Magone Bab XI

BAB XI

SANG PEJUANG


"Jadi kau mau maju selangkah lagi? Ingin menjadi lebih baik dan bekerja lebih banyak? Kau ingin melakukan perbaikan atas apa yang telah kau lakukan dimasa lalu? Apa aku benar?"

Don Bosco menatap dagu lembut dan mata Mickey yang bercahaya. Retret sudah usai dan niat pertama Mickey adalah membersihkan masa lalunya.

"Itulah yang ingin saya lakukan", katanya, "Saya sudah memutuskan untuk melangkah lebih jauh dan saya kira saya harus menanyakan pendapat anda."

"Teruskan," sang pastor memberi semangat.

"Saya telah membaca tentang para ksatria zaman dulu yang memilih wanita cantik sebagai permaisuri mereka. Beberapa dari mereka bahkan melangkah lebih jauh dengan memilih Bunda Maria sebagai ratu mereka. Itulah yang ingin saya lakukan, saya ingin menjadi ksatria bagi Bunda kita untuk membawa panji-panjinya dan melakukan hal-hal hebat dalam namanya “.

"Hebat!" kata Don Bosco.

"Selain itu," ujar Mickey mulai serius, "dengan merenungkan kembali kehidupan yang pernah saya alami bersama teman-teman di Carmagnola, saya ingin membuat ... er…. anda tahu, pastor, perbaikan yang anda bicarakan dalam kotbah anda".

"Apa yang sebenarnya rencanamu, Mickey?" tanya Don Bosco.

"Saya ingin mengucapkan kaul kemurnian untuk menghormati Bunda kita".

Don Bosco mengerahkan segala daya upaya untuk menunjukkan seolah-olah ia tak terkejut. Tapi dia benar-benar tak mengharapkan muridnya ini berbuat untuk sampai sejauh ini. Mickey seharusnya melakukan semuanya dengan penuh kesabaran saat ini dan ia harus menjaga semangat Mickey agar tetap dalam batas yang wajar.

"Kau tahu, Mickey," katanya setelah diam sejenak, "idemu itu bagus. Kamu ingin tahu pendapatku ?"

"Tentu, Don Bosco," sahut Mickey. "itulah sebabnya mengapa saya menemui aanda."

"Sejujurnya, menurutku," kata sang pastor, "kamu seharusnya menunggu beberapa lama lagi. Lagipula kamu masih terlalu muda untuk berkaul. Untuk saat ini aku menyarankan untuk membuat janji yang sederhana sebagai penggantinya. Hal ini tidak akan mengurangi kegembiraan Bunda kita. Sesungguhnya ia dengan senang hati akan melantik ksatrianya - seperti para ksatria jaman dulu - ketika tiba saatnya berjanji untuk setia dan melayaninya. Tapi janganlah memandang enteng janjimu itu. Lakukan dengan serius atau tidak sama sekali, dan peganglah dengan teguh begitu kau membuatnya. Hal ini menuntut pengorbanan yang sangat besar, tapi itu tak menjadi masalah. Bahkan upahmu didunia ini, dalam kedamaian pikiran dan kesucian hati, akan terbayar atas semua pengorbananmu."


"He, Mickey! Bantu kami mengangkat dengan kotak ini."

"Ok. Tiap orang pegang tiap ujung. Pada hitungan ketiga, semua mengangkat. Satu-dua-tiga! Angkat!"

"Mickey, kau hebat!" seru ketiga bocah. Ketiganya lebih kecil daripada kotak yang mereka coba angkat. Mickey memberi salam dan berjalan lagi.

"Ada apa, Beans?" tanyanya kepada seorang bocah kecil lain yang duduk sendirian di tangga asrama.

"Kancing-kancingku putus."

"Oh,ya?" ujar Mickey. "Mana yang robek?"

"Celana," jawab Beans. "Jadi aku tak bisa berdiri."

"Jahit saja lagi," saran Mickey.

"Tak bisa."

"Kenapa?"

"Robek di belakang."

"Ganti celanamu, terus jahit kancing-kancing celanamu itu."

"Tak bisa. Aku basah - maksudku, yang lainnya sedang dicuci."

"Oh, baiklah. Aku akan ambil jarum dan benang dulu."

