Magone Bab II

Bab II

Perkelahian


Esok paginya, sang ibu menghentikan Mickey yang tergesa-gesa pergi sekolah dan berkata,"Mickey, kenakanlah pakaian yang rapi untuk ke Gereja. Menurutku kita mesti mengunjungi Pastor."

Mickey pergi ke dapur dan mulai membersihkan wajah pada sebaskom air. Ia sangat senang membenamkan wajah ke dalam air sambil menghembuskan nafas keras-keras. Hal ini memberinya perasaan seolah-olah sedang berenang di air yang dalam dan membuatnya merasa lebih nyaman. Kemudian ia membenamkan wajahnya pada handuk dan menyekanya hingga kering. Ia memperhatikan ibunya dan tersenyum puas. Dicarinya celana panjangnya yang "bagus" setelah melemparkan handuk basah ke atas kursi. Dengan sabar ibunya mengambil handuk itu dan meletakkannya pada tali jemuran agar kering.

Mickey pergi ke kamar dan mengenakan celana panjang. Kemudian sepatunya. Setelah menyemir dan membersihkannnya; ia memperhatikan tangannya yang kotor dan kembali ke dapur untuk membersihkannya dengan handuk. Sarah mencoba merapikan rambut dan mantel Mickey yang menurutnya "tidak terlalu rapi" - satu kebiasaan yang menurut sang putra berlebihan. Sarah menyetujui pendapatnya tetapi ia selalu menarik dan meluruskannya lagi setelah Mickey "merapikannya" lagi. Mereka saling menatap dan tertawa pelan sambil berpelukan dengan hangat.

Sarah tidak terlalu optimis tentang hasil kunjungan mereka ke Pastor. Seperti kebanyakan warga Sarah cukup segan kepadanya; tetapi Sarah mengetahui kalau sang pastor cukup berpengaruh di Carmanogla. Dan karena kesetiaannya pada Giovanni, maka diteguhkannya hati mencari bantuan yang dapat diberikannya.

Dengan ragu-ragu ia berjalan bersama Mickey melintasi jalan setapak di kebun menuju pintu pastoran. Ia menarik seutas tali dekat pintu dan bel kecil berbunyi di dalam rumah itu.

Sang pastor mendengar bunyi bel dari ruang duduk di lantai dua. Dibukanya gorden dan mengintip ke arah Sarah dan Mickey. Mulutnya cemberut. Apa yang mereka inginkan? Ia masih mengingat dengan baik pasangan Magone karena dialah yang menikahkan mereka. Sebagai seorang pemuda, Giovanni aktif di kegiatan gereja. Tapi ia telah merusak nama baiknya. Ia memicu beberapa perkelahian di belakang gereja setelah misa usai dan tertangkap basah meminum sisa anggur misa. Tetapi Giovanni Magone pula yang sendirian bertarung melawan para berandalan yang mencoba mendobrak sakristi. Setelah itu ia sepertinya menghilang dari kehidupan dan kemudian terdengar bahwa ia terlibat dengan beberapa gang. Tentu saja ia tidak mencari masalah sekarang dengan mencoba kembali ke gereja. Sang Pastor tidak ingat pernah bertemu dengannya beberapa tahun belakangan ini. Sedangkan Sarah cukup rajin pergi ke gereja walaupun tidak bersama seorang anak yang kurang dikenalnya itu.

Sang Pastor orang yang baik. Orang-orang yang akrab dengannya tahu bahwa kehidupannya sebagai seorang gembala patut diteladani dan mereka juga sependapat bahwa ia sedang "menuju surga". Para anti-klerikal yang tinggal di parokinya mengatakan bahwa ia dikenal karena kebajikannya, dan terkadang tidak berkompromi dengan orang yang cara hidupnya berbeda dengannya.

