami bisa menerima Komuni Kudus dan sarapan pagi. Kemudian kami pergi ke sekolah Salesian, kami tiba di sana hampir jam sebelas. Bruder Rossi mengajak kami berkeliling lalu membawa kami ke tempat di mana beberapa wanita tua sedang bekerja di ruangan kain linen. Saya mengira mereka semua adalah suster-suster dan sedikitpun mereka tidak menarik bagi saya.

Jam 11 ketika kami dibawa ke koridor, kami mendengar suara iringan pemain musik yang diikuti dengan kegaduhan besar. “Kau dapat melihat dia ketika dia lewat di sini,” kata bruder itu.

Dari tempat saya berdiri saya dapat melihat lapangan dipenuhi dengan orang-orang, beberapa berteriak, beberapa bersorak dan yang lainnya melemparkan topi ke udara. Hidup Don Bosco! Mereka berteriak berulang-ulang.

Don Bosco mendekati kami begitu pelan, karena ia tertahan oleh orang-orang yang mau melihatnya, berbicara dengannya, dan meminta berkatnya … Aku merasa terbawa emosi sesaat, dan bahkan sebelum dia sampai kepadaku aku sudah termangu-mangu. Tetapi saya tetap mengamati segalanya karena ingin melihat bagaimana tindakan seorang santo, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berjalan....

Setelah itu Don Bosco menatap langsung kepada saya. Ia bahkan menunjukkan jarinya kepada saya.

“Kamu akan pergi ke Mornerse,” ia berkata.

“Mornese?” saya gugup. “Apa itu Mornese?”

“Tempat yang indah.” Dengan merendahkan suaranya ia melanjutkan. “Kita akan makan malam sekarang, tetapi kita akan bertemu lagi kemudian.”

Pada siang harinya ia berkata kepada saya. “Siapa namamu?” ia bertanya kepada saya.

“Enrichetta Sorbone dari Monferrato.”

“Berapa umurmu?”

“Delapan belas tahun!”

“Apakah kamu ingin belajar?”

“Mau bilang apa? Mama menginginkan saya menjadi seorang guru. Tetapi ia meninggal, dan saya harus mengurus saudari-saudari saya yang masih kecil.”

“Engkau mempunyai berapa saudari kecil?”

“Empat saudari perempuan dan dua saudara laki-laki.”

“Dan engkau tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang biarawati?”

“Tidak, tetapi ibu memang telah menawarkan hidupnya, sehingga kami semua dapat membaktikan diri bagi Tuhan.”

“Bagus, bagus! Kita lihat nanti.” Ketika ia melihat saya seolah-olah mau mengatakan bahwa ia akan mengurus segalanya, saya menangis.”

“Don Bosco,” saya berkata, “pastor kami mengatakan pada saya, jika saya terus berkelakuan baik dan mengasuh saudari-saudari saya yang masih kecil, dia akan mengurus kami dan saya ... saya tidak ingin seperti ikan yang mengikuti dua arus.”

“Tidak apa-apa. Saya akan berbicara dengan pastormu.”

“Dan saudari-saudari kecil saya? Dan pastor saya?”

“Penyelenggaraan Ilahi akan mengurus mereka. Di Mornese kami mempunyai Institut Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani. Kamu dapat belajar dengan mereka.”

“Siapa mereka? Apakah mereka biarawati?” Saya langsung mengingat para wanita tua yang bekerja di ruangan linen. “Saya lebih suka ditemani suster-suster yang seperti saya lihat di dalam gambar-gambar kudus.”

Don Bosco tersenyum. “Suster-suster dari Mornese berdandan persis seperti itu. Ketika kau tiba di sana kau dapat belajar. Jika kau berhasil kau dapat bergabung dengan para suster dan melakukan banyak hal-hal baik.”

Dia mengambil sebuah kartu kecil berwarna biru di dalam kantungnya dan ia menulis sesuatu di atasnya lalu memberikannya pada saya.

Yang bertanda tangan di bawah ini—tertulis di sana—menyatakan menyetujui untuk menerima Enrichetta Sorbone dari Rosigno di antara Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani di Mornese. Mas kawin sebesar 1000 Frank Perancis dibebaskan, begitu juga biaya 30 Frank tiap bulan, asalkan dia membayar untuk tiga bulan pertama dan membawa sedikit pakaian-pakaiannya yang dia perlukan. Dia akan melapor kepada Pastor Dominik Pestarino, direktur institut di Mornese.

Borgo Sanmartino, 12 Mei 1873,

Pastor Johanes Bosco.

Enrichetta benar ketika ia berkata bahwa pastornya tidak akan suka bahwa Don Bosco akan mengurusnya. Ketika dia kembali ke rumah dan mengatakan hal itu kepada pastor itu segala sesuatu yang telah terjadi antara dia dan Don Bosco, pastor itu bereaksi keras.

“Jadi kamu mau melakukan hal-hal lain menurut kehendakmu sendiri,” katanya. “Ya sudah kalau begitu.”

Untuk menghindari supaya pastor itu tidak begitu kesal, ia mengundurkan jadwal keberangkatannya.

Ketika ia tidak muncul di Mornese, Pastor Pestarino, yang telah diberitahu tentang kedatangannya oleh Don Bosco, mengirim telegram untuk bertanya alasannya. Ketika menerima telegram itu, pastor itu mengalah dan memberikan berkatnya kepadanya.

Ketika Enrichetta dikirim dari Mornese ke Turin untuk belajar, dia sangat berhasil dalam belajarnya tetapi sekembalinya dari Turin, dia merasa telah kehilangan kesempatan untuk mengurus dan bekerja bagi saudari-saudari kecilnya. Maria melihat ada satu alasan lain yang membuat dia tidak bahagia. Ia mengatakan hal itu kepada pastor Cagliero, yang selalu bersikap hangat terhadap suster-suster, dan berkata bahwa dia akan mencari tahu. Ketika ia bertanya pada Enrichetta, dia mengaku bahwa ia rindu untuk berada dekat dengan adik-adiknya.

“Apakah kamu ingin membawa mereka ke Mornese?”

“O, ya, tentu saja pastor!”

“Jika saya membawa mereka kesini untuk tinggal bersama dengan kamu apakah kamu berjanji untuk menjadi seorang yang kudus?”

“Ya, ya pastor!”

“Benar-benar menjadi seorang kudus?”

“Ya nyata dan benar-benar kudus!”

Pastor Cagliero menepati janjinya dan berkata kepada Don Bosco yang menyetujui semua proposal itu. Dua bersaudari dari Enrichetta yaitu Marietta dan Angelica, segera membentuk sebuah kelompok yang akan mengadakan perjalanan panjang ke Mornese. Agar membuat perjalanan itu lebih mudah bagi anak-anaknya, sang ayah menyewa seekor keledai dan menempatkan mereka di atas punggungnya, satunya di atas sadel, dan yang lainya di dalam keranjang yang ditempatkan di samping sadel. Yang lainnya berjalan mengikuti di belakang keledai itu.

Ketika kedua saudari kecilnya itu melihat Enrichetta, mereka tidak dapat berkata-kata, karena alasan yang sederhana yaitu karena ia memakai jubah, sehingga mereka tidak mengenalinya. Semua hal itu menghibur semua orang sampai akhirnya mereka berlari menghampiri satu sama lain dengan banyak pelukan, ciuman dan air mata.

Anak-anak baru saja tiba ketika Enrichetta mulai merasakan was-was. Ia takut jika ia harus merawat saudarinya, mungkin ia menjadi terlalu terikat dengan mereka dan murid-muridnya yang lain mungkin merasa bahwa ia mengabaikan mereka.

Pada saat menghadapi masalah itu, dia berpaling kepada Maria. “Maukah Muder merawat mereka?”

“Tentu saja. Serahkan mereka kepada saya.”

Maria benar-benar merawat mereka dan sebagai pendahuluan ia memutuskan bahwa Angelica kecil itu terlalu lincah sehingga mungkin dia jatuh dari tempat tidur biasa. Ia menyiapkan sebuah tempat tidur dari bak kayu tua yang ia lapisi sekitarnya sehingga anak itu tidak akan jatuh dari tempat tidur.

Enrichetta memohon kepada Maria untuk mengasuh kedua saudari kecilnya. sebab dia sendiri benar-benar mengabdikan diri pada anak-anak yang menjadi tugasnya. Di dalam sekolah dan di luar sekolah, dia selalu ditemukan bersama anak-anak perempuan. Ketika harus memperkenalkan para postulan kepada cara hidup mereka, Maria akan dengan mudah menunjuk kepada Enrichetta dan berkata, “Lihat saja bagaimana Enricheta melakukannya.”

Anak-anak keluarga Sorbone memberikan lebih dari satu kejadian lucu bagi para penderma.

Selama masa natal, Suster Enrichetta telah mengizinkan anak-anak muridnya untuk menaruh sebagian permen-permen mereka di kaki kanak-kanak Yesus di palungan. Para malaikat yang akan membawa permen-permen itu ke surga untuk dipersembahkan kepada Yesus. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah salah seorang suster akan datang malam hari untuk mengambil hadiah-hadiah itu dan membagikannya ke anak-anak yang miskin di Oratori.

Suatu kali Angelica bertingkah laku yang kurang baik dan sebagai hukuman ia tidak diperbolehkan menaruh hadiahnya di kaki Kanak Yesus. Kemudian ia menangis, menghentak-hentakkan air mata, bertobat dan berjanji untuk memperbaiki diri dan akhirnya Angelica diperbolehkan untuk menaruh hadiahnya. Namun hal itu terjadi setelah anak-anak yang lain telah meletakkan hadiah mereka. Begitu terlambatnya, sehingga ia melihat seorang suster masuk dan dengan diam-diam mengambil hadiah yang dipersembahkan oleh anak-anak itu.

Angelica begitu terkejut. Jadi bukanlah seorang malaikat yang turun dari surga dan mengambil hadiah-hadiah itu! Itu hanya suster! Penemuan hal yang mengerikan itu menyebabkan air matanya mengalir dengan deras. Lalu dijelaskan kepadanya bahwa malaikat turun dan mengambil hadiah dari mereka yang baik dan bukan yang tidak baik. Hal ini membuatnya lega, berjanji untuk memperbaiki diri dan kembali tidur dengan suasana hati yang bahagia.

Angelica segera dikenal sebagai “si kecil tukang gosip” dari Mornese. Dia selalu siap menceritakan cerita yang menyenangkan bahkan jika hal itu tentang dirinya sendiri.

Ketika saya berumur tujuh tahun—ia bercerita kepada kami—Muder Maria bersikap seolah-olah dia menginginkan saya bertingkah laku dua kali umur saya. Suatu kali dia bertemu dengan saya setelah saya pergi ke pengakuan dosa.

“Apa penitensi imam yang diberikan kepadamu?” dia bertanya pada saya.

Saya baru saja hendak memberitahukan kepadanya ketika ia menaruh jarinya pada mulutnya. “Aha!” dia berkata. “Apa yang dikatakan saat pengakuan dosa haruslah tetap rahasia. Ingat itu!”

Pada kesempatan lain ia menemui saya saat keluar dari ruang makan.

“Makanan apa yang kamu makan?” dia bertanya pada saya.

“Kentang goreng!” saya segera menjawab. Kami semua suka kentang goreng!

“Anak yang rakus!” ia berkata. “Tidaklah baik untuk berbicara tentang apa yang kita makan di meja makan. Tidaklah baik juga untuk terus memikirkan apa yang akan kita makan.”

Lalu, ketika saya membantu memegang wool yang sedang dia rajut dan untuk membuat dia bekerja lebih cepat aku berusaha mengerakkan lenganku lebih cepat.