Beans sama sekali belum bergerak ketika Mickey kembali. Dia berlutut di belakang bocah itu dan mulai menjahit.

"Itulah," katanya pada akhirnya, lututnya bergetar ketika ia berdiri. "Sudah rapi sekarang."

"Terima kasih, Mickey," ujar sang bocah sambil menatapnya dengan bola matanya yang besar dan terlihat sedih. "Terima kasih banyak."


"Oh, Mickey!" terdengar suara memanggilnya ketika lewat di bawah jendela kelas. Suara sang guru yang bertanggung jawab atas panggung. "Bisakah kau membantu kami malam ini. Beberapa perlengkapan panggung terlalu berat untuk diangkat anak-anak."

"Tentu, Pak. Dengan senang hati”

"Dan bagaimana dengan peranmu? Sudah hafal?"

"Hanya bila aku melihat naskahnya, Pak !” kata Mickey sambil tertawa.


Antonio adalah salah satu bocah terkecil di Oratory. Anak itu diabaikan oleh orang tuanya dan ditemukan para suster. Don Bosco menerimanya di Oratory karena Antonio terus-menerus tumbuh bertambah besar. Dia tak dapat melakukan hal apapun untuk dirinya sendiri, kecuali di meja makan akibat terlalu dimanjakan oleh suster-suster. Ia selalu makan seperti orang kelaparan.

Dengan tangannya terbungkus dalam lengan baju di suatu pagi yang dingin, ia berdiri di aula sambil menghentak-hentakan kaki di lantai.

Mickey masuk keaula dari lapangan bermain dan mendorong pintu dengan begitu kuat sehingga hampir membuat Antonio terjatuh. "Ohh……." teriaknya sambil mencoba memperbaiki keseimbangannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa ia kembali berusaha menghangatkan diri.

Mickey sudah berada di tengah tangga sambil menggosok-gosokkan sarung tangannya ketika ia melihat tubuh kecil Antonio yang membungkuk. Dia berhenti dan memanggilnya "Hey, Tony! Tanganmu kenapa?"

"Kedinginan, Mickey," jawabnya sambil meletakkan ujung-ujung jari didepan bibir dan meniup-niupnya. Dia tampak begitu mengibakan sehingga Mickey turun lagi.

"Sakit?"

Antonio hanya perlahan-lahan mengangguk sambil meletakkan jari-jari didepan mulutnya.

Mickey memegang tangan Antonio yang kecil dan mulai memijitnya. Kepala Antonio mengangguk-angguk dan senyumnya melebar seiring dengan tangannya yang makin terasa hangat. Ditekuknya jari-jarinya ketika sudah merasa cukup hangat. Dan berhasil. Ia memandang dengan Mickey penuh penghargaan. "Terima kasih, Mickey."

"Sudah baikan?" tanya Mickey.

Antonio meletakkan tangannya di pipi dan tersenyum kepada Mickey.

"Apa yang kau lakukan kalau tanganmu kedinginan lagi?"

"Tidak tahu, Mickey."

"Kamu enggak punya sarung tangan?"

"Tidak, aku tidak punya."

Mickey mencopot sarung tangannya dan memberikannya ke Antonio setelah memandangnya sebentar. "Ini, ambillah Tony. Kamu lebih butuh daripada aku."

Mickey selalu menyelesaikan pekarjaannya dengan baik, tak pernah tanggung-tanggung. Ia pergi ke ruang belajar dan duduk di kursi Antonio. Antonio berdiri di sampingnya sambil berganti-gantian memegangi pipi dan hidungnya dengan telapak tangan. Sambil berdiam diri ia memperhatikan Mickey menyalinkan pelajarannya hari itu, tugas yang tak mungkin dilakukannya dengan jari-jari yang kaku kedinginan.

Mickey sepertinya tak begitu memperdulikan udara dingin. Ucapan terima kasih di mata kecil Antonio membuatnya hangat.


Keinginan Mickey untuk membantu sesama telah mendorongnya mencari kesempatan-kesempatan sederhana semacam itu untuk melayani.

Dia telah kembali ceria seperti dulu. Dalam semua tindakan yang dilakukannya ia menemukan makna lebih penting yang tersembunyi di lubuk hatinya karena dia tak melakukannya untuk dirinya sendiri tetapi untuk sang Ratu.

