Bishop Stephen Ferrando: A Man Sent by God, Karena Cinta (By Love Compelled) Rinaldi 12-16

12.



Panggilan Hatinya


Pada tanggal 11 Mei 1922, Salesian Procurator di Roma memberitahu Rektor Mayor yang baru bahwa Paus Pius XI akan merasa senang utk menemuinya pada dua minggu pertama bulan Juni. Kunjungan ini sangat dinanti-nantikan oleh Pastor Rinaldi. Dia tidak pernah bertemu dengan Paus sebelumnya. Sebagai Kardinal-Uskup Agung Milan, Achille Ratti telah menerima undangannya untuk memimpin perayaan 100 tahun penghormatan kepada St. Francis de Sales di rumah induk Salesian tanggal 29 Januari. Kematian Paus Benedict XV, pada tanggal 23 Januari, dan pertemuan para kardinal yang dilakukan setelah itu membuat Kardinal Ratti tidak mungkin pergi ke Turin untuk menghadiri acara khidmat tersebut.


Pertukaran surat-surat yang terjadi waktu itu di antara Prefect General dan Uskup Agung Milan telah menunjukkan ketertarikan Achille Ratti pada karya-karya Don Bosco. Tapi kehangatan dan keramah-tamahan dan kebaikan yang ditunjukkan oleh paus yang baru ini kepada Pastor Rinaldi jauh melebihi harapannya. Berbicara dengan kehangatan suara seorang teman lama, Pius XI memberitahukannya mengenai kunjungan dua harinya dengan Don Bosco di Oratori pada tahun pertama kepastorannya. Apa yang secara khusus mengesankan baginya adalah ketenangan jiwa dan keramahan Don Bosco, “bukti yang tidak mungkin salah,” kata Paus, “tentang kesatuannya dengan Tuhan.”


Rasa hormatnya kepada Pendiri kita ini begitu nampak, dan ungkapan penghargaannya kepada Salesian begitu tulus, sehingga Pastor Rinaldi benar-benar heran.

Paus menginformasikan kepadanya beberapa rencananya untuk misi-misi dan pendidikan untuk kaum muda, sambil mengundang kerjasama dari Salesian. “Bicarakanlah hal-hal ini dengan para penasihatmu,” usulnya, “dan yakinlah bahwa kau akan memperoleh orang-orang yang bersemangat untuk menjalankan proyek-proyek ini.”


Berterima kasih atas kepercayaan Bapa Suci yang begitu besar terhadap Salesian, Pastor Rinaldi menjawab, “Yang Mulia, seperti Don Bosco, setiap Salesian selalu ada di bawah perintah Paus.”

Percakapan selanjutnya lebih bersifat pribadi dan rahasia. Pada titik tertentu, Pastor Rinaldi menyatakan dengan sederhana masalah pribadinya kepada Paus, “Yang Mulia,” katanya, “saya kuatir karena kadang-kadang saya merasa sulit berbicara di depan umum…”

Saya juga,” jawab Pius, “dulu merasa tak nyaman tentang hal ini. Tapi saya sudah jauh lebih baik sekarang karena saya mendapat banyak kesempatan untuk mempraktekkan berbicara karena keharusan, beberapa kali sehari. Kau juga akan terbiasa,” tambahnya sambil tersenyum.

Pembicaraan semakin mendekati akhir, dan Pastor Rinaldi memberanikan diri untuk meminta pada Bapa Suci untuk memperbaharui beberapa hak istimewa untuknya yang telah diberikan kepada Pastor Rua dan Pastor Albera oleh Paus-Paus sebelumnya.

Dengan senang hati, tentu,” jawab Pius.

Satu permintaan lagi, Yang Mulia,” lanjut Pastor Rinaldi sambil membuka sebuah memorandum.” Don Bosco bersikeras agar kami para Salesian bekerja tanpa kenal lelah, tapi juga berjuang untuk tetap bersatu dengan Tuhan di tengah aktivitas kami. Kami akan benar-benar terdorong untuk melakukan hal ini jika sebuah indulgensi juga berlaku untuk jiwa-jiwa di api penyucian, diberikan setiap hari untuk para anggota keluarga Salesian jika mereka menggabungkan pekerjaan mereka dengan doa yang tekun…”

Lalu Paus membaca memorandum itu dan di atas tanda tangannya, menuliskan formula yang biasa dipakai untuk mengabulkan permintaan itu, yaitu sebuah indulgensi sebagian setiap kali sebuah pekerjaan dipersembahkan kepada Tuhan dengan aspirasi singkat ,dan sebuah indulgensi penuh yang diberikan setiap hari. Dia lalu menambahkan: “Setiap bentuk pekerjaan atau aktivitas benar-benar bermanfaat dan berbuah jika dilakukan dalam persatuan dengan Tuhan. Menjadi harapan dan doa kami bahwa indulgensi ini akan mendorong semua orang untuk berusaha mencapai kekudusan.”

Sebelum memberikan berkat apostolik untuk bermacam-macam kelompok yang disebutkan oleh Pastor Rinaldi, Pius XI menyatakan bahwa dia telah menjadi Cooperator Salesian selama bertahun-tahun. “Dia menyatakan hal itu,” tulis Pastor Rinaldi kemudian, “dengan ekspresi minat pribadi yang dalam dan kepuasan.” Superior kita yang baik dipenuhi dengan kegembiraan sewaktu ia melewati lorong istana kepausan untuk keluar. Di dalam diri Pius XI, dia sekarang tahu, keluarga Don Bosco mendapat seorang bapa yang baik dan teman yang penuh pengertian.

Bahwa Pastor Rinaldi meminta Bapa Suci sebuah permintaan yang tidak biasa, sebuah indulgensi yang ditargetkan untuk mendorong persatuan yang lebih erat dengan Tuhan, tidaklah mengherankan bagi mereka yang mengenal dia dengan dekat. Mereka sangat sadar tentang penghargaannya untuk kehidupan batiniah yang secara terus-menerus dia coba kembangkan dalam dirinya dan orang lain. Dia sering mengulangi kata-kata ini: “Kegiatan eksterior, betapapun kudusnya, tidak dengan sendirinya menunjukkan atau menganugerahkan kekudusan pribadi. Kekudusan hanya dapat datang dari usaha kita yang terus-menerus untuk menjadi dekat kepada Tuhan melalui roh kekudusan yang kuat.”

Hati Pastor Rinaldi sekarang dapat dengan bebas beralih kepada anak-anaknya. Dia benar-benar ingin sekali menemui mereka untuk melihat mereka saat bekerja, dan untuk memberi tahu bahwa dia sepenuhnya ada untuk mereka semua. Bepergian tidaklah mudah baginya. “Aku tidak menyukainya sedikit pun,” tulisnya suatu saat sewaktu ia melakukan kunjungan keliling Erpa sebagai Prefect General. “Oratori adalah tempat di mana aku lebih suka berada – kamarku yang kecil, ruang kantorku, gereja Bunda kita…” Umurnya yang lanjut dan kesehatannya, yang menurun sekarang semakin menghalanginya lagi, tapi sampai akhir hayatnya, ia tidak mampu melawan panggilan hatinya.

Beberapa komunitas Salesian di daerah Piedmont dan Lombardy juga dikunjungi olehnya segera sesudah ia terpilih. Namun, dia berhasrat untuk memperpanjang kunjungannya, dan antara tahun 1923 sampai 1928, dia mengunjungi hampir seluruh fondasi Salesian di Eropa. Catatan sejarah tentang kunjungan-kunjungan ini mengggambarkan sambutan yang hangat dan antusias yang dia terima dari para Salesian, murid-murid, serta teman-teman. Sering kali kunjungannya ke sebuah kota merupakan kesempatan bagi publik untuk bergembira, dan Pastor Rinaldi yang rendah hati menemukan dirinya disambut dan dihormati oleh pejabat tinggi sipil dan pejabat tinggi gereja.

Di tengah kegembiraan yang mengelilinginya, dia tetaplah orang yang tenang dengan muka tersenyum, seperti semua perayaan ini ditujukan untuk orang lain. “Itu merupakan kemenangan bagi Don Bosco, pengakuan publik atas kerja putranya… Walaupun jika kunjunganku tidak membuahkan lebih dari itu, aku benar-benar bersyukur untuk hal ini.”

Yang sungguh menjadi sebuah berkah untuknya di tengah-tengah kunjungannya adalah jam-jam panjang yang tidak diburu-buru oleh jadwal, di mana ia dapat membuat dirinya tersedia bagi setiap sama saudara. Untuk kebanyakan orang, ini adalah pertemuan yang pertama dengan Superior yang baru. Mereka dimenangkan olehnya lewat sikapnya yang menaruh kepercayaan penuh kepada mereka, seperti dia telah mengenal mereka sejak dahulu. Seorang Bruder yang sederhana keluar setelah pertemuan itu dengan air mata di matanya.

Dapatkah Engkau bayangkan!” katanya kepada para hadirin di ruang tunggu, “Dia berdiri untuk menyambutku sewaktu aku memasuk ruangan…? ‘John, jika ada yang bisa kubantu suatu saat, tulislah surat kepadaku…’”

Dia sendiri merasa terhibur oleh ketulusan dan kehangatan sambutan para rekan kerja, oleh kegiatan dan semangat inisiatif mereka, dan terlebih lagi oleh keterikatan mereka dengan semangat kekeluargaan Don Bosco yang asli, metode-metode, serta tradisinya. Belakangan dia menyatakan bahwa hal ini terbukti sebagai sumber kegembiraannya yang terbesar, bahkan lebih besar daripada perkembangan pekerjaan Kongregasi Salesian dan kekaguman yang menyertainya.

Keterbatasan bahasa dengan mudah dapat diatasi karena dia memang seorang yang ramah dan terbuka. Dengan para Salesian dia bercakap-cakap dalam bahasa Itali, bahasa yang dipahami oleh kebanyakan Salesian. Dengan para murid dan orang-orang lain yang senantiasa mengunjunginya, dia bercakap-cakap secara terbatas dalam bahasa ibu mereka, terkadang bahkan dalam bahasa Latin. Tetapi dia tidak menggunakan banyak kata, menurut Daily Courier di Lodz. Seorang reporter yang meliput kunjungannya ke pusat perindustrian di Polandia pada tahun 1925 menuliskan bahwa: “Ia memancarkan kebaikan seorang bapa yang selalu memukau orang-orang yang berada di dekatnya.”

Di Ensdorf, Bavaria, beberapa minggu kemudian, ia memimpin upacara penjubahan untuk 63 orang novis. Dia telah memberitahukan Master Novis sebelumnya bahwa ia menginginkan orang tua para novis untuk menghadiri acara tersebut. “Kalian adalah dermawan kami yang paling besar,” katanya kepada para orang tua dalam sambutannya setelah makan malam. “Kalian telah memberikan Don Bosco harta kalian yang terindah – anak-anak kalian.” Lalu dalam sambutan berikutnya, yang ditujukan kepada para novis, ia menyinggung salah satu mimpi Don Bosco. “Dalam mimpi itu, Bapa kita yang baik melihat banyak anak muda, berbicara dalam bahasa yang tak dimengertinya, berlari kepadanya, dan hatinya bergembira ketika dia menyambut mereka ke dalam komunitas. Kamu sekalian termasuk di dalam anak-anak muda tersebut, dan percayalah bahwa saya saat ini lebih bergembira daripada Don Bosco karena apa yang ia lihat dalam mimpi, sekarang dapat saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri.”

Awal musim panas tahun 1926, ia berada di Perancis. Pekerjaan Salesian di sana perlahan-lahan mulai pulih setelah mengalami banyak kemunduran selama lebih dari dua dekade saat pemerintah Perancis memusnahkan seluruh ordo religius di negeri tersebut. Pastor Rinaldi kagum dengan semangat dan ketertarikan dari para cooperator. Dalam salah satu perbincangannya dengan kelompok di Marseilles, ia berkata, “Saya tidak lagi heran mengapa Don Bosco sangat mencintai Perancis. Kalian adalah penerus dari sahabat-sahabat Don Bosco yang dimilikinya di sini; kalian mewarisi semangat mereka dan kebaikan hati mereka. Kalian memperlakukan kami seperti mereka memperlakukan Don Bosco.”

Spanyol menyambutnya seperti seorang penakluk. Melalui pekerjaan-pekerjaannya, ia boleh dikatakan sebagai pendiri komunitas Don Bosco di negeri tersebut. Bagi Salesian-Salesian Spanyol generasi pertama, ia adalah perwujudan dari Don Bosco sendiri. Lebih dari setengah komunitas yang berkembang luas di Spanyol adalah bukti nyata semangat dan karyanya. Namanya dikenal luas, bahkan oleh pengikut-pengikut muda yang belum pernah berjumpa dengannya sekalipun.

Kunjungannya di Spanyol menunjukkan kepadanya pesatnya pertumbuhan dari benih yang telah ditanamkannya sejak 35 tahun yang lalu di tanah subur Iberian. Ia menulis kepada seorang keponakannya, “Mereka membuatku sibuk dengan peresmian sekolah, pemberkatan gereja dan peletakan batu pertama.” Ia mengunjungi 33 dari 58 komunitas Salesian di Spanyol. Sambutan atas kunjungannya di Madrid sangat luar biasa. Raja Alfonso XIII memaksanya untuk menjadi tamunya di istana, dan menganugerahkannya penghargaan negara yang tertinggi.

Sebuah insiden yang terjadi menjelang akhir kunjungannya di Sekolah Theologi Salesian di Campello menunjukkan kebijaksanaannya. Seorang prefect yang terbawa emosi selagi memberikan sambutan menyatakan di depan umum bahwa “sebagai putra-putra Don Bosco, kita seharusnya tidak perlu lagi memiliki kebangsaan karena negara kita yang sesungguhnya adalah Komunitas Don Bosco di mana kita berada…” Pernyataan ini dapat mengundang dampak-dampak yang tidak menguntungkan di tengah hangatnya suasana politik waktu itu.

Ketika dia berdiri untuk mengucapkan terima kasih kepada hadirin, Pastor Rinaldi mengatakan bahwa ia tertarik dengan pernyataan Prefect tersebut. Ia melanjutkan, “Don Bosco mengajarkan kita untuk tetap bersih dari persengketaan politik… Kita tidak boleh membiarkan diri kita terhanyut oleh nasionalisme yang berlebihan. Tapi saya ingin menambahkan bahwa kamu dapat menjalankan hal ini tanpa meninggalkan kebangsaanmu, hispanidad!” Para hadirin lalu berdiri dan bertepuk tangan dengan meriah.

Perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh Pastor Rinaldi nampak sekali membuat fisiknya semakin lemah. Tahun 1926, dokter memperingatkannya bahwa jantungnya sudah semakin lemah. Dengan segan, ia membatasi kunjungannya hanya ke komunitas di lingkungan sekitar saja, tanpa memutuskan hubungan dengan anak-anak spiritualnya. Secara periodik, ia mengadakan pertemuan khusus di Turin bagi para perwakilan komunitas Salesian. Para Master Novis, direktur, prefect, dan kepala sekolah dari sekolah-sekolah teknik mengadakan seminar dengan suasana kekeluargaan, terlebih dengan kehadiran Rektor Mayor di tengah-tengah mereka. Dalam salah satu suratnya kepada Provincial di Jepang tahun 1930, ia tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dengan adanya pertemuan seperti itu. “Kami baru saja menutup pertemuan dengan para direktur fondasi-fondasi di Eropa. Sangatlah menghibur untuk berjumpa dengan para anggota komunitas dari setiap negara… Kami melihat bahwa mereka satu hati dan jiwa dengan Don Bosco, sungguh pemandangan yang menakjubkan. Sudah seharusnyalah kita bersyukur kepada Tuhan karenanya.”
































13.



Putri-Putri Kesayangan Kami


Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani – keluarga religius Don Bosco yang kedua – menyambut pemilihan Pastor Rinaldi dengan kegembiraan. Ia sekarang menjadi ex officio, Delegasi Apostolik Holy See untuk institusi mereka, sebuah gelar yang tidak banyak diketahui orang, karena bagi mereka ia tetaplah merupakan “Il Padre Buono.”

Perhatiannya terhadap kesejahteraan para suster berawal sejak hari-hari pertamanya di Spanyol. Di Sarria, ia menemukan sebuah komunitas yang kesepian dan sedang berjuang. “Mereka harus pindah dan berkembang,” tulisnya kepada Pastor Barberis pada tahun 1892. Ketika tak lama sesudah itu ia menjadi provincial superior dan para suster berada di bawah tanggung jawabnya, ia membuka lapangan kegiatan yang baru dan menyemangati mereka untuk perjuangan yang baru.

Bagi para suster di Sarria yang terlantar, kehadiran superior yang pengertian, ramah dan suka menolong, adalah jawaban dari doa mereka. Mereka berpaling kepadanya dengan keyakinan yang bertambah. Mereka menghargai batasan-batasan yang ditetapkannya sama seperti kebaikan dan keramahannya. Pastor Renaldi menetapkan beberapa pedoman baginya sendiri dalam berhubungan dengan mereka. Ia hanya akan menggunakan otoritasnya untuk memimpin mereka kepada Tuhan dengan teladan Don Bosco. Umumnya, ia hanya akan berhubungan langsung dengan mereka dalam pengakuan dosa dan pertemuan spiritual. Dan ia tidak akan mencampuri masalah harta benda kecuali diminta, dan dengan kebaikan dan ketulusan hati ia akan membantu mereka.

Seorang pria, yang menurut penulis biografinya yang pertama, memiliki pengertian yang unik terhadap hati wanita, Pastor Rinaldi memiliki spiritualitas yang dalam, pertimbangan yang bijaksana dan pribadi yang hangat. Sukar untuk membayangkan kombinasi yang lebih ideal bagi seorang spriritual director. Tidaklah mengherankan para suster melihatnya sebagai pembimbing dan bapa yang penuh pengertian.

Kebaikannya membuat kecemasan dan keraguan saya hilang seketika,” tulis seorang suster. Yang lain memberikan kesaksian, “Setelah melakukan kaul, saya merasakan bahwa saya tidak akan bertahan lama di biara. Karena kebaikan dan kesabarannya yang tiada habisnyalah saya sekarang menjadi biarawati yang bahagia.” Masih banyak pernyataan-pernyataan serupa, yang semuanya menceritakan bagaimana bimbingan spiritual darinya menguatkan jiwa-jiwa dan mendorong mereka untuk mengambil komitmen total dalam melayani Tuhan.

Pastor Rinaldi juga memiliki perhatian terhadap hal-hal lain di luar hal spiritual, dan selalu berusaha membantu para suster sesuai dengan kemampuannya. Ketika para suster mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, ia akan menolong mereka tanpa banyak bicara. Seorang superior yang pernah mengalami masa sulit tersebut menulis, “Peran Pastor Rinaldi sangat besar bagi kami – sebagai bapa, pembimbing, penolong…”

Laju pertumbuhan dan perkembangan Suster Salesian di Spanyol sangatlah menakjubkan. Tujuh fondasi baru dibuka dalam waktu kurang dari sembilan tahun. Dalam suratnya kepada Mother General tahun 1898, Pastor Rinaldi menyatakan, “Saya sangat kagum dengan semangat para suster, pertumbuhan mereka dan kemajuan dari karya-karya mereka. Masa depan yang cerah akan menanti mereka apabila mereka tetap setia kepada Don Bosco dan apabila mereka terus mempertahankan kekudusan pribadi mereka.”

Para suster sangat sedih ketika ia harus meninggalkan Spanyol untuk menerima tugas barunya. Ia menulis kepada mereka dari Turin, “Saya tahu bagaimana perasaan kalian, anak-anakku yang tersayang, karena saya telah bertahun-tahun menganggap kalian sebagai tanggung jawab yang istimewa… Tetapi tabahlah! Siapapun yang akan dikirim Tuhan kepada kalian, ia akan mewakili Yesus di tengah-tengah kalian. Karena saya tahu apa yang sudah kalian alami dan kesulitan-kesulitan yang kalian hadapi, saya akan tetap dekat dengan kalian dalam misa kudus dan doa-doa. Saya ingin kalian tetap setia pada panggilan masing-masing. Saya rela kalau saya harus membayar dengan hidup saya untuk mempertahankan kalian dalam komunitas ini. Tidak ada yang boleh melewatkan janji pertemuan kita di surga. Pikirkanlah hal ini setiap kali kalian harus melewati saat-saat yang sukar.”

Di Turin, kontak antara Pastor Rinaldi dan para suster awalnya terbatas pada saat pengakuan dan sesekali pada saat kotbah. Kemudian, ketika Don Rua mempercayakan kepadanya pengawasan untuk oratory perempuan terbesar di kota itu, para suster kembali berada dalam lingkup tanggung jawabnya. Ladang yang ada sekarang bahkan lebih besar daripada yang pernah ada di Spanyol, karena banyaknya jumlah komunitas di dalam dan sekitar Turin, dan begitu banyak hal yang membutuhkan perhatiannya. Tetapi, sebuah titik balik dalam sejarah Suster Salesian sekaligus juga menandai awal dari sumbangsih Pastor Rinaldi yang terbesar terhadap keluarga religius Don Bosco yang kedua ini.

Diresmikan oleh Apostle of Youth pada tahun 1872, di bawah kepemimpinan seorang wanita yang cakap dan rendah hati, St. Maria Dominika Mazzarello, Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani secara sah berada di bawah tanggung jawab Rektor Mayor dari komunitas Salesian sampai tahun 1906, dimana sebuah maklumat dari Holy See mengubah strukturnya dengan memberikan institusi tersebut sebuah pemerintahan yang mandiri. Maklumat ini menjadi dasar bagi hukum kanon yang baru, yang mengikat seluruh ordo religius kaum wanita. Meskipun ini merupakan langkah bijaksana yang sangat bermanfaat bagi perkembangan institusi selanjutnya, pada awalnya para suster merasa kecewa terhadap keputusan ini karena mereka merasa kehilangan dukungan dari komunitas Salesian dalam pengaturan masalah-masalah administratrif dan manajemen yang rumit.

Dalam masa-masa penyesuaian selanjutnya, Pastor Rinaldi adalah segalanya bagi mereka. Tahun demi tahun berlalu, dan para suster semakin merasakan perlunya dukungan dan hubungan yang lebih dekat dengan komunitas Salesian. Saat itulah, dengan bimbingan Pastor Rinaldi dan dukungan dari Kardinal John Cagliero, mereka mengajukan petisi kepada Holy See. Tidak lama kemudian, jawaban atas petisi itu datang, dan pada tanggal 17 Juni 1917, Paus Benedict XV menunjuk Rektor Mayor Salesian sebagai Delegasi Apostolik Holy See untuk Institut Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani.

Para suster merasakan seolah-olah “Don Bosco kembali tersenyum kepada mereka.” Mereka sekarang dapat dengan bebas untuk datang kepada penggantinya, yang telah diberikan kuasa untuk mengawasi mereka paterno animo untuk menanamkan semangat dari Pendiri, sekaligus mendukung secara spiritual, moral, dan intelektual, tanpa campur tangan langsung terhadap administrasi mereka.

Baik Don Rua maupun Don Albera sepenuhnya bergantung kepada Pastor Rinaldi, vicar mereka, untuk memegang tanggung jawab atas karya para suster. Mereka menghargai rasa hormat dari para suster kepada Pastor Rinaldi dan tahu bahwa semangat Don Bosco akan berada di tengah para suster selama Pastor Rinaldi tetap campur tangan atas “monumen hidup kepada Bunda kita”, sebuah sebutan yang diberikan Don Bosco kepada Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani.

Seperti yang diharapkan, segera setelah pemilihannya menjadi Rektor Mayor, Pastor Rinaldi memberikan perhatian kepada para suster, putri-putri yang dicintainya. Dalam sebuah pesan yang ditulisnya kepada Mother General pada tanggal 24 Mei 1922, dalam peringatan pesta emas mereka, ia menyebutkan institusi itu sebagai “monumen Pendiri kita.” Ia menganjurkan para suster untuk menghidupkan kembali semangat kerendahan hati, kemiskinan dan kesederhanaan Don Bosco sebagai hal-hal yang dapat memperindah monumen tersebut. “Ini adalah hal-hal yang disarankan untuk diperhatikan oleh para suster sehingga monumen Pendiri kita dapat menjadi seindah yang diharapkannya sebagai bentuk cintanya kepada Bunda kita.”

Puncak acara perayaan jubilee yang disusun sendiri oleh Superior ditandai dengan pemahkotaan patung Maria Bunda Penolong Umat Kristiani oleh Kardinal John Cagliero di Nizza, Monferrato, pada tanggal 15 Agustus 1922. Itu merupakan acara yang luar biasa, yang menarik perhatian umat sedunia. Paus Pius XI tidak hanya menunjuk Kardinal Cagliero sebagai perwakilannya, tetapi juga dalam pesan singkatnya kepada Pastor Rinaldi memuji keberadaan dan jasa Institut Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani. Paus menyatakan harapan dan doanya agar para Suster Salesian, dengan diperbaharui oleh semangat perayaan jubilee, dapat meneruskan karya dan misi kudus mereka untuk kebaikan Gereja dan masyarakat.

Bagian yang diliput paling detail adalah bagian peran Pastor Rinaldi dalam acara tersebut. Pesan dan sambutannya kepada berbagai kelompok hampir dikutip seluruhnya. Dalam salah satu sambutannya setelah resepsi, ia berkata, “Kalian berterima kasih kepada saya atas kedatangan saya, tetapi ini sudah merupakan tugas saya untuk berada di sini baik sebagai perwakilan Don Bosco, maupun sebagai perwakilan Paus terhadap institusi ini. Saya sungguh merasakan tugas ini sebagai tugas yang menyenangkan karena kalian semua sungguh sangat menghargai apa yang telah kalian dapatkan… Saya kuatir kalau berpikir saya tidak akan sanggup melakukan tugas yang saya emban dalam posisi saya, tetapi hati saya mengatakan bahwa kalian adalah putri-putri kesayangan kami, yang dengan siap dan senang hati membantu untuk meringankan beban saya. Dan tentunya, Bunda Penolong kita dan Don Bosco senantiasa menjadi penolong bagi saya. Liputan itu menyimpulkan: “Ia berkata-kata sebagai bapa dan sebagai orang kudus.”

Ia memimpin Kapitel Umum para Suster Salesian yang diadakan di Nizza pada bulan September di tahun yang sama. Dalam retret yang dilakukan sebelum kapitel dimulai, ia berdialog dengan setiap partisipan. “Don Bosco seolah-olah kembali di tengah kita,” komentar dari seorang suster tua yang pernah mengenal Don Bosco secara langsung.

Selama Kapitel, ia berbicara kepada para suster setiap hari, umumnya dengan topik yang diambil dari bacaan kitab suci. Dalam pertemuan, ia juga menyinggung mengenai masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai religius dan juga superior. Para suster mencatat kata-katanya dan kemudian menerbitkannya dalam pamflet yang disebarluaskan. Salah satu topiknya adalah sabda Yesus, “Datanglah, dan ikuti aku,” di mana ia memberikan komentar berikut, “Yesus memanggilmu, dan kamu mengikuti Dia. Karena itu, kamu harus siap untuk menghadapi apa yang Yesus sendiri hadapi – penolakan dan sambutan, penghinaan di salib dan kemuliaan saat kenaikan ke surga. Tidak seluruh hidupmu merupakan salib; ada sukacita dan penghiburan juga bagimu. Ikuti Yesus, dan kamu akan menemui di sekitarmu orang-orang seperti yang ada di sekitar Yesus: orang benar dan orang berdosa, orang yang bersyukur dan yang tidak tahu berterima kasih, orang yang ingin mencelakaimu dan orang yang rela memberikan nyawanya untukmu. Siaplah untuk menghadapi ini, dan jangan putus asa. Ikuti Yesus, dan kamu akan ditemani oleh Bunda Maria, dan muridnya yang setia, Maria dan Martha. Dapatkah kamu bayangkan teman yang lebih baik selain mereka? Ikutilah Yesus dengan hati yang pemurah. Dalam keadaan tersalib, ia menarik banyak orang kepadanya. Kalau kita menyalibkan keinginan kita kepada kehendak Kristus, maka kita pun akan menarik banyak jiwa kepada-Nya.”