"Aku tak habis mengerti," protesnya sekali waktu kepada dewan. "Bagaimana mungkin orang ingin masuk surga, tapi tak mau berusaha? Jika mereka miskin, mereka malah mengeluh dan mencaci maki tak karuan daripada rajin mengerjakan pekerjaan sehari-hari dan menanggung penderitaan dengan sabar. Sementara orang kaya, mereka mestinya memberi contoh yang baik dan bersedia beramal kapanpun dibutuhkan. Baik kaya ataupun miskin seharusnya bekerja dengan baik, menjaga kehidupan berkeluarga yang patut dicontoh, dan berperan serta dalam kehidupan menggereja."

Dibersihkannya sedikit debu di bagian depan jubah selama menuruni tangga dan melirik sepatu yang tidak disemir sambil membetulkan birreta yang menutupi rambut hitamnya, lalu masuk ke ruang tunggu.

"Selamat pagi, Pastor, " ujsr Sarah dan Mickey berbarengan seraya bangkit.

"Selamat pagi," jawabnya dan menjulurkan tangannya untuk dicium Mickey. "Apa kabar, anakku?"

Jawaban Mickey cukup sopan kalau tidak bisa disebut hangat. "Kami merindukan anda pada pelajaran katekismus minggu yang lalu, pastor.”

"Hmmm?" gumam sang pastor "Jadi anak-anak selama ini memperhatikan keadaanku." Ia berpaling kepada Sarah. "Dan sekarang kamu anakku, ada masalah apa?" tanyanya. "Kuharap suamimu baik-baik saja. Aku hanya dapat berharap, karena aku tidak punya kesempatan untuk berbincang dengannya akhir-akhir ini. Ia tak pernah terlihat di gereja. Apa yang dilakukannya belakangan ini ?"

"Tentang suami saya itulah maka saya datang bertemu dengan anda, pastor," kata Sarah. Ia mulai menjelaskan keadaan Giovanni yang menyedihkan dengan terputus-putus, mencoba menarik simpati seolah-olah Giovanni hanyalah seorang korban tak tahu apa-apa.

"Hmmm!" gumamnya lagi. "Saat ini sepertinya dia benar-benar dalam kesulitan. Tentu saja, selama ini dia tak pernah mau mendengarkan aku. Dia tak pernah mau mendengarkan siapa pun. Selalu gampang marah dan selalu mencoba melanggar hukum. Sekarang hukum sudah menjeratnya, dan aku khawatir hukum tidak akan melepasnya begitu saja

"Anda benar, pastor. Tetapi seandainya…….." Sarah ragu-ragu, "Jika anda dapat membicarakan hal ini dengan walikota dan memberinya rekomendasi. Mungkin setidaknya Giovanni mendapat tuduhan lebih ringan. Anda bisa percaya pastor, suami saya sudah mendapat pelajaran dari pengalaman ini."

"Tak ada gunanya membicarakan hal ini dengan orang lain," sang pastor merasa keberatan. "Mulai saat ini, suamimu terjerumus dalam masalah. Segalanya mungkin berakhir buruk. Mereka mendapat balasan setimpal. Sekarang dia sedang banyak pikiran; barangkali lebih baik jika Giovanni dibiarkan sendiri dulu."

Sang pastor melangkah di karpet di depan perapian. Kejadian ini tidak berbeda dengan kejadian yang sudah-sudah. Orang-orang tidak pernah mengetuk pintu rumahnya kecuali jika sedang mempunyai masalah, dan mereka mengharapkannya menjungkir-balikkan langit dan bumi untuk menolong mereka. Jika karena suatu sebab dia tak dapat membantu; dia tak pernah bertemu dengan mereka lagi.

Dia berpaling kepada sosok yang ada di depannya, "Baik, kukira kita tidak bisa meninggalkannya sendirian dalam masalah ini," ujarnya. Suaranya melembut. "Aku akan lakukan semua yang aku mampu untuk membicarakan masalah ini dengan walikota.Tetapi aku tidak bisa menjanjikan akan berhasil. Bagus sekali jika menurutnya pantas untuk mempertimbangkan permohonanmu. Jika ia tidak mau; maka tak ada lagi yang patut dikerjakan kecuali menanggung percobaan ini dengan sabar dan segala akibatnya yang mungkin muncul."