Muder menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kamu sudah berumur 7 tahun,” omelnya, “tetapi kamu masih belum mampu berpikir panjang.”

Bulan Juni 1875, si kecil Caesar Sorbone datang dengan ayahnya untuk mengunjungi keempat kakak perempuannya di Mornese. Dia adalah seorang anak yang begitu gembira sehingga dengan segera ia bisa merebut hati semua orang dan menghabiskan satu hari yang menyenangkan di Mornese.

Namun, pada akhirnya semuanya harus berakhir, dan ketika kunjungan itu selesai dan Papa Sorbone mulai mencari Caesar, tetapi dia tidak menemukannya. Tidak juga kakak-kakak perempuannya; begitu juga semua orang lain. Hari mulai malam dan masalah itu mulai menjadi serius. Lalu seorang suster datang dengan berita bahwa ia telah menemukan tempat Caesar berada.

“Bawa dia segera. Dia harus pergi pulang.”

Dia tidak akan datang. Dia ingin tinggal.”

Biar aku menjemputnya,” kata suster Enrichetta. Dia dan beberapa orang lain mengikuti suster yang telah menemukannya, hanya untuk menemukan dia yang menyembunyikan diri di kandang anjing!

“Keluar segera!” perintah suster Enricehtta.

“Tidak, saya ingin tinggal di sini.”

“Untuk apa?”

“Saya mau menjadi biarawati.”

Diperlukan sebuah bujukan dari semua suster untuk meyakinkan dia bahwa hanya anak perempuan yang dapat menjadi biarawati. Namun, mereka menghibur dia dengan berjanji bahwa bilamana dia besar, mereka akan mengirimnya ke oratori di Turin di mana dia dapat menjadi seorang imam.

Ketika akhirnya Papa Sorbone membawa Caesar ke oratori, ia sangat senang dengan sambutan yang ia terima dari para superior dan dari Don Bosco sendiri yang mengundang mereka makan bersama. Ketika Caesar diperkenalkan di meja, tingkah lakunya terus membuat Don Bosco dan para superior senang.

“Ayo kita lihat,” kata seseorang, “jika dia dapat menerka yang mana Don Bosco itu. Jika ia bisa, kita akan membiarkannya tinggal di sini.” Karena tertantang, Caesar memandang kepada setiap superior secara bergantian meskipun demikian pandangannya tidak berhenti pada Don Bosco, tetapi pada wajah tenang yang tersenyum dari Pastor Rua, Wakil Don Bosco.

“Itu dia,” dia berkata. Lalu mereka semua yang ada di situ tertawa keras.

Sementara itu, Don Bosco menyenderkan badannya pada Pastor Rua. “Ambil anak itu! Ia berbisik, “Ambil anak itu!” Dengan cara inilah seorang Sorborne yang lain masuk ke pangkuan Salesian.

Cerita tentang hubungan antara kuarga Sorbone dengan Mornese tidak berakhir sampai di sini. Angelina Sorbone adalah yang terakhir dari keluarga Sorbone yang mau tetap berada di luar lingkaran Salesian. Ketika kakak-kakak perempuan Angelina telah pergi ke Mornese mereka tidak hanya menaruh semua beban di atas pundaknya untuk mengurus rumah, tapi juga mengharuskannya untuk mengorbankan kesempatannya untuk belajar—suatu hal yang sangat ingin dia lakukan. Walaupun betapa kuatnya perasaan-perasaan yang timbul menyangkut hal itu, dia tidak pernah membiarkan orang lain mengetahui perasaannya, atau rasa ketertarikan untuk pergi ke Mornese. Bahkan sebuah undangan dari Maria pun tidak juga berhasil membuatnya pergi ke Mornese.

Akhirnya, pastor parokinya berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendorongnya mengunjungi kakak-kakaknya di Mornese.

Sesampainya di sana, ia menemukan bahwa ia dapat menikmati kehadiran kakak-kakaknya selama yang ia mau. Bahkan, karena Maria telah mengatur agar dia dan Enrichetta berbagi kamar yang sama, dia bisa tinggal lebih lama dari yang direncanakan. Hal ini memberi Enrichetta sebuah kesempatan untuk menunjukkan bahwa menjadi seorang suster tidak berarti kehilangan cinta untuk keluarga. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa ia semakin bisa mencintai Angelina.”

Angelina juga melihat bahwa kakaknya yang lain Suster Carolina mengalami kemajuan yang sangat baik dalam studinya di Mornese. Ketika dia diberitahu bahwa jika ia masih tetap ingin menjadi guru, dia juga dapat belajar di sana, dan akhirnya dia yakin bahwa, berlawanan dari apa yang telah dia dengar, Kongregasi justru mendorong para anggotanya untuk giat belajar. Harinya segera tiba ketika dia, seperti kakak-kakaknya yang lain, meminta untuk diizinkan bergabung.

Sementara itu, Papa Sorbone telah bergabung dengan Salesian dan hidup dengan mereka sampai dia mati pada umur 84 tahun.


Dua buah kejadian menunjukkan betapa baiknya Maria memahami karakter Enrichetta pada tahap-tahap pembinaan yang berbeda.

Ketika keluar dari Misa—cerita suster Enrichetta—adalah benar-benar godaan untuk bisa mencium polenta, pap atau chesnuts. Seseorang harus memutar jauh dari dapur supaya tidak kalah pada sedikit kerakusan! Dan ketika chesnuts disediakan di meja ruang makan ada juga dorongan cinta kepada matiraga untuk tidak makan satupun. Suatu kali ketika aku meninggalkan ruang makan sama seperti ketika aku masuk, yaitu tanpa memakan chestnuts itu, Muder, yang selalu jeli melihat segala sesuatu, melihat hal itu.

“Richetta, apakah chestnuts itu sangat enak?” dia bertanya kepada saya.

“Sangat enak!” saya menjawab.

“Apakah kau memakannya?”

“Mereka benar-benar hadiah yang begitu menyenangkan bagi anak-anak didik kita,” kataku.

“Saya bertanya kepadamu apakah kamu memakannya.”

“Sebenarnya, tidak ...”

“Baiklah; karena kamu adalah yang terkecil dibandingkan anak-anak didikmu, aku ingin kamu kembali ke ruang makan dan ... buon appetito!”

Ketika Maria kembali dari kunjungannya ke Rumah-Rumah, ia melihat bahwa suster Enrichetta belum juga sembuh dari sakitnya yang terakhir. Ketika ia memberitahunya untuk menyiapkan para siswa untuk pindah rumah ia ingin tahu bagaimana kondisi kesehatannya. “Apakah tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menyembuhkan sakit perutmu itu?”

“Jika aku menemukan obatnya,” adalah jawaban suster Enrichetta, “apakah kau akan mengizinkanku pergi ke Amerika?”

“Aku rasa tidak. Kau akan tinggal di sini bersamaku. Sementara itu, carilah apa yang dapat menyembuhkanku dan beritahukanlah aku.”

Keesokan paginya, ketika suster Enrichetta melewati dapur, ia langsung diserang oleh aroma yang mengiurkan dari kentang goreng. Mereka seolah-olah telah dipersiapkan secara khusus bagi dirinya dan bagi penyakitnya. Pada saat itu ia tidak bisa memikirkan obat yang lebih baik dan segera ketika ia bertemu Maria, ia memberitahukan hal itu. Maria memandangnya sebentar. Lalu ia tertawa terbahak-bahak. “Apa maksudmu, “makanan itu baik untukmu?” Itu hanyalah godaan kerakusan! Makanan itu tidak akan membantu perutmu. Kamu hanya akan makan apa yang mereka bawakan kepadamu dan tidak yang lainnya.”

Suster Enrichetta lalu ikut tertawa bersamanya. Maria telah memergokinya, ia sekarang tahu, pada saat ia lemah maka pelajaran itu akan terus diingatnya.


Pada saat kematian Maria Mazzarello, Enrichetta terpilih menjadi Wakil dari Muder General yang baru. Hal ini terjadi tanggal 12 Agustus 1881, dan dia tetap berada pada posisi itu selama 60 tahun! Tahun 1883, sambil menjabat Wakil, ia juga diberi tugas sebagai Mistres Novis. Kebijakannya adalah untuk selalu siap bagi siapapun dan ia telah menempelkan pada pintunya sebuah label yang mempunyai pesan, Venite a placebo, yang jika diterjemahkan berarti, “datanglah kapanpun yang engkau suka.” Ia menyamakan tugasnya sebagai Wakil dengan Simon dari Kirene; ia harus membantu Muder General membawa salibnya.

Ia banyak berkeliling atas nama Muder General dan seperti yang telah diramalkan Maria, ia dipilih sebagai Visitor-Extraordinary ke Amerika Selatan. Hal ini berarti menjelajahi benua yang luas itu pada saat kondisi perjalanan begitu sulit sehingga lebih dari satu kali nyawanya berada dalam bahaya.

Pada perjalanan pulang ia terus melintasi Italia dan melewati Eropa. Perjalanannya yang terakhir adalah ke Inggris pada bulan Juni 1925. Tahun 1937 ia mengusulkan sebuah petisi pada rektor Mayor Salesian untuk memilih seseorang lain untuk menggantikan posisinya sebagai Wakil, tapi suatu keputusan khusus dari Tahta Suci tertanggal 9 November 1938, memutuskan bahwa ia harus meneruskan jabatan itu dengan bantuan seorang asisten. Muder Enrichetta meninggal dunia di Nizza Monferrato pada tanggal 14 juli 1942.

Ketika Angelica mencapai usia 16 tahun, ia meminta untuk diterima di dalam kongregasi di mana ketiga kakak perempuannya telah diterima. Ia membuat kaulnya tanggal 22 Agustus 1886, dan pergi ke Argentina pada tanggal 28 Desember 1889. “Si tukang gosip kecil” menjadi superior di Bahia Blanca tahun 1910, dan setelah menjadi pimpinan di beberapa rumah, dia diangkat menjadi Mistress Novis, lalu menjadi provinsial Chile. Setelah menjadi provinsial di wilayah Patagonia yang sulit, ia pensiun dari kehidupan Salesian yang aktif di Buenos Aires dan meninggal di Italia tanggal 23 Oktober 1954.

12—Kerugian Dan Keuntungan



Muder Maria,” tulis seorang anggota di masa awal berdirinya kongregasi, “dikaruniai bakat yang istimewa untuk dapat memimpin dengan kekuatan dan kelemah-lembutan dan pada saat yang sama dengan keteguhan dan kebaikan.”

Dia memerintah melalui perbuatan bukan dengan perkataan,” yang lain mengatakan. “Dia mampu menarik para suster, tanpa sedikitpun memaksa, untuk mempraktekkan kebajikan-kebajikan dengan cara yang luar biasa.”

Tampaknya Maria tetap menganggap rendah dirinya sendiri karena ia masih menunggu dengan cemas seorang superior yang dijanjikan Don Bosco sehingga kapanpun ada seorang postulan yang datang dengan bekal pendidikan yang baik, ia menganggap bahwa inilah orang itu dan memberinya begitu banyak perhatian dan rasa hormat.

Aku ingin kalian semua siap sedia menyambut superior baru kita ketika dia datang,” ulangnya seringkali. “Kalian butuh seseorang yang berpendidikan, seseorang yang tahu bagaimana berurusan dengan orang-orang, dan saya memang benar-benar tidak dapat melakukannya!”

Kecemasan yang terus berlanjut dalam menunggu kedatangan superior baru memberikan beberapa kejadian yang menghibur atau yang tidak menghibur bagi komunitas.

Apa yang membuat semua ini mungkin adalah kenyataan bahwa Pastor Pestarino, seturut kehendak Don Bosco menghindari campur tangan dalam urusan internal mereka.

