Magone Bab III

Bab III

Sang Pencuri

Seiring turunnya senja di suatu perkampungan yang kumuh di Carmagnola, Mickey berjalan menelusuri kota kecil itu terus sampai kedaerah pedesaan yang terbuka. Ia sungguh kekurangan pakaian pada musim ini dan hawa dingin merayap masuk menembus baju dan jaketnya yang kecil dan sempit. Tetapi ia tampaknya tak begitu menghiraukan keadaannya, tetap berjalan tegap sambil memasukkan tangan dalam-dalam di kantong celana; lebih disebabkan oleh kebiasaan daripada menghangatkan kedua tangannya.

Ketika sampai di suatu tanggul sungai yang curam di sisi kanannya, ia merunduk masuk di bawahnya, berbelok ke kanan dan melewati semak-semak. Di sana terdapat sebuah tempat berlindung terbuat dari sisa-sisa lantai suatu bekas gudang. Ketiga sisinya dipagari papan–papan yang dipaku secara kasar dan sisi-sisanya oleh tanggul. Pintu masuk terbuat dari dua buah papan yang diangkat dengan cermat. Tempat persembunyian yang ideal, atau menurut Mickey, markas besar gengnya.

Ternyata ia bukanlah yang datang pertama kali. Ketika menarik papan–papan dan menjulurkan kepalanya, beberapa anak terlihat duduk mengelilingi sebuah lampu badai. Pada atap di atas lampu terdapat gambar lingkaran berwarna putih dengan mata tombak di tengah. Di bawah gambar tertulis: "Si Api Hitam.”

"Hallo,Mickey," serempak mereka menyambutnya, "Kenapa lama sekali?"

Mickey hanya menggumamkan kata-kata yang tak dapat dipahami. Beberapa anak lain datang dan Mickey memulai kegiatan sore itu dengan memberikan petunjuk singkat mengenai rencananya.

"Dengar, kawan", katanya " Beberapa orang sudah merencanakan hal ini di sekolah. Kalian tahu Pettini pemilik toko makanan di ujung Via Motti. Ia memukul Greaser waktu mencoba mengambil sedikit makanan untuk ibunya. Ia juga memberi informasi kepada polisi sehingga mereka menangkap ayahku dan menjebloskannya ke penjara. Kita akan membalasnya malam ini. Meskipun ia akan tahu siapa pelakunya, ia akan sangat takut untuk lapor polisi dan berurusan dengan kita lagi."

Mereka membicarakan cara terbaik menjalankan rencana itu dan juga kabur dengan selamat setelahnya. Setelah mendengar beberapa saran, akhirnya rencana Mickey yang diterima.

Salah seorang anak, Agnelli, menyatakan ia tak bisa lari cepat dan Pettini sudah mengenalnya. Anak-anak lain yang tahu ia takut, memutuskan untuk menugaskannya sebagai pengawas.

Mickey dan si pengawaslah yang pertama meninggalkan gudang untuk mencari posisi agar mereka bisa memberi tanda kepada yang lain begitu mereka muncul.

Di tengah jalan mereka mendengar teriakan-teriakan yang makin jelas seiring dengan makin mendekatnya mereka ke sebuah bar. Bunyi gelas pecah dan keributan-keributan lain, tapi mereka tidak mengindahkannya. Mereka menyeberang ke sisi lain jalan supaya orang tua mereka tak keluar dan melihat mereka, sehingga berakhirlah petualangan malam itu.

Mickey dan ajudannya segera mencapai Piazza Cortese dan mengambil posisi di sebelah utara. Di seberang terdapat barisan bangunan berlantai dua. Lantai pertama berfungsi sebagai toko dan lantai kedua sebagai tempat tinggal. Toko terakhir di sisi kiri menjual makanan dan peralatan pertukangan. Toko makanan menghadap ke Via Motti sementara toko peralatan pertukangan menghadap Piazza Cortese. Bagian dalam membentuk bujur sangkar. Di atas pintu masuk kedua toko terdapat papan nama dengan tulisan: "Toko kelontong Pettini."