Sarah berdiri dan pergi dengan perasaan yang bercampur-aduk. Semua perkataan pastor benar, dan tidak ada lagi yang dapat dikerjakannya tentang hal ini.

Perasaan Mickey tidaklah sekacau ibunya. Ia sangat menghormati sang Pastor, tetapi ia merasa tersinggung atas prasangka buruk pastor yang dituduhkan kepada ayahnya. Ia ingin mengatakan bahwa ayahnya orang baik-baik seperti orang lain. Kenyataannya, dia telah terdiam mendengarkan perkataan sang pastor dengan wajah yang kemerah-merahan.

Ibu dan anak itu merasa lebih lega begitu berada di luar ruangan dan menghirup udara yang sejuk. Sesekali Mickey menggenggam tangan ibunya dengan erat atau diletakkan pada pipinya. Sering kali ia melakukan hal itu. Sarah memandangnya dan tersenyum.

Mickey melepaskan syal ibunya dengan lembut dan meletakkannya di balik pintu ketika mereka sampai di rumah. Didorongnya sebuah kursi besar ke dekat perapian. "Kemarilah ibu," katanya. "Silakan duduk sehingga aku dapat melepaskan sepatu ibu." Ibunya menurut dan mengangkat kaki kirinya. Mickey menarik dan menggoyang-goyangkannya sehingga sepatu itu perlahan-lahan melonggar dan terlepas. Sepatu boot yang lainnya menyusul dan Mickey merapikannya di sudut ruangan. Mickey sudah duduk di tepi kursi ibunya sebelum Sarah memintanya duduk dipangkuannya.

"Sekarang, Sarah sayang!" Dia tertawa ketika menirukan cara ayahnya menyapa ibunya. Mickey tekejut karena ibunya berhenti tersenyum dan matanya menjadi suram. Mickey direngkuhnya dan dengan lembut diletakkan di atas pangkuannya. "Mickeyku." bisiknya. Diletakkannya pipinya pada pipi Mickey dan memeluknya erat-erat. Mickey tahu ibunya sedang gundah. Ia melakukan hal yang sama pada saat dokter mengatakan bahwa Mickey harus dioperasi.


Esok paginya dia muncul pintu ruang tidur, mulut terbuka sementara mata masih tertutup. "Ooooh! Jam berapa seeeekaaaaraaaang?"

"Oooh! Jam berapa sekarang? " tiru ibunya.

"Lihatlah dirimu!" Ibunya memasukkan ujung bajunya yang keluar kedalam celananya.

"Jika cepat-cepat bangun engkau tidak akan terlambat sekolah."

Mickey melangkah dengan malas ke baskom. Setelah beberapa kali menghirup dan menghembuskan nafas; matanya terlihat cerah dan ia tersenyum. Kebiasaannya cuci muka setiap pagi menandakan pembaptisan kelahiran hari yang baru. Dengan kakinya di atas sebuah kursi, sepotong roti di tangan serta secangkir kopi di tangan lainnya, ia mengunyah sarapannya yang tidak banyak. Terkadang roti itu terpecah-pecah dalam ukuran yang lebih besar daripada mulutnya. Tetapi ia mencuil-cuil di sana sini dan menghirup secangkir kopi tanpa malu-malu sehingga sesuap roti itu bisa dihabiskannya. Mickey bahkan berbicara dengan ibunya ketika ia sedang makan sekalipun Sarah hanya bisa menduga-duga apa yang dikatakannya daripada mendengarkan ucapan-ucapan Mickey.