Di infirmary ia menemukan banyak kesempatan untuk melayani, dia bisa membantu membawakan makanan atau obat, bersih-bersih, dan membalut luka. Pada saat menyajikan makanan, baik berupa semangkuk sup ataupun sebuah menu makanan yang lengkap, "sense" humor dan kecerdasannya bagaikan obat penawar yang ampuh. Komentar-komentarnya membuat mereka tertawa, dan seringkali menghibur pasien yang "kecewa" karena telah sembuh sampai kemudian sebuah mangkok kecil disajikan lagi di depannya.

"Aperitivo anda, Signore, sebelum makan malam." kata Mickey sambil memberikan makanan berupa semangkuk kecil sup kepada seorang bocah.

"Ayam panggang, Frankie," dan Mickey memotong roti bakar di depan Frankie.

Mickey selalu terdaftar sebagai sukarelawan untuk menemani anak yang sakit dan mereka senang bersamanya karena tahu bahwa ia bagaikan seorang kakak lelaki yang akan melakukan apapun untuk meringankan penderitaan mereka. Dia meninggallkan posisinya sebagai pemimpin anak-anak di kampungnya untuk memimpin sekelompok anak yang lebih banyak lagi di Oratory.

Sedikit demi sedikit Don Bosco mulai menanamkan tanggung jawab akan kesejahteraan anak-anak lainnya karena menyadari bakat kepemimpinan Mickey. Jika ada anak yang tak bisa diatur ataupun membuatnya cemas, dia juga akan mengeluh kepada Mickey. Dan iapun mengajukan diri untuk menyelesaikan masalah itu sehingga Don Bosco terlihat merasa lega. Walaupun tak selalu menjelaskan metode yang dipakainya, Mickey akan memegang janjinya tanpa perkecualian. Don Bosco akan tersenyum dan berterima kasih dan Mickey meninggalkan ruangan dengan hati berbunga-bunga.

Don Bosco memutuskan Mickey untuk menemani bocah-bocah yang tiap tahun pergi berlibur dengannya, ke Becchi di mana kakak Don Bosco telah menyiapkan rumahnya untuk liburan. Sebagai hadiah karena ia tetap tinggal di Oratory selama liburan panjang dan diangkat menjadi salah satu pemimpin kelompok.

Mickey mulai menyiapkan barang-barang yang dibutuhkannya pada malam hari sebelum pergi. Salah satu barang terpenting adalah sepatu bot berat pemberian Don Bosco. Lalu ia mengintip di laci paling bawah lemari untuk mencari kaus kaki coklatnya yang tebal. Pada saat ia menariknya dari bawah tumpukan baju, sebuah benda panjang berkilauan tertarik dan jatuh berdenting ke lantai. Sebuah pisau.

Mickey memungut dan memegangnya. Dia menekan picu dengan ibu jarinya tetapi mata pisau itu tak keluar. Sudah tertahan oleh karat. Dia heran bagaimana bisa melupakan pisau itu begitu lama. Pisau itu bisa dimanfaatkan untuk memotong kayu tetapi dia tak punya waktu untuk membersihkannya sekarang. Pisau itu tak membuat suara ketika dilemparkannya kembali ketumpukan baju di bagian bawah laci.

Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Mereka menuju luar kota dan segera melintasi jalanan pedesaan sambil bernyanyi mengiringi siulan burung-burung. Sungguh usia yang mengagumkan, pikir Don Bosco sambil menatap mereka. Usia muda, ketika hari kemarin telah berlalu dan esok masih terlalu jauh untuk dipikirkan.

Don Bosco mengajak beristirahat setelah berjalan beberapa jam. Mereka meletakkan barang-barangnya dan duduk di rumput mengelilinginya. Salah seorang anak membagi-bagi sepotong roti dan irisan-irisan salami untuk mebuat sandwich. Sebuah apel dan kacang-kacang melengkapi makan siang itu. Setelah makan mereka membereskan barang-barang dan mulai berjalan mendaki bukit.

Ketika awan gelap mulai menggantung mereka belum berjalan jauh. Peramal cuaca mengatakan angin akan bertiup kencang sehingga hujan tidak akan turun. Tetapi mereka tetap memandang kumpulan awan itu dengan cemas. Dan nyatanya hujan mulai turun. Seiring dengan jatuhnya tetesan air hujan Don Bosco berteriak, "Lari! Mungkin ada tempat berteduh di balik bukit!"