Dari tempatnya di tepi pintu, Mickey melihat dua…empat…enam anak berjalan menyusuri Via Motti dan kemudian lenyap. Beberapa menit kemudian, di lihatnya Peanut, anak terkecil anggota geng memasuki toko. Peanut ditugaskan membeli buah yang sudah agak busuk seharga beberapa sen dan keluar untuk memakannya tepat di depan toko perkakas. Semua kejadian di toko perkakas akan menyita seluruh perhatian dan mengakibatkan toko di sebelahnya terbuka. Itulah strategi yang sudah diatur.

Peanut keluar dengan bungkusan kertas di tangannya. Dia duduk di tepi jalan dan mulai makan buahnya, seorang anak yang lebih besar menghampirinya bahkan ketika ia belum mulai menikmati buahnya. Tiba-tiba terjadi perkelahian dan Peanut mulai berteriak seakan-akan telah dipukuli tanpa belas kasihan. Mr. Pettini keluar, melihat sepintas kepada kedua anak dan memutuskan bahwa itu bukanlah urusannya. Ia menengok ke kiri dan kanan piazza, ke atas, akhirnya masuk kembali ke tokonya.

Si anak kecil mulai melolong lebih keras. Mr. Pettini berdecak tak sabar, keluar lagi dan bicara kepada anak yang lebih besar.

"Kenapa? Kenapa kamu mengganggunya," keluhnya, "sana pergi!"

"Ia harus pulang, menemui ibunya," kata anak itu. "Kata ibunya, ia mengambil uangnya dan ia akan menghukumnya. Ayo!" teriaknya sambil menarik lengan Peanut sehingga hampir menyeretnya ditanah.

"Aaahh!" jerit Peanut, menendang-nendang kakinya dengan liar.

"Pergi dari sini!" teriak Mr. Pettini. "Pergi kalian semua. Bikin ribut di depan tokoku saja."

Dua pejalan kaki berhenti sejenak dan melihat dengan acuh tak acuh. Tiba-tiba anak yang lebih besar berteriak ketakutan: "Kunci, Tuan! Tolong pinjam sebuah kunci! Ia tersedak."

Kepala Peanut bergoyang-goyang dengan aneh, temannya mengangkat dan membaringkannya di tembok di bawah jendela toko Mr. Pettini. Ia menatap Mr. Pettini - kedua orang pejalan kaki itu juga - yang menggeleng-gelengkan kepala dengan tak sabar, masuk ke dalam toko dan beberapa saat kemudian memberinya sebuah kunci besi yang besar sambil menggumam, "Tepat di depan tokoku!" Setengah lusin penonton melihat dengan antusias ketika anak itu memegang kunci di mulut temannya dan menolak tawaran bantuan orang lain. Mr. Pettini terus memperhatikan kejadian itu, tanpa menyadari kejadian yang mungkin terjadi di toko buah. Ia tak pernah mengetahui taktik itu.

Sementara itu, enam anggota yang lain telah bergabung di Via Motti dan berkumpul di sebuah gang yang gelap sekitar lima puluh meter dari sasaran. Pozzi, tangan kanan Mickey, bilang kalau ialah yang akan jalan duluan.

"Jangan membuat keributan waktu datang atau pergi," perintahnya, "dan kalau ada yang tak beres, jangan kembali ke sini atau kemarkas!"

Mereka dapat melihat bayangan Pozzi yang mengancam selama menghalangi jalan keluar. Mereka dapat mendengarnya meninju telapak tangan kirinya. Pozzi pernah melihat gerakan itu dilakukan seorang pegulat keliling sebelum menghabisi lawannya. Menurutnya gerakan itu cukup mengesankan. Menurut anak-anak lain Pozzi benar-benar mirip gengster.

Tiba-tiba jalan keluar terbuka. Anak-anak itu cepat–cepat mengendap-endap untuk memperhatikan Pozzi ketika ia bergerak dengan cepat dan merapat ke tembok. Ketika sampai di dekat lampu toko, ia berhenti dan memeriksa keadaan, merunduk dan merangkak memasuki toko.

Tak lama kemudian ia merangkak keluar. Dengan sekotak buah ara yang diletakkannya di tempat persembunyian sambil mengacuhkan pujian kepadanya.

Satu per satu diperintahkannya mereka melaksanakan tugas, sementara ia menunggui Bertoldi yang gugup sampai anak itu melakukan tugasnya. Ketika Bertoldi kembali dan mereka bersiap-siap kembali ke persembunyian, sesosok bayangan muncul dari seberang jalan. Ternyata Agnelli, si pembawa pesan.

