Magone Bab VII

Bab VII

Tantangan


Mickey mencoba menjalani hidup barunya walaupun bukan hal yang mudah untuk beradaptasi pada suatu kehidupan yang telah teratur.

Dibutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pengakuan anak-anak lain. Hal itu dilakukannya dengan keberanian dan kemampuannya di lapangan permainan, tak pernah terlihat lelah atau kehilangan semangat tetapi berjuang hingga titik darah penghabisan. Sesekali; semangatnya menampakkan sisi baik dirinya walaupun secara tak sengaja ia mengucapakan beberapa kata yang mungkin diacuhkan di jalanan Carmagnola tetapi menimbulkan reaksi tidak menyenangkan anak-anak oratory. Mickey bermain dengan sepenuh hati seperti dia menikmati makanannya.

Ketepatannya dalam menggunakan kepalan tangan untuk menyelesaikan perselisihan adalah salah satu kebiasaaannya yang mengganggu ketenteraman bersama. Kebanyakan anak akan menyerah ketika kedua tangannya sudah mulai terayun, tetapi beberapa anak lain yang memiliki keinginan menangani Mickey akan bertahan. Lama dan serunya perkelahian tergantung pada ketepatan waktu prefect tiba di tempat kejadian perkara untuk menghentikan perkelahian.

Mickey tidak pernah tahu bagaimana julukan lamanya,"Sang Jendral" tersebar disekolah, tetapi dengan segera anak - anak oratory memanggilnya "Jendral", sama seperti dia dipanggil dikampung halamannya. Tetapi hal ini adalah tanda kepopulerannya yang makin meningkat karena Mickey baik hati dan penuh pengertian. Dia selalu bersedia membantu selama dia mampu, selalu siap membawa kotak yang berat, memindahkan perabot, atau mencuci piring.

Walaupun ada waktu melakukan kegiatan-kegiatan baru, bagaimanapun juga suatu ketika rutinitas kehidupan yang menjemukan seperti menekan Mickey yang selalu ceria; sehingga sekali-kali dia berpikir kalau dia akan tercekik jika tidak merasa bebas. Perasaan itu muncul terutama selama dan setelah jam belajar sore yang lama. Dia akan mengenang saat-saat menyenangkan dengan gengnya, kebebasan mereka, permainan-permainan, dan lebih-lebih lagi petualangan yang mendebarkan.

Suatu sore setelah membayangkan kesenangan yang biasa dimilikinya, ketika berjalan ke portico dimana anak-anak menunggu bunyi bel makan malam; sebentuk bayangan melangkah dari balik tiang. Ternyata Bruni, anak yang terbukti sering menyebabkan Don Bosco pusing tujuh keliling. Bruni mengenal Mickey karena ia juga berasal dari pinggiran Carmagnola. Sebenarnya itu alasan bagus untuk menjalin persahabatan, tetapi Bruni licik; sifat yang tidak disukai Mickey.

"Mickey," bisik Bruni, "ada waktu sebentar?"

"Ada apa?"

"Oh, tidak apa-apa," kata Bruni. "Aku kira kamu tidak cocok dengan tempat ini; dibandingkan waktu bersama gengmu."

"Aku cukup menyukai oratory,"sahut Mickey. "Tentu saja disini lebih sepi. Tapi itu bukan masalah."

"Wow…..Mickey!" ujar Bruni. "Kamu kalem sekarang. Tidak seperti Mickey yang kukenal!"

"Aku tidak tahu!" jawab Mickey dengan nada penuh ragu - ragu.

"Taruhan! Kamu kehilangan nyali. Taruhan! Kamu takut untuk berpetualang lagi!"

"Aku takut melakukan apa yang kamu lakukan! Kamu……"

Tiba-tiba anak lain muncul dari balik kegelapan. Mickey mengenali Gianone, seorang anak yang tidak lebih baik peringainya daripada Bruni.

"Hei, Gian!" sapa Bruni. "Ini dia sang jendral. Dia bilang dia tidak takut pada apapun sekarang; seperti dia tidak takut pada apapun dulu. Bagaimana kalau kita menantang dia untuk membuktikan nyalinya?"

"Kak Mickeyyyyyy," ujar Gianone dengan pandangan mencemooh,"kamu sudah cium tangan pak guru hari ini?"