Hujan lebat itu menyelimuti bukit-bukit dengan kabut tebal sehingga sulit untuk melihat beberapa meter ke depan. Untungnya mereka telah memutuskan melewati bagian bukit itu karena di sisi lain mereka melihat sebuah rumah besar berwarna putih terletak di lembah dan hampir tersembunyi di balik pepohonan. Asap putih meliuk-liuk di tengah hujan dan angin dari cerobong asapnya.

"Horeee!" mereka berteriak dengan keras. "Tempat berteduh!". Ketika mencapai gudang di samping rumah hujan telah membuat mereka basah kuyup.

Don Bosco agak khawatir ketika melihat pakaian mereka yang basah dan tetesan air yang menggenang dikaki. Dia menyuruh mereka menunggu dan berlari di jalanan berbatu menuju rumah dan menekan bel. Anak-anak melihat seorang pembantu muncul yang diikuti oleh seorang lelaki tua berrambut putih. Jelas-jelas dia mengenal Don Bosco karena mereka berjabatan tangan dengan hangat. Mereka bercakap-cakap. Sang orang tua tersenyum dan menganggukkan kepalanya berkali-kali sementara sang pastor menunjuk ke arah anak-anak. Lalu Don Bosco berbalik ke arah mereka dan berteriak, "Ayo, anak-anak! Aku mendapat perlindungan yang lebih baik."

Mereka tak membutuhkan undangan kedua. Sang orang tua menyambut mereka di depan pintu. "Ayo masuk, anak-anakku! Perapian ada didalam dan para pelayan akan mempersiapkannya. Kalian sangat basah! Hujan ini begitu tiba-tiba! Cuaca tak bisa kita perkirakan akhir-akhir ini. Don Bosco, lihatlah para pelayan sudah menyalakan pemanas. Suruhlah anak-anak melepaskan pakaian dan mengeringkannya. Berbahaya. Oh! Aku harus kedapur dan memberi tahu koki apa yang dibutuhkan mereka. Kalian pasti lapar!"

Don Bosco tersenyum. "Aku terkejut, Signor Gonella," katanya. "Melihat bagaimana anda mengerti anak muda."

Mata Signor Gonella melebar karena senang. Beberapa kali ia menganggukkan kepala sebagi penghargaan akan pujian itu dan bergegas pergi ke dapur.

Sementara itu anak-anak mulai melepaskan jaket dan menggantungnya di sandaran kursi yang di jajarkan di depan perapian. Mereka berdiri di antara perapian dan kuris-kursi untuk mengeringkan pakaian yang mereka pakai dengan berganti-ganti mendekatkan tiap sisinya ke arah perapian..

Tiba-tiba salah seorang mengendus-endus udara dan berteriak, "Seseorang terbakar!"

Sebuah suara menyahut setelah keheningan beberapa saat, "Kamu sendiri, Farina! Celanamu terbakar!"

Farina memukul-mukul badannya dan melompat-lompat ke tengah ruangan sambil menyebarkan bau pakaian hangus. Melihat kesempatan itu teman-temanya segera mengambil topi dan handuk serta memukul-mukul Farina dengan penuh semangat bahkan di tempat yang tidak terbakar.

Signor Gonella muncul di tengah keriuhan dan ketika mengetahui penyebab keramaian itu, sang tuan rumah pun ikut tertawa. Dia menyuruh para pembantu menyiapkan meja makan ketika sudah cukup mampu untuk berbicara dengan jelas.

Sepotong kain putih panjang digelar di atas meja di pinggir ruangan dan gelas, piring, serta sendok-garpu di letakkan. Anak-anak saling menatap dalam keheningan sementara menunggu makanan di hidangkan, berusaha tak melirik kebuah-buahan, keju, dan daging yang telah di persiapkan.

Sang tuan rumah mengetahui hal ini dan segera menyuruh para pelayan untuk meletakkan semua makanan di atas meja dan meninggalkan anak-anak itu berpesta, satu keputusan yang disambut hangat. Para pelayan terus menerus membawa masuk hidangan demi hidangan hingga tak ada lagi tempat tersisa di atas meja.

