Magone Bab VIII

Bab VIII

Menabur Benih


Clang - clang! Clang - clang! Clang - clang!

Gerolamo, petugas sakristi di Oratory menarik tali lonceng yang besar hingga ia berlutut ditanah untuk membunyikan bel berat dipuncak menara. Bel itu berayun kesatu sisi. Kemudian ia melepaskan tali itu untuk meluncur tenang disela-sela buku-buku jarinya hingga diputuskannya saat sang lonceng hampir mencapai ayunan maksimumnya diarah berlawanan. Pada saat yang tepat direngkuhnya tali dengan kencang hingga ia tertarik keatas beberapa kaki diatas tanah. Diulangnya gerakan-gerakan itu dan tersenyum seorang diri saat didengarnya bunyi lonceng dipagi hari itu. Saat dia memikirkan orang-orang yang teringat kalau hari ini adalah pesta Bunda Maria Dikandung Tak Bernoda dengan bangga ia berpikir kalau ia, Gerolamo Stuffi, yang mengingatkan mereka.

Bunyi bel menghentikan permainan dilapangan. Anak-anak berjalan menuju Gereja sambil mendiskusikan akhir permainan yang tak terselesaikan. Disana-sini percakapan menjadi begitu seru hingga prefect harus menghentikannya. Pelan-pelan mereka menyadari suasana tempat mereka berada dan mulai berbaris.

Mickey memperhatikan anak-anak yang dipercayakan Don Bosco kepadanya. Kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk berusaha menjadi anak yang baik telah membangkitkan rasa percaya dirinya. Dia sadar kalau orang lain bergantung padanya. Mereka meminta bimbingannya dan dia tidak bermaksud mengecewakan mereka.

Organis memainkan lagu rohani yang populer ketika anak-anak berbaris memasuki Gereja dan mereka mulai bernyanyi. Organis yakin memainkan lagu yang populer merupakan cara yang tepat untuk mencegah pikiran mereka dari hal-hal diluar misa.

Pintu terbuka pada saat nyanyian hampir selesai dan dua orang anak laki-laki berwajah bulat dan kemerah-merahan memasuki gereja. Berjubah merah muda dan kerah putih yang tinggi, mereka tampak seperti cherubim. Sangat sulit dipercaya kalau beberapa menit yang lalu mereka berteriak-teriak dan bermain sepak bola dilapangan yang berdebu.

Beberapa saat kemudian Don Bosco perlahan-lahan menaiki tangga mimbar sementara beberapa anak batuk-batuk karena gelisah dan akhirnya duduk mendengarkan kotbah. Don Bosco memperhatikan wajah anak-anak yang menengadah kepadanya, menunggu bercerita.

"Anak-anakku,"mulainya, "kemarin waktu kita jalan-jalan dipedesaan, kita lihat ada orang panen jagung. Mereka memotong segenggaman tangan terus mengikatnya menjadi satu."

"Hal ini membuat kita memikirkan satu kutipan kitab suci yang sering kita dengar: 'Apa yang akan ditabur seseorang itu juga yang akan dituainya.' Sekarang jawablah pertanyanaku: Jika orang-orang diladang itu tidak bersusah payah bekerja waktu musim menabur jagung, mungkinkah mereka begitu bahagia sekarang? Mungkinkah mereka mendapatkan hasil waktu panen? Tentu tidak, karena sebelum mengharapkan panen mereka harus menabur terlebih dahulu. Untuk kita, anak-anakku terkasih. Jika kita menabur sekarang, kita akan menuai hasilnya kemudian; siapa yang menghindari kesusahan waktu menabur sekarang, akan mati oleh keinginannya sendiri kemudian."