Pastor Rinaldi berada dalam kondisi terbaiknya ketika dalam salah satu sesi Lapitel ia berkomentar tentang beberapa topik yang sedang dibahas. Dia mendukung pernyataannya dengan pernyataan Don Bosco, tetapi banyak dari yang dikatakannya merupakan buah dari keputusan praktisnya, pengalaman dan kepribadiannya yang hangat. Mengenai penerimaan postulan, ia berkomentar, “Berhati-hatilah untuk tidak menerima orang dengan kepribadian sentimental yang ingin diperhatikan seperti anak yang manja. Institusi kalian membutuhkan wanita yang bersungguh-sungguh, yang memiliki semangat pengorbanan yang kokoh. Perempuan yang tidak memiliki pertimbangan yang matang, atau yang emosional dan malas sebaiknya ditolak karena kalau mereka diterima, mereka sendiri akan merasa tidak betah dan membuat orang lain sengsara. Di sisi yang lain, kita tidak boleh terlalu ketat. Seorang perempuan yang memiliki kepribadian yang baik, yang tertarik dengan cara hidup kita, dan berusaha dengan tulus untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya sebaiknya diterima, atau kita akan kehilangan kesempatan untuk memiliki seorang calon suster yang baik.”

Pastor Rinaldi selalu mengingatkan kepada mereka yang memiliki otoritas bahwa tidak ada yang lebih penting bagi komunitas daripada memiliki kepercayaan dari orang-orang di bawah mereka. Dalam sebuah sesi di Kapitel, ia mengatakan, “Para suster harus merasa bahwa mereka dapat mempercayaimu. Karena itu, jagalah kerahasiaan hal-hal yang dipercayakan kepadamu. Hati-hati terhadap kepalsuan. Kalau kamu ingin dicintai, bersikaplah lebih sederhana daripada bijaksana. Bersikaplah adil terhadap semua orang, tanpa pilih kasih. Bersedialah dan bersiaplah untuk mendengarkan dengan penuh kesabaran. Ingatlah juga bahwa kata-kata yang mendorong, pujian, dan pertolongan selalu akan mendapatkan sambutan yang baik. Bukanlah pada tempatnya jika seorang superior tidak tahu cara membuat dirinya dicintai.

Ia mengamati bahwa kesalahan dan ketidakberesan seringkali dikemukakan dalam beberapa pertemuan kapitel. “Itu baik untuk dilakukan,” komentarnya, “namun, kamu juga memiliki banyak hal yang menjadi penghiburan dan untuk disyukuri. Institusi kalian memiliki kekuatan besar untuk kebaikan… Saya mengatakan dengan sejujurnya, dan dengan gembira, bahwa hal ini lebih dari yang saya harapkan. Kesucian, kebaikan, dan keinginan yang kuat untuk maju dan berkarya bagi jiwa-jiwa sangat nyata ada di antara kalian.”

Ia menutup sesi terakhir dari pertemuan kapitel itu dengan kata-kata berikut, “Menurut kalian, saya tidak sepatutnya berterima kasih kepada kalian untuk apa yang sudah saya alami selama waktu-waktu belakangan ini… Setidaknya, izinkanlah saya untuk membuat satu permohonan: berdoalah bagi saya. Tugas saya semakin sulit, dan saya membutuhkan pertolongan Tuhan. Kalian akan selalu berada di dalam doa saya sebagai anak-anak yang tersayang… Kapan pun kalian mampir ke Turin, mampirlah ke rumah ‘bapa’ kalian. Jangan pernah lupa bahwa Rektor Mayor Salesian adalah ‘bapa’ dari Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani.”

























14



Gagasan Menjadi Tindakan


Paus Pius XI sangat terkesan. “Semuanya ini adalah hasil karya Salesian?” tanyanya. Ketika ia diberitahu bahwa seluruh paviliun diberikan untuk misi Salesian, ia berseru: “Bravi, bravi questi Salesiani!”

Dari beberapa pameran di Vatican Missionary Exposition tahun 1925, Paviliun Salesian adalah yang terbesar. Pengunjung akan tinggal sejenak di sana dengan menunjukkan ketertarikan dan kegembiraan. Pameran tersebut adalah salah satu proyek yang direncanakan Pastor Rinaldi untuk memperingati 50 tahun Misi Salesian. Dengan keyakinan bahwa tidak ada yang lebih penting bagi kehidupan komunitas daripada usaha misionaris-misionarisnya dan bahwa di dalam misi itu terdapat berkat yang besar, ia dengan semangat mempromosikan gerakan misionaris yang sangatlah penting dalam hati Don Bosco.

Ketika ia masih seorang pastor muda, Pastor Rinaldi telah memiliki keinginin untuk berkarya dalam gerakan misionaris. Ia memohon kepada sang Pendiri agar mengizinkannya pergi ke Patagonia. Namun dengan senyum dan perkataan yang misterius, Don Bosco mengakhiri mimpinya. “Tidak, Philip; kamu akan tinggal di sini untuk mengirimkan orang-orang lain ke ladang misi.” Kata-kata Don Bosco itu sekarang dianggapnya sebagai mandat. Selama masa jabatannya sebagai Rektor Mayor, misi merupakan salah satu perhatian utama Pastor Rinaldi.

Pada musim gugur tahun 1922, beberapa bulan setelah pemilihannya, pembukaan sekolah misionaris komunitas yang pertama merupakan sebuah langkah yang penting dalam program pengembangan misi. Diberi nama Kardinal John Cagliero – misionaris Salesian pertama yang terbesar – dan bertempat di Ivrea, dekat Turin, sekolah baru tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah serupa yang berkembang dalam komunitas Salesian.

Sebagai prefect general, Pastor Rinaldi menjadi penggerak utama Youth and Missions, sebuah kelompok asosiasi misionaris dengan grup-grup yang aktif di manapun Salesian berkarya. Tertarik ke dalam semangat gerakan misionaris yang melanda seluruh keluarga Salesian Don Bosco pada awal abad 20, grup-grup ini menjadi sangat aktif, mempromosikan konvensi, eksebisi, acara pengumpulan dana dan hari misi. Sebuah buletin yang diterbitkan kelompok ini, dengan nama yang sama, merupakah salah satu buah karya mereka dan dikenal sebagai salah satu karya religius yang banyak dibaca di belahan Eropa dan Amerika Latin. Buletin bulanan yang sangat berbobot itu tidak saja menjadi jendela pelebaran misi, tetapi juga membangkitkan dan mendukung salah satu gerakan misionaris untuk panggilan dan dana yang terbesar yang pernah dilakukan di zaman modern oleh sebuah ordo religius.

Untuk menerjemahkan gagasan-gagasannya menjadi tindakan, Pastor Rinaldi memperoleh dukungan yang ideal dari vicar-nya, Fr. Peter Ricaldone. Melalui keterlibatannya dalam kunjungan-kunjungan ke misi-misi Salesian, Pastor Ricaldone merencanakan program-program yang memberikan hasil yang tidak terduga. Pada dasarnya, permasalahan yang ada dalam misi terletak pada keberadaan manusianya. Dalam hal ini, semangat yang dibangkitkan oleh suasana misionaris baru dalam komunitas membuat ratusan Salesian mendaftar untuk misi, dan ditambah lagi dengan orang-orang muda dari sekolah misi yang terus bertambah, terus melebarkan ladang misi ke seluruh dunia.

Selama sepuluh tahun ia menjabat sebagai Rektor Mayor, Pastor Rinaldi telah memberikan ‘salib’ misioner kepada 1868 orang Salesian dan 613 orang Suster. Delapan wilayah misi baru juga dipercayakan oleh Holy See kepada komunitas, termasuk dua di India dan Jepang yang sangat diperhatikan oleh Pastor Rinaldi. Metode yang diperkenalkannya dalam melatih orang-orang misi terbukti sangat berhasil. Misionaris dilatih secara langsung di ladang misi di mana rumah belajar dibangun dan diisi dengan staff. Dengan demikian, mereka menjadi terbiasa dengan bahasa dan kebudayaan daerah setempat bahkan sebelum mereka siap untuk menjalankan misi yang sebenarnya.

Dengan berkeyakinan bahwa tidak ada misi yang efektif tanpa bantuan Suster, Pastor Rinaldi mendorong partisipasi mereka dalam jumlah yang besar. “Hanya seorang wanita yang dapat menjangkau wanita penduduk asli dan melatih mereka dengan benar,” katanya berulang-ulang. Perkataannya ini terbukti ketika karya Salesian di Congo baru mulai menunjukkan hasil hanya setelah para Suster dilibatkan di sana. Dan ia menambahkan: “Apa yang kalian pikir terjadi pada laki-laki muda yang telah kita latih dan baru dibaptis setelah mereka menikah dengan gadis-gadis desa?”

Terinspirasi oleh keinginannya yang kuat untuk menolong jiwa-jiwa, pendekatannya terhadap permasalahan dalam misi tetap penuh perhitungan dan praktis. Dalam akhir sebuah pertemuan kapitel, ia berkata, “ Kita Salesian harus terjun dalam misi dengan rasa rendah hati. Banyak yang dapat dan seharusnya kita pelajari dari pengalaman misionaris lain, walaupun kita harus tetap dengan berani melakukan bagian kita, menerapkan cara dan pengalaman kita dalam berkarya.

Ia menekankan pentingnya pembentukan pastor lokal, “atau Gereja di tanah misi akan segera mati seperti tanaman asing yang dibawa keluar dari habitat alaminya.” Ia juga mengingatkan misionaris untuk menghormati kebudayaan dan adat-istiadat setempat. “Di negara-negara seperti Cina, India dan Jepang,” katanya, “kontribusi kita dalam kesenian harus menunjukkan inteligensi dan mutu.”

Harian Katolik Avvenire d’Italia, dalam ulasan editorial ketika Pastor Rinaldi meninggal dunia, menyatakan bahwa pengganti Don Bosco yang ketiga ini akan secara khusus dikenang untuk dorongan yang diberikannya terhadap misi dengan visinya yang luas dan keyakinannya yang dalam terhadap Tuhan yang menyediakan. Tapi yang sesungguhnya memotivasi karya Pastor Rinaldi untuk misi dapat diungkapkan melalui kata-kata yang yang sering ia pakai ketika ia sendiri mengingat semangat Don Bosco untuk misi: “Ia adalah sungguh-sungguh seorang misionaris, seorang rasul dengan kehausan yang dalam terhadap jiwa-jiwa.”

Perkembangan misi hanyalah sebagian dari usaha-usaha Pastor Rinaldi dalam pengembangan dan penyatuan komunitas salesian. Perang Dunia I cukup memberikan dampak berupa turunnya laju panggilan yang, tiga dekade setelah wafatnya Pendiri, telah bertambah kurang lebih 4000 Salesian dan 3000 suster dalam keluarga Don Bosco. Selama masa-masa perang, banyak rumah latihan yang kehilangan unsur mereka yang terpenting, karena ratusan Salesian muda dipanggil untuk bergabung menjadi tentara. Hanya melalui usaha yang sangat keras, laju panggilan dalam komunitas ini dapat dipertahankan, yang membuatnya tampak seperti ‘keajaiban bayi’ di antara ordo-ordo religius yang tua maupun muda dalam Gereja.

Kuncinya terletak pada rumah-rumah pembentukan, yang oleh Pastor Rinaldi diberikan perhatian penuh. Memperbesar rumah yang sudah ada dan mendirikan rumah baru hanyalah sebagian dari permasalahannya. Yang tidak kalah pentingnya tentu mengisi rumah tersebut dengan anak-anak muda, dan membentuk jiwa dan pikiran mereka dengan teladan Don Bosco. Dalam kurang dari 10 tahun setelah perang berakhir, jumlah rumah latihan hampir mencapai dua kali lipat, sementara jumlah kandidat yang mendaftar ke komunitas Salesian melonjak dari sekitar hanya 300 pada tahun 1919, menjadi 900 pada tahun 1929. Pertumbuhan Suster Salesian pada dekade yang sama bahkan lebih spektakuler lagi. Jumlah anggota keluarga Don Bosco bertambah menjadi hampir dua kali lipat selama 10 tahun kepemimpinan Pastor Rinaldi, dengan laju pertumbuhan yang belum pernah terjadi.

Sekolah bagi para aspiran, rumah novis, dan rumah frater filosofi maupun teologi adalah kesayangan Pastor Rinaldi. “Mereka mencerminkan investasi yang terbaik bagi komunitas,” katanya, dan ia juga mendorong para provinsial agar jangan terbatas pada uang ataupun sumber daya untuk menjamin hasil terbaik bagi mereka.

Hingga akhir hayatnya, ia tidak dapat menolak panggilan hatinya untuk berada di sekitar anak-anak muda. Selama dua bulan sebelum kematiannya, ia berulang kali melanggar nasihat dokter untuk tetap tinggal di rumah, dan pergi berkunjung ke beberapa rumah latihan di daerah utara Italia.

Ia secara khusus senang ketika mengetahui bahwa semangat kekeluargaan yang kuat tumbuh dan berakar dalam komunitas. “Disiplin yang diajarkan Don Bosco hanyalah untuk menjaga keberadaan komunitas, dan setiap komunitas Salesian sudah seharusnyalah berbentuk keluarga.” Hal ini ditekankan Pastor Rinaldi berulang-ulang sambil juga menyatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai masalah serius dalam suatu komunitas yang memiliki semangat kekeluargaan yang dalam. “Ini adalah cara Don Bosco,” katanya, “dan cara ini tidak mungkin gagal.”

Kunjungannya yang terakhir ke Institut Teologi International di Crocetta, Turin merupakan salah satu kunjungan yang berkesan. Sekolah tersebut, yang kemudian statusnya ditingkatkan menjadi universitas kepausan, adalah proyek yang sangat berkenan di hatinya. Telah bertahun-tahun ia mendambakan suatu tempat yang dekat dengan rumah induk di mana para Salesian muda dari provinsi-provinsi yang jauh dapat berkumpul dan menerima pendidikan terbaik yang dapat diberikan dalam ilmu teologi. Ia sering mengunjungi para murid di sana, dan pada hari Ordinasi selalu berada di sana, bersama-sama dengan seluruh anggota Superior Council.

Salah satu anggota kelas yang dilantik tahun 1931 berkata, “Kami tahu kondisi kesehatannya sudah memburuk, dan tidak berani berharap ia akan datang dalam perayaan kami. Bayangkan betapa terkejut dan gembiranya kami ketika kabar tersebar bahwa ia akan datang… Bagaimana Bapa yang baik itu mengatasi kelemahannya merupakan misteri bagi saya. Nafasnya sukar dan ia berjalan dengan perlahan dan lebih bungkuk daripada biasanya, namun yang pasti senyum dan kata-katanya yang ramah bagi semua orang terasa tetap hangat dan penuh kebapaan seperti biasanya.”