Beberapa kejadian ini terjadi setelah kedatangan Signora Maria Blengini ke dalam komunitas.

Signora Blengini merupakan seorang janda dari salah seorang penderma Don Bosco, yang menawarkan diri untuk membantu Don Bosco lewat cara apapun yang ia bisa. Karena ia telah dididik di salah satu sekolah biara terbaik di Turin, Don Bosco mengusulkan bahwa ia mungkin mampu memberi saran dan bimbingan kepada Maria dan komunitasnya.

Dengan tujuan baik, Beligni menerima undangan ini sebagai suatu tantangan. Menimbang pendidikannya dan pengalamannya selama dalam biara, ia yakin bahwa ia mampu memberi bantuan kepada para suster secara umum dan secara khusus pada superior mereka yang tidak berpengalaman.

Maria adalah orang pertama yang meletakkan dirinya di bawah ketaatan kepada superior yang baru dan tidak dikenal ini,” kata Suster Emelia Mosca. “Dia menerima posisi terendah, tidak mencari apapun kecuali kemuliaan Tuhan, kebaikan institusi dan keselamatan jiwa-jiwa.” Menurutnya, ketika Beligni tiba, kemiskinan di komunitas itu adalah sesuatu yang lebih mudah dibayangkan daripada dilukiskan.

Makanan sedikit dan gizinya rendah,” tulis seorang yang lain. tapi kerjanya berat karena kami harus mencari nafkah sehari-hari dan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lainnya. Terlebih lagi, para suster telah didorong untuk mempraktikkan kemiskinan seperti ini oleh Don Bosco dan telah meyakinkan kami bahwa kami akan dapat melakukan hal-hal yang besar jika kami tetap miskin, sederhana dan bermatiraga. Hal ini, ditambah dengan teladan dari suster Maria yang tampaknya tidak merasakan kebutuhan untuk makan, membantu kami untuk tidak begitu merasakan perihnya perut akibat rasa lapar. Di saat sarapan pagi kami tidak makan apa-apa kecuali sepotong roti dan pada saat malam semangkuk sup dan sedikit buah. Daging disingkirkan dari meja dan hanya dihidangkan pada saat pesta-pesta besar sehingga memberikan kami bahan untuk dibicarakan. Anggur tidak pernah ada sehingga tidak pernah terpikirkan oleh kami. Namun tidak seorangpun pernah mengeluh dan tidak seorangpun pernah jatuh sakit, walaupun ada beberapa di antara kami yang tubuhnya lemah dan terbiasa dengan makanan yang lebih baik. Kami semua menikmati kesehatan yang baik dan tidak seorang pun dari kami mau menukar gaya hidup kami dengan kehidupan seorang ratu!”

Betapa seringnya Suster Maria akan mengkuatirkan apa yang akan kami makan saat sarapan pagi!” tulis orang yang ketiga. “Kami hampir tidak memiliki apa-apa di rumah. Pada masa itu kami hanya mengambil sepotong roti dan mencelupkannya di air sehingga roti itu bengkak dan menjadi lebih besar. Pernah suatu kali kami sarapan pagi hanya dengan bawang yang digoreng. Kemiskinan kami hampir mendekati kesengsaraan total tapi tidak pernah ada yang mengeluh.”

Blengini datang ke komunitas ini bersama seorang wanita pembantu dari Turin. Sebagai awal, ia meminta kamar pribadi dan makanan spesial yang dihidangkan di kamarnya. Segera setelah ia dapat melihat keadaan hidup para suster dan terutama tentang makanannya yang kurang bergizi, ia dengan segera menulis surat kepada Don Bosco agar dia membeli sapi agar dapat menyediakan susu untuk mereka.

Para Suster St. Anna juga merasakan bahwa diet makanan di Mornese terlalu keras dan praktik matiraganya terlalu parah, tapi tidak mempertimbangkannya sebagai kewajiban mereka untuk memberitahukan Don Bosco tentang pendapat mereka itu.

Kematian suster Maria Poggio yang belum waktunya, memaksa Maria mempertimbangkan apakah pengamatan Blengini akan makanan yang tidak cukup itu memang benar. Setelah berkonsultasi dengan Pastor Pestarino, susu yang sedikit disediakan bagi mereka yang sedang merasa kurang sehat atau mereka yang tidak terbiasa terhadap cuaca yang cukup dingin atau terhadap cara hidup yang keras seperti itu. Karena hal ini belum benar-benar menghilangkan rasa takutnya, dia berpikir bahwa barangkali kopi susu saat sarapan pagi, bisa menjadi solusi yang terbaik. Pada waktu itu, kopi susu, dianggap sebagai minuman yang sangat bergizi.

Beberapa minggu yang lalu,” kata Pastor Pestarino menulis, “Suster Maria menanyakan saya jika kopi susu dapat ditambahkan untuk sarapan pagi karena beberapa orang yang sudah terbiasa dengan hal ini mungkin menderita jika hal ini tidak ada.” Dia menerima usulan ini. Suster akan menghidangkan kopi susu saat sarapan pagi. Dengan keputusan itu sepertinya hal itu selesai, tetapi para suster yang mengajar dan kemudian beberapa suster yang lain mengatakan bahwa mereka tidak membutuhkan kopi susu, bahwa mereka cukup sehat, dan sebaiknya Suster Maria menyediakan polenta dan chestnuts untuk sarapan pagi, karena lebih bergizi dan lebih murah dan baik untuk semua orang. Oleh karena keberatan-keberatan itu, hal kopi susu itu pun berakhir.

Ketika Don Bosco menerima surat dari suster yang berisi bahwa mereka tidak terlalu berkeinginan sarapan pagi dengan kopi susu, karena merasa sudah cukup tanpanya, Don Bosco mengirim jawabannya yang dibacakan oleh Maria kepada Komunitas. Selagi Don Bosco merasa senang melihat komunitas yang begitu bersemangat hidup bermatiraga, tetapi dia masih ingin melihat lagi bahwa mereka sarapan pagi dengan kopi susu.

Kalau begitu kita akan tetap minum kopi susu!” Maria memutuskan. “Dan keputusan ini mengharuskan semua orang. Bahkan, jika Don Bosco ingin kita sarapan pagi dengan makan ayam, kita akan melakukannya. Kita memang miskin namun Penyelenggaraan Ilahi akan mengurus segala-galanya.”

Sekarang para suster mulai bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menggabungkan dan menyatukan cinta mereka terhadap kemiskinan dan matiraga dengan semangat ketaatan. Untuk memecahkan dilema itu, mereka mengambil susu dari sapi, mengaduknya untuk membuat mentega dan memberikan mentega tersebut kepada suster-suster yang memerlukan gizi tambahan.

Namun, Blengini masih belum puas. Sekarang, setelah ia yakin bahwa ia diilhami Tuhan, yakin juga bahwa Don Bosco mendirikan kongregasi dengan dasar yang terlalu sederhana, dia memutuskan untuk memperkenalkan perubahan-perubahan lain mengenai cara hidup para suster.

Saran-saran perubahan ini menimbulkan gangguan-gangguan. Selagi para suster tidak mau terlihat tidak taat, mereka berpikir bahwa apa yang disarankan Blengini tidak sesuai dengan apa yang Don Bosco inginkan. Sebaliknya, Maria merasa bahwa mereka harus taat. Dia sudah berkeberatan akan perubahan pada jubah dan banyaknya doa-doa yang disuruhkan oleh Blengini, tapi ketika Blengini memaksa akhirnya Maria menaatinya.

Beberapa bulan kemudian, Blengini pergi ke Turin dan setelah memberikan gambaran kepada Don Bosco tentang perubahan yang telah dilakukannya, mengusulkan beberapa perubahan lain. Don bosco menunjukkan bahwa ia menginginkan para suster dapat berkarya untuk anak-anak muda, untuk memiliki semangat kesalehan yang sederhana dan wajar tapi berbeda jauh dari konsep kebiaraan yang Blengini pikirkan. Setelah mendengarkan keberatan Blengini dan menyimpulkan bahwa dia tidak akan menuruti sarannya, Don Bosco meminta Pastor Cagliero untuk mengunjungi Blengini dan mengucapkan terima kasih atas pelayanannya selama ini.

Hal ini begitu mengejutkan dan mengesalkan Blengini sehingga ia kembali menemui Don Bosco untuk memaksakan perubahan-perubahan yang telah ia usulkan. Ketika Don Bosco tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurut, dia mengancam Don Bosco bahwa mungkin dia tidak akan kembali ke Mornese. Ketika tidak ada satu usaha dari seorangpun untuk menghalangi maksudnya ini, dia merasa kesal.

Tetapi apa yang akan terjadi dengan komunitas itu?” dia bertanya kepada Pastor Cagliero. “Siapa yang akan jadi pemimpin mereka? Siapa yang akan membentuk mereka supaya bisa mengikuti semangat religius yang benar?”

Don Bosco berpendapat bahwa Mazzrello mampu melakukan hal itu.”

Mazzarello,” kata Blengini dengan nada menghina. ”Dia seorang wanita yang baik dan kudus tetapi ia tidak pernah mendapat pelatihan apapun! Ia benar-benar tidak pernah mengenyam pendidikan!”

Tepat dengan yang diinginkan Don Bosco,” jawab Pastor Cagliero. “Dia merupakan sebuah alat yang sempurna di tangan Penyelenggaraan Ilahi dan akan melakukan hal-hal besar …”

Kemudian Pastor Cagliero menulis surat kepada Maria atas nama Don Bosco bahwa Blengini tidak akan kembali lagi dan menunjuk Maria menjadi pemimpin. Karena sangat gembira atas perubahan peristiwa ini, para suster mulai memanggil Maria sebagai Muder untuk pertama kali!

Namun, hal ini tidak begitu menyenangkan untuk Maria, dan dia menulis surat kepada Pastor Cagliero: “Surat ini saya tulis kepadamu karena saya tidak berani untuk menulis kepada Don Bosco karena surat ini penuh dengan kesalahan. Di dalam surat yang terdiri dari banyak kata-kata ini, saya mau memberitahukan bahwa saya tidak mampu bertindak sebagai pemimpin seperti yang diinginan Don Bosco. Kamu dapat menilai hal itu dari surat ini di mana saya ragu untuk mengirimkannya padamu. Pendidikanku, tulisan tanganku, tulisan cakar ayam, kesalahan dalam tata bahasa … hal-hal ini menunjukkan kebodohan seorang wanita petani. Saya bahkan tidak mampu menyusun pikiran saya untuk dilaporkan kepada Superior! Beritahukanlah Don Bosco bahwa saya tidak mampu mengarahkan diriku sendiri apalagi mengarahkan orang lain…”

Walaupun ada protes dari Maria ini, Pastor Cagliero menulis kembali atas nama Don Bosco bahwa Maria harus melanjutkan tugasnya, dengan menaruh iman yang besar kepada Tuhan, karena jiwa-jiwa yang paling rendah hatilah yang pasti memperoleh rahmat dan berkat Tuhan untuk mempermalukan orang-orang yang bijak.

Masih berharap untuk dibebaskan dari tugasnya, Maria memohon kepada semua orang mulai dari Don Bosco sampai Pastor Pestarino, mencoba meyakinkan mereka bahwa dia bukanlah orang yang cocok untuk posisi tersebut. Satu-satunya cara untuk menenangkan Maria adalah dengan meyakinkannya, seperti yang dilakukan Don Bosco, bahwa ia mencari seseorang yang mampu menjadi, bukan lebih bijaksana, tapi yang lebih taat dan lebih rendah hati. Masalahnya adalah dengan para superior yang lebih berpendidikan tapi tidak begitu taat, Don Bosco merasa kesulitan untuk menanamkan semangat yang ia inginkan ke dalam kongregasi muda ini.