Bruni melangkah menengahi mereka. Dia tidak mau terjadi masalah sekarang. Dia mempunyai ide lain. "Taruhan, kamu pasti tidak berani melakukan apa yang kami lakukan," tantangnya.

"Kalau kamu tidak takut melakukannya, aku juga tidak takut!", sergah Mickey.

"Baiklah, jendral. Mari kita lihat. Kamu tahu pohon yang ada didekat jendela dapur? Kamu bisa bergelantungan dipohon itu dan mendarat di ambang jendela? Kamu tidak ada gunanya kalau tidak bisa, soalnya Gianone dan aku sudah melakukannya. Gimana, Gian?"

"Yap, " kata Gian dengan tegas ketika ia menangkap lirikan mata Bruni. "Tentu, dong!"

"Ayo, kesana sekarang !", ucap Mickey.

"Kita tidak bisa melakukannya sekarang," kata Bruni keberatan, " Si koki enggak akan memperbolehkan kita."

"Kalau begitu, kapan?", tanya Mickey.

"Gimana kalau setelah jam tidur malam?"

"Tapi kita tidak dapat pergi dari dormitory!", protes Mickey.

"Lihatlah, Gian! Apa yang kubilang! Katanya tidak takut! Oh, tidak….tidak…. Dia pasti bukan Jendral Mickey!"

Perubahan mimik muka mereka menyulut emosi Mickey. Untuk sesaat berbagai pikiran berkecamuk , tetapi keinginan untuk membuktikan jati dirinya lebih kuat.

"Baiklah …aku akan melakukannya!", ujarnya yang disusul dengan penyesalan setelah kata-kata itu meluncur dari bibirnya.

"Sekarang kemari dulu," ujar Bruni. Dia ingin menjelaskan mengenai hal itu dengan segera kepada Mickey. "Anak-anak sudah tidur dan lampu dimatikan jam setengah sepuluh. Anggap aja rencana kita begini: Pas jam gereja bunyi waktu jam sepuluh, kamu dan Gian pura - pura pergi ke kamar mandi. Terus langsung ke bootroom. Aku tunggu disana. Dari situ kita bisa langsung ke portico. Terus kita tunggu dibawah portico sampai keadaan aman lalu kita terus ke sasaran. Enggak masalah kalau sudah sampai pohon."

Mereka berpencar meninggalkan Mickey yang kebingungan dan kesal. Menurutnya jika ia mengikuti keinginan mereka, dia akan mengkhianati kepercayaan Don Bosco. Sebaliknya dia sudah terlibat cukup dalam dengan rencana itu, sehingga kalau ia mundur maka akan tersebar kabar kalau ia seorang pengecut! Dia tetap bergelut dengan dilema itu hingga jam tidur.

Mickey berbaring gelisah ditempat tidurnya memikirkan persoalan itu berkali-kali. Dia tetap berbaring hingga jam di gereja berdentang sepuluh kali ditengah keheningan malam dengan cahaya bulan purnama menyirami lapangan pertama.

"Ssssss……", desis sesosok tubuh sambil melewatinya di kegelapan. Gianone memberinya tanda untuk mengikuti. Mickey menunggu beberapa detik kemudian bangkit dengan malas-malasan, merapikan pakaiannya dan mengenakan sepatu. Tak terdengar suara apapun di dormitory. Dia berjalan tanpa membuat suara menuju kamar mandi, bebelok kanan dan memasuki bootroom.

Baru saja ia hendak menutup pintu ketika seseorang menarik tangannya. "Lepas sepatumu!", bisik Bruni. Mickey melepas sepatunya seperti yang diperintahkan Bruni.

"Semua siap? Ayo pergi!" Perintah Bruni. Mereka hanya mengenakan kaos kaki panjang selama menuruni tangga. Selama itu Mickey bertanya-tanya telah berapa kali Bruni terlibat dalam petualangan semacam ini. Akhirnya pada anak tangga terakhir, mereka mengenakan sepatu dan menyelinap lewat pintu dan berjalan terburu-buru dibawah portico. Mereka berdiri berhimpitan di sudut yang gelap, menunggu sambil melihat jika ada seseorang disekitar. Hanya terdengar gesekan daun-daun; bergoyang akibat hembusan angin yang mengganggu ketenangan malam. Kecuali cahaya yang terlihat pada jendela-jendela kamar guru, tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di oratory. Bahkan salah satu lampu dimatikan ketika mereka memperhatikannya.