Dalam perayaan itu, ia memberikan pesan khususnya kepada yang baru dilantik, “Kamu akan segera meninggalkan pusat dari Komunitas, tetapi kamu akan tetap menjadi bagian dari keluarga ini. Kami datang hari ini dengan harapan bahwa kami dapat setidaknya menggantikan orang-orang yang kalian cintai yang pasti berada dalam pikiran dan hati kalian. Kami datang untuk memberitahu kalian bahwa kalian sangat kami cintai, terlebih sejak saat ini kalian telah menjadi anggota keluarga kami. Pada saat kalian pulang ke negara kalian masing-masing, beritahu kepada anggota yang lebih muda, bahwa walaupun mereka jauh dari kami, kami tidak lupa terhadap mereka… Beritahu mereka betapa ingin kami mendengar kabar dari mereka… Beritahu mereka bahwa kami tahu betapa keras mereka telah bekerja demi kebaikan Komunitas, dan bahwa kami ingin sekali dapat menolong mereka. Beritahu mereka untuk memiliki keberanian… Pergilah, dan janganlah kamu pernah merasa bahwa kamu sendiri. Bahkan lebih dari sebagai anggota keluarga di bumi ini, kamu sekarang adalah anggota keluarga Komunitas yang tidak akan pernah berakhir – sebuah keluarga yang akan selalu berada di sisimu, baik sekarang maupun selama-lamanya.”

Kalau seandainya Pastor Rinaldi bisa dikatakan memiliki kesayangan di antara anak-anak spiritualnya, itu akan merupakan para bruder. Dukungannya terhadap para anggota awam dari Komunitas Salesian nampak jelas sekali. Jelas sekali ini bersumber dari kenangan hidupnya semasa ia pertama bertemu dengan Don Bosco. Waktu itu ia membujuk Don Bosco untuk mengizinkannya bergabung dengan Komunitas sebagai bruder. Ketika ia melihat para pekerja Salesian ini bekerja, ia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya kepada kejeniusan Don Bosco yang telah memberikan Gereja sebuah bentuk partisipasi religius yang baru.

“Saya yakin,” katanya, “bahwa kita memiliki banyak orang kudus di tengah-tengah para bruder kita, dan tidak hanya segelintir…” Ia ingin konsep Don Bosco mengenai bruder Salesian diterima dan dimengerti sepenuhnya oleh semua orang dalam Komunitas; dan dalam surat edarannya, ia menjelaskan dengan detail karakteristik bruder seperti yang diketahuinya dari Don Bosco, dan betapa pentingnya proses pembentukan bruder dalam pertumbuhan Komunitas secara keseluruhan.

Pada tahun 1889, ketika masih berada di Sarria, Spanyol, ketika ia pertama kali dihadapkan dengan kerumitan sekolah teknik, ia menyadari betapa pentingnya keberadaan bruder yang terlatih dan merencanakan sebagian dari mereka untuk dikirim ke pelatihan khusus di Barcelona. Ia ingin agar gambaran yang salah terhadap seorang bruder sebagai pekerja lepas ataupun pendidik kelas dua dihapuskan dari benak orang-orang. Dengan jelas ia menyatakan bahwa ini tidak sesuai dengan keinginan Don Bosco. Menurut Don Bosco, seorang bruder yang bekerja di bengkel maupun kelas, adalah pekerja yang ahli dan terampil, pendidik yang tekun, dan juga merupakan teladan religius bagi masyarakat.

Sebagai prefect general, Pastor Rinaldi sering menyayangkan fakta bahwa para bruder tidak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk menjadi ahli dalam bidangnya, dan juga pendidikan yang didapatkan umumnya harus diperoleh dari tempat lain di luar Komunitas. Ia memimpikan sebuah sekolah teknik yang besar dan lengkap dengan peralatannya di mana para calon bruder dapat memulai pendidikannya dan menyempurnakannya dalam masa-masa awal kehidupan religius mereka. “Pelatihan bagi para bruder,” katanya sekali waktu, “haruslah sama tarafnya dengan pendidikan bagi calon pastor kita.”

Dalam hidupnya, ia berkesempatan melihat mimpinya terwujud. Dengan perkecualian Institut Teologi International di Crocetta, tidak ada proyek yang lebih menggembirakan hatinya daripada pendirian Sekolah Teknik Rebaudengo di Turin, dan Sekolah Agrikultural Salesian di Cumiana. Kedua kompleks sekolah tersebut, yang dilengkapi dengan peralatan modern untuk pelatihan para bruder muda, menjadi proyek percontohan untuk sekolah-sekolah serupa yang kemudian bertumbuh pesat di seluruh dunia.

Seorang Salesian pernah mengemukakan bahwa proyek-proyek yang sangat mahal tersebut bertentangan dengan semangat kemiskinan Don Bosco. Kepadanya, Pastor Rinaldi menjawab, “Don Bosco, yang ingin berada di garis depan dalam kemajuan, tidak pernah mengizinkan uang ataupun pertimbangan lain untuk menghalanginya maju. Kita melakukan apa yang ia sendiri akan lakukan untuk menolong orang-orang muda, terutama dari kelas yang kurang berada, apabila ia sendiri hidup di zaman ini. Prinsipnya tetaplah berlaku sekarang, sama seperti pada saat itu, dan bahkan mungkin lebih valid lagi pada zaman sekarang ini.”

Para ahli sejarah, yang ingin menelusuri misteri pesatnya perkembangan karya Don Bosco selama masa kepemimpinan Pastor Rinaldi mungkin akan menemukan sebuah petunjuk dalam pencarian mereka dalam perkataan Uskup Agung Evasio Colli, seorang sahabat Pastor Rinaldi semasa hidupnya: “Ada sesuatu yang luar biasa dalam pandangan Pastor Rinaldi terhadap pikiran, metode, dan semangat Don Bosco. Kemampuannya menggabungkan tindakan dengan pemahaman yang dalam terhadap karya Don Bosco merupakan jasanya yang tak ternilai dan juga merupakan alasan dari keberhasilan yang diperolehnya selama menjabat sebagai Superior General dari Komunitas Salesian.”












15.


Kembalinya Don Bosco dengan Jaya


Tanggal 20 Februari 1926 merupakan hari yang membawa sukacita bagi keluarga besar Don Bosco, karena pada hari itu proses beatifikasi Don Bosco secara resmi disetujui. Tetapi Pastor Rinaldi tidak dapat merasakan suasana sukacita dengan penuh, karena pada hari itu ia masih terbaring sakit di ranjangnya, dan tidak dapat pergi ke Roma untuk menghadiri perayaan khidmat di Vatican. Ia menulis, “Saya telah menunggu waktu ini sejak lama, tapi Tuhan berkehendak lain. Terjadilah kehendak-Nya yang kudus.”

Seluruh pikirannya pada hari itu terpusat di Vatican, di mana di hadapan Paus Pius XI, maklumat akan kebesaran karya dan nilai-nilai yang diajarkan Don Bosco dengan khidmat diumumkan. Sendiri dalam keheningan di kamarnya, yang setiap jam diselingi oleh bunyi lonceng dari Basilica of Mary Help of Christians, ia membayangkan kembali perjalanan yang panjang dan sulit hingga akhirnya sekarang Don Bosco memperoleh kemuliaan yang agung.

Pada tahun 1901, sebagai prefect general yang baru, Pastor Rinaldi diangkat sebagai vice postulator untuk beatifikasi Don Bosco. Dengan para postulator - procurator general Salesian di Roma - ia berbagi tanggung jawab untuk mengajukan nama Don Bosco, menyediakan semua dokumen, memanggil para saksi, dan menyediakan dana yang diperlukan. Seperti semua orang yang menyayangi dan mengagumi Don Bosco, ia merasa yakin pengajuan tersebut akan dengan cepat disetujui. Tetapi, ia segera menyadari bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Proses beatifikasi Don Bosco terbukti menjadi salah satu proses yang panjang dan rumit.

Kurang dari 24 jam setelah jenasah Don Bosco dikebumikan di kuburan Valsalice, Don Rua berkumpul dengan anggota dewan untuk menentukan apa yang dapat dan harus dilakukan terhadap kemungkinan untuk mengajukan proses beatifikasi Don Bosco. Tidak sampai dua tahun kemudian, Kardinal-Uskup Agung Turin menandatangani maklumat yang memulai proses di tingkat keuskupan. Ini berlangsung selama tujuh tahun, dan selama masa tersebut lebih dari 560 pertemuan diadakan dan 562 orang saksi diwawancara. Proses apostolik berikutnya bahkan lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi di mana kedua pihak Holy See and Keuskupan Agung Turin bekerja sama dalam penyelidikan lebih lanjut terhadap kehidupan Don Bosco.

Ketika pada tanggal 16 November 1918, Pastor Rinaldi meninggalkan Turin dalam perjalanannya menuju Roma, sambil membawa dokumen-dokumen tebal dari proses apostolik, ia merasa yakin bahwa proses tersebut, yang sudah berada di tahap akhir, akan segera mencapai kesimpulan akhir yang telah diharap-harapkan. Tetapi ternyata dibutuhkan sebelas tahun lagi hingga hari yang penuh sukacita itu tiba, di mana beatifikasi Don Bosco akhirnya disetujui. Hingga bulan Juli 1925, dua kardinal masih belum puas dengan bukti-bukti yang menunjukkan semangat doa dan kelebihan karunia Roh Kudus Don Bosco. Di bawah sumpah, Pastor Rinaldi kemudian membawa bukti baru yang tidak dapat disangkal lagi yang akhirnya diterima oleh Congregation of Rites. Dengan demikian jalan sudah terbuka untuk pengakuan resmi atas kebajikan-kebajikan Don Bosco pada tanggal 20 Februari 1926.

Mendekati akhir Maret, Pastor Rinaldi pergi ke Roma untuk mengungkapkan rasa terima kasih keluarga Salesian kepada Bapa Suci. Ia diterima dengan sangat ramah oleh Paus Pius XI, dan ia sangat terkesan karena Bapa Suci sangat tertarik pada kasus Don Bosco. Dengan tidak memakai lagi kata ‘kita’, seperti saat berbicara dengan teman-teman dekatnya, Paus berkata: “Saya sangat antusius menunggu hari dimana kita akan melihat Don Bosco kita di altar. Ia adalah manusia yang aktivitas-aktivitasnya sangat tepat waktu dan relevan dalam kehidupan Gereja. Saya berdoa agar mukzizat-mukzizat dapat disetujui supaya kita dapat mempercepat proses beatifikasinya.”

Pada saat itu Pastor Rinaldi tidak dapat lagi menahan dirinya sendiri dan mencurahkan isi hatinya, memberitahu Bapa Suci kesedihannya karena dalam perjalanan proses tersebut, banyak kesulitan muncul dan banyak kritik diajukan atas semangat dan metode-metode yang dipakai Don Bosco, dalam tingkah lakunya, dan bahkan atas hasil kerjanya. Ia melanjutkan: “Bapa Suci, semakin saya mendekati Don Bosco, semakin saya yakin bahwa ia seorang santo. Lalu kenapa ada banyak perlawanan, dan penundaan yang lama dari pihak pejabat-pejabat Gereja?”

“Kekuatiranmu,” jawab Paus, ”Saya pahami, tapi hal itu tidak akan terjadi lagi. Gereja telah bicara; pekerjaan Don Bosco, kata-katanya, tingkah lakunya – semua dalam dirinya – dari dan untuk Tuhan. Dengan mengakui kebajikan-kebajikannya, Gereja telah menaruh materai surgawi sebagai persetujuan atas hidupnya. Jika ada seseorang yang berkata bahwa santo-santo yang lain tidak berbuat seperti yang Don Bosco lakukan, kau dapat menjawab bahwa Don Bosco adalah seorang santo karena ia berbuat seperti yang dia lakukan.”

Baik dalam perkataan dan tulisan, Pastor Rinaldi merujuk kembali pada pernyataan Paus Pius XI. Ia lalu dengan mudah dan tepat, berdasarkan hal itu, mengatakan bahwa anak-anak Don Bosco dapat dan seharusnya mencontoh hidup dan kerja mereka dari Don Bosco. Materai surgawi telah menyatakan hal itu.

Persetujuan atas dua mukzizat yang diajukan untuk proses beatifikasi telah resmi diberikan pada tanggal 19 Maret 1928, dan sekitar setahun kemudian pada tanggal 21 April 1929, yang biasanya disebut sebagai dekrit Tuto dikeluarkan, secara pasti membuka jalan untuk upacara beatifikasi yang sebenarnya. Upacara ini rencananya dilaksanakan tanggal 2 Juni 1929.

Pastor Rinaldi, yang selalu memberitahu kongregasi atas setiap fase dari proses ini, sekarang bertemu dengan dewannya untuk merencanakan pesta ini. “Dunia berdiri dengan sigap, siap memberi penghormatan kepada Don Bosco seperti yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah Gereja.” Ada lebih dari sebuah sentuhan retorik dalam pernyataan harian Turin Catholic, tapi tak ada seorangpun yang ragu bahwa devosi kepada Beato yang baru ini akan meledak menjadi demonstrasi-demonstrasi yang bersemangat. Pastor Rinaldi yang mengkuatirkan hal ini, memperingatkan para anggota dewan. “Kita harus melengkapi perayaan ini dengan sebuah sikap bakti. Kita harus menarik sebanyak mungkin orang kepada Sakramen, kepada Tuhan kita. Don Bosco tidak akan menyetujui cara yang lain.”

Pada tanggal 16 Mei, ia hadir pada acara pengakuan resmi Gereja atas jenasah Beato yang baru. Sewaktu peti jenasah dibuka, ia berdiri dengan tenang dan terharu seperti sedang merekonstruksi dalam pikirannya ciri-ciri dari Don Bosco yang tercinta. Keseluruhan sisa jenasah itu dinyatakan dalam kondisi yang cukup baik oleh para dokter. Di bawah pengawasan langsung Pastor Rinaldi, sisa jenasah Don Bosco akan dipindahkan ke Basilika Maria Penolong Umat Kristiani.

Bersinar terang dan hangat, matahari barulah terbit di Roma pada tanggal 2 Juni, tetapi lapangan St. Petrus telah dipenuhi ribuan orang. Bahkan di mata orang-orang Roma yang sudah terbiasa dengan kegembiaraan perayaan-perayaan, hal ini merupakan sebuah pemandangan yang mengagumkan. Banyak orang muda terlihat di antara kerumunan orang yang berjalan menuju lapangan St. Petrus. Roma dan seluruh Roma tahu bahwa hari ini adalah hari yang hebat untuk Don Bosco.