"Jika engkau masih lapar, sayang, ada sedikit buah kacang Castagna di dalam lemari." Ujar Sarah ketika Mickey sedang mengumpulkan buku-bukunya. Lalu ia mengambil segenggam kacang Castagna panggang, memasukkannya ke dalam saku, dan pergi mencium ibunya. Sementara itu ibunya merapikan baju usangnya melewati bagian atas celananya, dan memeriksa tambalan yang terbuat dari kulit pada bagian siku, memeriksanya kalau-kalau mungkin robek.

Mickey melangkah keluar dan memandang sosok yang sedang berjalan sambil melompat-lompat.

"Greaser!" teriaknya. "Ujung bajumu keluar!"

Anak itu menghentikan langkahnya dan menepukkan tangan kebagian belakang celana panjangnya. Mendapati kalau bajunya sudah rapi; dia memandang berkeliling dan tertawa lebar, dan ditunggunya Mickey untuk menyusulnya.

"Greaser" Pallone sekelas dengan Mickey karena dia sudah beberapa kali tidak naik kelas. Lubang yang sering kali terlihat dibelakang celana panjangnya bukan disebabkan oleh pukulan dengan rotan tetapi karena ia sudah duduk terlalu lama di bangku yang sama, ujar seorang guru ketika sedang mengajar di kelas. Greaser tidak memperdulikan ejekan itu. Masalahnya akan segera teratasi karena akhir tahun nanti ia akan pergi ke Turin untuk bekerja sebagai pembantu tukang batu. "Turin!" Greaser bisiknya dengan mata berseri-seri. "Turin!" Harapan akan perjalanan itu terasa meringankan beban kehidupan.

"Mau kacang Castagna," kata Mickey.

Greaser mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih. Mereka mengunyah kacang Castagna dalam perjalanan menuju sekolah, dan tidak memperhatikan apa yang ada didepannya selama berlomba meludahkan kulit ari untuk mencapai jarak terjauh.

Greaser berhenti di sebuah reruntuhan dinding tua dekat kebun sebelum mereka sampai di sekolah. Ia meraba-raba sebuah lubang di bebatuan dan akhirnya dengan penuh kepuasan menarik sebuah botol berisi air berlumpur berisi lusinan ikan-ikan kecil bermacam ukuran berenang dengan tenang. Kedua anak itu memperhatikannya dalam keheningan karena kagum.

"Biar aku memegangnya, " kata Mickey.

Greaser tidak keberatan dan meneruskan perjalanan hingga mereka dapat terlihat dari gedung sekolah. Tiba-tiba Mickey bertanya:"Apa yang akan kita lakukan dengan ikan-ikan ini? Jika kita tinggalkan di sini orang-orang pasti akan mengambilnya."

"Bawa mereka ke dalam," usul Greaser.

"Sembunyikan di bawah bukumu, dan aku akan menutupimu."

Greaser berjalan mendahului dan Mickey mengikuti di dekatnya. Tempat yang paling berbahaya adalah gang kecil di antara pintu dan deretan meja yang harus dilintasi dengan cepat; Mickey melaluinya dengan terbatuk-batuk, yang mengharuskannya menutupi mulut sehingga menyembunyikan botol berisi ikan. Dengan sebuah sentakan tangan kiri yang cepat, ia menarik laci mejanya dan memasukkan botol dengan aman ke dalam.

Pelajaran di mulai, yang berlangsung dengan sangat lamban dan membosankan; membahas tentang penjumlahan, simbol-simbol, kata kerja-kata kerja dan percakapan-percakapan. Mickey merasa bosan mengikuti pelajaran dan pandangannya mulai berkeliling ruang kelas. Anak-anak lain sedang terlihat belajar giat atau merasa diliputi kelelahan karena bosan. Tiba-tiba ia teringat akan ikan-ikan kecilnya dan mengintip ke dalam laci meja melalui sebuah celah kecil. Ikan-ikan kecil itu masih hidup dan berenang-renang dalam air berlumpur. Diletakkannya penutup laci meja dengan pelan sambil menatap papan tulis. Tidak ada reaksi. Sang Guru semakin kelihatan toleran dan bagaikan sebuah mesin terus menerus menulis sambil berkomat-kamit seakan-akan sedang mendikte dirinya sendiri.