"Cukup aman, Bruni," ujar Gianone. "Ayo"

Mereka melanjutkan perjalanan dengan gaya perkelahian jalanan, satu per satu berlarian dari sisi ke sisi lainnya hingga akhirnya berjongkok di kaki pohon elm raksasa; begitu besarnya hingga ranting-rantingnya menaungi lapangan bermain. Karena merasa cukup aman mereka beristirahat sebentar untuk mengumpulkan tenaga.

Bruni memecahkan kesunyian. "Gianone, kamu tinggal dibawah sini dan awasi keadaan. Mickey, kamu terus ke pohon , aku ikut dibelakang."

Bruni membantu Mickey menaiki cabang-cabang pertama dan sisanya sangat mudah karena pohon besar itu memiliki cabang-cabang yang menjuntai berdekatan. Pohon yang menaungi dapur sedikit lebih susah tetapi mereka segera berayun-ayun kearah pohon itu dan dalam beberapa menit menduduki cabang teratas pohon itu sambil mengawasi keadaan sekitar. Bintang gemintang berkelipan diantara dedaunan yang bergoyang-goyang oleh angin. Bebunyian kesibukan jalan raya di kejauhan terdengar lemah menyebabkan keheningan bertambah mencekam.

Setelah beberapa menit beristirahat, Mickey berbisik: "Sekarang atau tidak sama sekali!" Mickey telah menentukan bagian cabang yang bisa direngkuhnya, juga memperkirakan berapa kali dia harus berayun diantara jendela dan pohon untuk mendarat tepat diambang jendela yang sempit. Untungnya bagian atas jendela terbuka seperti biasa.

Mickey melangkah sepanjang dahan pohon sambil berpegangan pada dahan diatasnya. Begitu mencapai ujung dahan pohon yang tertekuk oleh berat badannya, Mickey duduk dengan kedua kakinya berjuntaian diudara, kemudian mengangkat salah satu kakinya sambil menggeser badannya sehingga seluruh tubuhnya bergantungan diudara pada kedua tangannya. Tibalah saat yang paling menegangkan. Kedua kakinya digoyangkan kedepan belakang hingga tubuhnya berayun-ayun seperti pendulum. Ketika hampir mencapai batas kekuatannya, Mickey menggertakkan gigi, dan mengayunkan tubuh untuk terakhir kali dan melepaskan pegangannya.

Suatu perasaan melayang melewati jarak berpuluh-puluh mil yang mencekam dirinya. Kaki dan tangan kanannya bersamaan bertumbukan dengan jendela. Dimasukkannya lengan ke celah diatas jendela dan merengkuhnya dengan kuat. Mickey sangat beruntung, kalau tidak ia pasti terjatuh meluncur kebawah. Kakinya nyaris menyentuh ambang jendela sehingga ia tergelincir, menyebabkannya dengan panik menendang-nendang tembok mencari pijakan. Jantungnya berdebar keras ketika ia menyadari bahaya yang mungkin terjadi. Tetapi, sementara itu ia berhasil memasukkan lengan kirinya melampaui jendela dan mulai menstabilkan posisinya untuk mengangkat kedua kakinya. Selanjutnya ia meletakkan lutut kanannya pada ambang jendela dan mulai mengangkat badannya. Kedua kakinya dengan mantap menginjak ambang jendela dan kedua tangannya menjangkau kusen jendela; dia berdiri tenang hingga jantungnya berhenti berdebar dan pernafasannya berjalan normal.

Bruni menatap seluruh kejadian itu dengan mata melotot. Dia telah memperkirakan, jika Mickey benar-benar jatuh seseorang harus menolongnya. Tapi bukan aku, karena dia, Bruni, akan lari kembali ke dormitory dan membiarkan segalanya berlalu. Sekarang karena Mickey telah selamat, ia bebas untuk melanjutkan rencana yang selama ini dirancangnya meskipun ia tidak berani mengungkapkannya pada Mickey.

Mickey harus melewati gudang, menuruni tangga, membuka pintu, dan kembali ke dormitory. Begitu pintu gudang terbuka, Bruni telah memiliki rencana lain. Setelah Mickey telah keluar, dia dan Gianone akan menduduki gudang dan melakukan lebih daripada sekedar memeriksa barang-barang yang tersimpan disana.