"'Apa yang ditabur seseorang, maka itu jugalah yang akan dituainya.' Maksudnya kita hanya dapat menuai apa yang telah kita taburkan. Misalnya, jika kita menabur jagung maka kita akan menuai jagung, jika kita menabur gandum maka kita akan menuai gandum, jika kita menabur rumput ilalang, apa yang akan kita tuai? Pasti ilalang. Jika kita mengharapkan tuaian panenan hal-hal yang baik dan berguna maka kita harus mulai menaburnya sekarang. Taburkan didalam pikiran dan hatimu hal-hal yang berguna dan baik. Jika karenanya kita mengalami masalah-masalah kecil, maka ingatlah kalau hal itu layak kita terima karena kebahagiaan yang akan kita dapatkan saat panen nanti. Petani-petani yang kita lihat tersenyum kemarin, layak menjadi contoh yang baik bagi kita."

"Selain itu. Untuk mendapatkan panen yang bagus kita harus menabur pada saat yang tepat. Benih padi harus ditanam dimusim gugur, jagung dimusim semi. Jika kita lupa untuk menabur pada waktu yang tepat, apa yang akan terjadi? Kita kehilangan panenan kita. Jawablah -salah seorang dari kalian- kapan saatnya kita menabur, saat kita sudah dewasa? Jawablah, Daniello?"

Pertanyaan ini membuat Daniello tersipu-sipu malu karena ialah anak yang paling sembrono di Oratory.

"Saat kita masih muda, Pastur, saya kira," jawab Danielloyang khawatir.

"Betul! - disaat awal hidup kita. Kalau begitu apa yang terjadi jika kita tidak mau bersusah payah menabur saat itu?"

"Kita tidak dapat menuai saat kita sudah tua."

"Atau jika kita menabur ilalang?"

"Kalau begitu kita menuai ilalang disaat kita tua, Pastur."

"Kitab suci berkata, 'siapa menabur angin maka akan menuai badai.' Pada saat ini angin melambangkan nafsu-nafsu kita, kebiasaan-kebiasaan jelek kita. Siapa yang membiarkan dirinya dikuasai oleh kebiasaan-kebiasaan buruknya saat ini, suatu saat akan mendapati hatinya yang penuh angkara murka"

"Ingatlah bahwa nafsu jahatlah yang menyebabkan orang melakukan perbuatan jahat yang mengerikan tidak selalu kejam. Ada waktunya ketika nafsu-nafsu dan kebiasaan-kebiasaan ini berupa benih-benih kecil dan tidak berarti. Sedikit demi sedikit mereka tumbuh hingga akhirnya merusak orang itu. Kapanpun aku bertemu seorang anak yang tidak berbuat apa-apa untuk mengontrol dan memeriksa kelemahan- kelemahan kecilnya, aku tergetar akan masa depannya! Ketika menatapnya aku selalu berpikir tentang seekor anak singa yang senang bermain tetapi suatu hari akan menjadi seekor binatang buas yang ganas, atau seekor harimau muda yang tampak seperti binatang peliharaan tetapi berubah menjadi seekor pemangsa yang terkejam dihutan."

Kotbah berakhir dan kelompok kecil itu bergabung lagi didepan altar dan menghilang di Sakristi.

Gerelamolah yang 'berkuasa' disakristi. Dia sudah menjadi sakristan Oratory sejak bertemu Don Bosco dan takluk dibawah kata-katanya. Orangnya pendek dengan rambut hitam yang menipis dengan cepat, bergerak dari tempat ke tempat lain dengan cepat dan sungguh-sungguh. Dia tidak pernah sebahagia ketika dia menyelip diantara lilin-lilin dan vas bunga, atau dengan tangkas melipat pakaian-pakaian misa dan kain-kain linen dan meletakannya dilemari. Dia tidak menyukai keramaian atau kekacauan, dan tidak bisa sabar terutama saat-saat ada kegiatan penting seperti saat ini.

Anak-anak sedang bersiap-siap untuk berdoa ketika mereka mulai membicarakan tugas-tugas mereka. Seperti biasanya selalu dimulai oleh bisikan disana-sini, tetapi pelan-pelan suara-suara itu menjadi gumaman yang cukup keras. Gerolamo masuk dari ruang altar dan, "pssssssst!", desisnya dengan pelan. Akibatnya suasana hampir menjadi tenang.