Mickey mengangkat penutup lacinya sedikit lebih tinggi. Ikan-ikan kecil itu berenang kesana-mari, ia berdecak karena kagum. Diketuk-ketuknya sisi sisi botol dengan tangan dan memandang ikan-ikan kecil yang bergerak liar di dalam air. Dengan mata terbelalak dilihatnya ikan yang terbesar mengejar ikan yang lebih kecil hingga ke dasar botol. Seperti ……….

"Magone apa yang kamu lakukan?"

Mickey terkejut dan menjatuhkan penutup laci dan terburu-buru menyembunyikan kepala di belakang bayangan teman-temannya.

Selama beberapa saat sang guru memelotot dari balik kaca matanya. Sambil cemberut ia memandang ke seluruh kelas.

"Tutup buku kalian sekarang," katanya. "Aku akan menanyakan beberapa soal." Pandangannya mengelilingi kelas. "Pallone. Berdiri, Pallone."

Greaser berdiri di depan kelas, dengan satu tangan menempel di celana dan tangan lainnya menyentuh bangku. Greaser tidak pernah bisa berkonsentrasi dengan baik pada pelajaran. Apalagi ketika disuruh maju ke depan kelas konsentrasinya makin berkurang.

"Jawablah, Pallone, disebut apa lintasan suatu planet?"

Greaser sadar kalau seharusnya dia mengetahui jawaban pertanyaan sang guru. Sang Guru mempunyai cara yang dibanggakannya waktu mengulang-ulang kata-kata itu bagi mereka hingga mereka dapat menyanyikannya. Dicobanya untuk berpikir, tetapi percuma saja. Sehingga ia memutuskan untuk memilih jalan keluar terbaik. Seakan-akan jawaban pertanyaan itu ada di kepalanya, ia memandang ke langit-langit sambil mengerak-gerakan bibirnya tanpa bersuara dan mengerutkan kedua alis di atas hidungnya. Ditunggunya beberapa saat untuk mencari ide. Seperti biasa tak terjadi apapun. Greaser mulai putus asa. Dicobanya menangkap bunyi terkecil dengan telinganya agar ia dapat mendengar bisikan-bisikan jawaban dari teman-temannya. Ya, seseorang mencoba menolongnya. Ia mendengarkannya dengan lebih baik.

"Seluloid," dengarnya.

Greaser terbatuk, sesaat menunggu dan tanpa pikir panjang ia berkata, "Seluloid."

Kelas riuh-rendah oleh bunyi gelak tawa. Greaser memandang berkeliling dengan keheranan, lalu ia mulai tersenyum lebar dan mulai tertawa bersama teman-temannya. Ia masih tertawa ketika berpaling dan bertatapan muka dengan gurunya. Wajahnya memucat, ia lantas duduk.

"Magone. Mari kita dengarkan apa yang kamu tahu. Sepertinya kamu menyia-nyiakan banyak waktu. Katakan pada kami semua yang kau ingat tentang pelajaran kemarin."

Mickey merasa tenang karena belajar bukanlah masalah serius baginya. Dimulainya penjelasan yang berjalan lancar hingga ia menyadari bahwa anak-anak lain sedang memandangnya dengan keheranan. Dari sudut matanya diperhatikannya seorang anak di sebelahnya memberi tanda kepada anak yang lain, yang kemudian memberi tanda ke yang lainnya. Dengan segera ia merasa pandangan seisi kelas tertuju pada satu arah, tidak kepadanya, tetapi ke lantai di sebelahnya. Ia merasakan sesuatu menetes perlahan di sepanjang kakinya, untuk sesaat dengan ketakutan ia mengira kalau cairan itu adalah darah dan memandangnya sekilas. Air menggenang dengan cepat di sekeliling kakinya.