"Wow, Mickey", ucapnya. "Hebat, benar-benar hebat. Bagaimana rasanya? Ngeri, nggak?"Mickey mencibir mendengar kata-katanya.

"Sekarang, kamu harus merangkak masuk dan turun ke hall; terus keluar dari situ lewat pintu. Jangan berisik, atau ada orang yang mendengarmu," lanjutnya.

Mickey menarik daun jendela bagian dalam yang dilanjutkannya dengan bagian luar dan mendengarnya menghantam kusennya.

Bruni mengerak-gerakkan tangannya dengan bergairah seolah-olah membantu Mickay menangani jendela itu.

"Sekarang cari Mickey dipintu," gumamnya, "Dan lihat apa yang……?"

Bruni terdiam. Apa itu? Seseorang datang dari arah gereja dan membawa lampu! Mereka akan tertangkap basah jika mereka tetap diam disini.

"Ssst….Mickey," bisiknya. "Cepat pergi! Kita ketahuan."

Keadaan sebenarnya tidak terlalu gawat. Gianone juga telah melihat kemunculan sipengganggu dan tanpa repot-repot berhenti memperingatkan teman-temannya karena membahayakan dirinya, menyelinap pergi dikegelapan. Bruni sempat menuruni pohon dan mengikuti Gianone. Saat mereka bertemu, sebelum mencapai tangga, ditamparnya telinga Gianone. Begitu kerasnya hingga selalu berdenging; lama setelah kejadian itu.

Mickey sangat kebingungan. Pada mulanya dia memperkirakan mampu merayap masuk ruangan sebelum orang itu mencapai gedung. Dia bisa tinggal disana hingga bahaya berlalu. Tetapi ia harus melupakan rencananya karena memerlukan waktu yang cukup lama dan segala macam keributan yang terjadi akan menarik perhatian. Rencana keduanya adalah tetap diam tak bergerak, berusaha tak membuat bunyi-bunyian; berdiri tenang diambang jendela sambil berpegangan pada bingkainya, berharap orang dibawah tidak memperhatikan dan lewat begitu saja. Cahaya itu makin mendekat. Mickey menahan nafas, khawatir orang itu mendengar debaran jantungnya.

Strateginya telihat berhasil karena orang itu tidak menyadari adanya sesuatu yang tidak wajar dan telah berlalu.……..

Blam!

Bingkai terluar jendela terlepas dari genggamannya dan menghantam dasar kusen.

Dengan ketakutan Mickey menatap cahaya yang berhenti berayun yang kemudian perlahan-lahan diarahkan menjelajah tembok dari jendela ke jendela hingga menyinari dirinya yang sedang meringkuk pada ambang jendela. Tanpa ampun cahaya itu terarah padanya hingga ia sadar tak ada gunanya mencoba menghindari masalah dan memutuskan turun. Diraihnnya pipa talang air dan menjejakkan kaki pada salah satu dudukannya. Beberapa saat kemudian dia sampai ditanah dan membalikkan badan untuk menghadapi penangkapnya.

"Mickey Magone!"

Mickey terlompat seolah-olah ia tersambar petir dan mendongakkan kepala.

"Don Bosco!"

Don Bosco menatap Mickey! Kristus menatap Petrus; dan bagi Mickey waktu seolah-olah berhenti untuk selama-lamanya. Dikejauhan terdengar anjing melolong; dan pohon-pohon berbisik disela-sela hembusan angin.

"Mickey! Apa yang membuatmu memanjat tembok itu?" ujar Don Bosco akhirnya. Nada suaranya hampir berbisik tidak menunjukkan kemarahan atau kejengkelan, hanya sedikit terkejut.

Mickey hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk, begitu kecewa seolah-olah seluruh seluruh perbuatannya terbayang hingga ia merasa pusing. Bahkan ia merasa tidak mungkin bicara walaupun ia ingin.

"Lebih baik kamu segera kembali ke tempat tidur ," kata Don Bosco, "Kamu bisa kena flu. Aku akan memanggilmu besok dan mendengarkan seluruh ceritamu tentang kejadian ini. Jika ada prefect yang tanya, bilang saja kamu bersama aku."

Mickey mengangguk dengan kaku dan berlalu. Mata sang Pastor mengikutinya sementara hatinya dilanda oleh kekecewaan yang sangat besar.