"Pssst! Diam!" teriaknya lagi sambil memelototi mereka yang masih berisik. Dia kembali kealtar sambil membawa sebuah kain dan buku. Suasana hening, tapi tidak lama. Perlahan tapi pasti volume suara mulai meningkat sehingga keadaan disakristi menjadi lebih buruk daripada sebelumnya. Saat itu Gerelamo datang kembali dan dia dihadapkan pada percakapan yang riang. Sekali lagi Gerelamo mendesis dengan kesal. "Jika aku tahu siapa yang ngomong," katanya "Aku akan menghabisinya dengan tangan kosong!"

Gerolamo sangat marah dan dia sangat 'berbahaya' jika sudah seperti itu sehingga meskipun tak seorang anakpun berani menguji kesabarannya sampai melebihi batas. Wajah Gerolamo berubah ketika Don Bosco datang dan berbicara kepadanya disela-sela penumpahan emosinya. Dia menjawab dengan nada yang sama sekali berbeda sambil tersenyum,"Ya, ya, signor Don Bosco. Baiklah, baiklah, baik sekali."

Anak-anak didalam gereja tidak melihat kejadian itu, mereka bergembira dan merasakan bertambahnya iman karena menyaksikan duapuluh orang anak berwajah cerah mengenakan jubah berwarna merah dan putih dengan dagu menonjol diatas kerah yang tinggi berjalan beriringan menuju altar dengan diikuti pastur berjubah keemasan. Tetapi pandangan penuh kekaguman lebih ditujukan kepada dua orang anak yang membawa wiruk. Mereka mengetahuinya dan mengayun-ayankan wiruk begitu tinggi sehingga posisinya hampir horizontal, lebih tinggi sedikit maka dupanya akan tumpah keseluruh penjuru altar. Asap putih yang wangi membumbung dari celah-celah mangkuk pada tiap ayunan wiruk.

Diatas mimbar dirigen Maestro Luigi mengeluarkan selembar partitur dan meletakkannya dihadapannya hingga hampir menyentuh hidung panjangnya dan menunjuk dengan tongkat kearah Mickey. Mickey maju selangkah kedepan dan 'membersihkan' tenggorokannnya. Organis memainkan musik pembuka, sang maestro menggerakkan tongkat kecilnya dan memberi Mickey tanda untuk mulai menyanyi.

Pada awalnya suaranya sumbang karena grogi; tetapi setelah beberapa baris dia menyanyi dengan mudah. Suaranya mencerminkan devosi lagu itu sehingga teman-temannya merinding mendengar suara baru sang jendral. Seruannya yang sederhana itu ditujukan pada Bunda Maria, bersaksi bersamanya untuk mengingat bahwa Bunda Maria diciptakan tidak melulu demi dirinya sendiri, tetapi demi semua orang yang menderita dan berdosa. Mickey memejamkan matanya selama menyanyi. Dia melupakan sang dirigen dan para pendengarnya, dia lupa segalanya, dia melupakan segalanya kecuali bahwa Bunda Maria. Bunda Allah juga adalah ibunya; dan beliau bersedia mendengarkan permohonannya. Lagunya menjadi sebuah doa. Membuat hatinya dipenuhi kebahagiaan karena merasa turut memiliki, bukan Oratory, juga Don Bosco, tetapi Allah.

Pada saat suara Mickey bergema didalam kepala anak-anak; diatas altar Don Bosco merefleksikan bahwa pada saat ini mereka semua adalah anak-anak Allah. Mereka adalah anak-anak-Nya terkasih yang di curahinya dengan kasih sayang yang besar. Tetapi kemudian timbul pikiran yang selama ini menghantuinya. Suatu hari banyak dari antara mereka akan menganggap hal ini sebagai suatu kenangan samar-samar dan mereka akan berhenti menjadi anak-anak Allah untuk menjadi korban godaan dan dosa.

Bel dibunyikan saat konsekrasi dan bunyi wiruk yang bergoyang-goyang terdengar disela-sela asap dupa yang membumbung memenuhi gereja dengan keharumannya.

Don Bosco mengangkat hosti putih.