"Letakkan sisanya di meja sebelah," katanya. "Kami akan mengambil sendiri nanti." Lalu ia mengajak anak-anak untuk menikmati sajian itu.

Selera makan mereka mulai bangkit setelah menikmati sop panas beberapa sendok sehingga makanan-makanan itu mulai meluncur dengan cepat kedalam perut. Mereka sangat menikmati jamuan itu sementara sang tuan rumah menyuruh mereka untuk terus makan. Membuang-buang makanan adalah berdosa, katanya, dan ia memperingatkan mereka bahwa koki akan tersinggung jika ada makanan yang dikembalikan ke dapur.

Farina mendorong kursinya dari meja makan ketika acara makan-makan akan selesai dan berkata, "Minggir, teman-teman. Aku kekenyangan!" Suatu ungkapan yang tepat bagi keadaan saat itu. Salah seorang anak berkata bahwa saat itu mereka benar-benar mempunyai alasan untuk mengucap syukur pada Tuhan ketika bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Tapi Signor Ganella belum puas sampai dia yakin mereka telah mengisi tasnya dengan makanan yang tersisa untuk dimakan sepanjang perjalanan. Di pintu rumah, ketika mengucapkan terima kasih dengan penuh terimakasih sambil berpamitan, ia menyuruh mereka menemuinya lagi pada waktu pulang.

Langit telah kembali cerah dan sinar matahari berkilauan pada air hujan yang membasahi rumput dan dedaunan. Sebuah barisan bocah yang ceria mulai menapaki jalanan pegunungan.

Don Bosco tersenyum melihat efek makanan tersebut dan keceriaan pada wajah mereka. Tetapi menyadari bahwa Mickey tidak ada dalam barisan. "Tom," katanya, "turunlah dan lihat kalau sesuatu terjadi pada Mickey."

Tom menuruni jalan setapak dengan perlahan-lahan sampai ia melihat Mickey tertinggal cukup jauh di belakang.

"Ada apa, Mickey?" tanyanya. "Capek?"

"Tidak, Tom" sahut Mickey. Setelah berpikir sejenak ia menambahkan, "aku hanya berdoa bagi bapak tua yang sangat baik pada kita itu."

"Tapi, Mickey,"sanggah Tom,"kau tak perlu berdoa sesering itu! Tak seorangpun di antara kita yang berdoa sekarang."

"Memang, mereka memang tidak berdoa, Tom. Mereka memang tak perlu berdoa sesering aku."

Liburan beberapa hari di villa itu diberkati dengan matahari yang bersinar cerah dan malam penuh bintang. Suatu malam ketika Don Bosco sedang berjalan-jalan di hutan setelah makan malam; ia mendekati Mickey yang sedang menatap ke langit, memperhatikan bintang-bintang.

"Belajar astronomi, Mickey?" tanyanya.

"Tidak, Don Bosco. Saya hanya memperhatikan bintang-bintang itu dan memikirkan mereka begitu menatati hukum Tuhan. Lalu saya sadar betapa saya melanggar perintahNya dengan berdosa."

"Ketika aku seumurmu," sahut Don Bosco, "ibuku mengajakku berjalan-jalan di lapangan waktu malam berbintang dan menunjukkanku kemuliaan surga. Dia mengatakan kata-kata yang sama persis dengan yang baru saja kau ucapkan."

Beberapa waktu kemudian Don Bosco menulis surat kepada Pastor Arricio yang antara lain berbunyi,"Saya hanya bisa terkejut melihat Mickey sudah mencapai tingkatan pada kudus. Bekas pemimpin geng, dan baru berusia limabelas tahun, sudah mempunyai penglihatan mengenai hal-hal penting yang bahkan orang dewasapun tak pernah memilikinya."

Sang jenderal tak pernah tanggung-tanggung sekali membuat keputusan; apalagi keinginannya untuk menjadi ksatria, yang bukan suatu keinginannya sesaat. Dia terlalu tulus untuk berlaku seperti itu. Di lubuk hatinya yang terdalam dia tahu kalau ia harus melakukan sesuatu untuk Sang Ratu.