Mickey kembali ke dormitory dengan linglung. Walaupun dia tidak dapat memikirkan dengan jelas kejadian beberapa menit yang lalu, dia sadar kekacauan yang ditimbulkannya. Semua kehidupan barunya seperti runtuh menimpa dan pikiran mengenai kerugian yang diderita membuatnya linglung. Perubahan dari pola hidup yang dijalaninya terlalu mendadak untuk diterima olehnya dan goncangan itu membuat bingung.

Mickey hanya duduk dipinggir ranjang dan merenung ketika sampai di dormitory. Perlahan tapi pasti sebuah ide merasuki pikirannya yang kacau-balau. Malam ini telah dilihatnya seluruh harapannya berantakan, kemungkinan hilangnya kebahagiaan yang baru saja dicicipinya, juga rasa aman yang suatu saat menyelimutinya selembut angin musim panas. Juga musnahlah impiannya akan segala sesuatu yang akan terjadi. Tidak ada gunanya lagi untuk tetap tinggal di oratory. Lagipula, dia tahu tidak akan sanggup berhadapan dengan Don Bosco besok pagi. Hanya ada satu jalan keluar dan diputuskannya untuk untuk mengambilnya saat itu juga.

Diambilnya beberapa pakaian dari lemarinya dan membuatnya menjadi sebuah bugnkusan. Diambilnya sepatunya yang bagus dan disandangnya di lengannya. Mickey berjalan merapat tembok dengan hanya berkaos kaki panjang hingga sampai disisi lain pintu, dengan cepat ia menyeberang dan segera berjalan menuruni tangga tanpa bersuara. Dia duduk mengenakan mengenakan sepatunya di anak tangga paling bawah. Menurutnya cara terbaik meninggalkan oratory dan ia memutuskan untuk memanjat tembok seberang gereja, tembok yang paling rendah di oratory dan memiliki banyak tempat berpijak.

Tiba-tiba untuk kedua kalinya untuk malam itu, Mickey merasa tegang. Pintu terbuka perlahan diiringi Don Bosco yang memasuki hall.

Sesaat menyadari situasi ini, Don Bosco tidak terkejut. Ia malah menatap Mickey sambil tersenyum.

"Kenapa kamu mau pergi seperti ini, Jendral Mickey?" hanya itu yang dikatakannya.

"Kamu mau meninggalkan Don Bosco tanpa mengucapkan selamat tinggal?"

Mickey bergeser dengan gelisah di anak tangga yang dingin. Ia tidak dapat menjawab dan hanya menatap tanah.

"Sekarang kamu tahu, Don Bosco enggak mungkin menyakitimu. Renungkan rasa sakit yang akan kamu rasakan, ibumu dan aku sendiri jika kamu minggat. Jika kamu ingin pergi, pergilah. Tapi, kenapa enggak tunggu sampai pagi? Aku janji nggak ada yang akan menghalangimu. Apa itu enggak lebih baik?"

"O.K, Don Bosco, besok pagi.", desisnya.

Mickey membungkuk memungut bundelannya, tetapi Don Bosco sudah lebih dahulu mengambilkannya. Mereka menaiki tangga bersama-sama menuju dormitory. Tak sepatah kata terucap hingga Don Bosco meletakkan bundelan itu disebelah tempat tidur Mickey. Kemudian Don Bosco berbalik meninggalkan Mickey, "Selamat malam, Mickey," ujarnya, "Tuhan memberkatimu."

"Malam……Don Bosco," jawab Mickey, nyaris tak terdengar.


"Aku memanggilmu, Mickey. Karena menurutku sebelum pergi, kamu mungkin mau ceritakan kejadian semalam. Dengan kata-katamu sendiri." Don Bosco menatap Mickey yang duduk dikursi dekat meja kerjanya, tapi tak ada tanda-tanda adanya tanggapan oleh Mickey. Dia hanya menunduk menatap lantai.

"Bagaimana bisa terjadi. Kamu kan tahu kalau dilarang meninggalkan dormitory larut malam?"

Tetap tak ada jawaban.

Don Bosco tidak terlihat marah atau kesal karena keheningan itu. Menurutnya gerakan tutup mulut itu disebabkan oleh penderitaan tak terucap daripada karena pembangkangan. Saat-saat seperti ini kesalahan kecil saja mampu menyakiti perasaan salah seorang anaknya. Don Bosco seolah-olah tidak memperhatikan gerakan tutup mulut Mickey dan terus saja bicara, berharap suatu ketika ia berhasil membuka hati Mickey.