Setidaknya dengan gelar Muder, Maria bisa melakukan sesuaatu sesuai dengan kehendaknya. Ia memprotes bahwa ia tidak ingin dipanggil Muder, dan ia juga tidak bisa memanggil yang lain sebagai Puteriku.

Karena ia terus mendesak Pastor Pestarino agar membujuk Don Bosco untuk menemukan pemimpin yang lebih mampu, dia berjanji bahwa dia akan menulis surat lagi kepada Don Bosco. Ketika dia akhirnya menulis sebuah surat, hal itu hanya untuk memberitahukan kepada Don Bosco betapa kerja keras, sederhana, dan taatnya Maria dan betapa ia dicintai oleh para Suster.

Sebagai balasannya, Don Bosco mengirim kepada Pastor Pestarino sebuah catatan singkat untuk diteruskan kepada komunitas. “Bapa Suci sendiri yang memberikannya kepadaku untuk mereka,” ucap Don Bosco. “Dan Dia meyakinkan saya bahwa jika komunitas mematuhi petunjuk-petunjuk ini maka kongregasi akan berkembang.”

Catatan singkat itu terdiri atas 5 hal:

1. Keseragaman dalam makanan

2. Keseragaman dalam pakaian

3. Keseragaman dalam izin

4. Menghindari pengecualian

5. Ketaatan pada peraturan

Ketika Don Bosco menjelaskan kepada Bapa Suci bahwa mungkin tidak semua orang dapat mematuhi keseragaman, Bapa Suci menjawab, “Ketika ada keperluan dan situasi yang menuntut hal itu, biarlah superior memberikan dispensasi, selalu dengan cinta kasih dan kebijaksanaan.” Para suster begitu gembira dengan pesan singkat itu, sehingga supaya mereka mudah mengingatnya maka dipakunya ke pintu rumah.

Pada Bulan Maret 1874, Don Bosco mengirim Pastor Cagliero untuk memberikan retret selama 3 hari untuk para suster dan para murid mereka—sebuah praktek yang akan menjadi tradisi di masa depan 3 hari menjelang libur Paskah.

Sebelum Pastor Cagliero meninggalkan mereka, Maria memohon lagi kepada dia sambil berlutut untuk mempertimbangkan lagi kedudukannya, memohon kepadanya untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membujuk Don Bosco agar mencari seseorang yang lain untuk memimpin komunitas dan membebaskannya dari tugas itu.

Mengetahui sekarang betapa sia-sialah meyakinkan Maria bahwa dia adalah orang yang tepat untuk posisi itu, Pastor Cagliero akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri permohonan Maria.

Kamu terus memberitahuku bahwa kau tidak mengetahui apa-apa,” katanya. “Mari kita lihat, apakah kamu tahu misteri Iman kita yang suci?”

Siapa yang tidak tahu?”

Baik, sejauh yang Don Bosco pedulikan, untuk menjadi seorang superior hanya itulah yang cukup kamu ketahui—hanya hal itu dan ditambah dengan kepastian bahwa kau akan tetap taat.”


Setelah kunjungan para Suster St. Anna dan setelah menyelesaikan masalah Blengini, hidup di Mornese menjadi lebih lancar. Tibalah saatnya Pesta Kebangkitan pada tahun 1874, dimana mereka semua terlihat menikmati musik yang disusun oleh Pastor Cagliero dan untuk pertama kalinya mereka menyanyikan Misa. Sayang sekali, tiba-tiba duka cita meliputi mereka.

Pada pagi hari selanjutnya, Pastor Pestarino memulai novena untuk menghormati Pentakosta dan Maria Penolong Umat Kristiani. Setelah misa, seperti kebiasaannya, dia membaca meditasi yang kali ini bertema kematian, dan membacanya dengan perasaan yang begitu mendalam sehingga para suster terharu. Da mengucapkan Benediction, mendengar pengakuan dosa dan menghadiri sebuah rapat dewan desa, lalu dari sana dia pergi berkunjung ke tukang kayu setempat. Saat mendiskusikan masalah bisnis dengan dia, dia mengeluh bahwa dia tidak merasa begitu sehat dan segera dibawa pulang dan beristirahat di tempat tidur. Keponakan laki-lakinya mengirim surat kepada suster, dan kepada bapaknya yang adalah seorang doktor untuk datang secepatnya. Ketika dokter itu datang, ia segera mendiagnosa penyakit itu sebagai apoplexy (ayan) dan memberi pengobatan yang umum: lintah ditaruh di belakang kuping kiri, es di kepala dan kompresan mustard di kakinya. Kemudian, dokter kedua tiba dan ia menyetujui cara pengobatan ini.

Kondisinya begitu cepat memburuk, sehingga ketika Maria sampai, dia hampir tidak dapat mengenalinya.

Dimana para suster yang lain dan anak-anak?” dia ingin tahu. Dia sudah mulai kehilangan tenaga untuk berbicara.

Mereka berdoa di gereja untukmu”.

Bagus! Teruskan hal itu! Percayalah kepada Tuhan!” itulah kata-kata terakhirnya.

Dia dengan segera dikelilingi oleh orang-orang yang perhatian terhadap dia, termasuk pastor, notaris umum dan beberapa imam yang lain dari daerah itu. Pada tanggal 16 Agustus 1874 darahnya dikeluarkan lagi dan ketika hal ini selesai, pada jam 3 sore dia menarik nafas panjang yang berat kemudian memberikan jiwanya kepada Tuhan. Meskipun kematiannya terjadi secara tiba-tiba, tetapi dia sudah siap untuk hal itu. Mengenai barang-barang miliknya, dia telah membuat surat warisan dua minggu sebelumnya, memberikan semua yang ia miliki kepada Don Bosco; jiwanya selalu siap untuk bertemu dengan sang Penciptanya.

Sewaktu kedatangannya di Mornese tahun 1847, dia telah meminta kepada kawanan umatnya yang kecil “kerja-kerja yang merupakan tugasnya,” ia tidak mungkin tahu kerja apa yang direncanakan Tuhan untuknya. Selalu dilukiskan dengan hal-hal kecil—mereka memanggil dia previn atau pastor kecil—kerjanya dibatasi oleh batasan desa yang tersembunyi oleh bukit-bukit. Adalah kebiasaannya untuk mempersembahkan dirinya kepada Tuhan, dan membuka dirinya sebagai saluran untuk rahmat yang telah memberinya perbedaan. Tidak membutuhkan alat yang hebat untuk melakukan kehendaknya, Tuhan mencari seseorang yang mau bekerjasama dengan rahmat-Nya dan Ia menemukan Pastor Pestarino.

Walaupun pastor Pestarino tidak mencari kehormatan, ia tidak bisa tidak bergembira atas kesuksesan yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Ia telah datang kepada komunitas yang terdiri dari jiwa-jiwa yang imannya telah dihimpit oleh Jansenisme, namun ia mendengar uskup Aqcui menggambarkan Mornese sebagai “kebun keuskupanku”. Don Bosco sendiri pada satu kesempatan menyebut Mornese “sebuah desa yang menyerupai sebuah komunitas orang-orang yang dikuduskan untuk Tuhan dalam Kesalehan, Kemurahan hati, dan Semangat,” dan pada kesempatan lain Don Bosco berkata, “surga di dunia dari Provinsi Acqui”. “Untuk mengubah desa ini menjadi biara, yang harus mereka lakukan hanyalah membangun tembok di sekelilingnya!”

Para ahli sejarah di masa depan belum memberikan banyak informasi tentang Pastor Pestarino dan bagian penting yang dia mainkan dalam persiapan dan penembangan institut yang nanti menjadi Kongregasi Maria Penolong Umat Kristiani di kemudian hari. Jika Don Bosco memang memberi sentuhan akhir kepada karya seni yang hebat ini, mungkin hal itu tidak terlalu banyak karena Pastor Pestarino telah melakukan persiapannya dengan baik.

Ketika Pastor Pestarino telah tiba di Mornese, dia menemukan banyak gadis muda setempat yang tidak bercita-cita lebih besar daripada memiliki masa depan yang lebih baik dalam batasan-batasan desa kecil mereka. Selama seperempat abad dia telah bekerja dengan gadis-gadis ini, dengan sabar dan tekun, membimbing mereka, membentuk mereka dan menyemangati mereka. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak kali mereka mengecewakan dia, membuatnya frustasi dan bahkan menyakitinya. Tetapi dia berdoa, bermatiraga dan mengorbankan dirinya dan memperoleh penghiburan—yang jarang Tuhan berikan kepada para santo-Nya—dengan melihat bahwa karya-Nya telah diserahkan ke tangan seorang ahli, didirikan dengan kuat dan yang selalu siap melakukan banyak hal besar demi kemuliaan Tuhan.

Jika kematiannya menutup sebuah periode dalam kehidupan kongregasi yang muda ini, ingatan akan dia akan selalu ada di antara mereka sejauh mereka menghayati “semangat dari Mornese”.

Para suster memang sungguh sedih atas kematian Pastor Pestarino. Tidaklah mungkin melupakan ramalan-ramalan lokal akan kehancuran hubungan antara kematian Pastor Pestarino dan masa depan kongregasi: Bahwa para suster hanya akan mampu tetap ada jika Pastor Pestarino ada di sana membantu mereka dengan membayar tagihan-tagihan. Beberapa suster memang merasakan bahwa kelanjutan keberadaan mereka dapat diragukan. Hal ini terjadi walaupun ketika Don Bosco tiba dan merayakan Misa bulanan, dia mengaku heran melihat bagaimana jumlah mereka meningkat setelah kunjungan terakhirnya.

Pastor Costamagna, apakah engkau mau pergi ke Mornese?”

Untuk apa? Untuk mati?”

Jika hal itu akan menyenangkan Tuhan. Untuk saat ini kau masih punya banyak pertempuran untuk dijalani untuk-Nya. Apa yang kamu pikirkan jika saya mengirimkan kamu ke sana sebagai Pembimbing Rohani?”

Jika kamu berpikir saya harus pergi, maka saya pun berpikir demikian.”

Pembicaran ini terjadi antara Don Bosco dengan Pastor Costamagna dan ucapan Pastor Costamagna mengenai kematian bukanlah hanya ucapan yang sembarangan. Jumlah kematian yang terjadi baru-baru ini di Mornese cukup besar.

Setelah kematian Pastor Pestarino, Don Bosco, karena tidak ingin membiarkan para suster tanpa seseorang yang dapat menghibur mereka atas kehilangan Pastor Pestarino dan untuk terus mengatur mereka, segera mengirimkan Pastor Joseph Cagliero. Sayang sekali, dia juga, menjadi sakit dan meninggal setelah 2 bulan di sana, dan untuk sementara waktu digantikan oleh Pastor Yohanes Garino. Pilihan akhir Don Bosco untuk posisi yang penting ini adalah Pastor James Costamagna, seorang guru di sekolah Salesian di Lanzo, yang tiba di Mornese pada 6 November 1874.

James Costamagna masuk ke oratori Don Bosco tahun 1858 dan kemudian dikirim sebagai frater bukan Salesian beserta dengan beberapa orang yang lainnya untuk membuka sekolah di Lanzo tahun 1859. Tahun 1868 dia ditahbiskan. Lebih suka mengikuti suara hatinya, dermawan, setia, penuh semangat, kurang pengalaman, namun pada saat yang sama penuh kerendahan hati, dia selalu memperoleh kepercayaan dari Don Bosco yang telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dia akan menjadi uskup. Don Bosco sering mengajaknya untuk mengikutinya dalam beberapa perjalanan dan ini memungkinkan Costamagna untuk menyaksikan lebih dari satu mukjizat yang telah dilakukan Don Bosco.