Sambil berlutut pada kursi koor Mickey merasakan jantungnya berdebar lebih cepat saat ia mengejap-ngejapkan mata menahan air mata yang mengaburkan pandangannya. Dia tahu bahwa sang Bunda telah mendengar doanya dan akhirnya memperlihatkan kepada sang Putra kepadanya. Hingga saat ini misa tidak lebih sekedar suatu perayaan yang menyenangkan. Hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan yang besar karena sekarang ia menerima Tuhan dalam sakramen. Hal itu memenuhi hatinya yang seperti meledak ketika untuk pertama kali disadarinya misteri cinta yang dahsyat yang kini dimilikinya.

Organis yang memainkan suatu lagu populer yang cepat mengejutkan Mickey dari renungannya. Misa telah selesai dan anak-anak berhenti bernyanyi dan berjalan keluar menuju pintu.

Don Bosco menunggu anak - anak yang keluar dari gereja setelah berganti pakaian dengan cepat.

"Selamat, Mickey!" katanya. "Engkau begitu mengagumkan, dan aku harap kita bisa mendengarkan yanyianmu lagi."

Mickey menatap Don Bosco tanpa bicara, tersenyum, dan menarik nafas seakan baru saja mengalami suatu perasaan yang hebat. Tatapan mata Don Bosco mengikutinya beberapa saat selama ia pergi menjauh.

Usaha Mickey dikehidupan barunya tidak hanya melulu memperhatikan orang lain. Disadarinya bahwa seluruh pertarungannya selama ini, yang paling berat adalah pertarungan dengan diri sendiri. Sebuah kebajikan yang paling sulit dilakukannya adalah bersikap tetap sabar yang berarti ia harus berusaha menahan diri agar tidak berkelahi. Kebiasaannya untuk menyelesaikan perselisihan dengan kepalan tangan sudah berkembang pada masa mudanya dan telah menjadi pembawaannya untuk 'membereskan masalah' segera setelah pertengkaran terjadi. Dibawah pengaruh pembimbingnya dia mencoba berkonsentrasi atas kelemahannya ini dan menganggap semua ejekan kepadanya sebagai bagian "perbaikan diri".

Anak-anak tidak mengetahui perubahan diri Mickey dan tetap berhati-hati jika berurusan dengannya, apalagi saat pertengkaran mulai terjadi ditengah permainan. Tingkah laku mereka ini membuatnya sakit hati walaupun dia telah mencoba memberitahukan niatnya untuk melupakan masa lalu dan memaafkan segala penghinaan yang diterimanya. Tetapi teman-temannya sangat lamban untuk menyadari hal ini. Mereka tetap menganggapnya sebagai 'jendral pemarah' dan Mickey menyadari bahwa membutuhkan waktu lama untuk mengubah reputasi yang telah terbentuk.

Suatu ketika Durin memperlakukan Mickey dengan sangat keterlaluan. Durin adalah seorang anak yang tidak dapat mengendalikan lidahnya ketika bersemangat. Suatu sore pada permainan basseball, dengan kasar Durin mengejek Mickey yang berhasil mencapai home dengan selamat sebelum terkena bola yang dilempar olehnya.

"Apa?" teriak Durin. "Kamu tidak kena?"

Pada wajahnya terlihat penilaiannya terhadap keputusan yang diambil. Pada saat itu Mickey telah asyik bermain dan tidak berminat untuk mencari keuntungan.

"Kamu tidak kena!" ujarnya dengan keras kepala. "Tanya sama yang lain!"

Pertanyaan Durin tidak ditujukan pada siapapun. "Maksudmu kamu tidak keluar?" Untuk sesaat ia menahan perasaannya dan beberapa saat beberapa saat kemudian ia tak dapat menahan dirinya lagi.

"Maggone!" teriaknya. "Kamu munafik! Penjahat jalanan yang datang kesini untuk berdoa karena kamu tahu kamu akan mendapat suatu imbalan. Sekarang kamu curang main bola. Besok kamu akan mencuri uang!"

Kesunyian yang mencekam terasa diantara mereka. Semua mata memandang Mickey untuk mengetahui reaksinya terhadap penghinaan itu.