Usaha-usaha pertamanya untuk mewujudkan keinginan berkorban bagi orang lain lebih di latar balakangi oleh semangat daripada kebijaksanaan. Contohnya suatu hari ketika ia mengajak beberapa anak untuk membantu Don Bosco. Didengarnya salah seorang anak berbicara terlalu keras melewati batas-batas kesopanan yang diinginkan Don Bosco. Mickey berjalan perlahan-lahan di belakangnya dan bersiul dengan bunyi yang menyakitkan di telinga anak itu.

"Goblok kamu!" teriak sang anak sambil menepuk-nepuk telinga. "Kamu punya sopan santun nggak sih?"

"Kamu sendiri gimana?"balas Mickey. "Kamu tidak seharusnya mengeluh jika menyakiti telinga orang lain dengan bicara sekeras itu."

Pada suatu ketika ia menemani Don Bosco berkunjung kekota. Mereka melewati gedung-gedung yang sedang dibangun. Seorang anak seumur Mickey sedang mencapur kapur. Tiba-tiba sebuah potongan tembok terlepas dan jatuh masuk kedalam campuran, dan memerciki anak itu. Dengan kesal, ia menatap keatas bangunan dan sumpah-serapahnya pun mengalir dengan deras.

Tanpa sepatah kata, Mickey berbalik, merenggut kaus anak itu dan menampar pipinya dengan cukup keras. "Jangan sampai aku mendengar kata-kata itu lagi," ujarnya.

Dengan sekali sentak, si anak membebaskan diri dan mendekati Mickey. Kedua anak itu sedang bergumul seru ketika Don Bosco kembali dan memisahkan mereka dengan bantuan seorang pekerja yang tampaknya menikmati perkelahian itu.

Ketika melanjutkan perjalanan kembali, Don Bosco mulai menerangkan kalau caranya itu tidak akan mendapat hasil yang diharapkan. Ketika melirik anak di sebelahnya Don Bosco melihat kalau Mickey telah menyadari kesalahannya.

Hanya sekali setelah itu ia melukai orang lain, yang terjadi ketika sekelompok anak sedang berdiskusi tentang api neraka!

"Pasti tidak terlalu panas," kata salah seorang. "Atau kalau tidak, mereka akan membakarmu dan kemudian tidak."

"Tidak bagaimana?" tanya seseorang.

"Hanya tidak……, tidak lagi…..," jawab anak yang pertama.

"Kita harus menjauhi tempat itu," ujar yang lain. "Tapi kalau kau jatuh ke neraka, lalu kenapa? Kau harus menanggungnya. Pazienza. Aku tak terlalu khawatir jika terjadi padaku."

Mickey menyelinap keluar dan meminjam korek api. Sambil memberi tanda kepada yang lain untuk diam, dia menyelinap di belakang anak itu dan menyalakan korek api di bawah jari-jemarinya.

"Sialan," jerit anak itu. "Apa yang … Oh, kamu, Mickey! Kau mencoba membakar jari-jariku?" Dia meniup-niup ujung jarinya dengan keras.

"Aku hanya ingin tahu kalau kau sungguh-sungguh dengan omonganmu. Sekarang bagaimana dengan sedikit Pazienza?"

Anak-anak lain menganggap kejadian itu sebagai lelucon, dan entah si korban mengganggapnya sebagai berkah atau tidak, setidaknya dia akan mengingat pelajaran itu cukup lama.

Suatu sore dia dipanggil ke ruang tamu untuk menemui seorang pengunjung. Dia terus menerus bertanya kepada dirinya sendiri siapakah sang tamu itu. Ibunya?……Tidak, dia pasti akan memberitahunya dulu.

Sang Pastor?……Gurunya yang sudah tua?…….

Dia membuka pintu ruang tamu dan memandang dengan tak percaya sosok tubuh membungkuk yang sedang duduk di ujung ruangan itu.

"Pozzi! “

"Hi, Mickey," jawab "letnan" lamanya.

Mickey memandang Pozzi dan ia terkejut melihat pemandangan di depannya. Tak pernah diperhatikannya betapa kecil mata Pozzi, ataupun mulut dan dagunya yang besar. Dia tak pernah mengingat kalau kepala Pozzi sangat kecil di bagian leher dan lebar di bagian atas. Sungguh aneh kalau mereka tak pernah berolok-olok mengenai bentuk kepala Pozzi.

"Kejutan yang hebat!" teriaknya. "Kapan kau sampai di Turin?…. Dan ada apa?"