"Semua ok?" tanya Agnelli.

"Menurutmu bagaimana?"

"Ok. Aku akan lapor ke Mickey". Agnelli berlari lagi. Ketika Mickey menerima laporannya, dia suruhnya Agnelli mendatangi kedua anak di dekat jendela. Mereka segera mengakhiri tugasnya dan menuju keluar kota untuk bergabung dengan yang lain.

"Kita lakukan apa malam ini?" tanya Mickey ketika sudah berkumpul kembali di gudang. Dihadiri oleh lebih banyak anak, turut berpesta menikmati hasil penyerbuan malam itu. Beberapa saran diajukan; tetapi selalu ditolak. Sampai seorang anak kecil berkata:

"Ayo main 'maling-malingan'!"

"Yaa….…," usulnya disetujui yang lain, "Ayo main 'maling-malingan'!"

'Maling-malingan' adalah permainan kesukaan anak-anak Carmagnola. Mereka terbagi dalam tiga grup. Grup pertama menjadi 'maling' dan dua grup lain bergabung untuk menangkapnya. Ketika grup pertama telah tertangkap, grup kedua gantian menjadi 'maling', dst. Pengejaran, penyergapan, dan penangkapan maling-maling yang kabur menyajikan banyak aksi. Saat paling mengasyikkan ketika 'maling' terakhir berhasil dipojokkan dan para 'polisi' bersiap menghabisi. Satu kesalahan kecil dan 'si pencuri' bisa mengacau balaukan barisan, membebaskan para 'tawanan' dan menghancurkan hasil kerja selama satu jam.

Anak-anak itu memilih kelompok. 'Para pencuri' telah dilepas untuk memberi mereka waktu bersembunyi, dengan perjanjian bahwa mereka tak akan berkeliaran jauh dari 'penjara'.

Setelah beberapa waktu, 'polisi' menyebar dan permainan dimulai. Kebanyakan permainan berpusat di 'penjara', suatu daerah di bawah lampu jalanan yang di batasi oleh garis. Bayangan-bayangan menyerbu dari kegelapan menuju cahaya lampu, diikuti oleh lebih banyak lagi bayangan yang mengejar sambil mengendap-endap. Mereka berlompatan, berloncatan, berlari dan berbalik, tak ada yang menghiraukan gerimis yang mulai turun terlihat pada temaram lampu jalanan.

Tak makan waktu lama sampai akhirnya semua pencuri berhasil dipojokkan, kecuali seorang anak berjulukan "Duck" karena kakinya yang pendek. Ia memanfaatkan kakinya dengan sangat baik, lebih daripada yang sewajarnya. Ia bisa berhenti, berbalik, berlari dan memutar, hal yang tak seekor bebek pun bisa melakukannya. Sekarang dia berdiri di sisi lampu jalanan yang terdekat dengan stasiun kereta api, menunggu mereka menangkapnya.

"Kamu mau menyerah? " kata mereka.

"Buat apa, bodoh?" Sambil meletakkan jari di depan hidung, Duck menggoyang-goyangkan badannya.

'Polisi' menyebar dan menghampirinya pelan-pelan. Sambil memunggungi mereka, ia menunggu kesempatannya. Tiba-tiba salah satu anak berhenti, melihat ke belakang 'si pencuri' dan berteriak "Polisi, polisi, teman-teman! Lari!". Ia sendiri segera menghilang di kegelapan malam.

Duck melihat kesempatan itu dan ia memanfaatkannya dengan baik. Ia berlari menembus celah yang dibuat 'polisi' yang ketakutan, tak berhenti hingga membebaskan semua 'tahanan' sambil berteriak gembira. "Semua bebas! Semua bebas!" Teriakannya diikuti 'tahanan' yang berhasil dibebaskan sambil berlarian bersembunyi ke kegelapan malam.

Ketika Mickey melihat keberhasilan Duck, ia tak berusaha untuk mengejar. Menurutnya hal itu sia-sia dan mereka harus mulai permainan dari awal.

"Mau kemana, tolol?" teriaknya dengan marah. "Sekarang kita harus mulai lagi. Lagian, kenapa takut polisi? Kita kan enggak melakukan sesuatu yang salah di sini!"