Hampir 80.000 orang – sebanyak yang dapat ditampung oleh Basilika – berdiri dengan penuh perhatian menunggu momen puncak dari upacara beatifikasi tersebut. Tiba-tiba, sesudah pembacaan pernyataan apostolik yang menyatakan Don Bosco sebagai Yang Terberkati, kain penutup Bernini’s Gloria dijatuhkan sehingga gambar Don Bosco yang diterangi cahaya terlihat. Suara dari organ besar dan bel-bel besar Basilika dikalahkan oleh suara serempak para penonton. Lagu “Te Deum” dinyanyikan dan untuk pertama kalinya Don Bosco yang rendah hati dinyatakan secara resmi oleh Gereja – “Ora pro nobis, Beate Joannes!”

Di kemudian hari Pastor Rinaldi mengungkapkan apa yang telah ia simpan saat itu sebagai permintaan yang paling mendesak bagi sang Beato baru. “Saya ingin meminta kepadanya apa yang saya kira ia inginkan juga dari Tuhan untuk anak-anaknya, jadi saya memohon kepadanya 3 hal ini dalam hati: ‘Supaya kami dapat setia pada Yesus dalam Ekaristi dan Maria Penolong Umat Kristiani... Supaya kami dapat mencintai anak-anak muda dan kerja seperti engkau dahulu... Semoga kami, seperti engkau, selalu berusaha untuk bersatu dengan Tuhan, ya Bapa Yang Terberkati, doakanlah kami!’”

Esoknya, pada pertemuan khusus yang diberikan pada Pastor Rinaldi dan anggota-anggota dewannya, Paus Pius XI memuji semua yang telah dilakukan untuk peristiwa yang akan dikenang itu. Dia berkata sambil tersenyum: “Kami merasa sedikit malu karena kami tak dapat menyediakan Basilika yang lebih besar untuk keluarga Don Bosco.” Paus memuji para Salesian untuk keteraturan dan ketelitian yang telah ditunjukkan dalam upacara pagi dan sore, terlebih lagi bila melihat banyaknya orang muda yang berdatangan. “Sungguh,” ia menyimpulkan, ”acara beatifikasi Don Bosco akan dianggap sebagai peristiwa yang akan dikenang oleh Kongregasi kalian dan Gereja.”

Pada tanggal 3 Juni, Paus Pius menerima sekitar 15.000 “peziarah” Salesian yang dia sebut sebagai “audensi yang luar biasa”. Sekali lagi bagian terbesar peserta terdiri dari orang muda yang berkumpul di lapangan Vatikan – San Damaso. Selagi menunggu datangnya Bapa Suci, band-band dari beberapa sekolah Salesian secara bergantian menghibur penonton. Maestro dari Band Palatine, yang berdiri dengan para laki-laki berseragam di depan dais, tidaklah terlalu senang karena ia tidak diikutkan dalam pertunjukan itu. Jika ia hendak memulai bandnya, salah satu band Salesian sudah mendahuluinya. Sewaktu Paus datang, yang disambut dengan ramai, Maestro yang frustasi itu memberi tanda agar bandnya bersiap untuk mars tradisional kepausan. Tongkatnya baru saja terangkat, ketika sebuah band dari satu sudut lapangan memulai Mars yang meriah. Dengan tidak sabar, Maestro itu mengeluarkan kata-kata keras yang terdengar oleh Paus. Paus lalu berhenti dan tersenyum, lalu berkata: ”Maestro, sabarlah. Kita berada dalam pesta oratori hari ini!”

Dari tahtanya Paus Pius XI berulang kali melambaikan tangannya untuk membalas tepuk tangan dan sorakan yang bergantian dari para penonton. Barulah setelah Pastor Rinaldi mendekat ke tahta untuk berbicara dengan Paus, ketenangan kembali lagi.

“Bapa yang kudus,” katanya, ”dengan kegembiraan yang tak terhingga, Keluarga Salesian berkumpul di sekitar Pendiri dan Bapanya yang telah diangkat oleh Yang Mulia ke kehormatan di altar. Selama lebih dari 41 tahun kami telah hidup dalam kepastian yang menghibur – yang sekarang resmi diakui – bahwa dari Surga, Don Bosco terus memimpin kami sebagai Bapa dan penunjuk jalan kami. Lebih dari sebelumnya, setelah Yang Mulia memberi dia gelar Yang Terberkati, kami akan melihat Don Bosco sebagai model dan pelindung hidup spiritual dan misi pendidikan kami. Kami akan berjuang untuk mengikuti dia agar hasil kerjanya untuk anak-anak muda dapat terus berkembang...” Pastor Rinaldi mengakhiri pidatonya dengan ucapan terima kasih atas kebaikan dan pertolongannya terhadap para Salesian yaitu “yang telah terbukti dalam penghargaan Yang Mulia terhadap Pendiri kami Yang Terberkati dan atas upacara beatifikasi yang luar biasa ini ...”

Menanggapi pidato Pastor Rinaldi, Paus Pius XI berbicara dengan perasaan dan kata-kata yang menyentuh hati. Sekali lagi ia menekankan fakta yang sering disebutkan dalam beberapa pidato sebelumnya, bahwa ia menganggap bahwa kesempatan untuk mengenal dan berurusan dengan Don Bosco sebagai tanda persetujuan dari Tuhan. Ia juga mengucapkan selamat kepada “keluarga Salesian yang hebat” untuk kebaikan besar yang telah dilakukan bagi jiwa-jiwa, ”sebuah bukti,” tekannya,”yang menjamin masa depan yang lebih hebat.” Ia melanjutkan,”Selalulah menjadi yang terdepan dalam kemajuan!” Kata-kata yang kita dapatkan sendiri dari Bapa kalian, sekarang kita sampaikan kepadamu sebagai kenang-kenangan, program kerja, dan kesimpulan yang terpraktis dari jam-jam yang menyenangkan ini. Dimana ada pertanyaan tentang kebenaran, tentang kemulian Tuhan dan Gereja, tentang kerajaan Kristus, tentang keselamatan jiwa-jiwa, selalulah menjadi yang terdepan dalam kemajuan! Ini akan menjadi sloganmu, pendorong bagimu untuk lebih berani lagi mencapai tujuan utama yang ditunjukkan oleh Joannes Bosco Yang Terberkati kepadamu lewat kata-kata dan teladannya, dan atas pencapaian dimana ia sekarang dapat membantumu lewat perantaraannya.”

Untuk Paus Pius XI, yang akan dikenal sebagai Pausnya Don Bosco, Pastor Rinaldi telah merencanakan sebuah hadiah tanda terima kasih dari Kongregasi. Sebagai bagian dari pesta beatifikasi di Roma, sebuah tanah akan dibuka pada tanggal 4 Juni untuk pembangunan Salesian yang baru di salah satu lokasi kota yang termiskin dan paling cepat berkembang. Komplek yang terdiri dari sebuah gerja paroki, sekolah teknik dan pusat kaum muda akan dinamakan Institut Salesian Pius XI. Paus benar-benar merasa senang. “Ini merupakan hadiah terbaik untuk pesta emas kepastoran saya,” serunya sambil meminta untuk melihat rencana tersebut. Ia lalu menyarankan gereja yang lebih besar dari yang telah direncanakan. Katanya, ”karena paroki ini akan segera menjadi salah satu yang terbesar di Roma.” Lalu ia dengan murah hati menyumbang satu juta lira untuk proyek tersebut.

Selagi menaiki kereta yang menuju utara, Pastor Rinaldi merasa bahwa ia tidak pernah merasa segembira ini di Roma. Sekarang giliran kota Turin. Kota kelahiran Don Bosco ini tidak akan dikalahkan oleh Roma sekalipun dalam perayaan kemenangan yang telah disiapkan bagi Santonya yang baru. Selama berbulan-bulan, tanggal 9 Juni telah menjadi fokus persiapan. Komite yang telah dibentuk oleh Pastor Rinaldi dan dipimpin oleh vicarnya Fr. Peter Ricaldone, telah merencanakan acara besar ini dengan pertimbangan dan strategi “seorang jendral yang sedang mempersiapkan sebuah pertempuran”.

Perayaan ini dipusatkan pada pemindahan jenasah Don Bosco dari tempat peristirahatannya di Valsalice ke Basilika Maria Penolong Umat Kristiani. Para peserta dan penonton diperkirakan sekitar ratusan ribu orang. Hampir 100 Uskup telah menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi. Pihak kerajaan akan diwakili oleh Pangeran Mahkota Umberto dan beberapa pangeran lainnya. Pejabat sipil kota Turin telah menyerahkan seluruh kota dalam kekuasaan komite pesta.

Peristiwa ini adalah kemenangan dalam arti sesungguhnya. Matahari bersinar cerah di atas perarakan, yang melewati jalan-jalan kota yang paling indah, mengawal peti emas dan kristal jenasah ke Basilika. Seruan-seruan antusias ribuan orang, nyanyian Don Bosco ritona, kostum-kostum yang berwarna-warni dan pakaian yang indah, cahaya kota yang fantastis di malam hari merupakan hal-hal yang paling diingat dari acara yang melebihi semua perkiraan ini.

Ada sesuatu yang lebih dari perayaan ini daripada keindahan luarnya. Devosi dari orang-orang diarahkan ke jalur spiritual yang lebih berbuah yaitu pengakuan dosa dari orang-orang yang tak terhitung banyaknya dan komuni-komuni yang diberikan selama triduum, sesudah peletakan jenasah Don Bosco di Basilika Bundanya yang tercinta.

Seperti di Roma, Turin juga memperoleh monumen abadi peristiwa beatifikasi Don Bosco. Pada tanggal 13 Juni, sebuah tanah dibuka untuk Institut Misionaris Count Rebaudengo, sebuah sekolah teknik untuk pelatihan para calon bruder yang akan bekerja di tanah misi.

Dalam surat yang dialamatkan kepada para Salesian pada tanggal 9 Juli 1929, Pastor Rinaldi menulis perasaannya selama hari-hari acara beatifikasi Don Bosco dengan ungkapan bebas. Ia menulis: ”Surga dan bumi telah mengakui penghormatan kita yang besar kepada Bapa kita yang tercinta dari hari kita merasa dipanggil untuk mengenal semangatnya dan menjadi anaknya. Tetapi selama ini, altar kekudusan Bapa kita baru ada di dalam hati kita saja. Akhirnya sekarang altar itu telah berada di dalam hati Gereja, dalam pandangan seluruh dunia.”

Mengutip kata-kata “Gloria Patris, filii sapientes” yang diucapkan Paus Pius XI pada pidatonya kepada para Salesian dalam upacara beatifikasi Don Bosco, Pastor Rinaldi menyimpulkan: ”Marilah kita menjadi anak-anak yang bijaksana dari seorang Bapa yang hebat, yang mengejar kebijaksanaan yang akan membuat kita semakin murni, semakin bermati raga, semakin siap menjalankan tugas kita, semakin dikuasai oleh kasih murni; kebijaksanaan yang akan membawa kita lebih dekat kepada Yesus di Sakramen Maha Kudus dan Bunda Maria Penolong Umat Kristiani, dan dekat pada Pendiri kita...; kebijaksanaan yang tidak hanya akan meyakinkan kita akan kebesaran panggilan kita, tetapi juga membuat kita sadar akan penderitaan kita, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan.”
















































16.



Bapa dan Pendiri


Philip Rinaldi Yang Terberkati telah benar-benar mengikuti jejak Bapa pendiri kita, dan mendirikan juga sebuah institut religius yang baru. Dikenal sebagai “Para Sukarelawan Don Bosco”, institut ini merupakan kreasi yang asli dan berani dari pikiran dan hati Pastor Rinaldi.

Sejauh tahun 1911, sewaktu ia mengatur aktivitas Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani (Para Suster Salesian), Pastor Rinaldi telah melihat bahwa ada banyak wanita muda yang penuh motivasi dan murah hati serta dipenuhi semangat kerasulan Don Bosco, tidak bisa, karena berbagai alasan, untuk ikut menjadi bagian hidup komunitas para Suster Salesian.

Ia menyadari bahwa wanita-wanita muda ini ingin menjadi bagian dari keluarga Don Bosco sebagai orang-orang religius, tetapi hidup di dunia sambil membantu pekerjaan-pekerjaan yang dijalankan para Salesian. Pastor Rinaldi dengan cepat melihat bahwa hal ini merupakan sesuatu yang telah diimpikan oleh Don Bosco untuk Kongregasi Salesian sejak tahun 1858, sewaktu Don Bosco berkata bahwa ia ingin agar penolong-penolongnya terdiri dari dua kategori: “yang di dalam”, yang akan tinggal dengan dia dalam komunitas, dan “yang di luar” yang akan tinggal di rumah mereka sendiri dan membantu kerjanya untuk orang-orang muda semampu mereka. Proyek untuk “Salesian luar” ini ditolak oleh Holy See, karena tidak masuk dalam kategori kanonik sebuah hidup religius.

Yakin bahwa proyek ini merupakan hal yang paling dipikirkan Don Bosco, Pastor Rinaldi mulai merencanakan suatu bentuk kehidupan untuk 14 gadis muda yang ingin menjadi “anggota” dari “komunitas para Suster Salesian di dunia”. Ini berarti bahwa sebagai orang-orang religius, mereka akan mengambil kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Disatukan dalam semangat Kitab Suci dan diinspirasikan oleh karisma Don Bosco, para anggota akan tinggal dengan keluarga mereka atau hidup sendiri. Mereka akan bergerak dalam berbagai pekerjaan atau profesi. Mereka akan hidup biasa namun dengan cara yang luar biasa, membawa Kristus ke dunia dan dunia kepada Kristus.

Pastor Rinaldi dengan hati-hati memupuk tanaman yang masih muda ini. Poko-pokok pikiran dari konfrensi bulanannya kepada para anggota pertama direkam secara hati-hati dan dengan rajin. Sangatlah mengejutkan melihat bahwa arahan-arahan Pastor Rinaldi sama dengan yang ditulis oleh Holy See untuk seluruh institut sekuler ketika Paus Pius XII menyetujui jenis institut ini bagi Gereja universal pada tahun 1947.