Mickey tetap berdiri dengan tenang. Kata-kata itu bagaikan sebutir peluru yang memembus otaknya. Ketika ia mengusap rambut ikalnya yang gelap dengan jari-jarinya, dia bisa meneriakkan kepedihan dan kemarahannya saat itu. Dia merasa tak dapat menahan diri untuk menyerang anak yang telah menghinanya. Tangannya mengepal dan lengannya mengeras ketika ia menatap.

Pada saat ini Durin akan memberikan segala-gala yang dimilikinya didunia jika ia bisa menarik kembali kata-katanya. Ketika menyadari kemarahan Mickey, ia berbalik dan lari melintasi lapangan bermain karena ketakutan yang menerornya dengan tiba-tiba; melalui koridor naik ke tangga dan menuju kamar kecil. Dikuncinya dari dalam dan berdiri menyandar dipintu dan gemetar ketakutan selama menunggu bel berbunyi.

Mickey sama sekali tak bersuara, apalagi mencoba mengejar Durin. Kata-katanya menyakiti hatinya tetapi dia tak tak berkeinginan membalasnya. Anak-anak memperhatikannya memungut jaket dan berjalan menuju gereja dengan kepala tertunduk.

Dia terkejut melihat Durin telah menunggunya ketika meninggalkan ruang makan pada sore hari itu. Anak itu kelihatan malu-malu dan takut karena dia tidak tahu reaksi Mickey ketika melihatnya.

"Mickey," ujarnya,"Aku benar-benar menyesal atas kejadian tadi. Aku marah banget tadi. Aku kelepasan omong. Kamu mau memaafkan aku Mickey?" Diulurkannya tangan.

"Tentu, enggak masalah," jawab Mickey sambil menjabat tangan Durin.

"Baik, Mickey!" ujar Durin lega. "Engkau benar-benar sportif."

Mickey tidak tahu penyebab Durin datang meminta maaf karena anak itu menyukainya, tetapi lebih-lebih karena desakan anak-anak lain yang khawatir atas akibat ucapannya.

Besok paginya kelas mulai seperti biasa. Sang guru menemukan tongkat penunjuknya hilang waktu ia hendak memulai mengajar pada jam pelajaran pertama dan berpaling pada anak-anak.

"Bukankah tongkat itu ada disini kemarin?" tanyanya pada Brillone. Anak yang duduknya paling dekat dengan papan tulis.

"Tidak," kata Brillone.

"Kamu yakin?" selidiknya dan kemudian dia berpaling kepada Mickey."

"Magone," panggilnya,"Apakah tongkat penunjuk itu ada disini kemarin?"

"Ya," jawabnya."Saya melihatnya ada disana setelah saya menutup jendela." Hal ini membingungkannya tetapi ia memutuskan untuk menngurusnya nanti saja.

Brillonelah yang telah meminjam tongkat penunjuk itu dan merusaknya, tetapi ia terlalu takut akan akibat perbuatannya. Mickey harus 'berhadapan' dengannya didepan semua anak. Karena Brillone termasuk anak yang tidak menyukai berkembangnya popularitas Mickey. Ketika mendengar jawaban Mickey, dia berbisik cukup keras agar semua orang mendengarnya: "Mata-mata! Gangster!"

Mickey mengganggap enteng hal itu dan mengacuhkan Brillone. Brillon kembali menekuni buku-bukunya karena tidak mendapat tanggapan yang berarti.

Tetapi Brillone mulai merencanakan balasan yang setimpal dan semakin ia memikirkannya semakin besar niatnya untuk membalas dendam. Dia memulai serangannya dengan pandangan mengancam melirik Mickey sambil meggumamkan kata-kata tidak jelas. Anak-anak mengetahui hal ini dan tersebar kabar kalau "akan terjadi sesuatu ".