Ketika anak-anak lain mendengar teriakan Mickey, mereka melupakan ketakutan akan polisi dan melihat sekeliling mencari penyebab kekacauan.

Sesosok bayangan bergerak mendekati lampu dan berdiri sejenak memandangi mereka, lalu melambaikan tangan penuh persahabatan sambil tersenyum. Ternyata orang itu bukan polisi, tapi seorang pastor.

Tak seorangpun bergerak. Tak seorangpun bicara.

Setelah keheningan yang terasa tak berujung, salah seorang anak berjalan ke arah lampu. Mickey! Ia menatap sang pastor dengan sikap menantang. "Mengapa anda mengganggu permainan kami?" tanyanya.


"Anda harus pindah kereta di Carmagnola, Pastor. Silakan duduk dan anda akan sampai sekitar pukul tujuh lima puluh".

Pengangkut barang itu memberi hormat, mengangkat koper si pastor dan berjalan ke arah gerbong kelas 3 yang kosong.

"Silakan masuk, anda dapat menikmati ruangan ini sesuka anda". Ia meletakkan koper di dalam rak dan merapikannya agak lama supaya si penumpang bisa menyiapkan uang tipnya.

"Terima kasih, pastor. Selamat menikmati perjalanan anda."

"Semoga, Francesco. Aku akan senang bila dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam perjalanan."

"Anda membutuhkan istirahat karena pekerjaan dan perjalanan yang anda lakukan, Pastor. Mau apalagi, anda terlihat membutuhkannya.".

"Aku akan beristirahat panjang di surga. Selama di dunia, aku akan berhenti bekerja jika si iblis berhenti bekerja juga. Selamat malam, Francesco."

Jika semua pastor seperti dia, pikir Francesco, suatu luar biasa bagi orang-orang sederhana seperti kami. Kebanyakan pastor tak punya banyak waktu untuk oramg kecil. Tapi pastor yang ini lain! Dia tak pernah melihat sang pastor memakai jubah yang layak atau sepatu bagus. Malahan yang sering dilihatnya adalah jubah yang kotor dan kesempitan. Namun ia selalu punya waktu untuk berteman dan … tak pernah lupa memberikan tip. Kadang Francesco merasa tak enak untuk menerimanya, terlebih ketika ingat bahwa si pastor mengasuh tiga ratus anak tanpa bayar di sekolahnya.

"Tuhan memberkatinya!" katanya dalam hati sambil menutup pintu.

Sang penumpang mengambil sebuah naskah dari kantung jubahnya dan berusaha duduk lebih nyaman untuk mulai bekerja tanpa menyadari kekaguman Francesco. Tak lama kemudian dia sudah asyik dalam pekerjaannya sampai hampir tidak sadar bahwa kereta sudah mulai bergoyang dan berjalan meninggalkan stasiun.

Dibacanya halaman pertama naskah buku ‘Bacaan untuk Orang Muda’.

Bibirnya mengerut dan ia mengusap alis dengan telunjuknya sambil membolak-balik tiap halaman. Laju kereta bertambah cepat dan mulai bergoyang-goyang sehingga makin sulit berkonsentrasi. Akhirnya ia menurunkan naskah dan merapikan kertas-kertasnya. Diambilnya koper dan ketika baru akan memasukkan kertas-kertas dilihatnya sebuah surat yang belum dibuka terselip diantara pakaian. Diletakannya koper kembali ke rak dan membuka amplop surat itu.

Di dalamnya terdapat surat yang ditulis di atas kertas murahan. Tintanya tidak terlihat jelas dengan komposisi sederhana.

"Yth. Pastor …"

Dibacanya surat itu. Satu paragrap tertentu menyita perhatiannya.

"Daniel akan menjadi jahat jika engkau tidak menjaganya. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu dan aku harus bekerja keras setiap hari. Sejujurnya, aku tak mempunyai waktu untuk mengurusinya. Tuhan akan memberkatimu jika kau mau melakukan sesuatu untuknya, hatiku sedih melihatnya berkeliaran terus."

Dilipatnya surat sambil merenung. Kaum muda adalah masalah, terlebih-lebih di kota-kota besar. Satu-satunya yang sepertinya peduli adalah polisi. Namun mereka hanya tertarik untuk ‘mengoreksi’. Tetapi sang anak sudah menjadi begitu bermasalah, sehingga ‘koreksi’ terlihat sia-sia.