"Apa menurutmu, Don Bosco pernah tidak memperhatikan kebutuhanmu? Sehingga kamu menyakiti perasaannya seperti ini? Mencoba mencuri?"

Pada saat itu Mickey menegakkan seluruh badannya. Dengan memandang Don Bosco, dia bangkit dari kursinya.

"Aku tidak mencuri dari Don Bosco!" Teriaknya. "Aku tidak mencuri. Aku tidak akan mencuri dari anda………."

Kemudian ia perlahan-lahan duduk kembali. Matanya dipenuhi perasaan yang ditahannya. Don Bosco sangat lega karenanya. Reaksi Mickey meyakinkannya kalau ia sudah menang. Tetapi ia harus tetap hati-hati.

"Mickey Magone," katanya dengan lembut sambil menatap anak lelaki yang saat ini sedang menatapnya, "Jika kamu tahu bagaimana bahagianya aku mendengar kata-katamu. Aku percaya kamu. Sangat percaya. Tapi tolong ceritakan semuanya tentang kejadian tadi malam. Kamu akan lega karenanya. Tapi, Mickey, tentu saja, jika menurutmu aku tidak usah tahu mengenai masalah ini, tidak mengapa." Dimainkannya kartu trufnya. "Jika mau, kamu bisa meninggalkan ruangan ini sekarang juga. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Aku tidak ingin menghukum atau menyakitimu. Paling sedikit kamu harus tahu itu, saat ini."

Keheningan sesaat sehingga pergolakan batin Mickey hampir bisa terdengar.

"Tidak," ujar Mickey akhirnya,"Saya tidak mau seperti itu. Lebih baik saya ceritakan semuanya. Saya siap menerima hukumannya. Saya siap meninggalkan oratory jika anda tidak menginginkan saya lagi. "

Diceritakannya kejadian semalam, tak ada yang disembunyikannya kecuali nama kedua anak yang bersamanya. Don Bosco tidak mengorek keterangan tentang mereka, sebaliknya ia mendengarkan dengan tenang dan bersyukur kepada Tuhan karena memperkenankannya membuka isi hati pemuda yang menderita itu. Beban yang cukup berat serasa diangkat darinya ketika ia mengetahui latar belakang perbuatan anak itu dan mengetahui dari tatapan matanya kalau seluruh kejadian tadi malam hanya dianggapnya sebagai tantangan yang tak dapat ditolak. Tentu saja kejadian tadi malam sangat melanggar peraturan, tetapi disiplin tidak dapat dipaksakan kepada seseorang seperti mengenakan tali kekang pada kuda. Disiplin harus berkembang sedikit demi sedikit dari lubuk hati yang terdalam.

Mickey terdiam lagi ketika ia telah menyelesaikan ceritanya.

"Baiklah, Mickey," ujar Don Bosco. "Menurutku kita lebih baik melihat sisi terburuk seluruh kejadian ini. Ada anak yang menantangmu menguji nyalimu dan kamu merasa kamu harus menerimanya. Kamu meninggalkan dormitory tanpa ijin tadi malam - itu pelanggaran berat, kau tahu? - kemudian kamu memanjat pohon dan mempertaruhkan jiwamu dengan melompat ke ambang jendela. Itu juga hal serius lainnya, karena……, " Don Bosco tersenyum, "kamu bisa membunuh salah satu anakku yang paling baik."

Mickey tersedak dan merasa tidak nyaman dikursinya.

"Jadi, meskipun kamu bukanlah anak nakal, tetapi kamu pasti anak bodoh. Untungnya, kamu tidak apa-apa. Tak ada yang terluka; karena hanya aku yang melihatnya, kamu tidak memberikan contoh yang buruk bagi yang lain. Aku tidak mengerti mengapa kamu menerima tantangan itu. Kita tidak harus menerima tantangan setiap orang!" Don Bosco terdiam untuk menarik nafas. "Ambillah pelajaran dari kejadian ini, Mickey, jangan berbuat bodoh seperti itu lagi karena disuruh orang atau suatu imbalan. Bagaimana menurutmu?"