Ini bukan yang pertama kali Pastor Costamagna harus ke Mornese, sebelumnya sebagai seorang frater dia pernah mendampingi kelompoknya berkunjung ke sana tahun 1864 dan bersama Pastor Josep Fagnano, Don Bosco telah memintanya pergi ke Mornese untuk merayakan Misa Pertama mereka. Mereka tiba hari Minggu pagi tanggal 20 September 1868, atau jika tidak, mereka tiba sebelum tengah malam dengan berjalan kaki! Tetapi karena mereka masih muda mereka tidak merasa terlalu lelah dan pada keesokan harinya berhasil membuat semua orang bahagia. Pastor Fagnano merayakan misanya di gereja paroki dan Pastor Costamagna merayakan misanya di kapel sekolahan. Karena sifat keterbukaan dan semangatnya, Pastor Costamagna segera menjadi terkenal baik di antara para pastor maupun juga orang-orang yang lain. Dia juga menjadi sasaran beberapa lelucon yang ia terima dengan baik.

Kunjungannya yang selanjutnya ke Mornese adalah untuk membantu Misa Pertama Pastor Joseph Pestarino, keponakan laki-laki Pastor Pestarino, pada 8 Mei 1870. Pada kesempatan itu ia bermain organ sewaktu misa dan pada saat makan malam dia menyanyikan lagu gubahannya sendiri, juga menjadi sasaran beberapa lelucon. Lelucon yang terakhir ia terima terjadi saat ia pergi berangkat naik kereta kuda dengan Don Bosco. Rosalia Pestarino, keponakan perempuan Pastor Pestarino, memberikan kepadanya satu paket karamel untuk perjalanan. Hanya setelah ia membuka salah satu karamel tersebut, barulah ia sadar bahwa itu bukan karamel melainkan potongan batubara!

Meskipun demikian, pilihan Don Bosco terhadap Pastor Costamagna untuk posisi Pembimbing Rohani bagi para suster ini menimbulkan beberapa pertanyaan muncul. Sampai saat ini mereka telah terbiasa dengan cara-cara Pastor Pestarino. Dia memang tegas dan tidak main-main jika menyangkut ketaatan religius, namun dia adalah seorang yang lemah lembut dan selalu berhati-hati agar tidak melukai hati seseorang atau pun memperlakukan mereka dengan buruk. Pastor Costamagna, untuk tidak berkata kasar, tidak terlihat sebagai seseorang yang mampu berhubungan dengan pengarahan sebuah komunitas biarawati. Walaupun dia sangat religius, dia adalah manusia yang suka beraksi, kasar dan berterus terang, tidak menyerah kalau hal itu menyangkut mempertahankan prinsip atau perkataan yang dia pikir harus dikatakan walaupun hal itu dapat mengakibatkan rasa sakit hati.

Apakah maksud Don Bosco adalah untuk mengetes kerendahan hati dan ketaatan mereka? Atau apakah hanya karena dia tahu bahwa hanya seseorang dengan sifat-sifat seperti Pastor Costamagna-lah yang dapat menanggung hidup yang menuntut, bermatiraga dan penuh pengorbanan diri seperti yang dijalani oleh komunitas di Mornese?

Apapun tujuannya, ketika Pastor Costamagna baru tiba, ia mulai mengatur jam pelajaran yang tetap bagi para suster. Ia juga tidak puas hanya dengan mengatakan kepada suster bahwa mereka akan mengajar. Untuk menunjukkan kepada mereka caranya, ia sendiri banyak mengambil jam mengajar. Ia juga tidak membatasi dirinya di dalam ruangan kelas atau altar tetapi ketika dibutuhkan dia akan bekerja dengan para suster dalam kerja harian, mengangkat adukan semen dan batu ketika sedang membangun sebuah gedung. Karena ia juga seorang pemusik dan pembuat puisi, ia meminta siapa saja dari para suster yang memiliki bakat untuk menggunakannya sehingga menjadikan oratori menjadi sebuah tempat yang lebih menarik bagi mereka sendiri dan untuk anak-anak.

Dengan Pastor Costamagna, Maria taat terhadap dia seperti terhadap para pendahulunya, dan tidak pernah lelah berterima kasih kepadanya akan apa yang telah ia lakukan untuk komunitas itu.

Ketaatan terhadapnya juga didorong oleh kenyataan bahwa dia mewakili Don Bosco, dan untuk Don Bosco, Maria menghormatinya tanpa batas. Ia senang menarik perhatian para suster yang lain kepada kualitas-kualitasnya yang jarang, memberitahu mereka bahwa mereka harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa mereka pantas untuk dipimpin oleh seorang pemimpin seperti dia.

Lihatlah dia!”dia sering berkata. “Betapa kudusnya dia! Dan lihatlah diri kita sendiri, penuh dengan kekurangan! Celakalah kita jika kita tidak berusaha menjadi seperti dia!”

Kadang-kadang,” kata Suster Pacotto, “saya menemani dia mengunjungi Pastor Costamagna.” “Suster macam apakah kita ini?” dia berseru ketika sedang berjalan “Kita bahkan tidak tahu bagaimana cara bertemu dengan orang lain!” Ketika dia telah mengatakan hal ini, wajahnya memerah kemudian ia menertawakan dirinya sendiri.

Sikap Maria terhadap kepribadian yang kuat itu menjadi seimbang antara rasa hormat terhadap kekuasaan Pastor Costamagna dan rasa hormat terhadap kekuasaanya sendiri. Ada saat di mana dia akan berlutut di depan Pastor Costamagna dan ada saat di mana dia akan secara hormat menentangnya dan akhirnya ada saat di mana dia akan menggunakan tipu daya yang sederhana agar menghindari konfrontasi yang tidak perlu.

Sadar bahwa kadang-kadang Pastor Costamagna bersikap terlalu keras kepada para suster, kadang-kadang ia berusaha melindungi mereka dari koreksinya. Seorang suster muda memiliki watak yang begitu riang sehingga Maria mengizinkan dia untuk sesekali meninggalkan tempat kursus dan bermain ayunan. Sayangnya, hal itu terjadi sewaktu Pastor Costamagna datang untuk memanggil suster muda tersebut untuk latihan paduan suara.

Menyadari hal ini, Maria pergi ke luar dan diam-diam memanggil suster tersebut, memperingatinya bahwa Pastor Costamagna datang mencarinya dan jika dia menemukannya meninggalkan tempat kursus untuk main ayunan, dia pasti berkomentar tentang hal itu.

Tetap di belakangku supaya dia tidak melihatmu,” kata Maria. “Ketika kita masuk ke tempat kursus berjalanlah dekat denganku sehingga kau tidak akan diperhatikan untuk beberapa saat. Dengan cara ini mereka masuk ke dalam tempat kursus tanpa menarik perhatian siapapun.

Pastor Costamagna sekarang muncul. “Di mana setan kecil itu?” dia berseru.

Dia ada di sini semenit yang lalu,” kata Maria. Sementara itu, suster tersebut menunduk cukup rendah di belakang Maria, sehingga Pastor Costamagna tidak melihatnya.

Sekarang, lompatlah dan kejutkan dia,” kata Maria.

Suster tersebut melakukannya dan melambaikan tangannya untuk menarik perhatian Pastor Costamagna.”Saya di sini!” dia berseru. “Tidakkah kamu dapat melihatku?”

Ketika Suster Louise meninggal, Maria dan beberapa suster lainnya mempersiapkan pemakamannya. Bahkan ketika mereka harus bekerja, Maria dan para suster berusaha mematuhi sebaik-baiknya keharusan untuk berdiam/hening.

Karena masih terlihat adanya cahaya, Pastor Costamagna menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan ia segera turun ke bawah untuk melihat apakah itu. Ketika para suster mendengar dia datang, mereka mulai kuatir karena mereka sangat menyadari betapa tegasnya dia mengenai peraturan jam-jam hening.

Sekali waktu pernah terjadi bahwa mereka perlu untuk bekerja di kebun anggur dan para suster mengorbankan waktu rekreasi sore mereka, dan Maria memutuskan untuk menebus hilangnya waktu itu dengan memberikan sedikit waktu bebas pada malam hari. Sayangnya, ia lupa memberitahukan perubahan itu kepada Pastor Costamagna. Ketika Pastor Costamagana mendengar suara pada jam untuk hening, ia segera turun ke lapangan, dan di depan para suster, memarahi Maria dengan keras. Tanggapan Maria satu-satunya adalah berlutut dan memohon ampun darinya.

Menghadapi masalah-masalah yang sering muncul itu, Maria sekarang memutuskan untuk melindungi para suster dari kemarahan dan mencegah Pastor Costamagna memberikan koreksi kepada mereka. Ia meletakkan jarinya di bibir sebagai tanda menyuruh diam dan segera meniup lilin itu. Lalu ia dan para suster menunggu sambil mendengarkan langkah kaki Pastor mendekat, berhenti sebentar, melangkah lagi, dan kemudian suaranya berangsur-angsur menghilang. “Pastor Costamagna yang malang!” Maria berseru. “Dia kerepotan dalam usahanya membentuk kita menjadi religius yang baik!” Mendengar hal ini, mereka semua tertawa bersama-sama.

Karena mereka dapat melihat bagaimana Pastor Costamagna membaktikan diri dan memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan mereka khususnya mengenai hal semangat, mereka dapat mengabaikan kekurangan-kekurangannya. Hal ini jelas merupakan akibat dari semangat yang berlebihan.

Ketika di kemudian hari para suster itu diminta untuk memberi contoh dari kebajikan-kebajikan Maria yang heroik dan bagaimana Maria bersikap di bawah tekanan, karena mereka tidak ingin mencela Pastor Costamagna, mereka hanya melukiskan bagaimana Maria menanggapi semangat yang berlebihan dari “seorang imam yang muda dan kurang berpengalaman.”























13—Orang-Orang Kudus Dan Para Pendosa



“Apa yang akan terjadi pada komunitas di Mornesse? Siapa yang akan menjadi Superior mereka? Siapa yang akan memimpin mereka? Siapa yang akan membentuk mereka menjadi seorang religius dengan semangat yang benar?”

“Don Bosco pikir bahwa Suster Maria Mazzarello bisa melakukannya.”

“Maria Mazzarello? Anda sungguh-sungguh? Oh, dia memang baik dan suci. Tetapi dia tidak mempunyai pendidikan sedikitpun! Dia benar-benar tidak pernah bersekolah!”

Itu adalah pendapat Signora Maria Blengini yang telah Don Bosco kirim untuk membantu para suster mengembangkan kehidupan religius yang teratur.


“Suster-suster itu memiliki terlalu sedikit pendidikan. Mereka begitu ... begitu... maafkan kata-kataku... bodoh! Mereka tidak akan berhasil. Saya berpikir bahwa anda tidak usah menghabiskan lebih banyak waktu lagi untuk mereka.”

“Kita akan lihat, kita akan lihat.”

“Bahkan di sana tidak ada satu pintu pun! Jika ada para tukang bangunan, pedagang, pelanggan-pelanggan, klien-klien dan orang-orang lain dapat keluar dan masuk, datang dan pergi sesuka mereka ... benar-benar berantakan!”

Itu adalah pendapat Monsignor Andrew Scotton yang baru saja memberikan sebuah retret kepada Suster-suster.