"Aku diusir ayahku. Pamanku memberiku pekerjaan.…"

"Oh, maaf."

"Sudahlah Mickey." Pozzi memukul telapak kirinya dengan tinju kanannya. "Aku sudah di Turin. Dia melihat sekeliling ruang tamu. "Bagaimana keadaaanmu di sini?"

"Mari kutunjukkan," sahut Mickey. Dia merasa tidak mudah untuk bercakap-cakap diruang tamu.

Mereka melihat-lihat kelas, aula, ruang makan, dan ke gereja. Pozzi mengikuti Mickey tetapi perhatiannya seperti ke tempat lain. Dia seolah-olah merasa dirinya tidak pantas berada di sana dan menunggu di usir pergi. Setelah melihat semua tempat itu mereka menyusuri serambi, tak tahu apa yang harus dibicarakan selanjutnya.

"Nah, Pozzi," kata Mickey memecahkan keheningan, "apa pendapatmu mengenai Oratory?”

"Mengenai apa?" tanya Pozzi.

"Oratory," jawab Mickey. "Nama sekolah ini. Kamu tidak berpikir kalau ini tempat yang asik untuk anak-anak yang tinggal di sini?"

"Mungkin," jawab Pozzi acuh tak acuh.

Mickey berhenti berjalan dan menatap Pozzi, begitu juga Pozzi, yang berhenti berjalan dan berbalik menatap Mickey.

"Bagaimana, kalau kau tinggal di sini?" tanya Mickey tiba-tiba.

"Aku?" ujar Pozzi. "Untuk apa ?"

"Yah, seperti ini." Mickey berharap dia bisa menerangkan mengenai tawarannya itu dengan tepat; hal yang akan sangat berarti untuk "letnan"nya. Dia bisa saja…..…

"Kau ingat saat aku di Carmagnola?" lanjut Mickey. "Kau tahu, tak melakukan hal yang seharusnya kulakukan, mengacaukan semuanya? Apa yang kulalukan dengan geng, godaan-godaan, eerrr…ya…...Lalu Don Bosco membawaku ke sini, ke Oratory. Aku harus mengaku kalau pada mulanya aku tak terlalu menyukai hal itu, tapi sekarang aku tak akan meninggalkannya walaupun ditawari semua uang yang ada di dunia ini."

"Oh," sahut Pozzi singkat.

"Don Bosco menyekolahkanku, memberiku buku, pakaian, segalanya. Lalu kami berbicara dan ia membantuku, dan …. yah, ia membuatku berubah “.

Wajah Mickey dipenuhi antusiasme. Ia tersenyum dan Pozzi membalas senyumnya. Dia memutuskan sekaranglah saatnya,.

"Ah, Pozzi…….," bujuknya, "kamu mau nggak bergabung masuk Oratory?"

"Siapa? Aku? Oratory?" Pozzi terlihat gugup dan mengebas-ngebaskan telapak tangan di depan hidungnya.

"Tapi kau bisa sekolah …"

"Sekolah!" teriak Pozzi. "Aku baru saja keluar! Tidak, terima kasih!"

"Tapi kau bisa …"

"Omong kosong!" jawab Pozzi. "Aku akan bergabung dengan geng besar di kota ini."

"Tapi Pozzi," ujar Mickey, " jika tinggal di sini kau akan jadi anak yang lebih baik."

"Lebih baik apanya?" tanya Pozzi.

"Maksudku kau punya kesempatan untuk hidup lebih baik, dengan melakukan tugasmu, atau membaharui suara hatimu."

Pozzi memandangnya. Matanya yang kecil tampak memutih.

"Aku pergi!" katanya.

Mereka berjalan kembali ke ruang tamu. Kali ini Pozzi di depan. Ketika melangkah keluar Pozzi menurunkan topi hingga menutupi mata kanannya. Dia bahkan tak melihat ke Mickey.

"Selamat jalan, Pozzi."

"Selamat tinggal," sahut Pozzi sambil menuruni tangga.

"Dan, Pozzi," panggil Mickey, "jika kamu bertemu salah sorang……"

Tapi Pozzi melangkah dengan cepat sambil menatap lurus ke dapan.

Itulah kontak terakhir Mickey dengan seseorang anggota gengnya dan hal itu sungguh menyedihkan dan mengecewakannya.


75