Mickey tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Diam-diam ia mengangguk. Walaupun ia lega karena situasi suasana tidak tegang lagi, dia tetap merasa malu untuk bicara. Lagipula ia harus menghadapi akibat perbuatannya dan ia tidak mau Don Bosco menganggap perkataannya sebagai usaha bela diri untuk mendapatkan pengampunan.

"Tentu saja," lanjut Don Bosco,"seperti yang kulihat, bagian terbodoh seluruh kejadian ini adalah mencoba lari dari kenyataan tanpa berpamitan kepada Don Bosco tua yang malang ini."

"Oh, bapa!" protes Mickey. "Saya sangat malu dan bingung, saya tidak tahan bertemu anda lagi. Lagipula saya kira anda tidak mau bertemu dengan saya lagi. Jadi saya hanya bisa pergi meninggalkan oratory."

"Meninggalkan oratory? Kemana?"

"Oh, hanya………pergi. " Mickey mengusap tangannya dengan ragu-ragu.

"Mickey yang malang." Ujar Don Bosco.

Mickey mulai merasa kehangatan dan keramahan Don Bosco. Ia tak habis pikir mengapa ia melakukan perbuatan itu. Tunggu sampai ia bertemu Bruni, akan kubunuh dia.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Don Bosco.

"Lebih baik."

"Masih ingin meninggalkan oratory?"

"Baik, saya……., saya," ucapnya tergagap, "Sesungguhnya saya tidak benar-benar mau pergi. Saya mengira anda tidak menginginkan saya lagi."

"Jika aku berkata aku ingin kamu tetap tinggal disini! Apakah kamu akan tetap pergi?"

"Jika….jika menurut anda saya masih bisa jadi anak yang baik!"

"Kalau begitu kita berdua tidak pergi kemana-mana," ujar sang pastor. "Tapi kali ini kamu harus jadi anak yang baik."

"Aku tidak ingin mengecewakan anda lagi," ujar Mickey dengan sungguh-sungguh. "Maksudku….aku akan mencoba menjadi baik."

" Baik! Kamu harus kerja keras, Mickey." Dengan serius, Don Bosco berkata:

" Kamu harus kerja keras."

Percakapan Mickey dan Don Bosco pada sore hari itu tak hanya sampai situ saja. Setelah makan malam Bruni menemui Mickey disudut lapangan bermain.

"Hai, Mickey! Wow! Aku senang kamu masih hidup!" sambut Bruni. "Apa yang terjadi setelah kami tinggalkan kamu? Seharian aku kebingungan mencari kabar kejadian semalam, tapi aku terlalu takut tanya-tanya karena mereka bisa mengira aku ikut terlibat. Ketika tidak ada kejadian apapun padaku hari ini, aku tahu kalau kamu tidak ngadu. Kami menyelinap kekelas dan naik ke dormitory. Bagaimana dengan kamu? Apa yang kamu lakukan?"

Wajah Mickey terlihat cemberut.

"Oh, baiklah!" ujar Bruni,"Kalau kamu tidak ingin membicarakannya….Aku kira aku juga tidak akan membicarakannya juga!" Dia melanjutkan monologuenya, "Mickey, aku menemukan cara yang lebih mudah untuk masuk ke gudang. Gimana kalau keadaan sudah tenang, kita mencobanya lagi."

Karena Mickey tak menjawab, dia meneruskan omongannya."Oh, ya. Kamu tidak usah melakukan bagian yang berbahaya kali ini. Aku akan melakukannya. Kamu ikut, kan?"

Jawaban Mickey berupa sebuah tinju kewajah Bruni yang sangat mengejutkannya dan membuatnya terhuyung-huyunng. Mickey mengejarnya dan memukulnya lagi, dan sekali lagi, dan lagi. Bruni terlutut, dan terduduk, mengusap-usap wajahnya.

Nafas Mickey terengah-engah begitu ia berdiri diatas tubuh yang terduduk ditanah. Diangkatnya kaki untuk menendang tulang rusuk Bruni………tetapi dibatalkannya. Bruni sangat beruntung karena mereka berada di oratory! Di Carmagnola urasannya akan lain, Bruni akan ditinggalkannya dengan keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak akan berani menipunya atau orang lain. Tanpa sepatah katapun ia berbalik dan meninggalkan bruni, si pengkhianat yang ketakutan sambil memegang rahang dan menatapnya.


48