Anak-anak memperhatikan Mickey, kemudian genangan air itu, kemudian sang guru, lalu Mickey lagi. Terdengar gumaman memenuhi seisi kelas. Menyadari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, sang guru berjalan di antara bangku dan berhenti di meja Mickey. Ia memperhatikan genangan air dan melangkah mundur keheranan, membetulkan letak kacamatanya dan sekali lagi memperhatikan genangan air itu.

"Magone!"teriaknya. "Magone! Apa maksudmu?…….tidak mungkin! tidak mungkin!"

Mickey sangat kebingungan dan hampir menangis. Ia tak habis pikir mengapa hal itu terjadi. Ia segera teringat akan ikan-ikan di dalam botol di dalam laci, dan mengangkat ujung laci dan menjenguk ke dalam.

Pada saat sang guru mengejutkannya tadi tanpa sengaja ia menggulingkan botol sehingga isinya tumpah termasuk ikan-ikan kecil yang tersebar di atas buku-buku, bergerak-gerak dan megap-megap diambang kematian. Dengan segera dipungutnya ikan-ikan itu dan dikembalikannya ke dalam botol tempat mereka bergerombol dan berenang-renang.

"Segera bersihkan semuanya, Magone!" teriak sang guru. "Bersihkan dan buang! Setelah selesai datanglah kemari untuk menerima hukuman. Dan jika hal ini terjadi lagi jangan mengharapkan ampun dariku. Jangan mengharapkan ampun dariku!"

Ketika bel berbunyi, terjadi kekacauan kecil akibat anak-anak yang berebutan keluar. Mata sang guru menatap dengan tajam mengawasi mereka yang bermaksud keluar melalui jendela sementara anak-anak dengan gelisah berbaris dipintu yang sempit; seolah-olah tidak masalah apakah keluar duluan atau belakangan.

Mickey dan dua anak lainnya berdesak-desakan keluar kelas dan ia segera berlari ketempat dimana ia menyembunyikan botol berisi ikan-ikan kecil milik Greaser. Ia sedang merogoh tempat persembunyian di antara atap dan dinding ketika melihat beberapa pecahan botol di pojok. Sedangkan ikan-ikan kecil tersebar di mana-mana, mati! Bahkan ikan yang besar dengan perut keperakan. Seorang anak mendatanginya ketika melihat ia berdiri keheranan, menebak-nebak apa yang terjadi terhadap ikan-ikan itu.

"Botolnya pecah, Mickey," ujarnya. "Bugs Goldoni yang memecahkannya. Ia mengambil botol dan melihat ikan-ikan kecil di dalamnya tetapi airnya bercipratan membasahinya. Dia marah dan memaki-maki, terus melempar botol ke dinding. Aku bilang kepadanya kalau kamu pasti akan marah tapi ia bilang ia tidak peduli karena ia tidak takut padamu atau siapapun juga."

"Jadi Goldoni yang melakukannya," sungut Mickey. Goldoni adalah pemimpin gang saingannya dan anak yang suka berlagak jagoan. Mickey tak bermaksud menantangnya tetapi ia sadar kalau semua anak akan tahu Bugs telah berani memecahkan botolnya dan membunuh semua ikan di dalamnya. Anggota gang Mickey pasti kesal akan kejadian ini apalagi jika Bugs tidak mendapatkan balasan yang setimpal.

Ia menghampiri dua teman segengnya yang sedang ngobrol. "Kamu tahu apa yang dilakukan Bugs Goldoni?" tanya mereka kepadanya.

"Di mana dia?" tanya Mickey.