“Akan cukupkah niat baik dari Suster-Suster ini,” Suster-Suster St. Anna ingin mengetahui, “yang begitu bersemangat ingin meneladani semangat pendiri mereka, dan sikap alami Suster Maria dalam meneruskan semangat ini kepada Institut yang muda ini? Kami berpendapat bahwa hal itu tidaklah mungkin bagi para postulan, terutama yang berasal dari keluarga kaya, untuk menyesuaikan diri dengan suatu kehidupan desa yang begitu sederhana, kerja keras dan berkorban.”


Melihat komentar-komentar di atas yang datang dari orang-orang yang hanya berusaha membantu, jelaslah bahwa jika Maria dan para suster yang lain pernah mendengarkan hal ini, mereka akan segera meminta Don Bosco untuk membebaskan mereka dari kaul-kaul mereka, melepas jubah mereka dan kembali ke kehidupan yang biasa di dunia. Masalahnya adalah mereka tidak pernah mendengar komentar-komentar ini. Oleh karena itu, satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah melanjutkan apa yang Don Bosco dan Tuhan minta dari mereka.

Sejauh yang Don Bosco pedulikan, setelah dia mendengar pendapat-pendapat, dia menyandarkan punggung di kursinya dan tersenyum. Apa yang dia sekarang dengar tentang suster-suster itu telah dia dengar sebelumnya!—bahkan dengan kata-kata yang jauh lebih keras!—tentang dirinya dan usaha-usahanya sendiri dalam membuka sebuah pusat bagi anak-anak miskin dan kemudian saat hendak mendirikan Kongregasi Salesiannya. Itulah sebabnya, sesudah dia mendengarkan mereka, dia tetap meneruskan program-programnya untuk para suster itu.

Dalam pelaksanaan program-program ini, beberapa kejadian dapat diperhitungkan sebagai tonggak awal sejarah Kongregasi. Salah satunya adalah pemilihan Maria sebagai superior kongregasi pada tahun 1872. Mengenai pemilihan ini, Don Bosco telah mengatakan pada Pastor Cagliero bahwa, “Dia memiliki karunia-karunia khusus. Pendidikannya yang terbatas ditutupi dengan melimpah oleh kebijaksanaannya, kebaikan hatinya, dan kecakapannya dalam memimpin. Semua hal itu dia dasarkan pada Iman yang tak tergoyahkan kepada Tuhan.”

Salah satu peristiwa yang lain adalah penyatuan Kongregasi ini dengan Kongregasi Salesian sehingga mereka dapat menjadi anggota Keluarga Salesian yang terdiri dari Para Salesian, Para Puteri Maria Penolong Umat Kristiani dan para Kooperator.

Melalui salah satu surat edarannya dari Roma, Don Bosco menambahkan suatu catatan di mana dia menyebut para Puteri Maria Penolong Umat Kristiani sebagai “Suster-Suster kita.” Inilah pertama kalinya ia memanggil mereka dengan cara itu. Dia sedang berada di Roma untuk meminta persetujuan resmi atas Konstitusinya dan di dalamnya dia telah memasukkan “Puteri-Puteri Bunda Maria Penolong Umat Kristiani” sebagai bagian dari Kongregasi Salesian. Sejak Konstitusi para suster ini disetujui, Don Bosco-lah yang menjadi Superior bagi Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani. Inilah sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh Paus Pius IX dalam percakapannya dengan Don Bosco tahun 1871.

Pertanyaan tentang superior para suster—yang sangat merisaukan Maria—segera bisa dipecahkan untuk selama-lamanya ketika Don Bosco datang ke Mornese untuk menerimakan sumpah delapan novis dan memberikan jubah kepada tiga belas postulan. Pada 15 Juni 1874, pada hari terakhir menjelang pengikraran kaul, dia memberi Suster-suster sebuah konferensi, di mana dia menekankan bahwa tiada kongregasi yang dapat bertahan lama tanpa seorang yang menjabat Superior-Jenderal, dan inilah saatnya untuk memilih seorang Superior-Jenderal. Ia berkata bahwa tiap-tiap suster harus mempertimbangkan dengan baik apa yang akan dilakukan, dan setelah memilih orang yang menurutnya paling berkualitas untuk menjadi Superior-Jenderal mereka yang pertama, harus maju ke depan dan memberitahukannya nama calon itu secara rahasia.

Sebuah salib ditempatkan di atas meja di antara dua lilin yang menyala dan tiap-tiap suster mendekat ke Don Bosco memberikan nama seseorang yang menjadi pilihannya. Ketika pemungutan suara selesai, seorang suster telah memperoleh semua suara kecuali satu suara dari Maria. Satu suara yang tidak diperolehnya adalah suaranya sendiri. Selagi Don Bosco menyatakan kesenangannya atas hasil pemilihan itu, Maria yang duduk di suatu sudut ruangan benar-benar bingung melihat hasil pemungutan suara yang dia dahulu harapkan akan membebaskan dirinya dari tugas sebagai seorang pemimpin.

Mereka melanjutkan ke pemilihan seorang Wakil dan para staf kongregasi lainnya sebagai asisten bagi Superior Jenderal. Petronilla terpilih sebagai Wakil, Giovanna Ferrettino sebagai ekonomer, Felicina, saudari perempuan Maria sebagai Mistress Novis. Sesudah memberi mereka beberapa nasihat bagaimana mengatur diri mereka sebagai sebuah komunitas, Don Bosco memberitahu mereka bahwa karena dia tidak dapat menangani urusan mereka secara langsung, dia menunjuk Pastor Yohanes Cagliero sebagai wakilnya dengan gelar Direktur Jenderal bagi seluruh rumah para Suster yang akan dibuka. Meskipun kali ini Pastor Cagliero menyebut dirinya sebagai “seorang Jenderal tanpa tentara”, hal itu tidak berlangsung lama dan Don Bosco mengetahuinya. Itulah sebabnya mengapa dia memilih tidak hanya seorang Pastor yang begitu luar biasa dalam berbagai hal tetapi juga pastor yang memiliki julukan “putra favoritnya” dan yang mengetahui dengan intim cara berpikir Don Bosco.

Kau mengetahui semangat Oratori,” kata Don Bosko kepadanya. “Kau mengetahui Sistem Pencegahan dan cara membuat diri kita dicintai, didengarkan dan dipatuhi oleh anak-anak kita. Kita mencintai satu sama lain, kita tidak merendahkan seorang pun dan kita membantu mereka siang dan malam dengan ketekunan seorang ayah, kasih kesabaran dan kelemah-lembutan terus menerus. Karena Suster Maria mampu melakukan semua ini, saya berpikir kita dapat mempercayakannya untuk memimpin kongregasi. Tidak ada sesuatu yang lain yang harus dia kerjakan selain hidup dalam semangat, pada sistem dan pada sifat dari oratori kita, mematuhi Konstitusi kita dan keputusan-keputusan para superior. Kongregasi mereka sebanding dengan kita. Kongregasi mereka memiliki tujuan yang sama dan cara-cara yang sama. Dengan mengikuti contoh yang Suster Maria tunjukkan kepada mereka; dengan menjadi seorang ibu daripada seorang superior, direktur atau guru, mereka pada gilirannya akan menjadi seorang ibu bagi anak-anak yang mereka tangani.”

Don Bosco tidak pernah membiarkan suster-suster melupakan tujuan awal mereka, yaitu, bekerja untuk anak-anak perempuan seperti para Salesian bekerja untuk anak laki-laki. Mereka harus mengajar dan untuk dapat melakukan hal itu mereka memerlukan ijazah pemerintah. Karena tiga orang dari mereka telah memperoleh ijazah itu—Suster Arrigottio, Mosca dan Pestarino—Don Bosco meminta mereka untuk mengajar para suster yang akan diarahkan untuk memperoleh ijazah yang sama. Para novis dan postulan harus mengikuti kelas ini dan juga ditemani oleh beberapa gadis dari desa.

Sebelum pergi, Don Bosco memanggil para suster yang terpilih dan memberikan pada mereka kata-kata nasehat ini sebagai salam perpisahan.

Mengenai tugas para novis,” katanya kepada mereka, “cobalah memberi mereka pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kecakapan yang mereka miliki. Jika tidak mereka akan mematahkan semangat para suster dan para novis lain. Hal itu hanya akan merusak martabat orang itu dan komunitas. Sebaliknya, adalah tugas kita untuk mengajar mereka bagaimana menguduskan kecenderungan-kecenderungan ini dan hanya memikirkan Tuhan ketika mereka menggunakan bakat-bakat mereka.”

Sekarang Maria adalah seorang Superior Jenderal, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk turut melakukan tugas-tugas harian dan bahkan memilih yang paling sulit dan paling tidak menyenangkan.

Dia memberi teladan akan kerja keras yang terus menerus,” kata seorang suster, “dengan duduk di tempat kerja dan dalam satu hari kerja dapat menyelesaikan satu potong pakaian yang lengkap. Dan pada masa itu belum ada mesin jahit di sana!”

Karena kekurangan air di daerah itu, untuk mencuci banyak pakaian, komunitas itu mengadakan dua kali perjalanan tiap bulan ke sungai Roverno. Karena perjalanan itu membutuhkan waktu satu jam perjalanan, hal itu mungkin hanya akan menjadi sebuah rutinitas yang lain saja. Namun, Maria berhasil menggubahnya menjadi sebuah acara piknik pada saat cuaca cerah.

Pagi-pagi benar, suster-suster mengumpulkan cucian ke dalam sebuah pedati yang panjang yang ditarik oleh seekor keledai dan dituntun oleh seorang anak laki-laki yatim piatu yang telah mereka adopsi. Mereka berangkat melalui jalan yang berliku-liku, jalur kecil yang tidak umum yang membawa mereka menyeberangi jalur yang sulit, mendaki dan menuruni bukit. Sang keledai itu, seperti semua keledai lain, terutama di bagian-bagian yang mendaki bukit, mulai tidak mau bergerak. Pada saat ini, giliran para suster beraksi untuk membujuk keledai, berteriak, berdoa, mendorong dan menarik agar keledai mau bergerak.

Tiba di Roverno, cucian dikumpulkan dalam air yang jernih, kemudian direndam, diberi sabun dan dibentur-benturkannya ke batu-batu besar yang banyak terdapat di aliran sungai. Semua ini dikerjakan di bawah kaki bukit yang hijau, yang membuat para suster terlihat kecil. Sementara itu, burung-burung hutan mengiringi nyanyian suster-suster dan kadang-kadang seekor burung hutan akan keluar dari sarangnya yang tersembunyi dan mengeluarkan suaranya.

Pada saat-saat tertentu, Maria akan menghentikan kegiatan mencuci dan para suster akan berkumpul mengelilingi dia untuk menikmati sebuah piknik dengan bekal buah chestnut goreng, polenta atau buah apa saja yang sedang mengalami musim pada saat itu. Itu terjadi bila cuaca sedang baik. Tetapi ketika musim dingin tiba, ketika tanah tertutup salju dan air di Roverno dingin membeku dan menyakitkan untuk disentuh, Maria tetap pergi dengan para suster bekerja bersama dalam mencuci dan selalu menyemangati mereka untuk mempersembahkan pekerjaan dan penderitaan mereka demi jiwa-jiwa di api pencucian. Ketika mereka kembali di waktu malam, badan mereka menjadi kaku karena dingin dan pakaian mereka basah kuyup, dia tidak akan memperhatikan dirinya sendiri, tetapi akan mempersiapkan sesuatu yang hangat sebagai hidangan makan bagi mereka. Lebih dari sekali dia bangun pada pukul dua dini hari untuk mencuci pakaian dan dia selalu memilih bagian yang paling berat dan kotor.

Kapan pun ada panggilan, dia siap pergi ke kebun anggur atau ke dapur. Ia juga tidak menghindar dari tugas membersihkan penampungan kotoran. Satu-satunya hal berbeda yang ia lakukan adalah dalam melakukan praktek matiraga atau melakukan lebih banyak kerja daripada bagiannya yang sebenarnya.