Dasar untuk hidup dan kerasulan dalam dunia untuk “Para Sukarelawan Don Bosco” yang akan datang menurut ajaran Pastor Rinaldi adalah: mereka harus berusaha menjadi santa, tidak kurang dari itu. “Hanya jika kalian menjadi santa,” katanya kepada mereka, ”barulah kalian dapat menunjukkan keberadaan Kristus dalam realitas kehidupan di dunia.”

Tujuh anggota pertama dari institut yang baru ini membuat kaul religius mereka pada tanggal 26 Oktober 1919 di kapel di sebelah kamar Don Bosco. Segera “Asosiasi Para Pendukung Bunda Maria Penolong Umat Kristiani”, begitulah mereka dipanggil saat itu, mulai menarik minat para wanita muda dalam jumlah yang semakin meningkat. “Para Pendukung” ini meluaskan kerasulan mereka ke luar batas-batas pusat kaum muda milik para Suster Salesian. Mereka menyebarkannya ke keluarga mereka sendiri dan kepada rekan-rekan kerja mereka dan bahkan ke gereja-gereja paroki, baik di dalam maupun di luar kota Turin.

Setelah kematian Pastor Rinaldi pada tahun 1931, institut ini mengalami masa penurunan, namun sesudah itu berkembang lagi dengan semangat dan vitalitas baru. Tahun 1971, sebuah dekrit dari Kardinal Michael Pellegrino, Uskup Agung Turin, menyetujui “Para Sukarelawan Don Bosco” sebagai institut sekuler tingkat keuskupan. Paus Paul VI, seorang pengagum “Para Sukarelawan” menaruh stempel terakhir di atas persetujuan Gereja atas institut ini, sewaktu tahun 1978, ia menyatakan “Para Sukarelawan Don Bosco” sebagai institut sekuler di tingkat kepausan.

“Para Sukarelawan Don Bosco” sekarang lebih dari seribu kali lipat esarnya dan ada di setiap benua. Ia merupakan salah satu institut sekuler untuk wanita yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya dalam Gereja.

Tidak ada keraguan dalam pikiran para anggota pertama institut baru ini bahwa Pastor Philip Rinaldi merupakan bapa dan pendiri asosiasi mereka. Dengan karakternya, Pastor Rinaldi menolak semua sebutan “Pendiri” dan hanya berkata sambil tersenyum, ”Don Bosco adalah Pendirinya.”

Jika benar bahwa inspirasinya berasal dari Don Bosco, inisiatifnya benar-benar berasal dari Pastor Rinaldi sendiri. Ia merasa dengan instingnya bahwa institut ini akan menjadi penolong yang besar di masa depan untuk meluaskan program dari misi Don Bosco dalam Gereja. Dalam hal ini, Pastor Rinaldi Yang Terberkati benar-benar seorang inovator. Ia memulai dan memberi substansi kepada sebuah bentuk baru hidup religius dalam Gereja, sebuah hidup dalam dunia dimana “keberadaan Kristus dapat menjadi kenyataan hidup” – sebuah pernyataan yang penting bagi Pastor Rinaldi. Seperti yang kemudian terjadi, Gereja akhirnya mengikuti dan menyetujui bentuk hidup religius yang baru ini dan menerapkannya dalam institut-institut sekuler.

Jika institut “Para Sukarelawan Don Bosco” merupakan bukti hidup kemampuan Pastor Rinaldi untuk membaca tanda-tanda zaman, institut ini juga merupakan bukti pengenalannya akan pikiran dan hati Don Bosco. Kita mengingat kata-kata yang sering diulangnya: “Dalam usaha kita untuk meniru Don Bosco, kita janganlah bertanya, ’Apa yang dulu ia lakukan dan bagaimana ia melakukannya?’ Kita seharusnya bertanya, ’Apa yang akan dilakukan Don Bosco dan cara apakah yang akan dia gunakan jika dia hidup pada zaman kita, jika kita berada dalam posisinya.’”

Dalam mendirikan institut Para Sukarelawan Don Bosco, Philip Rinaldi Yang Terberkati telah melakukan apa yang telah dilakukan oleh Don Bosco.


























17.



Pemahaman yang Berkarisma


“Hanya satu hal yang membedakan Pastor Rinaldi dengan Don Bosco – suaranya.”

Kata-kata di atas adalah milik Fr. John Francesia yang, setelah hidup selama 40 tahun dengan Don Bosco, hidup juga selama tiga dekade secara dekat dengan penerusnya yang ketiga.

Walaupun tidak bisa diartikan secara harifiah, kata-kata Pastor Francesia tidak akan dianggap lalu saja oleh para pengamat hidup Pastor Rinaldi. Mungkin lebih baik dibanding anak-anak pertama Don Bosco, penerus Don Bosco yang ketiga mengerti pikiran dan hati sang Pendiri. Pemahamannya atas semangat Don Bosco sangatlah unik dan sangatlah keras usahanya untuk memahami dan mengasimilasikannya.

Bahkan dari luar, ciri-ciri karakter Don Bosco tampak dalam kepribadian Pastor Rinaldi: langkahnya yang tak terburu-buru, pendekatannya yang tulus dan hangat, kata-katanya yang riang, ketenangannya yang tak tergoyahkan dalam situasi apapun. Di dalam dirinya, seperti dalam diri Don Bosco, seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa di bawah panampilan luarnya yang sederhana, sebuah kekuatan menghidupkan seluruh eksistensinya: hidup spiritualnya yang mendalam, jiwanya yang intim dalam doa dan kesatuan dengan Tuhan, “mutiara yang sangat berharga” yang ia simpan terkunci dalam jiwanya. Orang juga tidak menyadari bahwa dibalik penampilanya yang biasa-biasa saja ada jiwa pemberani seorang pemimpin besar yang mempunyai kebijaksanaan seluas dan semaju Don Bosco.

Fr. Bartholomew Fasce, yang selama menjabat sebagai anggota Konsulat Superior General selama 15 tahun, telah bekerja secara dekat dengan Pastor Rinaldi, berkata: “Tidak sedikit orang berpikir bahwa karena panggilannya yang terlambat, Pastor Rinaldi adalah seorang yang kebudayaannya terbatas dan kemampuan intelektualnya hanya rata-rata. Mereka tidak mengenalnya. Pastor Rinaldi adalah salah seorang pemikir yang hebat dalam Kongragasi kita, pemimpin yang berbakat alami yang dapat menjadi seorang politikus hebat seandainya ia memilih karir politik. Penerus terakhir yang mempunyai hubungan dekat dengan sang Pendiri, dia terpanggil untuk memasukkan dalam dirinya semangat Don Bosco, semangat kebapaan dan kekudusannya yang dapat ia tanamkan dalam pikiran anak-anak spiritualnya.”

Pastor Rinaldi merasa bahwa ini adalah misinya – mandat yang ia terima sewaktu ia terpilih untuk memimpin Kongregasi Salesian sebagai penerus Don Bosco yang ketiga. Pada titik inilah, mengejutkan bagi mereka yang hanya mengenalnya dari luar, bukan seorang administrator yang dinamik tetapi pribadi seorang pendoa yang muncul. Hal yang paling penting dalam programnya sebagai sorang Rektor Mayor adalah kemauannya yang keras untuk mengarahkan kembali para Salesian kepada semangat doa dan persatuan dengan Tuhan, yang telah menjadi rahasia kekudusan Don Bosco dan tenaga penggerak di belakang aktivitasnya yang dinamis dan berbuah. Hal ini, ia tahu, lebih daripada hal-hal lain, akan menjamin kelangsungan vitalitas Kongregasi, yang pertumbuhan dan perkembangannya yang fenomenal dapat menimbulkan bahaya besar kepada jiwa dan stabilitasnya.

Kata-katanya sangat patut dikutip: “Kita sebaiknya tidak terlalu kuatir dengan pekerjaan-pekerjaan Don Bosco... Karena bukan dalam hal itu kita melihat wajah asli Pendiri kita yang tercinta. Jika benar begitu, kita hanya melihatnya sebagai manusia pekerja, yang bekerja tanpa henti dan tanpa tujuan... Walaupun tidak kenal lelah dalam aktivitasnya, Don Bosco selalu tenang jiwanya, bersatu dengan Tuhan, tak pernah terlalu disibukkan dengan usaha-usaha dan kesuksesannya. Dia malah lebih memperhatikan pembinaan spiritual anak-anaknya. Kehidupan spiritual mungkin sedikit asing bagi kita, karena sebagai seorang Salesian, kita selalu aktif dan sibuk. Walaupun begitu, inilah satu-satunya hal yang membuat kita seorang religius. Saya menekankan bahwa kita harus merawat kehidupan ini di dalam diri kita, jika kita ingin Yesus Kristus tinggal di dalam diri kita melalui rahmat-Nya.”

Mengacu pada sebuah pikiran St. Paulus dan mengolah kembali kata-katanya, ia berkata: “Bagian dalam pribadi kita harus benar-benar tersembunyi dengan Kristus dalam Tuhan. Sang Rasul mendorong hal ini kepada orang-orang Kristiani yang sederhana. Betapa kata-kata ini harus lebih diaplikasikan lagi untuk kita para religius!”

Dalamnya kehidupan spiritualnya sendiri lebih terlihat dalam surat-surat pribadinya dibanding dalam surat-surat edaran dan pidato-pidatonya. Menarik untuk dicatat adalah pendapat seorang konsultan dari Sacred Congregation of Rites tentang surat-surat Pastor Rinaldi dalam hal pengarahan hidup rohani. “Banyak dari surat-surat itu,” katanya, ”yang dapat dibandingkan dengan tulisan-tulisan terbaik St. Fransiskus dari Sales.”

Kepada seorang superior komunitas para Suster Salesian, dia menulis: ”Beritahu para Suster kita untuk menggerakkan setiap perbuatan mereka dengan hidup interior. Melakukan hal ini berarti mempunyai kesadaran akan keberadaan Tuhan di dalam kita, untuk berpikir tentang Dia, berbicara dengan-Nya, dan mencintai-Nya. Jika saja para Suster kita menjaga dalam dirinya kesadaran akan kehadiran Tuhan, mereka akan hidup di dalam rahmat-Nya dan Yesus Kristus akan menjadi hidup mereka sendiri.”

Untuk seorang religius muda yang selalu merasa tidak puas, ia hanya mempunyai satu nasihat: “Yakinlah bahwa hanya untuk Yesus kita para religius hidup, menderita dan merendahkan diri. Hanya dengan cara ini kau dapat menemukan ketenangan dan kedamaian.”

Seorang religius yang benar untuk Pastor Rinaldi adalah seseorang yang dapat berkata dengan St. Paulus: “Untukku, hidup adalah Kristus...” Untuk menyadari keberadaannya dalam jiwa terdalam seseorang, untuk hidup, bekerja dan menderita dalam kesatuan dengan-Nya adalah bagi Pastor Rinaldi raison de’etre dan tantangan terbesar dalam kehidupan religius. Dia menekankan bahwa ini adalah cara Don Bosco, rahasia kekudusan dan kerasulannya yang sangat berbuah.”

Dilihat dari luar, tak aa yang asetik atau ketat dalam kekudusan Pastor Rinaldi. Seperti Don Bosco, spiritualitasnya sangatlah sakramental dan mempunyai pendekatan realistik terhadap kehidupan. Walaupun ditandai dengan kepercayaan seorang anak kecil kepada Tuhan, hal ini jauh dari sentimental, karena berasal dari komitmen penuh kepada Kristus dan kesiapan untuk berkorban, yang sangatlah bersifat kepahlawanan.

Kata-katanya sendiri menunjukkan hal ini. Pidato ini diperuntukkan pada para calon religius muda. “Saya dapat melihat bahwa kalian telah berjuang melawan segala jenis kesulitan, dan telah menghadapi halangan-halangan serta kekecewaan. Kalian juga telah dihantui oleh keragu-raguan dan godaan... Saya merasa hal itu cukup normal, karena kalian telah berjuang untuk menjaga diri kalian tetap baik dan murni. Beranilah, tujuan kalian telah terlihat! Percayakan diri kalian sepenuhnya kepada Tuhan dan Bunda kita, tetaplah dekat dengan Tuhan kita di Ekaristi. Jika saja kalian belajar untuk menderita dan merendahkan diri untuk Yesus Kristus, kalian pasti akan terus maju dalam kehidupan rohani.”

Percaya kepada Tuhan merupakan dasar bimbingan rohaninya. Seperti St. Fransiskus dari Sales, ia tidak hanya menyarankannya, tetapi juga tahu cara mengkomunikasikannya kepada anak-anak spiritualnya. “Ia memilikinya dalam tingkat tertinggi,” tulis Uskup Agung Evasio Colli, ”kemampuan untuk membawa jiwa-jiwa kepada ketenangan, kedamaian, dan kepercayaan diri.”

Pada akhir sebuah wawancara, seorang suster muda yang telah memberitahu ketakutan dan keraguannya, berkata, ”Saya tidak takut untuk mati di depanmu jika saya bisa yakin bahwa engkau akan ada di sana untuk membantu saya.”

Pastor Rinaldi menjawab sambil tersenyum, ”Jika engkau meninggal sebelum saya, yakinlah bahwa saya akan berada di sana denganmu. Jika saya meninggal lebih dahulu, maka saya akan meminta Tuhan kita untuk membiarkan saya untuk membantu seseorang yang telah Ia percayakan kepadaku.” Kepada religius yang sama, yang tersiksa oleh perasaan dosa yang berlebihan, ia berkata: “Berhentilah kuatir. Jika pada Hari Penghakiman Tuhan bertanya kepadamu, ‘kenapa engkau melakukan hal ini dan itu?’ Engkau tinggal menjawab, “Pastor Rinaldi yang menyuruh saya.’”

Seorang calon religius muda minta maaf kepadanya karena telah membuat dia mengulang-ulang hal yang sama. “Dan kenapa saya tidak mengulangnya lagi jika saya tahu bahwa hal itu dapat menolongmu?” jawabnya. “Tidakkah Tuhan kita juga terus melakukan hal yang sama bagi kita semua? Ia tidak pernah lelah dengan kita, dan terus mengetuk pintu hati kita sampai nafas kita yang terakhir.”

Seorang dapat dengan mudah melihat figur bapa dalam diri pembimbing jiwa-jiwa ini. Jika Pastor Rinaldi mampu menyembunyikan hidup interiornya dalam penampilannya yang biasa-biasa saja sebaliknya, kebaikan kebapaannya, adalah untuk dilihat semua orang. Dalam hal ini, ia juga berusaha untuk menampilkan salah satu karakter Don Bosco – sifat kebapaannya.”