"Di lapangan, ayo kita ke sana." Ujar salah seorang anak sambil menyusul Mickey. Bugs Goldoni sedang bermain kelereng ketika salah seorang anak di dekatnya melihat gerombolan yang mendekat dan menyenggolnya. Dengan usianya yang sekitar 14 tahun, ia sedikit lebih tinggi dan lebih kekar daripada Mickey. Matanya kecil dan sedikit menyipit sementara bibirnya tipis dan kasar. Bugs anak yang suka membuat masalah dan selalu siap menghadapi masalah yang menghadangnya.

"Bugs," kata Mickey sejauh dia bisa, "Aku mempunyai sebotol ikan-ikan kecil yang kusimpan di ujung atas tembok. Ada orang yang memecahkannya."

"Lalu kenapa?" ujar Bugs, hanya itulah jawaban yang dapat dipikirkan oleh otaknya yang lemot (lemah otak).

Mickey mencoba bersabar, tetapi dia sudah mulai naik darah. Ia mengharapkan permintaan maaf Bugs dan akan melupakan kejadian itu. Wajahnya menjadi pucat.

"Jadi, memangnya kenapa?" kata Bugs lagi, tahu kalau gangnya mengharapkan sang pemimpin mengeluarkan kata-kata kasar.

"Baiklah……." Mickey kehilangan konsentrasi selama beberapa saat. Kata-kata Bugs entah bagaimana mengembalikan seluruh beban kepadanya. Dijawabnya dengan,"anak-anak bilang engkaulah yang memecahkan botol itu"

"Lalu kenapa?" ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang angkuh.

"Begini," kata Mickey setelah terdiam beberapa saat. "Menurutku perbuatan itu licik dan orang yang melakukannya harus ditinju hidungnya."

"Siapa yang akan meninju?"

"Aku," kata Mickey

"Coba lihat apa yang akan terjadi."

Mickey mengarahkan tangan kanannya memukul rahang Bugs. Bugs mencoba menangkisnya tetapi ia tetap terkena pukulan yang cukup keras. Pukulan itu mengenai pelipis dan membuatnya terhuyung-huyung.

Bugs menyumpah-nyumpah dan memaki-maki. "Datanglah ke tempat Rozzi dan bawalah batu, akan kuhancurkan wajahmu!"

"Terserah kamu," jawab Mickey. Dia merasa lebih tenang karena ketegangannya berangsur-angsur hilang. Teman-temannya menariknya menjauhi Bugs; begitupun anak buah Bugs melakukan hal yang sama terhadapnya. Dalam kelompok terpisah mereka beranjak pergi menyusuri jalan setapak di belakang sekolah dan menuruni lereng menuju kebun Rozzy. Itulah satu-satunya tempat lapang dengan tanah datar dikelilingi oleh pagar alam berupa tanah yang lebih tinggi dan selalu menjadi tempat perkelahian antar gang.

Berita perkelahian antara Mickey dan Bugs tersebar dengan cepat. Anak-anak berkerumun di pinggir tiap sisi kebun menanti pertarungan antara Bugs dan Mickey. Tak seorang pun yang mau melewatkan pertarungan ini. Pertarungan yang selalu membangkitkan semangat, berlumuran darah dan memiliki peraturan ketat. Dua orang yang berkelahi berdiri terpisah duapuluh lima langkah, setiap orang dengan setumpuk batu dikakinya. Banyaknya batu sama namun ukurannya terserah sang pelempar, dan hanya kekuatan manusia yang terbatas serta ketepatan sasaran yang mencegah mereka menjadi pembunuh. Mereka mulai saling melempar batu ketika tanda sudah diberikan dan terus melempar hingga batu-batu habis. Pemenangnya ditentukan oleh pilihan penonton dan banyaknya luka yang yang diderita lawan. Seringkali mereka berdarah dan terkadang terluka parah.

Teman-teman kedua anak itu segera mengumpulkan batu. Kedua petarung melepas jaketnya dan meletakkannya direrumputan disekitarnya. Mickey dan Bugs memungut sebongkah batu, menggosoknya dengan kedua tangan, lalu berdiri berhadapan.