Dia selalu menjadi yang pertama untuk menyapu lantai dan melakukan tugas-tugas yang rendah,” kata seseorang suster menceritakan kembali. “Dan ketika keadaan cuacanya sangat dingin, dia akan keluar mencuci pakaian di kolam dekat lapangan bermain… Di sekitar kolam yang sama di musim dingin, para suster akan sarapan pagi berupa chestnut dan ketika Muder Maria datang, kami akan mencoba membujuknya untuk makan lebih banyak, tapi dia selalu menolaknya.”

Apa yang paling ia perhatikan adalah diperkenalkannya beberapa petunjuk tentang perubahan-perubahan yang tidak dapat dielakkan dalam sebuah komunitas yang sedang berkembang. Pada mulanya kebanyakan anggota datang dari keluarga-keluarga miskin dan hanya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Tetapi para postulan yang masuk kemudian telah menikmati keuntungan-keuntungan dari baiknya pendidikan, atau bahkan ada yang sedang belajar di Mornese. Dia takut komunitas akan terbagi dalam kelompok yang berpendidikan dan yang tidak. Untuk mencegah hal ini dia memastikan bahwa tidak ada pembedaan yang diberlakukan di antara mereka, di dalam pembagian kerja atau dalam hal memperlakuan dirinya atau superior lain terhadap mereka. Untuk menghindari masalah ini, dan masih tetap mengikuti contoh Don Bosco, dia menyuruh doa-doa diucapkan setiap sore demi “kedamaian dalam rumah ini.”

Dia menerima setiap orang dengan perlakuan yang sama. Dia juga tidak pilih kasih dalam hal mengoreksi mereka. Tetapi koreksinya selalu diberikan dengan begitu ramah sehingga tidak ada seorang pun yang pernah merasa sakit hati atau direndahkan. Kapan pun dia harus memberikan perintah, hal itu selalu diiringi dengan kata-kata yang mengingatkan bahwa, “Don Bosco menginginkan hal ini” atau “Inilah yang Don Bosco katakan kepadaku untuk dikerjakan.” Baginya, kata-kata Don Bosco hampir memiliki kekuatan sama seperti Kitab Suci.

Dia bersikeras bahwa tidak ada seorang suster pun boleh membanding-bandingkan pekerjaannya sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang mungkin dianggap kurang penting atau kurang terhormat. Tuhan akan meminta tanggung jawab, dia menegaskan, bukan tentang apa yang telah dilakukan oleh seseorang tetapi apakah dia telah menggunakan talentanya sebaik mungkin. Kapan pun dia mendengar ada seseorang yang memuji pekerjaannya sendiri, dia akan berkata, “Puteriku, kamu membutuhkan lebih banyak daripada hal yang kamu kerjakan ini untuk dipersembahkan ke depan tahta Allah!” Tidak pernah dia lelah mengingatkan para suster dan juga murid-muridnya bahwa Tuhan melihat niat seseorang. Tidak peduli apakah hal itu penting atau tidak penting, pekerjaan itu sendiri tidaklah diperhatikan.

Ia sangat tidak suka ketika menemukan bahwa ada suster-suster yang berbicara tentang diri mereka sendiri atau menyombongkan jasa-jasa mereka. Pada suatu hari ia memberi pelajaran kepada seorang suster yang sombong atas hasil sulaman yang telah diselesaikannya. Suster itu disuruhnya untuk pergi ke tempat kursus dan mulai menjahit pakaian-pakaian termurah yang sedang mereka kerjakan. Ia meminta suster itu bekerja di sana selama dua bulan sebelum memanggilnya untuk mencari tahu sudahkah suster itu menyesali kesombongannya. Karena suster itu sudah menyesal, Maria mengizinkan suster itu kembali ke sulamannya.

Kemiskinan terus menerus menjadi ciri khas komunitas itu. Dalam kenyataannya, kemiskinannya sering mencapai tahap kepahlawanan.

Sangat sering,” catat seseorang suster pada saat menghadapi masa-masa itu, “kami bahkan tidak mempunyai satu potong roti pun di dalam rumah. Kami tentu saja berdoa untuk Penyelenggaraan Ilahi, tetapi doa-doa kami tidak selalu dikabulkan. Kadang-kadang kami hanya makan semangkuk sup yang tidak jelas bahannya. Kami dapat melihat bahwa Muder Maria merasakan derita tambahan karena tidak mampu menghilangkan rasa lapar kami.

Pada masa-masa yang sulit seperti itu tidak ada pertanyaan mengenai memakan sesuatu ketika jam snack sore. Namun, kadang-kadang Muder muncul di ruang cuci atau di tempat lain dengan baju kerjanya yang penuh dengan buah atau beberapa potong roti untuk mengurangi rasa lapar kami!”

Namun, kemiskinan tidak pernah digunakan sebagai sebuah alasan untuk melakukan hal yang tidak adil. Seorang postulan sekali waktu pernah bertanya kepada Maria jika dia dapat menyimpan bahan-bahan pakaian yang lebih sesudah pakaian itu selesai. Dia telah diberitahu oleh orang luar bahwa dia dapat menyimpannya.

Tentu saja tidak!” sahut Maria berang. “Saya tidak peduli apa yang pihak luar katakan. Terlebih lagi, saya memperingatkan orang luar yang memberitahumu itu untuk tidak melakukan hal itu lagi!”

Kemiskinan di rumah itu juga tidak pernah menghentikan praktek cinta kasihnya kepada pihak luar, memberikan makanan kepada mereka walaupun makanan mereka juga sedikit. Jika seorang pengemis datang ke pintu, tidak masalah betapapun sedikit nya makanan yang tersisa di dalam rumah, dia akan menyuruh sebagian makanan diberikan kepada pengemis itu. Suatu kali, ketika tidak ada makanan yang dapat diberikan, dia meminta suster untuk berlari ke ruang makan dan membawakan bagian makanan miliknya untuk diberikan.

Yang lain tidak akan menyadari hal itu,” dia meyakinkan suster yang ragu-ragu itu, “mereka akan berpikir bahwa saya telah makan di dapur.”

Suatu malam, ketika suster-suster hendak makan malam, dia muncul di antara mereka dengan terlihat sangat sedih.

Ada apa, Muder?” mereka ingin tahu.

Ada suatu hal yang tidak menyenangkan untuk saya sampaikan tetapi saya tidak tahu bagaimana menyatakannya.”

Sampaikanlah kepada kami!”

Di rumah ini kita tidak memiliki sepotong roti pun.”

Kalau begitu, marilah kita meneladani Santa Theresa,” saran seseorang. “Dia juga ingin makan malam tanpa sepotong roti pun.”

Ketika menyaksikan bagaimana semangat kerjasama dan penyangkalan diri ada di dalam diri suster-susternya itu, Maria langsung menangis.

Hasrat untuk penyangkalan diri dan matiraga ini, kadang-kadang kelihatan di luar batas dan bahkan kurang bijaksana. Bahkan sebenarnya, banyak suster yang sakit dan bahkan juga mati dapat dianggap disebabkan oleh kekurangan makanan dan kurang mengurus diri sendiri. Tetapi kongregasi muda itu berada dalam tahap yang penuh semangat, dan lagipula Don Bosco telah menekankan kepada mereka. “Matiraga adalah a-b-c dari kesempurnaan hidup religius.” Don Bosco telah berulangkali meyakinkan mereka bahwa jika mereka terus hidup miskin, rendah hati dan bermatiraga, pekerjaan mereka akan dilimpahi berkat.

Mereka telah melihat hal itu terjadi. Semakin miskin cara mereka hidup, semakin menderitanya mereka dalam tubuh dan roh, lebih banyak janji Don Bosco terpenuhi. Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa praktek kerendahan hati dan penyangkalan diri mereka kadang-kadang kelihatan melebihi batas yang bijaksana.

Sementara kebanyakan anggota komunitas bahagia dengan kehidupan ini, beberapa suster yang tidak puas berpikir bahwa ada sesuatu yang berjalan dengan kurang baik. Barangkali karena praktek-praktek penyangkalan diri yang keras, kondisi hidup yang secara umum keras di Mornese, dan juga disiplin keras dari Pastor Costamagna, terlalu berlebihan untuk mereka. Mereka ini begitu tidak puas sehingga mulai terlihat bersungut-sungut, menunjukan kritik mereka kepada Maria. Meskipun Maria berusaha sebaik mungkin untuk membatasi kerugian-kerugian yang dapat terjadi, dia tetap tidak mampu mencegah hal ini menjalar ke para postulan. Sebagai akibatnya beberapa orang memutuskan untuk keluar, sementara yang tinggal memutuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa sehingga Maria tidak punya pilihan lain selain untuk meminta mereka keluar.

Sejauh dia mampu, dia berusaha untuk meniru Don Bosco bahkan cara untuk menanggani para pendatang baru. Khususnya kepada para postulan, dia mencoba membuat perpisahan mereka dari rumah mereka semudah mungkin dengan cara menunjukkan bahwa mereka datang kepada sebuah institusi yang seperti rumah kedua di mana mereka akan diterima dengan hangat dan penuh pengertian. Meskipun dia biasanya sangat tegas dalam hal silentium, kapanpun ada seorang postulan yang baru saja datang, dia akan meniadakan dua hal, yaitu silentium dan pembacaan di meja makan untuk membuat postulan baru itu merasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

Sebuah usulan yang kuat dari Don Bosco adalah bahwa Maria jangan pernah menyuruh pergi seorang postulan karena dia miskin, tapi Maria harus percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi yang akan mengirimkan apa yang diperlukan untuk membiayai postulan itu. Nasehat itu sebenarnya tidak diperlukan. Maria selalu melihat dalam diri setiap postulan baru, seseorang yang di kemudian hari akan bekerja untuk keselamatan jiwa-jiwa dan melanjutkan misi Don Bosco. Hal ini membuatnya begitu ingin membentuk mereka sesuai semangat Don Bosco, sehingga ia akan berusaha semampu yang ia bisa untuk membantu mereka mengoreksi kekurangan-kekurangan mereka dan menguatkan karakter mereka.

Muder melakukan segala hal yang bisa ia lakukan,” kata salah satu postulan pada masa-masa awal itu, “untuk menolong kami mengalahkan kesulitan-kesulitan, untuk memberi semangat kepada kami dan memberi kepada kami kekuatan yang kami perlukan untuk dapat mengatasi kesulitan di saat-saat awal itu, menunjukkan kepada kami bagaimana kami suatu hari kelak akan sangat berguna bagi mereka yang membutuhkan kami. Dia memberi kami kekuatan mengatasi serangan-serangan setan yaitu saat kami merasa ragu-ragu menemukan diri kami untuk pertama kalinya jauh dari keluarga yang kami cintai.”

Seorang suster mengaku bahwa setelah beberapa waktu dia merasa bahwa belajar dan cara hidup seperti itu terlalu sulit untuk dirinya, dan dengan patah semangat, dia pergi kepada Maria. Tidak lama setelah Maria menunjukkan perhatiannya kepadanya, dia berubah pikiran dan bertekad untuk lebih bertekun dan untuk mengabdikan hidupnya kepada Misi.

Kesukaran apa yang kamu temui di sini?” Maria bertanya pada seorang postulan lain yang merasa begitu terbebani oleh kehidupan di Mornese.