“Pendiri kita,” katanya dsuatu hari, “adalah yang pertama dan terpenting seorang ‘bapa’, seorang bapa dalam arti yang sesungguhnya. Seluruh hidupnya merupakan bukti dari sifat kebapaannya yang berasal dari Bapa kita di Surga. Don Bosco menampilkan sifat kebapaan ini dalam dirinya dan mempraktekkannya dalam tingkat tertinggi, dengan cara yang benar-benar unik, kepada anak-anak muda yang menjadi tanggung jawabnya, kepada semua, dengan pengabdian dan pengorbanan diri yang penuh. Dan anak-anak spiritualnya tidak bisa dibayangkan tanpanya.”

Sangat terlihat bahwa gambaran Don Bosco yang dibawa dalam hati Pastor Rinaldi adalah gambar seorang “bapa”. Saat berurusan dengannya, sifar kebapaannyalah yang selalu mengesankannya. Ia berkata: “Don Bosco adalah benar-benar seorang bapa untuk anak-anak spiritualnya. Ia membuka hatinya kepada kita semua seolah-olah kita semua ini kesayangannya. Ia berbagi dengan kita kesenangan-kesenangan dan kesedihan-kesedihannya, ide-ide dan rencana-rencananya. Kepadanya, kita berpaling; Kepadanya, kita berbicara dengan bebas. Bahkan orang-orang yang mengeluh kepadanya tentang sesuatu (seperti seorang anak biasa melakukan hal ini dengan ayahnya), selalu menemukannya tertarik untuk mendengar, baik hati dan pengertian.”

Seperti Don Bosco, Pastor Rinaldi yakin bahwa apa yang tidak dapat diperoleh lewat cinta kasih, tak layak untuk diperoleh lewat cara lain, dan untuk mengururs jiwa-jiwa, khususnya jiwa-jiwa muda, cinta kasih adalah kuncinya, satu-satunya kunci yang dapat membuka pintu.”

“Bacalah riwayat hidup Pendiri kita,” tulisnya, “dan engkau akan menemukan bahwa cinta kasih adalah akar dari sistem pendidikannya. Ini adalah cinta kasih yang bersumber pada hati Yesus, cinta kasih yang disebut St. Paulus ‘Kasih itu sabar, kasih itu murah hati...’”

Dan lagi: “Kongregasi kita adalah sebuah keluarga, Don Bosco tidak akan menyukai hal lain... Semangat kekeluargaan adalah karakteristik kita yang asli... Sistem pendidikan kita berdasarkan hal ini dengan akal budi, agama dan kasih. Hal ini merupakan satu-satunya sistem yang cocok untuk para Salesian...” Pastor Rinaldi tidak pernah berbicara lebih jelas ketika berbicara tentang hal-hal lain. Hal ini bukan saja disebabkan oleh keyakinannya yang kokoh terhadap ide-ide dan teknik-teknik pengajaran Don Bosco; pemahamannya sendiri atas sifat manusia, yang begitu tanggap terhadap kasih dan kebaikan, memaksa dia untuk menekankan prinsip-prinsip dasar ini setiap saat.

Dalam tugas seorang Superior Salesian, ia menulis: “Intinya ia adalah seorang bapa. Jika seorang Salesian tidak yakin akan hal ini, jika karena temperamen dan karakternya ia tidak bisa bertindak seperti seorang bapa, maka ia tidak seharusnya menjadi seorang rektor. Bukanlah tugas rektor untuk menjadi seorang administrator, atau guru, atau seorang Public Relation. Tugasnya adalah menjadi seorang bapa. Ialah yang menimbulkan suasana kekeluargaan dalam komunitasnya.”

Dalam sketsa seorang Superior Salesian yang digambar oleh Pastor Rinaldi, orang-orang hanya dapat melihat gambar servus servorum Dei, yang dalam semangat pasca konsili, para gembala jiwa-jiwadipanggil untuk mencontohnya. Ia menulis: “Superior Salesian harus mengerti bahwa dirinya tidaklah penting. Ia harus siap menerima siapa saja, siang dan malam. Ia harus siap menerima siapa saja, kapan saja. Komunitasnya, anak-anaknya harus diutamakan. Untuk mereka, ia harus rela meninggalkan kenyamanannya, buku-bukunya, kerja-kerjanya yang lain, bahkan doanya... Di atas segalanya, ia harus bersedia mendengar. Para sama saudara membutuhkan hal ini. Jika mereka tidaklah bebas untuk membicarakan masalah-masalah dengan direktur mereka, mereka akan membicarakannya dengan sesama mereka dengan akibat meningkatnya ketegangan dan ketidakpuasan...”

Dalam sebuah pertemuan para direktur, ia membuat sebuah pernyataan yang mengejutkan: “Yakinlah bahwa jika para sama saudara, khususnya yang muda, tidak menemukan kasih dan pengertian di dalam komunitasnya, mereka akan segera mencarinya di tempat lain.”

Kepada keponakan perempuannya, yang meminta sebuah nasihat darinya, ketika keponakannya itu ditugaskan pertama kali sebagai superior sebuah komunitas para Suster Salesian, ia berkata: “Tugas pertamamu adalah menjaga semangat kekeluargaan dalam komunitasmu. Apakah engkau melihat radiator itu? Radiator itu mengeluarkan panas dan membuat ruangan ini nyaman. Peranmu sebagai superior adalah untuk memancarkan ketenangan, kegembiraan... Semoga Tuhan menolong komunitas Salesian yang dipimpin oleh seorang superior yang tertekan dan berperagai buruk, yang memakai otoritasnya seperti seekor landak menggunakan duri-durinya! Mulai sekarang,” tambahnya sambil tersenyum, “engkau dapat menyimpan sebuah cermin kecil di sakumu. Sesekali lihatlah wajahmu sendiri dan perhatikan apakah wajahmu memancarkan cahaya ke sekitarmu.”

Ia melanjutkan: “Berhati-hatilah untuk tidak mengacu pada peraturan setiap saat, atau lebih parah lagi, menggunakannya seperti cambuk. Seorang Superior Salesian harus memimpin dengan hati, bukan dengan peraturan; hatilah yang membuat kita mencintai peraturan. Inilah yang Don Bosco pikirkan, ajarkan dan lakukan. Jika sebagai seorang superior engkau tidak dapat membuat para Suster mencintaimu, maka engkau berada pada tempat salah dan sebaiknya engkau minta untuk dipindahkan.”

“Kalian adalah ibu bagi para suster,” katanya suatu kali pada sebuah grup superior. “Jangan terlalu melihat kesalahan mereka, yang seringkali disebabkan oleh kondisi kesehatan atau kondisi kerja yang buruk... Kalian harus lebih memastikan bahwa mereka dalam kondisi kesehatan yang baik, tenang dan bahagia. Dengan tetap memperhatikan kepatuhan kepada hukum, ingatlah bahwa huruf-huruf membunuh semangat, dan kasih berada sebelum dan di atas hukum.” Tambahnya lagi: “Berilah hadiah kepada para suster sesekali waktu. Bukankah seorang ibu melakukan hal itu kadang-kadang untuk anak-anaknya, mengejutkan mereka dengan sebuah hadiah atau sesuatu yang istimewa di meja makan?”

Seorang Salesian mengeluh kepadanya bahwa ia terlalu muda untuk menjadi direktur, karena komunitas yang diserahkan kepadanya cukup besar dan beberapa anggotanya jauh lebih tua dibanding dirinya. “Bagaimana saya dapat menjadi superior mereka?” tanyanya.

“Engkau tidak akan pergi kesana sebagai superior, tetapi sebagai seorang teman, seorang kakak, seorang ayah,” jawab Pastor Rinaldi.

Seperti Don Bosco, Pastor Rinaldi bukanlah seorang teoris. Pengarahan yang ia berikan tentang jalan hidup Salesian ditemukan lewat pengalaman dan akal praktisnya sendiri dan tentu lewat pemahamannya atas semangat Don Bosco – sebuah “pemahaman karismatik”. Bahkan beberapa rekan kerja sang Pendiri yang paling awal dan dekat tidak ragu-ragu memastikan bahwa dalam diri penerusnya yang ketiga, St. Joannes Bosco memperoleh seorang penerjemah pikiran dan hatinya yang paling taat.

Konsep dasar dari kehidupan Salesian, seperti yang didefinisikan oelehnya, benar-benar menakjubkan karena kejelasan, ketepatan dan keadilannya.”

Kepada seorang keponakan, ia menulis: “Engkau bertanya kepadaku apa yang harus kau lakukan untuk menjadi seorang Salesian yang sesuai dengan hati Don Bosco. Engkau bisa menjadi seperti itu jika engkau mau mencari Tuhan dalam setiap kegiatanmu, jika engkau tidak malas bekerja, jika engkau bisa menahan diri, riang gembira, toleran terhadap orang lain, baik dan sabar dengan semua orang.”

“Hidup dalam komunitas kita haruslah berjalan hanya dengan roda kasih persaudaraan. Pemaksaan dalam bentuk apapun merupakan hal yang dapat mematikan semangat Salesian.”

“Dalam komunitas kita, kepatuhan haruslah seperti kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya dan juga penuh antipasi, sehingga superior tidak usah sampai memberi perintah. Tetapi dialah yang harus tahu cara memperoleh kepatuhan semacam ini. Dia bis, jika dia benar-benar seorang bapa.”

“Kedisplinan bagi kita bisa dengan sederhana dipahami sebagai cara untuk menjaga hal-hal agar berjalan dengan mulus dalam keluarga yang teratur.”

“Dalam pencarian kita untuk kekudusan, ke dalam hal-hal biasalah kita harus berpaling: tugas-tugas kita, pengorbanan-pengorbanan tersembunyi dalam hidup kita sehari-hari. Marilah kita menghadapi mereka dengan iman yang tenang dan sekaligus gembira, dalam persatuan dengan Yesus Kristus.”

“Kesalehan kita benar-benar kesalehan Salesian jika ia membawa kita kepada Tuhan; jika melalui Sakramen-Sakramen dan liturgi, kita dapat membuat keberadaannya sebagai relitas hidup dalam jiwa kita sampai pada titik dimana kita mencintai, bekerja, dan menderita, jika perlu, dalam persatuan dengan Dia.”

Ini adalah bahasa asli Don Bosco, jika di dalamnya seseorang siap melihat pikiran dan hati Pendiri kita yang tercinta.

Memulai tulisannya pada Keluarga Salesian pada tanggal 26 April 1931, beberapa bulan sebelum kematiannya, Pastor Rinaldi menulis: “Akhir-akhir ini, lebih sering dibandingkan sebelumnya, saya merasa mendengar suara Don Bosco yang mendesak saya, ‘Janganlah menunda lagi, dan janganlah merasa lelah menyampaikan kepada anak-anakku yang sekarang kupercayakan kepadamu, semua yang telah kuajarkan dan kulakukan, supaya mereka dapat menjadi Salesian-Salesian yang sesuai dengan pola yang telah kuterima dari Tuhan.”

Mandat Don Bosco benar-benar dipenuhi oleh Pastor Rinaldi. Di dalam dirinyalah seorang penerjemah sesungguhnya dan seorang teladan yang benar-benar unik.





















18.



Tiket ke Surga


Dari luar, Pastor Rinaldi tidak menunjukkan tanda-tanda menurunnya kesehatannya. Tinggi dan tegap, caranya berjalan stabil walaupun lambat, wajahnya kemerah-merahan dan tenang. Ia menunjukkan gambaran kekuatan fisik dan mental yang menutupi umurnya dan kondisi kesehatannya yang sesungguhnya. Hanya rekan-rekannya yang dekat yang tahu betapa sakitnya superior kita yang tercinta ini. Bulan-bulan terakhir di tahun 1929 membawa ketidakpastian bagi mereka. Kondisi jantungnya yang kritis telah memburuk dengan cepat. Ia menulis pada bulan September: “Lagi-lagi saya diperingatkan oleh jantung saya bahwa saya harus bersiap-siap... Terjadilah kehendak Tuhan...! Mungkin hanya tinggal sebentar lagi waktuku.”

Dokter-dokternya memaksa agar ia beristirahat penuh, namun istirahat yang dipaksakan itu malah semakin membebani pikirannya. Ia memberitahu sekretarisnya: “Tidaklah benar jika Kongregasi kita menurunkan kecepatan gerak majunya karena saya menurunkan kecepatan saya...”

Mendekati Kapitel Umum tahun 1929, ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Kesehatannya yang menurun adalah alasan pertama dari beberapa alasan yang diberikannya atas langkah yang tidak pernah dilakukan sebelumnya ini dalam petisi yang disusunnya untuk Holy See. Tetapi permintaan ini tidak pernah dikirimkan, kemungkinan besar karena tekanan yang besar dari beberapa anggota dewannya. Dalam sebuah catatan kecil yang ditempelkan pada nskah aslinya, ia menulis: “Saya tidak jadi melakukannya. Bagaimana sekarang? Don Bosco Yang Terberkati, Bunda Maria yang terkasih, kalian harus menolongku!”

Melawan peringatan yang berulang-ulang dari para dokternya, ia sering meninggalkan kediamannya yang tenang untuk mengunjungi anak-anak spiritualnya. Ia tidak pernah lebih gembira sewaktu ia dapat mengikuti beberapa perayaan keluarga, terutama dalam rumah-rumah formasi. Di Chieri, setelah menjelaskan tentang kebiasaan religius kepada para novis, ia berkata dengan penuh perasaan kepada mereka tentang Don Bosco. Ia menyimpulkan: “Saya mungkin tidak dapat melihat kalian lagi, anak-anakku. Taatlah kepada panggilanmu sampai akhir hidupmu. Pelajarilah hidup dan semangat Don Bosco, dan saya menjamin bahwa kalian akan dapat melakukan keajaiban bagi jiwa-jiwa.

Beberapa penderitaan lain menambah lagi penderitaan yang telah disebabkan oleh menurunnya kesehatannya dalam bulan-bulan terakhir hidupnya. Pergolakan sipil di Spanyol semakin bertambah parah. Pastor Rinaldi mengetahui dengan baik akibat-akibat yang dapat ditimbulkan sebuah perang sipil bagi Gereja di negara yang sangat disayanginya. Ia hanya dapat mengingat kembali apa yang telah dikatakan oleh Don Bosco kepadanya pada tahun 1887: “Akan ada pergolakan politik yang hebat di Spanyol, banyak darah akan tertumpah, darah Salesian juga.”