"Mulai!" teriak kerumunan penonton.

Lemparan pertama melebar menjauhi sasaran. Lemparan-lemparan sesudahnya lebih baik dan batu-batu yang berluncuran menyebabkan penonton koor dengan bunyi "Oh!" dan "Eh!" saja.

Sekali waktu lemparan Mickey mendarat tepat dipinggul Bugs, tetapi sebuah batu mengenai badannya. Ia juga berpura-pura tidak merasa sakit ketika sebuah batu mengenai pergelangan kakinya. Beberapa lemparan menyusul, termasuk satu lemparan berbahaya yang hampir mengenai kepala Mickey. Ia sedang membungkuk memungut sebongkah batu ketika batu itu melintas dan meleset hanya dalam hitungan sepersekian detik. Didengarnya bunyi batu itu mendarat di tanggul di belakangnya. Penonton bersorak-sorai bersemangat bagi kedua jawara yang bertarung. Tak pecuma geng jalanan Carmanogla memilih keduanya sebagai pemimpin.

Mickey merencanakan strateginya memenangkan pertarungan ini. Dengan sengaja ia memilih sebongkah batu seukuran kepalan tangan yang halus dan bulat tetapi sedikit rata, jenis batu yang akan meluncur jauh dan lurus. Ditimang-timangrnya batu itu dikedua tangan sambil menunggu kesempatan terbaik untuk melemparnya.

Ia bisa melihat tangan Bugs yang hampir kosong. Ia berpura-pura melempar, dan Bugs membalas dengan sebongkah batu yang hampir saja mengenai tulang keringnya. Bugs mencoba melemparkan sebongkah batu lagi sementara digenggamannya tersisa bongkahan batu terakhir. Mickey berkonsentrasi pada rencananya; tidak berusaha menghindar sehingga batu itu menghantam bahunya. Ia menarik nafas ketika dirasakannya guncangan yang diakibatkan, tetapi matanya tetap tertuju kepada lawannya.

Bugs membungkuk memungut batu yang terakhir. Inilah saat yang dinanti-nantikan Mickey. Dengan bertumpu pada kaki kanan; dilemparkannya batu ditangannya sekuat tenaga hingga mendesing diudara. Ia masih berposisi melempar ketika sang batu mengena pada sasaran. Batu itu mengena pada tulang pipi Bugs, cukup dekat dengan mata dengan kekuatan yang menyebabkan Bugs tidak merasa sakit. Dia melihat sesuatu yang mendekat dengan cepat dan terjungkal kedepan seperti orang tertembak.

Mickey tetap tak bergerak dan memperhatikan Bugs dari kejauhan. Dilihatnya Bugs bergerak perlahan mencoba duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Setelah merasa ragu sebentar; Mickey mengambil jaketnya dari atas rumput dan mengenakannya, perlahan melangkah mendekati Bugs. Anak-anak memperhatikan segala tindak tanduknya tetapi tidak ikut campur.

Ia melihat darah mengalir disela-sela jari-jari tangan Bugs menuruni lengan.Bugs mengerang.

"Bagaimana, Bugs?" Mickey bertanya dengan kaku.

"Oooh, sakit sekali! sakit sekali!" rintih Bugs.

"Ayo pulang dan mengobatinya," saran Mickey setelah terdiam beberapa saat.

"Tidak mau!" omel Bugs, "aku tidak akan pulang! Jika aku pulang dalam keadaan seperti ini ayahku akan menghajarku."

"Kalau begitu, ayo kerumahku."

Bugs memandang Mickey, lantas mengangguk setuju.

Mickey membantunya mengenakan jaket dan mengambil tumpukan buku-bukunya. "Aku akan membawanya. " katanya.

Kedua anak itu berjalan kembali melalui jalan setapak tanpa mengucapkan sepatah kata. Bugs menutupi matanya yang terluka dengan tangan sementara Mickey mengawasi jalan di depan.


12