Ketika postulan itu dengan terus terang mengutarakan kesulitan-kesulitannya, Maria menanggapi hal-hal itu satu persatu. “Tetapi kenapa kamu ingin pergi?” dia bertanya pada akhirnya, “kenapa tidak berpikir bahwa kamu tinggal di sini tidak untuk selama-lamanya tetapi lebih sebagai seseorang yang berlibur di desa? Sesudah satu bulan atau lebih, jika kamu memutuskan untuk kembali ke rumah, tidak seorang pun akan berpikir buruk tentang dirimu. Lagipula, dengan cara itu kamu dapat yakin akan apa yang menjadi kehendak Tuhan.

Ada saat di mana—cerita Suster Delfina Guida—ketika dia benar-benar bertekad untuk pulang, dan jika terpaksa dia akan melakukannya dengan berjalan kaki! Suatu hari saya mengakukan hal itu kepada Muder.

Sedikit terlambat untuk pergi hari ini,” dia berkata kepadaku dengan sebuah senyuman, dan saya tidak mempunyai seorang pun untuk mengantarmu pulang. Kenapa kamu tidak menunggu sekitar satu atau dua hari. Lalu kamu tidak hanya bebas untuk pergi tetapi saya sendiri yang mengantarmu pulang. Tidakkah kamu suka hal itu?” Suster itu senang dengan usulan itu, tetapi ketika harinya tiba untuk pergi dia telah berubah pikirannya.

Begitu bersemangatnya Maria untuk memelihara panggilan-panggilan, dia tidak menurunkan kewaspadaannya untuk memastikan bahwa tidak seorang pun masuk ke dalam kongregasi tanpa mengerti apa yang sedang mereka buat. “Jika kamu merasa tidak dapat mempraktekkan kebajikan seturut semangat kami, saya nasehati kamu supaya tidak menerima jubah. Kamu masih mempunyai waktu.”

Dia mempunyai devosi yang besar kepada Maria Penolong Umat Kristiani. Bahkan, devosinya kepada Bunda Maria dengan gelar yang begitu dicintai oleh Don Bosco, tidak mengenal batas. Dia terus menerus meminta Bunda Maria melindungi komunitas, supaya Dia menjaga mereka dari noda dosa terkecil pun. Di hutan kecil dekat rumah itu, nenek moyang Pastor Pestarino telah mendirikan sebuah kapel yang kecil. Di dalamnya Maria menempatkan sebuah patung Maria Penolong Umat Kristiani dan pada bulan Mei, Pastor Costamagna menyampaikan sebuah kotbah pendek di depan patung itu dan sesudah doa Benedictus suster-suster menyanyikan hymne sebagai pujian untuk Bunda Maria.

Sekalipun demikian, Maria tidak selalu sukses dengan postulan-postulannya. Beberapa di antaranya terbukti mempunyai sifat yang sulit dan bahkan aneh.

Seseorang dari mereka mengaku memperoleh penglihatan-penglihatan dan mencoba menarik beberapa anggota untuk keluar dari komunitas dengan alasan bahwa dia telah menerima dari surga sebuah perintah khusus untuk mendirikan sebuah kongregasi di bawah perlindungan Darah Yesus yang Berharga. Maria segera menyuruhnya berkemas-kemas. Dia melakukan hal yang sama dengan seorang postulan lain yang menerima perintah dari Kanak-Kanak Yesus untuk menjelaskan doa Bapa Kami kepada suster-suster saat rekreasi dan tidak pernah berhenti bercerita kepada mereka tentang penglihatan-penglihatan yang dia terima pada saat Misa.

Seorang wanita muda yang lain datang dari Roma untuk bergabung dengan kongregasi. Sesudah beberapa hari dia mulai melakukan aksi-aksi khusus silih dosa dan hal-hal lain di luar kebiasaan komunitas. Pada saat Misa, dia tidak menerima komuni tapi dia akan mencoba meyakinkan yang lainnya bahwa dia bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Suatu pagi, dia keluar dari gereja dan segera mengumumkan bahwa dia telah memperoleh sebuah penglihatan.

Ketika Maria berusaha mendiskusikan hal ini dengan dia, dia merasa tersinggung dan menemui para suster satu persatu untuk memberitahu mereka bahwa Maria kurang terdidik.

Dari cara dia berbicara tentang hal-hal rohani,” dia berkata tentang Maria, “saya dapat melihat bahwa dia bahkan tidak mengerti arti kata-kata yang dia gunakan.”

Ketika hal ini disampaikan kepada Maria, Maria hanya berkomentar, “Dia memang benar! Setidaknya dia tahu kebenaran tentang diriku.”

Para suster tidak melihatnya dengan cara demikian. Suster Madeline, yang mempunyai sikap yang tidak plin-plan dan terus terang dalam bicaranya, suatu hari mendekati postulan ini. “Begini,” katanya memulai pembicaraan, “kami ingin kamu tahu bahwa Muder adalah superior yang kami inginkan. Jika kamu tidak setuju dan jika kamu berpikir bahwa kamu tidak dapat bertoleransi dengan dia, yang terbaik yang dapat kamu lakukan adalah membereskan pakaianmu dan pergi! Saya akan mengantarmu ke stasiun dan membayar tiket perjalanan pulangmu ke Roma.”

Apakah kamu sadar?” jawabnya, “bahwa kamu berbicara dengan seseorang yang mempunyai gelar?”

Kalau begitu,” kata Suster Madeline, “kami hanya akan membayar separuh harga tiket dan pemerintah akan membayar sisanya!”

Hari berikutnya Suster Madeline mengantar postulan itu ke stasiun dan membelikannya selembar tiket satu arah ke Roma—kelas satu sesuai dengan martabat seorang pemegang gelar!

Namun, Agostina Simbeni adalah seorang postulan yang membuat sejarah di Mornese. Dia juga datang dari Roma dan orang-orang penting yang telah merekomendasikannya menganggapnya sebagai seorang yang suci dan memiliki panggilan khusus. Agostina segera menarik perhatian suster-suster dengan kesopanannya, sikapnya yang lembut, dan kesalehannya yang luar biasa. Dia dapat hidup beberapa hari tanpa makanan dan menurut beberapa suster yang melihatnya, dia pernah terangkat dari tanah dalam ekstasi. Dia juga memprediksikan masa depan, menggambarkan peristiwa yang sedang terjadi di tempat jauh dan ketika dia membaca pikiran suster-suster dan anak-anak perempuan, mereka akan mengaku bahwa dia benar. Ia mengatakan bahwa semua keajaiban ini disebabkan oleh bambina-nya (bayi perempuan). Siapa bambina itu, dia tidak pernah menceritakannya. Banyak dari suster-suster, karena tertarik pada akibat anugerah-anugerahnya yang luar biasa, melihat dia seperti seorang santa sehingga dia memiliki banyak pengaruh pada mereka.

Di pihak lain, Maria dan beberapa superior berpikir dengan cara yang berbeda. Maria dididik Don Bosco untuk menjauhkan diri dari perwujudan kesalehan yang eksterior, karena hal ini sering mengarah kepada kesombongan, dan berusaha menekan hal itu. Dia sudah memperhatikan bahwa gadis itu menunjukkan karunia-karunianya, tetapi di waktu yang sama memperlihatkan kurang memiliki sikap kerendahan hati, ketaatan, doa-doa dan mortifikasi. Dia kurang sederhana, kesederhanaan merupakan tanda dari anak-anak Tuhan yang memperoleh sesuatu rahmat istimewa, dan sebaliknya malah berbicara dengan sok kuasa dan sangat berbangga akan hal-hal yang telah dibuatnya.

Maria membawa semua hal itu untuk diperhatikan oleh pendampingnya dan ketika waktunya tiba untuk menerima secara resmi para postulan, dengan melawan kehendak pihak mayoritas, dia menentang penerimaan Agostina. Karena sang direktur sendiri ingin menerimanya, Maria menulis surat kepada Don Bosco, menggambarkan situasi itu dan menanyakan nasihatnya.

Ujilah ketaatan dan kerendahan hatinya,” Don Bosco balas menulis, “Jika dia lulus test ini, anda dapat percaya padanya.”

Itulah jawaban yang tepat seperti yang diinginkan Maria.

Karena postulan itu telah bersikap begitu berkuasa sehingga hampir tidak ada keputusan-keputusan yang dapat diambil tanpa melalui persetujuannya, Maria memutuskan sendiri untuk mengirim Suster Enrichetta Sorbone ke rumah baru yang akan dibuka di Sestri Levante. Ketika tiada satu kata pun disampaikan kepada Agostina, dia menganggap hal tersebut sebagai sebuah penghinaan dan memberitahukan kepada semua orang bahwa keputusan yang diambil Maria tidaklah benar; informasi ini dia terima dari bambina.

Keputusan itu telah disetujui oleh dewan rumah,” tanggap Maria, “dan hal itu tetap berlaku.”

Langkah berikutnya adalah menguji ketaatan Agostina. Ketika dia gagal dalam hal ini, Maria mengatakan kepadanya bahwa dia ditolak menjadi anggota Puteri-puteri dari Maria Penolong Umat Kristiani.

Jika saya pergi,” Agostina bereaksi, “banyak yang akan pergi bersama aku.”

Sejak saat itu, dia melakukan sebanyak mungkin hal untuk mengacaukan komunitas dan membuat sebanyak mungkin orang merasa tidak bahagia akan kondisi hidup mereka. Dia akan menjatuhkan dirinya ke lantai, rambutnya kusut, matanya terbeliak, membungkuk dan menggoyang-goyangkan kepalanya seperti seorang yang kerasukan. Seluruh badannya menjadi kaku dan dia berbaring dan berpura-pura mati, lalu dengan tiba-tiba dia melompat dan mengutuk serta menyumpahi semua orang dengan cara yang tidak pantas sebagai seorang yang ingin menjadi religius. Sepanjang waktu itu, menurut beberapa orang, bel-bel pada malam hari berdentang tanpa seseorang pun menyentuhnya, kucing-kucing mengeong dan dormitori bergema dengan suara-suara asing.

Karena hal-hal tersebut sangat mengganggu komunitas sampai tahap di mana banyak murid dan beberapa postulan hendak bersiap-siap pergi, Maria memanggil pastor untuk memberkati rumah itu. Dia kemudian membawa Agostina bertemu Don Bosco dan apapun yang Don Bosco katakan pada pertemuan itu tetap menjadi rahasia mereka. Dalam perjalanan mereka pulang di Borgo San Martino, sewaktu ada diskusi di meja, Agostina dalam kemarahannya melemparkan sebuah pisau pada salah seorang suster-suster itu!

Singkirkanlah dia,” Don Bosco akhirnya berkata pada Maria. “Dia memang seorang setan!”

Ketika Maria mencoba menyingkirkannya, dia mendapati bahwa hal itu tidaklah mudah. Tidak saja dia membuat tidak senang beberapa suster yang masih percaya pada Agostina, tetapi juga setiap kali Maria mengirimkan Agostina pulang, dia dapat menemukan jalan untuk kembali. Dia benar-benar pergi hanya ketika dia diambil paksa oleh dua orang pekerja di rumah itu dan dimasukkan ke kereta yang menuju ke Roma. Dan ketika dia telah pergi, begitu juga dengan suara-suara aneh, gangguan-gangguan dan perlawanan dari suster-suster yang menentang Maria. Pada akhirnya, mereka melihat betapa benarnya tindakan yang telah diambil Maria.

Jika ada kebaikan yang dapat diambil dari kejadian-kejadian aneh tersebut, hal itu terletak pada kenyataan bahwa peristiwa tersebut mengajarkan Maria untuk berhati-hati dalam hal mengizinkan orang-orang yang dia sendiri tidak yakin untuk masuk ke komunitas, jika dia berharap untuk memelihara di dalam komunitas itu semangat Mornese.













1

▲back to top

2 Untuk orang-orang yang terdekat

▲back to top