Walaupun Pastor Rinaldi meninggal sebelum kata-kata Don Bosco ini menjadi kenyataan, ia masih sempat melihat Spanyol bergelimang darah dan pastor-pastor serta religius-religius yang tidak terhitung banyaknya dibantai, hampir 100 orang dari mereka adalah Salesian. Seperti menambah kegentingan permintaan doa bagi Spanyol yang diminta olehnya, sebuah pesan dari Raja Alfonso XIII sampai kepadanya tanggal 13 April 1931. Raja yang sedang bersedih karena hampir berangkat ke pengasingan itu meminta darinya doa-doa untuk dirinya dan untuk Spanyol.

Salib lain yang tidak disangka-sangka datang pada bulan Juni tahun itu juga. Pemerintah yang beraliran fasis, dikejutkan oleh meningkatnya Gerakan Aksi Katolik yang aktif dan vokal bersuara, mengeluarkan dekrit yang menutup semua klub anak-anak muda Katolik, termasuk Oratori-Oratori Salesian. Pastor Rinaldi mengeluarkan protes keras kepada pemerintah dan pergi ke Roma untuk berdiskusi dengan Paus Pius XI. Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa ia melihat bahwa Bapa Suci juga sangat peduli dan terluka karena situasi ini, tetapi juga berkeinginan kuat untuk mencari jalan keluar dari masalah ini.

Doa dan kehati-hatian” adalah kata-kata panduan yang dibawanya ke Turin. Ia tahu bahwa beberapa Salesian sudah tidak sabar untuk beraksi. Ia memperingatkan mereka bahwa hal itu hanya akan menimbulkan masalah. “Saat ini,” katanya, “kebutuhan Gereja akan lebih terpenuhi jika kita mengurangi bicara dan menambah doa.” Beberapa hari kemudian, sikap pemerintah Mussolini melunak, dan Oratori-Oratori dibuka lagi.

Itu adalah kunjungan terakhir Pastor Rinaldi ke Roma. Kunjungan itu membuatnya sangat lelah, walaupun ia terlihat puas dan gembira. Kehangatan dan keramahan Bapa Suci telah menjadi sumber penghiburan yang besar baginya. Di sana juga, ia sempat hadir pada pemberkatan pertama patung Sang Penyelamat yang terletak di atas lonceng Basilika Hati Kudus. Ia telah sejak lama menantikan dan merencanakan monumen ini, sebuah pemandangan yang indah dari Sang Penyelamat dari perunggu dan emas, tangan-Nya terangkat untuk memberkati gereja pertama Salesian di Roma.

Kembali ke ruangannya yang kecil di Oratori, Pastor Rinaldi menyibukkan dirinya di mejanya, seringkali bekerja sampai larut malam, sejak nafasnya yang memendek dan cegukannya yang tidak berhenti-henti membuat istirahat di tempat tidur suatu hal yang mustahil. Bahkan menulis membuatnya lelah, dan ia disarankan untuk memakai seorang penulis steno atasu seorang tukang ketik. “Para sama saudara akan kehilangan sentuhan pribadi dari surat yang ditulis tangan,” balasnya. “Selama saya bisa, saya memilih untuk mengurus semua surat saya dengan cara ini.”

Perayaan Ulang tahun ordinasinya yang ke 50 segera mendekat, dan pada musim panas tahun 1931, rencana-rencana telah dibuat oleh para anggota dewannya untuk sebuah perayaan yang pantas bagi peristiwa itu. Ulang tahun yang spesial itu akan dibuka tanggal 22 Desember dengan sebuah program yang berisi banyak sekali acara yang tidak hanya dilakukan di rumah induk, tetapi di seluruh komunitas Salesian di dunia.

Dalam surat edarannya kepada para Salesian, Pastor Rinaldi menyentuh topik perayaan ini dengan nada yang menyenangkan namun sambil meramalkan. “Saya kira,” tulisnya, “para anggota dewanku telah berkonsultasi dengan Tuhan tentang hal ini, bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Saya tidak perlu berbicara tentang diri saya sendiri. Saya tidak berpikir bahwahidup saya begitu berharga, dan saya akan berusaha menjalankan tugas saya selama hal ini menyenangkan Tuhan kita yang telah memberi saya kekuatan. Tetapi, menimbang usia saya, Saya mengingat rencana-rencana yang telah dibuat untuk perayaan yang sama beberapa tahun lalu untuk Pendiri kita, yang gagal terlaksana... Untuk Don Rua, perayaan pestanya telah dimulai, namun ia juga dipanggil untuk merayakannya bersama parasanto-santa di Surga. Akan lebih baik jika kita membiarkan Tuhan memutuskan yang terbaik untuk saya, untuk kalian, dan untuk Kongregasi kita yang tercinta.”

Tanggapan untuk perayaan khusus ini benar-benar datang dengan cepat dan antusias dari seluruh dunia. Pesan-pesan dan ucapan selamat datang dari berbagai tempat. Ia sangat tersentuh. “Saya tidak dapat lagi bekerja, tetapi setidaknya saya masih berguna untuk sesuatu,” katanya kepada vicarnya. “Saya dapat menjadi alasan bagi orang lain untuk berdoa...”

Seorang pastor dan seorang bruder telah disiapkan setiap saat untuk menanggapi panggilannya, tetapi ia jarang memanggil mereka dan hanya dalam keadaan yang mendesak. Beberapa buah tombol pemanggil telah diletakkan di dalam jangkauannya, di atas mejanya, dekat tempat tidurnya, dan bahkan di kursi santainya. Ia bercanda tentang hal ini. “Dengan seluruh alarm ini, dan kalian berdua di ruang sebelah, saya akan meninggalkan kalian, berjingkat-jingkat pada saat saya keluar, tanpa membuat suara. Sewaktu tombol ini,” sambil menunjuk ke jantungnya, “putus, saya akan meninggal dengan damai tanpa memikirkan tombol-tombol itu.”

Fr. James Vacca, pastor yang ditugaskan untuknya, mengingat bahwa Superior kita yang baik itu selalu tenang dan gembira, tidak peduli betapa tidak nyamannya dia, yang disebabkan oleh memendeknya nafas serta cegukannya yang mencemaskan. “Kau menderita begitu banyak, Pastor,” katanya suatu hari sambil mencoba membuat Pastor Rinaldi nyaman. “Jika saja saya dapat berbuat sesuatu untuk menolongmu...!” Pastor Rinaldi menjawab: “Kau telah berbuat lebih dari yang diperlukan. Giacomo yang tersayang. Saya berharap saya tidak menjadi beban untukmu... Marilah kita bersama-sama mengingat bahwa harga yang kita bayar untuk tiket kita ke surga tidak pernah terlalu mahal.”

Semua orang yang mendekatinya memperoleh kesan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang berserah total kepada kehendak Tuhan. Seorang laki-laki yang selalu berada dalam persatuan dengan Tuhan. Tidak ada hal lain yang dapat menjelaskan ketenangan yang memancar dari dirinya.

Pada tanggal 5 Desember 1931, ada harapan baru yang muncul karena gejala-gejala penyakit Pastor Rinaldi mulai mereda. Pastor Rinaldi bangun sebelum jam 8 pagi dan mengikuti misa di kapel kecil di sebelah kamarnya. Dokter yang memeriksanya sesudah misa, menemukan bahwa Pastor Rinaldi berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan beberapa minggu ini.

Dalam percakapannya yang singkat dengan Pastor Vacca sesudah pemeriksaan dokter, Superior kita menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Fr. Louis Cartier, seorang Salesian Perancis yang patut dihormati, yang sedang mengunjungi Oratori. Wawancara yang singkat itu membuat Pastor Cartier sangat terharu dan bersyukur, karena dia tidak mengharapkan untuk bertemu dengan Superior yang sedang sakit itu.

Jam setengah sebelas, waktu yang biasanya disediakan untuk kunjungan harian tukang cukur, Pastor Vacca secara perlahan-lahan mengetuk pintu Pastor Rinaldi untuk meminta ijin bagi sang bruder muda. Tidak ada jawaban balasan. Ia masuk dan menemukan sang Superior terduduk di kursi santainya, dengan kepala tertunduk, seperti sedang tertidur. Ia memanggilnya pelan-pelan, mencium tangannya, dan menyadari bahwa Pastor Rinaldi telah meninggal.

Dengan tenang dan diam-diam, seperti enggan untuk menganggu siapapun, penerus Don Bosco yang ketiga telah “pergi diam-diam” menuju keabadian, seperti yang telah diramalkannya.

Penghormatan yang diberikan pada sang Superior yang tercinta selama tiga hari sesudahnya dicatat sebagai sebuah acara yang pantas diingat dalam catatan sejarah Kongregai Salesian. Ucapan-ucapan duka cita datang dari banyak pihak selagi pihak pers mengulas hidup dan pencapaian-pencapaian Pastor Rinaldi. Kota Turin, tempat dimana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai Salesian, dipenuhi masyarakat yang ingin melihat sang Superior diletakkan jenasahnya di sebuah kapel di sebelah Basilika. Lebih dari 100.000 orang turut ambil bagian dalam perarakan pemakaman dan berbaris di sisi jalan kota, pada tanggal 8 Desember, sewaktu jenasahnya diiringi ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Pastor Rinaldi merupakan penerus Don Bosco yang pertama yang tidak diberikan tempat pemakaman yang khusus. Jenasahnya dibaringkan di musoleum milik Salesian di pemakaman Turin, dimana terletak ratusan kuburan para Salesian. Banyak orang yang menyayangkan hal ini, seperti membiarkan ingatan tentangnya musnah. Yang lai kedengaran lebih optimis. “Ia tidak akan berada disana untuk waktu yang lama,” kata mereka. “Seperti Don Bosco, ia akan kembali ke Oratori.”

Pastor Rinaldi memang kembali ke Oratori yang dicintainya. Jenasahnya sekarang beristirahat di ruang bawah tanah Basilika Bunda kita, tepat di bawah altar yang didedikasikan untuk St. Joannes Bosco. Teman-teman dan orang-orang yang berdevosi kepadanya, yang selama bertahun-tahun telah “membuat sebuah jalan” menuju makamnya di pemakaman, sekarang berkumpul untuk berdoa dengan khidmat di sekitar altarnya di dalam Basilika.

Apakah orang-orang yang mengenal Pastor Rinaldi sadar bahwa ia adalah seorang santo? Yang pasti, reaksi pertama atas kematiannya adalah suatu rasa kehilangan yang sangat besar. “Il padre buono” telah pergi! Keluarga Salesian berkabung atas kepergian seorang bapa yang kebaikannya sulit untuk ditandingi, tidak mungkin untuk dilampui. Tetapi diantara mereka yang mengenal dia secara intim, kepercayaan bahwa Pastor Rinaldi adalah seorang santo juga sangat kuat – dan jumlah mereka sangat banyak, terutama diantaranya adalah mereka yang telah menerima kebaikan dari pengarahan spiritualnya atau dari kasihnya yang besar, yang merupakan salah satu cirinya.

Pastor Rinaldi telah berada dalam hati orang-orang ini jauh sebelum Gereja memulai proses beatifikasi dan kanonisasinya. Mereka dengan yakin memohon pertolongannya pada saat-saat sulit, dan mereka menyatakan bahwa mereka tidak pernah dikecewakan. Yang sering terjadi adalah seperti kasus seorang biarawati yang dulu dibimbing olehnya selama beberapa tahun. Ia bersaksi: “Saya memperoleh bukti-bukti yang sangat meyakinkan atas pertolongannya bahwa saya tidak lagi merasa terganggu dan bimbang beberapa saat setelah kematiannya. Keinginanku untuk menghabiskan hidupku untuk Tuhan dikuatkan setiap kali aku berpaling padanya dalam doa.”

Pencurahan rahmat-rahmat spiritual diatribusikan kepada perantaraan sang direktur jiwa-jiwa ini. Tetapi ada juga rahmat-rahmat di alam fisik; beberapa diantaranya benar-benar luar biasa. Salah satunya adalah kesembuhan Sr. Maria Carla De Novi, seorang religius dari Sisters of the Passion. Dr. Carlo Sympa MD, seorang konsultan di Congregation of Rites, menilai kesembuhan Suster De Novi sebagai “mukzizat kelas satu, mukzizat yang sangat hebat.” Tidak ada manusia yang dapat selamat dari luka-luka yang dideritanya sewaktu kereta yang sedang ditumpanginya ditembaki oleh senapan mesin dari pesawat musuh. Lebih jauh lagi, dokter-dokter yang ada disana tidak dapat menjelaskan pertumbuhan tulang dan daging di wajahnya yang rusak berat, sebagian dari wajahnya hancur tertembak. Menurut Dokter Sympa, kesembuhan jenis ini, yang terdiri dari penyembuhan total tulang dan daging, kadang kala terjadi di Lourdes, dan di sana pun hal ini dianggap sebagai luar biasa. Suster Maria Carla saat ini aktif bekerja di Kongregasinya. Satu-satunya bekas yang tertinggal dari pengalaman yang mengerikan dan kesembuhan ajaibnya adalah sebuah bekas luka yang kecil di sisi kanan wajahnya.

Mukzizat ini diikuti oleh banyak rahmat yang diatribusikan kepada perantaraan Pastor Rinaldi. Kesembuhan Suster Maria Carla mendorong Kardinal Maurilio Fossati, Uskup Agung Turin, memulai proses beatifikasi dan kanonisasi tingkat keuskupan. Pemindahan jenasahnya dari pemakaman Turin ke Basilika Maria Penolong Umat Kristiani memberi suatu dorongan baru kepada aura kekudusan yang telah ada pada namanya.

“Saya akan menghabiskan waktu saya di surga untuk berbuat baik di bumi.” Memberi komentar atas kata-kata St. Theresa dari Lisieux dalam sebuah pembicaraan dengan sebuah kelompok kecil calon postulan pada tahun 1925, Pastor Rinaldi berkata-kata dengan sederhana: “Saya juga menginginkan rahmat seperti itu dari Tuhan: untuk berbuat baik selama di bumi dan juga selama di Surga. Tidakkah kalian menginginkannya juga?”

“Engkau telah mengabulkan keinginan hatinya, Oh Tuhan; Engkau tidak menolak permintaan dari bibirnya. Engkau menaruh mahkota dari batu-batu berharga di atas kepalanya.” (Maz 21:3-4)



-- the end --

66