Betapa sendirinya dia dalam mengurus anak-anak miskin dan terabaikan di Turin! Orang-orang menyebutnya bodoh karena mengerjakan hal-hal tak berguna seperti itu. Jika saja ia tak mendapat mimpi itu, jika saja dia tak mempunyai keyakinan yang membara, ia sudah lama menyerah. Akan banyak anak muda yang ditinggalkan begitu saja tanpa bantuan. Tapi sekarang orang-orang sudah mulai lebih mengerti. Sekarang, sebaliknya, dia menerima banyak simpati dan bantuan.

Sang Pastor tersadar oleh kebisingan kereta yang saling berpapasan dan melambat seiring masuknya ke dalam stasiun Carmagnola. Setelah mengambil barang dan menepuk-nepuk jubah dengan tangan untuk membersihkannya dari kotoran, ia mengambil topi dan dengan cekatan berjalan di sisi kereta. Dia turun dan mulai berjalan di peron stasiun kereta api yang remang-remang dan sepi; menuju ke luar. Sejenak, ia berdiri di anak tangga teratas dan melihat sekeliling untuk menentukan tujuannya.

"Rumah batu bata berwarna merah," katanya kepada diri sendiri, "dari stasiun kereta api belok kiri, sampai ke Via Del Lago. Ambil belokan kanan yang pertama dan disitulah!"

Dilihatnya titik-titk hujan dibawah cahaya lampu dan memperhitungkan untuk naik taksi. "Tidak, jalan kaki saja," putusnya. Ia belum jauh berjalan ketika melihat sekelompok anak bermain di bawah pendaran cahaya lampu berwarna kekuningan.

"Tenang … “ kata seorang anak kepada teman-temannya. "Pelan-pelan dan kita akan mendapatkannya. Aku bilang pelan-pelan, Arco … “

Seiring dengan mendekatnya si pastor, tiba-tiba didengarnya teriakan: "Polisi! Polisi! Lari!"

Kekacauan terjadi setelah itu. Anak-anak berlarian ke segala arah, beberapa meneriakkan kata-kata yang tak ingin didengarnya, yang lain bersorak-sorak kegirangan. Sebuah teriakan mengalahkan kegemparan itu: "Kenapa takut polisi? Kita tak berbuat salah di sini!"

Kebanyakan berhenti agak jauh dari lampu. Hanya satu yang tetap disitu, marah dan menantang. Sang pastor sadar kalau tantangan itu ditujukan kepadanya dan dia tahu sebabnya. Diberinya anak itu isyarat untuk mendekat. Anak itu berjalan menuju tempat yang lebih terang dan berdiri di depannya. Walaupun menurut dugaan sang pastor, anak itu maju bukan didorong oleh rasa ingin tahu dan mau menolong orang asing.

Si anak menatap sang pastor dan melihat senyumnya yang lebar dan sepasang mata berwarna coklat, bahu bidang, tak begitu tinggi, dengan tangan besar dan kuat. Sedikit rambut hitam keriting menjulur dari tepi topinya.

"Mengapa anda mengganggu kami?" Mickey membuat suaranya seolah-olah marah; tapi sangat tidak mudah untuk marah kepada sang pastor yang sedang tersenyum itu.

"Maaf!" sang pastor meminta maaf dengan penuh penyesalan. "Jika aku saya tahu, aku akan berjalan di sisi yang lain. Aku hanya ingin menemui kalian."

"Anda ingin bertemu kami?"

"Tentu saja. Panggil teman-temanmu. Kamu pemimpin disini?"

"Jelas, aku pemimpin mereka," kata Mickey tersanjung karena kata-kata sang pastor yang menyadari posisinya. "Lihat ini," ujarnya sambil menatap si orang asing. Dia memasukkan kedua telunjuk ke dalam mulut dan meniupnya. Mendengar tanda ini, anak-anak lain datang sambil memandang sang pastor dengan curiga.

"Ok…anak-anak….," ujarnya ceria, "bagaimana permainan tadi?"

Reaksi berbeda-beda bermunculan. Beberapa memandang dengan kikuk, tapi sebagian besar tersenyum malu satu sama lain. Greaser manarik-narik kaki celananya sambil berdiri pada satu kaki dan berkata, "Hai."