Karena kelompok Brillone tidak terlalu bernyali mendukungnya melawan Mickey, maka tak seorangpun terkejut ketika melihat segerombolan anak-anak berkerumun disekitar Brillone sepulang sekolah, dan yang lain berdiri lebih jauh; menanti apa yang bakal terjadi. Seorang dari kelompok pendukung Brillone melangkah maju untuk menemui Mickey ketika menuruni anak tangga.

"Mickey," panggilnya cukup keras sehingga semua orang dapat mendengarnya. "Brillone mau ketemu kamu!"

"Aku ada disini," jawab Mickey. "Suruhlah dia kemari!"

"Kenapa, Mickey? " lanjut anak itu. "Kamu takut?"

"Tidak," jawab Mickey sambil terus berjalan."Aku hanya mengurus pekerjaanku sendiri!".

Teman-teman Brillone tidak ingin membiarkan persoalan ini berlalu begitu saja. Dibawah tekanan, Brillone mengikuti Mickey dan menyusulnya di belakang kelas. Seluruh keberaniannya memudar ketika ia berhadapan dengan Mickey dan jika tidak karena kehadiran teman-temannya dengan senang hati dia akan mengalah dari permasalahan ini .

"Baik?" ujar Mickey.

"Kenapa kamu ngadu?"

"Dia tanya dan aku jawab."

"Anak baik! Anak kesayangan! Aku ingin memukulmu karenanya."

Kata-kata terakhir hampir tersangkut ditenggorokan Brillone tetapi akhirnya ia mampu mengeluarkannya. Dia tak bisa mundur sekarang. Dia hanya berharap Mickey -yang akhir-akhir ini lebih sabar- menolak berkelahi. Mickey merasakan seluruh tubuhnya menegang dan Brillone menunggu tindakan yang akan dilakukan Mickey. Untuk sesaat Mickey ragu-ragu hingga akhirnya ia berbalik dan meninggalkan Brillone. Pendukung Brillone mulai mengejeknya; juga mereka yang kecewa karena perkelahian itu gagal.

Mickey tertegun ketika mendengar ejekan-ejekan itu sehingga ia berbalik dan menghampiri Brillone. Ia memasang kuda-kuda untuk berkelahi.

"Siap-siap!" ujarnya kepada Brilllone yang terkejut. "Tapi!…..Tapi!" jawabnya terbata-bata. Ia hanya ingin berkata, "Kamu seharusnya tidak boleh berkelahi lagi!" Ia hanya dapat maju perlahan-lahan karena menyadari kata-katanya itu kedengaran sangat bodoh. Dia berhenti dan berdiri menunggu serangan Mickey tetapi tak terjadi sesuatupun. Setelah memberanikan diri, ia menyerang dengan tangan kanannya. Mickey menunduk dan menegakkan badannya kembali. Brillone menyerang lagi. Dia akan mengayunkan tangannya lagi ketika sikunya terasa seperti tersengat karena pukulan.

Pelan-pelan ia sadar kalau Mickey mempermainkannya. Ia bisa saja menangkis pukulan-pukulan itu tetapi Mickey membalasnya sebegitu rupa sehingga Brillone menghukum dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat Brillone mulai kehilangan kesabaran dan mencoba menendang betis Mickey. Karena belum siap Mickey gagal menghindarinya kali ini. Dengan tegang ia menunggu tendangan berikutnya. Saat Brillone mengangkat mengangkat kakinya kanannya lagi, Mickey melangkah kesamping, meraih lutut Brillone dan menariknya. Kaki kiri Brillone terayun dan ia jatuh terduduk begitu mendadak sehingga ia merasa seolah-olah tukang belakangnya terdorong menembus tengkoraknya. Dia mencoba berdiri tetapi terduduk lagi ketika Mickey menarik kakinya sekali lagi. Dicobanya lagi…..Akhirnya ia menyerah dan hanya duduk, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Pada saat itu anak-anak lain membantunya dan meminta Mickey melepaskan Brillone sambil bercanda. Mereka semakin menghormati Mickey yang begitu cerdik menyelesaikan masalah. Brillone yang sangat bersyukur karena dilepaskan Mickey memutuskan ia tidak akan lagi 'berurusan' dengan sang jendral.



54