Sang pastor kembali kepada si pemimpin. Makin diperhatikannya anak muda itu, makin ia menyukainya.

"Siapa namamu, bos?" tanyanya.

"Michael Magone," jawab Mickey, bangga bahwa si orang asing mengetahui kedudukannya.

"Kamu tinggal disekitar sini?"

"Ya, saya dari Carmagnola. Via della Grotta." Saat ini mendadak Mickey teringat permainannya. Anak-anak yang lain sudah mau main lagi.

"Ok, teman-teman," ujarnya, "Kalian duluan, nanti kususul. Kelompok pertama bebas lagi. Dengar? yang tadi tidak dihitung." Kemudian dia kembali kepada si orang asing.

"Mmm, Michael….."

"Panggil saja Mickey, atau jenderal. Anak-anak lain memanggilku jenderal"

"Wow, Jenderal Mickey! Mari berjabat tangan."

Mereka bersalaman dan merasakan adanya saling pengertian di antara mereka.

"Berapa umurmu, Mickey?"

"Limabelas tahun."

"Apa yang kau lakukan, Mickey?"

"Sekolah!" jawabnya. Cepat dia menambahkan, "tapi sekolah akan segera usai dan setelah itu saya…… saya …...."

"Ya ..?"

"Oh, saya tidak tahu. Sepertinya saya akan berkeliaran saja seperti yang lain." Ia mengangkat pundaknya tanda tak peduli.

"Apa kamu dan teman-temanmu punya keahlian?"

"Mereka sudah ahli dalam satu hal. "

"Apa itu?" tanya sang pastor penuh rasa ingin tahu.

"Tidak melakukan apa-apa," jawab Mickey.

Biasanya anak-anak menertawakan hal ini, tapi sekarang hal ini tampaknya tidak lucu.

"Orang tua?" lanjut sang pastor.

"Oh, ibu baik-baik. Tapi ayah, ehh…." Si anak berhenti.

"Dia sudah meninggal?" tanya sang pastor.

"Tidak," jawabnya sambil menatap kekejauhan.

"Terus dimana?"

"Dia … tak disini," Mickey berseru dengan nada menantang. Tapi dalam beberapa detik tantangan itu menghilang dan si anak mencoba menahan air matanya. Dia mengedip-ngedipkan matanya berkali-kali dengan cepat.

"Ok, Mickey!" Sang pastor menyentuh bahunya. "Itu tak masalah. Aku ingin kau tahu kalau aku hanya ingin jadi temanmu. Kau mau?"

Jawabannya berupa sebuah anggukan walaupun tak percaya kata-kata sang pastor. Ia tak mengerti mengapa seorang pastor mau menjadi teman bagi orang sepertinya.

"Dan bagaimana dengan ibumu yang miskin? Bagaimana engkau akan menolongnya? Kamu punya rencana untuk masa depanmu?"

"Sepertinya belum," jawab Mickey. "Tampaknya aku tak bisa berkeliaran dengan teman-temanku lagi kalau sudah besar nanti. Tapi mau apa lagi? Aku tak kenal siapa pun dan orang-orang miskin seperti kami harus…." suaranya makin pelan.

"Tunggu dulu, Jenderal," kata sang pastor. "Kamu mau menerima kalau ada orang memberimu kesempatan untuk sekolah dan mempelajari keahlian-keahlian yang berguna bagimu dan ibumu? Atau kamu lebih memilih berkeliaran di jalanan?"

"Wah, pastor! Akan kulakukan apa pun untuk kesempatan itu!" sambut Mickey. "Tapi bila ayah pergi, dan ibu tak bisa membantu ….?"

"Tak apa-apa, Mickey," potong sang pastor. "Aku kira aku bisa cari jalan keluar. Dengar. Aku harus pergi sekarang! Tapi besok bawa pesan ini kepada pastor parokimu, dan katakan bahwa orang yang memberikannya ingin bertemu denganmu lagi."

Dengan terburu-buru ditulisnya sesuatu dalam selembar kartu, dimasukkannya ke amplop, mengelemnya dan memberikannya ke Mickey. Lalu digenggamnya tangan anak itu.

"Selamat tinggal, Mickey." katanya.

Ia berbalik dan menghilang dalam kegelapan malam dengan jubahnya yang menyapu hingga pergelangan kaki.


18